STRATEGI JURNALIS MUSLIM DALAM MEMEGANG PRINSIP KODE ETIK JURNALISTIK (STUDI FENOMENOLOGI TERHADAP WARTAWAN MEDIA CETAK DI SURABAYA).

(1)

(Studi Fenomenologi Terhadap Wartawan Media Cetak di Surabaya)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Sarjana Sosial Islam (S.Sos.)

Oleh : SOLMISAH NIM. B71213063

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS DAKWAH

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian. ... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Defenisi Konsep ... 9

F. Sistematika Pembahasan... 11

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Kerangka Teoritik ... 13

1. Strategi ... 13

a. Pengertian Strategi ... 13

b. Tahap-tahap Strategi ... 15

c. Strategi dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik ... 16

2. Jurnalis Muslim ... 19

a. Pengertian Jurnalis ... 19

b. Jurnalis Muslim ... 20

3. Prinsip Kode Etik Jurnalistik ... 37

4. Teori Tanggung Jawab Sosial ... 50

B. Penelitian Terdahulu... 51

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenin Penelitian ... 53

B. Jenis Data ... 55


(7)

F. Teknik Keabsahan Data ... 67

G. Tahap-Tahap Penelitian ... 69

BAB IV PENYAJIAN DAN TEMUAN PENELITIAN A. Penyajian Data 1. Biografi Jurnalis Muslim ... 72

a. Zainal Arifin Emka ... 72

b. Muchammad Rudy Hartono ... 75

c. Ainur Rofiq Shopiaan ... 78

d. Muhammad Nur Cholis ... 80

e. Suprianto ... 81

2. Pengalaman Menjadi Jurnalis ... 83

a. Menata Niat Menjadi Jurnalis ... 86

b. Patuh Terhadap Kode Etik ... 89

c. Memiliki Kompetensi ... 96

d. Menguasai Medan Liputan ... 97

B. Jurnalis dan Kode Etiknya ... 100

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

BIODATA PENULIS ... 113

LAMPIRAN–LAMPIRAN ... 114

DAFTAR TABEL 1.1 Data Informan ... 56


(8)

ABSTRAK

Solmisah, Nim. B71213063, 2017, Strategi Jurnalis Muslim dalam Memegang Prinsip Kode Etik Jurnalistik (Studi Fenomenologi terhadap Wartawan Media Cetak di Surabaya) Skripsi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Kode Etik Jurnalistik, Strategi, Studi Fenomenologi

Persoalan yang dikaji dalam karya ilmiah ini berupa “Bagaimana strategi jurnalis Muslim dalam memegang Prinsip Kode Etik Jurnalistik. Rumusan masalah tersebut bertujuan untuk mengetahui apa saja strategi yang digunakan jurnalis Muslim dalam memegang prinsip kode etik jurnalistik. Menggunakan penelitian kualitatif studi fenomenologi dengan harapan dapat mengeksplorasi pengalaman subjek penelitian.

Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi yang digunakan jurnalis Muslim dalam memegang prinsip kode eti jurnalistik ialah menata niat menjadi jurnalis, mematuhi kode etik, memiliki potensi, serta menguasai medan liputan.

Saran bagi jurnalis Muslim dapat menjadikan strategi dalam penelitian ini sebagai pedoman dalam melakukan tugasnya, bagi mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Uin Sunan Ampel Surabaya dapat dijadikan sebagai refrensi keilmuan.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan jurnalis di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan sampai dengan Indonesia merdeka hingga Soeharto lengser keprabon pada tanggal 21 Mei 1998 negara kita menganut sistem otoritarian. Selama pemerintahan orde baru selalu digembar-gemborkan bahwa Indonesia menganut sistem pers Pancasila yang bertanggung jawab, namun kenyataannya bertanggung jawab terhadap penguasa. Mana kala pelaku pers tidak berkenan di mata penguasa, maka pembredelan atau pencabutan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUP) menjadi ancamannya. Hal ini merupakan contoh pers yang otoritarian.

Sejak awal reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia, tidak lagi diperlukan SIUP dan tidak terdapat lagi pembredelan secara sepihak. Karena hal itu telah diperkuat dengan adanya Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak saat itu bangsa Indonesia memasuki era sistem pers yang libertarian.1 Era reformasi pers semakin didukung dengan adanya undang-undang yang ada dan etika jurnalistik yang semakin jelas. Kebebasan pers pada era reformasi menyebabkan menjamurnya perusahan pers di Indonesia.

1

. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat (Jurnalistik Teori dan Praktik), PT. Remaja Rosda Karya, Bandung 2012, h. iv


(10)

Pers di masa penjajahan memiliki tujuan menyampaikan berita penting terkait kemerdekaan, perjuangan dan nilai nasionalisme. Namun pada era reformasi pers berubah menjadi bisnis yang sangat besar. Fenomena inilah yang mengubah media, cara mengelolanya, menstandarkan produknya, dan memperluas jangkauan kepada khalayak.2

Perusahaan media tentu menginginkan perusahaannya tetap eksis dan terus berkembang dan maju. Banyak cara yang dilakukan oleh perusahaan media dalam meningkatkan ekonominya. Bisa berinfestasi di berbagai sektor, mendirikan anak perusahaan dan sebagainya. Namun demi berputarnya roda perekonomian perusahaan, tidak jarang perusahaan media bersikap tidak independen. Dimana adanya kepentingan tertentu yang mencampuri urusan media. Adanya keberpihakan baik itu dalam bidang iklan, politik, golongan dan sebagainya.3

Oleh sebab itulah perusahaan media massa terkadang menekan para wartawannya untuk menyampaikan berita sesuai dengan apa yang diinginkan pemilik perusahaan.4 Fenomena yang demikian tentunya dapat mengurangi kemurnian nilai jurnalistik dan tentunya dapat menekan profesionalisme seorang wartawan. Seorang jurnalis

2

. William L.Rivers,et al. Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenamedia Group, Jakarta 2015, h. 25

3

. Dr. Haryatmoko, Etika Komunikasi (Manipulasi Media, kekerasan, dan pornografi), Yogyakarta: Kanisius, 2007, h. 10

4

. Anett Keller, Tantangan dari Dalam (Otonomi Redaksi di empat media cetak nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan Republika), Jakarta: Friendrich Ebert Stiftung (FES)


