KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS WANITA LAJANG PADA MASA DEWASA MADYA.

(1)

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS WANITA LAJANG PADA MASA DEWASA MADYA

SKRIPSI

Diajukan KepadaUniversitas Islam Negeri SunanAmpel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Dianisa Milanova Anshori B07211008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

ABSTRACT

This study aims to describe the psychological welfare of single women middle age, the factors that determine the psychological well-being of single women and single women middle adulthood efforts to achieve psychological well-being. This study used a qualitative research with phenomenological models with interview, observation and triangulation as a validation data. Subjects were three single women aged 40-60 years middle age.

This study found the dynamics of psychological well-being of middle age single woman seen from the dimensions of psychological well-being, namely; The third subject, can receive the fate and do not blame others for past events. Three subjects showed a form of communication and trust in others. Independence is shown in three subjects, freely decide the future of his career. Environmental mastery in all three subjects indicated by actively participating in social activities. as well as self-development, the three subjects, exemplified by the development of talent and entrepreneurship to foster confidence.

Factors that determine the psychological welfare of the subject A is social support, personality and work. Subjects B and C determinants of psychological well-being is social support, religion, personality, evaluation of the experience of life and work. Attempts to reach the psychological well-being in middle adulthood third single woman is different, namely: Coping focus of emotion through listening to music on subject A, B and C subjects centered on worship. While coping focus on three subjects demonstrated problem, by following the activities in the community.


(5)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya, faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang serta upaya wanita lajang dewasa madya untuk meraih kesejahteraan psikologis. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan model fenomenologi dengan metode wawancara, observasi serta triangulasi sebagai validasi data. Subyek penelitian adalah tiga wanita lajang dewasa madya berusia 40-60 tahun.

Penelitian ini menemukan dinamika kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya dilihat dari dimensi kesejahteraan psikologis yaitu; ketiga subyek, dapat menerima nasib dan tidak menyalahkan orang lain atas peristiwa masa lalu. Ketiga subyek menunjukkan adanya komunikasi berupa menghargai dan percaya pada orang lain. Kemandirian ditunjukkan pada tiga subyek, bebas memutuskan masa depan karier. Penguasaan lingkungan pada ketiga subyek ditunjukkan dengan aktif mengikuti kegiatan sosial. serta pengembangan diri, ketiga subyek, ditunjukkan dengan mengembangkan bakat dan berwirausaha untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis pada subyek A adalah dukungan sosial, kepribadian dan pekerjaan. Subyek B dan C faktor penentu kesejahteraan psikologis adalah dukungan sosial, agama, kepribadian, evaluasi terhadap pengalaman hidup, dan pekerjaan. Upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis pada ketiga wanita lajang dewasa madya berbeda-beda, yaitu: Coping fokus emosi melalui mendengarkan musik pada subyek A, subyek B dan C terpusat pada ibadah. Sedangkan coping fokus pada masalah ditunjukkan ketiga subyek, dengan mengikuti kegiatan di masyarakat.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... x

INTISARI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. Latar Belakang Masalah ... 1

C. Fokus Penelitian ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. KeaslianPenelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Wanita Lajang Pada Masa Dewasa Madya ... 14

1. Pengertian Wanita Dewasa Madya. ... 14

2. Karakteristik Wanita Dewasa Madya... 15

3. Tugas Perkembangan Wanita Dewasa Madya ... 20

4. Pengertian Wanita Lajang ... 22

5. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Wanita Hidup Melajang ... 24

6. Dampak Positif dan Negatif Wanita Hidup Melajang ... 27

B. Kesejahteraan Psikologis ... 30

1. PengertianKesejahteraan Psikologis ... 30

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 30

3. Faktor- Faktor yang Menentukan Kesejahteraan Psikologis ... 34

4. Upaya Meraih Kesejahteraan Psikologis ... 40

C. Perspektif Teoritis ... 42

BAB III : METODE PENELITIAN ... 47

A. JenisPenelitian ... 47

B. Lokasi Penelitian ... 48

C. Sumber data ... 48

D. Metode Pengumpulan Data ... 52

E. Prosedur Analisis dan Intrepretasi data ... 54

F. Keabsahan Data ... 55


(7)

A. Deskripsi Subjek ... 57

B. Hasil Penelitian ... 61

1.Deskripsi Hasil Temuan ... 61

2.Analisis Temuan Penelitian ... 72

C. Pembahasan ... 85

BAB V PENUTUP ... 93

1. Simpulan ... 93

2. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah dua orang menjadi satu saling merindukan, saling membutuhkan dan saling mendukung yang diwujudkan dalam kehidupan bersama (Wardhani, 2012). Pernikahan mempunyai nilai ibadah bagi yang menjalankannya tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 pasal 1:

"Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Mukson, 2013: 1).

Pernikahan secara ringkas bermakna ikatan lahir dan batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri yang berbagi senang maupun susah dalam rumah tangga untuk menjalankan perintah Tuhan.

Menurut Mas’udi (2005:141-142) pernikahan menurut ajaran agama islam terdapat dalam Al-Quran, Allah berfirman :

ْﺣرو ًةﱠدﻮ ْ ﻜ ْ ﺑ ﻌﺟو ﺎﮭْ إ اﻮ ﻜْﺴ ﺎًﺟاوْزأ ْ ﻜﺴ ْ أ ْ ْ ﻜ ﻖ ﺧ ْنأ ﮫ ﺎ آ ْ و ۚ ًﺔ

ٰذ ﻲ ﱠنإ ﻚ

نوﺮﱠﻜ مْﻮﻘ تﺎ ﻵ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS Al-Rum (30): 21).

Berdasarkan QS Al-Rum (30): 21 di atas, menunjukkan bahwa pernikahan merupakan perintah agama yang berfungsi memberikan kasih sayang melalui hidup rumah tangga agar manusia menemukan makna kehidupan. Pernikahan adalah anjuran agama dan budaya yang benilai penting bagi masyarakat Indonesia. Menurut Christie, Hartanti dan Nanik (2013) wanita yang belum


(9)

2

menikah pada usia 40 tahun sampai dengan usia 60 tahun termasuk usia dewasa madya berarti tidak menjalankan perintah agama islam seluruhnya. Sehingga memperoleh label negatif sebagai perawan tua, pilih-pilih dan tidak laku.

Pernikahan berfungsi sebagai sumber dukungan sosial yang berperan positif pada kesehatan psikologis (Rosalinda, Latipun & Nurhamida, 2013). Wanita yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup lebih tinggi dibandingkan yang tidak menikah (Shapiro & Keyes, 2008). Namun tidak semua wanita dewasa ingin menikah, melainkan memilih menunda pernikahan atau hidup lajang.

Pergeseran usia pernikahan semakin marak terbukti dari data statistik tahun 2000 rata-rata usia menikah pada wanita 22,9 tahun (Christie dkk, 2013). Pada tahun 2005 rata-rata usia wanita menikah semakin bergeser menjadi 24,6 tahun sampai dengan 27,9 tahun (Susanti, 2012). Usia perkawinan yang bergeser menunjukkan bahwa pernikahan bukan menjadi prioritas.

Pada zaman modern seperti saat ini, pernikahan bukan menjadi prioritas karena sebagian wanita dewasa lebih memilih mempertahankan hidup lajang. Menurut Brown, Bulanda & Lee (2005: 22) lajang adalah :

“As most never marrieds do not have children, family support tends to be weak, but this is offset by estensive friendship network”.

Jadi lajang berarti tidak pernah melakukan pernikahan sehingga tidak mempunyai keturunan, kekurangan dukungan keluarga tetapi memiliki hubungan pertemanan yang erat. Definisi lajang menurut Saxton (1986 dalam Kurniati, Hartanti & Nanik, 2013) adalah suatu masa, dimana pria dan wanita


(10)

3

belum melaksanaan pernikahan yang bersifat sementara (jangka pendek), namun juga dapat bersifat pilihan hidup (jangka panjang).

Wanita yang memilih hidup lajang menurut Allen (1989 dalam Hutapea, 2011) dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: pada masa dewasa awal tidak memperoleh pasangan yang tepat, keinginan untuk memiliki kebebasan mengejar karir. Fenomena dimasyarakat menunjukkan bahwa wanita yang masih lajang awalnya ingin menikah kemudian hidup bahagia bersama pasangan dalam rumah tangga, tetapi karena sering kali diselingkuhi kekasih, gagal bertunangan dan selalu dipertemukan dengan seseorang yang telah berumah tangga menyebabkan wanita lajang malas mencari pasangan (hasil wawancara subyek, 27 April 2015).

Menurut Hurlock (2007) wanita yang belum menikah sampai masa dewasa madya antara usia 40 tahun sampai dengan 60 tahun berarti tidak menjalankan tugas perkembangan dewasa awal yaitu memilih pasangan dan menjalin hubungan akrab dengan lawan jenis untuk melangkah ke jenjang pernikahan secara otomatis menghambat tugas perkembangan selanjutnya pada masa dewasa madya yaitu gagal menyesuaikan diri dengan pasangan sebab hidup sendiri, tidak dapat melanjutkan keturunan, sulit menerima diri dan menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis maupun mental.

Wanita lajang dapat memiliki emosi negatif maupun positif dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Wanita lajang yang sulit menerima diri akan mudah tersinggung. Kondisi ini menunjukkan kurangnya kesejahteraan psikologis wanita lajang akibat kesepian, tidak mempunyai banyak teman,


(11)

4

tidak terpenuhinya kebutuhan seksual dan kesehatan (Christie dkk, 2013). Hidup lajang sangat tidak menyenangkan karena tidak ada pasangan yang dapat menghibur saat sedih maupun senang, tidak mempunyai keturunan dan sangat mengkhawatirkan apabila sering sakit dan sudah tidak mampu bekerja (hasil wawancara subyek, 27 April 2015).

Hidup lajang mempunyai beberapa kerugian antara lain: cenderung merasa tidak nyaman, terbebani dengan pertanyaan masyarakat terkait status lajang yang melekat pada dirinya, merasa kesepian, timbul perasaan terasingkan dari komunitas yang sudah menikah (Hutapea, 2011). Pernyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian Kurniasari & Leonardi (2013) menyatakan bahwa orang yang hidup lajang sulit memahami adanya dukungan sosial dari orang lain ditunjukkan dengan cara menggerutu, kecewa dan kesal. Sebaliknya, wanita lajang mengurangi komunikasi melalui telepon, handphone maupun media sosial. Namun tetap menjaga interaksi sosial dengan tetangga (hasil wawancara subyek, 27 april 2015).

