Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
KESIAPAN MENIKAH PADA WANITA
DEWASA MADYA YANG BEKERJA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
SHAVRENI OKTADI PUTRI
051301025
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANJIL, 2009/2010
(2)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Madya yang Bekerja
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Desember 2009
051301025 Shavreni Oktadi Putri
(3)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Madya yang Bekerja
Shavreni Oktadi Putri dan Ika Sari Dewi ABSTRAK
Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan teman-teman untuk menikah (Hurlock, 1999). Sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria (Jones, dalam Suryani, 2007). Untuk menciptakan suatu pernikahan yang bahagia dan kekal dibutuhkan suatu kesiapan. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara kesiapan situasi meliputi kesiapan finansial dan kesiapan waktu (Blood, 1978). Bila individu dewasa telah dapat memenuhi kedua aspek tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah siap untuk menikah. Fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa madya yang belum juga menikah, sedangkan menikah merupakan tugas perkembangan yang berada pada masa dewasa dini. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya di masa dewasa madya yang seharusnya telah memiliki tugas untuk mendidik anak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan melihat bagaimana kesiapan menikah pada wanita dewasa madya yang bekerja. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara dan observasi yang dilakukan selama wawancara. Subjek penelitian berjumlah tiga orang wanita dewasa madya, dengan kriteria belum pernah menikah dan bekerja.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga responden dapat dikatakan telah memiliki kesiapan menikah. Responden I telah siap untuk menikah tetapi merasa pesimis dikarenakan usianya yang sudah cukup tua, responden II belum terlalu memikirkan pernikahan tetapi masih ingin menikah bila menemukan pasangan yang sesuai, sedangkan responden III merasa sudah siap secara finansial dan mental untuk menikah hanya saja belum menemukan pasangan yang sesuai dan seiman.
(4)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Marriage Readiness of Working Middle Age Women
Shavreni Oktadi Putri and Ika Sari Dewi ABSTRACT
Being married is a normal pattern in adult life. Almost of adults want to be married and feel pressor from their family and friends to get married (Hurlock, 1999). People in Indonesia see being married and having child as a priority of woman life, that makes being married is more important for a woman than a man (Jones, in Suryani, 2007). To have an eternal and happy marriage, an individual needs a marriage readiness. The readiness consist of two aspects, they are personal marriage readiness and circumtantial marriage readiness. The personal marriage readiness consist of emotional maturity, age readiness, social maturity, emotional health, and marriage models. The circumtantial marriage readiness consist of financial resources and time resources (Blood, 1978). If an adult has both of marriage readiness aspects, that an adult is ready to be married. Recent, the phenomenon in our society is there are middle age women which have not married especially working women, which marriage is development task in early adulthood. Not being married can delay an individual to do her development task in middle age that should has a task to care her child.
The purpose of the research is to know how the dynamic of the marriage readiness that felt by a working woman in the middle age and still remain single. Technique that used to get the respondent n this research is snow ball sampling. The method which used to collect the data is in-depth interview. The respondents of this research are three single middle age women and working.
The result of this research shown that 3 respondents want to be married and feel ready to marry. Respondent I is ready to marry but she is pesimis because of her age is too old now. Respondent II has not to think for marrying, but she still want to be married if getting a nice man. Then respondent III feels so ready mentally and economicly to marry but she has not got a man which can make her comfortable.
(5)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam juga tak lupa saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang mendapat syafaat di hari akhir. Amin...
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan samapi pada sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr.Chairul, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Ika Sari Dewi S.Psi, Psi. selaku dosen pembimbing saya yang selalu sabar membimbing dan memberi masukan yang berguna selama menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
3. Ibu Dra. Sri Supriyantini, M.Si, Psi. selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, bimbingan, masukan dan nasehat ibu dari awal saya kuliah sampai saat ini.
4. Mama’ saya tersayang atas doa yang tiada henti untuk keberhasilan dan kebahagiaan anaknya termasuk dalam penyelesaian tugas skripsi ini, dan untuk Almarhum ayah yang dulu selalu memberi dukungan agar lebih baik
(6)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
lagi, semoga Allah menerima semua amal baik yang mama dan ayah lakukan. Untuk abang-abang dan kakak saya atas doa dan dukungannya serta adik-adik saya Iqbal, terutama Nabilla yang telah ikut meramaikan dan membantu proses pengetikan skripsi ini.
5. Kepada teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberi dukungan dan semangat kepada saya.
6. Seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.
Saya tahu tidak ada sesuatu yang sempurna, jadi apabila ada kesalahan penulisan dalam proposal skripsi ini maka mohon dimaafkan. Saran dan kritik yang membangun pun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap agar Allah berkenan membalas segala kebaikan semua pihak dan semoga skripsi ini dapat menambah informasi dan pengetahuan bagi rekan-rekan semua.
Salam Hormat, Desember 2009
(7)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR LAMPIRAN... iv
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Perumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian... .. 11
E. Sistematika Penulisan... .. 11
BAB II LANDASAN TEORI... 13
A. Kesiapan Menikah... 13
1. Pengertian Kesiapan Menikah... 13
2. Kriteria Kesiapan Menikah... 14
3. Aspek-Aspek Kesiapan Menikah... 15
4. Faktor-Faktor yang Menghambat Kesiapan Menikah... 18
B. Dewasa Madya... 19
1. Pengertian Dewasa Madya... 19
2. Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Madya... 20
3. Karakteristik Dewasa Madya... 21
C. Wanita Bekerja... 23
1. Pengertian Wanita Bekerja... 23
D. Kesiapan Menikah Wanita Bekerja Dewasa Madya... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...27
A. Pendekatan Kualitatif... 27
B. Responden Penelitian... 27
1. Karakteristik Responden Penelitian... 27
2. Jumlah Responden Penelitian... 28
3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian... 28
4. Lokasi Penelitian... 29
C. Metode Pengambilan Data... 29
D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 29
1. Alat Perekam... 29
2. Pedoman wawancara... 30
E. Kredibilitas Penelitian... 30
F. Prosedur Penelitian... 31
1. Tahap Awal Penelitian... 31
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... 32
3. Tahap Pencatatan Data... 32
4. Prosedur Analisis Data... 32
BAB IV HASIL ANALISA DATA... 35
(8)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
1. Responden I... 35
2. Responden II...38
3. Responden III... 41
B. Analisa Data Wawancara 1. Responden I... 43
2. Responden II... 50
3. Responden III... 57
C. Interpretasi 1. Responden I... 63
2. Responden II... 70
3. Responden III... 86
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN……… 88
A. Kesimpulan……… 88
B. Diskusi……… 92
C. Saran ………. 92
(9)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Responden Penelitian……….36 Tabel 2 Waktu Wawancara………..………...…..43 Tabel 3 Perbandingan kesiapan menikah Responden………...87
(10)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Lembar Persetujuan (Inform Consent) Lampiran 3 Verbatim
(11)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan (Hurlock, 1999). Menurut Erikson (dalam Hoyer & Roudin, 2003) masa dewasa ini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu masa dewasa dini yang dimulai dari usia 20 sampai 35 tahun, masa dewasa madya dari usia 35 sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun ke atas. Setiap tahapan pada masa dewasa tersebut memiliki tugas perkembangannya masing-masing.
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu. Bila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya, tetapi apabila gagal akan menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa dewasa dimulai dari dewasa dini, yaitu menikah dan membina kehidupan berumah tangga.
Pengertian menikah sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yaitu :
”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(12)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hogg (2002) yang mengatakan menikah adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam menjalani kehidupan bersama di masa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan. Dengan kata lain dapat dikatakan pernikahan adalah suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal.
Membentuk suatu hubungan dan memilih pasangan dengan bijak merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menuju suatu pernikahan yang bahagia. Tetapi kadang-kadang pasangan yang terlihat serasi dan saling mencintai belum tentu merasa siap untuk menikah. Hal ini dikarenakan suatu pernikahan meliputi banyak aspek kehidupan dan memerlukan tanggung jawab lebih dari individu yang akan menikah. Untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal dibutuhkan sumber dan keterampilan khusus dari masing-masing pasangan, seperti apakah pasangan tersebut sudah cukup matang secara personal untuk menerima tanggung jawab dalam pernikahan (Blood, 1978).
Oleh karena itu, sebelum memasuki dunia pernikahan diperlukanlah suatu kesiapan (Blood, 1978). Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap untuk mengasuh anak (Duvall & Miller, 1985). Jika seseorang telah memiliki kesiapan maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami-istri.