(11)

diharapkan dapat menerapkan kode etik jurnalistik yang berupa akurasi, indepedensi, objektivitas, balance,fairnes, imparsialitas, menghormati privasi, dan akuntabilitas kepada publik.5

Jurnalis Muslim sendiri diikat oleh etika jurnalistik, undang-undang pers, dan tentunya oleh agama. Dalam agama Islam terdapat tuntunan untuk mengabarkan sesuatu yang bukan fitnah, kebohongan,

menyampaikan yang ma’ruf dan munkar secara tegas. Seperti yang tertera di dalam Al-Quran surat Al-Ahzab (33) :70 :





Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar.6

Jurnalis yang beragama Islam tentu memiliki hubungan maupun tanggung jawab terhadap Allah SWT untuk meyampaikan sesuatu yang benar dan bukan kebohongan maupun fitnah. Sebab hal ini merupakan etika yang harus dipatuhi oleh seorang jurnalis Muslim. Etika sendiri merupakan sebuah studi tentang formasi nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip benar dan salah.7

Seorang jurnalis Muslim sering diuji oleh beberapa tekanan, baik dari intern maupun ekstern. Tekanan dari pihak intern ialah tekanan dari perusaaan media tempat jurnalis berkerja.8 Kewajiban seorang

5

. Nasution Zulkarimein, Etika Jurnalisme (Prinsip-prinsip dasar), Rajawali Pers 2015, h. 116

6

. Depag RI. Al-Quran Dan Terjemahannya (Bandung : Fokus Media), h. 427

7

. Hamdan Dauly, Kode etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia ditinjau dari Perspektif Islam, Makalah (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), h. 7

8

. Himat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Teori dan Praktik, Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2006, h. 94


(12)

jurnalis untuk menyampaikan berita secara jujur dan apa adanya sering ditekan oleh perusahaan media agar menyampaikan berita yang terdapat kepentingan perusahaan. Sehingga berita yang dihasilkan beraromakan pencemaran nama baik, terkesan murahan, dan sebagainya. Hal inilah yang sejatinya harus dihindari oleh jurnalis Muslim. Namun terkadang tekanan media yang terlalu kuat menjadi kan jurnalis Muslim terbuai dalam permainan dan pelanggaran etika jurnalistik.

Objektivitas dan independensi suatu media dapat dengan mudah dilihat dengan sebuah fenomena pesta demokrasi berlangsung. Ahir-ahir ini di beberapa media massa seperti media cetak, media online hingga televisI dikotori oleh kepentingan politik. Calon pemimpin bangsa yang memiliki modal besar tentu memasukkan gambar-gambar pencitraan di media massa yang dirasa tepat. Sehingga masyarakat beranggapan bahwa calon pemimpin tersebut pantas untuk dipilih dijadikan pemimpin. Selain calon pemimpin yang memiliki modal besar ternyata pemilik media juga ikut serta dalam ajang pertarungan politik. Sehingga media massa yang ia kelola ikut serta dalam pertarungan politik dan pada ahirnya media massa tersebut rela menerobos tembok etika jurnalistik. Fenomena yang menyesatkan ini tentu dapat mempengaruhi seorang jurnalis dalam mempertahankan prinsip kode etik jurnalistik dalam dirinya.

Selain dari faktor internal yang berupa tekanan dari perusahaan media massa, terdapat juga faktor eksternal yang menggangu proses


(13)

jurnalistik. Seperti ancaman, kekerasan, perampasan alat-alat jurnalis oleh pihak tertentu, hingga tawaran amplop. Pada Oktober 2012, enam orang wartawan dari berbagai media yang sedang meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Langkalan Udara Roesmin Nurjadin Riau dipukuli oleh sejumlah oknum TNI AU RI dan peralatan serta perlengkapan jurnalistik merekapun dirampas.9 Kondisi di lapangan yang seperti ini tentu menimbulkan keresahan bagi jurnalis untuk meliput berita. Tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan dari pihak luar berpengaruh terhadap berita yang dihasilkan.

Sebuah kasus korupsi yang menyeret pejabat Negara di pulau Madura beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan media nasional. Dimana media dalam meliput kasus tersebut dihalang-halangi oleh beberapa preman yang melindungi pejabat tersebut. Tidak hanya dihalang-halangi bahkan beberapa jurnalis yang hendak meliput berita tersebut sempat diteror dan diancam akan dibunuh.

Situasi yang berbahaya tentunya menjadi kendala bagi seorang jurnalis dalam meliput sebuah kasus. Namun inilah profesi jurnalis terutama dalam konteks wilayah konflik atau bencana yang nyata-nyata teramat rawan dan beresiko tinggi terhadap keselamatan. Seorang jurnalis maupun wartawan merupakan pihak yang mewakili publik dalam mencari informasi yang diakui dan dijamin, tidak saja sebagai hak konstitusional dalam UUD namun juga sebagai hak asasi

9

. Kekerasan terhadap wartawan,(

http://regional.kompas.com/read/2012/10/18/09074947/Kekerasan.pada.Wartawan.Tak.Selesai.den gan.Maaf), Diakses pada tanggal 03 Januari 2016


(14)

manusia dalam berbagai deklarasi dan perjanjian internasional hak asasi manusia. Negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak jurnalis yang diwujudkan lewat upaya legislasi ataupun delegasi demi terpenuhnya hak ini. Dalam konteks hukum media, perlindungan tidak saja diberikan agar jurnalis memiliki akses seluas-luasnya mencari informasi, namun juga perlindungan terhadap aktifitas seorang jurnalis.

Jurnalis maupun wartawan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan ini tertuang dalam dalam pasal 8 tahun 2009 tentang pers. Dalam pasal tersebut berisi trentang perlindungan hukum merupakan jaminan pemerintah maupun masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai dengan peraturan perundangan. Jika ini semua dikaitkan dengan tugas seorang jurnalis yang berada di area konflik, bencana, dan sebagainya tidak terdapat satu pasalpun dalam UU Pers yang mewajibkan perusahaa pers untuk memberikan peralatan standar keselamatan, asuransi, ataupun skill bagi jurnalis yang ditugaskan.