Hidup lajang bukan hanya memberikan efek negatif tetapi dapat memberikan efek positif pada kesejahteraan psikologis wanita yang ditunjukkan dengan tetap aktif bekerja, berkomunikasi dengan warga sekitar, dan berharap menemukan pasangan hidup walapun telah memasuki usia paruh baya (hasil wawancara subyek, 28 April 2015).

Semua orang dalam kehidupan, pasti ingin mencapai kesejahteraan psikologis tidak terkecuali wanita lajang. Kesejahteraan psikologis secara kontekstual memiliki kesamaan makna dengan kepuasan hidup, kedamaian,


(12)

5

dan kebahagiaan (Bakshi & Sood, 2012). Kesejahteraan psikologis adalah individu berkepribadian baik sehingga positif dalam menjalankan aktivitas (Sherk, 1992 dalam Hutapea, 2011). Menurut Rosalinda dkk (2013) juga berpendapat tentang kesejahteraan psikologis yaitu individu yang mampu mengontrol emosi sehingga emosi positif lebih besar dibandingkan emosi negatif. Menurut Ryff (1989 dalam Kurniati dkk, 2013) kesejahteraan

psikologis adalah keadaan individu yang mempunyai sikap positif pada diri

sendiri, mampu berkomunikasi dengan orang lain dan mempunyai tujuan hidup.

Hasil penelitian De Lazzari (2000 dalam Hutapea, 2011) menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis meliputi kepribadian, demografi, dukungan sosial dan evaluasi terhadap pengalaman hidup. Kepribadian merupakan faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis. Kepribadian adalah pola sikap yang relatif tetap yang menentukan perilaku seseorang.

Secara demografis masyarakat Indonesia menilai pernikahan sebagai budaya yang menentukan kesejahteraan psikologis. Wanita secara kodrat memiliki tugas utama menjadi istri dan ibu. Sehingga hidup lajang menurut pandangan budaya timur dianggap sebagai aib bagi wanita (Kurniasari & Leonardi, 2013).

Dukungan sosial adalah faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis. Dukungan sosial bermakna mengerti, menghargai, menyayangi dan mencintai sehingga individu mampu menerima keadaan dirinya maupun lingkungan


(13)

6

(Kurniati dkk, 2013). Hasil penelitian Pinquart (2003 dalam Kurniati dkk, 2013) menyebutkan wanita lajang menunjukkan dukungan sosial yang rendah tampak dari hubungan yang buruk pada anak-anak, keluarga, saudara, teman dan tetangga dibandingkan dengan orang yang pernah menjalin tali pernikahan.

Evaluasi pengalaman hidup adalah kemampuan individu menyesuaikan diri membentuk penilaian positif atau negatif yang berasal dari pengalaman masa lalu akan mempengaruhi kehidupan di masa depan. Jadi evaluasi pengalaman hidup merupakan faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis (Werdyaningrum, 2013).

Menurut Ryff (1989 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008)

mengungkapkan wanita yang memiliki kesejahteraan psikologis positif adalah

wanita yang mampu merealisasikan potensi diri secara terus-menerus, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, dan mampu menjalin komunikasi dengan orang lain. Sebaliknya wanita yang kesejahteraan psikologis rendah adalah wanita yang mengembangkan emosi negatif dalam menghadapai masalah.

Kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya adalah wanita berusia 40 tahun sampai dengan 60 tahun yang hidup sendiri belum menikah dengan ketentuan sehat secara mental antara lain dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berkepribadian normal (Hutapea, 2011).

Wanita lajang dewasa madya yang mempunyai kesejahteraan psikologis dapat bersifat negatif maupun positif (Rosalinda dkk, 2013). Menurut Christie dkk (2013) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang yang negatif ditunjukkan dengan perasaan cemas, takut menjalin relasi sosial karena


(14)

7

merasa terasing dimasyarakat, tidak terpenuhi kebutuhan seksual dan mudah tersinggung (Christie dkk, 2013).

Menurut Rosalinda dkk (2013) wanita lajang yang mempunyai kesejahteraan psikologis positif adalah pribadi yang terbebas dari gejala depresi ditunjukkan dengan menerima diri apa adanya, mampu menjalin relasi dengan orang lain dan berorientasi pada masa depan. Hasil penelitian Kurniati dkk (2013) menunjukkan bahwa faktor internal: hobi, motivasi, kepribadian dan faktor eksternal: relasi sosial dengan orang lain dapat membentuk kesejahteraan psikologis hidup lajang.

Hasil penelitian Winfield, Gill, Taylor & Pilkington (2012) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya adalah wanita yang mampu mengatasi tekanan kehidupan, berusia 40 tahun sampai dengan 60 tahun yang tidak terdeteksi gejala depresi dan belum pernah menikah.

Kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya, apabila ditinjau dengan pendekatan psikologi perkembangan sesuai dengan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010) berdasarkan teori terkait pandangan sosiokultural tentang perkembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkungan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna & Suzanne, 2012).


(15)

8

Ekosistem adalah pengalaman yang diperoleh dari lingkungan terdekat (keluarga) dan pengalaman dari lingkungan sosial seperti tetangga,teman, lingkungan tempat kerja. Pengalaman dari lingkungan sosial pada masa dewasa akan tertanam secara otomatis pada perilaku individu (Santrock, 2010).

Makrosistem menurut Sigelman & Rider (2012) adalah kebudayaan dimana individu hidup termasuk memahami cara hidup seseorang termasuk kepercayaan dan memahami bahwa alami membentuk pola kehidupan yang berbeda antar manusia dan kronosistem menurut Santrock (2010) adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu kejadian.

Teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010) dari lima sistem lingkungan peneliti fokus pada ekosistem untuk menggambarkan kesejahteraan psikologi wanita lajang dari dalam diri individu dan dari lingkungan karena sesuai dengan penelitian Hutapea (2011) bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya ditandai dengan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berkepribadian normal (Hutapea, 2011). Dengan demikian kacamata teori ekologi dari segi ekosistem dapat menggambarkan kesejahteraan psikologis dari dalam diri individu maupun dari lingkungan pada wanita lajang dewasa madya.

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya adalah wanita yang tidak pernah menikah berusia 40 tahun sampai dengan usia 60 tahun terbebas dari gejala depresi ditandai dengan mampu menerima diri apa adanya, mampu menjalin relasi


(16)

9

sosial sehingga mempunyai orientasi masa depan. Kesejahteraan psikologis pada penelitian ini merujuk pada teori Ryff (1989 dalam Papalia dkk, 2008). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010). B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menggambarkan kesejahteraanpsikologis pada wanita lajang pada masa dewasa madya, meliputi :

1. Dinamika kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa

madya.

2. Faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang

pada masa dewasa madya.

3. Upaya wanita lajang pada masa dewasa madya untuk meraih kesejahteraan

psikologis. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan kesejahteraan psikologis

pada wanita lajang pada masa dewasa madya, meliputi :

1. Dinamika kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa

madya.

2. Menggambarkan faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis

wanita lajang pada masa dewasa madya.

3. Menjelaskan upaya wanita lajang pada masa dewasa madya untuk meraih


(17)

10

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada peneliti psikologi perkembangan dalam ranah kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya

2. Manfaat Praktis a. Wanita

Penelitian ini bagi wanita dewasa yang belum menikah, diharapkan mampu memberikan gambaran kehidupan dan kesejahteraan psikologis wanita lajang untuk bahan pertimbangan dampak positif dan negatif sebelum memutuskan hidup lajang tanpa pasangan hidup.

b. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya sehingga masyarakat lebih memahami dan menaruh empati pada kehidupan wanita lajang.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang kesejahteraan psikologis pernah diteliti sebelumnya antara lain: Penelitian Bakhsi & Sood (2012) berjudul “Psychological well

being and Quality Of Life Among Aged Kashmiri Migrants”. Hasil penelitian

menunjukkan ada perbedaan gender yang signifikan pada migran kashmir antara psychological well being dan kualitas hidup.


(18)

11

Penelitian Khademi, Ghasemian & Hassanzadeh (2014) berjudul ”The Relationship Of Psychological Resilience and Spritual Experiences With

Psychological Well Being Among Employess”. Penelitian menunjukkan bahwa

status perkawinan, umur, pendidikan, kesehatan, jenis kelamin, pengalaman beragama dan resiliensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis.

Penelitian Kurniasari & Leonardi (2013) berjudul “Emotional Intelegence

dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi

Berbasis Keagamaan di Jakarta”. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan kesejahteraan psikologispada lansia yang menjadi responden.

Penelitian Rosalinda, Latipun & Nurhamida (2013) berjudul “Who Have Higher Psychological Well Being?A Comparison Between Early Married and

Adulthood Married Women”. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan

kesejahteraan psikologis antara wanita yang menikah dini dengan wanita yang menikah pada masa dewasa.

Penelitian Srimathi & Kumar (2010) berjudul “Psychological Well Being

Of Employed Women Across Different Organitations”. Hasil penelitian

menunjukkan karyawan yang bekerja di industri memiliki kesejahteraan psikologis lebih rendah dari pada karyawan Bank. Karyawan Bank menduduki posisi standar dan wanita berprofesi sebagai guru memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi.


(19)

12

Penelitian Alandete, Lozano, Nohales & Martines (2013) berjudul

Predictive Role Of Meaning In Life On Psychological Well Being and Gender

Specific Diferences”. Hasil penelitian menunjukkan makna hidup adalah

prediktor kesejahteraan psikologis dan wanita memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi daripada laki-laki.

Penelitian Kurniati, Hartanti & Nanik (2013) berjudul “Psychological Well

Being pada Pria Lajang Dewasa Madya”. Hasil penelitian menunjukkan

penerimaan diri pria lajang dipengaruhi oleh faktor internal adalah hobi, motivasi, kepribadian sedangkan faktor eksternal adalah hubungan interpersonal dengan lawan jenis dan kurangnya dukungan sosial.

Penelitian Susanti (2012) berjudul “Hubungan Harga Diri dan

Psychological Well Being Wanita Lajang Ditinjau Dari Bidang Pekerjaan”.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara harga diri dan kesejahteraan psikologis ditinjau dari pekerjaan. Hal ini berarti semakin tinggi harga diri maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis.

