PERTIMBANGAN M A J E L I S HAKIM PENGADILAN AGAMA K E L A S IA P A L E M B A N G DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI BAGI PEGAWAI N E G E R I SIPIL
P E R T I M B A N G A N M A J E L I S H A K I M PENGADILAN AGAMA K E L A S IA
P A L E M B A N G D A L A M MENGABULKAN PERMOHONAN I Z I N
P O L I G A M I BAGI P E G A W A I N E G E R I S I P I L
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Sa u Syarat
Unstuck Memperoleh Gelar Sarjans Hukum
Oleh:
B E L L A ARWINILITA
NIM. 502012041
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH P/^.LEMBANG
PALEMBANG
2016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
F A K U L T A S HUKUM
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
:PERTIMBANGAN
Judul Skripsi
PENGADILAN
AIAM
IVIAJELIS
HAKIM
AGAMA KELAS I A PALEMBANG
MENGABULKAN
PERMOHONAN
IZIN
. JUGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Namt
NIM
: Bella Arwinilita
: 50 2012 041
Program Studi
: Ilmu Hukum
Program Kekhususan
: Hukum Perdata
PEMBIMBING:
Hj.Yuliar Komariah, SH.,MH
Palembang,
April 2016
P E R S E T U J U A N O L E H T I M PENGUJ^:
Ketua
: Dr. H. Erli Sarlia, SH.,MH
Anggota
: HJ. Nursimah, S£.,SH.»MH
Hj. Fatimah Zuhro, SH.,CN.,MH
(..
M
LEMBANG
UNIVE
l A T I , SH.,M.Hum.
ii
PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI
Pendaftaran S k r i p s i Sarjana Fakultas H u k u m Universitas Muhaniniadiyali
Palembang
Strata 1 bagi :
NAMA
: BELLA ARWINHJIA
NIM
: 502012041
PRODI
: ILMU HUKUM
JUDUL S K R I P S I
:PERTIMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN
AGAMA
KELAS
I
A
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN P O L I G A M I
MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.l TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN.
Dengan diterimanya skripsi ini, sesudah lulus dari Ujian Komprehensif, penulis
berhak memakai gelar:
SARJANA H U K U M
Diketahui
Dosen Pembimbing
Dekan
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah i n i ;
Nama
BELLA ARWINILITA
Nim
502012041
Tempat tanggal lahir
Tanjungpandan Belitung, 13 januari 1995
Program Studi
Ilmu Hukum
Program Kekhususan
Hukum Perdata
Menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi saya yang berjudul :
PERTIMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN AGAMA K E L A S I
A
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN
IZIN
POLIGAMI BAGI PEGAWAI N E G E R I SIPIL.
Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian
maupun
keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah kami sebutkan sumbemya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan apabila
pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.
Palembang,
April 2016
!fang_menyatakan
iv
MOTTO:
Sesungguh nya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan ( menyuruh kamu )
apabila menetapkan hukumdi antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil sesungguh nya Allah lagi maha
mendengar lagi maha melihat
(Q.SAn-Nisaa:
58)
Skripsi ini Kupersembahkan kepada:
1. ALLAH SWT
2. Kedua orang tuaku tercinta Papa Rachman dan Mama
Winarni yang selalu menyayangiku dan untuk semua
pengorbanan tak terhingga yang telah diberikan.
3. Untuk adikku tersayang MeiHza Bellianda
4. Almamaterku
V
ABSTRAK
PERTLMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN AGAMA K E L A S
lA PALEMBANG DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI B A G I PEGAWAI N E G E R I SIPIL
B E L L A ARWINILITA
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (suami)
terhadap beberapa perempuan (istri) dalam waktu bersamaan. Pelaksanaan
poligami itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat sebelum dilakukan. Pada
dasarnya poligami ini menjunjung tinggi keadilan serta kepatian hak yang
diperoleh istri dan anak-anak dari suaminya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaturan hukum tentang
dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami bagi PNS
serta mengkaji bagaimana Majelis hakim menghadapi kendala yang terjadi dalam
mengambil putusan terhadap izin poligami bagi PNS tersebut. Penelitian yang
dilakukan adalah penelitian hukum sosiologis yang diambil data primer dengan
melakukan wawancara dan data sekunder dengan mengolah data dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami bagi PNS tersebut yaitu
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil , UU RI Nomor 50 Tahun
2009 (Perubahan Kedua atas UU RI No.7 Tahun 1989) tentang Peradilan Agama,
KHI ( Kompilasi Hukum Islam), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang nomor 1
tahun 1974tentang perkawinan, agar putusan Majelis hakim tersebut mencapai
keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum yang sebenarbenamya.
Serta kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS yaitu dalam hal kepastian suami yang wajib memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anaknya, padahal suami tersebut sebenamya tidak
mampu secara financial. Dalam hal izin dari istri pertama yang dimanipulasi oleh
suami, setelah dibuktikan dipersidangan hal tersebut tidak benar adanya.
Seharusnya diperlukan upaya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkaji setiap
peristiwa sosial di masyarakat, salah satunya poligami ini sendiri yang
menjunjung tinggi keadilan terhadap anak dan islrinya, agar menghindari
terjadinya perceraian.
Kata kunci: Perkawinan, Poligami, kajian hukum
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kchadirat Allah SWT. Yang telah
meiimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :
" P E R T I M B A N G A N M A J E L I S H A K I M P E N G A D I L A N AGAMA
KELAS
IA
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN IZIN P O L I G A M I M E N U R U T UNDANG-UNDANG
NO.l TAHUN 1974 T E N T A N G P E R K A W I N A N "
Maksud dan tujuan penyusunan dan penulisan skripsi ini yakni
sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya
tidak luput dari kesalahan serta masih jauh dari sempuma, oleh karena itu
saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
tercapainya kesempumaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini juga, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penulis, baik secara moril maupun materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. untuk itu ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada yang lerhormat:
Vfj
1.
Bapak
Dr. Abid
djazuli,
SE..MM, selaku Rektor
Universitas
Muhammadiyah Palembang.
2.
Ibu Dr. Sri Suatmiati, SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
3.
Bapak/ Ibu Wakil Dekan I , I I , III, I V Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang.
4.
Bapak Mulyadi Tanzili, SH.,MH, selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang.
5.
Ibu Hj. Dra. Lilies Anisah, SH.,MH, selaku Penasehat Akademik
yang selalu membimbing penulis.
6.
Ibu Hj. Yuliar Komariah, SH.,MH, selaku Pembimbing Skripsi yang
telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan
skripsi ini.
7.
Bapak/Ibu
Dosen
beserta
staf
karyawan/ti
Fakultas
Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang, yang telah mcmberikan
bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna.
8.
Terima kasih kepada Hakim Pengadilan Agama Palembang yang
telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian khususnya
kepada Ibu Sri Wahyuningsih dan Bapak Rusyidi, An., yang telah
membimbing
saya
dengan
baik
lapangan.
viii
kctika melakukan
penelitian
9.
Papa Rachman dan Mama Winarni, Adikku tersayang Meiliza
Bellianda, Saudaraku Dama Magdalena, dan Solahuddin.SH. yang
selalu berkorban dengan sangat ikhlas dan mendoakan penulis serta
selalu ada disaat penulis membutuhkannya.
10.
Sahabat-sahabat terbaik dan seperjuangan Ade Kusuma Dwitama,
SP., Intan Iskandar, Puput Mardiah, Azharoini awaliani, D w i Astuti,
Nur Aziza, Ade Fitriyani, dan teman satu angkatan lainnya.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi
ini. Semoga
menjadikan
segala
bantuan
materiil
dan
moril
yang telah
skripsi ini dapat selesai dengan baik sebagai salah satu
persyaratan untuk menempuh ujian skripsi, semoga kiranya Allah SWT.
Meiimpahkan pahala dan rahmat kepada mereka.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Palembang, April 2016
Penulis,
BELLA ARWINILITA
ix
DAFTARISI
Halaman
i
H A L A M A N DEPAN
H A L A M A N PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
ii
H A L A M A N PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI
iii
PERNYATAAN ORISINAITAS SKRIPSI
iv
H A L A M A N MOTTO dan PERSEMBAHAN
v
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
X
BAB I
BAB I I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah
5
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
5
D. Kerangka Konseptual
6
E. Metode Penelitian
7
F. Sistematika Penulisan
8
TINJAUAN PUSTAKA
A, Pengertian Perkawinan Dan Poligami
10
1. Pengertian Perkawinan
10
2. Pengertian Poligami
13
B. Asas-Asas Perkawinan dan Syarat-Syarat Sahnya Suatu
Perkawinan
16
1. Asas- Asas Perkawinan dalam Undang-Undang
X
Perkawinan
16
2. Asas-asas perkawinan menurut Hukum Adat
17
3. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
19
C. PROSEDUR BERPOLIGAMI
33
1. Alasan Berpoligami
33
2. Syarat-Syarat Berpoligami
33
3. Prosedur Poligami
35
4. Sanksi Pidana Tentang Poligami Tanpa Izin Pengadilan
Agama
36
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
D. PENGERTIAN HAKIM
38
40
E. TUGAS DAN KEWAJIBAN SEORANG HAKIM. .. 42
1. Kewenangan Hakim (Hak dan Kewajiban)
BAB III
42
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Permohonan Izin Poligami
47
B. Kendala Hakim dalam Memberikan Pertimbangan Terhadap
Putusan Poligami
BAB JV
54
PENUTUP
A. Kesimpulan
62
B. Saran
62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dalam dua jenis yaitu
laki-laki dan perempuan, hal ini menyebabkan keduanya saling berinteraksi satu
sama lain, saling melengkapi, dan saling membina hubungan. Hubungan antara
laki-laki dan perempuan tersebut menyebabkan adanya hubungan yang lebih
bersifat khusus antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan dibentuknya
suatu rumah tangga atas dasar suatu pemikahan guna melanjutkan keturunan
sehingga terbentuklah suatu keluarga yang besar (family). Hubungan khusus
antara manusia yang berlainan jenis dikenal oleh masyarakat sebagai hubungan
dalam "perkawinan".
