FAKTOR-FAKTOR KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) BAGI WANITA LAJANG DEWASA MADYA.

FAKTOR-FAKTOR KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) BAGI WANITA
LAJANG DEWASA MADYA
SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S. Psi)

Mahmudah
B77212107

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

FAKTOR-FAKTOR KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) BAGI WANITA
LAJANG DEWASA MADYA

SKRIPSI


Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S. Psi)

Mahmudah
B77212107

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami faktorfaktor kebahagiaan (happiness) bagi wanita lajang dewasa madya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan
triangulasi sumber sebagai validasi data. Subyek penelitian yang
digunakan adalah dewasa madya (berusia 40 tahun sampai dengan 60

tahun) yang belum mengalami pernikahan. Ada dua subyek yang
dijadikan sumber informasi dengan status (lajang) yang sama namun
profesi berbeda.
Penelitian ini menemukan beberapa pengertian dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan, yakni dalam perspektif dua subyek
dalam penelitian ini. Temuan wawancara dari kedua subyek itu
ditemukan perspektif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan, diantaranya uang (penghasilan), perkawinan, hubungan
sosial, dan berbagi. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan itu pada perspektif masing-masing subyek memiliki
intensitas yang berbeda.

Kata kunci : Kebahagiaan, Dewasa Madya, Lajang

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABSTRACT


This research aims to identify and understand the factors of happiness
for single women middle adulthood. This research is a qualitative
research, using triangulation as a validation data. The research
subjects are middle age (40 years old to 60 years old) who have not
experienced marriage. There are two subjects were used as resources
by status the same but different professions.
This research found some sense and the factors that influence
happiness, that in the perspective of the two subjects in this research.
The findings of the second interview subjects were found perspective
on the factors that influence happiness, including money (income),
marriage, social relationships, and sharing. Of the factors influencing
happiness on the perspective of each subject has a different intensity.

Keywords: Happiness, Middle Adulthood, Single

xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
DAFTAR ISI
..............................................................................................
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
INTISARI
..............................................................................................
ABSTRACT
..............................................................................................

BAB I

BAB II

BAB III


BAB IV

PENDAHULUAN
A. Latar belakang ............................................................................
B. Fokus Permasalahan ...................................................................
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
D. Manfaat Penelitian .....................................................................
E. Keaslian Penelitian .....................................................................

i
ii
iii
iv
vi
viii
ix
x
xi

1

11
12
12
12

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebahagiaan (Happiness)
1. Pengertian kebahagiaan (happiness) ....................................
2. Faktor yang mempengaruhi kebahagiaan (happiness) .........
B. Dewasa Madya
1. Pengertian dewasa madya ....................................................
2. Karakteristik dewasa madya ................................................
3. Tugas perkembangan dewasa madya ...................................
C. Hidup Melajang .........................................................................
D. Faktor-Faktor Kebahagiaan (Happiness) bagi Wanita Lajang
Dewasa Madya ...................................................................
E. Kerangka Teoritik ......................................................................
F. Pertanyaan Penelitian ................................................................

46

52
55

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ...........................................................................
B. Lokasi Penelitian ........................................................................
C. Subyek Penelitian .......................................................................
D. Cara Pengumpulan Data .............................................................
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data .....................................
F. Keabsahan Data ..........................................................................

56
57
57
59
59
60

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subyek .......................................................................

B. Hasil Penelitian

18
20
27
29
36
38

61

vi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Deskripsi hasil temuan ...........................................................
2. Analisis temuan penelitian .....................................................
C. Pembahasan ................................................................................

64

69
71

PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................
B. Saran .........................................................................................

79
80

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
LAMPIRAN
..............................................................................................

81
83

BAB V

vii


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi generasi lampau menikah merupakan suatu keharusan, dan
pada usia tertentu orang sering dituntut untuk menikah agar tidak dikatakan
sebagai perawan tua. Namun kondisi zaman sekarang ini pernikahan justru
tidak lagi ditakuti, karena orang-orang sekarang lebih memprioritaskan untuk
karir terlebih dahulu.
Norma pada saat ini tidak lagi mendikte bahwa seseorang harus
menikah, terus berada dalam perkawinan, atau memiliki anak, dan pada usia
berapa hal tersebut harus dilaksanakan. Orang-orang bisa saja terus melajang,
hidup bersama dengan pasangan berjenis kelamin sama atau berbeda tanpa
ikatan pernikahan, bercerai, menikah kembali, menjadi orangtua tunggal, atau
terus hidup tanpa kehadiran seorang anak; dan pilihan seseorang sangat
mungkin berubah sepanjang masa dewasa (Papalia, 2008: 700).
Kenyataan yang pasti bahwa dalam suatu budaya yang didalamnya

perkawinan merupakan pola yang normal bagi kehidupan orang dewasa,
sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari
orangtua dan teman-teman agar segera menikah. Selama usia dua puluhan,
tujuan dari sebagian besar wanita yang belum menikah adalah perkawinan.
Apabila dia belum juga menikah pada waktu dia telah mencapai usia tiga

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

puluh atau persis pada hari ulang tahunnya yang ketiga puluh, mereka
cenderung untuk menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan
serta gaya hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam
karier, dan kesenangan pribadi (Hurlock, 1996: 300).
Menurut kata-kata klise kuno dalam banyak masyarakat yang
berbunyi: “tak ada tempat bagi bujangan atau wanita kecuali sebagai pria
ekstra pada pesta siang bolong atau sebagai baby-sitter bagi keluarga yang
telah menikah”. Maksudnya dalam bahasa populer pria atau wanita yang tidak
kawin akan kesepian, tidak bahagia, dan menentang dorongan seksualmya,
dan masa orangtua, afeksi lawan jenis yang menggiurkan dan gengsi yang
dapat diperoleh dari hidup berkeluarga dan perkawinan (Hurlock, 1996: 299300).
Pada dasarnya, kehidupan melajang bisa merupakan suatu pilihan
hidup ataupun suatu keterpaksaan akibat belum adanya pasangan yang sesuai.
Kehidupan melajang ini dapat menimbulkan perasaan kesepian karena
kurangnya dukungan sosial, sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap
kebahagiaan dalam menjalani kehidupan.
Penilaian mengenai kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap individu
merupakan hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kajian tentang
kebahagiaan. Beberapa tokoh yang mengkaji tentang kebahagiaan telah
sepakat bahwa kebahagiaan bersifat subyektif dan masing-masing individu
merupakan penilai terbaik mengenai kebahagiaan yang dirasakannya. Hal