(13)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Setelah menikah, maka tugas perkembangan selanjutnya yang berada pada masa dewasa madya adalah membantu anak remajanya menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia. Tetapi fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa madya yang belum juga menikah atau melajang, sedangkan menikah merupakan tugas perkembangan yang berada pada masa dewasa dini. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya di masa dewasa madya yang seharusnya telah memiliki tugas untuk mendidik anak.
Fenomena malajang ini dapat terlihat dalam Waspada online (2008) yang mengangkat fenomena dewasa madya melajang, berikut ini adalah satu contoh surat yang dilayangkan seorang wanita lajang kepada Waspada:
”...Saya gadis (46 tahun), tetapi masih sendiri... belum punya pasangan hidup. Dulu saya pernah tunangan, tetapi gagal ke pelaminan. Tentu saja saya sedih, Bu. Saya ingin seperti yang lain, sukses dalam karir dan rumah tangga. Saya PNS di kota kecil, saya hanya punya beberapa teman, ke mana-mana ketemunya itu lagi, itu lagi.... Jadi mungkin agak sulit mendapat pendamping. Apa yang harus saya lakukan, apakah masih ada jodoh untuk saya? Saya tidak mau sendiri terus. Saya ingin berbagi rasa, saling sayang dengan pendamping saya. Saya tidak berharap muluk-muluk, tetapi juga jangan asal mendapat pendamping... Yang penting seiman.”
Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan teman-teman untuk menikah (Hurlock, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa mengalaminya.
Pernikahan memang hal yang sangat dinantikan bagi setiap orang, baik pria maupun wanita. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga
(14)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
dapat memenuhi kebutuhan psikologis seseorang, seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dan rasa ingin dihargai. Jadi, dengan menikah seorang individu akan merasa tenang dapat melindungi dan dilindungi serta dapat mencurahkan segala isi hati kepada pasangannya. Pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan sosial, seperti yang telah disampaikan bahwa norma-norma masyarakat yang memandang lain seorang individu yang terlambat atau tidak menikah, membuat individu ingin menikah agar tidak mendapat sorotan dari masyarakat.
Manfaat terakhir dari menikah adalah untuk memenuhi kebutuhan religi seseorang, dengan melakukan pernikahan maka salah satu aspek dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 2002). Kebutuhan-kebutuhan inilah yang melatarbelakangi seseorang untuk menikah.
Menurut Jacoby dan Bernard (dalam Setyowati & Riyono, 2003) wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun. Hurlock (1999) mengatakan pria yang melajang tidak mengalami masalah seperti yang dialami wanita yang belum menikah karena pria dapat menikah kapan saja. Pria juga lebih mudah melakukan adaptasi dengan kehidupan melajang dibandingkan dengan wanita.
Cockrum dan White (dalam Suryani, 2007) juga mencatat terdapat standar yang berbeda yang digunakan masyarakat dalam memandang pria yang hidup melajang dengan wanita yang hidup melajang. Pria yang hidup melajang cenderung lebih dapat diterima dibandingkan dengan wanita melajang. Wanita melajang yang sering disebut ”perawan tua”, selalu disodorkan pertanyaan
(15)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
”Kapan kamu menikah?” dari orang sekitar. Apalagi Jones (dalam Suryani, 2007) mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita semakin membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria sehingga status melajang yang dimiliki wanita lebih mendapat sorotan.
Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Suryani, 2005) pun menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah dibandingkan dengan pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang istri dan seorang ibu.
Umumnya status melajang yang dimiliki wanita dewasa madya lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa saat berusia dua puluhan wanita yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada waktu usianya mencapai tiga puluh, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidupnya ke arah nilai, tujuan, dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan. Status melajang lebih sering dimiliki oleh wanita yang bekerja semakin jelas terlihat dari banyaknya media massa yang mengangkat artikel mengenai fenomena melajang pada wanita yang bekerja.
Salah satu media massa yang mengangkat fenomena melajang pada wanita bekerja adalah surat kabar Surabaya Post (2004) yang memberitakan banyaknya wartawan wanita yang belum menikah (melajang) di masa dewasa. Dari hasil wawancara kepada sebelas wartawan ditemukan berbagai alasan mengapa mereka
(16)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
menunda pernikahan, salah satunya adalah karena ingin konsentrasi pada pekerjaan apalagi saat karir sedang beranjak naik, tetapi keinginan untuk memiliki suami dan berkeluarga tetap menjadi cita-cita ideal. Bahkan sebagian besar wartawan akan meninggalkan pekerjaannya jika sudah menikah, tetapi ada juga yang ingin tetap bekerja sebagai penulis.
Pembahasan mengenai wanita yang masih melajang juga terdapat dalam berbagai surat kabar lainnya, diantaranya yaitu Pernik PUBLIK (2003) yang menuliskan bahwa sosok wanita karir yang sukses merupakan fenomena umum di kota-kota besar, sekalipun ia seorang ibu rumah tangga. Bagi seorang wanita karir yang belum berumah tangga, kesuksesan dan kemajuan karir sering dituding sebagai penyebab penghambat jodoh wanita.
Pikiran Rakyat Online (2007) dalam wacana ”Mengapa Wanita Melajang?” juga menuliskan fenomena melajang mengenai alasan mengapa seorang wanita memutuskan melajang di atas usia 30 tahunan, salah satu di antaranya karena menentukan kriteria yang terlalu tinggi untuk calon pasangannya. Banyak wanita semakin tinggi tingkat pendidikan atau jabatan, semakin kurang berminat menjalin hubungan dengan pria yang tidak setara.
Hasil dari penelitian yang dilakukan Wong (2005) mengatakan bahwa penundaan pernikahan bisa terjadi karena wanita dewasa tersebut mempertimbangkan karir, pendidikan, dan finansial sebagai prasyarat dalam melakukan pernikahan. Wanita yang berpendidikan lebih tinggi memilih untuk menata karir dan pendidikan mereka lebih dahulu, tetapi bukan berarti mereka tidak mempunyai hasrat untuk menikah. Hanya saja mereka memandang kedua
(17)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
hal tersebut sebagai prasyarat untuk menikah. Secara umum wanita yang belum menikah memiliki posisi pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang telah menikah.
Wirawan (dalam Femina, 2002) juga melakukan wawancara terhadap wanita karir yang masih lajang. Dari hasil wawancara itu didapatkan hasil bahwa wanita yang sebenarnya sudah sampai pada usia nikah, tapi sampai saat ini belum juga menikah menyatakan alasannya untuk tetap melajang adalah karena keinginan untuk berkonsentrasi pada karir, kesibukan dalam pekerjaan yang membuat mereka sulit untuk membagi waktu, keinginan untuk bersenang–senang menikmati hasil jerih payahnya sendiri, serta belum siap secara finansial dan mental.
Memang selain pendidikan dan karir, faktor kesiapan diri juga menjadi faktor utama yang menjadi penyebab adanya penundaan untuk menikah. Dalam mencari pasangan hidup dan berkeluarga, individu harus siap secara finansial dan mental. Individu yang hendak menikah harus memikirkan tempat tinggal maupun biaya sekolah anak. Dalam hal kesiapan mental, individu harus mampu mempersiapkan dirinya secara matang sehingga mampu untuk menyelesaikan masalah rumah tangga, menyesuaikan diri dan hidup bersama dengan orang lain seumur hidup (Suryani, 2007).
Berdasarkan artikel-artikel dari berbagai media massa di atas, dapat kita temukan bahwa wanita yang bekerja dan masih melajang di masa dewasa madya sebenarnya masih menginginkan suatu pernikahan, hanya saja mereka memiliki banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum memutuskan
(18)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
untuk menikah, seperti kesiapan mental dan finansial. Kesiapan mental dan kesiapan finansial ini termasuk ke dalam aspek kesiapan menikah yang telah disebutkan sebelumnya.
Kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam kesiapan situasi adalah kesiapan finansial dan kesiapan waktu (Blood, 1978). Bila individu dewasa telah dapat memenuhi kedua aspek tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah siap untuk menikah.
Jika kita lihat dari aspek kesiapan menikah pribadi, yaitu kematangan emosi. Wanita dewasa yang berusia di atas 35 tahun dapat dikatakan telah memiliki kematangan emosi tersebut. Menurut Blood (1978) kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan suatu permasalahan. Pengalaman tersebut akan membuat seseorang menjadi sadar terhadap perasaannya sendiri dan ia akan belajar untuk dapat merespon suatu peristiwa dalam kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan semakin bertambah usia seseorang, maka bertambah jugalah kematangan seseorang karena semakin banyak pengalaman dan perubahan terhadap suatu masalah yang didapat oleh indvidu dewasa selama rentang hidup yang telah dijalani.