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 memuat tentang
pengertian perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga)
yang
bahagia
dan
kekal
berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa. Perkawinan adalah masalah yang kompleks dipandang dari segi kehidupan
masyarakat, segi agama, maupun dari segi hukumnya, mengingat perkawinan
merupakan panggilan fitrah dan tabiat manusia sebagai makhluk Tuhan yang
dilengkapi dengan akal pikiran, rasa, dan hasral atau nafsu. Suatu perkawinan
yang dilakukan diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga keluarga yang kekal
dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya keluarga
mempakan bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena keluarga
1
2
merupakan susunan masyarakat yang terkecil. Masalah keluarga juga merupakan
masalah masyarakat, sebab masalah-masalah yang lahir di lingkungan keluarga
juga akan dirasakan akibatnya oleh masyarakat.
Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya
menganut asas monogami, artinya seorang laki-laki hanya boleh beristeri satu
saja, namun tetap dibuka kemungkinan untuk poligami dengan alasan dan syarat
tertentu. Pasal 3 Undang-undang perkawinan menyebutkan :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai
seorang suami
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
"Poligami atau menikahi lebih dari seorang isteri bukan merupakan
masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara
berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia, kata poligami di ambil
dari bahasa yunani dalam secara etimologi berasal dari kala poli atau polus yang
artiny banyak dan gamein atau gamosyang berarti perkawinan".'^
Dasar hukum perkawinan di Indonesia sendiri sebagaimana dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan maka terdapat
beberapa syarat / prosedur poligami :
' M . Hasyim Assegaf. 2000. Derita Putri-Putri Nabi. Bandung; P T Remaja Rosdakarya,
halaman 29
3
1. Pasal 3 ayat (1) pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
2. Ayat (2) Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dan seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
3. Pasal 4 ayat (1) dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanya memberikan izm kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila:
(a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibarmya sebagai isteri
(b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
(c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan,
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1)
untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
(a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
(b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
4
(c) adanya Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
Pasal 4 Ayat (2) persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri nya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Pada asas monogami yang telah di Jelaskan bahwa tidak berlaku mutlak
karena dalam keadaan tertentu poligami diperbolehkan apabila agamanya
mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan tidak
dilakukan secara sewenang-wenang, harus dilakukan di depan sidang pengadilan
berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan. Maka dibenarkan apabila seorang
suami beristeri lebih dari satu orang, hal tersebut secara tegas dijelaskan dalam
penjelasan umum Undang-undang Perkawinan tersebut, bahwa : "Undang-undang
ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan inengizinkannya, seorang suami
dapat beristeri lebih dari satu orang. Poligami dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Masyarakat lebih mengenai bentuk perkawinan islam dari pada apa yang
diatur dalam Undang-undang perkawinan. Kurangnya pengetahuan tersebut tentu
akan berpengaruh pada kesadaran hukum masyarakat, mengingat salah satu
prasyarat tumbuhnya kesadaran hukum tersebut adalah adanya pengetahuan dari
masyarakat tentang hukum itu sendiri.
5
"Tentang hakim yang masih bersifat tradisionalis seperti ini, bahwa
sebenamya tidak sepenuhnya demikian. Keragaman dan konteks historis Peradilan
islam di Indonesia, yang notabene beriringan dengan penerapan hukum islam
justru menjadikan para hakim berbeda-beda dalam menyikapi poligami. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain."^^
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan
menyusun
nya
dalam
bentuk
skripsi
dengan
judul "PERTEVIBANGAN
M A J E L I S H A K I M PENGADH^AN AGAMA K E L A S I A PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
BAGI
P E G A W A I N E G E R I S I P I L (PNS)".
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang pada uraian di atas maka permasalahan dalam
skripsi ini adalah :
1. Apa dasar hukum dan
pertimbangan
hakim dalam
mengabulkan
permohononan izin poligami bagi PNS?
2. Apa saja kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Penulisan skripsi ini dititik beratkan pada penelitian apa dasar hukum dan
bagaimana
pertimbangan hakim dalam mmengabulkan permohonan
izin
poligami bagi PNS serta apa saja kendala hakim dalam memberikan
pertimbangan terhadap putusan poligami bagi PNS, dengan melakukan studi
^' Ahmad Tholabi Kharlie 2013 Huhim keluarga Indonesia. Jakarta timur: sinar grafika,
halaman 224
6
lebih mendalam terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pertimbangan
majelis hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami, tanpa menutup
kemungkinan menyinggung persoalan-persoalan
lain
yang
berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mencan kejelasan terhadap
permasalahan yang berkaitan dengan :
1. Dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami
bagi PNS
2. Kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS
D. Kerangka Konseptual:
Sejalan dengan judul penelitian diatas maka
yang akan dibahas sebagai
kerangka konseptual penelitian ini adalah :
1) Pertimbangan adalah pendapat baik dan buruk, atau kemampuan untuk
mengadakan perhitungan sebelum melakukan suatu pekerjaan."*^
2) Hakim adalah aparat penegak hukum atau pejabat peradilan negara
yang
diberikan
wewenang
berdasarkan
Undang-undang
untuk
mengadili dan memutus suatu perkara.''^
3) Pengadilan
Agama kelas
l A adalah
Pengadilan
Agama (biasa
disingkat: PA) adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan
Dalam http: // kamusbahasaindonesia.org/pertimbangan/mirip, diakses tanggal 9
November 2015
''^Dalam http: //panjimhs.xtgem com/files/pengertian+haklm html, diakses tanggal 9
November 2015
7
kekuasaan
kehakiman
di
lingkungan
Peradilan
Agama
yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.^*
4) Mengabulkan
adalah
meluluskan,
mengizinkan atau
memenuhi
permintaan.^^
5) Permohonan adalah permintaan kepada orang yang lebih tinggi
kedudukannya.^'
6) Izin
adalah
pernyataan
mengabulkan
(tidak
melarang)
atau
membolehkan.'*'
7) Poligami
adalah
memiliki/mengawini
ikatan
perkawinan
beberapa
yang
lawan jenisnya
salah
di
satu
pihak
waktu
yang
bersamaan.^'
8) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai
Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.'^'
E. Metode Penelitian
Dalam https //id.m wikipedia org/wiki/PengadHan_Agama, diakses tanggal 9
November 2015
"•^ Dalam http: //www.kamusbesar.com/67899/mengabulkan, diakses tanggal 9 November
2015
Dalam http; //m,artikata.coni/arti-37I899-permohonan.html, diakses tanggal 9
November 2015
Dalam http: //kbbi.web.id/izin, diakses tanggal 9 November 2015
'''Dalam htlps //id m wikipedia.org/wiki/poligami, diakses langgai 9 November 2015
10) Dalam https: http://wikipns com/apa-pengertian-pns/. diakses tanggal 9 November 2015
8
Penelitian ini merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten."^
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Sosiologi atau Empiris adalah
berusaha melihat terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan terhadap
efektivitas hukum.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Penelitian Kepustakaan,
dalam
memperoleh
data
sekunder
guna
mempelajari serta menelaah beberapa bahan bacaan yang ada kaitarmya
dengan permasalahan yang ada.
2.
Penelitian Lapangan, dalam usaha memperoleh data primer dengan cara
penulis melakukan penelitian dengan metode wawancara langsung dengan
respoden yaitu ; Hakim Pengadilan Agama kelas 1A Palembang.
Setelah data berhasil penulis kumpulkan, maka teknis pengolahan data
dilakukan dengan cara menganalisis isi yang diperoleh dan penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan untuk selanjutnya dikontruksikan
kedaiam suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Soerjono Soekanto dkk, Peneliiian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Siugkat). Jakarta:
Raja Grafindo Persada), halaman 1
9
Penulisan Skripsi ini terdiri dari 4 (Empat) bab, tidak terhitung kata pengantar,
daffar puslaka, maupun lampiran, antara lain ;
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, ruang lingkup dan tujuan penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian dari kata-kata kunci yang
berhubungan dengan judul dan perumusan permasalahan sehingga dicapai
tujuan dari penelitian. Kata-kata kunci tersebut Pengertian Tentang Perkawinan
dan Poligami, asas dan syarat perkawinan, prosedur poligami, pengertian dan
tugas serta kewajiban seorang hakim.
BAB i n PEMBAHASAN
Dalam bab ini disampaikan hasil peneliian mengenai Pertimbangan Majelis
Hakim
Pengadilan
Agama Kelas
l A Palembang
Dalam Mengabulkan
Permohonan Izin Poligami bagi PNS dan kendala hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami tersebut.
BAB I V PENUTUP
Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian yang
dilakukan dan berisi saran-saran berupa sumbangan pcmikiran berdasarkan
kesimpulan terutama yang berkaitan dengan Pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Kelas la Palembang Dalam Mengabulkan Permohonan Izin
Poligami bagi PNS.
BABU
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENGERTLAN PERKAWINAN DAN P O L I G A M I
1.
Pengertian Perkawinan
Ikatan yang halal antara dua lawan jenis menurut islam adalah perkawinan,
yang sah apabila setelah diucapkan nya janji (akad) oleh kedua mempelai. Dari
perkawinan tersebut akan timbul hubungan suami-istri dengan tujuan untuk
memiliki keturunan sehingga timbul hubungan hukum.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan menurut hukum islam, berdasarkan pasal 2
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat
kuat untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Berdasarkan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan itu bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Perkawinan yang diatur dalam Undang-undang secara umum meliputi
asas-asas perkawinan, pengertian perkawinan sahnya perkawinan, putusnya
perkawinan dan sebab akibatnya, kedudukan keluarga dalam perkawinan dan
bentuk perkawinan.
