BAB II LANDASAN TEORI A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Defenisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) - Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

BAB II LANDASAN TEORI A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Defenisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Bateman dan Organ pada 1983 merupakan tokoh yang pertama kali menggunakan istilah Organizational Citzenship Behavior (OCB) ini untuk menggambarkan konsep perilaku tersebut. Adapun definisi yang diberikan terhadap OCB adalah perilaku bemanfaat yang dilakukan oleh karyawan, secara bebas dari ketentuan atau kewajibannya dengan tujuan untuk membantu orang lain dalam mencapai tujuan organisasi (Bateman & Organ, 1983). OCB merupakan perilaku yang berkaitan dengan kontribusi di luar peran formal yang ditampilkan oleh seorang karyawan dan tidak mengharapkan imbalan atau hadiah formal dengan tujuan untuk mencapai tujuan dan efektivitas organisasi (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006).Misalnya menolong teman kerja untuk mengurangi beban kerja mereka, melakukan tugas yang tidak diminta tanpa mengharapkan imbalan, dan membantu menyelesaikan masalah orang lain.

  Organ (1988) juga mendefinisikan OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik pokok pemikiran bahwa

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan: a.

  Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi.

  b.

  Perilaku individu yang tidak diperintahkan secara formal.

  c.

  Tidak berkaitan secara langsung dan terang-terangan dengan system reward yang formal.

  Jadi dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku kontribusi di luar peran formal yang dilakukan secara sukarela yang tidak mengharapkan imbalan dan dapat memberikan keuntungan untuk organisasi.

2. Dimensi-dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Menurut Organ; Podsakoff; & Mackenzie (2006) bahwa terdapat tujuh dimensi dalam Organizational Citizenship Behavior, yaitu : a.

  Altruism

  Altruism adalah perilaku karyawan untuk membantu ataupun menolong

  rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi tanpa memikirkan keuntungan pribadi.

  b.

  Courtesy Memperhatikan dan menghormati orang lain, juga sifat menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar terhindar dari masalah interpersonal, atau membuat langkah-langkah untuk meredakan atau mengurangi suatu masalah. c.

  Conscientiousness Perilaku yang menunjukkan sebuah usaha agar melebihi harapan dari organisasi. Perilaku sukarela atau yang bukan merupakan kewajiban dari seorang karyawan.

  d.

  Sportsmanship Menekankan pada aspek-aspek perilaku positif terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa menyampaikan keberatan, seperti tidak suka protes, tidak suka mengeluh walaupun berada dalam situasi yang kurang nyaman, dan tidak membesar-besarkan masalah yang kecil.

  e.

  Civic Virtue Karyawan berpartisipasi aktif dalam memikirkan kehidupan organisasi atau perilaku yang menunjukkan tanggung jawab pada kehidupan organisasi untuk meningkatkan kualitas pekerjaaan yang ditekuni. Contoh perilakunya adalah ketika karyawan mau terlibat dalam permasalahan yang ada di organisasi dan tetap up to date dalam perkembangan organisasi. Karyawan yang bertindak secara proaktif untuk mencegah situasi negatif yang dapat mempengaruhi organisasi maka dapat dikatakan menampilkan civic virtue.

  f.

   Cheerleading

  Karyawan terlibat atau mengikuti perayaan prestasi dari rekan kerjanya (rendah hati). Dampaknya yaitu untuk memberikan penguatan positif bagi kontribusi positif, yang pada gilirannya akan membuat kontribusi tersebut lebih mungkin terjadi di masa depan (Organ; Podsakoff; & Mackenzie, 2006).

  g.

   Peacemaking

  Karyawan menyadari adanya masalah atau konflik yang akan memunculkan perselisihan antara dua atau lebih partisipan. Seorang

  peacemaker akan masuk kedalam permasalaha, memberikan kesempatan

  pada orang yang sedang memiliki masalah untuk berpikir jernih, dan membantu mencari solusi dari permasalahan (Organ; Podsakoff; & Mackenzie, 2006).

  Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006), berpendapat bahwa dimensi

  

altruism , courtesy, cheerleading, dan peacemaking dapat digabung menjadi satu

  dimensi yaitu dimensi helping behavior karena berkaitan dengan perilaku menolong orang lain dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada serta menyangkut pekerjaan di organisasi. Oleh karena itu maka pengukuran OCB dapat dilakukan dengan menggunakan empat dimensi saja yaitu helping behavior,

  conscientiousness , sportsmanship, dan civic virtue.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Ada beberapa faktor yang melandasi seorang karyawan melakukan OCB, diantaranya : a.

  Kepuasan Kerja Seorang karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada organisasi tempatnya bekerja akan cenderung menunjukkan performa kerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan organisasinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada korelasi yang negatif antara OCB dengan perilaku counterproductive karyawan (Robbins & Judge, 2007). OCB hanya dapat dicapai jika didukung oleh faktor dalam organisasi memungkinkan hal itu, dimana yang paling utama adalah adanya kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan selama bekerja dalam organisasi. Dennis Organ sebagai tokoh penting yang mengemukakan OCB, menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan membalas kenyamanan bekerja yang dirasakannya kepada organisasi yang telah memperlakukan dirinya dengan baik dan memenuhi kebutuhannya selama ini dengan cara melaksanakan tugasnya secara ekstra melebihi standar yang ada. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan karyawan dalam berbagai bentuk perilaku OCB secara sukarela demi kemajuan perusahaannya (George & Jones, 2002).

  b.

  Keadilan Karyawan harus merasa diperlakukan secara adil oleh organisasi baru ia akan menunjukkan perilaku OCB. Hal ini termasuk juga bahwa karyawan dapat merasakan prosedur kerja dan hasil kerja yang diperolehnya adalah sesuatu yang adil. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keadilan dengan OCB. Tampaknya keadilan procedural berpengaruh pada karyawan, yaitu mempengaruhi dukungan organisasi yang mereka rasakan dan selanjutnya mendorong mereka untuk membalas dengan OCB, yakni melakukan tugas di luar persyaratan kerja tertentu (Luthans, 2006).

  c.

  Motivasi Intrinsik OCB muncul sebagai perwujudan dari motivasi intrinsik yang ada dalam diri seseorang, misalnya motivasi dari dalam diri dalam bekerja hanya untuk Allah SWT sehingga etos kerja pun meningkat. Harsono dan Santoso (2006) menyatakan etos kerja sebagai semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu, misalnya norma agama.

  d.

  Gaya Kepemimpinan Dukungan dan gaya kepemimpinan atasan sangat mempengaruhi munculnya OCB pada karyawan, hal ini dapat dipahami melalui proses modeling ataupun vicarious learning yang dilakukan oleh atasan yang kemudian menginspirasi para karyawan untuk melakukan juga OCB, sehingga atasan dapat menjadi agen model OCB. Namun hal ini harus didukung juga dengan kualitas interaksi yang baik antara atasan dan bawahannya. Dengan begitu, atasan akan berpandangan positif terhadap bawahan, sebaliknya bawahan pun akan merasa bahwa atasannya memberi dukungan dan motivasi sehingga mereka akan menunjukkan rasa hormat dan berusaha berbuat lebih bagi organisasinya (Gibson, 2003). e.

  Budaya dan Iklim Organisasi Iklim organisasi didefinisikan sebagai pendapat karyawan terhadap keseluruhan lingkungan sosial dalam perusahaannya yang dianggap mampu memberikan suasana mendukung bagi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan bagaimana sejumlah subsistem dalam organisasi berinteraksi dengan karyawan lain serta lingkungan eksternalnya. Menurut Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) terdapat bukti-bukti kuat yang mengemukakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu kondisi yang dapat memunculkan

  Organizational Citizenship Behavior di kalangan karyawan.

  f.

  Jenis Kelamin Studi terbaru menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kinerja OCB. Perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan bekerja sama lebih menonjol dilakukan oleh wanita daripada pria. Oleh karena itu, perilaku OCB lebih menonjol dilakukan oleh wanita disbanding pria karena mereka merasa bahwa OCB merupakan bagian dari kewajiban pekerjaan dan bukanlah suatu tugas ekstranya (Luthans, 2006).

  g.