(19)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI (53 tahun) yang memiliki pekerjaan pegawai negeri, ketika ditanya bagaimana sikap responden dalam menghadapi suatu masalah yang membuat responden marah:
“Namanya kia manusia emosi tetap ada dalam hal apapun itu. Ginilah jadinya kalau kesalahan itu bukan dari kita, dari kawan tapi melibatkan kita, kita tanyakan sama dia kita bicarakan kenapa bisa begini.”
“Kalau marah saya diam, daripada kita maki-maki ngapain orang, bagus kita diam. Diakan nanti tahu sendiri. Saya gak mau saya ngotot kali, introspeksi aja harus hati-hati berarti lain kali saya jangan begitu lagi saya kerjakan.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009)
“Kan ada itu cuek, ya udah kapok situ, kena kenalah. Kalau saya enggak, bagaimana masalahnya saya kerjakan dulu, apapun masalahnya gak pernah saya meninggalkan masalah gitu aja, gak pernah saya.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009)
Dalam hal menyikapi suatu permasalahan, responden dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak penuh emosi, berusaha mencari solusi terhadap permasalahan tanpa menyalahkan dan menyerang orang lain. Reponden pun dapat memandang suatu permasalahan secara positif serta dapat mengambil pelajaran dari permasalahan itu.
Dilihat dari segi kesiapan usia sudah tampak jelas bahwa wanita dewasa madya sudah cukup siap untuk menikah, mengingat teori perkembangan Havinghusrt (dalam Hurlock, 1999) yang mengatakan bahwa menikah merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa dini. Apalagi usia seseorang berkaitan dengan kematangan psikologis seseorang. Pernikahan pada usia yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diinginkan, karena psikologisnya
(20)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
belum matang. Oleh karena itu, dengan usia yang telah dewasa maka diharapkan lebih dapat menghadapi permasalahan yang ada (Walgito, 2002).
Kematangan sosial juga hal yang telah dimiliki oleh wanita dewasa madya. Menurut Blood (1978) kematangan sosial dapat dilihat dari pengalaman berkencan dan pengalaman hidup sendiri. Seiring dengan berjalannya usia, membuat individu dewasa yang telah berumur 40 sampai 60 tahun dapat dikatakan telah memiliki pengalaman-pengalaman dan dapat membuktikan kepada keluarga dan teman-teman bahwa mereka bisa mandiri dalam menjalani hidup.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI (53 tahun) dan TK (40 tahun) yang memiliki pekerjaan wiraswasta :
“Kalau yang serius ada 2 kali…”
“Ya kalau pas kali belumlah, tapi udah adalah orang yang mau serius, tapi beda iman mau apa kita bilang.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) “Pernah, waktu di Batam, ibu banyak juga. Satu kita beda agama kadang ketemunya ya kan, ada juga yang beda agama dia bisa pindah tapi mau dibawanya kita jauh-jauh. Ke Korea... Kita udah nyaman, nyambung lah istilahnya. Tapi kan pikiran ibu masih kekeluargaan, saudaraku semua di sini.”
“Ada, kemarin orang Medan, orang Batak tapi beda agama gak maulah ibu. Dia anak satu-satunya laki-laki jadi mana mungkin dia mau pindah.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) Dari pengalaman berkencan, responden telah beberapa kali membangun hubungan dengan lawan jenis dan menjalaninya dengan serius serta membuat komitmen hanya dengan seseorang yang khusus walaupun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan dikarenakan perbedaan budaya dan agama.
(21)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
“Iya kerja PJTKI, yang punya perusahaan abang. Wiraswasta lah ya bisa dibilang. Pertamanya saya bantu-bantu abang, sekarang karena saya merasa sudah bisa, jadi saya ngurus sendiri.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) “Hikmah sendiri ini ya ada juga, kita merasa lebih tegar, tapi kalau lebih daripada orang ya enggak, rasanya kita lebih tegar kalau ada masalah. ... rasa-rasa ibu kalau sendiri ini, kita kalau kemana-mana gak ada yang melarang, keputusan semua kita ambil sendiri. Aku masih bisa ini...aku bisa itu...”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) “....Ibu kalau punya masalah selama ini bisa diselesaikan sendiri.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009)
Pengalaman hidup sendiri juga dapat kita lihat dari hasil wawancara peneliti dengan MI (44 tahun) seorang pegawai swasta:
“Ya udah bina aja keluarga yang ada, keluarga aja banyak, banyak keponakan yang bisa dibantu. Kasih aja uang sama keponakan-keponakan.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) “Jadi... banyak kawan-kawan ibu dari kuliah dulu yang ngedeketi ya gitu aja. Tapi gimana ya kawan-kawan ibu cowok semua, rasa-rasanya kayaknya biasa aja lagi, tapi gombal-gombalin orang ibu suka, giliran diapain. Kadang gini juga begini pula yang jadi pasangan aku nanti, bisa gak dia ngapain aku. Nah, pikiran ke depannya itu terlalu banyak. Terakhir...paling ah cuma begini ajanya dia, gak bisa melindungi. Jangan-jangan aku pula nanti yang ngelindungi dia, ah bagus tak usah, aku juga bisa melindungi diriku sendiri.”
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) Dilihat dari pengalaman hidup sendiri, responden dapat melakukan sesuatu dengan mandiri baik dalam segi finansial maupun dalam mengambil keputusan untuk hidupnya. Responden merasa dapat menyelesaikan masalah yang muncul tanpa menyusahkan orang lain baik dari segi pekerjaan atau kehidupan pribadi bahkan membantu keuangan anggota keluarganya yang lain. Responden juga telah
(22)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
mengetahui hal apa yang sesuai dengan dirinya, seperti kriteria pasangan yang sesuai dengan diri responden untuk dijadikan calon suami.
Apabila kita meninjau dari aspek kesiapan menikah situasi, maka wanita dewasa madya yang bekerja dapat dikatakan telah memenuhi kesiapan finansial. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI dan MI :
“Kalau ekonomi cukuplah sendirian ini. Tapi yang lain gak cukup karna gak ada pasangan aja. Tinggal itu ajalah”.
(komunikasi interpersonal, Mei 2009) “Kalau dari penghasilan Alhamdullilah cukup, sedikit pun cukup, banyak pun cukup, jadi gak ada lebihnya. Kalau bisa lebih banyak lagi.”
(komunikasi interpersonal, April 2009) Wawancara di atas memperlihatkan bahwa para responden telah merasa cukup secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun masih ada harapan adanya peningkatan dalam hal penghasilan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya yang ditinjau dari aspek kesiapan menikah maka wanita dewasa madya yang bekerja dapat dikatakan telah siap dalam hal usia, kematangan emosi, kematangan sosial, dan finansial untuk menjalani suatu pernikahan, tetapi mengapa di usianya yang telah cukup matang ini wanita dewasa madya yang bekerja belum juga melakukan pernikahan. Banyaknya media massa yang menyorot fenomena wanita dewasa yang masih melajang dapat diartikan bahwa masalah penundaan pernikahan merupakan hal yang penting untuk diteliti, apalagi yang dilakukan oleh wanita yang memang lebih mendapat tekanan dari lingkungan sekitar.
Melihat fenomena seperti yang dipaparkan di atas, dengan adanya keterlambatan dalam pemenuhan tugas perkembangan pada masa dewasa dini di
(23)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
usia yang telah memasuki masa dewasa madya yang dialami wanita bekerja, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui alasan apa yang membuat wanita dewasa madya yang bekerja belum juga menikah dan apakah wanita bekerja dewasa madya telah siap untuk menikah.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dilihat bahwa terdapat wanita dewasa madya bekerja yang masih melajang atau menunda untuk menikah, sehingga dapat dirumuskan masalah utama dalam penelitian ini yaitu apakah wanita dewasa madya yang bekerja siap untuk menikah. Dengan demikian, pertanyaan penelitian yang muncul adalah :
1. Bagaimana kesiapan menikah wanita dewasa madya yang bekerja?
2. Alasan apa yang membuat wanita dewasa madya yang bekerja belum menikah?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kesiapan menikah wanita dewasa madya yang bekerja.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis, sebagai berikut:
(24)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi, terutama Psikologi Perkembangan mengenai kesiapan menikah dewasa madya terutama pada wanita bekerja.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada dewasa madya terutama wanita yang belum menikah mengenai hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah dan agar dapat lebih memperhatikan salah satu tugas perkembangan yang belum terselesaikan yaitu menikah. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah : BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari teori mengenai kesiapan menikah, dewasa madya, dan wanita bekerja.