"Perkawinan menurut Sajuti Thalib adalah perjanjian suci membentuk
keluarga antara laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini
10
11
untuk memperiihatkan segi kesenjangan dari perkaivinan serta menampakkannya
pada masyarakat
ramai. Sedangkan
sebutan
suci
untuk pernyataan
segi
keamanannya dari suatu perkawinan." '^^
Menurut hukum adat perkawinan pada umunya di Indonesia bukan saja
sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan. Terjadinya suatu perikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan
keperdataan sepertihak dan kewajiban suami dan istri, harta bersama, kedudukan
anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan
adat-istiadat
kewarisan, kekeluargaan,
kekerabatan,
dan ketetanggan
serta
menyangkut kewajiban menaati perintah dan larangan keagainaan, baik dalam
hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan
manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan akhirat.
"Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami dan istri. Dalam lahap permulaan,
ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan."
Undang-undang
berbagai
ketentuan
perkawinan tersebut juga mendapat
agama, sehingga
sering
menimbuikan
'^'Muhammad Syaufuddin dkk. 2013. Hukum perceraian.
halaman 2
pengaruh, dari
permasalahan-
Jakarta: Sinar Grafika,
^^'Riduan Syahrani, 2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung :
Pt.Aiumni Bandung, halaman,62
12
permasalahan
dalam
perlaksanaan
Undang-Undang
perkawinan.
Masalah
perkawinan itu sendiri serta hubungan hukum antara pengaruh agama, peraturanperaturan lain terhadap perkawinan tidak dapat dipisahkan, sekarang ini banyak
sekali perkawinan yang hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang lain,
" Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan
lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita."
" Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk
segera
melaksanakannya.
Karena
perkawinan
dapat
mengurangi
kemaksiatan maupun zina." '^^
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan No.l Tahun 1974 Pasal 1, bila diperinci adalah :
-
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pna dengan seorang
wanita sebagai suami dan istri ;
Ikatan lahir bathin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal sejahtera ;
Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ada
Ketuhanan Yang Maha Esa ;
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No.l tahun
1974, bila kita rasakan adalah sangat ideal. Karena tujuan perkawinan itu tidak
hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu
pertautan bathin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang
sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sution Usman Adji 1989 KtrH in Lari dan Kcrn in Antar Agama Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta, halaman 20
AJi Zainuddin. 2012 Hukum Perdata Islam. Jakarta : Sinar Grafika. halaman 7
Sution Usman Adji,Op. Cit, halaman 21
13
"Perkawinan adalah sunnah Nabi. Oleh karena itu bagi pengikut yang aik,
mereka itu harus kawin. Selain mencontohkan tingkah laku Nabi Muhammad,
perkawinan itu juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan roham dan
jasmani."''*
Menurut Sasongko Brotosiswojo (1982) perkawinan merupakan suatu
masalah yang tetap hangat di seluruh lapisan masyarakat, karena melalui suatu
proses perkawinan, tercipta banyak sekali makna dalam kehidupan manusia,
antara Iain melaksanakan regenerasi untuk menjaga kelestarian umat manusia, di
samping merupakan tempat melaksanakan tanggung jawab dalam membentuk
pribadi generasi kemudian."*^
"Menurut Dr. R. Wirjono Prodjodikoro,SH :
Bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah lanjut
usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan "In extremis",
yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia". '^^
Dalam pasal 26 Burgerlijk Wetboek menyebutkan Perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan.
Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa disertai oleh
persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penulusuran kehidupan, akan
mengalami banyak kelemahan apalagi kalau cinta yang menjadi dasar suatu
perkawinan hanyalah cinta yang bertolak dari pemikiran sederhana dan terjajah
oleh dominasi emosional. Jadi perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional
dan perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentukbentuk kehidupan manusia.
2.
Pengertian Poligami
Sution Usman Adji, Op. Cit. halaman 23
Ibid, halaman 19
Ibid .halaman 20
Sution Usman Adji, Kawin Lari Jan Kawin AfUar Agama, hoc. Cit.
14
Kata
sebagai
Monogami
dapat
antonim, Monogami
dipasangkan
adalah
dengan
perkawinan
poligami
dengan
istri
tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja,
sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau
lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai dua
kemungkinan pengertian yaitu seorang laki-laki menikah dengan banyak laki-laki
kemungkinan
pertama
disebut Folygini dan
kemungkinan
yang
kedua
disebut Polyandry.
Kata-kata poligami terdiri dari kata poli dan garni. Secara etimologi,
artinya banyak, dan garni artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri, tetapi di dalam islam dibatasi paling banyak empat orang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan poligami secara umum
sebagai sistem yang dipakai seorang laki (suami) yang kawin lebih dari satu
wanita (istri).
" Pengertian poligami secara terminologi di atas mengacu kepada petunjuk
Allah yang membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat
berlaku adil kepada mereka. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja
(monogami)."
"Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran
sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata
poligini sendiri tidak lazim dipakai."
Dalam http://ilmuhukumiain.blogspot.co.id/20]3/10/poHgami,htnl, diakses tanggal 23
November 2015
15
" Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat
ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berketuarga, sedangkan monogamy
berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada
jangka waktu tertentu "
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam
waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam
perkawinan adalah monogami, sedangkan poligami datang belakangan sesuai
dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja
pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada
yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa
nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil
sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya
seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita.
Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman
perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi." '
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orangorang yang memfitnah Islam dan seolah-olah
memperiihatkan semangat
pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi
mereka,
bahwa
kondisi
perempuan
dalam
masyarakat
Islam
sangat
' Achmad Kuzari. Nikah Sebagai Perikatan, dalam
http://not4pay.blogspot.co id/2013/05/makaiah-poligami-alasan-syarat-dan,html, diakses tanggal
23 November 2015
Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah T'iqh Kontemporer,
dalam http://not4pay.blogspot.co.idy2013/05/makalah-poligami-alasan-syarat-dan,html, diakses
tanggal 23 November 2015
•^'*' Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1, dalam
http://not4pay.blogspot,co,id/2013/05/makalah-poligami-a!asan-syarat-dan.html, diakses tangga!
23 November 2015
16
memprihatinkan dan dalam hal kesuiitan, karena tidak adanya persamaan antara
laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu
berasal
dari
bahasa
Yunani,
kata
ini
merupakan
penggalan
kata FoH atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang
berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti
kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan
banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
"Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu
dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja."
A. Asas-Asas Perkawinan dan Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan
1.
Asas- Asas Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang
menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan :
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2) Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan
agamanya
serta
kepercayaannya
itu dan
disamping
itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, dalam
http://not4pay.blogspot.co.id/2013/05/makalah-poligami-alasan-syarat-dan.html, diakses tanggal
23 November 2015
17
3) Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
4) Undang-Undang im (UU No.l Tahun 1974) dan Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975) menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian
6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
2.
Asas-asas perkawinan menurut Hukum Adat
" Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat,
keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung
kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan."^^^
Bagi kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuankesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum kerabat),
perkawinan para warganya, (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk
Sution Usman Adji, Op, Cit, him. 15
18
melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib-teratur, sarana yang dapat
melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di
dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu
merupakan cara meneruskan {yang diharapkan dapat meneruskan) garis keluarga
tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga,
urusan bapak ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.
Pada tata-susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral, perkawinan itu
juga merupakan sarana yang mengatur hubungan semenda antara kelompokkelompok yang bersangkutan, perkawinan merupakan bagian dari lalu lintas clan,
sehingga bagian-bagian clan dapat mempertahankan atau memperbaiki posisi
keseimbangan di dalam suku, di dalam keseluruhan warga suku. Oleh karena itu
maka sengketa-sengketa hukum antara 2 kerabat, permusuhan kerabat yang sudah
berlangsung lama, kadang-kadang diselesaikan dengan jaian perkawinan seorang
pria dari kerabat yang satu dengan seorang wanita dari kerabat yang lain (tanah
Batak).
Didalam persekutuan-persekutuan hukum yang merupakan kesatuankesatuan susanan rakyal, yaitu persekutuan desa dan wilayah, maka perkawinan
para warganya merupakan unsur penting di dalam peralihannya kepada inti social
dari masyarakat sepanjang ada kemungkinan untuk inasuk yang sepenuhnya
menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh atas
kesejahteraan masyarakat.
Perkawinan yang dipilih dengan tepat dapat pula mempertahankan
gengsi/martabat kelas-kelas di dalam dan di luar persekutuan dalam hal ini
19
perkawinan adalah urusan kelas. Berbagai fungsi perkawinan itu ada di dalam
campur tangan kepala-kepala kerabat (clan), orang tua (ayah-ibu), kepala-kepala
desa dengan pilihan kawin, bentuk perkawinan, upacara perkawinan.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapat tempatnya di dalam
tata hukum, perbuatannya harus "terang", para kepala persekutuan yang
bersangkutan dalam hal ini juga menerima imbalan jasa atas legalisasinya.
"
Namun meskipun urusan keluarga, urusan kerabat dan
urusan
persekutuan, bagaimanapun juga perkawinan itu tetap merupakan urusan hidup
pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut di dalamnya, jalan
nya proses kawin pinang."
3.
Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Dalam melaksanakan suatu perkawinan, maka harus adanya syarat-syarat
untuk terwujudnya suatu perkawinan yang sah.