Selain ancaman keselamatan, tekanan dari perusaaan media, saat ini ada sebuah fenomenya yang tumbuh di dalam duni jurnalis yang dapat mengotori dunia pers yakni wartawan amplop. Yang dimaksud amplop ialah pemberian dari sumber berita yang bersangkutan. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa amplop merupakan suap kepada wartwan agar apa yang diberitakan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi amplop. Dalam hal ini


(15)

tidak hanya amplop yang mungkin diterima oleh wartawan, namun bias juga fasilitas, pangkat, bahkan kedudukan.

Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia telah jelas menyebutkan bahwa wartawan Indoensia tidak berhak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan seorang atau pihak.10Selain Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartwan Indonesia telah jelas bahwa Allah SWT juga melarang hambaNya untuk melakukan dan menerima suap. Seperti yang tertera dalam surat Al-Baqoroh (2) : 188 :

















Artinya :Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.11

Banyak rintangan dan ujian terhadap profesi jurnalis Muslim dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana strategi jurnalis Muslim dalam memegang prinsip kode tik jurnalistik.

10

. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung 2012, hal 101

11


(16)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana strategi jurnalis Muslim dalam memegang prinsip kode etik jurnalistik ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana startegi jurnalis muslim dalam memegang prinsip kode etik jurnalistik.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat bagi perkembangan keilmuan Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam di Konsentrasi Jurnalistik terbagi dua, bersifat teori dan praktis.

1. Manfaat yang bersifat teori :

a. Bisa memberikan bantuan pikiran tentang perkembangan jurnalistik khususnya profesionalisme jurnalis muslim untuk Prodi KPI sehingga menjadi pertimbangan dalam mengolah materi jurnalistik.

b. Dapat dikategorikan sebagai bahan stimulant atau bahan masukan untuk para pimpinan prodi guna mengetahui secara rinci tentang strategi jurnalis Muslim dalam memegang prinsip kode etik jurnalistik. Sehingga dapat memperkokoh kemurnian jurnalistik.


(17)

a. Bisa dijadikan sebagai pedoman Prodi KPI dikonsentrasi Jurnalistik untuk mengembangkan pengetahuan tentang prinsip kode etik jurnalistik.

b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan Prodi KPI untuk mengkampanyekan jurnalis Muslim yang profesionalis dengan memegang pondasi agama, etika serta undang-undang yang ada.

E.Defenisi Konsep

1. Strategi Jurnalis Muslim

Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategos yang artinya suatu usaha untuk mencapai suatu kemenangan dalam suatu peperangan. Awalnya digunakan dalam berbagai bidang yang memiliki esensi yang relative sama termasuk diadopsi dalam konteks pembelajaran yang dikenal dalam istilah strategi pembelajaran.12

Seorang yang berperan dalam mengatur strategi, untuk memenangkan suatu peperangan. Sebelum ia melakukan suatu tindakan, ia akan menimbang bagaimana kekuatan pasukan yang dimilikinya baik dilihat dari kualitas maupun kuantitas. Misalnya kemampuan setiap personal, jumlah dan kekuatan persenjataan, motivasi pasukannya, dan lain sebagainya. Selanjutnya ia juga mengumpulkan informasi kekuatan musuh tentang kekuatan lawan, baik jumalah prajuritnya maupun keadaan persesnjataannya.

12


(18)

Setelah semua diketahui, barulah ia menyusun tindakan apa yang harus ia lakukan, taktik dan teknik peperangan, bahkan waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan, dan hal lainnya. Dengan demikian penyusunan sebuah strategi, perlu memperhitungkan berbagai factor, baik internal maupun eksternal.

Jurnalis muslim tidak jauh beberda dengan jurnalis pada umumnya atau wartawan pada umumnya. Jurnalis ialah orang yang melakukan kegiatan jurnalisme, yaitu orang secara teratur menuliskan berita dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media masa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasikan di media massa seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Para jurnalis Muslim harus mengetahui prinsip dan aturan Islam yang terkait dengan jurnalistik.13

Berkaitan dengan strategi jurnalis Muslim ialah sebuah usaha yang digunakan dalam melakukan tugas jurnalistik untuk menacapai sebuah keberhasilan. Strategi tersebut berkaitan dengan tugas yang akan ia lakukan. Dalam melakukan tugasnya tentunya ia akan menimbang potensi yang ia miliki sebelum ia terjun ke lapangan, mempelajari materi yang berkaitan dengan liputan, maupun menggali informasi. Barulah kemudian seorang jurnalis Muslim menyusun tindakan apa yang dirasa pas dalam melakukan tigas jurnalistiknya. Hal itulah yang dinamakan sebuah strategi yang umumnya dilakukan oleh jurnalis.

13


(19)

2. Prinsip Kode Etik Jurnalistik

Setiap profesi mempunyai kode etik masing-masing, sesuai dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Profesi dokter dikenal sebagai profesi yang mematuhi kode etik kedokteran yang bersumber dari sumpah Hipocrates. Begitupun profesi yang lain, dimana tanggung jawab dan amanat yang diemban berdampak bagi kepentingan orang banyak.

Prinsip utama kode etik jurnalistik berupa akurasi, independensi, objektivitas, balance, fairness, imparsialitas, menghormati privasi, akuntabilitas kepada public.14

F. Sistematika Pembahasan

Skripsi dalam pembahsannya mempunyai sistematika yang ditandai atas empat (4) bab dan tiap-tiap dibagi ke dalam sub-sub yang rinciannya sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, defenisi konsep, sistematika pembahasan.

BAB II : KERANGKA TEORITIK

14

. Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta: Cet 1 Rajawali Pers, 2015, h.115


(20)

Berisi tentang kajian pustaka, pembahasan teori, dan hasil penelitian terdahulu yang relevan.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik keabsahan data, tahap-tahap penelitian.

BAB IV : PENYAJIAN DAN TEMUAN PENELITIAN

Berisi tentang setting penelitian, penyajian data, dan temuan penelitian.

BAB V : PENUTUP


(21)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Kerangka Teoritik 1. Strategi

a. Pengertian Strategi

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa strategi adalah ilmu seni menggunakan sumber daya bangsa-bangsa untuk melaksanakan kebijakan tertentu di peperangan, atau rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.1

Kata strategi merupakan kata turunan dari bahasa Yunani yaitu strategos. Adapun kata strategos dapat diterjemahkan sebagai komandan militer pada zaman Athena. Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan (menghimpun) seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan.