Penelitian Anggraeni & Cahyanti (2012) berjudul “Perbedaan

Psychological Well Being Pada Penderita Diabetes Tipe 2 Dewasa Madya

Ditinjau dari Strategi Coping“. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis pada penderita diabetes tipe 2 usia dewasa madya ditinjau dari segi coping.

Penelitian Desiningrum (2014) berjudul “Kesejahteraaan Psikologis Lansia Janda atau Duda Ditinjau dari Persepsi Terhadap Dukungan Sosial dan Gender“ Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan


(20)

13

antara persepsi terhadap dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis pada lansia janda atau duda. Sedangkan penelitian Werdyaningrum (2013) berjudul

Psychological Well Being Pada Remaja yang Orang tua Bercerai dan yang

tidak Bercerai”. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang orang tuanya bercerai memiliki nilai kesejahteraan psikologi yang lebih rendah dibandingkan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh).

Berdasarkan uraian penelitian terdahulu, penelitian ini memiliki kesamaan dalam jenis kelamin (wanita) dan topik penelitian tentang kesejahteraan psikologis hidup lajang. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada jenis pekerjaan, pendidikan, lokasi penelitian dan metode penelitian yang berbeda.

Penelitian terdahulu mayoritas menggunakan pendekatan kuantitatif

sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model fenomenologi. Kelebihan penelitian ini adalah peneliti ingin menggambarkan dinamika kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya, faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya dan upaya wanita lajang pada masa dewasa madya untuk meraih kesejahteraan psikologis.


(21)

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Wanita Lajang Pada Masa Dewasa Madya

1. Pengertian Wanita Masa Dewasa Madya

Wanita dewasa madya adalah wanita yang berusia 35 tahun hingga 60 tahun, individu menciptakan keseimbangan antara hubungan dan tanggung jawab karier karena mengalami penurunan keterampilan fisik dan psikologis akibat faktor penuaan. Masa ini dapat disebut masa produktif atau masa keemasan karir(Santrock, 2010)

Wanita dewasa madya menurut Hurlock (2007) adalah rentang kehidupan manusia yang terbagi menjadi dua bagian, meliputi: usia madya dini dari usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dan usia dewasa usia madya lanjut yang dimulai dari usia 50 tahun sampai dengan 60 tahun. Pada masa dewasa madya akan terjadi perubahan fisik maupun psikologis yang tampak pada awal usia 40 tahun.

Menurut Papalia, Fieldman & Old (2008) menyatakan bahwa wanita dewasa madya secara kronologis adalah masa pertengahan usia 45 sampai dengan 65 tahun. Sedangkan secara kontektual wanita dewasa madya adalah masa menikmati melihat anak-anak tumbuh masa sangkar kosong, masa membesarkan anak dan masa tidak memiliki anak bagi yang tidak dikarunia keturunan.


(22)

15

Berdasarkan beberapa definisi di atas, kesimpulan wanita dewasa madya adalah masa pertengahan wanita mulai dari umur 40 tahun hingga 60 tahun. Masa ini merupakan masa puncak karier, masa penurunan fisik maupun psikologis, masa untuk membesarkan dan mendidik buah hati untuk meraih masa depan.

2. Karakteristik Wanita Dewasa Madya

Masa dewasa madya memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan pada masa dewasa awal, berikut ini karakteristik dewasa madya (Hurlock, 2007):

a. Masa yang ditakuti

Menurut Papalia dkk (2008) pada masa dewasa madya terjadi penurunan fisik ditandai dengan menipisnya lapisan lemak dalam kulit, rambut tampak semakin tipis, beruban akibat menurunya produksi pigmen, resiko terkena osteoporosis pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria, tidur tidak nyenyak, penurunan kinerja organ dan penurunan seksualitas. Menurut Hurlock (2007) banyak orang memasuki masa dewasa madya dengan perasaan segan, susah dan ketakutan karena memandang masa ini sebagai masa yang tidak menyenangkan akibat kepercayaan tradisional tentang kerusakan mental, fisik dan masa berhenti organ reproduksi. Jadi banyak orang yang belum siap menerima perubahan pada masa dewasa madya sehingga selalu ingin kembali pada kehidupan dewasa muda. Menurut Santrock (2010) masa dewasa madya adalah masa penurunan daya ingat jika kesehatan memburuk dan cenderung berperilaku negatif.


(23)

16

b. Masa transisi

Masa dewasa madya menurut Santrock (2010) adalah masa menopause ditandai keluhan seperti mual, letih, panas dan denyut jantung yang berdetak lebih cepat. Masa transisi yaitu penyesuaian diri terhadap minat, nilai dan pola perilaku yang baru. Wanita masa dewasa madya harus merubah penyesuaian diri terhadap perubahan jasmani serta penyesuaian terhadap perubahan peranan masa, dimana wanita akan mengalami penurunan kesuburan (Hurlock, 2007). Menurut Papalia dkk (2008) wanita menganggap menopause sebagai pertanda perubahan peran, seorang wanita yang tidak mempunyai anak akan memandang menopause sebagai tertutupnya kesempatan untuk menjadi ibu sedangkan bagi wanita yang telah mempunyai anak akan melihat masa ini sebagai masa kebebasan untuk bergerak dan masa menyenangkan.

c. Masa stres

Pada wanita mengalami gangguan homeotasis pada usia 40-an secara normal memasuki menopause memaksa melakukan penyesuaian kembali (Hurlock, 2007). Menurut Papalia dkk (2008) wanita yang memasuki masa menopause mudah sekali mengalami depresi, cemas, marah, insomnia, dorongan seksual rendah bersumber dari sakit, kekhawatiran pekerjaan, anak meninggalkan rumah, kematian orang tua dan sikap negatif terhadap usia. Menurut Santrock (2010) masa ini identik dengan perasaan tertekan yang menyebabkan kanker pada wanita.


(24)

17

d. Masa berbahaya

Masa dewasa madya bagi wanita merupakan masa berbahaya karena merupakan masa rawan terkena penyakit tertentu dan membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali sembuh. Penyakit yang rawan diderita oleh wanita pada usia dewasa pertengahan adalah penyakit jantung, diatabetes, kanker dan hipertensi (Papalia dkk, 2008). Selain itu usia madya merupakan masa berbahaya akibat terlalu giat bekerja, rasa cemas yang berlebihan dapat memicu keinginan untuk bunuh diri. Masa madya merupakan masa berbahaya bagi hubungan pasangan suami istri akibat disfungsi seksual sehingga dapat mendorong perceraian (Hurlock, 2007).

e. Masa canggung

Menurut Papalia dkk (2008) mengungkapkan wanita pada masa dewasa madya sangat mendambakan hidup awet muda salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerima suntikan botox, membeli produk kosmetik hingga melakukan operasi plastik untuk meningkatkan harga diri supaya diterima masyrakat khususnya pada dunia kerja. Wanita pada masa dewasa madya berusaha nampak lebih muda ditunjukkan dengan cara berpakaian, gaya hidup dan materi karena khawatir tersisih dari relasi sosial (Hurlock, 2007). Menurut hasil penelitian Nowak (1977 dalam Santrock, 2010) wanita tengah baya menganggap tanda-tanda penuaan mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tarik fisik sehingga kebanyakan wanita paruh baya ingin membuat dirinya lebih muda dengan berolahraga, minum


(25)

18

vitamin, menyemir rambut dan beberapa individu rajin melakukan pemeriksaan ke dokter untuk mengetahui penurunan fisik atau kesehatan. f. Masa berprestasi

Menurut Hurlock (2007) masa dewasa madya akan menjadi masa kesuksesan jika mereka memiliki kekuatan untuk berhasil sehingga meraih puncak dan mengunduh hasil dari masa-masa kerja. Masa ini merupakan masa keberhasilan dari segi keuangan dan sosial termasuk kekuasaan dan prestise. Menurut Santrock (2010) menyatakan bahwa masa dewasa madya adalah masa kemapanan karier yang telah dirintis sejak periode sebelumnya (dewasa awal) masa ini juga dikenal sebagai “ generasi pemimpin”. Kondisi ini didukung oleh Papalia dkk (2008) mengungkapkan masa dewasa madya adalah masa untuk mencapai keamanan finansial sebelum pensiun.

g. Masa evaluasi

Wanita dewasa madya menurut Hurlock (2007) mengatakan bahwa wanita masa ini merupakan masa evaluasi diri apa dan bagaimana dirinya menuntut perasaan nyata dibanding pada masa sebelumnya berkaitan dengan perubahan fisik serta cara pandang. Menurut Santrock (2010) wanita masa ini akan lebih rilex atau santai apabila telah mencapai tujuan hidup dan apabila gagal mencapai yang diinginkan akan lebih mudah menerima kenyataan. Menurut Papalia dkk (2008) masa ini wanita lebih realistis menerima kekurangan diri dan kenyataan kehidupan.


(26)

19

h. Masa sepi

Menurut Papalia dkk (2008) masa ini merupakan masa anak meninggalkan orang tua untuk hidup mandiri. Menurut Santrock (2010) masa ini adalah masa penurunan pernikahan karena orang tua memperoleh kepuasan dari anak. Sehingga saat anak mulai tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah kehidupan keluarga menjadi kurang bermakna. Namun sebagian pasangan suami istri justru merasa lebih bahagia pada masa paruh baya karena merasa bebas mencapai karier dan lebih banyak menghabiskan waktu luang bersama pasangan dibandingkan masa dewasa muda. Masa ini sering disebut masa empty nest adalah masa saat anak-anak tidak tinggal bersama orang tua merupakan masa sepi dalam kehidupan perkawinan kehidupan berubah menjadi berpusat pada pasangan suami-istri (Hurlock, 2007). i. Masa jenuh

Wanita berusia empat puluhan merasa jenuh dengan kegiatan sehari-hari dan kehidupan keluarga yang hanya mempunyai sedikit hiburan. Sedangkan wanita yang tidak menikah akan sibuk mengabdikan hidup bekerja sehingga menjadi cepat bosan. Sebagian wanita membutuhkan kekuasaan baru dan sasaran baru dalam hidup. Tidak heran jika masa ini disebut masa yang tidak membahagiakan (Hurlock, 2007). Menurut Papalia dkk (2008) bahwa pada masa ini adalah masa jenuh dengan rutinitas sehari-hari akibat pekerjaan yang menumpuk sehingga kurang tidur, marah, dan membuat banyak kesalahan mendorong untuk beralih pekerjaan. Menurut Levinson (1978 dalam Santrock, 2010) masa ini merupakan masa pemberontakan


(27)

20

akibat kebosanan hidup dibatasi oleh atasan, pasangan dan anak. Kondisi ini menimbulkan efek negatif yaitu; hubungan cinta diluar nikah, perceraian, kecanduan alkohol, bunuh diri dan kemerosotan karier. Sebaliknya wanita yang memaknai masa jenuh dengan positif akan memanfaatkan waktu luang dengan bekerja kembali untuk membantu keuangan suami, mengikuti kursus dan mengikuti kegiatan sosial sehingga lebih sehat secara psikologis.

