BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organizational Citizenship Behaviour Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) - PENGARUH KEPRIBADIAN,KOMITMEN ORGANISASI DAN MASA KERJA TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) PADA PERAWAT RUMAH SAKIT PKU

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organizational Citizenship Behaviour Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Adalah merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilkau-perilkau ini menggambarkan “nilai tambah karyawan” dan merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resckhe, 1997 :1).

  Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah sikap

  membantu yang ditunjukan oleh anggota organisasi, yang sifatnya konstruktif. Pengertian sebenarnya OCB adalah rekonseptual dari sifat kewarganegaraan seperti penjelasan filosofi politik ( Dyene et at,1994). Dengan kata lain OCB merupakan prilaku pekerja yang melebihi tugas formalnya dan memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi (Smith et al.1983).

  Menurut Utomo (2002) perilaku kerja the extra role sering diistilahkan sebagai “organizational citizenship behavior atau sering juga disebut prosocial behavior, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki

  6 suatu pengertian yang sama, yaitu suatu perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tapi juga bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)” Aldag dan Rescke (1997), mengartikan perilaku ekstra peran (organizational citizenship behavior) sebagai berikut:

   Perilaku ekstra peran diartikan sebagai kontribusi seorang

  individu dalam bekerja, dimana melebihi persyaratan yang ditetapkan dan penghargaan atas keberhasilan kerja yang dijanjikan.kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama yang lain, kerelaan melakukan pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan aturan kerja tanpa menghiraukan permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari prosocial

  behaviour ,sebagai perilaku sosial yang positif, konstruktif,dan suka memberi pertolongan”.

  Menurut Aldag dan Rosckhe, (1997), Organizational Citizenship

  Behavior merupakan kontribusi individu dalam melebihi tuntutan peran di

  tempat kerja OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku suka menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku ini menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satru bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku social yang positif, konstruktif dan bermakna membantu.

  Perilaku yang menjadi tuntutan organisasi adalah tidak hanya prilaku in-role tetapi juga prilaku extra-rule.Prilaku extra-rule disebut juga dengan Organizational Citizenship Behaviour.

  OCB merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku karyawan sehingga dapat disebut sebagai “karyawan yang baik” (ferri,2008). Prilaku ini cenderung melihat seorang karyawan sebagai mahkluk sosial (menjadi anggota organisai), dibandingkan sebagi mahkluk idividual yang mementingkan diri sendiri.

2.1.1 Faktor- faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behaviour

  Fakror-faktor yang mempengaruhi timbulnya OCB cukup kompleks dan terkait satu sama lain. Diantara faktor-faktor tersebut yang akan dibahas antara kepribadian dan suasana hati (mood), masa kerja.

  A. Kepribadian dan suasana hati (mood) Kepibadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya prilaku OCB secara individual maupun kelompok . George dan Brief (1992) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu membantu orang lain dipengaruhi oleh mood. Kepribadian merupakan suatu karateristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap.sedangkan suasana hati merupakan karateristik yang dapat berubah-ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain,Meskipun suasana hati dipengaruhi sebagian oleh kepribadian ia juga akan dipengaruhi oleh situasi.

  B. Masa Kerja Greenbreg dan Baron (2000) mengemukaan bahwa karateristik personal seperti masa kerja berpengaruh pada OCB . Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sommer et al (1996). Masa Kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB karena variabel-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap “investasi” karyawan diorganisasi. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa masa kerja berkorelasi dengan OCB. Karyawan yang telah lama bekerja disuatu organisasi akan memikili kedekatan dan keterkaitan yang kuat terhadap organisasi tersebut .Masa Kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya diri dan kompetisi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Serta menimbulkan perasaan dan prilakupositif terhadap organisasi dalam memperkerjakannya.

  Dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan :

  1. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi

  2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan tidak diperintah secara formal

  3. Tidak berkaitan langsung dengan system reward. Artinya, perilaku ekstra peran yang dilakukan karyawan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk uang.

  2.

1.2. Dimensi-dimensi Organizational Citizenship Behavior

  Secara konseptual, OCB didefinisikan sebagai prilaku individu yang dengan bebas dapat dipilih oleh individu sendiri tersebut, tidak berhubungan atau tidak diakui secara eksplisit dengan system imbalan (reward formal), tetapi secara agregat sangat mendukung efektifitas fungsi-fungsi dalam organisasi.