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

tersebut sesuai dengan pernyataan berikut “this conceptualization emphasizes
the subjective nature of happiness and hold individual human being to be the
single best judges of their own happiness” (Diener & Kasebir dan Mardliyah,
2010).
Kebahagiaan sesungguhnya merupakan suatu hasil penilaian
terhadap diri dan hidup, yang memuat emosi positif, seperti kenyamanan dan
kegembiraan yang meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak
memenuhi komponen emosi apapun, seperti absorbsi dan keterlibatan
(Seligman, 2005: 65).
Pada awal kemunculan riset yang serius mengenai kebahagiaan,
yaitu pada 1967, Warner Wilson meninjau pemahaman tentang kebahagiaan
pada saat itu. Dia menyatakan kepada dunia psikologi bahwa orang-orang
yang berbahagia adalah orang yang: (a). berpenghasilan besar (uang); (b).
menikah; (c). muda; (d). sehat; (e). berpendidikan; (f). religius (Seligman,
2005: 65)
Bagaimana perasaan wanita yang tidak menikah jelas berbeda-beda,
sesuai dengan latar belakang sosialnya. Mereka yang tinggal di pedesaan,
kota kecil, atau pinggiran kota tetapi tidak atau belum menikah akan
menghadapi tantangan yang lebih berat daripada mereka yang tinggal di
daerah kota. Seperti yang dikatakan oleh seorang wanita muda, “saya tidak
akan hidup sendiri lagi di pinggiran kota, kehidupan disitu betul-betul

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

membosankan, karena orang-orang menjadikan saya merasa seolah-olah
mereka memusingkan saya” (Hurlock, 1996: 300).
Hurlock (1980 dalam Yuliana, 2006: 1) menyebutkan usia tiga
puluh tahun sebagai usia kritis bagi perempuan yang belum menikah. Bagi
mereka, usia tiga puluh tahun merupakan pilihan yang memiliki
persimpangan. Biasanya hidup mereka sering diwarnai dengan kecemasan
jika pada usia ketiga puluh belum juga menikah.
Fenomena yang muncul saat ini adalah individu yang masih belum
menikah atau bersatus lajang hingga usianya memasuki masa dewasa madya.
Jika dilihat secara teori, menikah merupakan salah satu tugas perkembangan
pada masa dewasa awal, dan penundaan pernikahan ini dapat menghambat
tugas perkembangan pada masa dewasa madya.
Data statistik Indonesia juga menunjukkan adanya pergeseran usia
menikah pada wanita, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada tahun
1995, rata-rata wanita menikah di usia 22,3 tahun. Pada tahun 2000, rata-rata
usia menikah pada wanita bergeser menjadi menjadi 22,9 tahun, dan pada
tahun 2005 usia menikah rata-rata 23,2 tahun (Badan Statistik Indonesia,
2008 dalam Christie, 2013: 2).
Hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dilaporkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perempuan berusia 30-54 yang
belum menikah berjumlah 1.418.689 orang atau sekitar 4,1 % dari total