Seorang yang berperang dalam mengatur strategi, untuk memenangkan suatu peperangan. Sebelum ia melakukan suatu tindakan, ia akan menimbang bagaimana kekuatan pasukan yang dimilikinya baik dilihat dari kualitas maupun kuantitas. Misalnya kemampuan setiap personal, jumlah dan kekuatan

1

. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga,(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1092


(22)

persenjataan, motivasi pasukannya, dan lain sebagainya. Selanjutnya ia juga mengumpulkan informasi kekuatan musuh tentang kekuatan lawan, baik jumlah prajuritnya maupun keadaan persenjataannya. Setelah semua diketahui, barulah ia menyusun tindakan apa yang harus ia lakukan, taktik dan teknik peperangan, bahkan waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan, dan hal lainnya. Dengan demikian penyusunan sebuah strategi, perlu memperhitungkan berbagai factor, baik internal maupun eksternal.

Seorang jurnalis yang professional serta menjunjung tinggi etika jurnalistik dan norma agama tentunya juga demikian. Ia akan menentukan strategi dalam menghadapi tekanan dari dalam perusahaan dan di lapanagan yang dirasa dapat mengganggu kemurnian berita. Sehingga berita yang dihasilkan sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan, bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.

Beberapa pendapat para ahli mengenai strategi :

1)Purnomo Setiwan Hari

Kata strategi ini sebenarnya berasal dari bahasa Yunani

Strategos” yang mana diambil dari kata stratus yang berate militer dan Ag yang berarti memimpin. Jadi strategi


(23)

konteks awalnya dapat diartikan sebagai general prinsip yang artinya, sesuatu yang dikerjakan oleh para jendral dalam membuat rencana untuk menaklukkan musuh dan memenangkan perang.2

2) Strategi adalah serangkain tindakan dan putusan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

3) Menurut Murad

Strategi adalah sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan ahir (Sasaran).3

b. Tahap-tahap Strategi

Fred R. David mengatakan bahwa dalam proses strategi ada tahap-tahapan yang harus ditempuh, yaitu :

1) Perumusan Strategi

Pada tahap inilah merancang dan menyeleksi berbagai strategi yang akhirnya menuntun pada pencapaian misi dan tujuan organisasi.

2) Implementasi Strategi

Implementasi strategi disebut juga sebagai tindakan dalam strategi, karena implementasi berarti mobilisasi

2

. Purnomo Setiawan Hari, Manajemen Strategi: Sebuah Konsep Pengantar, (Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), h.8

3


(24)

untuk mengubah strategi yang dirumuskan menjadi suatu tindakan. Agar tercapai kesuksesan dalam implementasi strategi, maka dibutuhkan disiplin, motivasi dan kerja keras.

3) Evaluasi Strategi

Evalusai strategi adalah proses dimana manager membandingkan antara hasil-hasil yang diperoleh dengan tingkat pencapaian tujuan. Tahap ahir dalam strategi adalah mengevaluasi strategi yang dirumuskan sebelumnya. 4

c. Strategi dalam Menjalankan Tugas Jurnalistik

Dalam buku yang ditulis oleh Eni Susanti yang berjudul Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan (Strategi wartawan menghadapi tugas jurnalistik) telah dijelaskan ada empat strategi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik, yaitu ;

1) Strategi meliput berita

Ketika seorang wartawan melakukan tugas liputan dan mewawancarai narasumber, ia harus mengetahui terlebih dahulu detail narasumber dan membuat daftar pertanyaan. Dalam melakukan tugas peliputan yang harus diperhatikan ialah :

a) Membuat kerangka acuan (term of reference)

4


(25)

b) Menguasai topik permasalahan

c) Pelajari terlebih peristiwa tersebut, apakah memiliki nilai

news value

d) Pastikan berita tersebut tidak melanggar kode etik e) Apakah berita tersebut memiliki nilai (prominence)

2) Strategi melakukan wawancara

Wawancara adalah suatu cara untuk untuk mencari fakta dengan meminjam indera (mengingat dan merekonstruksi) sebuah peristiwa, mengutip pendapat dan opini narasumber.

5

Wawancara sangat penting dalam tugas jurnalistik karena merupakan sarana teknik pengumpulan data dan informasi. Setiap liputan hampir selalu membutuhkan wawancara dengan sumber informasi. Dalam melakukan wawancara ada tiga landasan yang harus dipegang wartawan, yaitu :

a) Landasan sosiologis

Berupa pengumpulan data, fakta, atau informasi yang hanya bisa didapatkan dengan menggalinya dengan bertanya ke narasumber. Tugas jurnalis atau wartawan utamanya adalah bertanya, menggali dan melaporkan kepada pembaca/pendengar. Dalam hal ini wawancara merupakan salah satu bentuk hubungan atau interaksi sosial yang terjadi untuk melakukan tukar pengalaman, pemikiran atau perkenalan dan juga berbagi pengetahuan.

5

. Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusuma Ningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. H. 189


(26)

b) Landasan historis

Sebelum melakukan wawancara, hendaknya jurnalis mencari data atau informasi tentang narasumber. Atau jika melakukan tugas liputan ke daerah, kenali dahulu potensi atau medan yang akan dikunjungi.

c) Landasan yuridis

Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, wartawan mendapatkan kebebasan untuk mencari dan menggali informasi, serta menyebarluaskannya. 3) Strategi menulis berita

Untuk bisa menulis berita dengan baik, seorang jurnalis hendaknya memperhatikan beberapa hal, yaitu :

a) Communicative

Kenalilah semua peristiwa yang akan diliput. Dengan demikian dapat menulis berita dengan baikberdasarkan laporan pengumpulan data dan wawancara.

b) Communication is the goal

Ketika menulis berita usahakanlah melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa tulisan untuk menyampaikan ide, pemikiran informasi kepada pembaca.

c) Charity is the keynote of good writing

Tulislah liputan tersebut berdasarkan fakta dan data. Dalam penulisan berita fakta merupakan kunci


(27)

penulisan berita yang baik. Gunakanlah bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, tidak bertele-tele, kalimat pendek dan hindari penggunaan anak kalimat.

d) Writing is a process

Menulis itu membutuhkan kealian khusus, apalagi dalam menulis berita. Dibutuhkan keahlian khsus

(writing technique), latihan, kejelian dalam menganalisa peristiwa, wawasan dan kesabaran untuk terus mencoba. Untuk bisa menulis berita yang baik perlu berlati hdan menganalisa berita yang dimuat di media massa.6

2. Jurnalis Muslim a. Pengertian Jurnalis

Istilah jurnalis berasal dari kata diurnarius atau diurnari

yang mengandung arti orang yang mencari dan mengolah, mengutip dan memperbanyak informasi untuk kemudian dijual kepada mereka yang membutuhkan.7 Seorang jurnalis merupakan pihak yang berperan penting dalam sebuah berita, baik buruknya berita tergantung kepada jurnalis maupun wartawan yang menulisnya. Istilah jurnalistik mengandung keterampilan atau karya seni para jurnalis, dalam arti mencari informasi, memilih dan mengumpulkan bahan berita, serta

6

. Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan (Strategi wartawan menghadapi tigas jurnalistik), Yogyakarta: C.V. Andi Offset, 2005, h.27

7

. Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik (Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik), Bandung: Nuansa Cendikia 2004, h.19


(28)

mengolah naskah berita untuk memenuhi kebutuhan khalayaknya.