Berdasarkan karakteristik dewasa madya di atas, dapat disimpulkan bahwa masa ini adalah masa rawan penyakit baik secara fisik maupun psikologis, apabila tidak mampu mengatasi perubahan siklus kehidupan akan menimbulkan ketidakbahagiaan yang mendorong keinginan bunuh diri akibat tidak puas menjalani kehidupan.

3. Tugas Perkembangan Wanita Dewasa Madya

Menurut Hurlock (2007) tugas perkembangan wanita dewasa madya yaitu :

1. Penyesuaian diri terhadap perubahan fisik.

Wanita paruh baya harus menerima dan menyesuaiakan perubahan fisik yang terjadi secara alami pada dirinya (Hurlock 2007). Menurut Santrock (2010) perubahan fisik pada masa paruh baya meliputi : penurunan daya akomodasi mata, penurunan pendengaran pada sensivitas nada tinggi, kondisi tubuh yang mengendor, keriput pada kulit dan rambut beruban. Menurut Papalia dkk (2008) masa dewasa pertengahan mengalami penurunan kekuatan otot sehingga menurunkan kemampuan motorik, penurunan reproduksi dan seksual.


(28)

21

2. Perubahan minat pada masa usia madya.

Wanita dewasa madya bertanggung jawab pada warga negara, sosial serta mengembangkan minat pada waktu luang selayaknya kegiatan pada masa dewasa dini seperti olahraga (Hurlock 2007). Menurut Papalia dkk. (2008) pada usia menjalankan peran dalam dunia kerja atau bahkan mejalankan pekerjaan baru. Menurut Santrock (2010) wanita dewasa madya melakukan aktivitas bukan hanya bekerja, namun memperhatikan kegiatan saat waktu luang (leisure) melalui memilih kegiatan yang diinginkan dan merupakan pilihan sendiri seperti membaca, olahraga, menyanyi atau melakukan berbagai kegemaran untuk mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. 3. Penyesuaian kejuruan

Wanita paruh baya bertugas untuk memantapkan dan memelihara kehidupan yang relatif mapan (Hurlock 2007). Menurut Papalia dkk. (2008) wanita paruh baya cenderung menunjukkan pola karier stabil bertahan pada satu pekerjaan untuk mencapai posisi berkuasa dan bertanggung jawab sehingga mencapai keamanan finansial. Sedangkan wanita yang berpindah-pindah

pekerjaan (shifting) selalu mencoba meraih kecocokan yang lebih baik

antara yang dapat dilakukan dan keuntungan yang akan diperoleh. Menurut Santrock (2010) wanita paruh baya telah mencapai penyesuaian karier dengan memperoleh jabatan yang menjadi idaman dan kematangan secara keuangan.


(29)

22

4. Tugas yang berhubungan dengan kehidupan keluarga.

Wanita paruh baya bertugas menyesuaikan diri dengan pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab (Hurlock 2007). Menurut Papalia dkk (2008) tugas perkembangan pada masa ini adalah menjalakan rumah tangga sekaligus membesarkan anak bahkan sebagian wanita yang menikah lebih muda justru menikmati hubungan lebih erat dengan pasangan karena anak sudah tumbuh dewasa dan telah hidup mandiri. Menurut Santrock (2010) penyesuaian kehidupan keluarga wanita paruh baya lebih positif karena waktu yang tersedia lebih banyak bagi pasangan dan telah terjalin ikatan emosional antar pasangan sehingga mampu mengambil makna dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam rumah tangga.

Jadi dapat disimpulkan ada empat bagian dalam tugas perkembangan, yaitu: tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik, tugas yang berkaitan dengan perubahan minat, tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan, tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

4. Pengertian Wanita Lajang

Wanita lajang menurut Dariyo (2003) merupakan suatu pilihan yang dipilih oleh individu, dimana individu harus siap menanggung semuanya sendiri. Definisi wanita lajang adalah:

Adults who are temporarily single,those who are single only until they

find a suitable marriage partner) and those who choose to remain


(30)

23

Wanita lajang berarti orang dewasa yang belum menikah yang bersifat sementara, karena terpaksa belum menemukan pasangan yang sesuai sehingga memilih tetap hidup sendiri. Menurut Brown, Bulanda & Lee (2005: 22) lajang adalah :

“As most never Marrieds do not have children, family support tends to be weak, but this is offset by estensive friendship network”.

Jadi lajang berarti tidak pernah melakukan pernikahan sehingga tidak mempunyai keturunan, kekurangan dukungan keluarga tetapi memiliki hubungan pertemanan yang erat.

Menurut Saxton (1986, dalam Kurniati, Hartanti & Nanik, 2013) wanita lajang adalah suatu masa, dimana pria dan wanita yang belum melaksanaan pernikahan yang bersifat sementara (jangka pendek), namun juga dapat bersifat pilihan hidup (jangka panjang). Selanjutnya Saxton (1986 dalam Kurniati dkk., 2013) mengerucutkan pengertian wanita lajang menjadi beberapa tipe, yaitu:

Temporary voluntary adalah masih berkeinginan untuk menikah, namun tidak

aktif mencari pasangan karena tuntuntan pendidikan maupun karir, Temporary

involuntary adalah belum menikah dan berkeinginan untuk menikah secara

aktif mencari pasangan tetapi belum menemukan, menunda sementara pernikahan dan mencari pernikahan dengan masa depan yang lebih cerah,

Stable voluntary adalah tidak pernah menikah, merasa puas hidup sendiri,

panggilan agama dan trauma perceraian, Stable involuntary adalah belum pernah menikah dan secara aktif mencari pasangan.


(31)

24

Berdasarkan beberapa uraian di atas, kesimpulan wanita lajang adalah status wanita sendiri yang tidak pernah terikat dengan pernikahan karena belum menemukan pasangan yang tepat atau memutuskan hidup sendiri sebagai tren gaya hidup.

5. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Hidup Melajang

Menurut Papalia dkk (2008) wanita yang memilih hidup melajang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Masalah ideologi atau panggilan agama

Menurut Papilia dkk (2008) konsistensi menjalankan ajaran agama berperan positif pada kebahagiaan dan rasa percaya diri. Penelitian Khademi, Ghasemian & Ramazan (2014) juga memaparkan bahwa agama berperan positif pada pembentukan kepribadian dan tujuan hidup seseorang. Aplikasi ajaran agama dalam kehidupan salah satunya dengan meyakini agama tertentu dan berusaha mempertahankan keyakinan untuk memilih hidup lajang (single life) biasanya dianut oleh biarawati, pastor, uskup yang hidup suci dengan memutuskan hidup sendiri, tidak menikah dan tidak melakukan hubungan seksual (Dariyo, 2003).

2. Trauma perceraian

Perceraian berdampak buruk pada kesehatan jasmani dan psikologis karena perasaan bersalah dan kehilangan (Werdyaningrum, 2013). Pendapat ini didukung oleh Santrock (2010) perceraian beresiko pada depresi, psikosomatis serta penurunan pertahanan tubuh. Luka batin akibat perceraian membekas seumur hidup. Perasaan terluka ini mengakibatkan


(32)

25

perubahan sikap dan kepribadian. Individu yang merasa sakit hati karena pengalaman perceraian lebih memilih hidup sendiri dibandingkan hidup dalam ikatan pernikahan. Hidup sendiri dapat bebas menikmati seluruh aktivitas tanpa memperoleh gangguan dari orang lain (Dariyo, 2003).

3. Tidak memperoleh jodoh

Perasaan trauma pada masa lalu karena merasa dipermainkan oleh kekasih menjadi penyebab perasaan takut untuk membangun rumah tangga. Perasaan trauma diputus oleh kekasih didukung oleh hasil penelitian Kurniati dkk (2013) menyatakan bahwa pengalaman diputus pada masa lalu oleh kekasih tanpa penyebab yang jelas menyebabkan penerimaan diri menjadi rendah (minder) sehingga sulit menemukan pasangan yang cocok. Beban hidup berumah tangga yang harus melahirkan dan mengurusi pasangan hidup menuntut perhatian yang dapat menghabiskan waktu dewasa ini dianggap merepotkan (Dariyo, 2003). Jodoh telah diatur oleh Tuhan, Namun terkadang ada beberapa individu sampai tua atau sampai masa kematian tidak mempunyai pasangan hidup yang tepat. Sebagaian orang yang melajang merasa belum cocok karena tidak sesuai dengan kriteria pilihannya (Papalia dkk, 2008).

4. Terlalu fokus pada pekerjaan

Menurut Dariyo (2003) individu yang mencapai jenjang karier tinggi akan merasa kesulitan memperoleh jodoh yang diharapkan. Setiap ada orang yang datang untuk melakukan pendekatan selalu ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan kriteria. Akhirnya karena sudah lama tidak menemukan


(33)

26

pasangan yang cocok. Lalu membenamkan diri untuk menekuni karier hingga lupa memikirkan jodoh padahal usia sudah tidak muda lagi. Berdasarkan hasil penelitian Susanti (2012) keinginan untuk mencapai kesuksesan karier secara maksimal merupakan penyebab wanita hidup lajang atau menunda pernikahan. Menurut Papilia dkk. (2008) hidup sendiri bagi wanita yang aktif bekerja sangat nyaman, membahagiakan karena merupakan bagian dari gaya hidup dan tekanan sosial akan pernikahan berkurang seiring dengan kehidupan yang mengutamakan kemapanan finansial.

5. Ingin menjalani kehidupan pribadi secara bebas

Wanita mandiri yang sibuk bekerja menganggap hidup sendiri (lajang) adalah bagian dari gaya hidup yang menarik dan menyenangkan (Papilia dkk, 2008). Hidup sendiri bebas menggali pengalaman dalam karier maupun berbagai aktivitas tanpa diganggu orang lain, bahkan tidak perlu cemas atau takut pada tuntutan orang lain maupun masyarakat. Jika seseorang telah mencapai puncak karier orang tersebut tidak perlu terganggu oleh suami atau istri. Sedangkan apabila ingin menjalin hubungan seks bisa bebas dengan siapa saja (Dariyo 2003).