  Masa Kerja Karyawan yang telah lama bekerja di suatu organisasi akan memiliki keterikatan yang lebih mendalam, baik dengan organisasi maupun dengan rekan kerjanya sehingga individu memiliki orientasi kolektif dalam bekerja. Dengan kata lain, mereka akan lebih mengutamakan kepentingan bersama dibanding ambisi pribadinya sehingga mereka lebih cenderung bersedia menolong rekan kerjanya dan berbuat lebih terhadap pencapaian organisasi (Konovsky & Pugh, 2002).

  h.

  Persepsi terhadap dukungan organisasional Karyawan yang mempersikan bahwa mereka didukung oleh organisasi akan memberikan timbal balik terhadap organisasi dengan memunculkan perilaku organizational citizenship (Shore & Wayne, 1993).

4. Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap Organisasi

  Melalui sejumlah riset, OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah berikut ini, yaitu (Organ ,dkk, 2006) : a.

  OCB dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja b.

  OCB juga mampu meningkatkan produktivitas manajer c. OCB dapat menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan d.

  OCB menjadi sarana yang efektif untuk mengkordinasi kegiatan tim kerja secara efektif e.

  OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk merekrut dan mempertahankan karyawan dengan kualitas performa yang baik f.

  OCB dapat mempertahankan stabilitas kinerja organisasi g.

  OCB membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

B. Religiusitas

1. Definisi Religiusitas

  Secara bahasa religiusitas (religiosity) berasal dari kata religios (religious), religius merupakan kata sifat (adjective) dari religion. Menurut kamus Oxford, kata religion memiliki dua definisi, pertama,

  “belief in and worsip of God or gods.

  ” yaitu sebuah kepercayaan dan peribadatan pada Tuhan atau dewa-dewa. Kedua,

  “particular system of faith and worship based on such belief.” yaitu bagian dari system kepercayaan dan peribadatan yang berdasarkan keyakinan.

  Adapun kata religious menurut defenisi kamus Oxford adalah

  “adjective of religion , (religious) of a person believing in and practicing religion.” yaitu sifat

  keagamaan yang ada pada seseorang atau keberagaman seseorang dalam meyakini dan mengamalkan agama.

  Menurut Fetzer (1999) religiusitas adalah sesuatu yang lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Oleh karena itu doktrin yang dimiliki setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.

  Dalam pengertian Glock dan Stark (1966) yang dikutip oleh Jamaludin Ancok religiusitas adalah system symbol, system keyakinan, system nilai, dan perilaku yang terlambangkan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

  Mujib (2006) menjelaskan bahwa religiusitas adalah kemampuan individu untuk menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Menurut Nashori dan Mucharam (2002) religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang muslim, religiusitas dapat diketahui dari seperapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.

  Dari beberapa defenisi tersebut diatas, maka religiusitas dalam penelitian ini merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama Islam yang mendorongnya untuk bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama Islam.

2. Dimensi Religiusitas

  Dalam sebuah laporan yang berjudul Multidimensional Measurement

  

Religiusness, Spiritually For Use in Health Research oleh Fetzer (1999)

  menjelaskan bahwa terdapat 12 dimensi religiusitas yaitu : pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experiences), makna beragama (meaning), nilai-nilai beragama (values), keyakinan (beliefs), pengampunan (forgiveness), praktek keberagamaan individual (private religious), pengaruh beragama (religious/spiritual coping), dukungan agama (religious support), riwayat beragama (religious/spiritual history), komitmen beragama (commitment), pengorganisasian agama (organizational religiousness), pilihan terhadap agama (religious preference).

  a.

  Pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experiences).

  Dimensi ini merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan dampak menjalankan agama (pengalaman spiritual) dalam kehidupan sehari-hari. Secara terperinci dimensi ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang yang melihat komunikasi dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Allah SWT.

  b.