(25)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan, responden penelitian, metode pengambilan data, alat pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.
BAB IV : Hasil Analisis Data
Bab ini menjabarkan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, analisa data, dan interpretasi.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran.
Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian. Diskusi membahas ketidaksesuaian data-data dengan teori atau penelitian sebelumnya, serta saran yang berisi saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
(26)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESIAPAN MENIKAH 1. Pengertian Kesiapan Menikah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri.
Menurut Duvall & Miller (1985) menikah merupakan hubungan antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, kekuasaan dalam hal mengasuh anak, dan membentuk tugas masing-masing sebagai suami dan istri.
Tokoh lain mengatakan bahwa menikah adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam menjalani kehidupan bersama di masa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan (Hogg, 2002).
Menikah adalah menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, perasaan, memenuhi kebutuhan seksual, kerja sama, kesempatan untuk pertumbuhan emosional sebagai sebuah sumber baru dari identitas dan self esteem (Gardiner et. al, 1998; Mayers, 2000, dalam Papalia, 2004).
Sebelum memasuki dunia pernikahan, seorang individu memerlukan suatu kesiapan agar dapat menuju suatu pernikahan yang bahagia Oleh karena itu, kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk dapat menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik. (Blood, 1978).
(27)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Menurut Kamus Lengkap Psikologi (2000), kesiapan (readiness) adalah suatu keadaan siap sedia (siaga) untuk bereaksi atau menanggapi suatu hal yang merupakan suatu tingkat perkembangan kematangan atau kedewasaan seseorang.
Berdasarkan pengertian kesiapan dan menikah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kesiapan menikah adalah keadaan siap dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan mengasuh anak.
2. Aspek-Aspek Kesiapan Menikah
Blood (1978) membagi kesiapan menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan menikah pribadi (personal) dan kesiapan menikah situasi (circumstantial).
a. Kesiapan Pribadi (Personal) 1) Kematangan Emosi
Kemampuan untuk dapat siaga terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasi perasaan sendiri merupakan konsep kematangan emosi dalam diri seseorang. Kematangan emosi yaitu konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. Kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan suatu permasalahan. Pengalaman tersebut akan membuat seseorang menjadi sadar terhadap perasaannya sendiri dan ia akan belajar untuk dapat merespon suatu peristiwa dalam kehidupannya.
(28)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Individu dewasa memiliki kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan pribadi, mampu mengerti perasaan orang lain (empati), mampu mencintai dan dicintai, mampu untuk memberi dan menerima, serta sanggup membuat komitmen jangka panjang. Pernikahan berarti sanggup membangun suatru tanggung jawab dan memasuki suatu komitmen. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dalam suatu pernikahan, yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan.
Sebaliknya, individu yang belum dewasa secara emosional hanya diliputi oleh keinginan-keinginan sendiri tanpa tahu bagaimana cara mengerti perasaan orang lain, tidak mampu membuat komitmen jangka panjang. Kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Harapan yang realistik dapat membuat seseorang mampu menerima dirinya sendiri dan mampu menerima orang lain apa adanya. Kehidupan pernikahan yang memiliki pasangan yang matang secara emosi dan memiliki harapan-harapan pernikahan yang realistik akan lebih mudah dipertahankan.
Murray (1992) menambahkan kriteria kematangan emosi, yaitu : a) Memiliki kemampuan untuk memberi dan menerima kasih sayang.
Individu yang matang adalah individu yang mampu mengekspresikan rasa kasih sayang yang diberikan orang lain. Kemampuan ini berlawanan dengan ciri-ciri ketidakmatangan emosi yang bersikap egosentris hanya mau menerima kasih sayang orang lain tetapi tidak mau mengasihi orang lain.
(29)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b) Memiliki kemampuan untuk saling memberi dan menerima secara seimbang.
Kematangan emosi juga ditandai dengan kemampuan untuk menghargai kemampuan diri sendiri dan kemampuan orang lain. Individu bersedia memperhatikan kebutuhan orang lain dan memberikan kesempatan bagi orang yang dikasihinya untuk meningkatkan kualitas diri, begitu juga dengan dirinya sendiri bersedia menerima dukungan dan saran dari orang lain secara seimbang.
c) Memiliki kemampuan untuk menghadapi kenyataan.
Individu yang memiliki kematangan emosi bersedia menghadapi kenyataan dengan cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang ada, bukan lari dari masalah.
d) Memiliki kemampuan untuk menghadapi peristiwa kehidupan secara positif. Individu yang matang melihat sebuah pengalaman hidup sebagai pembelajaran. Ketika pengalaman itu positif, individu akan menikmatinya. Sebaliknya, jika pengalaman itu negatif, individu akan menerima hal tersebut sebagai tanggung jawab pribadi dan bersedia belajar untuk meningkatkan kualitas diri.
e) Memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman.
Kemampuan menghadapi kenyataan dan berhubungan secara positif dengan pengalaman hidup dan bersedia untuk belajar dari pengalaman adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki kematangan emosi. Sedangkan individu yang tidak memiliki kematangan emosi adalah individu
(30)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
yang menganggap bahwa pengalaman positif dan negatif itu datang karena takdir dan tidak ada usaha untuk mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman tersebut.
f) Memiliki kemampuan untuk menghadapi peristiwa yang menimbulkan frustrasi.
Individu yang matang secara emosi adalah individu yang mempertimbangkan untuk menggunakan pendekatan atau cara lain ketika pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tidak berhasil. Individu yang matang tidak terpaku pada kegagalan namun bersedia membuka lembaran baru kehidupan.
g) Memiliki kemampuan untuk mengatasi kesukaran secara konstruktif.
Kemampuan mengatasi kesukaran secara konstruktif yang diartikan sebagai kemampuan untuk tidak menyalahkan orang lain ketika frustrasi. Selain itu, individu yang memiliki kematangan emosi tidak menyerang orang lain ketika terjadi masalah tetapi menghadapi masalah itu dan mampu mengendalikan energinya untuk mencari solusi terhadap permasalahan.
2) Kesiapan Usia
Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah, menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakan hal yang berkaitan dengan kedewasaan. Semakin tua usia seseorang maka semakin dewasa pemikiran seseorang. Sebaliknya, semakin muda usia seseorang maka semakin sulit untuk mengatasi emosi-emosinya.
(31)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Semakin muda usia pada saat menikah maka semakin tinggi tingkat perceraian yang terjadi.
3) Kematangan Sosial
Kematangan sosial dapat dilihat dari :
a) Pengalaman berkencan (enough dating), yang dilihat dengan adanya kemauan untuk mengabaikan lawan jenis yang tidak dikenal dekat dan membuat komitmen dalam membangun hubungan hanya dengan seseorang yang khusus. Saat seseorang letih terhadap hubungan yang tidak aman, maka individu secara sosial siap untuk menikah dan hanya terfokus pada orang yang paling menarik perhatiannya.
b) Pengalaman hidup sendiri (enough single life), yang membuat individu memiliki waktu luang untuk diri sendiri agar mandiri dan waktu bersama orang lain. Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, orang tua, dan pasangan bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri tanpa harus menyesuaikan dengan keinginan dan pendapat orang lain. Seorang individu harus mengetahui identitas pribadi secara jelas sebelum siap untuk melakukan pernikahan.
4) Kesehatan Emosional
Permasalahan emosional yang dimiliki manusia diantaranya adalah kecemasan, merasa tidak nyaman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut
(32)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah emosi biasanya menjadi tanda dari ketidakmatangan, yaitu bersikap posesif, ketidakmampuan bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi.
Kadang-kadang masalah emosi juga dapat disebut dengan kematangan yang berlebihan atau terlalu kaku. Seseorang yang bersosialisasi secara berlebihan kemungkinan tidak dapat mentoleransi kekurangan orang lain. Sikap perfeksionis ini tidak hanya berlaku kepada orang lain atau pasangan tetapi juga berlaku untuk diri sendiri. Walaupun individu tersebut bisa menjadi pemberi yang baik dalam hal kasih sayang, tetapi kemungkinan dia tidak dapat menerima kasih sayang dari orang lain untuk menghindari keegoisan.