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

perempuan Indonesia dalam rentang usia yang sama (BPS Online). Pada
tahun 2011 terdapat 3,3 % proporsi wanita pada usia 45-59 tahun yang belum
menikah. Fenomena peningkatan jumlah perempuan dewasa belum menikah
juga terjadi di kota Surabaya. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil kota Surabaya bulan Oktober 2012, tercatat pada tahun 2010
jumlah wanita usia 30 tahun ke atas yang masih lajang sebesar 103.568
penduduk, meningkat menjadi 106.771 pada tahun 2011, dan 108.695 pada
tahun 2012 (Septiana & Syafiq, 2013: 72).
Penduduk perempuan kota Surabaya yang berstatus kawin pada
tahun 2014 persentase pada kelompok umur 40 - 44 tahun yaitu 17,6 % dan
persentase pada kelompok umur 45 - 49 tahun adalah 12,4 % (Badan Pusat
Statistik Kota Surabaya, 2015: 14).
Jumlah individu yang hidup sendirian mulai meningkat pada tahun
1950-an, tetapi baru pada tahun 1970-an peningkatan itu pesat pada dekade
tahun 70-an, jumlah laki-laki yang bidup sendirian meningkat 97 %, jumlah
pada perempuan adalah 55 %. Pada tahun 80-an, anagka ini bergerak semakin
lambat, hal itu terus berlanjut dan diharapkan terus bertahan seperti itu paling
tidak sampai akhir abad ini. Pada tahun 1985, 20,6 juta individu bidup sendiri
di Amerika Serikat, terdiri dari 11 % orang dewasa dan 24% dari semua
jumlah keluarga. Dalam beberapa hal, jumlah individu yang hidup sendiri
adalah tanda dari perubahan yang lain: tingkat kelahiran yang rendah, tingkat
perceraian yang tinggi, usia hidup yang panjang, dan pernikahan yang lambat.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Tetapi kelompok yang tumbuh paling cepat pada tahun 1970-an adalah orang
dewasa yang hidup sendiri dan mayoritas dari mereka adalah kaum muda.
Pada dekade itu, jumlah orang yang belum pernah menikah di bawah usia 30
tahun dengan sendirinya berjumlah lebih dari tiga kali lipat. Bagi mereka,
pernikahan tidak lagi menjadi satu-satunya jalan keluar dari rumah atau jalur
satu-satunya untuk pemenuhan seksual (Santrock, 2002: 123).
Berdasarkan penelitian Wood, dkk (2007) dan Loewenstein, dkk
(2004) dalam Christie dkk, (2013: 3), diketahui bahwa wanita lajang usia 3565 tahun merasa lebih tertekan, tidak bahagia, tidak tercukupi, tidak puas,
stres, depresi, dan tidak sehat secara emosi dibandingkan wanita menikah
yang memiliki kualitas pernikahan baik, relasi sehat dengan suami, dan
pernikahan yang bahagia. Perasaan-perasaan tersebut muncul akibat korelasi
dengan faktor-faktor seperti kesepian, tidak mempunyai banyak teman, tidak
terpenuhinya kebutuhan seksual, kesehatan, dan kemampuan bekerja.
Ketika wawancara dengan lebih dari 13.000 orang dewasa Amerika
Serikat diulangi lima tahun kemudian, orang dewasa yang tetap menikah
mengaku lebih bahagia dibanding mereka yang tetap melajang. Mereka yang
berpisah atau bercerai menjadi kurang bahagia dan mengaku sering
mengalami depresi. Laki-laki dan perempuan yang menikah untuk pertama
kalinya erasakan peningkatan kebahagiaan yang luar biasa, sementara mereka
yang memasuki pernikahan kedua mengalami peningkatan kebahagiaan yang
biasa-biasa saja (Marks & Lambert, 1998 dalam Berk, 2012: 156-157).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Sekalipun tidak semua orang menjadi lebih bahagia saat menikah,
hubungan antara pernikahan dan kesejahteraan memiliki kemiripan di banyak
negara, menunjukkan bahwa pernikahan mengubah perilaku orang dalam cara
yang membuat mereka lebih bahagia (Diener dkk, 2000; Lansford dkk, 2005
dalam Berk, 2012: 157).
Dalam kajian Diener dan Seligman tentang orang-orang yang sangat
berbahagia, semua orang (kecuali satu) dalam kelompok 10 % teratas
kebahagiaan, saat itu sedang terlibat dalam hubungan romantis. Mungkin data
paling meyakinkan tentang manfaat perkawinan adalah hasil pelbagai survei
yang menyatakan bahwa orang yang menikah lebih berbahagia daripada
orang yang tidak menikah. Dari orang dewasa yang menikah, 40 %
menyatakan diri mereka “sangat berbahagia”, sedangkan hanya 23 % dari
orang dewasa yang belum pernah menikah mengatakan demikian. Ini berlaku
pada setiap kelompok etnis yang dipelajari. Perkawinan adalah faktor
kebahagiaan yang lebih kuat dibanding kepuasan akan pekerjaan, keuangan,
atau komunitas (Seligman, 2005: 239).
Dalam sebuah studi terhadap 300 wanita lajang berkulit hitam,
putih, dan Latin di daerah Los Angeles (Tucker & Mitchell-Kernan, 1998
dalam Papalia, 2008: 701), anggota dari ketiga kelompok tersebut memiliki
kesulitan menemukan pria yang memenuhi syarat dengan latar belakang
pendidikan dan social yang sama; tapi tidak seperti dua kelompok lainnya,
wanita Afro-Amerika, yang usia rata-rata 40 tahun, tampaknya tidak terlalu

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

terusik dengan situasi ini. Mungkin, sebagaimana yang diprediksi oleh model
timing of event, hal ini dikarenakan mereka melihat melajang merupakan
sesuatu yang normatif dalam kelompok etnis mereka.
Pada saat sebagian orang muda, mereka terus melajang karena tidak
mendapatkan pasangan yang tepat, yang lain melajang karena mereka
memilih untuk melajang. Lebih banyak wanita pada saat ini yang mandiri,
ditambah lagi makin berkurangnya tekanan social untuk menikah. Sebagian
orang ingin bebas dalam mengambil risiko, pengalaman, dan membuat
perubahan berpindah ke negara atau benua lain, mengejar karier, melanjutkan
studi, atau melakukan karya kreatif tanpa harus khawatir bagaimana
pencarian akan kepuasan diri mereka memengarui orang lain. Sebagian dari
mereka menikmati kebebasan seksual. Sebagian yang lain menemukan gaya
hidup tersebut sebagai hal yang menarik. Sebagian lagi hanya menyukai
hidup sendiri. Dan sebagian ynag lain menunda atau membatalkan
perkawinan karena akan berakhir pada penceraian. Penundaan masih masuk
akal, karena sebagaimana yang akan kita lihat, semakin muda seseorang pada
perkawinan pertamanya, semakin besar kecenderungan mereka untuk
berpisah. Banyak orang lajang yang menyukai status mereka (Austrom &
Hanel, 1985 dalam Papalia, 2008: 701). Sebagian besar tidak kesepian
(Cargan, 1981; Spurlock, 1990 dalam Papalia, 2008: 701); mereka sibuk dan
aktif serta merasa aman.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Akan tetapi, banyak survey di Amerika Utara dan Eropa yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan
orang-orang yang tidak menikah, walaupun mereka yang berada dalam
pernikahan yang tidak bahagia memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih
rendah dibandingkan mereka yang tidak menikah atau bercerai. Berlawanan
dengan pendapat umum, tingkat kebahagiaan wanita dalam pernikahan sama
besarnya dengan yang dimiliki oleh pria (Myers, 2000 dalam Papalia, 2008:
706). Mereka yang menikah dan langgeng, khususnya wanita, akan dapat
mengumpulkan kekayaan yang lebih besar dibandingkan mereka yang tidak
menikah atau bercerai (Wilmoth & Koso, 2002 dalam Papalia, 2008: 706).
Penelitian tentang depresi memberikan hasil sepenuhnya terbalik:
orang yang menikah paling sedikit mengalami depresi dan di peringkat
berikutnya adalah orang yang belum pernah menikah, diikuti oleh orang yang
bercerai sekali, orang yang hidup bersama (tanpa menikah), dan orang yang
bercerai dua kali. Serupa dengan itu, penyebab utama perasaan tertekan
adalah terganggunya hubungan yang penting (Seligman, 2005: 240).
Usia menikah umum masih bervariasi antarkultur. Di bagian barat
Eropa, orang-orang cenderung menikah di bawah umur 20 tahun,
sebagaimana yang dilakukan Ingrid Berman. Akan tetapi di negara industrial,
seperti Swedia, terdapan tren penundaan pernikahan ketika para dewasa awal
mengejar gelar dan target karier atau umtuk mengeksplorasi pertemanan
(Bianchi & Spain, 1986 dalam Papalia, 2008: 706). Di Perancis, rata-rata usia