Sehubungan dengan itu pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh
Presiden RI suatu Undang-Undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-Undang
No.l Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksanaannya PP No.9 Tahun 1975. Maka
terhadap segenap warganegara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu
perkawinan berlakulah perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang No.l
Tahun 1974 dengan pelaksanaannya PP No.9 Tahun 1975 tersebut. '^^
Menurut Undang-Undang No.l Tahun 1974, syarat-syarat perkawinan
diatur dalam pasal 6,
Pasal 6
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
1) Untuk melngsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua ;
2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
Ibid ,hlm.l6
Sution Usman Adji, Op. Cit, him.23
20
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya;
3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya ;
4) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang -orang yang disebut dalam
ayat(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasl ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan yang lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai adalah
adanya persetujuan bebas, tanpa ada paksaan lahir dan bathin dari pihak
manapun untuk melangsungkan perrkawinan." '^^^
Syarat-syarat perkawinan yang ada dalam KUH Perdata adalah diatur
dalam Pasal 27, 28, dan 35.
Pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai
satu orang perempuan sebagai istrinya seorang perempuan hanya satu orang
laki-laki sebagai suaminya.
Pasal 28
Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, seperti
pun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak
diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan.
Pasal 35
Untuk mengikat diri dalam perkawinan, anak-anak kawin yang belum dewasa
harus memperoleh ijin dari kedua orang tua mereka. Jika hanya satu saja di
antara mereka memberikan ijinnya, maka orang tua lain di pecat dari
kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri si anak, maka pengadilan negeri
yang sama dalam daerah hukumnya, anak itu mempunyai tempat tinggalnya,
ats permintaan anak, berkuasa memberi ijin untuk kawin setelah mendengar
atau memanggil dengan sah akan mereka yang ijinnya diperlukan, dan akan
para keluarga sedarah dan semenda.
Ibid,him,24
21
Dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 batas umur untuk kawin pria
adalah 19 tahun ,dan wanita adalah 16 tahun, bila dibandingkan dengan K U H
Perdata pria adalah 18 tahun, wanita adalah 15 tahun.
Sahnya suatu perkawinan ditinjau
dari sudut
keperdataan,
apabila
perkawinan itu sudah dicatatkan atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.
Selama perkawinan tersebut belum terdaftar, maka perkawinan tersebut belum
dianggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan
tata cara menurut ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan
perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan
tersebut dan tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Pasal 2
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam Undang-Undang ini dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD
1945. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepecayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada UU No.l Tahun 1974
dengan Pelaksanaan PP No.9 Tahun 1975 adalah mutlak dilakukan menurut
22
hukum agamanya dan kepercayaannya dari masing-masing orang yang akan
melaksanakan perkawinan, jika tidak maka perkawinan itu tidak sah. Sedangkan
izin kawin menurut BW yang harus/boleh memberikan izin adalah :
1) Kedua orang tua calon mempelai, jika mereka belum dewasa atau
Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, jika orang tua mereka dipecat dari
kekuasaan orang tua atau perwalian (Pasal 35) atau mereka tidak mau
menyatakan kehendaknya (Pasal 37).
2) Kedua orang tua/wali, bila mereka berada di bawah perwalian orang lain
(Pasal 35)
3) Wali pengawas, jika perkawinan itu akan berlangsung dengan si wali itu
sendiri atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam keturunan
lurus (Pasal 36), atau jika bapak atau ibu beserta kakek-kakek dan neneknenek tidak ada, atau sekalian mereka dalam keadaan tak mampu
menyatakan kehendak mereka (Pasal 38) yang terakhir ini harus disertai
izin wali.
4) Kakek atau nenek mereka jika orang tua mereka telah meninggal dunia
atau keduanya berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak
mereka (Pasal 37).
5) Bapak dan Ibu yang mengakui mereka, dalam hal mereka itu adalah anakanak luar kawin yang diakui, dengan sah (Pasal 39).
6) Wali atau wali pengawas, bila mereka itu anak-anak luar kawin namun
tidak diakui dengan sah (Pasal 40)
23
7) Bapak dan ibu, apabila mereka itu anak-anak kawin yang telah dewasa
namun belum mencapai usia 30 tahun (Pasal 42) atau Pengadilan Negeri
setempat jika izin itu tidak dieprolehnya.
Syarat-syarat perkawinan terbagi lagi menjadi:
I.
Syarat-syarat material umum, yakni :
a) Asas monogami, yakni pada pasal 27 BW dan pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang
No. 1 tahun
1974
yang telah
penulis
uraikan
terdahulu.
b) Persetujuan atau kata sepakat antara kedua calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan.
c) Tenggang waktu/waklu tunggu bagi seorang wanita yang akan
menikah lagi.
Menurut BW, tenggang waktu itu lamanya 300 hari semenjak perkawinan
terakhir dibubarkan (Pasal 34), sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tenggang waktu tunggu diatur pada Pasal 11 jo Pasal 39 Peraturan
Pemenntah Nomor 9 Tahun 1975. Waktu tunggu yang ditetapkan sebagai berikut:
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 Ayat
(2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
24
kurangnya, 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
1) Tidak waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pemah terjadi hubungan kelamin.
2) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
2. Syarat-syarat material khusus perkawinan yaitu berupa larangan-larangan
perkawinan menurut BW.:
1) Mana yang satu dengan yang lain bertalian keluarga dalam garis lurus
ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah, maupun taskah,
atau karena perkawinan dan dalam garis menyimpang, antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan, sah atau taskah (Pasal 30)
2) Antara ipar laki-laki maupun perempuan, karena perkawinan sah atau
taskah, kecuali si suami atau si istri yang mengakibatkan periparan itu
telah memggal dunia atau jika Karen keadaan tak hadimya si suami
atau si istri, kepada istri atau suami yang ditinggalkannya, oleh Hakim
diizinkan untuk kawin dengan orang lain (Pasal 31 ayat (le).
25
3) Antara paman atau, paman orang tua dan anak perempuan saudara atau
cucu perempuan saudara, sepertipun antara bibi atau bibi orang tua dan
anak laki-laki saudara atau cucu saudara, yang sah atau taskah (Pasal
31 ayat 2e)
4) Satu sama lain merupakan kawan berzinah (Pasal 32)
5) Perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan dalam pasal
3e atau 4e tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya diadakan
perkawinan, melainkan setelah lewat waktu satu tahun semenjak
pembubaran perkawinan mereka yang terakhir, dibukukan dalam
register-register catatan sipil (Pasal 33)
6) Berhubungan sebagai bekas suami istri yang ingin menikah lagi untuk
ketiga kalinya (telah dua kali kawin-cerai), (pasal 33).
3, Sedangkan
menurut Undang-Undang No.l Tahun
1974, larangan
perkawinan berlaku antara mereka yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas (Pasal 8a)
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya (Pasal 8b)
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tin, menantu dan ibu^apak
tiri (Pasal 8c)
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan (Pasal 8d)
26
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang (Pasal 8e)
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lainnya
yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8f).
7) Masih terikat peekawinan dengan orang lain (Pasal 9) kecuali dalam
hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang-Undang
No.l tahun 1974.
4. Syarat-syarat formal perkawinan yaitu acara-acara yang harus dipenuhi
baik sebelum maupun pada waktu perkawinan. Dalam BW mengatumya di
dalam Pasal 50, sampai dengan 54, Pasal 57 dan 58.
1) Pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai catatan
sipil setempat. Pegawai Catatan Sipil inilah yang nantinya akan
menyelenggarakan perkawinan kedua calon suami istri itu (Pasal 50)
2) Pegawai catatan sipil ini berwenang mengadakan pengumuman tentang
akan diselenggarakannya perkawinan mereka (Pasal 52)
3) Penyerahan surat-surat kepada pegawai catatan sipil yang antara lain :
a) Akta kelahiran kedua belah pihak (pasal 71 (le)
b) Surat pernyataan dari pegawai catatan sipil yang menerangkan
bahwa persetujuan antara orang tua kedua belah pihak bila tercapai
(jika yang hendak kawin itu belum dewasa), (Pasal 71 ayat 2e).
c) Akta yang memperiihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri
(Pasal 71 ayat 3e)
27
d) Dalam
perkawinan untuk
kedua
kalinya
atau perkawinan
berikutnya , akta kematian suami atau istri yang dahulu, atau akta
perceraian, ataupun turunan surat izin hakim yang diberikan dalam
hal adanya ketidak hadiran, suami atau istri yang Iain (Pasal 71
ayat 4e)
e) Akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan ijin
kawin (Pasal 71 ayat 5e)
4) Surat keterangan dari pegawai catatan sipil yang membuktikan bahwa
tentang
akan
dilangsungkannya
perkawinan
itu
telah
diselenggarakannya tanpa adanya pernyataannya berkeberatan dari
pihk manapun (Pasal 52),
5) Dispensasi
yang telah
diberikan oleh Presiden
atau
Menteri
Kehakiman yang isinya memberikan keringanan atau pengecualian
untuk
melanggar
berhubung keadaan
larangan
untuk
melangsungkan
perkawinan,
atau alasan-alasan Iain yang sudah sangat
memaksa (Pasal 71 ayat 7e)
6) Izin bagi para perwira dan militer rendahan, yang diperlukan untuk
kawin (Pasal 71 ayat 8e).