5) Kesiapan Model Peran
Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. Kehidupan pernikahan harus dijalani dengan mengetahui apa saja peran individu yang telah menikah sebagai suami istri. Peran yang ditampilkan harus sesuai dengan tugas-tugas mereka sebagai suami ataupun istri. Orang tua yang memiliki figur suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka.
(33)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b. Kesiapan Situasi (Circumstantial) 1) Kesiapan Finansial
Kesiapan finansial tergantung dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Menurut Cutright (dalam Blood, 1978), semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin besar kemungkinan ia untuk menikah. Pernikahan yang masih mendapat bantuan dari keluarga atau orang tua dapat mempengaruhi hubungan pasangan dalam rumah tangga.
2) Kesiapan Waktu
Persiapan sebuah pernikahan akan berlangsung baik jika masing-masing pasangan diberikan waktu untuk mempersiapkan segala hal, meliputi persiapan sebelum maupun setelah pernikahan. Persiapan rencana yang tergesa-gesa akan mengarah pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi dampak yang buruk pada awal-awal kehidupan pernikahan.
3. Faktor-Faktor yang Menghambat Kesiapan Menikah
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah, adalah ( Hurlock, 1999) :
a. Rasa takut untuk menikah (membentuk suatu hubungan keluarga baru) karena menyadari bahwa usianya yang telah setengah baya.
Hurlock menyatakan bahwa semakin mendekati usia tua, periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia.
(34)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b. Usia dewasa madya merupakan usia yang berbahaya.
Masa dewasa madya merupakan masa seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, kecemasan yang berlebihan ataupun kurang memperhatikan kehidupan, termasuk kurang memperhatikan tentang kesiapan untuk menikah di usia dewasa madya.
c. Masa workaholic.
Masa ketika seseorang terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja tanpa memperhatikan hal lain disamping pekerjaan.
d. Masa berprestasi dalam pekerjaan atau sukses dalam pekerjaan.
Hal ini menyebabkan terlupakannya atau tidak memikirkan untuk menikah. Sekaligus juga merupakan masa evaluasi termasuk terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Jika sukses atau berhasil maka akan merasa senang dan puas, serta tetap ingin merealisasikan atau mencapai cita-cita dan ambisi kerja lainnya. Jika gagal maka akan merenungi dan terus mencari sumber kesalahan atau kegagalan dalam pekerjaan sehingga tidak terpikirkan untuk menikah.
e. Pernikahan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan.
Hal ini menyebabkan banyak wanita dewasa madya lebih memilih untuk hidup sendiri dan tidak menikah.
(35)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
B. DEWASA MADYA 1. Pengertian Dewasa Madya
Menurut Hurlock (1999), orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Transisi peran adalah suatu hal yang harus dicapai untuk menjadi seorang dewasa.
Menurut Erikson (dalam Hoyer & Roudin, 2003) masa dewasa ini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu masa dewasa dini usia 20 sampai 35 tahun, masa dewasa madya usia 35 sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun ke atas. Erickson (dalam Hurlock, 1999) mengatakan dewasa madya merupakan masa krisis antara generativitas dengan stagnasi yang berarti selama usia madya individu akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya, tidak akan mengerjakan apapun lagi.
Tokoh lain mengatakan bahwa usia dewasa tengah adalah priode perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35/45 tahun sampai 60 tahun. Dewasa madya adalah suatu masa menurunnya kondisi fisik dan semakin besarnya tanggung jawab, suatu masa individu menjadi semakin sadar akan polaritas muda-tua, semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam kehidupan, dan individu berusaha meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya, serta masa ketika individu mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya (Santrock , 2002).
(36)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
2. Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Madya
Menurut Havighurst, tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa madya:
a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.
b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.
c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa.
d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai seorang individu.
e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi.
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam pekerjaan. g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.
3. Karakteristik Dewasa Madya
Menurut Hurlock (1999) karakteristik individu pada masa dewasa madya adalah :
a. Periode yang sangat ditakuti
Semakin mendekati usia tua, periode dewasa madya semakin terasa lebih menakutkan. Banyaknya stereotipe yang tidak menyenangkan mengenai dewasa madya, seperti penurunan fungsi fisik dan mental.
(37)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b. Masa transisi
Usia madya merupakan masa transisi, antara meninggalkan ciri-ciri jasmaniah dan perilaku masa dewasanya (masa dewasa dini) dan memasuki ciri-ciri jasmaniah dan perilaku masa dewasa yang baru (masa dewasa lanjut).
c. Masa stres
Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah selalu cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa sejumlah penyesuaian pokok dilakukan di rumah, lingkungan pekerjaan, dan aspek kehidupan sosial.
d. Masa sepi
Masa ketika anak-anak tidak lama lagi tinggal bersama orang tua dan saat memasuki masa pensiun atau mengundurkan diri dari pekerjaan.
e. Usia yang berbahaya
Usia madya dapat menjadi usia yang berbahaya. Saat ini merupakan suatu masa seseorang mengalami kesusahan fisik akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, dan kurang memperhatikan kehidupan. f. Usia canggung
Individu yang berusia madya tidak dapat disebut ”muda” lagi tetapi bukan juga ”tua”. Franzblau (dalam Hurlock, 1999) mengatakan orang berusia madya seolah-olah berdiri di antara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi warga senior.
(38)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
g. Masa berprestasi
Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1999) usia madya merupakan masa krisis antara generativitas dengan stagnasi yang berarti selama usia madya individu akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya, tidak akan mengerjakan apapun lagi. Bagi individu yang memiliki kemauan yang kuat, usia madya merupakan masa keberhasilan dalam bidang keuangan dan masa mencapai puncak prestasi.
h. Masa evaluasi
Individu yang berusia dewasa madya pada saat ini mengevaluasi apa-apa saja yang telah dicapai sebelumnya, seperti mengevaluasi prestasi berdasarkan aspirasi sendiri dan harapan-harapan orang lain.
i. Masa jenuh
Banyak atau hampir seluruh pria dan wanita dewasa madya merasa jenuh dengan kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari. Kejenuhan tidak akan mendatangkan kebahagiaan atau kepuasan. Akibatnya usia dewasa madya seringkali menjadi periode yang tidak menyenangkan dalam hidup.
C. WANITA BEKERJA 1. Pengertian Wanita Bekerja
Bekerja merupakan usaha untuk mendapatkan makanan, tempat tinggal, dan pakaian, serta untuk membantu keluarga. Bekerja juga dapat memberikan rasa puas sebagai individu dewasa, sebagai pengembangan ketrampilan, menunjukkan
(39)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
kompetensi, menerapkan pengetahuan, dan membangun self-esteem (Hoyer & Roudin, 2003).
Bekerja juga dapat memberikan seseorang kesempatan untuk belajar dan menampilkan ide baru, membuat seseorang merasa berguna dan ikut berkontribusi, serta menyediakan kesempatan untuk bersosialisasi dan mengembangkan hubungan dengan orang lain. Maka dapat disimpulkan wanita bekerja merupakan wanita yang melakukan sesuatu sebagai mata pencaharian untuk mencari nafkah dan memberikan rasa puas sebagai individu dewasa.
Menurut Matlin (2004) wanita bekerja dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
a. Employed woman (wanita pekerja). Seorang wanita yang bekerja untuk mendapatkan bayaran, baik mendapat gaji dari orang lain atau bekerja untuk diri sendiri.
b. Nonemployed woman (wanita nonpekerja). Seorang wanita yang bekerja tidak untuk mendapat bayaran, seperti bekerja untuk keluarga sendiri atau menjadi sukarelawan pada suatu organisasi. Dalam hal ini, Individu tidak menerima gaji dari jasa yang telah diberikan.
D. KESIAPAN MENIKAH PADA WANITA DEWASA MADYA YANG BEKERJA
Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan
(40)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
teman-teman untuk menikah (Hurlock, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa mengalaminya. Pernikahan memang hal yang sangat dinantikan bagi setiap orang, baik pria maupun wanita. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan religi seseorang (Walgito 2002).
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menikah merupakan tugas perkembangan yang muncul pada masa dewasa dini. Fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa madya yang belum juga menikah atau melajang. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya di masa dewasa madya yang seharusnya telah memiliki tugas untuk mendidik anak.
Jacoby dan Bernard (dalam Setyowati & Riyono, 2003) mengatakan bahwa wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria umumnya sekitar usia 30 tahun. Cockrum dan White (dalam Suryani, 2007) juga mencatat terdapat standar yang berbeda yang digunakan masyarakat dalam memandang pria yang hidup melajang dengan wanita yang hidup melajang. Pria yang hidup melajang cenderung lebih dapat diterima dibandingkan dengan wanita melajang. Apalagi Jones (dalam Suryani, 2007) mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita semakin membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria sehingga status melajang yang dimiliki wanita lebih mendapat sorotan.