  Makna Beragama (meaning)

  

Meaning adalah pencarian makna tentang agama Islam dari kehidupan dan

  berbicara mengenai pentingnya makna atau tujuan hidup tersebut sebagai bagian dari fungsi penting untuk mengatasi hidup atau unsur kesejahteraan psikologis.

  c.

  Nilai-nilai Beragama (values)

  

Values adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti

  mengerjakan tentang nilai saling menolong, saling melindungi dan sebagainya. Nilai-nilai agama tersebut mengatur tata kehidupan manusia untuk mencapai ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan.

  d.

  Keyakinan (beliefs) Konsep belief merupakan sentral dari religiusitas. Dalam bahasa Indonesia disebut keimanan yakni, kebenaran yang diyakini dengan nilai dan diamalkan dengan perbuatan. Keyakinan dan kecintaan kepada agama merupakan karakter dasar dan ciri khas ekspresi kesadaran bawah sadar seseorang yang mengimani ajaran agama tersebut.

  e.

  Pengampunan (forgiveness) Secara harfiah forgiveness adalah memaafkan, yakni suatu tindakan yang bertujuan unttuk memberi maaf bagi orang yang melakukan kesalahan dan berusaha keras untuk melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan dan cinta.

  f.

  Praktek Keberagamaan Individual (private religious practices) Menurut Fetzer (1999) private religious practices merupakan perilaku beragama dalam mempelajari agama meliputi ibadah, mempelajari kitab suci, dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Secara mendasar dimensi ini dapat dipahami untuk mengukur tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan ritual agama Islam. Dimensi ini mencakup perilaku beribadah, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap ajaran agama Islam.

  g.

  Pengaruh Beragama (religious/spiritual coping) Fetzer (1999) menawarkan pola religious/spiritual coping yang merupakan

  

coping stress guna mengatasi kecemasan, kegelisahan dan stress. Hal ini

  dilakukan dengan cara berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress dan sebagainya. Sehingga Islam benar-benar menjadi cara coping ketika menghadapi masalah.

  h.

  Dukungan Agama (religious support)

  

Religious support adalah aspek hubungan sosial antar individu dengan

  pemeluk agama sesamanya. Dalam islam hal semacam ini sering disebut dengan Ukhwah Islamiyah. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin dicapai masyarakat. i.

  Riwayat Beragama (spiritual religious/spiritual history)

  Religious/spiritual history merupakan seberapa jauh individu

  berpartisipasi untuk agama Islam dalam hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya. j.

  Komitmen Beragama (commitment) Konsep commitment adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agama Islam (Williams,1994;Fetzer,1999). k.

  Pengorganisasian Agama (organizationan religiousness)

  Organizational religiousness yaitu memandang sejauh mana individu

  membuat pilihan dan memastikan pilihan agamannya. (Idler,1999; Fetzer, 1999) l. Pilihan Terhadap Agama (religious preference)

  Konsep religious preference bisa diartikan sebagai pijakan untuk menentukan sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan agama yang dianutnya. Contoh dari religious preference bagi umat Islam adalah menjalankan jihad. Kata jihad sering dimaknai sebagai perjuangan dan biasanya digunakan dalam Al-quran sebagai kata kerja: kaum Muslim didorong untuk berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah.

  Selain itu (Glock dan Stark, 1965;Ancok & Suroso, 1995) membagi dimensi religiusitas menjadi lima dimensi, kelima dimensi tersebut yaitu : a.

  Dimensi keyakinan Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang yang religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat.

  Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.

  b.

  Dimensi praktik agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu : a) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua para pemeluk mengharapkan para pemeluk melaksanakan.

  b) Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. c. Dimensi pengalaman Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esesnsi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

  d.

  Dimensi pengetahuan agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar- dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar- benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. e.

  Dimensi pengamalan atau konsekuensi Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke h ari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Fetzer (1999) dalam melakukan penelitian ini.

C. Guru Muslim

  Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

  Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa guru adalah pendidik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.