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi wanita hidup lajang adalah ideologi agama, trauma perceraian, tidak memperoleh jodoh, terlalu fokus pada pekerjaan dan ingin menjalani kehidupan pribadi secara bebas.


(34)

27

6. Dampak Positif dan Negatif Wanita Hidup Melajang

Menurut Santrock (2010) keputusan untuk menjalani kehidupan sendiri atau lajang bagi wanita memiliki keuntungan maupun kerugian, yaitu :

a. Dampak positif hidup melajang 1) Bebas menjalankan aktivitas

Memperoleh nilai kebebasan dalam melakukan bermacam-macam aktivitas seperti berpindah-pindah negara hingga berpindah benua, mengejar pendidikan, membuat karya kreatif tanpa menjalin ikatan pernikahan sangat menyenangkan karena tidak perlu meminta tanggapan pada pasangan untuk mengekspresikan apa yang kita impikan sangat menyenangkan (Papalia dkk, 2008). Menurut Santrock (2010) mengungkapakan bahwa wanita yang tidak menikah dapat menikmati keinginan diri sendiri tanpa campur tangan orang lain termasuk pasangan (suami). Hasil penelitian Susanti (2012) menyatakan bahwa wanita lajang yang bekerja memiliki kemandirian yang tinggi serta mempunyai tujuan hidup yang jelas. Wanita yang hidup sendiri bebas mengembangkan diri untuk orientasi masa depan. (Dariyo, 2003).

2) Mandiri mengambil keputusan.

Kemandirian dalam pengambilan keputusan, wanita yang benar-benar merasakan kehidupan privasi dapat mengatur program kegiatan yang disukai dan menghindari kegiatan yang tidak disukai tanpa mempertimbangkan usulan dari pasangan (Dariyo, 2003). Menurut Santrock (2010) wanita lajang bebas memutuskan, mengatur kegiatan


(35)

28

sehari-hari secara mandiri. Hasil penelitian Christie, Hartanti & Nanik (2013) memberikan gambaran bahwa wanita lajang yang mandiri mampu mengatur diri sendiri ditunjukkan dengan kesuksesan pekerjaan dan mampu menciptakan relasi sosial yang baik.

b. Dampak negatif hidup melajang

1. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seksual.

Setiap manusia yang menginjak masa dewasa awal baik laki-laki maupun perempuan, memiliki dorongan biologis yang bersifat alamiah. Bila hidup sendiri tidak menikah maka, seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual sebab tidak mempunyai pasangan (Dariyo, 2003). Namun di negara Eropa dan Amerika menganggap hidup lajang dapat terpenuhi kebutuhan seksual dengan pergaulan bebas yang beresiko pada berbagai macam penyakit seksual (Papilia dkk., 2008). Sebaliknya individu yang mengalami disfungsi seksual lebih memilih hidup sendiri karena merasa putus asa menganggap hidupnya tidak bermakna (Aiken, 2002).

2. Kesulitan ketika dalam keadaan menderita sakit.

Tidak selamanya orang dalam keadaan sehat, suatu saat setiap manusia dapat menderita penyakit. Menurut Dariyo (2003) menyatakan bahwa kondisi fisik yang dipergunakan untuk melakukan suatu aktivitas akan mengalami kelelahan sehingga jatuh sakit. Dalam kondisi sakit membutuhkan bantuan orang lain termasuk orang terdekat seperti suami. Namun wanita lajang tidak memiliki pasangan hidup sehingga timbul


(36)

29

perasaan kesepian. Hasil penelitian Kurniasari & Leonardi (2013) mengungkapkan wanita lajang mengalami permasalahan kurangnya kesejahteraan akibat melemahnya dukungan sosial dan keuangan seiring bertambahnya usia menjadi tua (pensiun).

B. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah bagian dari kesejahteraan subyektif

(Subjective Well being). Kesejahteraan subyektif terdiri dari 3 bagian yaitu:

kesejahteraan psikologis, kesejahteraan sosial dan kesejahteraan emosi. Pada penelitian ini fokus pada kesejahteraan psikologis (Borstein, Davidson, Keyes & Moore ,2003).

Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989 dalam Rosalinda, Latipun & Nurhamida, 2013) adalah keadaan individu yang sehat secara mental yang selalu mempunyai tujuan hidup yang positif seperti aktualisasi diri, penyesuaian sosial terhadap lingkungan dan pertumbuhan diri. Menurut Winfield, Gill, Taylor & Pilkington (2013) kesejahteraan psikologis adalah hidup dengan perasaan gembira yang berfungsi secara efektif untuk meciptakan pribadi yang bahagia, puas akan kehidupan dan mampu menjalin hubungan sosial.

Menurut Diener & Laser (1993 dalam Hutapea, 2011) kesejahteraan psikologis adalah kebahagian yang terlepas dari stres yang ditunjukkan dengan perasaan positif dan negatif. Menurut Nainggolan & Hidajat (2013) menguatkan pendapat tentang kesejahteraan psikologis adalah kualitas dari


(37)

30

hubungan personal, interaksi sosial dan kepuasan hidup secara positif. Seseorang dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik apabila

“Fewer problem behaviors and greater social competence” (Srimathi &

Kumar, 2010). Artinya individu yang mempunyai kesejahteraan psikologis tinggi adalah pribadi yang sedikit konflik dan mampu menjalin komunikasi pada orang lain secara efektif.

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan kesejahteraan psikologis adalah individu yang mampu menerima diri apa adanya, tidak mempunyai gejala depresi dan selalu memiliki tujuan hidup yang dipengaruhi oleh psikologi positif berupa aktualisasi diri, penguasaan lingkungan sosial dan pertumbuhan pribadi.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1995dalam Papalia dkk, 2008) ada enam dimensi, yaitu :

a. Penerimaan diri (Self Acceptance)

Penerimaan diri yang baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang dalam menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. seseorang dikatakan mempunyai penerimaan diri yang baik apabila ia dapat bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya, mengakui dan menerima semua aspek positif dan negatif yang ada dalam dirinya, serta memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri rendah akan memunculkan


(38)

31

perasaan tidak puas terhadap dirinya, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalunya, dan ingin menjadi orang lain yang tidak sesuai dengan dirinya (1995 dalam Papalia dkk, 2008).

Penelitian Kurniati dkk(2013) menemukan bahwa pria yang hidup lajang mempunyai penerimaan diri yang kurang. Sedangkan penelitian Alandente dkk (2013) menyatakan bahwa wanita memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi dari pria jika dilihat dari segi gender.

b. Kemandirian (autonomy)

Kemandirian menurut Ryff (1995 dalam Papalia dkk, 2008) adalah kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan untuk mengatur tingkah laku seorang individu. Seseorang dapat dikatakan baik dalam dimensi kemandirian jika ia mampu mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal dan tidak mengandalkan standar orang lain, berpusat pada keyakinan diri serta tidak banyak terpengaruh pandangan orang lain. Sedangkan individu yang rendah akan memperhatikan evaluasi dan penilaian orang lain. Hasil penelitian Susanti (2012) mengungkapkan wanita lajang yang bekerja menunjukkan skor kemandirian yang tinggi, bahkan riset ini juga didukung oleh Srimathi & Kumar (2010) menyatakan bahwa wanita yang bekerja menjadi guru atau pengajar menunjukkan kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang bekerja di perusahaan.


(39)

32

c. Pengembangan diri (Personal Growth)

Berdasarkan hasil penelitian Christie dkk (2013) menyatakan wanita lajang mempunyai pengembangan diri yang positif yang ditunjukkan dengan mengikuti berbagai kegiatan bersama kawan untuk menjalin relasi sosial sebagai cara untuk mengisi kesendirian. Menurut Ryff (1995 dalam Papalia dkk, 2008) pada dimensi ini, seseorang dituntut mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilik sehingga menjadi pribadi yang lebih baik (aktualisasi diri) serta mampu melihat peningkatan dalam dirinya dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan memperlihatkan ketidakmampuan dalam mengembangkan sikap dan tingkah lakunya, serta mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang tidak bisa berkembang.

d. Penguasaan lingkungan (Environmental Mastery)

Hasil penelitian Kurniati dkk (2013) mengungkapkan bahwa penguasaan lingkungan dapat dilihat dari citra diri dan jenis pekerjaan yang akan menentukan kesejahteraan psikologis. Menurut Ryff (1995 dalam Papalia dkk, 2008) individu disebut pribadi yang menguasai lingkungan dengan baik apabila mempunyai kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dirinya, dapat mengembangkan sikap kreatif melalui aktivitas fisik maupun psikis. Sebaliknya, individu yang menunjukkan ketidakmampuan untuk megatur kehidupan sehari-hari


(40)

33

dan kurang memiliki kontrol akan mudah terpengaruh dengan lingkungan dan merasa berat menghadapi kesulitan.

e. Tujuan hidup (Purpose In Life)

Hasil penelitian Srimathi & Kumar (2010) menunjukkan bahwa kesibukan bekerja mampu mengarahkan kehidupan wanita pada tujuan hidup yang bermakna sehingga menciptakan kesejahteraan psikologis. Menurut Ryff (1995 dalam Papalia dkk, 2008) dimensi ini, membahas tentang kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Wanita yang mempunyai tujuan dalam hidup akan menganggap kehidupan masa lalu sebagai kenangan dan melaksanakan target yang ingin dicapai. Sedangkan wanita yang tidak ada tujuan hidup akan melihat bahwa kehidupan masa lalu berpengaruh terhadap saat ini dan tidak yakin bahwa hidupnya bermakna.

f. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation With Others)

Hubungan positif dengan orang lain menurut Ryff (1995 dalam Papalia dkk, 2008) menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang juga termasuk komponen kesehatan mental yaitu kemmapuan untuk mencintai orang lain. Individu dapat dikatakan baik dalam dimensi ini apabila dapat menciptakan hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga harus memiliki rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan sulit bersikap hangat, tidak mau berempati, dan enggan untuk menjalin ikatan dengan orang


(41)

34

lain. Hasil penelitian Alandete dkk (2013) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis dilihat dari positive relation pada wanita memiliki kemampuan lebih tinggi dalam menjalin hubumgan yang baik pada orang lain. Selain itu penelitian Kurniati dkk. (2013) menunjukkan bahwa laki-laki menunjukkan perasaan rendah diri untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan penjelasan diatas kesejahteraan psikologis dalam enam dimensi, yaitu penerimaan diri, kemandirian, perngembangan pribadi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan hubungan positif dengan orang lain.