(41)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Suryani, 2005) pun menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah dibandingkan dengan pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang istri dan seorang ibu.
Umumnya status melajang yang dimiliki wanita dewasa madya lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) yang mengatakan bahwa saat berusia dua puluhan wanita yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada waktu usianya mencapai tiga puluh, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidupnya ke arah nilai, tujuan, dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan.
Melihat pentingnya suatu pernikahan bagi setiap individu dan banyaknya pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum menikah, maka dibutuhkanlah suatu kesiapan sebelum memutuskan untuk menikah. Kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam kesiapan situasi adalah kesiapan finansial dan kesiapan waktu (Blood, 1978).
Jika kita lihat dari aspek kesiapan menikah pribadi, yaitu kematangan emosi. Wanita dewasa yang berusia di atas 35 tahun dapat dikatakan telah memiliki kematangan emosi tersebut. Menurut Blood (1978) kematangan emosi berasal dari
(42)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan suatu permasalahan. Pengalaman tersebut akan membuat seseorang menjadi sadar terhadap perasaannya sendiri dan ia akan belajar untuk dapat merespon suatu peristiwa dalam kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan semakin bertambah usia seseorang, maka bertambah jugalah kematangan seseorang karena semakin banyak pengalaman dan perubahan terhadap suatu masalah yang didapat oleh indvidu dewasa selama rentang hidup yang telah dijalani.
Dilihat dari segi kesiapan usia sudah tampak jelas bahwa wanita dewasa madya sudah cukup siap untuk menikah, mengingat teori perkembangan Havinghusrt (dalam Hurlock, 1999) yang mengatakan bahwa menikah merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa dini. Apalagi usia seseorang berkaitan dengan kematangan psikologis seseorang. Pernikahan pada usia yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diinginkan, karena psikologisnya belum matang. Oleh karena itu, dengan usia yang telah dewasa maka diharapkan lebih dapat menghadapi permasalahan yang ada terutama masalah di dalam rumah tangga (Walgito, 2002).
Kematangan sosial juga hal yang telah dimiliki oleh wanita dewasa madya. Menurut Blood (1978) kematangan sosial dapat dilihat dari pengalaman berkencan dan pengalaman hidup sendiri. Seiring dengan berjalannya usia, membuat individu dewasa yang telah berumur 35 sampai 60 tahun dapat dikatakan telah memiliki banyak pengalaman dan dapat membuktikan kepada keluarga dan teman-teman bahwa mereka bisa mandiri dalam menjalani hidup baik dalam hal finansial atau dalam hal pengambilan keputusan.
(43)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Apabila kita meninjau dari aspek kesiapan menikah situasi yaitu kesiapan finansial maka wanita dewasa madya yang bekerja dapat dikatakan telah memenuhi kesiapan tersebut dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan yang dimilikinya. Menurut Cutright (dalam Blood, 1978), semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin besar kemungkinan ia untuk menikah.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya yang ditinjau dari aspek kesiapan menikah maka dapat dikatakan bahwa wanita dewasa madya yang bekerja telah siap dalam hal usia, kematangan emosi, kematangan sosial, dan finansial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya yang bekerja dianggap telah siap untuk menjalani suatu pernikahan.
(44)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
PARADIGMA BERPIKIR
1. Kematangan emosi 2. Usia
3. Kematangan sosial 4. Kesehatan emosional 5. Kesiapan model peran 6. Finansial
7. Waktu Tidak
bekerja
Wanita Pria
Kesiapan Menikah Dini
Tgs prkbgan: Menikah
Madya Tgs prkbgan: Mendidik anak
Bekerja
Dewasa
Belum Menikah Menikah
Bagaimana kesiapan menikah
wanita dewasa madya yang bekerja ?
(45)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat kesiapan menikah wanita dewasa madya yang bekerja maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif karena dianggap lebih dapat memberikan informasi tentang fenomena yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Strauss dan Corbin (2003) yang mengatakan bahwa metode kualitatif dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.
Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan detail, karena fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Kasus dipilih sesuai dengan minat dan tujuan yang khusus yang diuraikan dalam tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).
B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik yang digunakan untuk memilih responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Dewasa madya dengan kisaran umur 40 sampai 55 tahun. Penelitian ini menggunakan rentang umur tersebut karena biasanya pada usia ini individu yang bekerja belum mengalami masa pensiun.
(46)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b. Berjenis kelamin wanita.
c. Bekerja. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan responden yang bekerja pada suatu perusahaan atau instansi tertentu.
d. Belum pernah menikah.
2. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian
Prosedur pengambilan responden penelitian ini adalah dengan menggunakan pengambilan sampel berdasarkan pengambilan sampel bola salju (snowball sampling). Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai sebelumnya (Poerwandari, 2007). Peneliti bertanya pada responden penelitian mengenai siapa lagi yang dapat memberikan informasi atau sebagai calon responden penelitian selanjutnya.
3. Jumlah Responden Penelitian
Pada penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar, tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Sarakantos, dalam Poerwandari, 2007). Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan dan Belawan yaitu di tempat tinggal responden. Tempat disesuaikan dengan kemauan responden, dengan syarat
(47)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
responden merasa aman dan nyaman dengan keberadaannya dalam mengungkapkan hal-hal mengenai dirinya.
C. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh responden penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2007).
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah tape recorder dan pedoman wawancara.
1. Tape Recorder (Alat Perekam)
Menurut Poerwandari (2007), sebaiknya wawancara direkam dan dicatat dalam bentuk verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat perekam akan mempermudah peneliti dalam mengulangi hasil wawancara dan tidak perlu sibuk mencatat jalannya wawancara. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam dilakukan setelah ada persetujuan dari responden.
(48)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
2. Pedoman Wawancara Umum
Pedoman wawancara bersifat semi strutur dan berupa open ended question. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat.
E. KREDIBILITAS PENELITIAN
Suatu penelitian harus memiliki kualitas yang baik, dalam penelitian kualitatif validitas penelitian disebut dengan kredibilitas. Kredibiltas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan dalam mengeksplorasi masalah atau mendeskriptifkan suatu fenomena yang kompleks (Poerwandari, 2007).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan profesional judgement untuk menilai apakah pedoman yang telah dibuat sudah dapat menggali informasi yang diinginkan peneliti dan menyertakan peneliti lain sebagai “devil’s advocate” yang akan memberikan kritik atau saran terhadap analisis yang dilakukan peneliti, dan peneliti akan mencatat secara terperinci dan menyimpan secara lengkap data yang terkumpul beserta analisisnya untuk meningkatkan kredibilitas penelitian.
Hal ini sesuai dengan pendapat Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari, 2007) yang mengatakan langkah-langkah yang dapat meningkatkan kredibilitas suatu penelitian, adalah: mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya, memanfaatkan langkah-langkah
(49)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
dan proses yang diambil peneliti sebelumnya sebagai masukan pada penelitian, peneliti sendiri menyertakan orang-orang sebagai “devil’s advocate” yang dapat mengkritik atau memberikan saran-saran terhadap analisis yang dilakukan peneliti, melakukan pengecekan kembali data dengan usaha untuk menguji dugaan-dugaan yang berbeda.
F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Awal Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:
a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan kesiapan menikah dan dewasa madya
b. Mencari responden penelitian c. Menyusun pedoman wawancara d. Persiapan untuk pengumpulan data e. Membuat inform consent
f. Membangun rapport
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diawali dengan perkenalan serta memberi penjelasan pada responden mengenai tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan mengenai prosedur dan kerahasiaan data penelitian, kemudian wawancara dilakukan di
(50)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
tempat yang disepakati oleh peneliti dan responden penelitian. Proses wawancara akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir wawancara.
3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut yaitu memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan atau ketikan.
4. Prosedur Analisis Data
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu:
a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan
(51)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2007).
b. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. c. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara/ gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.
d. Tahapan Interpretasi/ analisis
Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan oleh Kvale, yaitu: pertama,
(52)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
konteks interpretasi pemahaman diri (‘self understanding’) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat apa yang responden penelitian sendiri ahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri responden penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian responden penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman responden, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan responden, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada responden yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap ditempatkan dalam konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana responden penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis. Pada tingkat ketiga ini kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum. e. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara, dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.