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

pengantin pria 30 tahun dan pengantin wanita 28 tahun, lima tahun lebih tua
dibandingkan orang Perancis seperti empat abad yang lalu (Ford, 2002 dalam
Papalia, 2008: 706). Di Kanada, usia rata-rata perkawinan pertama untuk
wanita meningkat dari sekitar 23 tahun menjadi 27 tahun, dan untuk pria dari
sekitar 26 tahun menjadi 29 tahun, dan hal ini berlangsung sejak 1961 (Wu,
1999 dalam Papalia, 2008: 706). Di Amerika Serikat, usia rata-rata pengantin
pria pada perkawinan pertamanya adalah sekitar 27 tahun, dan 25 tahun bagi
pengantin wanita, hal itu meningkat sekitar tiga setengah tahun dari 1940-an
(Fields & Casper, 2001; Kreider & Fields, 2002 dalam Papalia, 2008: 706).
Dalam Q.S. Ar-Rum: 21, Allah SWT berfirman “Dan diantara
tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir”.
Berdasarkan

ayat

al-Quran

tersebut,

menunjukkan

bahwa

pernikahan atau perkawinan merupakan perintah agama yang berfungsi
memberikan kasih sayang melalui kehidupan rumah tangga. Namun, di
lingkungan tempat tinggal peneliti, tepatnya di wilayah Surabaya Utara di
kecamatan semampir terdapat cukup banyak yang masih memilih atau
menjalani kehidupan sendiri (single) pada usia yang sudah tidak lagi muda,
namun tampaknya mereka bahagia dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

itu, peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor kebahagiaan (happiness)
bagi wanita lajang dewasa madya. Dalam penelitian ini diambil dua subyek
yang akan diteliti, yaitu yang memiliki karir yang berbeda, karir yang cukup
bagus, yaitu sebagai PNS dan sebagai ketua karyawan, namun mereka di
umur yang tergolong kategori dewasa madya belum memiliki pasangan hidup
(suami).
Semua

orang

menginginkan

kebahagiaan

dalam

hidupnya.

Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup
dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Bagi
beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti mempunyai kelimpahan materi
atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi sebagian orang lainnya
adapula yang akan merasa bahagia, apabila bisa membuat orang lain bahagia
atau memberikan manfaat kepada sesama manusia. Adapula yang
menganggap dengan menikmati dan mensyukuri apa yang telah dimiliki dapat
membuatnya merasakan kebahagiaan. Pada pendapat terakhir terlihat bahwa
kebahagiaan berkaitan dengan rasa puas terhadap hidup, yaitu dengan
mensyukuri apa yang dimiliki atau dengan kata lain individu akan bahagia
bila merasa puas dengan hidupnya.
B. Fokus Permasalahan
Mengetahui apa saja faktor-faktor kebahagiaan (happiness) bagi wanita lajang
dewasa madya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan atau menggambarkan
faktor-faktor kebahagiaan (happiness) bagi wanita lajang dewasa madya.
D. Manfaat
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis memberikan kontribusi pada ilmu psikologi terutama pada
bidang psikologi positif mengenai faktor-faktor kebahagiaan (happiness)
bagi wanita lajang dewasa madya.
2. Secara praktis berguna dalam memberikan informasi kepada semua
kalangan khususnya pada dewasa madya yang sedang menjalani
kehidupan melajang mengenai faktor-faktor kebahagiaan (happiness) bagi
wanita lajang dewasa madya.
E. Keaslian Penelitian
Pada penelitian sebelumnya mengenai dewasa yang hidup melajang
ditemukan beberapa penelitian, diantaranya: Penelitian Yuliana (2006)
dengan mengambil subyek penelitian satu orang wanita karir yang berusia
antara 32 tahun. Dari hasil penelitian ini subyek melajang hingga usia 32
tahun karena lebih memprioritaskan karir, faktor yang mempengaruhi
kecemasan subyek adalah subyek merasa terbebani dengan perkataan
orangtua untuk cepat menikah, rendah diri bila menghadapi pesta pernikahan.
Upaya-upaya yang dilakukan subyek adalah pergi ke internet, mengikuti
organisasi-organisasi di dalam Gereja dan berserah kepada Tuhan dan berdoa.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Penelitian Pradipta (2015) menggunakan metode wawancara dan
observasi. Informan penelitian berjumlah tiga orang dengan karakteristik
wanita berusia 40-60 tahun yang belum pernah menikah dan sedang tidak
menjalani percintaan dengan siapapun. Hasil penelitian yang didapat
mengenai gambaran psychological well being pada wanita lajang dewasa
madya

