BAB I PENDAHULUAN - PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH MENURUT MADZHAB SYAFI’I (Studi Pada Bank Muamalat Cabang Pembantu Pasuruan) - Digilib IAIN Jember

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dengan semakin berkembangnya perekonomian suatu negara, semakin
meningkat pula permintaan/kebutuhan pendanaan untuk membiayai prospekprospek pembangunan. Namun, dana pemerintah yang bersumber dari APBN
sangat terbatas untuk menutup kebutuhan dana di atas, karenanya pemerintah
menggandeng dan mendorong pihak swasta untuk ikut serta berperan dalam
membiayai pembangunan potensi ekonomi bangsa.
Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
telah lama mendambakan kehadiran sistem lembaga keuangan yang sesuai
tuntunan kebutuhan tidak sebatas finansiil namun juga tuntunan moralitasnya.
Sistem bank mana yang dimaksud adalah perbankan yang terbebas dari praktek
bunga (free interest banking).1
Dalam firman Allah dijelaskan sebagai berikut:

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk

1


Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), 195.

1

2

memperoleh keridhoan Allah, maka itulah orang yang melipat gandakan
(pahalaya).2 (QS. Ar-Ruum: 39).
Dalam ayat yang lain juga dijelaskan sebagai berikut:

Artinya: Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah
dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara
tidak sah (bathil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara
mereka adzab yang pedih.3 (QS An-nisaa‟: 161).
Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga
keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui
aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip
syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan

lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro
maupun mikro.4
Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, sistem zakat,
bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti
perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar),
bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang
sebagai alat tukar. Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku
perbankan syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 575.
Ibid., 136.
4
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 30.

2

3

3


Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.5 Adapun perbedaan
bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1.1
Perbedaan Bunga dengan Bagi Hasil
NO

BUNGA

BAGI HASIL

1

2

3


1.

Penentuan bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya rasio / nisbah
akad dengan asumsi harus selalu bagi hasil dibuat pada waktu akad
untung.

dengan

berpedoman

pada

kemungkinan untung rugi.
2.

Besarnya persentase berdasarkan Besarnya
pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan
dipinjamkan.

3.


rasio

bagi

pada

hasil
jumlah

keuntungan yang diperoleh.

Pembayaran bunga tetap seperti Bagi

hasil

bergantung

pada


yang dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan proyek yang dijalankan.
apakah proyek yang dijalankan oleh Bila usaha merugi, kerugian akan
pihak nasabah untung atau rugi.

ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak.

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001),
37.
5

4

1
4.

2

3


Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba meningkat
mengikat

sekalipun

jumlah sesuai dengan peningkatan jumlah

keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan.
ekonomi sedang “booming”.
5.

Eksistensi bunga diragukan (kalau Tidak

ada

yang

meragukan

tidak dikecam) oleh semua agama, keabsahan bagi hasil.

termasuk Islam.
Sumber: Syafi‟i Antonio, 2001: 61.
Ketika bank syariah pertama kali berkembang, baik di tanah air maupun di
mancanegara, sering kali dikatakan bahwa bank syariah adalah bank bagi hasil.
Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syariah dengan bank konvensional
yang beroperasi dengan sistem bunga. Hal itu betul, tetapi tidak sepenuhnya
benar. Karena sesungguhnya bagi hasil itu hanya merupakan bagian saja dari
sistem operasi bank syariah. Dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil sudah pasti
merupakan salah satu praktik perbankan syariah. Namun sebaliknya, praktik
perbankan syariah belum tentu seluruhnya menggunakan sistem bagi hasil.
Karena selain sistem bagi hasil, masih ada sistem jual beli dan sewa menyewa
yang juga digunakan dalam sistem operasi bank syariah.6
Kebutuhan pembiayaan aneka barang dapat dipenuhi dengan berbagai
cara, antara lain dengan akad jual beli (murabahah), bagi hasil (musyarakah

6

Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), 97.


5

mutanaqisah), dan sewa (ijarah muntahiya bittamlik).7 Seperti halnya di Bank
Muamalat Pasuruan, dalam produk pembiayaan hunian syariah atau yang disebut
dengan produk KPR Muamalat iB mempunyai dua macam pilihan akad,yaitu
murabahah dan musyarakah mutanaqishah.
Murabahah yaitu akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.8
Dengan akad murabahah ini bank syariah memenuhi kebutuhan nasabah dengan
membelikan aset yang dibutuhkan kepada supplier kemudian menjual kembali
kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan yang diinginkan. Selain
mendapat keuntungan margin, bank syariah juga hanya menanggung resiko yang
minimal. Sementara itu, nasabah mendapat kebutuhan asetnya dengan harga yang
tetap.9
Adapun Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.10 Sedangkan musayarakah
mutanaqishah merupakan salah satu bentuk dari musyarakah, di mana secara
bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.11

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa akad musyarakah
mutanaqishah merupakan kerja sama antara bank dan nasabah untuk membeli
rumah, di mana setiap bulan nasabah membayar angsuran untuk membeli porsi
7

Ascarya, Akad & Produk, 127.
Karim, Bank Islam,113.
9
Ascarya, Akad & Produk, 127.
10
Dumairi Nor et. al., Ekonomi Syariah Versi Salaf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2007), 85.
11
Antonio, Bank Syariah, 168.

8

6

kepemilikan bank, sehingga porsi kepemilikan bank atas rumah tersebut
berkurang secara bertahap dan saat jatuh tempo kepemilikan sepenuhnya menjadi

milik nasabah. Sedangkan dalam prakteknya di Bank Muamalat Pasuruan adalah
setiap bulan nasabah membayar sewa untuk mengurangi porsi kepemilikan bank
sehingga saat jatuh tempo rumah tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah.
Dari pemaparan tersebut dapat diketahui adanya ketidaksesuaian antara
akad dengan pelaksaannya, karena akad musyarakah mutanaqishah pada dasarnya
adalah akad kerja sama dan bukan sewa menyewa. Karena itu peneliti tertarik
untuk meneliti kebenaran tentang akad yang digunakan.
Selain ketidaksesuaian tersebut, yang menjadi ketertarikan penulis adalah
pemikiran madzhab Syafi‟i tentang syirkah, karena menurut madzhab Syafi‟i
syirkah yang hukumnya boleh hanya satu macam, yaitu syirkah ‘inan.12 Untuk
lebih jelasnya akan dibahas pada bab selanjutnya.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengaitkan penelitian tentang
produk pembiayaan hunian syariah ini dengan pemikiran madzhab Syafi‟i, yang
mana penelitian tentang produk ini akan dilakukan di Bank Muamalat Pasuruan.
Adapun alasan memilih Bank Muamalat Pasuruan sebagai tempat penelitian selain
karena menemukan permasalahan yang telah disebutkan di atas juga karena
masyarakat Pasuruan memiliki tradisi dan kultur yang tidak bisa lepas dari agama
(Islam), hal ini adalah pengaruh ulama (kyai) yang menjadi rujukan utama dari
kehidupan dan kultur masyarakat Pasuruan secara umum tanpa mengecilkan peran
dari penganut agama lain. Hal ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis
12

Abdulrahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Jilid IV, terj. Moh. Zuhri, et. al. (Semarang: CV.
Asy Syifa‟, 1994), 140.