(53)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA
Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yang ketiganya adalah wanita yang bekerja. Pada bab ini akan dikemukakan deskripsi data responden, data observasi selama berlangsungnya wawancara, data wawancara, dan interpretasi hasil dari wawancara. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan teori Kesiapan Menikah oleh Blood (1978). Dengan demikian akan diperoleh dinamika psikologis responden untuk menjawab pertanyaan penelitian.
A. Deskripsi Data Responden 1. Responden I
a. Data Diri
Inisial : AI
Usia : 53 tahun
Suku : Mandailing
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas Pekerjaan : Pegawai Negeri
Tinggal dengan : Orang tua (ayah) Anak ke : 2 dari 8 bersaudara
(54)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
b. Gambaran Umum Responden
AI adalah seorang wanita dewasa yang bekerja sebagai pegawai negeri dan belum menikah diusianya yang telah mencapai 53 tahun. Anak kedua dari delapan bersaudara ini tinggal hanya berdua dengan ayahnya seorang pensiunan polisi setelah ibunya meninggal dunia. Di perumahan polisi tersebut, hari-hari AI diisi dengan bekerja dan mengurus orang tua, sesekali AI bepergian keluar kota dengan teman-teman untuk memenuhi hobinya yang suka berjalan-jalan dalam hal mencari hiburan dan pengalaman.
Selama ini AI menjalani status lajangnya dengan santai, AI tidak mendapat tekanan dari keluarga untuk menikah, orang tua hanya sesekali mengingatkan dan menyerahkan semua keputusan pada AI untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Omongan tetangga mengenai statusnya, hanya dianggap sebagai omongan orang yang tidak memiliki kegiatan oleh AI dan dianggap sebagai wujud kepedulian orang sekitar terhadap dirinya. AI sudah beberapa kali memiliki hubungan yang serius dengan laki-laki yang dirasa sudah cukup memenuhi kriteria. Tetapi semua hubungan tersebut gagal dengan berbagai alasan, mulai dari tidak disetujui orang tua karena AI masih bersekolah, hubungan jarak jauh, status laki-laki yang tidak single lagi, hingga beda agama.
Menurut AI penyebab yang membuat dia masih melajang adalah belum menemukan jodoh yang tepat sesuai dengan kriterianya seperti mapan, tinggi, pengertian, dan seiman serta ditambah dengan tidak ada ambisi dan usaha dari AI untuk menemukan pasangan. Banyaknya masalah rumah tangga yang
(55)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
menimpa orang sekitar yang sering AI lihat dan dengar, membuat AI lebih hati-hati dalam mencari pasangan agar kelak tidak terjadi masalah rumah tangga seperti yang telah sering ia lihat. Pikiran AI yang terus saja melihat ke depan tanpa berani untuk menjalaninya terlebih dahulu, membuat AI merasa tidak sanggup bila mendapat masalah-masalah rumah tangga yang sering kali membuat pihak perempuan menderita. Tetapi AI tidak memandang statusnya yang belum menikah sampai sekarang sebagai suatu kegagalan dalam hidupnya. Di sela-sela waktu kosong, AI sering berpikir tentang bagaimana kehidupan dia selanjutnya saat ayahnya meninggal, pernah AI merasa “sakit” saat melihat teman-temannya sudah memiliki anak bahkan cucu di usia dewasa madya ini. AI juga pernah merasakan hikmah dengan statusnya yang melajang saat ibunya jatuh sakit, karena dia bisa meluangkan waktu untuk merawat ibunya hingga meninggal dibandingkan dengan saudara yang lain yang telah menikah dan sibuk mengurusi rumah tangga masing-masing.
AI mengatakan bahwa ia masih ingin menikah jika memang ada pasangan yang dianggap pas, apalagi menikah merupakan salah satu sunah yang diajarkan dalam agama. Meskipun begitu, AI juga mengakui bahwa AI merasa pesimis bisa menikah dengan umurnya yang sudah kepala lima yang akan memasuki masa pensiun dalam waktu tiga tahun lagi. Sekarang AI telah mengangkat keponakannya sebagai anak dan lebih memfokuskan dirinya untuk merawat sang ayah.
(56)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
c. Waktu Wawancara
Tabel. 1
No
Waktu wawancara
Responden Tanggal Wawancara Waktu wawancara Tempat Wawancara
1 AI 10 April 2009 11.00-13.00 WIB Rumah AI
2 AI 13 Mei 2009 16.50-18.15 WIB Rumah AI
3 AI 12 Desember 2009 16.50-17.30 WIB Rumah AI
d. Data Observasi Selama Wawancara
Wawancara dilakukan setelah AI setuju untuk memberikan informasi ketika AI mendapat kepastian bahwa hasil wawancara tidak akan dipublikasikan secara umum dan nama asli responden tidak akan dicantumkan. Secara fisik, AI memiliki tinggi badan sekitar 168 cm dengan postur tubuh yang tegap, berat badan 57 kg, berkulit kuning langsat, dan berambut pendek, tapi akhir-akhir ini AI sudah menggunakan jilbab.
Proses wawancara dilakukan di rumah AI. Pada wawancara pertama peneliti datang ke rumah AI, saat itu AI terlihat sedang menyiram bunga yang terlihat memang sudah menunggu kedatangan peneliti. Ketika AI melihat kedatangan peneliti, AI lalu duduk-duduk di teras rumah dan langsung mempersilakan peneliti untuk duduk. AI menggunakan kaos putih dan celana pendek selutut berbahan kain dan berwarna hitam yang mencerminkan sosok AI yang sederhana dan menunjukkan suasana yang santai.
Wawancara dilakukan di teras rumah yang memiliki luas sekitar 2 x 4 meter, terdapat dua kursi dan satu kursi panjang disertai meja yang dikelilingi
(57)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
kursi hingga setengah lingkaran. Peneliti duduk di kursi panjang yang bersebelahan dengan kursi tempat AI duduk yang berdekatan dengan pintu rumah. Rumah AI yang bercat putih berhimpitan dengan rumah tetangganya di samping kanan dan kiri yang dibatasi dengan dinding semen setinggi satu meter. Di depan rumah AI juga terdapat pagar rumah setinggi satu meter yang menyatu dengan teras.
Pinggiran depan teras dipenuhi dengan tanaman hias dan pot-pot bunga, terdapat juga bunga anggrek yang menggantung di sebelah kanan teras jika dilihat dari luar pagar. Di bawah bunga yang menggantung terdapat dua tong plastik berwarna biru dan putih tempat menampung air. Banyaknya angin yang bertiup membuat suasana menjadi tidak gerah, walaupun cuaca saat itu cukup panas.
Pada awal wawancara AI nampak masih malu-malu untuk bercerita ditandai dengan lamanya respon AI untuk menjawab, tetapi lama-kelamaan AI sudah dapat langsung bercerita dengan apa adanya setelah peneliti memberi pertanyaan selanjutnya. AI banyak menggunakan kata saya, aku, kita, dalam menyebutkan dirinya, AI juga sesekali bercanda dan tertawa saat menjawab pertanyaan. AI mengecilkan volume suaranya saat menjawab pertanyaan yang menyangkut tentang pernikahan dan kesendiriannya. Pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti, AI sering menyisir rambutnya dengan menggunakan jari-jari tangan ke arah belakang, atau menepuk-nepuk pegangan kursi tempat duduk AI.
(58)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Proses wawancara pertama sempat beberapa kali terhenti, pertama dikarenakan adanya tamu yang menanyakan alamat, setelah AI memberi tahu alamat tersebut wawancara pun dilanjutkan. Kedua dikarenakan kedatangan ayah AI yang baru pulang, setelah AI memberi salam dan peneliti mengenalkan diri kepada ayah AI maka wawancara pun dilanjutkan. Sedangkan gangguan terakhir adalah kedatangan tetangga yang ingin mengundang AI.
Wawancara berikutnya masih dilakukan di teras rumah AI. Saat itu AI menggunakan celana panjang berbahan jeans berwarna biru gelap dan memakai kemeja lengan panjang bermotif kotak-kotak dan berwarna biru. Pada wawancara kedua ini, peneliti duduk bersama AI di kursi panjang yang sama dengan wawancara sebelumnya dan tidak ditemukan gangguan yang dapat membuat wawancara terhenti. Sesekali AI minum saat menjawab pertanyaan peneliti, yang memang disediakan oleh AI untuk peneliti dan dirinya.