  1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional

  2. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara professional maupun social alamiah.

  3. Conscintiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum

  4. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.

  5. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu yang merusak meskipun merasa jengkel.

  Berkaitan dengan hal tersebut, operasionalisasi indicator-indikator

  OCB di kalangan peneliti menjadi sangat beragam. Podsakoff dkk. (2000)

  misalnya, mengajukan 5 indikator OCB, yaitu altruism, conscientiousness,

  sportsmanship, courtesy, dan civic virtue. Sementara Van Dyne dkk,

  (1994).

  Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan :

  1. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi.

  2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan performance , tidak diperintahkan secara formal.

  3. Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan sistem reward yang formal.

2.2 KEPRIBADIAN Pengertian dari Kepribadian

  Adalah pengaturan dinamis yang tersembunyi dalam diri seseorang yang merupakan suatu sistem yang akan menciptakan susunan karakteristik tingkah laku, pikiran, dan perasaan seseorang (Garver dan Michael, 1998). Kepribadian juga diartikan sebagai kombinasi dari keseimbangan karakteristik fisik dan mental yang memberikan identitas seseorang (Kreitner dan Angelo, 2001).

  Kepribadian seseorang dapat diukur dengan skala pengukuran kepribadian. Banyaknya skala pengukuran kepribadian yang ada tidak akan menyebabkan kerancuan karena masing-masing kepribadian mempunyai karakteristik tersendiri (Hartati, 1991). Karakteristik kepribadian ini digunakan untuk menunjukkan efektivitas kepemimpinan, kemampuan membangun suatu kelompok kerja, dan kerjasama dengan perusahaan lain (Hogan et al., 1994).

  Kepribadian mewakili karakteristik seseorang yang dicatat untuk susunan yang tetap dari perasaan, pikiran dantingkah laku. Kepribadian merupakan definisi yang sangat luas yang akan memusatkan kedalam banyak aspek perbedaan seseorang. Pada waktu yang sama kepribadian menyarankan kepada kita untuk mengikuti susunan tetap dari tingkah laku dan kualitas yang tersembunyi pada seseorang (McCrae dan Costa, 1989).

  Kepribadian merupakan kesatuan psikofisik yang sifatnya unik dan dinamik yang didalamnya terkandung kebiasaan-kebiasaan dan sikap- sikap yang sangat berguna dalam menghadapi dan menyesuaikan tuntutan hidup dan kehidupan seseorang (Hadjam, 1997). Kepribadian juga diharapkan menjadi predictor yang lbih baik.

  Friedman dan Roesnman membedakan jenis kepribadian yaitu tipe kepribadian A dan B (Robbins,2003):

  1.1 Tipe Kepribadian A Seseorang dengan tipe kepribadian A secara agresif tertlibat dalam pergumulan yang kronis dan tak henti-hentinya untuk mencapai lebih banyak dalam waktu yang lebih sedikit dan jika perlu melawan uapaya-upaya lain dari orang yang menentang.

  Ciri-ciri orang yang memiliki Kepribadian Tipe A:

  a) Selalu bergerak,berjalan dan makan secara cepat b) Merasa tidak sabar dengan nilai dimana kebanyakan kejadian terjadi.

  c) Berjuang untuk berfikir atau melakukan dua hal atau lebih secara terus menerus d) Tidak dapat mengatasi waktu untuk santai

  e) Terobsesi dengan jumlah, mengukur sukses dari segi berapa banyak yang mereka peroleh.

  Dalam posisi manajemen, tipe kepribadian A menunjukan persaingan mereka dengan bekerja menghabiskan waktu berjam-jam dan tidak jarang mengambil keputusan yang salah karena mereka membuatnya terlalu cepat. Tipe A juga jarang kreatif karena kesetiaan mereka dan kecepatan, meraka mengandalkan pengalaman masa lalu bila mereka menghadapi masalah.

  1.2 Tipe Kepribadian B Kontras dengan kepribadian tipe A adalah tipe B, yang persis sebaliknya. Orang tipe B jarang didorong oleh keinginan untuk memperoleh jumlah barang yang semakin meningkat atau partisipasi dalam rangkaian peristiwa yang bertumbuh dalam jumlah waktu yang terus menerus menurun.