5. Menurut Undang-Undang No. I
Tahun
1974 sebelum perkawinan
dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu ;
1) Pemberitahuan tentang kehendak melangsungkan perkawinan kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 3 dan 4, Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975)
28
2) Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah
dipenuhi, dan apakah tidak ada halangan menurut Undang-Undang
(Pasal 5 PP No.9/1975)
3) Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan, yakni:
1. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asalusul calon mempelai yang diberikan oleh Kepal
P A L E M B A N G D A L A M MENGABULKAN PERMOHONAN I Z I N
P O L I G A M I BAGI P E G A W A I N E G E R I S I P I L
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Sa u Syarat
Unstuck Memperoleh Gelar Sarjans Hukum
Oleh:
B E L L A ARWINILITA
NIM. 502012041
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH P/^.LEMBANG
PALEMBANG
2016
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
F A K U L T A S HUKUM
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
:PERTIMBANGAN
Judul Skripsi
PENGADILAN
AIAM
IVIAJELIS
HAKIM
AGAMA KELAS I A PALEMBANG
MENGABULKAN
PERMOHONAN
IZIN
. JUGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Namt
NIM
: Bella Arwinilita
: 50 2012 041
Program Studi
: Ilmu Hukum
Program Kekhususan
: Hukum Perdata
PEMBIMBING:
Hj.Yuliar Komariah, SH.,MH
Palembang,
April 2016
P E R S E T U J U A N O L E H T I M PENGUJ^:
Ketua
: Dr. H. Erli Sarlia, SH.,MH
Anggota
: HJ. Nursimah, S£.,SH.»MH
Hj. Fatimah Zuhro, SH.,CN.,MH
(..
M
LEMBANG
UNIVE
l A T I , SH.,M.Hum.
ii
PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI
Pendaftaran S k r i p s i Sarjana Fakultas H u k u m Universitas Muhaniniadiyali
Palembang
Strata 1 bagi :
NAMA
: BELLA ARWINHJIA
NIM
: 502012041
PRODI
: ILMU HUKUM
JUDUL S K R I P S I
:PERTIMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN
AGAMA
KELAS
I
A
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN P O L I G A M I
MENURUT
UNDANG-UNDANG NO.l TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN.
Dengan diterimanya skripsi ini, sesudah lulus dari Ujian Komprehensif, penulis
berhak memakai gelar:
SARJANA H U K U M
Diketahui
Dosen Pembimbing
Dekan
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah i n i ;
Nama
BELLA ARWINILITA
Nim
502012041
Tempat tanggal lahir
Tanjungpandan Belitung, 13 januari 1995
Program Studi
Ilmu Hukum
Program Kekhususan
Hukum Perdata
Menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi saya yang berjudul :
PERTIMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN AGAMA K E L A S I
A
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN
IZIN
POLIGAMI BAGI PEGAWAI N E G E R I SIPIL.
Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian
maupun
keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah kami sebutkan sumbemya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan apabila
pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.
Palembang,
April 2016
!fang_menyatakan
iv
MOTTO:
Sesungguh nya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan ( menyuruh kamu )
apabila menetapkan hukumdi antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil sesungguh nya Allah lagi maha
mendengar lagi maha melihat
(Q.SAn-Nisaa:
58)
Skripsi ini Kupersembahkan kepada:
1. ALLAH SWT
2. Kedua orang tuaku tercinta Papa Rachman dan Mama
Winarni yang selalu menyayangiku dan untuk semua
pengorbanan tak terhingga yang telah diberikan.
3. Untuk adikku tersayang MeiHza Bellianda
4. Almamaterku
V
ABSTRAK
PERTLMBANGAN M A J E L I S H A K I M PENGADILAN AGAMA K E L A S
lA PALEMBANG DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI B A G I PEGAWAI N E G E R I SIPIL
B E L L A ARWINILITA
Poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (suami)
terhadap beberapa perempuan (istri) dalam waktu bersamaan. Pelaksanaan
poligami itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat sebelum dilakukan. Pada
dasarnya poligami ini menjunjung tinggi keadilan serta kepatian hak yang
diperoleh istri dan anak-anak dari suaminya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaturan hukum tentang
dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami bagi PNS
serta mengkaji bagaimana Majelis hakim menghadapi kendala yang terjadi dalam
mengambil putusan terhadap izin poligami bagi PNS tersebut. Penelitian yang
dilakukan adalah penelitian hukum sosiologis yang diambil data primer dengan
melakukan wawancara dan data sekunder dengan mengolah data dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami bagi PNS tersebut yaitu
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil , UU RI Nomor 50 Tahun
2009 (Perubahan Kedua atas UU RI No.7 Tahun 1989) tentang Peradilan Agama,
KHI ( Kompilasi Hukum Islam), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang nomor 1
tahun 1974tentang perkawinan, agar putusan Majelis hakim tersebut mencapai
keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum yang sebenarbenamya.
Serta kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS yaitu dalam hal kepastian suami yang wajib memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anaknya, padahal suami tersebut sebenamya tidak
mampu secara financial. Dalam hal izin dari istri pertama yang dimanipulasi oleh
suami, setelah dibuktikan dipersidangan hal tersebut tidak benar adanya.
Seharusnya diperlukan upaya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkaji setiap
peristiwa sosial di masyarakat, salah satunya poligami ini sendiri yang
menjunjung tinggi keadilan terhadap anak dan islrinya, agar menghindari
terjadinya perceraian.
Kata kunci: Perkawinan, Poligami, kajian hukum
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kchadirat Allah SWT. Yang telah
meiimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :
" P E R T I M B A N G A N M A J E L I S H A K I M P E N G A D I L A N AGAMA
KELAS
IA
PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN IZIN P O L I G A M I M E N U R U T UNDANG-UNDANG
NO.l TAHUN 1974 T E N T A N G P E R K A W I N A N "
Maksud dan tujuan penyusunan dan penulisan skripsi ini yakni
sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya
tidak luput dari kesalahan serta masih jauh dari sempuma, oleh karena itu
saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
tercapainya kesempumaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini juga, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penulis, baik secara moril maupun materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. untuk itu ucapan terima kasih ini penulis
sampaikan kepada yang lerhormat:
Vfj
1.
Bapak
Dr. Abid
djazuli,
SE..MM, selaku Rektor
Universitas
Muhammadiyah Palembang.
2.
Ibu Dr. Sri Suatmiati, SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
3.
Bapak/ Ibu Wakil Dekan I , I I , III, I V Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang.
4.
Bapak Mulyadi Tanzili, SH.,MH, selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang.
5.
Ibu Hj. Dra. Lilies Anisah, SH.,MH, selaku Penasehat Akademik
yang selalu membimbing penulis.
6.
Ibu Hj. Yuliar Komariah, SH.,MH, selaku Pembimbing Skripsi yang
telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan
skripsi ini.
7.
Bapak/Ibu
Dosen
beserta
staf
karyawan/ti
Fakultas
Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang, yang telah mcmberikan
bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna.
8.
Terima kasih kepada Hakim Pengadilan Agama Palembang yang
telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian khususnya
kepada Ibu Sri Wahyuningsih dan Bapak Rusyidi, An., yang telah
membimbing
saya
dengan
baik
lapangan.
viii
kctika melakukan
penelitian
9.
Papa Rachman dan Mama Winarni, Adikku tersayang Meiliza
Bellianda, Saudaraku Dama Magdalena, dan Solahuddin.SH. yang
selalu berkorban dengan sangat ikhlas dan mendoakan penulis serta
selalu ada disaat penulis membutuhkannya.
10.
Sahabat-sahabat terbaik dan seperjuangan Ade Kusuma Dwitama,
SP., Intan Iskandar, Puput Mardiah, Azharoini awaliani, D w i Astuti,
Nur Aziza, Ade Fitriyani, dan teman satu angkatan lainnya.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi
ini. Semoga
menjadikan
segala
bantuan
materiil
dan
moril
yang telah
skripsi ini dapat selesai dengan baik sebagai salah satu
persyaratan untuk menempuh ujian skripsi, semoga kiranya Allah SWT.
Meiimpahkan pahala dan rahmat kepada mereka.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Palembang, April 2016
Penulis,
BELLA ARWINILITA
ix
DAFTARISI
Halaman
i
H A L A M A N DEPAN
H A L A M A N PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
ii
H A L A M A N PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI
iii
PERNYATAAN ORISINAITAS SKRIPSI
iv
H A L A M A N MOTTO dan PERSEMBAHAN
v
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
X
BAB I
BAB I I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah
5
C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian
5
D. Kerangka Konseptual
6
E. Metode Penelitian
7
F. Sistematika Penulisan
8
TINJAUAN PUSTAKA
A, Pengertian Perkawinan Dan Poligami
10
1. Pengertian Perkawinan
10
2. Pengertian Poligami
13
B. Asas-Asas Perkawinan dan Syarat-Syarat Sahnya Suatu
Perkawinan
16
1. Asas- Asas Perkawinan dalam Undang-Undang
X
Perkawinan
16
2. Asas-asas perkawinan menurut Hukum Adat
17
3. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
19
C. PROSEDUR BERPOLIGAMI
33
1. Alasan Berpoligami
33
2. Syarat-Syarat Berpoligami
33
3. Prosedur Poligami
35
4. Sanksi Pidana Tentang Poligami Tanpa Izin Pengadilan
Agama
36
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
D. PENGERTIAN HAKIM
38
40
E. TUGAS DAN KEWAJIBAN SEORANG HAKIM. .. 42
1. Kewenangan Hakim (Hak dan Kewajiban)
BAB III
42
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Memutus
Permohonan Izin Poligami
47
B. Kendala Hakim dalam Memberikan Pertimbangan Terhadap
Putusan Poligami
BAB JV
54
PENUTUP
A. Kesimpulan
62
B. Saran
62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dalam dua jenis yaitu
laki-laki dan perempuan, hal ini menyebabkan keduanya saling berinteraksi satu
sama lain, saling melengkapi, dan saling membina hubungan. Hubungan antara
laki-laki dan perempuan tersebut menyebabkan adanya hubungan yang lebih
bersifat khusus antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan dibentuknya
suatu rumah tangga atas dasar suatu pemikahan guna melanjutkan keturunan
sehingga terbentuklah suatu keluarga yang besar (family). Hubungan khusus
antara manusia yang berlainan jenis dikenal oleh masyarakat sebagai hubungan
dalam "perkawinan".