Wartawan ialah seorang profesional seperti halnya dokter, bidan, guru, dosen, psikolog atau penagacara.8 Oleh sebab itu, profesi seorang wartawan atau jurnalis telah disebutkan dalam undang-undang dan memiliki etika yang telah disusun sedemikan rupa.

b. Jurnalis Muslim

Sejatinya, setiap jurnaslis Muslim berkewajiban menjadikan jurnalisme Islam sebagai landasan profesinya, baik yang bekerja di media massa umum maupun media massa Islam. Nilai yang diperjuangkannya merupakan nilai-nilai Islami yang bermuara pada keselamatan, kemanan, dan kesejahteraan alam sesisinya.9 Jurnalis Muslim adalah sosok juru dakwah di bidang pers, yakni mengemban tugas da’wah

bil qolam (dakwah dengan tulisan). Ia adalah jurnalis yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam.10Dalam buku karangan Ainur Rofiq Sophiaan yang berjudul Tantangan Media Informasi Islam (Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis) lebih ditegaskan secara luas bahwa seorang wartawan

8

. Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar Teori dan Praktik, Bogor: Ghalia Indonesia Cet ke 2 2011, h. 85

9

. Herry Muhammad, Jurnalisme Islami (Tanggung Jawab Moral Wartawan Muslim), Surabaya: Pustaka Progressif, 1992, h X

10


(29)

yang beragama Islam selayaknya menjadi penjaga agama yang disandangnya.11

Tentunya, penegakan nilai-nilai Islam itu tidak hanya yang bersifat formal. Namun juga termasuk norma esensial dan universal, seperti mengembangkan kasih sayang kepada sesama, meningkatkan kedermawanan, kesetiakawanan, menegakkan keadilan, mengembangkan sikap cinta damai (menjauhi anarkistis serta deskruktif). Mengapa demikian, karena sebagai juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi dalam tulisannya, diharapkan karyanya menjadi cahaya yang mampu memberdayakan umat, mencerahkan, mengingatkan, menambah cakrawala pemekiran, dan yang terpenting menyajikan anternatif solusi Islam bagi persoalan umat.

Wartawan Muslim merupakan hamba Allah, karena

individu maupun profesinya wajib menggunakan,

menyampaikan, dan memperjuangkan kebenaran di setiap tempat dan saat. Namun dalam melakukan tugas jurnalistik seorang jurnalis haruslah dapat bersikap objektiv. Semakin baik seorang jurnalis, maka ia semakin mendekati objektivitas12. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat An-Nahl : 125 :























11

. Ainur Rofiq Sophiaan, Tantangan Media Informasi Islam (Antara Profesionalisme dan Zionis), Surabaya: Risalah Gusti, h. 10

12


(30)









































Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.13

Nabi Muhammad SAW selalu mencontohkan ketaatan dalam menyampaikan informasi dan berbagai perintah-perintah amal kebajikan yang tentunya terkait etika. Dimana hal ini berlandaskan Al-Quran surat Al-Baqoroh (2) :44, Al-An’am (6) :108, dan An-Nur (24) : 26:

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?14

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali

13

. Depag RI. Al-Quran Dan Terjemahannya (Bandung : Fokus Media), h. 281

14


(31)

mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.15

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).16

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 telah dicantumkan bagaimana seharus pribadi wartawan ataupun jurnalis. Diantara pribadi wartawan yang tertulis dalam UUD tersebut ialah :

Wartawan Indonesia adalah warga Negara yang memiliki kepribadian :

1) Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa 2) Berjiwa Pancasila

3) Taat pada Undang-Undang Dasar 1945 4) Bersifat Kesatria

5) Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.17

Jika diibaratkan, kode etik dalam dunia jurnalistik merupakan polisi bagi wartawan. Dimana setiap pihak yang terlibat di dalamnya haruslah mematuhi rambu-rambu yang telah ada.

15

. Depag RI. Al-Quran Dan Terjemahannya (Bandung : Fokus Media), h. 141

16

. Depag RI. Al-Quran Dan Terjemahannya (Bandung : Fokus Media), h. 352

17

. Suf Kasman, Jurnalistik Universal (Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam), Jakarta Selatan:


(32)

Itulah sebabnya, wartawan Muslim sebagai nahkoda jurnalistik Islam harus mampu menerapkan kode etik di dalam kerjanya, karena di pundaknya teremban hak individual dan tanggung jawab kolektiv. Dalam buku Suf Kasman yang berjudul Jurnalisme Universal M. Natsir (Menteri Penerangan Pertama dan juga

menjabat Perdana Menteri RI) mengatakan “seandainya ada

wartawan Muslim tidak mampu menyarangkan gol ke gawang lawan, minimal anda jangan samapai kebobolan”.18 Seorang wartawan Muslim tentu tidak akan menghancurkan kredibilitas agamanya sendiri.19

Jurnalis Muslim laksana penyambung lidah para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut untuk memiliki dan menerapkan sifat-sifat kenabian, seperti shidiq (benar), amanah (terpercaya),

tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas).20 Secara singkat, dapatlah dikatakan dalam setiap tugas jurnalistiknya jurnalis Muslim seharusnya menerapkan sifat-sifat mulia. Peran yang demikan tidak hanya diwajibkan untuk jurnalis Muslim, melainkan juga para calon cendikiawan Muslim, ulama, dan umat Islam umumnya yang cakap menulis di media massa. Oleh sebab itu untuk menjadi jurnalis Muslim yang baik hendaklah memiliki bekal tauhid, ittiba’, intelektualitas, dan ahlaq yang baik.