7

untuk meneliti tentang pembiayaan hunian pada bank syariah di tengah
masyarakat yang agamis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti
dan

menganalisa

dengan

judul

“PEMBIAYAAN

HUNIAN

SYARIAH

MENURUT MADZHAB SYAFI‟I (Studi Pada Bank Muamalat Cabang
Pembantu Pasuruan)”.
B. Fokus Penelitian
1. Apa saja bentuk pembiayaan hunian syariah di Bank Muamalat Cabang
Pembantu Pasuruan?
2. Bagaimana pelaksanaan akad dalam produk pembiayaan hunian syariah pada
Bank Muamalat Cabang Pembantu Pasuruan menurut madzhab Syafi‟i?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui macam-macam bentuk dari pembiayaan hunian syariah di
Bank Muamalat Cabang Pembantu Pasuruan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan akad dalam produk pembiayaan hunian
syariah pada Bank Muamalat Cabang Pembantu Pasuruan menurut madzhab
Syafi‟i.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian berisi tentang konstribusi apa yang akan diberikan
setelah selesai melakukan penelitian.13 Dalam penelitian ini, manfaat dibagi
menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis

13

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jember: STAIN Jember Press, 2014), 38.

8

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
pembiayaan pada perbankan syariah, khususnya pembiayaan hunian
syariah, baik secara teori maupun secara praktik yang ada di perbankan
syariah, khususnya di Bank Muamalat.
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
menjadi acuan dalam penelitian-penelitian yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Dengan melakukan penelitian tentang pembiayaan Kongsi
Pemilikan Rumah (KPR) pada Bank Muamalat Cabang Pembantu
Pasuruan, maka penulis mengetahui bagaimana praktek pembiayaan
tersebut, yang meliputi prosedur pengajuan permohonan pembiayaan
serta akad yang digunakan dalam pelaksanaan pembiayaan.
b. Bagi Instansi yang Diteliti
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi dan
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan serta penetapan
kebijakan agar lebih baik dimasa yang akan datang.
c. Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan mengetahui lebih mendalam tentang aplikasi pembiayaan Kongsi
Pemilikan Rumah (KPR) di bank Syariah, khususnya di Bank
Muamalat.
d. Bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember

9

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
referensi dan memperkaya pustaka di lembaga IAIN Jember, dan
dapat membantu mahasiswa yang ingin mengembangkan kajian
tentang pembiayaan Kongsi Pemilikan Rumah (KPR) di perbankan
syariah.
E. Definisi Istilah
1. Pembiayaan
Pembiayaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya.14
2. Hunian Syariah
Hunian adalah tempat tinggal, kediaman (yang dihuni).15 Sedangkan
yang dimaksud hunian syariah di dalam penilitian ini merupakan produk
pembiayaan kepemilikan hunian sesuai dengan prinsip syariah, yang mana di
Bank Mualamat Cabang Pembantu Pasuruan disebut dengan Produk KPR
Muamalat iB. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada brosur yang ada di
lampiran.
3. Madzhab Syafi‟i
Menurut Said Ramadhany al-Buthy pengertian madzhab adalah jalan
pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur‟an dan Hadits.16 Sedangkan

14

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 147.
Ibid., 412.
16
Huzaemah Tahido Yonggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), 71.

15

10

Syafi‟i adalah madzhab ilmu fikih yang dipelopori oleh Muhammad bin Idris
asy-Syafi‟i.17
Maksud dari judul pembiayaan hunian syariah menurut madzhab Syafi‟i
dalam penelitian ini adalah mendiskripsikan praktik pembiayaan hunian syariah di
Bank Muamalat Cabang Pembantu Pasuruan disertai dengan pemikiran madzhab
Syafi‟i tentang akad yang digunakan dalam pembiayaan tersebut.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi
yang dimulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup.18 Untuk lebih jelasnya
akan dipaparkan sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini akan diuraikan mengenai
latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah kajian kepustakaan, dalam bab ini akan diuraikan
mengenai penelitian terdahulu yang merupakan hasil penelitian dari peneliti
sebelumnya serta kajian teori yang terdiri dari manajemen pembiayaan yang
meliputi unsur-unsur pembiayaan dan prosedur pembiayaan, pembiayaan Kongsi
Pemilikan Rumah (KPR) yang meliputi tujuan dan manfaat, syarat dan kondisi,
fitur produk, dan perbedaan KPR syariah dengan KPR konvensional, serta akad
yang digunakan dalam produk pembiayaan tersebut yang terdiri dari murabahah
dan musyarakah mutanaqishah.

17
18

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 1114.
Tim penyusun, Karya Ilmiah, 48.

11

Bab ketiga adalah metode penelitian, dalam bab ini akan diuraikan
mengenai pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian
yang terdiri dari jenis data dan sumber data, teknik pengumpulan data, analisis
data, keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
Bab keempat adalah penyajian data dan analisis. Bab ini berisi tentang
gambaran objek penelitian, penyajian data dan analisis, serta pembahasan temuan.
Bab kelima adalah penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan atau
jawaban dari fokus penelitian dan saran-saran.

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pembiayaan Kongsi Pemilikan Rumah (KPR)
sebagaimana akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah hal yang baru, sudah ada
beberapa karya ilmiah yang telah memaparkan penelitian tentang hal tersebut,
namun dari beberapa karya ilmiah tersebut memiliki perbedaan antara satu sama
lain, sehingga benar-benar berbeda. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan Kongsi Pemilikan Rumah (KPR) antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Laily Hidayati Rosyidi, dalam Skripsi
STAIN

Jember

tahun

2012

yang

berjudul

“IMPLEMENTASI

PEMBIAYAAN KONGSI PEMILIKAN RUMAH SYARIAH (KPRS)
PADA BNI SYARIAH CABANG JEMBER TAHUN 2012”. Fokus
penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana implementasi pembiayaan
Kongsi Pemilikan Rumah Syariah pada BNI Syariah Cabang Jember.
Dengan hasil penelitian bahwa KPRS Syariah cabang Jember ini telah
sesuai dengan syariat Islam dan prosedur-prosedur yang dilaksanakan
menggunakan

analisis

5C

dalam

mempertimbangkan

pengambilan

keputusan pembiayaan dan akad yang digunakan dalam bertransaksi KPRS
ini menggunakan akad murabahah (jual beli).19