yang

pendidikan

tinggi

menekankan

pada

mengembangkan

penghargaan hubungan dengan orang lain sedangkan gambaran psychological
well being pada wanita lajang dewasa madya yang pendidikan rendah lebih
menekankan pada pemenuhan kebutuhan individu mereka sendiri.
Penelitian Christie, Hartanti, dan Nanik (2013) menggunakan
metode penelitian kuantitatif dengan mengambil subyek penelitian 60 orang
yang berusia antara 35 - 50 tahun, dengan menggunakan angket kesejahteraan
psikologis, kesepian, dan dukungan sosial. Hasil penelitian secara
keseluruhan menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang tipe
stable voluntary, temporary voluntary, dan temporary involuntary tidak
berbeda dan berada pada kategori tinggi. Kesepian dan dukungan sosial
berkontribusi besar (79.9%) terhadap kesejahteraan psikologis wanita lajang.
Penelitian Kurniati, Hartanti, dan Nanik (2013) menggunakan
metode penelitian kualitatif life history dan partisipan dalam penelitian ini
adalah dua orang pria yang berstatus lajang dengan usia dewasa madya (4060 tahun). Hasil penelitian menunjukkan penerimaan diri pada pria lajang
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Adapun yang termasuk dalam

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

faktor internal adalah hobi, motivasi, dan personality. Bila dilihat secara
eksternal, faktor yang mempengaruhi adalah relasi sosial secara umum dan
secara khusus yaitu hubungan interpersonal dengan lawan jenis, serta social
support. Setiap pria lajang tidak harus merasakan kesepian karena kondisi
kesepian yang dialami pria lajang dapat diatasi dengan adanya relasi sosial
yang baik dengan orang lain. Kedaan tersebut memiliki pengaruh pada tidak
tercapainya psychological well being pria lajang.
Penelitian Septiana dan Syafiq (2013) menggunakan metode
penelitian kualitatif strategi fenomenologi, dengan pengambilan data
menggunakan

wawancara semiterstruktur. Data yang diperoleh dianalisis

menggunakan teknik analisis Interpretative Phenomenological Analysis (IPA)
dan dengan kriteria subyek yang akan diteliti perempuan lajang usia 30 - 55
tahun memiliki penghasilan sendiri. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi
tiga tema utama, yaitu pengalaman terkait stigma terhadap identitas lajang;
kondisi psikologis akibat stigma terhadap lajang; dan cara menghadapi
tekanan dan stigma. Para partisipan melaporkan bahwa mereka dianggap dan
diperbincangkan sebagai perawan tua, perempuan tidak laku, dan memiliki
sifat tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan intim. Pengalaman
stigam tersebut telah mempengaruhi kondisi psikologis sebagai perawan
lajang, yaitu perasaan tertekan dan kesepian. Dalam menghadapi tekanan
akibat stigma dan upaya untuk mengatasi tekanan psikologis tersebut, para
partisipan penelitian ini menempuh strategi untuk mempertahankan rasa
identitas yang positif sebagai lajang, antara lain: memaknai kembali status

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

lajang lebih positif, menghindari situasi yang menimbulkan stigma, dan
menyerahkan diri pada takdir.
Penelitian Fatimah (2014) menggunakan metode penelitian kualitatif
strategi fenomenologi, dengan mengambil subyek penelitian dua dewasa
madya laki-laki dan dua dewasa madya perempuan yang sedang menjalani
kehidupan lajang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan
kesejahetraan subjektif pada keempat informan, hal ini dipengaruhi oleh
gambaran, faktor serta makna kesejahteraan subjektif yang berbeda pada
setiap

informan.

Pada

informan

pertama

menggambarkan

bahwa

kehidupannya saat ini lebih baik dibandingkan dengan kehidupan masa lalu
karena adanya penemuan cinta dalam hidupnya yang menjadikan dirinya
sejahtera dan lebih baik. Pada informan kedua menggambarkan bahwa
hidupnya memiliki arti untuk kedua orangtuanya sehingga makna
kesejahteraan adalah berbakti kepada orangtua. Kemudian pada informan
ketiga menggambarkan kesejahteraan hidupnya secara lahir dan batin karena
agama. Sehingga informan menilai bahwa makna kesejahteraan subjektif
yang diperolehnya sebagai wujud dari perpanjangan tangan Tuhan. Pada
informan keempat memperoleh gambaran kesejahteraan hidupnya dengan
menjadikan dirinya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain melalui kegiatan
yang dilakukannya.
Penelitian Anshori (2015) menggunakan metode penelitian kualitatif
strategi fenomenologi, dengan subyek tiga wanita lajang dewasa madya (40-

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

60 tahun). Penelitian ini menemukan dinamika kesejateraan psikologis wanita
lajang dewasa madya dilihat dari dimensi kesejateraan psikologis yaitu:
ketiga subyek, dapat menerima nasib dan tidak menyalahkan orang lain atas
peristiwa masa lalu. Ketiga subyek menunjukkan adanya komunikasi berupa
menghargai dan percaya pada orang lain. Kemandirian ditunjukkan pada tiga
subyek, bebas memutuskan masa depan karier. Penguasaan lingkungan pada
ketiga subyek ditunjukkan dengan aktif mengikuti kegiatan sosial. Serta
pengembangan diri, ketiga subyek, ditunjukkan dengan mengembangkan
bakat dan berwirausaha untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Faktor yang
menentukan kesejateraan psikologis pada subyek A adalah dukungan sosial,
kepribadian, dan pekerjaan. Subyek B dan C faktor penentu kesejateraan
psikologis adalah dukungan sosial, agama, kepribadian, evaluasi terhadap
pengalaman hidup, dan pekerjaan. Upaya untuk meraih kesejateraan
psikologis pada ketiga wanita lajang dewasa madya berbeda-bedam, yaitu
coping fokus emosi melalui mendengarkan musik pada subyek A, subyek B
dan C terpusat pada ibadah. Sedangkan coping fokus pada masalah
ditunjukkan ketiga subyek, dengan mengikuti kegiatan di masyarakat.
Penelitian Wardani