18

. Suf Kasman, Jurnalisme Universal (Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi-Al-Qalam dalam

Al-Quran), Jakarta Selatan : Teraju 2004, h.48

19

. Ainur Rofiq Sophiaan, Tantangan Media Informasi Islam (Antara Profesionalisme dan Zionis), Surabaya: Risalah Gusti, h. 10-11

20

. Prof. Dr. Hamidi, M.Si, Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah, Malang: UMM Press, 2010, h.8


(33)

1)Tauhid

Tauhid dapat dipahami seperti yang dikemukakan oleh Abdul Rahman dalam buku Prof. Dr. Hamidi, M.Si yang berjudul Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah yang menegaskan bahwa keesaan Allah meliputi :

a) Memaha sempurnakan Allah dengan sifat-sifat dan asma-Nya.

b)Mengesakan Allah dalam beribadah

c) Meyakini hanya Allah sebagai pembuat undang-undang (syari’at)

Bila diterapkan dalam aktivitas dakwah konsep tauhid dapat dijabarkan sebagai berikut :

a) Memahasempurnakan Allah SWT

Pengertian tauhid sebagai dasar utama seseorang dikatakan beriman atau tidak. Tauhid juga bisa dikatakan sebuah modal dasar untuk memeluk agama Islam.21 Hal itu dapat dibuktikan dengan wajibnya bersyahadat bagi calon pemeluk agama Islam. Belum dikatakan sebagai seorang Muslim jika belum bersyahadat kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Esensi sebuah tauhid

21

. Ali Faqih Abu Laits Samarqandi, Tnbihul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat), Penerjemah Abu Imam Taqyuddin, Malang 1986, h. 55


(34)

ialah pengakukan dalam diri tentang tiada pencipta kecuali Allah SWT, serta menjahui dari perbuatan syirik maupun menyekutukan Allah SWT.

Sebagai seorang jurnalis yang telah berkomitmen dengan agama Islam tentu harus berpegang kepada nilai-nilai tauhid, menancapkan dalam-dalam prinsip tauhid di dalam diri mereka

agar terpelihara dari unsur-unsur yang

membahayakan tauhid mereka.

b)Mengesakan Allah SWT dengan beribadah

Menunggalkan Allah SWT dalam beribadah bukan hanya sholat, zakat, berpuasa dan haji saja, melainkan semua yang terkandung dalam kategori ibadah. Seperti berdo’a kepada Allah, bekerja dengan niat untuk memberi nafkah halal kepada keluarga, membantu sesama, membela yang tertindas, berkehidupan yang baik dengan mencontoh ahlaq rosulullah SAW, berqurban dan bernazar juga termsuk ibadah. Seorang jurnalis Muslim yang berdakwah bil qolam juga dituntut untuk tunduk dan patuh kepada Allah melalui

syari’at yang telah ada. Oleh karena ibadah bukan hanya sholat, berpuasa dan seterusnya dakwah bil


(35)

qolam pun merupakan ibadah yang memiliki ganjaran yang besar apabila dilakukan dengan benar dan sesuai dengan tuntunan yang telah ada.

Amat disayangkan banyak kaum Muslimin yang berpaling dari Allah SWT, meminta kepada selain Allah, patuh dan tunduk kepada selain Allah. Iman digadaikan demi memperoleh keberuntungan, kesuksesan. Demi urusan yang bersifat duniawi perintah dan larangan Allah dikesampingkan, dan pada ahirnya semakin jauh dari pertolongan Allah SWT.

c) Meyakini hanya Allah sebagai pembuat undang-undang (syari’at)

Sebagai seorang Muslim yang beragamakan

Islam tentu kita harus mematuhi syari’at yang telah

ada pada agama Islam. Karena hal itu merupakan ukuran seseorang itu beriman atau tidak. Seorang jurnalis Muslim yang beriman tentu siap dan ikhlas mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam

QS. Ar Ra’d (13) : 41 :

Dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah


(36)

(orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.22

Apa yang diemban oleh jurnalis Muslim ialah sebuah tanggung jawab yang amat besar, dimana selain ia taat kepada etika jurnalistik yang berlaku ia juga harus taat pada perintah dan larangan Allah SWT. Tidak berhenti sampai disitu seorang jurnalis Muslim juga harus mengemban misi dakwah bil qolam.

2) Ittiba’ (Panutan)

Setelah mengetahui tentang tauhid dan tiga pilarnya, maka hal yang harus dilakukan oleh jurnalis Muslim ialah menunggalkan ittiba’ (panutan) hanya kepada Rosulullah SAW. Ini merupakan realitas syahadat yang kedua. Nabi Muhammad SAW datang dan memberi peringatan, serta kabar yang gembira dengan dua hal yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Maka kedua hal tadi haruslah dipatuhi oleh ummat Islam pada umumnya dan jurnalis Muslim pada khususnya.

22


(37)

As-Sunnah memiliki kedudukan yang sama, baik dalam aqidah, amaliyah, maupun dalam penerimaannya karena keduanya merupakan berasal dari Allah SWT. Rosulullah tidak memerintahkan dan melarang, juga tidak mengharamkan dan menghalalkan dalam urusan agama atas dorongan nafsunya, tetapi beliau melakukan itu atas perintah Allah SWT. Tidaklah belia memberitakan perkara ghaib kecuali melalui wahyu dari Allah SWT. Untuk itu Allah SWT menegaskan dalam Al-Quran surat Al-Haaqqah (69) : 44-46 :

































Artinya : (44) Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, (45) niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya, (46) kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.23

Tanggung jawab Nabi Muhammad dalam

menyampaikan risalah yang dibawanya tidaklah ringan, karena Allah telah tegas supaya nabi Muhammad tidak mengada-ngada dalam perkara hukum agama. Oleh karena itu, As-Sunnah yang disampaikan oleh Rosulullah SAW haruslah dipatuhi oleh umat Muslim.,

23


(38)

Sunnah tersebut mencakup semua hukum taklif, wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Siapa yang menolak sunnah yang jelas dan shohih (benar) sama halnya dengan menolak Al-Quran.