Laily Hidayati Rosyidi, “Implementasi Pembiayaan Kongsi Pemilikan Rumah Syariah (KPRS)
Pada BNI Syariah Cabang Jember Tahun 2012”, (Skripsi, STAIN Jember, Jember, 2012), viii.
19

12

13

2. Penelitian yang dilakukan oleh Corina Hidayah, dalam Skripsi IAIN
Walisongo Semarang tahun 2012 yang berjudul “TINJAUAN HUKUM
ISLAM TERHADAP PRAKTEK AKAD MUSYARAKAH WAL IJARAH
(Studi Kasus Pada Produk Kongsi Pemilikan Rumah Syariah di Bank
Muamalat Indonesia Semarang)”. Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah
bagaimana praktek akad musyarakah wal ijarah dalam produk KPRS pada
Bank Muamalat Indonesia Semarang, apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai
muamalah Islam. Dengan hasil penelitian bahwasanya pelaksanaan akad
musyarakah dan ijarah pada KPRS kurang sesuai dalam pengamalannya
dengan nilai-nilai dalam muamalah Islam, karena dalam pelaksanaan akad
musyarakah tersebut harus dilakukan oleh dua orang/lebih untuk
mengadakan suatu perkongsian/perserikatan dalam menangani sebuah
proyek dan mengadakan kesepakatan baik dalam hal pemberian modal serta
pembagian keuntungan dan kerugian, selain itu juga menjalankan usaha atau
proyek tersebut secara bersama-sama. Sedangkan dalam pelaksanaan akad
ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(milkiyah/ownership) atas barang itu sendiri. Dalam konteks boleh
dilakukan asalkan menggunakan akad ijarah muntahiyah bit tamlik.20
3. Penelitian yang dilakukan oleh Agisa Muttaqien, dalam Skripsi Universitas
Indonesia tahun 2012 yang berjudul “PEMBIAYAAN PEMILIKAN
RUMAH DENGAN AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH PADA
20

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/114/jtptiain-gdl-corinahida-5694-1072311020.pdf (15 April 2015).

14

BANK MUAMALAT INDONESIA (Studi Kasus: Produk Pembiayaan
Hunian Syariah Kongsi (PHSK))”. Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah
apakah penerapan prinsip musyarakah dan ijarah pada akad musyarakah
mutanaqishah dalam produk pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK)
telah memenuhi peraturan perundang-undangan dan fatwa yang berlaku.
Dengan hasil penelitian bahwa penerapan akad musyarakah mutanaqishah
pada produk Pembiayaan Hunian Syariah Kongsi (PHSK) di Bank
Muamalat Indonesia (BMI) telah memenuhi sebagian besar ketentuan dalam
perundang-undangan dan fatwa MUI, namun BMI melanggar ketentuan
tentang pengalihan objek hunian kepada nasabah.21
Adapun dalam penelitian ini, penulis fokus pada akad yang digunakan
dalam pembiayaan hunian syariah menurut madzhab Syafi‟i. Dan sepengetahuan
penulis belum ada yang membahas masalah tersebut, sehingga penelitian ini
benar-benar berbeda dari penelitian terdahulu yang telah disebutkan penulis.
Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dari segi
objek yang diteliti yaitu produk pembiayaan hunian syariah.
B. Kajian Teori
1. Pemikiran Madzhab Syafi’i
Seperti yang telah disampaikan di latar belakang bahwa kebutuhan
pembiayaan hunian syariah dapat dipenuhi dengan berbagai pilihan akad,
antara lain bagi hasil (musyarakah mutanaqishah), jual beli (murabahah) dan

21

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20312358-S%2043134-Pembiayaan%20pemilikanfull%20text.pdf (15 April 2015).

15

sewa (ijarah muntahiya bittamlik). Berikut akan dijelaskan pemikiran
madzhab Syafi‟i tentang akad-akad tersebut.
a. Murabahah
Menurut Syafi‟iyah, murabahah adalah menjual dengan harga beli
semula serta mengambil untung.22 Jual beli tersebut sah dengan
ketentuan:23
1) Dilakukan oleh orang yang memiliki hak tasharruf (pembelanjaan)
secara mutlak, bukan orang yang terlarang membelanjakan hartanya
(karena masih kecil, pemboros atau gila).
2) Adanya ijab qabul.
Adapun rukun jual beli ada tiga, yaitu:
a) Shighat (ucapan akad/ijab qabul)
Menurut Syafi‟iyah, jual beli tidak sah kecuali dengan
shighat berupa perkataan atau sesuatu yang dapat menggantikannya,
seperti surat, seorang utusan dan isyaratnya orang tuna wicara yang
sudah dimaklumi.24 Akad jual beli dapat terjadi dengan lafadz apa
saja yang menunjukkan arti pemindahan pemilikan (pertukaran) dan
dimengerti maksudnya. Yang demikian itu terbagi dua, yaitu: sharih
(tegas) dan kinayah (tidak tegas).25

22

Abdulrahman Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Jilid III, terj. Moh. Zuhri dan A. Ghazali
(Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1994), 314.
23
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Kunci Fiqih Syafi‟i, terj. Hafid Abdullah
(Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1992), 126.
24
Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Jilid III, 319.
25
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab: Bagian Muamalat II, terj. Chatibul Umam dan
Abu Hurairah (t.tp: Darul Ulum Press, 2001), 21.

16

Yang dimaksud sharih adalah pernyataan yang tidak
mengandung pengertian lain selain maksud jual beli, seperti yang
mengatakan: “saya jual barang ini kepadamu dengan harga sekian”.
Sedangkan yang dimaksud kinayah adalah pernyataan yang bisa
mengandung arti lain selain jual beli, seperti ketika penjualnya
mengatakan: “saya berikan pakaian ini kepadamu dengan ditukar
pakaian itu”. Pernyataan ini bisa berarti menjual atau tukar pakai.
Jika diniatkan menjual dan membeli, sah.
Tidak diampuni (bolehkan) memisahkan antara ijab dan
qabul dengan pembicaraan lain (luar jual beli) secara mutlak. Baik
yang sedikit maupun banyak.26
Adapun pembicaraan yang masih membicarakan tentang
batas dan sifat barang yang dijual, maka pemisah dengan hal tersebut
tiada membahayakan, biarpun panjang dan telah dimengerti oleh
kedua orang yang melakukan aksi tersebut. Demikian juga tidak
membahayakan pemisah dengan tindakan diam sebentar. Adapun
diam yang lama, yaitu diam yang bisa memberi pengertian berpaling
dari qabul, maka tidak diperbolehkan.
Masing-masing dari penjual dan pembeli mempunyai hak
ruju‟ atau mencabut ucapannya kembali selama mereka masih dalam
majlis jual beli itu sebelum keduanya berpisah.27
Adapun syarat-syarat shighah adalah:28
26
27

Al Jaziri. Fiqih Empat Madzhab Jilid III, 330.
Ibid., 331.