3. Faktor-Faktor yang Menentukan Kesejahteraan Psikologis

Menurut Bornstein dkk (2003) faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis meliputi :

a. Faktor demografis

Faktor-faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis sebagai berikut:

1. Usia

Perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya, Ryff & keyes (1995 dalam Bornstein, dkk, 2003) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya,dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya


(42)

35

hingga dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

2. Jenis kelamin

Penelitian Myers (2000 dalam Bornstein dkk, 2003) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Menurut Alandete, Lozano & Martinez (2013) berpendapat serupa bahwa kesejahteraan psikologis dilihat dari positive relation pada wanita memiliki kemampuan lebih tinggi dalam menjalin hubumgan yang baik pada orang lain.

3. Status sosial ekonomi

Perbedaan kelas sosial memengaruhi kesejahteraan psikologis menurut Bornstein dkk (2003) memperlihatkan bahwa pekerjaan meningkatkan kesejahteraan psikologis, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Menurut penelitian Susanti (2012) memaparkan bahwa wanita yang bekerja memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan mempunyai arah dalam hidup.

4. Budaya

Budaya patriarki lebih memberikan peran atau hak milik pada laki-laki untuk melakukan berbagai kegiatan seperti ekonomi, politik dan pendidikan dibandingkan pada wanita. Budaya Indonesia memandang tugas utama wanita fokus mengurus rumah tangga. Wanita sempurna


(43)

36

adalah wanita yang menikah menjalankan kodrat sebagai istri dan ibu. Sebaliknya hidup lajang menurut pandangan budaya Indonesia mencerminkan aib bagi wanita sehingga memicu perasaan tertekan bagi wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dan jauh dari sejahtera secara psikologis (Kurniasari & Leonardi, 2013).

Budaya lingkungan tempat tinggal inilah yang menuntut wanita dewasa untuk segera menikah walaupun telah berusia 40 tahun, mengalami penurunan fisik dan mendekati masa menopause. Jadi faktor budaya menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang (Christie dkk, 2013). Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis ditinjau dari segi demografis adalah usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya.

b. Dukungan sosial

Dukungan sosial adalah hubungan interpersonal yang melibatkan aspek informasi, emosi, penilaian dan instrumental (Desiningrum, 2014). Dukungan sosial akan meningkatkan kesejahteraan psikologis.

Menurut Sarason (1990 dalam Christie dkk, 2013) menggolongkan dukungan sosial sebagai berikut:

1. Dukungan emosional (emotional support)

Dukungan emosional memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dicintai terutama pada saat stres sehingga merasa diperhatikan dan diterima oleh orang lain.


(44)

37

Dukungan penghargaan menunjukkan penghargaan yang positif, persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai.

3. Dukungan instrumental (instrumental support)

Dukungan instrumental menggambarkan tindakan nyata atau

memberikan pertolongan secara langsung. 4. Dukungan informasional (informational support)

Dukungan informasional meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran terhadap tingkah laku seseorang agar dapat memecahkan masalah menurut Sarason (1990 dalam Christie dkk, 2013).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil, kesimpulan bahwa dukungan sosial yang diterima individu akan memberikan motivasi dan semangat bagi seseorang untuk menjalani kehidupan karena merasa diperhatikan dan mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis.

c. Evaluasi terhadap pengalaman hidup

Pengalaman hidup seseorang berperan penting sebagai proses belajar dalam menjalani kehidupan masa depan secara positif atau negatif. Kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan, kemampuan menghadapi masalah dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu. Individu akan membentuk penilaian atas dirinya secara positif maupun negatif (Werdyaningrum, 2013).


(45)

38

d. Agama

Penelitian tentang psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Khademi, Ghasemian & Ramazan (2014) menemukan keterkaitan antara agama (pengalaman beragama) dengan kesejahteraan psikologis. Agama berpengaruh positif pada kebahgiaan dan memberikan kekuatan yang baru. Selain itu agama berperan sebagai kontrol dalam kontak sosial. Individu yang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi akan lebih bahagia karena agama memberikan pandangan tentang makna dan tujuan hidup (Argyle, 1999 dalam Bornstein dkk, 2003).

e. Kepribadian

Kepribadian adalah karakter yang unik yang melekat pada diri seseorang. Kepribadian sangat erat hubungannya dengan kesejahteraan psikologis seseorang (Kurniati dkk, 2013). Banyak hasil penelitian tentang kepribadian

menunjukkan bahwa extraversion (keterbukaan) dan neuroticsm (ketidak

stabilan emosi) berdampak pada kesejahteraan psikologis. Pribadi yang memiliki keterbukaan menampakkan suasana hati yang baik akan membuka kesempatan lebih besar terhadap aktivitas sosial dibanding pribadi yang memiliki pengelolaan emosi yang buruk (Argyle,1999 dalam Bornstein, dkk, 2003).


(46)

39

Pernikahan menawarkan intimasi, persahabatan, kasih sayang, komitmen, pemuasan seksual, sumber dukungan emosional. Bagi budaya timur pernikahan adalah anjuran agama terhadap penyatuan antara wanita dan pria untuk meneruskan keturunan. Survei di Amerika dan Eropa Utara menegaskan bahwa pernikahan sangat berfaedah bagi kesejahteraan hidup manusia (Papalia dkk, 2008). Pernikahan merupakan sumber ekonomi yang membentuk kesejahteraan psikologis bagi setiap pasangan (Brown, Bulanda & Lee, 2005). Menurut Rosalinda dkk (2013) pernikahan yang bahagia bermanfaat meningkatkan kesehatan fisik maupun secara mental. Menurut Bornstein dkk (2003) menyatakan bahwa orang yang menikah lebih menunjukkan kebahagiaan dan kepuasan hidup dibandingkan hidup sendiri (lajang), janda, bercerai atau kumpul kebo (cohabitation).

g. Pendidikan

Pendidikan dapat di tempuh melalui pendidikan formal yaitu pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan jenjang pascsarjana. Namun tidak semua orang dapat menempuh pendidikan hingga jenjang Universitas (Gloria, Castellanos & Orozco (2005) karena terhambat ekonomi, dan kurangnya minat belajar di Universitas. Orang yang tidak kuliah lebih memilih mengikuti pendidikan nonformal seperti kursus untuk menunjang kebutuhan dunia kerja (Michalos, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Hwo Ho (2015) menyatakan level pendidikan berkorelasi negatif pada kesejahteraan psikologis orang yang tidak menikah. Jadi tingkatan pendidikan tidak menentukan kesejahteraan psikologis seseorang yang hidup lajang. Menurut Kurniasari & Leonardi


(47)

40

(2013) menyatakan bahwa budaya tempat tinggal dan pekerjaan wanita lajang lebih menentukan kesejahteraan psikologis.

h. Pekerjaan

Bekerja memberikan manfaat untuk mengekspresikan diri dan dapat membuat seseorang merasa bangga karena status sosial meningkat. Wanita yang bekerja akan memperoleh penghasilan, mempunyai relasi sosial, serta meningkatkan harga diri. Dewasa ini pekerjaan bagi wanita sangat beraneka ragam mulai dari bidang akademik seperti tenaga pengajar maupun non-akademik seperti garment, wirausaha, industri (Susanti, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis adalah demografi (usia, status sosial dan budaya), kepribadian, dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, agama, kepribadian, pekerjaan dan pernikahan.

4. Upaya Meraih Kesejahteraan Psikologis

Setiap wanita yang ingin meraih kesejahteraan psikologis akan melakukan berbagai upaya atau coping untuk mengatasi berbagai macam tuntutan baik dari sisi internal maupun eksternal sesuai dengan kapasitas seseorang untuk menghadapi masalah (Papalia dkk, 2006). Berikut ini upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis menurut Rothman,Weisz, & Snyder (1982 dalam Bornstein dkk, 2003) yaitu:

“...distinguish between primary and secondary coping. Primary coping refers to efforts to modify a stressful condition, whereas secondary coping involves efforts to improve one’s “goodness of fit” ith existing conditions“


(48)

41

Berdasarkan pernyataan Rothman,Weisz, & Snyder (1982 dalam Bornstein dkk, 2003) di atas, upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis ada 2 cara : pertama, coping primer adalah mengatur emosi berdasarkan kondisi tekanan hidup yang dialami dan kedua, coping sekunder adalah berupaya untuk meningkatkan kebaikan pada diri sendiri.

Menurut Lazarus (2006) upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis ada dua cara yaitu problem-focused coping adalah mengatasi stres berdasarkan

fokus masalah dan emotion-focused mengurangi stres dengan cara mengatur

emosional kembali pada ajaran agama, upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis karena agama mencegah perbuatan negatif seperti minum akohol, merokok, narkoba. Kedua, Pengakuan terhadap agama akan membentuk dukungan sosial. Ketiga, orang yang rajin menjalankan ibadah dan berdoa akan memperoleh emosi positif seperti optimis, pribadi pemaaf, punya harapan hidup, dan mempunyai rasa cinta pada sesama manusia sehingga mencapai kesejahteraan psikologis.

Menurut Ebata dan Moos (1991 dalam Bornstein dkk, 2003) upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis melalui approach coping adalah mendekati situasi yang mebuat tertekan dan avoidance coping (penghindaran) adalah mengatur dan mengurangi masalah pada situasi tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis pada penelitian ini meliputi: primer coping, sekunder coping,

coping fokus pada masalah, coping fokus pada emosi, pendekatan (approach)


(49)

42

C. Perspektif Teoritis

Wanita lajang dewasa madya adalah wanita berusia 40 tahun hingga 60 tahun, wanita yang tidak menikah sibuk mengabdikan hidup dengan bekerja sehingga cenderung cepat bosan. Tidak mengherankan, jika masa ini dijuluki masa yang menakutkan (Hurlock, 2007). Menurut Levinson (1978 dalam Santrock, 2010) masa dewasa madya merupakan masa pemberontakan akibat rasa jenuh hidup sehingga dapat menimbulkan penurunan karier. Sebaliknya wanita yang mempuyai kesejahteraan psikologis positif akan memanfaatkan masa jenuh dengan sejumlah kegiatan seperti: bekerja, mengikuti kursus dan mengikuti kegiatan sosial atau melakukan hobi.

Kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya dapat dilihat dengan pendekatan psikologi perkembangan yaitu teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010) mengungkapkan bahwa pandangan sosiokultural tentang perkembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkungan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna & Suzanne, 2012).


(50)

43

Menurut Sigelman & Rider (2012) ekosistem adalah keterkaitan setting social dan karakter individu tidak secara langsung menentukan pengalaman hidup, melainkan lingkungan sosial dapat mewakili karakter individu pada masa dewasa. Sedangkan Makrosistem adalah kebudayaan dimana individu hidup menyebabkan kepercayaan dan sikap yang berbeda antar manusia. Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Santrock, 2010).

Berdasarkan lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010) peneliti fokus pada ekosistem untuk menggambarkan kesejahteraan psikologi wanita lajang dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Kurniati dkk (2013) bahwa kesejahteraan psikologis hidup lajang ditentukan oleh faktor internal yaitu hobi, motivasi dan kepribadian sedangkan faktor eksternal yaitu relasi sosial yang baik dengan orang lain. Hasil penelitian winfield dkk (2012) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis wanita lajang secara maksimal tampak dari kemampuan individu dalam mengatasi tekanan hidup dan kemampuan menjalin komunikasi dengan orang lain.

Budaya Indonesia memandang wanita yang mempunyai kesejahteraan psikologis adalah wanita yang menikah, menjalankan kodrat sebagai istri dan ibu. Budaya patriarki berpandangan bahwa laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih bebas dibanding wanita dalam menentukan kegiatan dan hak milik. Sebaliknya hidup lajang menurut pandangan budaya Indonesia mencerminkan aib bagi wanita apabila tidak mampu menyesuaikan diri sehingga


(51)

44

menyebabkan rendahnya kesejahteraan psikologis(Kurniasari & Leonardi, 2013). Menurut penelitian Hwo Ho (2015) menyatakan level pendidikan berkorelasi negatif pada kesejahteraan psikologis artinya lulusan sekolah menengah atau bahkan hingga jenjang pasca sarjana tidak menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang. Kontek budaya atau lingkungan tempat tinggal serta pekerjaan yang menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang.

Wanita lajang berusia dewasa madya jauh dari kesejahteraan psikologis positif karena hidup lajang bertentangan dengan budaya Indonesia. Pernikahan bertujuan menjaga harkat dan martabat wanita sesuai dengan firman Allah QS Al-Rum ayat 21. Pernikahan adalah ikatan antara laki-laki dan wanita dalam rumah tangga yang memberikan makna hidup dan kebahagiaan (Mas’ud, 2005). Wanita yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup lebih tinggi dibandingkan yang tidak menikah (Shapiro & Keyes, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Rosalinda, dkk (2013) pernikahan berfungsi sebagai sumber dukungan sosial yang berperan positif pada kesehatan psikologis (Rosalinda dkk, 2013).

Menurut Papalia (2008) faktor-faktor yang menyebabkan wanita hidup melajang pada masa paruh baya adalah ideologi agama, trauma perceraian, tidak memperoleh jodoh, terlalu fokus pada pekerjaan dan ingin menjalani pribadi secara bebas.

Wanita dewasa madya yang merasa malu akan status lajang yang melekat pada dirinya akan merasa terisolasi dari lingkungan sehingga membentuk


(52)

45

kesejahteraan psikologis negatif. Hasil penelitian Christie dkk (2013) memaparkan bahwa wanita lajang usia dewasa madya yang tidak sejahtera secara psikologis ditandai dengan perasaan tertekan, tidak bahagia, tidak tercukupi, tidak puas, stres, depresi, dan tidak sehat secara emosi dibandingkan wanita menikah yang memiliki kualitas pernikahan baik. Perasaan negatif wanita lajang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: kesepian, tidak mempunyai banyak teman, tidak terpenuhinya kebutuhan seksual, dan kesehatan.

Kesejahteraan psikologis wanita lajang masa dewasa madya menurut Ryff (1989 dalam Papalia dkk, 2008) wanita lajang yang mempunyai kesejahteraan psikologis yang baik adalah pribadi yang terbebas dari gejala depresi ditunjukkan dengan menerima diri apa adanya, aktualisasi diri, mampu menjalin relasi dengan orang lain, pertumbuhan diri dan berorientasi pada masa depan. Wanita lajang dewasa madya yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pasti akan menikmati kegiatan yang dilakukan dan dapat menerima keadaan dirinya.

Faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya antara lain adalah demografi, kepribadian, dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, agama, kepribadian dan pekerjaan (Bornstein dkk, 2003).

kesejahteraan psikologis menurut Lazarus (2006) dapat diraih dengan dua cara yaitu problem-focused coping adalah mengatasi stres berdasarkan fokus


(53)

46

emosional pada situasi tertentu. Menurut Ebata dan Moos (1991 dalam Bornstein dkk, 2003) upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis melalui

approach coping adalah fokus mendekati situasi yang membuat tertekan dan

avoidance coping (penghindaran) adalah mengatur dan mengurangi masalah

pada situasi tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya adalah wanita tidak pernah menikah berusia 40 sampai dengan 60 tahun yang hidup sendiri. Wanita ini terbebas dari gejala depresi ditandai dengan penerimaan diri apa adanya, aktualisasi diri, mampu menjalin relasi dengan orang lain dan berorientasi pada masa depan yang merujuk pada teori Ryff (1989 dalam Papalia dkk, 2008). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2010) fokus pada ekosistem untuk menggambarkan lingkungan terdekat (mikrosistem) atau faktor lingkungan sosial yang membentuk kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya.


(54)

47

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian kualitatif adalah metode yang menggambarkan individu secara menyeluruh dengan tidak menggolongkan individu ke dalam variabel atau hipotesis (Poerwandari, 2005). Penelitian kualitatif model fenomenologi adalah penelitian mendalam yang berusaha menggambarkan dan memahami fenomena yang dialami individu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Herdiansyah (2011) menguatkan pendapat bahwa fenomenologi merupakan penelitian yang menggambarkan makna dari pengalaman individu maupun sekelompok orang. Menurut Creswell (2010) penelitian kualitatif dengan model fenomenologi adalah penelitian yang bertujuan untuk mengupas esensi pengalaman manusia dengan sejumlah subyek, dimana peneliti terlibat langsung untuk menggali data sehingga mampu mengembangkan pola dan relasi makna.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif model fenomenologi untuk mengungkap kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya. Model fenomenologi dipilih peneliti karena fenomena lajang adalah pengalaman individu sekaligus peristiwa yang dialami oleh beberapa orang bersifat massal.


(55)

48

Lokasi penelitian berada di rumah masing-masing subyek, sebanyak 3 orang subyek dalam penelitian ini tinggal berdekatan didaerah gedung Gelora Pancasila Surabaya berjarak 500 meter. Peneliti mengambil rumah subyek sebagai lokasi penelitian karena akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi subyek untuk memberikan informasi tentang kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya melalui wawancara maupun observasi.

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan subyek penelitian yang diwawancara dan diamati merupakan sumber utama yang dicatat melalui catatan tertulis maupun rekaman video. Selain itu juga terdapat sumber kedua adalah sumber data pendukung, sumber tertulis seperti buku, jurnal, tesis, disertasi dan dokumen (Moelong, 2002).

Penelitian kualitatif dengan model fenomenologi menurut Dukkes (1984 dalam Creswell, 2007: 126) adalah “recommends studying 3 to 10 subjects, and

in one phenomenology”. Subyek penelitian yang digunakan pada penelitian

model fenomenologi minimal 3 sampai dengan 10 subyek dalam satu fenomena. Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 subyek wanita lajang berusia 40 sampai dengan 60 tahun.

Menurut Herdiansyah (2011) metode non-random sampling dengan

teknik purposeful sampling adalah teknik tanpa acak, dimana pemilihan subyek disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu menggambarkan kesejahteraan psikologis wanita lajang dewasa madya. Ketentuan subyek penelitian sebagai berikut:


(56)

49

1. Wanita pendidikan SMA 2. Wanita berusia 40-60 tahun

3. Belum pernah menikah atau lajang 4. Bekerja di Surabaya

5. Beragama islam

6. Memiliki kesejahteraan psikologis

Kriteria diatas, menjadi dasar peneliti untuk mencari subyek penelitian melalui teknik purposeful sampling dengan strategi sampling bola salju. Strategi sampling bola salju (snowball sampling) adalah menentukan informan dengan cara sambung-menyambung dari subyek satu ke subyek lainnya untuk mendapatkan data yang sesuai dengan sasaran penelitian (Herdiansyah, 2011). Strategi bola salju tampak saat peneliti berusaha menemukan subyek wanita lajang. Ternyata dari 5 orang wanita yang ditemui peneliti, 2 orang wanita tidak cocok dengan kriteria karena wanita calon informan tahun depan akan menikah dan wanita satu lagi masih berumur 30 tahun. Jadi sumber data utama (key informan) pada penelitian ini sebanyak 3 orang wanita lajang. Jumlah 3 subyek wanita lajang mengikuti pendapat Dukkes (1984 dalam Creswell, 2007) menyatakan penelitian fenomenologi minimal menggunakan tiga sampai dengan sepuluh subyek.

Penelitian ini meneliti topik yang termasuk sensitif, yaitu kehidupan wanita lajang yang merupakan privasi seseorang untuk diungkap keluar. Maka identitas subyek disamarkan untuk menjaga kerahasiaan. Adapun profil subyek pada penelitian ini sebagai berikut:


(57)

50

a) Subyek I

Nama : A

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl Lahir : Surabaya,9 Desember 1972

Agama : Islam

Usia : 43 th

Pendidikan : SMA

Status : lajang

Anak Ke- : 2

Jumlah Saudara : 4

Pekerjaan : Pengusaha restoran

Alamat : Pakis

Peneliti memilih subjek ini, karena subyek belum menikah hingga usia 43 tahun. Subyek mudah menerima kehadiran orang lain termasuk peneliti. Subyek juga berterus terang dengan status lajang yang disandangnya.

b) Subyek II

Nama : B

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl Lahir : Surabaya,11 November 1968

Agama : Islam

Usia : 47 th

Pendidikan : SMA

Status : lajang

Anak Ke- : 2

Jumlah Saudara : 3

Pekerjaan : Pengusaha salon

Alamat : Pakis

Peneliti memilih subjek ini, karena subyek belum menikah hingga usia 47 tahun. Namun subyek tetap berkomunikasi dengan orang lain walaupun menyandang status lajang.

c) Subyek III

Nama : C

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl Lahir : Surabaya,15 Oktober 1966


(58)

51

Usia : 49 th

Pendidikan : SMA

Status : lajang

Anak Ke- : 2

Jumlah Saudara : 4

Pekerjaan : Pengusaha butik

Alamat : Pakis

Peneliti memilih subjek ini, karena subyek melajang hingga usia 49 tahun. Meskipun begitu, subyek tetap berinteraksi dengan warga sekitar. Ia tidak menyembunyikan status lajang yang melekat pada dirinya. Karena itu peneliti ingin menggambarkan kesejahteraan psikologisnya.