(2015) menggunakan

metode penelitian

kualitatif strategi fenomenologi, dengan menggunakan tiga informan dewasa
madya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan kesamaan pada tipe
kesepian yang dialami ketiga informan, yaitu tipe kesepian emosional dan
kesepian kognitif yang berarti ketiga informan membutuhkan kasih sayang
namun tidak mendapatkannya karena tidak ada figur kasih sayang yang intim

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

dari lawan jenis atau dari keluarga serta hanya memiliki sedikit teman untuk
berbagi pikiran atau mencurahkan hati.
Untuk judul penelitian yang hampir sama dengan judul penelitian
ini, ditemukan satu penelitian sebelumnya, yakni penelitian Kumoro (2010)
berjudul “Happiness pada Wanita Dewasa Madya yang Belum Menikah”.
Namun dalam file jurnal penelitian tersebut tidak dapat diakses lengkap, yang
bisa diakses hanya bagian cover, daftar isi, dan sebagian abstrak. Sehingga
tidak dapat diketahui metode penelitian apa yang digunakan dalam penelitian
tersebut. Sedangkan penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan (happiness) bagi wanita lajang dewasa madya. Metode
penelitian dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan
pendekatan atau strategi fenomenologi, dan mengambil dua subyek penelitian
dari latar belakang profesi yang berbeda.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebahagiaan (Happiness)
1. Pengertian kebahagiaan (happiness)
Para ilmuan sosial yang tengah mempelajari “kebahagiaan”,
menamakan kebahagiaan dengan istilah yang berbeda, yakni kesejahteraan
subjektif

(subjective

well-being).

Hasil-hasil

penelitian

pun

memperlihatkan adanya suatu kondisi semacam kebahagiaan personal
(Khavari, 2000: 127).
Menurut Aristoteles (Bertens, 2007 dalam Ningsih, 2013: 582)
kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia. Setiap
orang juga memiliki harapan-harapan yang ingin dicapai guna pemenuhan
kepuasan dalam kehidupannya. Keduanya, kebahagiaan dan kepuasan
dalam hidup merupakan bagian dari konsep kesejahteraan subjektif yang
mencakup aspek afektif dan kognitif manusia.
Websters mendefinisikan bahagia sebagai suatu kata sejahtera
yang dicirikan dengan kesenangan yang intens dan suatu kesenangan atau
pengalaman yang memuaskan (Stanford, 2010: 2).
“Kita cenderung lupa bahwa kebahagiaan tidak datang sebagai
hasil dari mendapatkan sesuatu yang kita tidak punya, tapi lebih mengenali
dan menghargai apa yang kita miliki” (Frederick Keonig).

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Kebahagiaan didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang
positif, yang ditandai oleh tingginya kepuasan terhadap masa lalu,
tingginya tingkat emosi positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif (Carr
dalam Mardliyah, 2010 dalam Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim).
Kebahagiaan

adalah

istilah

umum

yang

menunjukkan

kenikmatan atau kepuasan yang menyenangkan dalam kesejahteraan,
keamanan, atau pemenuhan keinginan. Kebahagiaan adalah pencapaian
cita-cita dan keberhasilan dalam apa yang diinginkan. Kebahagiaan,
merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia (Indriana, 2012 dalam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).
Penilaian mengenai kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap
individu merupakan hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kajian
tentang kebahagiaan. Beberapa tokoh yang mengkaji tentang kebahagiaan
telah sepakat bahwa kebahagiaan bersifat subyektif dan masing-masing
individu

merupakan penilai

terbaik

mengenai

kebahagiaan

yang

dirasakannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan berikut “this
conceptualization emphasizes the subjective nature of happiness and hold
individual human being to be the single best judges of their own
happiness” (Diener & Kasebir dan Mardliyah, 2010 dalam Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

Kebahagiaan sesungguhnya merupakan suatu hasil penilaian
terhadap diri dan hidup, yang memuat emosi positif, seperti kenyamanan
dan kegembiraan yang meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak
memenuhi komponen emosi apapun, seperti absorbsi dan keterlibatan
(Seligman, 2005: 65).
Dari sebuah penelitian (The Psychology of Happiness), dapat
mulai dipahami bahwa: (1) kebahagiaan dapat diukur secara obyektif dan
dari waktu ke waktu; (2) ada korelasi yang kuat antara kebahagiaan dan
pengalaman makna; (3) memiliki banyak kesalahpahaman tentang apa
yang membuat seseorang bahagia; dan (4) ada beberapa hal yang dapat
seseorang lakukan untuk meningkatkan tingkat atau level kebahagiaan dan
makna seseorang (Stanford, 2010: 1).
Kebahagiaan

(happiness)

dalam

konteks

penelitian

ini

merupakan suatu penilaian yang bersifat subyektif, suatu hasil penilaian
terhadap diri dan hidup, yang memuat emosi positif, seperti kenyamanan
dan kegembiraan yang meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak
memenuhi komponen emosi apapun.
2. Faktor yang mempengaruhi kebahagiaan (happiness)
Pada awal kemunculan riset yang serius mengenai kebahagiaan,
yaitu pada 1967, Warner Wilson meninjau pemahaman tentang
kebahagiaan pada saat itu. Dia menyatakan kepada dunia psikologi bahwa
orang-orang yang berbahagia adalah orang yang: (Seligman, 2005: 65)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