17

1) Pembicaraan kedua pihak (penjual dan pembeli) tertuju
langsung kepada yang bersangkutan.
2) Pembicaraan itu tertuju kepada orangnya secara utuh,
misalnya dengan mengatakan: “saya jual kepadamu”. Jika
mengatakan: “saya jual ke tanganmu”, misalnya, maka tidak
sah.
3) Yang memulai pembicaraan pertama diantara dua pihak
hendaklah menyebutkan harga dan barangnya, misalnya
dengan mengatakan: “saya jual barang ini kepadamu dengan
harga sekian”, atau “saya beli barang ini darimu dengan
harga sekian”.
4) Baik penjual maupun pembeli harus menyengaja lafadz yang
diucapkannya.
5) Antara ijab dan qabul tidak diselang pembicaraan lain.
6) Antara ijab dan qabul tidak diselang diam lama yang
mengesankan penolakan.
7) Pihak pertama tidak berubah pendirian sebelum ada
pernyataan pihak kedua. Artinya, bahwa yang menyatakan
ijab tidak mengubah kata-katanya sebelum pihak kedua
menyatakan qabul. Bila (pihak pertama) mengatakan: “saya
jual (barang ini) kepadamu dengan harga lima”, lalu

28

Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab: Bagian Muamalat II, 34.

18

mengatakan: “bukan, melainkan sepuluh” sebelum pihak
kedua menyatakan qabul, maka akad itu tidak sah.
8) Pernyataan masing-masing kedua pihak terdengar oleh yang
lain, juga oleh orang yang didekatnya. Jika tidak terdengar
oleh orang yang didekatnya maka belum cukup, sekalipun
pelaku akad mendengarnya.
9) Antara ijab dan qabul ada kesesuaian. Jika penjual
mengatakan: “saya jual (barang ini) kepadamu dengan harga
seribu uang pecahan”, lalu diterima dengan harga seribu uang
bulat atau sebaliknya, maka tidak sah.
10) Tidak menggantungkan shighah pada sesuatu yang tidak ada
relevansinya dengan akad, misalnya dengan mengatakan:
“saya jual rumah ini kepadamu, jika Fulan menghendaki, atau
jika Allah menghendaki”. Beda halnya dengan mengatakan:
“… jika kamu menghendaki”, karena penggantungan
semacam ini tidak membatalkan dengan syarat-syarat tadi.
11) Tidak dibatasi waktu. Jika mengatakan: “saya jual unta ini
selama sebulan”, maka tidak sah.
12) Qabul itu dilakukan oleh yang diajak bicara. Jika (penjual)
mengatakan: “saya jual barang ini kepadamu”, kemudian
orang lain menyatakan qabul menggantikan orang yang
diajak bicara, maka jual beli itu tidak sah.

19

13) Kedua pihak yang mengadakan shighah akad tetap dalam
keadaan

sehat

akal

sehingga

qabul-nya

berlangsung

sempurna. Bila penjual mengatakan: “saya jual (barang ini)
kepadamu dengan harga sekian”, kemudia gila sebelum
pembeli mengatakan: “saya terima”, maka akad itu batal.
b) „Aqid (orang yang melakukan akad/penjual dan pembeli)
Syafi‟iyah berpendapat bahwa akad jual beli tidak sah oleh
empat golongan berikut:29
1) Anak kecil, mumayyiz atau belum.
2) Orang gila.
3) Hamba, sekalipun mukallaf.
4) Orang buta.
Bila seseorang menjual sesuatu kepada seorang diantara
mereka, maka jual beli itu batal, penjual wajib mengembalikan harta
yang telah diterima dan harus tetap dalam jaminan. Sedangkan
barang yang diterima mereka tadi, seandainya hilang, tidak boleh
dituntut, melainkan dianggap hilang ditangan pemiliknya.
Adapun syarat-syarat ‘aqid (pelaku akad) ialah:30
1) Memiliki kebebasan melakukan akad, maka tidak sah oleh
anak kecil, orang gila, dan orang yang dibawah perwalian
karena kelemahan akal.

29
30

Ibid., 25.
Ibid., 35.

20

2) Tidak dipaksa dengan cara yang tidak hak, maka tidak sah
jual beli oleh orang yang dipaksa.
3) Islam, bila barang yang akan dibeli kepadanya berupa mushaf
al-Qur‟an dan lain sebagainya.
4) Bukan musuh perang bila yang akan dibeli merupakan
peralatan perang.
c) Ma’qud ‘alaih (barang yang diakadkan/uang dan barang yang dijual)
Syafi‟iyah berpendapat, tidak sah memperjual belikan barang
yang dighasab secara mutlak. Baik dijual kepada orang yang
mengghasabnya sendiri atau kepada orang lain, dan yang menjual itu
pemilik aslinya sendiri maupun orang lain, kecuali apabila barang
yang dighasab tersebut dapat diserah terimakan.31
Adapaun syarat-syarat barang yang diakad adalah:32
1) Barang itu suci.
2) Dapat dimanfaatkan secara syara‟, maka tidak sah menjual
serangga, karena secara syara‟ tidak dapat dimanfaatkan.
3) Dapat diserah-terimakan, maka tidak sah menjual barang
yang terbang di udara, ikan yang masing di air (belum
ditangkap), atau harta rampasan (jarahan).
4) Barang itu diakad oleh orang yang memiliki wewenang
penuh. Maka tidak sah menjual barang yang masih tersangkut
dengan hak orang lain.
31
32

Al Jaziri. Fiqih Empat Madzhab Jilid III, 340.
Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab: Bagian Muamalat II, 35.

21

5) Barang itu diketahui oleh kedua pihak, baik zat, ukuran
maupun sifatnya.
b. Musyarakah
Menurut Syafi‟iyah definisi dari syirkah adalah:

Artinya:
“Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui).33
Syirkah menurut Imam Syafi‟i harus memenuhi beberapa unsur,
antara lain:34
1) Adanya percampuran harta
2) Pekerjaan pada harta itu (badan usaha)
3) Pembagian keuntungan.
Ulama‟ Madzhab Syafi‟i menerangkan: syirkah yang hukumnya
boleh hanyalah satu macam, yaitu syirkah ‘inan, yaitu pernyataan tentang
perjanjian dua orang atau lebih untuk berserikat dalam suatu modal harta
untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan
harta modal mereka,35 dengan ketentuan sebagai berikut:36
1) Jenis harta dari masing-masing pihak harus sama sifatnya. Kalau
kepunyaan salah satu pihak dirham, sedangkan yang lain dinar atau
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah: Untuk UIN, STAIN, PTAIS dan Umum (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), 184.
34
Al-Imam Asy-Syafi‟i, Al-Umm Jilid 5, terj. Ismail Yakub (Kuala Lumpur: Victory Agencie,
2000), 130.
35
Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Jilid IV, 138.
36
Imam Abu Ishaq Ibrahim, Kunci Fiqih Syafi‟i, 154-155.
33