  Ciri-ciri orang yang memiliki Tipe Kepribadian B (Robbins,2003)

  a) Tidak pernah merasa tertekan dengan perasaan terburu-buru karena keterbatasan waktu, dengan ketidaksabaran yang menyertai.

  b) Merasa tidak perlu memperlihatkan atau mendiskusikan keberhasilan mereka kecuali dalam keadaan terpaksa, karena adanya permintaan dari situasi yang ada.

  c) Bagaimana untuk bersenang-senang dan bersantai dibandingkan memperlihatkan superioritas mereka dengan pengorbanan yang seperti apapun.

  d) Dapat bersantai tanpa merasa bersalah

2.1 Faktor-faktor Pembentuk Kepribadian

  a. Faktor keturunan Faktor keturunan (biologis) berpengaruh langsung dalam pembentukan kepribadian seseorang. Beberapa factor biologis yang penting seperti system syaraf, watak, seksual dan kelainan biologis, seperti penyakit-penyakit tertentu.

  b. Faktor lingkungan fisik (geografis) Meliputi iklim dan bentuk muka bumi atau topografi setempat, serta sumber-sumber alam, Faktor lingkungan fisik (geografis) ini mempengaruhi lahirnya budaya yang berbeda pada masing-masing masyarakat. c. Faktor lingkungan sosial 1) Faktor keluarga, dimulai sejak bayi yaitu berhubungan dengan orangtua dan saudaranya 2) Lingkungan masyarakat yang beraneka ragam. Suatu warna yang harus ditegaskan dapat saja dianggap tidak perlu oleh anggota masyarakat lainnya.

  d. Faktor kebudayaan yang berbeda-beda Perbedaan kebudayan yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang misalnya kebudayaan di daerah pantai, pegunungang, kebudayaan petani, kebudayaan kota.

  Kebudayaan dan Pengaruhnya terhadap kepribadian Ciri-ciri dan unsur-unsur kepribadian seseorang individu dewasa sebenarnya sudah tertanam ke dalam jiwa seseorang anak sejak awal yaitu pada masa kanak-kanak melalui proses sosialisasi.

  Individu menggunakan konsep kepribadian didasarkan pada tiga alasan yaitu: a. untuk menyampaikan rasa kemantapan dan kesinambungan antar manusia.

  b. untuk menyampaikan rasa bahwa apa yang dilakukan oleh seorang individu merupakan keaslian dari tingkah laku mereka, dan c. untuk menyampaikan rasa bahwa inti dari seorang individu dapat dilihat dalam kualitas yang sedikit menonjol.

  Kepribadian dinilai sebagai suatu barang dagangan yang dijual atau ditukar untuk keberhasilan. Perasaan kita akan penghargaan, penilaian, dan kebanggaan tergantung pada bagaimana keberhasilan kita. Keberhasilan atau kegagalan tidak tergantung pada mengembangkan kapasitas-kapasitas produktif sampai pada tingkat yang sangat penuh, juga tidak pada integrasi, pengetahuan, atau ketrampilan-ketrampilan, melainkan pada bagaimana baiknya kita memproyeksikan diri kita pada orang-orang lain (Fromm, 1968).

  Seseorang yang berkepribadian memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap diri mereka sendiri.Mereka memahami dan menerima kekuatan dan kelemahan mereka serta menyadari potensi mereka sebagai manusia yang memiliki kemampuan (Perls, 1973).

  Seseorang dengan kepribadian baik mampu memikul tanggung jawab terhadap kehidupan mereka sendiri. Dalam hal itu, mereka “berdiri sendiri” dan tidak memindahkan tanggung jawab terhadap orang lain. Mereka sendiri yang bertanggung jawab atas apa yang membangun kehidupan mereka,untuk segala sesuatu yang mereka katakan, lakukan, rasakan, atau pikirkan (Prihanto, 1993).

  Kepribadian dipandang sebagai motif tingkah laku dan sistem tingkah laku. Kepribadian mencakup konsep yang didasarkan pada suatu keadaan, proses dan struktur psikologis yang menyebabkan suatu tingkah laku menjadi berarti (Bischoff, 1970). Perilaku manusia, baik disadari ataupun tidak disadari didasarkan pada motivasi tertentu yang merupakan kekuatan dinamis dan pengarah perilaku manusia (Prihanto, 1993). Orang- orang yang berkepribadian baik memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis secara kreatif dan produktif, sedangkan orang-orang yang berkepribadian kurang baik memuaskan kebutuhan-kebutuhan dengan cara irasional (Fromm, 1968). Sifat atau ciri merupakan bagian yang membentuk kepribadian dan merupakan petunjuk serta sumberkeunikan individu. Sifat atau ciri dapat diduga sebagai pengarah perilaku individu yang konsisten dan khas (Hasibuan, 2001).