  Tugas guru sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang Guru

  Pasal 52 ayat (1) mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok. Dalam penjelasan Pasal 52 ayat (1) huruf (e), yang dimaksud dengan “tugas tambahan”, misalnya menjadi Pembina pramuka, pembimbing kegiatan karya ilmiah remaja, dan guru piket. Sehingga guru muslim adalah guru beragama Islam yang tugasnya merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik.

D. Dinamika Hubungan Religiusitas dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku yang

  berkaitan dengan kontribusi di luar peran formal yang ditampilkan oleh seorang karyawan dan tidak mengharapkan imbalan atau hadiah formal dengan tujuan untuk mencapai tujuan dan efektivitas organisasi (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006). Menurut Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) bahwa terdapat dimensi-dimensi dalam Organizational Citizenship Behavior, yaitu :

  helping behavior , conscientiousness, sportsmanship, dan civic virtue.

  Di dalam dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya orang yang melakukan OCB akan berkerja tanpa ada paksaan, bertanggung jawab, dan giat dalam setiap aktifitas pekerjaan. Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Orang yang beragama disebut juga orang yang religius. Menurut Fetzer (1999) religiusitas adalah sesuatu yang lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Oleh karena itu doktrin yang dimiliki setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya. Selain itu Mujib (2007) menjelaskan bahwa religiusitas adalah kemampuan individu untuk menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. maka religiusitas dalam penelitian ini merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mendorongnya untuk bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

  Beberapa penelitian juga menguji pengaruh religiusitas. Penelitian (Saputro, 2006; Wahyudin dkk, 2013) menguji pengaruh religiusitas mahasiswa terhadap perlaku sukerela (altruis). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa mahasiswa yang religius akan selalu berusaha melakukan perbuatan baik secara sukarela seperti menolong orang lain atau mencintai orang lain. Hal ini juga sesuai dengan penelitian (Benson, 2004;Wahyudin, dkk., 2013) yang menemukan bahwa mahasiswa yang mempunyai komitmen religius yang tinggi menghabiskan waktu kerja sukarela.

  Selain itu penelitian Haryati (2013) juga menyebutkan religiusitas memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa perawat yang memiliki religiusitas yang tinggi maka akan meningkatkan perilaku prososial yang meliputi peduli terhadap orang lain untuk berbagi, bekerja sama, menolong serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain dengan suka rela. Kemudian Bakhri (2011) menyatakan religiusitas berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Religiusitas akan membuat karyawan lebih memiliki motivasi dalam berprestasi karena memang motivasinya hanya tertuju kepada Allah SWT.

  Dari beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwasannya religiusitas dapat mempengaruhi perilaku altruism, perilaku kerja secara sukarela, prososial dan motivasi dalam beprestasi. Dimana di dalam dimensi OCB kita dapat menemukan hal tersebut. Artinya, orang-orang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan senantiasa melakukan perilaku altruism, kerja suka rela, prososial, dan termotivasi dalam berprestasi.

E. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif religiusitas terhadap Organizational Citizenship

  Behavior (OCB) pada guru muslim. Sehingga religiusitas berkonstribusi terhadap peningkatan Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada guru muslim.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Karyawan PT. Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Limau Mungkur Medan

5 85 136

Perbedaan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Ditinjau dari Tipe Komitmen Organisasi dan Jenis Kepribadian Big-five pada Karyawan PT X

2 81 94

Pengaruh Religiusitas Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Guru Muslim

10 127 140

Dampak Self-monitoring Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)

21 224 142

Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Pada Karyawan Auto2000 Cabang Gatot Subroto Medan

1 28 91

Perbedaan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Ditinjau dari Tipe Komitmen Karyawan terhadap Organisasi

4 39 76

Hubungan antara lklim organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) guru dan tenaga kependidikan di SDIT AL-QALAM Depok

0 9 100

Kepemimpinan Transformasional dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dampaknya Pada Kinerja Organisasi

1 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) - Pengaruh Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Karyawan PT. Perkebun

0 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) - Pengaruh Persepsi Dukungan Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior Karyawan Harian Waspada Medan

0 2 19