a. Berpenghasilan besar (uang)
b. Menikah
c. Muda
d. Sehat
e. Berpendidikan
f. Religius
g. Jenis kelamin tidak berpengaruh
h. Tingkat kecerdasan tidak berpengaruh.
Terbukti kemudian bahwa separuhnya salah dan separuhnya
benar. Kemudian Seligman mengulas penemuan pada 35 tahun lalu
tentang cara-cara lingkungan eksternal memengaruhi kebahagiaan,
diantaranya: (Seligman, 2005: 66-77)
a. Uang
Sophie Tucker mengatakan “saya pernah kaya dan pernah
muskin. Kaya lebih baik”. Di samping itu, Pepatah mengatakan “uang
tidak dapat membeli kebahagiaan”. Kedua pernyataan tersebut
meskipun tampak bertentangan, ternyata benar. Terdapat banyak data
tentang pengaruh kekayaan dan kemiskinan terhadap kebahagiaan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Penilaian seseorang terhadap uang akan memengaruhi
kebahagiaan seseorang tersebut, lebih daripada uang itu sendiri.
Materialisme

tampaknya

kontraproduktif:

pada

setiap

level

penghasilan, orang yang menempatkan uang di atas tujuan lainnya
kurang puas dengan penghasilan mereka dan dengan kehidupan
mereka secara keseluruhan walaupun alasan persisnya masih
merupakan misteri.
b. Perkawinan
Perkawinan

terkadang

dicerca

sebagai

belenggu

dan

terkadang dipuji sebagai kenikmatan abadi. Tak satupun dari kedua
penggambaran itu tepat sasaran. Namun, secara keseluruhan, data-data
lebih mendukung penggambaran kedua. Tidak seperti uang, yang
hanya sedikit pengaruhnya, perkawinan sangat erat hubungannya
dengan kebahagiaan. Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi
panjang usia dan besar penghasilan dan ini berlaku baik pada laki-laki
maupun perempuan.
c. Kehidupan sosial
Dalam penelitian Seligman dan Ed Diener tentang orangorang yang sangat bahagia, ditemukan bahwa semua orang (kecuali
satu) yang termasuk dalam10% orang yang paling berbahagia, sedang
terlibat dalam hubungan romantis. Orang yang sangat bahagia jauh
berbeda dengan orang rata-rata dan orang yang tidak bahagia, yaitu

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

orang yang menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan.
Orang -orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan
waktu

sendirian

dan

kebanyakan

dari

mereka

bersosialisasi.

Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman, mereka dapat nilai
tertinggi dalam berinteraksi.
Temuan ini sejalan dengan penelitian mengenai perkawinan
dan kebahagiaan, baik tentang segi baik maupun buruknya.
Kemampuan bersosialisasi yang meningkat pada orang yang
berbahagia itulah mungkin yang sebenarnya merupakan penyebab dari
temuan posistif tentang perkawinan, dengan fakta bahwa orang yang
lebih bersosialisasi (yang juga lebih berbahagia) lebih mungkin untuk
menikah. Bagaimanapun, sulit untuk membedakan penyebab dari
akibat. Oleh karena itu, besar pula kemungkinannya bahwa kehidupan
sosial (dan perkawinan) yang kaya akan membuat seseorang lebih
bahagia. Namun, mungkin juga orang yang lebih berbahagia sejak
awal memang lebih disukai dan karena itu seseorang tersebut memiliki
kehidupan sosial yang lebih kaya dan lebih cenderung untuk menikah.
Atau bisa saja terdapat variabel ketiga seperti menjadi orang yang
lebih terbuka atau menjadi pembicara yang mengagungkan yang
mengakibatkan kehidupan sosial yang kaya sekaligus mendatangkan
lebih banyak kebahagiaan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

d. Emosi negatif
Hanya terdapat sedikit korelasi negatif antara emosi positif
dan emosi negatif. Ini berarti, jika memiliki banyak emosi negatif,
seseorang mungkin memiliki lebih sedikit emosi positif dibandingkan
dengan rata-rata. Meskipun demikian, ini tidak berarti seseorang
tercampak dari kehidupan riang gembira. Demikian pula, meskipun
seseorang memiliki banyak emosi positif dalam hidup, tidak berarti
seseorang tersebut sangat terlindungi dari kepedihan.
Kemudian, muncul pula kajian yang membandingkan lakilaki dengan perempuan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa para
perempuan mengalami depresi dua kali lebih banyak daripada laki-laki
dan umunya perempuan memiliki lebih banyak emosi negatif. Ketika
para peneliti mulai memerhatikan emosi positif dan gender, mereka
terkejut ketika menemukan bahwa perempuan juga mengalami lebih
banyak emosi positif lebih sering dan lebih pekat daripada laki-laki.
e. Usia
Dalam kajian terkenal yang dilakukan 35 tahun lalu oleh
Wilson, kemudaan dianggap senantiasa mencerminkan keadaan lebih
berbahagia. Kini, kemudaan tidak lagi dinilai sedemikian tingginya.
Begitu para peneliti menelaah data-data itu secara lebih teliti,
lenyaplah anggapan bahwa orang muda lebih berbahagia. Citra orang
tua cerewet yang suka mengeluhkan segala hal juga telah tebukti tidak

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

sesuai dengan kenyataan. Sebuah penelitian otoritatif atas 60.000
orang dewasa dari 40 bangsa membagi kebahagian kedalam tiga
komponen, yaitu kepuasan hidup, afek menyenangkan, dan afek tidak
menyenangkan. Kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia, afek menyenangkan sedikit melemah, dan afek
negatif tidak berubah. Yang berubah ketika seseorang menua adalah
intensitas emosinya. Perasaan”mencapai puncak dunia‟‟ dan „‟terpuruk
dalam keputusasaan” menjadi berkurang seiring dengan bertambahnya
umur dan pengalaman.
f. Kesehatan
Seseorang mengira bahwa kesehatan merupakan kunci
menuju kunci kebahagiaan, karena kesehatan yang bagus biasanya
dinilai sebagai segi terpenting dalam kehidupan manusia. Namun
ternyata, kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan
kebahagiaan; yang penting adalah persepsi subjektif seseorang
terhadap seberapa sehat diri seseorang tersebut. Berkat kemampuan
untuk beradaptasi terhadap penediritaan, seseorang bisa menilai
kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang sakit.
Ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan menjadi
begitu parah dan berlangsung lama, kebahagiaan dan kepuasaan hidup
memang menurun, tetapi tidak sebanyak yang seseorang perkirakan.
Orang-orang yang masuk rumah sakit dengan hanya satu masalah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