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 memuat tentang
pengertian perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga)
yang
bahagia
dan
kekal
berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa. Perkawinan adalah masalah yang kompleks dipandang dari segi kehidupan
masyarakat, segi agama, maupun dari segi hukumnya, mengingat perkawinan
merupakan panggilan fitrah dan tabiat manusia sebagai makhluk Tuhan yang
dilengkapi dengan akal pikiran, rasa, dan hasral atau nafsu. Suatu perkawinan
yang dilakukan diharapkan dapat mewujudkan rumah tangga keluarga yang kekal
dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya keluarga
mempakan bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena keluarga
1
2
merupakan susunan masyarakat yang terkecil. Masalah keluarga juga merupakan
masalah masyarakat, sebab masalah-masalah yang lahir di lingkungan keluarga
juga akan dirasakan akibatnya oleh masyarakat.
Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada dasarnya
menganut asas monogami, artinya seorang laki-laki hanya boleh beristeri satu
saja, namun tetap dibuka kemungkinan untuk poligami dengan alasan dan syarat
tertentu. Pasal 3 Undang-undang perkawinan menyebutkan :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai
seorang suami
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
"Poligami atau menikahi lebih dari seorang isteri bukan merupakan
masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara
berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia, kata poligami di ambil
dari bahasa yunani dalam secara etimologi berasal dari kala poli atau polus yang
artiny banyak dan gamein atau gamosyang berarti perkawinan".'^
Dasar hukum perkawinan di Indonesia sendiri sebagaimana dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan maka terdapat
beberapa syarat / prosedur poligami :
' M . Hasyim Assegaf. 2000. Derita Putri-Putri Nabi. Bandung; P T Remaja Rosdakarya,
halaman 29
3
1. Pasal 3 ayat (1) pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
2. Ayat (2) Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dan seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
3. Pasal 4 ayat (1) dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanya memberikan izm kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila:
(a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibarmya sebagai isteri
(b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
(c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan,
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1)
untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
(a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
(b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
4
(c) adanya Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
Pasal 4 Ayat (2) persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri nya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Pada asas monogami yang telah di Jelaskan bahwa tidak berlaku mutlak
karena dalam keadaan tertentu poligami diperbolehkan apabila agamanya
mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan tidak
dilakukan secara sewenang-wenang, harus dilakukan di depan sidang pengadilan
berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan. Maka dibenarkan apabila seorang
suami beristeri lebih dari satu orang, hal tersebut secara tegas dijelaskan dalam
penjelasan umum Undang-undang Perkawinan tersebut, bahwa : "Undang-undang
ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan inengizinkannya, seorang suami
dapat beristeri lebih dari satu orang. Poligami dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Masyarakat lebih mengenai bentuk perkawinan islam dari pada apa yang
diatur dalam Undang-undang perkawinan. Kurangnya pengetahuan tersebut tentu
akan berpengaruh pada kesadaran hukum masyarakat, mengingat salah satu
prasyarat tumbuhnya kesadaran hukum tersebut adalah adanya pengetahuan dari
masyarakat tentang hukum itu sendiri.
5
"Tentang hakim yang masih bersifat tradisionalis seperti ini, bahwa
sebenamya tidak sepenuhnya demikian. Keragaman dan konteks historis Peradilan
islam di Indonesia, yang notabene beriringan dengan penerapan hukum islam
justru menjadikan para hakim berbeda-beda dalam menyikapi poligami. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain."^^
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan
menyusun
nya
dalam
bentuk
skripsi
dengan
judul "PERTEVIBANGAN
M A J E L I S H A K I M PENGADH^AN AGAMA K E L A S I A PALEMBANG
DALAM
MENGABULKAN
PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
BAGI
P E G A W A I N E G E R I S I P I L (PNS)".
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang pada uraian di atas maka permasalahan dalam
skripsi ini adalah :
1. Apa dasar hukum dan
pertimbangan
hakim dalam
mengabulkan
permohononan izin poligami bagi PNS?
2. Apa saja kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS ?
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Penulisan skripsi ini dititik beratkan pada penelitian apa dasar hukum dan
bagaimana
pertimbangan hakim dalam mmengabulkan permohonan
izin
poligami bagi PNS serta apa saja kendala hakim dalam memberikan
pertimbangan terhadap putusan poligami bagi PNS, dengan melakukan studi
^' Ahmad Tholabi Kharlie 2013 Huhim keluarga Indonesia. Jakarta timur: sinar grafika,
halaman 224
6
lebih mendalam terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pertimbangan
majelis hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami, tanpa menutup
kemungkinan menyinggung persoalan-persoalan
lain
yang
berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mencan kejelasan terhadap
permasalahan yang berkaitan dengan :
1. Dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan izin poligami
bagi PNS
2. Kendala hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap putusan
poligami bagi PNS
D. Kerangka Konseptual:
Sejalan dengan judul penelitian diatas maka
yang akan dibahas sebagai
kerangka konseptual penelitian ini adalah :
1) Pertimbangan adalah pendapat baik dan buruk, atau kemampuan untuk
mengadakan perhitungan sebelum melakukan suatu pekerjaan."*^
2) Hakim adalah aparat penegak hukum atau pejabat peradilan negara
yang
diberikan
wewenang
berdasarkan
Undang-undang
untuk
mengadili dan memutus suatu perkara.''^
3) Pengadilan
Agama kelas
l A adalah
Pengadilan
Agama (biasa
disingkat: PA) adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan
Dalam http: // kamusbahasaindonesia.org/pertimbangan/mirip, diakses tanggal 9
November 2015
''^Dalam http: //panjimhs.xtgem com/files/pengertian+haklm html, diakses tanggal 9
November 2015
7
kekuasaan
kehakiman
di
lingkungan
Peradilan
Agama
yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.^*
4) Mengabulkan
adalah
meluluskan,
mengizinkan atau
memenuhi
permintaan.^^
5) Permohonan adalah permintaan kepada orang yang lebih tinggi
kedudukannya.^'
6) Izin
adalah
pernyataan
mengabulkan
(tidak
melarang)
atau
membolehkan.'*'
7) Poligami
adalah
memiliki/mengawini
ikatan
perkawinan
beberapa
yang
lawan jenisnya
salah
di
satu
pihak
waktu
yang
bersamaan.^'
8) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai
Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.'^'
E. Metode Penelitian
Dalam https //id.m wikipedia org/wiki/PengadHan_Agama, diakses tanggal 9
November 2015
"•^ Dalam http: //www.kamusbesar.com/67899/mengabulkan, diakses tanggal 9 November
2015
Dalam http; //m,artikata.coni/arti-37I899-permohonan.html, diakses tanggal 9
November 2015
Dalam http: //kbbi.web.id/izin, diakses tanggal 9 November 2015
'''Dalam htlps //id m wikipedia.org/wiki/poligami, diakses langgai 9 November 2015
10) Dalam https: http://wikipns com/apa-pengertian-pns/. diakses tanggal 9 November 2015
8
Penelitian ini merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten."^
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris.
Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Sosiologi atau Empiris adalah
berusaha melihat terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan terhadap
efektivitas hukum.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1.
Penelitian Kepustakaan,
dalam
memperoleh
data
sekunder
guna
mempelajari serta menelaah beberapa bahan bacaan yang ada kaitarmya
dengan permasalahan yang ada.
2.
Penelitian Lapangan, dalam usaha memperoleh data primer dengan cara
penulis melakukan penelitian dengan metode wawancara langsung dengan
respoden yaitu ; Hakim Pengadilan Agama kelas 1A Palembang.
Setelah data berhasil penulis kumpulkan, maka teknis pengolahan data
dilakukan dengan cara menganalisis isi yang diperoleh dan penelitian
kepustakaan maupun penelitian lapangan untuk selanjutnya dikontruksikan
kedaiam suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Soerjono Soekanto dkk, Peneliiian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Siugkat). Jakarta:
Raja Grafindo Persada), halaman 1
9
Penulisan Skripsi ini terdiri dari 4 (Empat) bab, tidak terhitung kata pengantar,
daffar puslaka, maupun lampiran, antara lain ;
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, ruang lingkup dan tujuan penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian dari kata-kata kunci yang
berhubungan dengan judul dan perumusan permasalahan sehingga dicapai
tujuan dari penelitian. Kata-kata kunci tersebut Pengertian Tentang Perkawinan
dan Poligami, asas dan syarat perkawinan, prosedur poligami, pengertian dan
tugas serta kewajiban seorang hakim.
BAB i n PEMBAHASAN
Dalam bab ini disampaikan hasil peneliian mengenai Pertimbangan Majelis
Hakim
Pengadilan
Agama Kelas
l A Palembang
Dalam Mengabulkan
Permohonan Izin Poligami bagi PNS dan kendala hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami tersebut.
BAB I V PENUTUP
Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian yang
dilakukan dan berisi saran-saran berupa sumbangan pcmikiran berdasarkan
kesimpulan terutama yang berkaitan dengan Pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Kelas la Palembang Dalam Mengabulkan Permohonan Izin
Poligami bagi PNS.
BABU
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENGERTLAN PERKAWINAN DAN P O L I G A M I
1.
Pengertian Perkawinan
Ikatan yang halal antara dua lawan jenis menurut islam adalah perkawinan,
yang sah apabila setelah diucapkan nya janji (akad) oleh kedua mempelai. Dari
perkawinan tersebut akan timbul hubungan suami-istri dengan tujuan untuk
memiliki keturunan sehingga timbul hubungan hukum.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan menurut hukum islam, berdasarkan pasal 2
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat
kuat untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Berdasarkan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan itu bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
Perkawinan yang diatur dalam Undang-undang secara umum meliputi
asas-asas perkawinan, pengertian perkawinan sahnya perkawinan, putusnya
perkawinan dan sebab akibatnya, kedudukan keluarga dalam perkawinan dan
bentuk perkawinan.