3) Kompetensi

Menurut Dr. Lakshamana Rao (Assegaf, 1987) yang dikutip oleh Indah Suryawati dalam bukunya Jurnalistik Suatu Pengantar disebutkan dalam memenuhi suatu standar profesi harus ada kebebasan dalam pekerjaan, harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan, harus adanya keahlian, dan harus ada tanggung jawab yang berupa kode etik.24

Memilih profesi jurnalis bukanlah sesuatu yang mudah, melainkan penuh tantangan dan cobaan. Oleh sebab itu membekali diri dengan berbagai hal yang bersangkutan dengan kompetensi haruslah dilakukan. Adanya keahlian dalam mencari, meliput, mengumpulkan, wawancara, dan menulis berita termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik (BIRJ)25

Berikut berbagai keahlian yang harus dimiliki oleh jurnalis atau wartawan :

24

. Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar (Teori dan Praktik) Bogor, Ghalia Indonesia, Cet kedua, 2011, h. 86

25


(39)

a) Keahlian Mencari

Keahlian mencari ialah wartawan hendaknya memiliki insting dalam mencari berita. Istilah yang sangat disiplin di dalam dunia jurnalistik adalah tidak ada ceritanya tidak ada berita.26Istilah insting

sama halnya dengan sense of news yakni kepekaan terhadap suatu berita.

b) Keahlian meliput

Maksut dari keahlian meliput adalah wartawan hendaknya mampu meliput peristiwa apa saja yang terjadi dalam situasi dan kondisi apapun. Mulai dari kejadin di hotel berbintang, hingga peristiwa kebakaran. Selain itu seorang jurnalis yang professional tentunya mampu meliput di segala aspek kehidupan seprti, politik, social, budaya, criminal, ekonomi, hukum, agama, olahraga, dan sebagainya.

c) Keahlian Mengumpulkan

Maksut dari keahlian mengumpulkan berita ialah wartawan hendaknya mampu mengumpulkan segala informasi yang berkaitan dengan berita yang ditulisnya. Menurut Eugene J. Webb dan Jerry R.

26

. Hikmat Kusuma ningrat & Purnama Kusuma kusnama ningrat, Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h. 83


(40)

Salancik (Luwi Iswara) yang dikutip oleh Indah Suryawati dalam bukunya Jurnalistik Suatu Pengantar Teori dan Praktik ada beberapa petunjuk yang dapat membantu mengumpulkan informasi seperti observasi langsung dan tidak langsung sesuai situasi berita, proses wawancara, pencarian melalui dokumen, partisipasi dalam peristiwa.27

d) Keahlian Menulis

Keahlian menulis merupakan hendaknya seorang jurnalis mampu menulis informasi yang diperolehnya dari suatu peristiwa atau fakta mejadi berita yang bermakna dan menarik bagi khalayak. Pada umumnya rumus wawancara dan menulis terpaku pada 5-W+1-H yang terkenal dalam dunia jurnalistik.28

Pengetahuan seorang jurnalis Muslim haruslah mumpuni dibidang etika jurnalistik. Baik etika jurnalistik pada umumnya maupun etika jurnalistik dalam agama Islam.

4) Berkepribadian yang Baik

27

. Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar (Teori dan Praktik) Bogor, Ghalia Indonesia, Cet kedua, 2011, h. 90

28

. PWI dalam sepuluh pedoman beritanya menyebutkan dengan akronim 3A+3M (Apa, Siapa, Mengapa dan bilaman, bagaimana)


(41)

Ditinjau dari sudut historis, etimologis, kepribadian merupakan terjemahan dari personality dalam bahasa (Inggris), persoonlikheid (Belanda), personnalita (Prancis),

personlichkeit (Jerman), personalita (Itali), dan

personalidadi (Spanyol). Akar katamasing-masing sebutanitu berasal dari bahasa Latin persona, yang berarti mengeluarkan suara (to sound trough). Pada mulanya

persona ini digunakan untuk menunjukkan suara dari seorang pemain sandiwara melalui topeng (masker) yang digunakannya dimana suara pemain itu diproyeksikan. Mula-mula istilah persona secara langsung berkenan dengan topeng yang digunakan oleh para actor.

Lambat laun istilah persona (personality) berubah menjadi istilah yang mengacu kepada gambaran social tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya. Kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan atau sesuai dengan gambaran social (peran) yang diterimanya. Dari sejumlah devenisi tersebut tidaklah mengherankan apabila istilah persona

yang mula-mula berarti topeng kemudian diartikan dan menunjukkan pengertian dari karakter atau watak yang dimainkan dalam sandiwara tersebut. Saat ini istilah


(42)

Sedangkan menurut Abdul Mujid, menjelaskan bahwa personality berasal dari person yang secara bahasa memiliki arti : (1) an individual human being (sosok manusia sebagai individu, (2) a common individual

(individu secara umum), (3) a living human body (orang yang hidup), (4) self (pribadi), (5) personal existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi), dan (6)

distinctive personal character (kekhususan karakter individu). Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian kepribadian dapat dilihat dari pengertian-pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah, aniyah, dzatiyah, nafsiyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah.

Dalam khazanah Islam, term khuluq lebih dikenal dari pada term huwiiyah, aniyyah, szatiyyah, nafsiyyah, dan

syakhshiyyah. Disamping menunjukkan kedalaman maknanya, term khuluq secara khusus diungkap dalam QS. Al-Qalam (68) :4 :









Artinya : Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.29

Oleh karena seorang jurnalis Muslim merupakan juru dakwah bil qolam maka dari itu jurnalis Muslim harus

29


(43)

mempunyai ahlak yang baik, yakni ahlak Islam, dan menjauhkan dari ahlak-ahlak yang buruk sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.30 Sulit rasanya apabila seorang jurnals Muslim dapat melakukan kegiatan jurnalistik Islam, sedangkan memiliki kepribadian yang buruk. Ahlak tetntu berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan. Oleh karena ahlak merupakan suatu hal yang tertancap dalam jiwa, bukan suatu hal yang bersifat luar dan dapat dilihat. Ahlak juga merupakan suatu hal yang berhubungan dengan batin manusia.31Tingkah laku

bathiniyah seperti berkata-kata, berjalan, makan, mijum, berhadapan dengan sesam teman, tamu, orang tua, guru, teman seprofesi, sanak family dan lain-lain. Sedangkan sifat batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki, dan sikap terpuji lainnya yang timbul dari dorongan batin.32