22

salah satu pihak milik sendiri sedangkan yang lain pinjaman maka
syirkah itu tidak sah.
2) Hendaklah kedua harta dari masing-masing pihak itu dicampurkan.
3) Laba dari kerja sama tersebut dibagi menurut jumlah modal yang
mereka berikan, demikian pula bila terjadi kerugian.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, syirkah juga mempunyai
empat rukun, yaitu:37
a) Ijab
b) Qabul
c) Anggota syirkah
d) Modal
Masing-masing dari rukun-rukun tersebut mengandung beberapa
syarat, antara lain:38
a) Mengenai ijab dan qabul disyaratkan hendaknya berupa pernyataan
yang berfaidah memberi izin untuk menjalankan modal kepada
orang yang menjalankannya dari para anggota dengan cara jual beli
dan semisalnya.
b) Adapun tentang anggota syirkah maka masing-masing disyaratkan
hendaknya:
a) Pandai
b) Dewasa
c) Merdeka.
37
38

Al Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Jilid IV, 149.
Ibid., 149-151.

23

Jadi akad syirkah itu sah terselenggara dari anggota yang
buta, tetapi yang menjalankan adalah orang yang tidak buta. Di
dalam menyerahkan modal, ia mewakilkan orang lain tetapi dengan
syarat ia memang orang yang secara hukum mempunyai keahlian
mewakilkan kepada orang lain, misalnya ia merupakan orang
pandai dan dewasa.
c) Tentang uang modal, maka disyaratkan untuknya beberapa perkara,
yaitu:
1) Bahwa modal itu berupa barang mitsli, yaitu barang yang
dapat dibatasi oleh takaran atau timbangan dan barang
tersebut bisa dipesan.
2) Bahwa modal dicampur sebelum perjanjian syirkah hingga
salah satunya tidak bisa dibedakan dari lainnya.
3) Bahwa modal yang dikeluarkan oleh masing-masing anggota
tersebut sejenis, artinya modal tersebut sebagiannya dengan
sebagian yang lain adalah sama jenis.
c. Ijarah
Ulama madzhab Syafi‟i menerangkan: Perjanjian persewaan ialah
suatu perjanjian atas manfaat yang diketahui dan disengaja, yang bisa
diserahkan kepada pihak lain secara mubah dengan ongkos yang diketahui.
Dari definisi tersebut telah terkandung rukun-rukun perjanjian
persewaan, yaitu:39

39

Ibid., 172.

24

a. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
b. Aqid (orang yang melakukan perjanjian) di dalamnya ada dua
pelaku, yaitu orang yang menyewakan (mu’jir) dan orang yang
menyewa (musta’jir). Atau kadang-kadang disebut mukri, yakni
pemilik barang, dan juga disebut muktari, yakni orang yang
mengambil manfaatnya.
c. Ma’qud alaih, yaitu ongkos dan manfaat.
Ulama madzhab Syafi‟i menjelaskan: Setiap rukun dari rukunrukun perjanjian persewaan mempunyai syarat-syarat. Adapun rukun yang
pertama, yaitu shighat (ijab dan qabul), maka disyaratkan syarat-syarat
yang telah disebutkan dalam pembahasan jual beli (murabahah).40
Tentang rukun yang kedua, yaitu orang yang melakukan perjanjian,
baik orang yang menyewakan atau orang yang menyewa, maka baginya
disyaratkan beberapa syarat yang terdahulu dalam pembahasan jual beli.41
Dalam persewaan tidak disyaratkan bebas membelanjakan harta.
Hal ini dalam seluruh bentuk. Sebab orang bodoh sah menyewakan dirinya
dalam hal-hal yang mana dia tidak mencari hasil dengannya pada
umumnya, seperti ia sebagai buruh dalam ibadah haji. Berbeda dengan
pekerjaan yang untuk mencari hasil, seperti menukang besi atau menukang
kayu, maka tidak sah ia menyewakan diri di dalamnya.
Mengenai rukun yang ketiga, yaitu barang atau perkara yang
dijadikan perjanjian, maka ada dua macam, ialah ongkos atau upah dan
40
41

Ibid., 190.
Ibid., 194.

25

manfaat. Tentang upah atau ongkos, maka terkadang berupa hutang yang
tidak tertentu, dan terkadang berupa upah telah tersedia dan tertentu.
Ongkos yang tidak tertentu disyaratkan memenuhi syarat-syarat dalam
harga, yaitu harus diketahui kadarnya, jenisnya, macamnya dan sifatnya.42
Adapun kalau ongkos itu ditentukan, maka disyaratkan harus bisa
dilihat. Jadi kalau seseorang berkata: “saya sewakan kepadamu rumah ini
dengan ongkos unta ini”, maka disyaratkan melihat untanya tadi.43
Adapun mengenai manfaat, maka disyaratkan memenuhi beberapa
persyaratan berikut:44
a. bahwa manfaat yang dikehendaki itu mempunyai nilai harga. Jadi
tidak sah persewaan atau perburuhan didasarkan pada manfaat yang
remeh. Seperti menyewakan pohon-pohonan yang hanya untuk
menjemur pakaian di atasnya.
b. Bahwa manfaat tersebut bukan merupakan benda yang menjadi
tujuan perjanjian persewaan. Seperti kalau seseorang menyewa sapi
karena susunya. Perjanjian persewaan dalam
mengandung maksud

bahwa

yang menjadi

masalah ini
tujuan adalah

terpenuhinya menggunakan susu. Sedangkan susu itu tidak bisa
dimiliki dengan perjanjian persewaan kecuali karena mengikuti
yang lain.

42

Ibid., 194.
Ibid., 195.
44
Ibid., 196.

43

26

c. Bahwa pekerjaan di mana manfaat itu bergantung dapat diserahkan
secara nyata maupun secara hukum. Jadi tidak sah memburuhkan
wanita yang sedang haid untuk menyapu di masjid.
d. Bahwa pekerjaan yang menjadi gantungan manfaat itu tidak wajib
bagi si buruh. Jadi tidak sah melakukan perburuhan untuk
melakukan sholat dan semisalnya dari berbagai macam ibadat yang
tidak boleh digantikan.
e. Bahwa pekerjaan dan manfaat sama-sama diketahui. Jadi seorang
penjahit bisa diketahui pekerjaannya menjahit pakaian, dan seorang
guru dapat diketahui pekerjaannya dengan waktu mengajarnya.
Adapun macam-macam persewaan itu ada dua, antara lain sebagai
berikut:45
a. Persewaan benda atau barang (ijarah „ain), yaitu suatu nama dari
perjanjian yang terselenggara atas manfaat yang berkaitan dengan
suatu barang tertentu yang dikehendaki oleh orang yang menyewa.
Contohnya seperti seseorang menyewa lahan pertanian tertentu
untuk diambil manfaat tanamannya pada masa tertentu dengan
ongkos tertentu.46
b. Persewaan tanggungan (ijarah dzimmah), yaitu suatu nama dari
perjanjian atas suatu manfaat yang berkaitan dengan suatu yang
tidak tertentu, namun disifati dalam tanggungan. Atau dengan kata
lain ialah perjanjian pada sesuatu yang manfaatnya berada dalam
45
46

Ibid., 192.
Ibid., 193.