"Perkawinan menurut Sajuti Thalib adalah perjanjian suci membentuk
keluarga antara laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini
10
11
untuk memperiihatkan segi kesenjangan dari perkaivinan serta menampakkannya
pada masyarakat
ramai. Sedangkan
sebutan
suci
untuk pernyataan
segi
keamanannya dari suatu perkawinan." '^^
Menurut hukum adat perkawinan pada umunya di Indonesia bukan saja
sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan. Terjadinya suatu perikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan
keperdataan sepertihak dan kewajiban suami dan istri, harta bersama, kedudukan
anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan
adat-istiadat
kewarisan, kekeluargaan,
kekerabatan,
dan ketetanggan
serta
menyangkut kewajiban menaati perintah dan larangan keagainaan, baik dalam
hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan
manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan akhirat.
"Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami dan istri. Dalam lahap permulaan,
ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan."
Undang-undang
berbagai
ketentuan
perkawinan tersebut juga mendapat
agama, sehingga
sering
menimbuikan
'^'Muhammad Syaufuddin dkk. 2013. Hukum perceraian.
halaman 2
pengaruh, dari
permasalahan-
Jakarta: Sinar Grafika,
^^'Riduan Syahrani, 2010. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung :
Pt.Aiumni Bandung, halaman,62
12
permasalahan
dalam
perlaksanaan
Undang-Undang
perkawinan.
Masalah
perkawinan itu sendiri serta hubungan hukum antara pengaruh agama, peraturanperaturan lain terhadap perkawinan tidak dapat dipisahkan, sekarang ini banyak
sekali perkawinan yang hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang lain,
" Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan
lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita."
" Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk
segera
melaksanakannya.
Karena
perkawinan
dapat
mengurangi
kemaksiatan maupun zina." '^^
Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan No.l Tahun 1974 Pasal 1, bila diperinci adalah :
-
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pna dengan seorang
wanita sebagai suami dan istri ;
Ikatan lahir bathin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal sejahtera ;
Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ada
Ketuhanan Yang Maha Esa ;
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No.l tahun
1974, bila kita rasakan adalah sangat ideal. Karena tujuan perkawinan itu tidak
hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu
pertautan bathin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang
sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sution Usman Adji 1989 KtrH in Lari dan Kcrn in Antar Agama Yogyakarta : Liberty
Yogyakarta, halaman 20
AJi Zainuddin. 2012 Hukum Perdata Islam. Jakarta : Sinar Grafika. halaman 7
Sution Usman Adji,Op. Cit, halaman 21
13
"Perkawinan adalah sunnah Nabi. Oleh karena itu bagi pengikut yang aik,
mereka itu harus kawin. Selain mencontohkan tingkah laku Nabi Muhammad,
perkawinan itu juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan roham dan
jasmani."''*
Menurut Sasongko Brotosiswojo (1982) perkawinan merupakan suatu
masalah yang tetap hangat di seluruh lapisan masyarakat, karena melalui suatu
proses perkawinan, tercipta banyak sekali makna dalam kehidupan manusia,
antara Iain melaksanakan regenerasi untuk menjaga kelestarian umat manusia, di
samping merupakan tempat melaksanakan tanggung jawab dalam membentuk
pribadi generasi kemudian."*^
"Menurut Dr. R. Wirjono Prodjodikoro,SH :
Bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah lanjut
usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan "In extremis",
yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia". '^^
Dalam pasal 26 Burgerlijk Wetboek menyebutkan Perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan.
Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa disertai oleh
persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penulusuran kehidupan, akan
mengalami banyak kelemahan apalagi kalau cinta yang menjadi dasar suatu
perkawinan hanyalah cinta yang bertolak dari pemikiran sederhana dan terjajah
oleh dominasi emosional. Jadi perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional
dan perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentukbentuk kehidupan manusia.
2.
Pengertian Poligami
Sution Usman Adji, Op. Cit. halaman 23
Ibid, halaman 19
Ibid .halaman 20
Sution Usman Adji, Kawin Lari Jan Kawin AfUar Agama, hoc. Cit.
14
Kata
sebagai
Monogami
dapat
antonim, Monogami
dipasangkan
adalah
dengan
perkawinan
poligami
dengan
istri
tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja,
sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau
lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian makna ini mempunyai dua
kemungkinan pengertian yaitu seorang laki-laki menikah dengan banyak laki-laki
kemungkinan
pertama
disebut Folygini dan
kemungkinan
yang
kedua
disebut Polyandry.
Kata-kata poligami terdiri dari kata poli dan garni. Secara etimologi,
artinya banyak, dan garni artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri, tetapi di dalam islam dibatasi paling banyak empat orang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan poligami secara umum
sebagai sistem yang dipakai seorang laki (suami) yang kawin lebih dari satu
wanita (istri).
" Pengertian poligami secara terminologi di atas mengacu kepada petunjuk
Allah yang membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat
berlaku adil kepada mereka. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja
(monogami)."
"Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran
sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata
poligini sendiri tidak lazim dipakai."
Dalam http://ilmuhukumiain.blogspot.co.id/20]3/10/poHgami,htnl, diakses tanggal 23
November 2015
15
" Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat
ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berketuarga, sedangkan monogamy
berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada
jangka waktu tertentu "
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam
waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam
perkawinan adalah monogami, sedangkan poligami datang belakangan sesuai
dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja
pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada
yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa
nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil
sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya
seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita.
Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman
perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi." '
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orangorang yang memfitnah Islam dan seolah-olah
memperiihatkan semangat
pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi
mereka,
bahwa
kondisi
perempuan
dalam
masyarakat
Islam
sangat
' Achmad Kuzari. Nikah Sebagai Perikatan, dalam
http://not4pay.blogspot.co id/2013/05/makaiah-poligami-alasan-syarat-dan,html, diakses tanggal
23 November 2015
Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah T'iqh Kontemporer,
dalam http://not4pay.blogspot.co.idy2013/05/makalah-poligami-alasan-syarat-dan,html, diakses
tanggal 23 November 2015
•^'*' Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1, dalam
http://not4pay.blogspot,co,id/2013/05/makalah-poligami-a!asan-syarat-dan.html, diakses tangga!
23 November 2015
16
memprihatinkan dan dalam hal kesuiitan, karena tidak adanya persamaan antara
laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu
berasal
dari
bahasa
Yunani,
kata
ini
merupakan
penggalan
kata FoH atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang
berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti
kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan
banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
"Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu
dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja."
A. Asas-Asas Perkawinan dan Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan
1.
Asas- Asas Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang
menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan :
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2) Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan
agamanya
serta
kepercayaannya
itu dan
disamping
itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, dalam
http://not4pay.blogspot.co.id/2013/05/makalah-poligami-alasan-syarat-dan.html, diakses tanggal
23 November 2015
17
3) Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
4) Undang-Undang im (UU No.l Tahun 1974) dan Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975) menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian
6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
2.
Asas-asas perkawinan menurut Hukum Adat
" Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat,
keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung
kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan."^^^
Bagi kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuankesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, (bagian clan, kaum kerabat),
perkawinan para warganya, (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk
Sution Usman Adji, Op, Cit, him. 15
18
melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib-teratur, sarana yang dapat
melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di
dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu
merupakan cara meneruskan {yang diharapkan dapat meneruskan) garis keluarga
tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga,
urusan bapak ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.
Pada tata-susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral, perkawinan itu
juga merupakan sarana yang mengatur hubungan semenda antara kelompokkelompok yang bersangkutan, perkawinan merupakan bagian dari lalu lintas clan,
sehingga bagian-bagian clan dapat mempertahankan atau memperbaiki posisi
keseimbangan di dalam suku, di dalam keseluruhan warga suku. Oleh karena itu
maka sengketa-sengketa hukum antara 2 kerabat, permusuhan kerabat yang sudah
berlangsung lama, kadang-kadang diselesaikan dengan jaian perkawinan seorang
pria dari kerabat yang satu dengan seorang wanita dari kerabat yang lain (tanah
Batak).
Didalam persekutuan-persekutuan hukum yang merupakan kesatuankesatuan susanan rakyal, yaitu persekutuan desa dan wilayah, maka perkawinan
para warganya merupakan unsur penting di dalam peralihannya kepada inti social
dari masyarakat sepanjang ada kemungkinan untuk inasuk yang sepenuhnya
menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung jawab penuh atas
kesejahteraan masyarakat.
Perkawinan yang dipilih dengan tepat dapat pula mempertahankan
gengsi/martabat kelas-kelas di dalam dan di luar persekutuan dalam hal ini
19
perkawinan adalah urusan kelas. Berbagai fungsi perkawinan itu ada di dalam
campur tangan kepala-kepala kerabat (clan), orang tua (ayah-ibu), kepala-kepala
desa dengan pilihan kawin, bentuk perkawinan, upacara perkawinan.
Perkawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapat tempatnya di dalam
tata hukum, perbuatannya harus "terang", para kepala persekutuan yang
bersangkutan dalam hal ini juga menerima imbalan jasa atas legalisasinya.
"
Namun meskipun urusan keluarga, urusan kerabat dan
urusan
persekutuan, bagaimanapun juga perkawinan itu tetap merupakan urusan hidup
pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut di dalamnya, jalan
nya proses kawin pinang."
3.
Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Dalam melaksanakan suatu perkawinan, maka harus adanya syarat-syarat
untuk terwujudnya suatu perkawinan yang sah.