  Ciri dan sifat merupakan suatu struktur mental yang nyata-nyata dimiliki oleh setiap orang dan tidak hanya berupa deskripsi yang dapat diamati dari luar. Suatu ciri dan sifat bersifat menetap dan sekaligus merupakan kecenderungan perilaku yang tampak keluar (Sugiyanto dan Sunaryo, 1980). Pengukuran skala kepribadian menggunakan cara umum diluar konteks atau dengan kata lain bahwa pengukuran skala kepribadian dilakukan dengan pengamatan langsung. Pengukuran kepribadian memperkirakan susunan kepribadian secara menyeluruh yaitu bahwa keadaan yang berbeda lebih stabil daripada keadaan yang khusus (Schmit dan Shoda, 1995).

2.3 Komitmen Organisasi Pengertian Komitmen Organisasi

  Menurut Allen dan Meyer (1991, dalam Satta, 2000) bahwa komitmen organisasi merupakan keterikatan secara psikologis yang didasarkan pada tiga bentuk (Three-Component Model of Organizational

  Commitment); affective, normative, dan continuance commitment .

  Karyawan yang komit terhadap organisasi akan menunjukan sikap dan prilaku yang positif terhadap lembaganya , karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap memilih organisasinya.

  Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas, maupun variabel mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya. Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi.

  Mowday, Porter, dan Steers (1982) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi. Sementara itu, Randall, Fedor, dan Longenecker (dalam Greenberg & Baron, 1993) menyatakan bahwa komitmen organisasi berkaitan dengan keinginan yang tinggi untuk berbagi dan berkorban bagi organisasi. Di sisi lain, komitmen organisasi yang tinggi memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absensi dan tingkat turnover (Caldwell, Chatman, & O’Reilly, 1990; Mowday dkk, 1982; serta Shore & Martin dalam Greenberg & Baron, 1993), juga dengan tingkat kelambanan dalam bekerja (Angle & Perry, 1981).

  2.3.1 Tipologi dan Definisi Komitmen Organisasi Meskipun istilah dan tipologi komitmen organisasi sudah mulai diperkenalkan oleh Etzioni pada tahun 1961, istilah ini semakin populer sejak tahun 1977 setelah dibahas oleh Staw & Salancik, yang mengajukan dua bentuk komitmen, yaitu komitmen sikap (attitudinal commitment) dan komitmen tingkah laku (behavioral commitment).

  Komitmen sikap adalah keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauhmana nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauhmana keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai komitmen afektif (Allen & Meyer, 1990) serta berfokus pada proses bagaimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi (Mowday dkk, 1982). Komitmen tingkah laku didasarkan pada sejauhmana karyawan menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian jika memutuskan melakukan alternatif lain di luar pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah lakunya terhadap organisasi (Miner, 1992).

  Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: the relative strength of an individual's identification with and

  involvement in aparticular organization. Definisi menunjukkan bahwa

  komitmen organisasi memiiki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.

  Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Mowday dkk ini bercirikan adanya: (1) Belief yang kuat serta penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) Kesiapan untuk bekerja keras; serta (3) Keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi.

  Komitmen ini tergolong komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.

  Komitmen organisasi cenderung didefinisikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan prilaku organisasi tiga sikap yaitu, rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada organisasi (Ferris dan Aranya dalam Trisnaningsih 2007:10). Komitmen organisasi ditunjukan dalam sikap penerimaan, keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, dan adanya dorngan yang kuat utuk mempertahankan keaonggotaan dalam organisasi demi tercapainya tujuan organisasi.

  2.3.2 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Komitmen Organisasi Menurut Van Dyne dan Graham (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah Personal, Situasional dan Posisi.

  1. Karakteristik Personal.

  Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komit. Ciri-ciri karakteristik lain : a) Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi.

  b) Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.

  c) Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.

  d) Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya. e) Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi.

2. Situasional.

  a) Nilai (Value) Tempat kerja.

  Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, Inovasi, Kooperasi, partisipasi dan “Trust” akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling berbagi dan memba- ngun hubungan erat. Jika para anggota/ karyawan percaya bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.

  b) Keadilan organisasi meliputi : Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya (Distributive Justice), keadilan dalam proses pengambilan keputusan (Procedural Justice), serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi (Interactional Justice).

  c) Karakteristik pekerjaan.

  Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi. d) Dukungan organisasi.

  Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan,respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi komit.

3. Positional. a ) Masa kerja.

  Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/ karyawan komitmen, hal ini disebabkan oleh karena : semakin memberi peluang anggota/ karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.

b) Tingkat pekerjaan.

  Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif terlibat

2.4 MASA KERJA

  Pengertian Masa Kerja Menurut Nitisemito (1996) senioritas atau

  sering disebut dengan istilah “length of service” atau masa kerja adalah lamanya seorang karyawan menyumbangkan tenaganya pada perusahaan tertentu. Sejauh mana tenaga kerja dapat mencapai hasil yang memuaskan dalam bekerja tergantung dari kemampuan, kecakapan dan ketrampilan tertentu agar dapat melaksanakan pekerjaanyan dengan baik.

  Masa kerja merupakan hasil penyerapan dari berbagai aktivitas manusia, sehingga mampu menumbuhkan keterampilan yang muncul secara otomatis dalam tindakan yang dilakukan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan dan masa kerja seseorang berkaitan dengan pengalaman kerjanya.

  Karyawan yang telah lama bekerja pada perusahaan tertentu telah mempunyai berbagai pengalaman yang berkaitan dengan bidangnya masing- masing, dalam pelaksanakan kerja sehari-harinya karyawan menerima berbagai input mengenai pelaksanaan kerja dan berusaha untuk memecahkan berbagai persoalan yang timbul, sehingga dalam segala hal kehidupan karyawan menerima informasi atau sebagai pelaku segala kegiatan yang mereka lakukan. Maka karyawan tersebut telah memperoleh pengalaman kerja.

  Dalam hubunganya dengan pengalaman kerja, Dessler (1997:138) Menyatakan untuk membantu karyawan mengindetifikasi dan mengembangkan potensi promosi mereka menuntut penilaian yang berorientasi karir. Penyedia dari karyawan diangkat dengan menghubungkan kinerja masa lalu dari karyawan dan kebutuhan pengembanganya dalam sebuah rencana karir yang formal.

  Dengan pengalaman ini orang secara sadar atau tidak sadar akan memiliki kecakapan teknis serta terampil dalam menghadapi pekerjaanya.

  Semakin banyak pengalaman seseorang tentang kemampuan teknis dan praktek dalam suatu bidang pekerjaan, akan dapat meningkatkan perestasi orang tersebut. Keunikan variable masa kerja adalah bahwa masa kerja ditentukan oleh rentang waktu, sehingga masa kerja karyawan ditentukan oleh waktu dimana mereka mulai bekerja.

2.5 Kerangka Pemikiran

  Penelitian ini akan mengungkap Pengaruh Kepribadian,Komitmen Organisasi dan Masa Kerja terhadap OCB Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sruweng. Berdasarkan ketiga variabel tersebut berpengaruh positif terhadap OCB.

  KEPRIBADIAN ( X )

  1 KOMITMEN OCB Y ) ( ORGANISASI ( X )

  2 MASA KERJA ( X )

  3 Gambar 1: Kerangka Pemikiran

2.6 Hipotesis

  Hipotesis merupakan anggapan dasar yang kemudian membuat suatu teori yang masih harus di uji kebenaranya.

  H1 : Kepribadian berpengaruh secara parsial terhadap Organizational

  Citizenship Behavior( OCB)

  H2 : Komitmen Organisasi berpengaruh secara parsial terhadap

  Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  H3 : Masa Kerja berpengaruh secara parsial terhadap Organizational

  Citizenship Behavior (OCB)

  H4 : Kepribadian, Komitmen Organisasi, dan Masa Kerja berpengaruh secara simultan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

10 127 140

Dampak Self-monitoring Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)

21 224 142

Perbedaan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Ditinjau dari Tipe Komitmen Karyawan terhadap Organisasi

4 39 76

Kepemimpinan Transformasional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dampaknya Pada Kinerja Organisasi

1 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR(OCB) 2.1.1 Definisi OCB - Pengaruh Locus of control (LOC) terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada Karyawan PTPN IV Unit Ajamu

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) - Pengaruh Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Karyawan PT. Perkebun

0 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) - Pengaruh Persepsi Dukungan Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior Karyawan Harian Waspada Medan

0 2 19

BAB II LANDASAN TEORI A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Defenisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) - Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

0 0 9

Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

1 4 13