Pada wawancara yang terakhir, AI menggunakan kaos berwarna putih dan memiliki tulisan di belakang kaos tersebut, serta memakai celana ponggol berbahan kain dan berwarna coklat. Saat itu angin berhembus sepoi-sepoi membuat suasana menajdi nyaman dan santai. Proses wawancara masih dilakukan di rumah AI dan di teras yang sama. Peneliti duduk bersama dengan AI di kursi panjang yang sama dengan wawancara pertama dan kedua. Wawancara sempat terhenti dikarenakan ada yang menghubungi AI melalui telepon, sehingga proses wawancara baru dapat dilanjutkan setelah kurang lebih 3 menit. Setelah itu, tidak terdapat gangguan yang dapat membuat proses wawancara terhenti.
(1)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Responden : III
Wawancara ke : 3
Hari/ tanggal wawancara : Sabtu/ 12 Desember 2009 Waktu wawancara : 13.30-14.00 WIB
NO REFLEKSI VERBATIM PEMAKNAAN KODING
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Usaha responden untuk
mendapatkan pasangan
Masalah yang dihadapi
responden saat menjalin
hubungan
dengan pasangan
IR: Bagaimana bu, keadaannya sekarang? IE: Baik, baik Put. Masih
sama aja kayak kita pertama ketemu.
IR: Udah dapat bu ? IE: Dapat… masih belum,
Putri mau nyariin. IR: Ehm… boleh, Putri
mau nanya-nanya lagi nih bu ?
IE: Mau nanya apa Put ? IR: Lagi sibuk apa
sekarang bu ?
IE: Inilah sibuk-sibuk kerja. Namanya usaha baru.
IR: Gimana bu usahanya untuk dapat pasangan? IE: Usahanya…
banyak-banyak bergaul aja Put, mana tahu dapat yang kakak mau, yang bisa buat kita nyaman. IR: Dulu sama pasangan,
ada gak
masalah-masalah yang dihadapi dalam menjalani hubungan ?
IE: Sama siapa Put?, kalo sama orang Korea itu gak adalah Put. Cuma itu aja, dia mau bawa ibu pergi jauh. Ibu gak mau.
IR: Kalo masalah cemburu itu bu ?
IE: Kalo itu, bukan
Responden terbuka untuk bergaul dengan siapa saja agar menemukan pasangan yang diinginkan dan dapat membuat responden nyaman
Responden tidak memiliki masalah yang berarti dengan pasangan. Masalah yang dirasakan responden hanyalah perbedaan domisili.
(2)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Sikap pasangan menyikapi kekurangan responden
Sikap responden menyikapi
kekurangan pasangan
masalahlah Put. Memang sih
mancing-mancing emosi ibu, marah-marah gitu kan. Tapi gak bikin kakak bertengkar, ribut besar
sama pasangan. Ibaratnya
bumbu-bumbu aja Put. IR: Bumbu apa bu ?
IE: Kata orang kan cemburu tanda sayang. Supaya hubungan kita gak gitu-gitu aja, adalah bumbu-bumbunya sedikit.
IR: Gimana pasangan ibu memandang masalah cemburu itu ?
IE: Gak pernah ada masalah. Dia itu orangnya tahu betul ibu ini orangnya gimana. Jadi cemburu-cemburu gak pernah jadi masalah. Apalagi dia kan orangnya juga cemburuan. Jadi dia
tahu gimana sebetulnya perasaan
ibu, bukannya ibu mau mengekang dia, kan enggak.
IR: Kalau ibu gimana memandang
kecemburuan pasangan? IE: Gak masalah juga sama ibu, ibu tahu itu kan tanda sayangnya sama
kita. Lagian cemburunya bukan yang
gimana-gimana, sampai bikin rebut gimana.
Putri jangan membayangkan yang
Responden
memandang rasa cemburu sebagai suatu tanda cinta seseorang kepada pasangan.
Pasangan responden
tidak pernah mempermasalahkan
rasa cemburu responden.
Responden tidak pernah mengeluh menyangkut rasa cemburu pasangan.
Kematangan emosional (kemampuan menerima )
Kematangan emosional (kemampuan memberikan kasih
(3)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Reaksi
responden dalam menghadapi masalah
Masalah yang dihadapi
responden saat menjalin
hubungan
dengan pasangan
besar-besar. Enggaklah. Masih bisa diterima. IR: Apa yang ibu lakukan
jika memiliki masalah dengan pasangan ?
IE: Kita terangkan yang sebenarnya. Diberi penjelasan kenapa kita cemburu atau kenapa kita marah-marah. bagusnya Put, dia ini
orangnya sabar, pokoknya udah ngertilah ibu ini orangnya kayak mana. jadi, masalah apapun pasti ketemu jalan keluarnya. Cuma itu aja, dia gak mau tinggal di sini, harus kita ikut dia. mungkin supaya ada kawan ibunya di sana kali ya. Padahal dia juga sering pergi-pergi kan ke luar, jarang juga dia di rumah, jadi apa salahnya kalau tinggal di sini aja kan.
IR: Jadi saat menjalin hubungan dengan pasangan gak ada masalah ya bu ?
IE: Gak ada itu Put.
IR: Masalahnya cuma tempat tinggal itu aja ya bu ?
IE: Iya, gitulah. Karena gimana ya... pikiran
ibu masih keIndonesiaanlah kita
bilangnya. Semua keluarga adanya di sini. ibu merasa gak enak kalo ninggalin Medan ini. Ibu pasti merasa kehilangan.
Ketika mengalami masalah dengan pasangan, responden akan membicarakan kenapa hal tersebut bisa terjadi untuk menemukan jalan keluar.
Responden tidak mengalami masalah yang berarti dengan pasangan yang membuat hubungan menjadi renggang.
Kematangan emosional (mampu menghadapi kesulitan secara konstruktif)
(4)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177
Keinginan
responden untuk menikah
IR: Apa yang ibu rasakan setelah memutuskan untuk tidak menerima tawaran laki-laki Korea itu bu ?
IE: Ya gimana ya... ibu kan udah memilih ya harus dihadapi. Paling ibu “kenapa sih, dia gak mau tinggal di sini, padahal ibu udah nyaman kali sama dia”. Tapi dianya gak mau, ibu mau ngomong apa. Ibu jalani ajalah hidup ibu seterusnya. Berati dia bukan jodoh kita, gitu terakhirnya kita bilang kan.
IR: Ibu masih ingin menikah ?
IE: Masihlah, kalo bisa secepat mungkin. Umur kakak kan bertambah terus, makin tua. Takutnya kakak gak bisa merawat anak kakak samapi besar. Tapi bukan berarti kakak sedih atau stres Put. Enggak. Kan memang belum dapat. Belum datang jodohnya. Bukannya kakak milih-milih kali, kan
yang dipilih agamanya. Yang memang untuk ke depannya kan yang kita pikirkan.
IR: Berarti sekarang tinggal nunggu pasangan yang cocok aja ya bu ?
Responden tidak menyesal dengan keputusannya yang tidak menerima tawaran pasangan untuk menikah dan pergi ke Korea.
Responden memiliki keinginan untuk segera menikah dan ingin merawat anaknya sampai besar.
Responden tidak merasa stres dengan berakhirnya
hubungan responden dengan pasangan.
Kematangan emosional (mampu menghadapi peristiwa secara positif)
(5)
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221
Kesiapan
responden untuk menikah
Perasaan
responden saat ini
IE: Iya Put.
Mudah-mudahan dapat. Masalahnya bukan kakak aja yang mau, saudara kakak kan juga terus mendorong kakak supaya cepat menikah.
IR: Kalo dapat, ibu akan menikah ?
IE: Iyalah, kalo memang
laki-laki itu bertanggung jawab
dan bisa buat ibu nyaman. Ya ibu mau nikah.
IR: Kalo masalah rumah tangga ?
IE: Ya, ibu siap. Siaplah secara mental dan finansial untuk menikah. Cuma ya itu
aja belum datang jodohnya. Masalah rumah tangga gak buat ibu takut untuk menikah. ibu bisa menerima kekurangan pasangan ibu. Kan gak ada orang yang sempurna.
Makanya ibu berdo’a supaya diberikan pasangan yang terbaik untuk ibu. Kadang-kadang ibu merasa sepi juga gak ada pasangan.
IR: Perasaan ibu sekarang? IE: Nikmati hidup, jalani
aja gak usah diburu-buru kali. Yang penting kita terus berusaha.
Responden akan segera menikah, jika telah mendapatkan pasangan yang sesuai kriteria.
Responden sudah merasa siap secara mental dan finansial untuk menikah
(6)