kesehatan yang kronis (misalnya penyakit jantung) menunjukan
peningkatan kebahagiaan yang berarti pada tahun berikutnya. Namun,
mereka yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan, kebahagiaan
mereka berkurang sejalan dengan waktu. Jadi, masalah ringan dalam
kesehatan tidak lantas menyebabkan ketidakbahagiaan, tetapi sakit
yang parah memang menyebabkanya.
g. Pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin
Tidak satupun dari keempat hal ini yang penting bagi
kebahagiaan.

Meskipun

merupakan

sarana

untuk

mencapai

penghasilan yang lebih tinggi, pendidikan bukanlah sarana menuju
kebahagiaan yang lebih besar, kecuali hanya sedikit, dan hanya terjadi
dikalangan mereka yang berpenghasilan rendah. Begitu pula,
kecerdasan tidak mempengaruhi kebahagiaan.
Jenis kelamin, sebagaimana yang telah Seligman katakan,
memiliki hubungan yang mengherankan dengan suasana hati. Tingkat
emosi rata-rata laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Yang
mengherankan, perempuan lebih bahagia dan sekaligus lebih sedih
daripada laki-laki.
h. Agama
Relevansi yang paling langsung tampak pada fakta bahwa
data survei secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang yang
religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

orang yang tidak religius. Hubungan sebab-akibat antara agama dan
hidup yang lebih sehat dan lebih promasyarakat sudah bukan misteri.
Banyak agama melarang penggunaan narkotika, kejahatan, dan
perselingkuhan, dan sebaliknya mendorong untuk beramal, hidup
sederhana, dan bekerja keras. Hubungan kausal antara agama dan
kebahagiaan yang lebih besar, rendahnya depresi, dan kelenturan
menghadapi tragedi, tidaklah seperti garis lurus. Pada masa puncak
behaviorisme, manfaat emosional dari agama dijelaskan berasal dari
dukungan sosial yang lebih besar. Menurut pandangan ini pula, orangorang religius berkumpul bersama membentuk suatu komunitas
perkawanan yang simpatik dan ini membuat mereka merasa lebih baik.
Namun menurut Seligman, terdapat korelasi yang lebih mendasar:
agama mengisi manusia dengan harapan akan masa depan dan
menciptakan makna dalam hidup.

B. Dewasa Madya
1. Pengertian dewasa madya
Masa dewasa pertengahan (middle age) merupakan bagian
rentang kehidupan yang paling sedikit dipelajari. Tahun-tahun pertengahan
dianggap sebagai ruang kosong menjemukan diantara perubahan yang
lebih dramatis masa dewasa awal dan usia tua. Istilah “paruh baya” atau
usia pertengahan (middle age) mulai digunakan di Eropa dan Amerika
Serikat sekitar awal abad 20-an ketika tingkat harapan hidup menjadi lebih

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

panjang. Dalam buku Papalia (2008), didefinisikan masa dewasa
pertengahan dalam terminologi kronologis, yaitu tahun-tahun antara usia
45 dan 65 tahun. Akan tetapi definisi ini bisa saja berubah (Papalia, 2008:
732-733).
Pada umumnya psikolog menetapkan sekitar usia 20 tahun
sebagai awal masa dewasa dan berlangsung sampai sekitar usia 40-45, dan
pertengahan masa dewasa berlangsung dari sekitar usia 40-45 sampai
sekitar usia 65 tahun, serta masa dewasa lanjut atau masa tua berlangsung
dari sekitar usia 65 tahun sampai meninggal (Desmita, 2010: 234).
Usia dewasa tengah (middle adulthood) adalah periode
perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga
memasuki usia 60-an. Bagi banyak orang paruh kehidupan adalah suatu
masa menurunnya ketrampilan fisik dan semakin besarnya tanggung
jawab; suatu periode dimana orang menjadi semakin sadar akan polaritas
muda-tua dan semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam
kehidupan; suatu titik ketika individu berusaha meneruskan yang berarti
pada generasi berikutnya; dan suatu masa ketika orang mencapai dan
mempertahankan kepuasan dalam karirnya (Santrock, 2003: 139).
Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 tahun sampai pada
umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan
psikologis yang jelas nampak pada setiap orang. Usia madya merupakan
periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

tersebut dibagi-bagi ke dalam dua sub bagian, yaitu: usia madya dini yang
membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya lanjut yang
berbentang antara usia 50 hingga 60 tahun (Hurlock, 1980: 320).

2. Karakteristik dewasa madya
Seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia
madya pun diasosiakan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya
berbeda. Berikut ini akan diuraikan sepuluh karakteristik yang amat
penting: (Hurlock, 1980: 320)
a. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti
Diakui bahwa semakin mendekati usia tua, periode usia
madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan
manusia. Oleh karena itu orang-orang dewasa tidak mau mengakui
bahwa mereka telah mencapai usia tersebut.
Pria dan wanita mempunyai banyak alasan yang kelihatannya
berlaku untuk mereka, untuk takut memasuki usia madya. Beberapa di
antaranya adalah banyaknya stereotip yang tidak menyenangkan
tentang usia madya, yaitu kepercayaan tradisional tentang kerusakan
mental dan fisik yang diduga disertai dengan berhentinya reproduksi
kehidupan serta berbagai tekanan tentang pentingnya masa muda bagi
keb