Sumber data pendukung atau signifikan other berfungsi untuk mengecek kebenaran hasil wawancara. Adapun yang menjadi significant other dalam penelitian ini adalah adik kandung subyek A, tetangga subyek B dan kakak kandung subyek C. Berikut ini profil Signficant other adalah :

a) Signficant other subyek A (Adik)

Nama : NG

Jenis kelamin : perempuan

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta

Penghasilan : -

Agama : Islam

No.tlp : -

Alamat : Pakis

Peneliti memilih adik kandung subjek sebagai sumber data pendukung

(significant other)karena adik subjek tinggal disebelah rumah subjek. Adik

kandung selalu bergurau dengan subjek dan diduga mengetahui tentang subjek.


(1)

93

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Wanita lajang subyek, A penyebab masih lajang adalah tidak memperoleh jodoh akibat diputus kekasihnya. Subyek B masih lajang karena terlalu fokus berkarier mendirikan salon sedangkan pada subyek C tidak memperoleh jodoh karena berulang kali dibohongi laki-laki dan trauma dengan perceraian akibat menjadi tempat curhat sahabat.

Dinamika kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya dapat dilihat dari terpenuhinya dimensi kesejahteraan psikologis meliputi; dimensi penerimaan diri, ketiga subyek memiliki kesamaan dalam memandang diri bahwa hidup lajang menyenangkan hanya fokus membahagiakan diri pribadi.

Dimensi hubungan positif dengan orang lain yang menunjukkan bahwa hubungan wanita lajang dengan keluarga maupun tetangga saling menghargai satu sama lain itu terjadi pada ketiga subyek. Dimensi kemandirian menunjukan ketiganya mandiri dalam berperilaku terkait keputusan hidup di masa depan maupun tentang karier yang ingin diwujudkan.

Dimensi penguasaan lingkungan pada subyek A dan C menunjukkan pengusaan lingkungan dengan bekerja dan berkomunikasi dengan keluarga dan tetangga dengan mengikuti pengajian. Sedangkan pada subyek B menunjukkan penguasaa lingkungan optimal dengan mengikuti kegiatan sosial di posyandu lansia di daerah pakis, dimensi tujuan hidup dari ketiga subyek pada masa


(2)

94

dewasa madya adalah menikmati hidup sendiri dengan berbagi perhatian kepada keluarga maupun orang terdekat serta beribadah lebih istiqomah, dimensi pengembangan diri pada ketiga subyek dengan mengembangkan hobi, berwirausaha, dan belajar merawat jenazah.

Faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan psikologis pada subyek A adalah dukungan sosial, kepribadian dan pekerjaan. Pada subyek B dan C mempunyai faktor yang sama sebagai penentu kesejahteraan psikologis adalah dukungan sosial, agama, kepribadian, evaluasi terhadap pengalaman hidup, dan pekerjaan.

Upaya untuk meraih kesejahteraan psikologis pada ketiga wanita lajang pada dewasa madya adalah coping fokus pada emosi melalui mendengarkan musik pada subyek A, beribadah secara istiqomah pada subyek B dan C. Sedangkan coping fokus pada masalah ditunjukkan dengan berwirausaha dan mengikuti kegiatan di masyarakat

Kesejahteraan psikologis wanita lajang pada masa dewasa madya dapat dilihat dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. faktor internal yang menunjukkan kesejahteraan psikologis pada ketiga subyek tampak dari cara pandang terhadap pengalaman hidup termasuk terhadap takdir atau cara berpikir untuk menerima kenyataan hidup yang menyenangkan maupun menyedihkan. Faktor eksternal ketiga subjek mendapat dukungan dari keluarga, juga memberikan nasehat dan persetujuan berupa rasa menghargai atas hidup melajang. Ketiga subyek menunjukkan keterbukaan diri pada relasi


(3)

95

2. Saran

Peneliti selanjutnya yang ingin membahas tentang kesejahteraan psikologis diharapkan membandingkan dengan jenis kelamin yang lain (lajang pria) supaya mendapatkan gambaran kesejahteraan psikologis lebih menyeluruh dengan memperhatikan kedalaman melakukan wawancara dan observasi sebaiknya peneliti yang ingin menggunakan topik yang serupa, melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif.


(4)

96

DAFTAR PUSTAKA

Alandete, Lozano, Nohales & Martinez. (2013). Predictive Role Meaning In Life On Psychological Well Being And Gender Specific Diferences. Journal Acta Columbiana De Psicologia, 16, 17-24.

Aiken.R Lewin. (2002). Human Development in Adulthood. London: Kluwer Academic.

Angraeni & Cahyanti. (2012). Perbedaan Psychological Well Being Pada Penderita Diabetes Tipe 2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Strategi Coping. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(2), 86-93. Bakhsi A. & Sood S. (2012). Psychological well being and Quality Of life Among

Ages Kashmiri Migrants. Indian Journal Of Gerontology, 6(3), 386-395. Bornstein, Davidson, Keyes & Moore. (2003). Well Being Positive Development

Across The Life Course. London : Lawrence Erlbaum Assoiates.

Brown S. L., Bulanda J. R. & Lee G. R. (2005) The Significance Of Nonmarital Cohabitation: Marital Status and Mental Health Benefits Among Middle Aged And Older Adults. Journal Of Gerontology Social Science, 60 (1), 21-29.

Canaugh, J. C. & Blanchard, F. B. (2010). Adul Development And Aging. United State Of America : Cengage Learning.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Researh Design Choosing Among Five Approaches. London : Sage Publication.

Creswel, J. W.( 2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Christie, Hartanti & Nanik. (2013). Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Pada Wanita Lajang Ditinjau dari Tipe Wanita Lajang. Jurnal Imiah Mahasiswa Surabaya, 2(1), 1-15.

Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT. Grasindo Anggota Ikapi

Desiningrum, D. R. (2014). Kesejahteraan Psikologis Lansia Janda/ Duda Ditinjau Dari Persepsi Terhadap Dukungan Sosial dan Gender. Jurnal Psikologi UNDIP, 13, 102-106.

Donna, J. & Martin, S. (2012). Funtional Movement Development Across The Life Span. United Stated : Elvesier.


(5)

97

Mas’udi, M. F. (2005). Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan

Moelong, M.A. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Karya. Mukson, Moh (2013) Tradisi perkawinan usia dini di desa tegaldowo kabupaten

Rembang. Jurnal Bisma Islam, 6, 1-36.

Herdiansyah, M. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E.B. (2007). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima. (Istiwidayanti & Soedjarwo, (Pnglih bhs.) Jakarta: Erlangga.

Hutapea, B. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta. Jurnal insan, 13( 2), 64-73.

Hwo-ho, J. The Problem Group? Psychological Well Being Of Unmarried Of People Living alone in the Republic Of Korea, Demographic Research, 32 (47)1299-1328.

Gloria, A. M., Castellanos, J. & Orozco. V. (2005) Perceived Educational Barriers, Cultural Fit, Coping Responses, and Psychological Well Being Of Latina Undergraduates. Journal of Behavior Sciences, 7 (2), 161-183. Khademi, M., Ghasemian D. & Hassanzadeh, R. (2014). The relationship of

psychological Resilience and Spiritual experiences with psychological well being among employess. Journal Of psychology & behavioral Studies, 2(3): 105-110.

Kurniasari & Leonardi. (2013) Kualitas Perempuan Lanjut yang Melajang. Journal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 2(3), 152-159.

Kumar, S.K. & N.L. (2010). Psychological Well Being Of Employmend Women Across Different Organitations. Journal Of The Indian Academy Of Applied Psychology, 36 (1), 89-85.

Kurniati G. & Nanik H. (2013) “Psychological Well Being pada Pria Lajang Dewasa Madya” Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2), 1-17.

Lazarus, R. S. , & Lazarus, B. N. (2006) Coping With Aging. New York : Oxfort Universiy Press.


(6)

98

Michalos, A. C. (2007) Education, Hapiness and Well being. Canada: University Of Northen British Columbia.

Nainggolan & Hidajat. (2013). Profil kepribadian dan Psychological Well Being Caregiver Skizoferenia. Jurnal soul,6(1), 22-42.

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D.,& Gross, D. (2008). Human Development. USA: Mc Graw Hill.

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia (ed. 4). Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rosalinda L, Latipun & Nurhamida Y. (2013) Who Have Higher Psychological Well Being Early Married And Adulthood Married Women. Journal Of Education, Health and Community Psychology, 2(2), 24-34.

Santrock, John W. (2010). Life – Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Erlangga.

Shapiro, A. & Keyes, C. L. M. (2008). Marital Status And Social Well Being: Are The Married Always Better Off ? Journal Soc Indc Res, 88, 329-346. Sigelmen, C. K. & Rider, E. A. (2012). Life-Span Human Development. Canada:

Wadsworth Cencage Learning.

Susanti. (2012). Hubungan Harga Diri Dan Psychological Pada Wanita Lajang Ditinjau Dari Bidang Pekerjaan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 1(1). 1-8.

Srimati & Kumar, K.(2010). Psychology Well Being Of Employed Woman Across Different Organisations. Journal Of The Indian Academy Of Applied Psychology, 36(1), 89-95.

Winfield, R. H., Gill, K. T. & Pilkington, R. M. (2012) Psychological Well Being and Psychological Distress: Is it Necessary to Measure Both. Journal Springer Open, 2 (3), 1-14.

Wardhani, N. A. K. (2012) Self Disclousure dan kepuasan perkawinan pada istri di Usia awal perkawinan Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya,1 (1), 1-9.

Werdyaningrum, P. (2013). Psychological Well-Being Pada Remaja Yang Orang Tua Bercerai Dan Yang Tidak Bercerai (Utuh). Journal Online Psikologi 1(2), 480-492.