Sehubungan dengan itu pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh
Presiden RI suatu Undang-Undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-Undang
No.l Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksanaannya PP No.9 Tahun 1975. Maka
terhadap segenap warganegara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu
perkawinan berlakulah perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang No.l
Tahun 1974 dengan pelaksanaannya PP No.9 Tahun 1975 tersebut. '^^
Menurut Undang-Undang No.l Tahun 1974, syarat-syarat perkawinan
diatur dalam pasal 6,
Pasal 6
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
1) Untuk melngsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua ;
2) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
Ibid ,hlm.l6
Sution Usman Adji, Op. Cit, him.23
20
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya;
3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya ;
4) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang -orang yang disebut dalam
ayat(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasl ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan yang lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai adalah
adanya persetujuan bebas, tanpa ada paksaan lahir dan bathin dari pihak
manapun untuk melangsungkan perrkawinan." '^^^
Syarat-syarat perkawinan yang ada dalam KUH Perdata adalah diatur
dalam Pasal 27, 28, dan 35.
Pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai
satu orang perempuan sebagai istrinya seorang perempuan hanya satu orang
laki-laki sebagai suaminya.
Pasal 28
Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, seperti
pun seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak
diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan.
Pasal 35
Untuk mengikat diri dalam perkawinan, anak-anak kawin yang belum dewasa
harus memperoleh ijin dari kedua orang tua mereka. Jika hanya satu saja di
antara mereka memberikan ijinnya, maka orang tua lain di pecat dari
kekuasaan orang tua atau perwalian atas diri si anak, maka pengadilan negeri
yang sama dalam daerah hukumnya, anak itu mempunyai tempat tinggalnya,
ats permintaan anak, berkuasa memberi ijin untuk kawin setelah mendengar
atau memanggil dengan sah akan mereka yang ijinnya diperlukan, dan akan
para keluarga sedarah dan semenda.
Ibid,him,24
21
Dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 batas umur untuk kawin pria
adalah 19 tahun ,dan wanita adalah 16 tahun, bila dibandingkan dengan K U H
Perdata pria adalah 18 tahun, wanita adalah 15 tahun.
Sahnya suatu perkawinan ditinjau
dari sudut
keperdataan,
apabila
perkawinan itu sudah dicatatkan atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.
Selama perkawinan tersebut belum terdaftar, maka perkawinan tersebut belum
dianggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan
tata cara menurut ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan
perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan
tersebut dan tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Pasal 2
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam Undang-Undang ini dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD
1945. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepecayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada UU No.l Tahun 1974
dengan Pelaksanaan PP No.9 Tahun 1975 adalah mutlak dilakukan menurut
22
hukum agamanya dan kepercayaannya dari masing-masing orang yang akan
melaksanakan perkawinan, jika tidak maka perkawinan itu tidak sah. Sedangkan
izin kawin menurut BW yang harus/boleh memberikan izin adalah :
1) Kedua orang tua calon mempelai, jika mereka belum dewasa atau
Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, jika orang tua mereka dipecat dari
kekuasaan orang tua atau perwalian (Pasal 35) atau mereka tidak mau
menyatakan kehendaknya (Pasal 37).
2) Kedua orang tua/wali, bila mereka berada di bawah perwalian orang lain
(Pasal 35)
3) Wali pengawas, jika perkawinan itu akan berlangsung dengan si wali itu
sendiri atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam keturunan
lurus (Pasal 36), atau jika bapak atau ibu beserta kakek-kakek dan neneknenek tidak ada, atau sekalian mereka dalam keadaan tak mampu
menyatakan kehendak mereka (Pasal 38) yang terakhir ini harus disertai
izin wali.
4) Kakek atau nenek mereka jika orang tua mereka telah meninggal dunia
atau keduanya berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak
mereka (Pasal 37).
5) Bapak dan Ibu yang mengakui mereka, dalam hal mereka itu adalah anakanak luar kawin yang diakui, dengan sah (Pasal 39).
6) Wali atau wali pengawas, bila mereka itu anak-anak luar kawin namun
tidak diakui dengan sah (Pasal 40)
23
7) Bapak dan ibu, apabila mereka itu anak-anak kawin yang telah dewasa
namun belum mencapai usia 30 tahun (Pasal 42) atau Pengadilan Negeri
setempat jika izin itu tidak dieprolehnya.
Syarat-syarat perkawinan terbagi lagi menjadi:
I.
Syarat-syarat material umum, yakni :
a) Asas monogami, yakni pada pasal 27 BW dan pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang
No. 1 tahun
1974
yang telah
penulis
uraikan
terdahulu.
b) Persetujuan atau kata sepakat antara kedua calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan.
c) Tenggang waktu/waklu tunggu bagi seorang wanita yang akan
menikah lagi.
Menurut BW, tenggang waktu itu lamanya 300 hari semenjak perkawinan
terakhir dibubarkan (Pasal 34), sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tenggang waktu tunggu diatur pada Pasal 11 jo Pasal 39 Peraturan
Pemenntah Nomor 9 Tahun 1975. Waktu tunggu yang ditetapkan sebagai berikut:
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 Ayat
(2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
24
kurangnya, 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
1) Tidak waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pemah terjadi hubungan kelamin.
2) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
2. Syarat-syarat material khusus perkawinan yaitu berupa larangan-larangan
perkawinan menurut BW.:
1) Mana yang satu dengan yang lain bertalian keluarga dalam garis lurus
ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah, maupun taskah,
atau karena perkawinan dan dalam garis menyimpang, antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan, sah atau taskah (Pasal 30)
2) Antara ipar laki-laki maupun perempuan, karena perkawinan sah atau
taskah, kecuali si suami atau si istri yang mengakibatkan periparan itu
telah memggal dunia atau jika Karen keadaan tak hadimya si suami
atau si istri, kepada istri atau suami yang ditinggalkannya, oleh Hakim
diizinkan untuk kawin dengan orang lain (Pasal 31 ayat (le).
25
3) Antara paman atau, paman orang tua dan anak perempuan saudara atau
cucu perempuan saudara, sepertipun antara bibi atau bibi orang tua dan
anak laki-laki saudara atau cucu saudara, yang sah atau taskah (Pasal
31 ayat 2e)
4) Satu sama lain merupakan kawan berzinah (Pasal 32)
5) Perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan dalam pasal
3e atau 4e tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya diadakan
perkawinan, melainkan setelah lewat waktu satu tahun semenjak
pembubaran perkawinan mereka yang terakhir, dibukukan dalam
register-register catatan sipil (Pasal 33)
6) Berhubungan sebagai bekas suami istri yang ingin menikah lagi untuk
ketiga kalinya (telah dua kali kawin-cerai), (pasal 33).
3, Sedangkan
menurut Undang-Undang No.l Tahun
1974, larangan
perkawinan berlaku antara mereka yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas (Pasal 8a)
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya (Pasal 8b)
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tin, menantu dan ibu^apak
tiri (Pasal 8c)
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan (Pasal 8d)
26
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang (Pasal 8e)
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lainnya
yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8f).
7) Masih terikat peekawinan dengan orang lain (Pasal 9) kecuali dalam
hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang-Undang
No.l tahun 1974.
4. Syarat-syarat formal perkawinan yaitu acara-acara yang harus dipenuhi
baik sebelum maupun pada waktu perkawinan. Dalam BW mengatumya di
dalam Pasal 50, sampai dengan 54, Pasal 57 dan 58.
1) Pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai catatan
sipil setempat. Pegawai Catatan Sipil inilah yang nantinya akan
menyelenggarakan perkawinan kedua calon suami istri itu (Pasal 50)
2) Pegawai catatan sipil ini berwenang mengadakan pengumuman tentang
akan diselenggarakannya perkawinan mereka (Pasal 52)
3) Penyerahan surat-surat kepada pegawai catatan sipil yang antara lain :
a) Akta kelahiran kedua belah pihak (pasal 71 (le)
b) Surat pernyataan dari pegawai catatan sipil yang menerangkan
bahwa persetujuan antara orang tua kedua belah pihak bila tercapai
(jika yang hendak kawin itu belum dewasa), (Pasal 71 ayat 2e).
c) Akta yang memperiihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri
(Pasal 71 ayat 3e)
27
d) Dalam
perkawinan untuk
kedua
kalinya
atau perkawinan
berikutnya , akta kematian suami atau istri yang dahulu, atau akta
perceraian, ataupun turunan surat izin hakim yang diberikan dalam
hal adanya ketidak hadiran, suami atau istri yang Iain (Pasal 71
ayat 4e)
e) Akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan ijin
kawin (Pasal 71 ayat 5e)
4) Surat keterangan dari pegawai catatan sipil yang membuktikan bahwa
tentang
akan
dilangsungkannya
perkawinan
itu
telah
diselenggarakannya tanpa adanya pernyataannya berkeberatan dari
pihk manapun (Pasal 52),
5) Dispensasi
yang telah
diberikan oleh Presiden
atau
Menteri
Kehakiman yang isinya memberikan keringanan atau pengecualian
untuk
melanggar
berhubung keadaan
larangan
untuk
melangsungkan
perkawinan,
atau alasan-alasan Iain yang sudah sangat
memaksa (Pasal 71 ayat 7e)
6) Izin bagi para perwira dan militer rendahan, yang diperlukan untuk
kawin (Pasal 71 ayat 8e).
5. Menurut Undang-Undang No. I
Tahun
1974 sebelum perkawinan
dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu ;
1) Pemberitahuan tentang kehendak melangsungkan perkawinan kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 3 dan 4, Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975)
28
2) Pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah
dipenuhi, dan apakah tidak ada halangan menurut Undang-Undang
(Pasal 5 PP No.9/1975)
3) Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan, yakni:
1. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asalusul calon mempelai yang diberikan oleh Kepal