27

tanggungan, seperti dalam perjanjian pemesanan barang. Dalam
persewaan ini disyaratkan hendaknya dengan bentuk yang khusus.
Jadi

tidak

sah

dengan

bentuk

selainnya,

seperti:

“saya

menyanggupi tanggunganmu”, atau “saya menyerahkan kepadamu
demikian”.47
2. Pembiayaan Hunian Syariah
a.

Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.48
Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan,
yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain.
Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan
yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah, kepada
nasabah.49
Sedangkan manajemen pembiayaan adalah bagaimana mengelola
pemberian pembiayaan mulai dari pembiayaan tersebut diberikan sampai
dengan pembiayaan tersebut lunas.

47

Ibid., 193.
Kasmir, Manajemen Perbankan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 73.
49
Muhamad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), 260.
48

28

b. Prosedur Pembiayaan
1) Permohonan Pembiayaan
Tahap

awal

proses

pembiayaan

adalah

permohonan

pembiayaan. Secara formal, permohonan pembiayaan dilakukan
secara tertulis dari nasabah kepada officer bank. Namun dalam
implementasinya, permohonan dapat dilakukan secara lisan terlebih
dahulu, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan permohonan tertulis
jika menurut officer bank usaha dimaksud layak dibiayai.50
Inisiatif pengajuan pembiayaan biasanya datang dari nasabah
yang

biasanya

kekurangan

dana.

Namun

demikian

dalam

perkembangannya, inisiatif tersebut tidak mesti datang dari nasabah,
tetapi juga dapat muncul dari officer bank. Officer bank syariah yang
berjiwa bisnis biasanya mampu menangkap peluang usaha tertentu.
Yang perlu diperhatikan dalam setiap pengajuan proposal
suatu kredit hendaknya yang berisi keterangan tentang:51
a) Riwayat perusahaan, seperti riwayat hidup perusahaan, jenis
bidang

usaha,

nama

pengurus

berikut

latar

belakang

pendidikannya, perkembangan perusahaan, serta wilayah
pemasaran produknya.
b) Tujuan pengambilan kredit, dalam hal ini harus jelas tujuan
pengambilan kredit. Apakah untuk memperbesar omset
penjualan atau meningkatkan kapasitas produksi atau untuk
50

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003),
138.
51
Kasmir, Manajemen Perbankan, 96.

29

mendirikan pabrik baru (perluasan) serta tujuan lainnya.
Kemudian juga yang perlu mendapat perhatian adalah
kegunaan kredit apakah untuk modal kerja atau investasi.
c) Besarnya kredit dan jangka waktu.
Dalam proposal pemohon menentukan besarnya jumlah kredit
yang diinginkan dan jangka waktu kreditnya.
d) Cara pemohon mengembalikan kredit, maksudnya perlu
dijelaskan

secara

rinci

cara-cara

nasabah

dalam

mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan atau
dengan cara lainnya.
e) Jaminan kredit
Jaminan kredit yang diberikan dalam bentuk surat atau
sertifikat. Penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan
sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya, biasanya setiap
jaminan diikat dengan suatu asuransi tertentu.
Selanjutya proposal ini dilampiri dengan berkas-berkas yang
telah dipersyaratkan seperti:52
a) Akta pendirian perusahaan
Dipergunakan untuk perusahaan yang berbentuk PT
(Perseroan Terbatas) atau Yayasan yang dikeluarkan oleh
Notaris dan disahkan oleh Departemen Kehakiman.
b) Bukti diri (KTP) para pengurus dan pemohon kredit

52

Ibid., 97.

30

c) TDP (Tanda Daftar Perusahaan)
Tanda Daftar Perusahaan ada selembar sertifikat yang
dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan
dan biasanya berlaku 5 tahun dan jika masa berlakunya habis
dapat diperpanjang kembali.
d) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Nomor Pokok Wajib Pajak, merupakan surat tentang
wajib pajak yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.
e) Neraca dan laporan laba rugi 3 tahun terakhir.
f) Fotokopi sertifikat yang dijadikan jaminan
g) Daftar penghasilan bagi perseorangan
h) Kartu Keluarga (KK) bagi perseorangan.
2) Pengumpulan Data dan Investigasi
Data yang diperlukan oleh officer bank didasari pada
kebutuhan dan tujuan pembiayaan. Untuk pembiayaan konsumtif,
data yang diperlukan adalah data yang dapat menggambarkan
kemampuan nasabah untuk membayar pembiayaan dari penghasilan
tetapnya. Data yang diperlukan antara lain:53
a) Untuk pegawai (karyawan swasta/PNS/ABRI)
1. Kartu Identitas calon nasabah dan istri: Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau pasport.
2. Kartu Keluarga, Surat Nikah.

53

Zulkifli, Perbankan Syariah, 140.

31

3. Slip gaji terakhir.
4. Surat referensi dari kantor tempat bekerja atau SK
pengangkatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
5. Salinan rekening bank 3 bulan terakhir.
6. Salinan tagihan rekening telepon dan listrik.
7. Data obyek pembiayaan
8. Data jaminan.
b) Untuk pengusaha perorangan
1. Kartu Identitas calon nasabah dan istri: Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau pasport.
2. Kartu Keluarga, Surat Nikah.
3. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP).
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
5. Salinan rekening bank 3 bulan terakhir.
6. Salinan tagihan rekening telepon dan listrik 3 bulan
terakhir.
7. Data obyek pembiayaan
8. Data jaminan.
c) Untuk profesional seperti dokter, pengacara, dll.
1. Kartu Identitas calon nasabah dan istri: Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau pasport.
2. Kartu Keluarga, Surat Nikah.
3. Surat ijin profesi

32

4. Surat ijin praktek
5. Salinan rekening bank 3 bulan terakhir.
6. Salinan tagihan rekening telepon dan listrik 3 bulan
terakhir.
7. Data obyek pembiayaan
8. Data jaminan: valuabilitas, legalitas, dan marketibilitas.
Untuk pembiayaan produktif, data yang diperlukan adalah
data yang dapat menggambarkan kemampuan nasabah untuk
melunasi pembiayaan. Data yang diperlukan antara lain:54
a) Calon nasabah adalah perorangan
1. Legalitas usaha
2. Kartu Identitas calon nasabah dan istri: Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau pasport.
3. Kartu Keluarga dan Surat Nikah.
4. Laporan Keuangan 2 tahun terakhir.
5. Past Performance 1 tahun terakhir.
6. Bisnis plan.
7. Data objek pembiayaan.
8. Data jaminan.
b) Calon nasabah adalah badan hukum
1. Akta pendirian usaha berikut perubahannya yang sesuai
dengan ketentuan pemerintah.

54

Ibid., 143.

33

2. Legalitas usaha.
3. Identitas pengurus.
4. Laporan keuangan 2 tahun terakhir.
5. Past Performance 1 tahun terakhir.
6. Bisnis plan.
7. Data objek pembiayaan.
8. Data jaminan.
Untuk mendukung kebenaran data yang diperoleh, officer
bank dapat melakukan investigasi antara lain melakukan kunjungan
lapang dan wawancara. Proses investigasi ini dapat dilakukan
berkali-kali untuk meyakini data yang diberikan nasabah. Investigasi
dapat dilakukan terhadap nasabah yang bersangkutan ataupun pihak
lainnya yang terkait, seperti rekanan bisnis calon nasabah.
3) Analisa Pembiayaan
Analisa pembiayaan dapat dilakukan dengan berbagai
metode sesuai kebijakan bank. Dalam beberapa kasus seringkali
digunakan metode analisa 5C, yang meliputi:
a. Character (Karakter)
Character

artinya

sifat

atau

karakter

nasabah

pengambil pinjaman.55 Character menggambarkan watak dan
kepribadian calon debitur. Bank perlu melakukan analisis
terhadap karakter calon debitur, tujuannya adalah untuk

55

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, 261.

34

mengetahui bahwa calon debitur mempunyai keinginan untuk
memenuhi kewajiban membayar pinjamannya sampai lunas.56
Untuk memperkuat data ini, dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:57
1. Wawancara; Karakter seseorang dapat dideteksi dengan
melakukan verifikasi data dengan interview. Apabila
datanya benar, maka calon nasabah seharusnya dapat
menjawab semua pertanyaan dengan mudah dan yakin.
2. BI (Bank Indonesia) checking; BI checking dilakukan
untuk mengetahui riwayat pembiayaan yang telah
diterima oleh nasabah berikut status nasabah yang
ditetapkan oleh BI. Tunggakan pinjaman nasabah di
bank lain juga memberikan indikasi yang buruk terhadap
karakter nasabah.
3. Bank Checking; Bank checking dilakukan secara
personal antara sesama officer bank, baik dari bank yang
sama maupun bank yang berbeda. Biasanya setiap officer
memiliki pengalaman tersendiri dalam berhubungan
dengan calon nasabah. Tunggakan pinjaman di bank lain
juga memberikan indikasi yang buruk terhadap karakter
nasabah.

56
57

Ismail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi (Jakarta: Kencana, 2010), 112.
Zulkifli, Perbankan Syariah, 145.

35

4. Trade Checking; analisa dilakukan terhadap usaha-usaha
sejenis, pesaing, pemasok, dan konsumen. Pengalaman
kemitraan semua pihak terkait pasti meninggalkan kesan
tersendiri yang dapat memberikan indikasi tentang
karakter calon nasabah, terutama masalah keuangan
seperti cara pembayaran.
b. Capacity (Kapasitas/Kemampuan)
Capacity

artinya

kemampuan

nasabah

untuk

menjalankan usaha dan mengembalikan pinjaman yang
diambil.58 Analisis terhadap capacity ini ditujukan untuk
mengetahui kemampuan calon debitur dalam memenuhi
kewajibannya sesuai jangka waktu kredit.59
Untuk mengetahui kapasitas nasabah, bank harus
memperhatikan:60
1. Angka-angka hasil produksi
2. Angka-angka penjualan dan pembelian
3. Perhitungan

rugi

laba

perusahaan

saat

ini

dan

proyeksinya
4. Data finansial perusahaan beberapa tahun terakhir yang
tercermin dalam neraca laporan keuangan.
Untuk pembiayaan konsumtif, analisa diarahkan pada
kemampuan sumber penghasilan calon nasabah membiayai
58

Muhamad, Manajemen Bank Syariah, 261.
Ismail, Manajemen Perbankan, 112.
60
Zulkifli, Perbankan Syariah, 146.
59

36

seluruh pengeluaran bulanannya. Untuk itu, yang perlu
dianalisa adalah:
1. Perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja
2. Lama bekerja
3. Penghasilan.
c. Capital (Modal)
Capital artinya besarnya modal yang diperlukan
peminjam.61 Biasanya bank tidak akan bersedia untuk
membiayai suatu usaha 100%, artinya setiap nasabah yang
mengajukan permohonan pembiayaan harus pula menyediakan
dana dari sumber lainnya atau modal sendiri, dengan kata lain,
capital adalah untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan
yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh
bank.62
Untuk mengetahui hal ini, maka bank harus melakukan
hal-hal sebagai berikut:63
1. Melakukan analisa neraca sedikitnya 2 tahun terakhir.
2. Melakukan analisa ratio untuk mengetahui likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas dari perusahaan dimaksud.
Untuk pembiayaan konsumtif, hal ini dapat tercermin
dari uang muka yang sanggup dibayar oleh calon nasabah.

61

Muhamad, Manajemen Bank Syariah, 261.
Kasmir, Manajemen Perbankan, 92.
63
Zulkifli, Perbankan Syariah,146.
62

37

d. Colleteral (Jaminan)
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik
yang bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya
melebihi jumlah pembiayaan yang diberikan. Jaminan juga
harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi suatu masalah,
jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat
mungkin. Fungsi jaminan adalah sebagai pelindung bank dari
risiko kerugian.64
Analisa dilakukan antara lain:65
1. Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan.
2. Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan
dimaksud.
3. Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang
dalam waktu relatif singkat tanpa harus mengurangi
nilainya.
4. Memperhatikan pengikatannya, sehingga secara legal
bank dapat dilindungi.
5. Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin
tinggi rasio tersebut, maka semakin tinggi kepercayaan
bank terhadap kesungguhan calon nasabah.
6. Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat
menentukan tingkat marketable suatu jaminan. Rumah
64
65

Kasmir, Manajemen Perbankan, 92.
Zulkifli, Perbankan Syariah, 147.

38

yang berharga jutaan rupiah bisa turun hanya karena
terletak di lokasi yang sulit dijangkau.
e. Condition (Kondisi)
Condition artinya keadaan usaha atau nasabah prospek
atau tidak.66 Bank perlu mempertimbangkan sektor usaha calon
debitur dikaitkan dengan kondisi ekonomi, apakah kondisi
ekonomi tersebut akan berpengaruh pada usaha calon debitur
di masa yang akan datang.67
Analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara
langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha
calon nasabah, seperti kebijakan pembatasan usaha properti,
pelarangan ekspor pasir laut, trend PHK besar-besaran usaha
sejenis dan lain-lain.
Kondisi yang harus diperhatikan bank antara lain:68
1. Keadaan

ekonomi

yang

akan

mempengaruhi

perkembangan usaha calon nasabah.
2. Kondisi usaha calon nasabah, perbandingannya dengan
usaha sejenis, dan lokasi lingkungan wilayah usahanya.
3. Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah.
4. Prospek usaha dimasa yang akan datang.

66

Muhamad, Manajemen Bank Syariah, 261.
Ismail, Manajemen Perbankan, 113.
68
Zulkifli, Perbankan Syariah, 146.
67

39

5. Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi prospek
industri di mana perusahaan calon nasabah terkait di
dalamnya.
4) Persetujuan Pembiayaan
Proses persetujuan adalah proses penentuan disetujui atau
tidaknya sebuah pembiayaan usaha. Proses persetujuan ini juga
tergantung kepada kebijakan bank yang biasanya disebut sebagai
Komite Pembiayaan. Tingkat kewenangan Komite Pembiayaan
tergantung kebijakan bank. Di dalam Komite Pembiayaan ini, officer
bank akan mempertahankan proposal bisnisnya dihadapan para
anggota Komite Pembiayaan, yang biasanya terdiri dari para senior
officer yang lebih berpengalaman dalam bisnis dan juga arah
kebijakan bank.69
Komite

Pembiayaan

merupakan

tingkat

paling

akhir

persetujuan sebuah proposal pembiayaan, karena itu hasil akhir dari
Komite Pembiayaan adalah penolakan atau penundaan ataupun
persetujuan pembiayaan. Di dalam Komite Pembiayaan, biasanya
akan diperoleh persyaratan tambahan yang harus dipenuhi pada
persetujuan suatu proposal pembiayaan. Tambahan persyaratan
tersebut harus dilakukan secara tertulis di dalam proposal
pembiayaan, disertai persetujuan anggota Komite Pembiayaan yang
bersangkutan.

69

Ibid., 152.

40

Biasanya keputusan kredit akan mencakup:70
a) Akad kredit yang akan ditandatangani
b) Jumlah uang yang diterima
c) Jangka waktu kredit, dan
d) Biaya-biaya yang harus dibayar.
5) Pengumpulan Data Tambahan
Proses pengumpulan data tambahan dilakukan untuk
memenuhi persyaratan yang diperoleh dari disposisi Komite
Pembiayaan. Pemenuhan persyaratan ini merupakan hal terpenting
dan merupakan indikasi utama tindak lanjut pencairan dana.71
6) Pengikatan
Tindakan selanjutnya setelah semua persyaratan dipenuhi
adalah proses pengikatan, baik pengikatan pembiayaan ataupun
pengikatan jaminan. Secara garis besar, pengikatan terdiri dari dua
macam, yakni pengikatan di bawah tangan dan pengikatan notariel.
Pengikatan di bawah tangan adalah proses penandatanganan akad
yang dilakukan antara bank dan nasabah, sedangkan pengikatan
notariel adalah proses penandatanganan akad yang disaksikan oleh
notaris. Perbedaan antara keduanya adalah pada saat terjadi
penyangkalan terhadap akad transaksi dimaksud. Pada pengikatan di
bawah tangan, maka pada saat terjadi penyangkalan, bank harus
berusaha membuktikan bahwa nasabah yang bersangkutan benar70
71

Kasmir, Manajemen Perbankan, 101.
Zulkifli, Perbankan Syariah, 153.

41

benar telah menandatangani akad dimaksud. Sedangkan pada
notariel, nasabah yang harus membuktikannya.
Terkait dengan jaminan, maka jenis pengikatan terdiri dari:72
a) Hak Tanggungan, untuk jaminan berupa tanah. Dasar
hukumnya adalah UU No. 4 tahun 1996 tanggal 9 April 1996
tentang Hak Tanggungan.
b) Hipotik, untuk jaminan berupa barang tidak bergerak selain
tanah dan kapal berukuran 20 m3 ke atas. Dasar hukumnya
adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1162.
c) FEO (Fiducia Eigendoms Overdracht) atau Fidusia, untuk
jaminan berupa barang bergerak. Dasar hukumnya adalah UU
No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
d) Gadai, untuk jaminan berupa barang perniagaan, surat
berharga, dan logam mulia yang penguasaannya ada di
tangan bank. Pengikatan gadai ini biasanya disertai dengan
Surat Kuasa Mencairkan. Dasar hukumnya adalah Kitab
Undang-undang Hukum Perdata pasal 1152.
e) Cessie, untuk jaminan berupa piutang. Dasar hukumnya
adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 613.
f) Borght, untuk jaminan berupa personal guarantee (jaminan
pribadi).

72

Ibid., 153.

42

7) Pencairan
Proses selanjutnya adalah pencairan fasilitas pembiayaan
kepada nasabah. Sebelum melakukan proses pencairan, maka harus
dilakukan pemeriksaan kembali semua kelengkapan yang harus
dipenuhi sesuai disposisi Komite Pembiayaan pada proposal
pembiayaan. Apabila semua persyaratan telah dilengkapi maka
proses pencairan fasilitas dapat diberikan.73
Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan suratsurat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan
di bank yang bersangkutan. Dengan demikian, penarikan dana kredit
dapat dilakukan melalui rekening yang telah dibuka. Pencairan atau
pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari pemberian
kredit dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit. Pencairan
d

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Pada Bank Syariah (Studi Kasus : Bank Muamalat Indonesia Cabang Pembantu Gajah Mada)

10 113 93

ANALISIS PERBANDINGAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DENGAN KREDIT INVESTASI (Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang)

0 4 2

IMPLEMENTASI PERATURAN PERBANKAN SYARIAH PADA PRODUK PEMBIAYAAN MUSYARAKAH (Studi Pada Bank Muamalat Indonesia KCP Pringsewu) Oleh

0 12 44

TAHLILAN (KENDURI ARWAH – SELAMATAN KEMATIAN) MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I

0 0 57

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Agunan Pada PT. Bank Sumut Cabang Pembantu Syariah Karya Medan

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Problematika Pelaksanaan Pembiayaan Ar-Rahn Dengan Akad Al-Qardh Pada PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Petisah

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1 Pengertian Kualitas Pelayanan - Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Pada Bank Syariah (Studi Kasus : Bank Muamalat Indonesia Cabang Pembantu Gajah Mada)

0 1 29

Pengaruh Religiusitas,Kualitas Pelayanan, Kepuasan Nasabah Bank Muamalat Indonesia Cabang Pembantu Magelang - Test Repository

0 2 104

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PELAKSANAAN DAKWAH ISLAM PADA JAMA’AH SHOLAWAT AHBABUL MUSTHOFA JEMBER - Digilib IAIN Jember

0 0 9