Dalam buku karangan Ahmad D. Marimba (Pengantar Filsafat Pendidkkan Islam) secara garis besar aspek-aspek kepribadian itu dapat digolongkan dalam tiga hal, diantaranya :

30

. Prof. Dr. Hamidi, M.Si, Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah, Malang : UMM PRESS 2010, h. 12

31. Dr. Sa’i

d al-Qahthani, Menjadi Dai yang Sukses, Cet 1, Jakarta : Qisthi Press, 2005, h. 39

32

. Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Konsep dan perkembangan pemikirannya), PT. RajaGrafindo Persada, 1994) h. 92


(44)

a) Aspek-aspek kejasmanian : Meliputi tingkah laku luar yang mudah, Nampak, ketahuan dari luar, seperti cara berbicara dan lain sebagainya.

b)Aspek-aspek kejiawaan : Meliputi aspek-aspek yang tidak segera dapat dan ketahuan dari luar, seperti cara berfikir, sikap dan minat.

c) Aspek-aspek kerohanian yang luhur : Meliputi aspek-aspek kejiawaan yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini meliputi system nilai-nilai yang telah meresap di dalam kepribadian itu, yang telah menjadi bagian dan mendarah daging dalam kepribadian itu yang mengarahkan dan memberi corak seluruh kehidupan individu. Bagi orang-orang yang beragama, aspek-aspek inilah yang menuntun kearah kebahagiaan, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Aspek inilah yang memberi kualitas kepribadian keseluruhannya.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Khayr al-Din al-Zarkali aspek-aspek atau elemen-elemen yang membentuk kepribadian manusia dapat dilihat melalui tiga sudut, yaitu :


(45)

a) Jasad (fisik), apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya.

b) Jiwa (psikis), apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uiniknya.

c) Jasad dan jiwa (psikofisik), berupa ahlak, perbuatan, gerakan, dan sebagainya.

Ketiga kondisi tersebut dalam terminology Islam lebih dikenal dengan term al-jasad, al-ruh, al-nafs. Jasad merupakan aspek biologis atau fisik manusia, ruh merupakan aspek psikologis atau psikis manusia, sedangkan nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang merupakan sinergi jasad dan ruh.33 Jurnalis Muslim yang idealis tentu mempertahankan tiga unsur tadi.

3. Prinsip Kode Etik Jurnalistik

Kode etik jurnalistik merupakan sebuah rambu-rambu dalam dunia jurnalistik yang mana harus dipatuhi oleh seluruh elemen yang berkecimpung didalamnya. Keberadaan pers di Indonesia sendiri memiliki kebebasan yang tentunya harus dikawal oleh kode etik agar tidak melanggar hak asasi manusia dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

33

. Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, Jakarta : PT Raja Gravindo Persada 2007, h. 56


(46)

Kode etik pada dasarnya dilahirkan untuk mengawasi, melindungi, sekaligus membatasi kerja sebuah profesi, termasuk di dalamnya profesi jurnalis maupun wartawan. Dari segi bahasa, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos. Kata ethos dalam bentul tunggal mempunyai banyak arti, yaitu tempat tinggal, adat, kebiasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (to etho) artinya adalah kebiasaan. Sedangkan kode berasal dari bahasa Inggris code yang berarti himpunan atau kumpulan peraturan tertulis.34

Secara intrinsic kata ethick berkaitan dengan masalah perilaku yang benar atau correct product di tengah hidup bermasyarakat. Sedangkan secara etimologis, etik mengindikasikan suatu concern

akan virtourus people atau orang-orang baik, karakter yang handal

(reliable character), dan perilaku yang tepat.35

Menurut Undang-Undang No. 40 tahun 1999 (pasal 1) tentang pers menyatakan bahwa Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Ini menandakan bahwa kode etik jurnalistik merupakan amanat dari undang-undang Negara.

Meskipun kebebasan pers dijamin oleh Negara melalui undang-undang, namun tidak ada surat kabar atau majalah, bahkan media massa yang bebas melakukan kesalahan, kejahatan, atau penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap seseorang, kelompok, organisasi,

34

. Wina Armada Sukardi, Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers (Jakarta: Dewan pers, 2008). H. 5

35

. Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme (Prinsip-prinsip Dasar), Jakarta : Rajawali Pers, 2015, h. 24


(47)

atau instansi tertentu, baik disengaja maupun tidak, karena kelalaian dan kesembronoan.36

Dalam buku Zulkarimein Nasution yang berjudul Etika Jurnalisme Prinsip-prinsip Dasar disebutkan beberapa prinsip-prinsip uatama etika jurnalisme, diantaranya :

a. Akurasi

Prinsip akurasi berarti berita ataupun karya jurnalistik lain yang ditulis oleh wartawan dan disiarkan oleh media, benar-benar substansinya, fakta-faktanya, penulisannya, berasal dari sumber informasi yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias. Ada juga yang mendefinisikan akurasi sebagai informasi yang memiliki sumber yang baik berdasar pada bukti yang solid.

Menurut Lambeth (1992) yang dikutip dari buku Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme (Prinsip-Prinsip Dasar), akurasi merupakan tuntutan mendasar dari truth telling atau penyampaian kebenaran, yang mensyaratkan kebenaran para jurnalis untuk mencek dan mericek informasi. Agar bisa selalu akurat, setiap jurnalis hendaklah

36

. Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk dank ode etik, Bandung : Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), h. 2005


(48)

menanamkan kebiasaan akurasi (the habbit of occuracy) dan mendisiplinkan pada diri masing-masing.37

b. Indepedensi

Perlu dikaji bahwa antara independen dengan netral memiliki pengertian yang berbeda. Independen berarti ketidak terikatan kepada pihak manapun dan berpihak kepada yang benar, tetapi netral adalah sikap ketidak berpihakan kepada kelompok manapun walaupun salah satu diantara keduanya ada kebenaran.

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam sembilan elemen jurnalismenya, para jurnalis harus menjaga independensi terhadap sumber berita agar tak terjadi bias. Prinsipnya wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralis. Namun wartawan yang beropini juga harus tetap menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan mematuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati oleh wartawan.

37

. Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme (Prinsip-Prinsip Dasar) Ed1, Cet 1, Jakarta :Rajawali Pers, 2015, h. 118


(49)

Dalam Undang-undang no.40 tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik dijelaskan, Pers sebagai wahana komunikasi masa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Dalam

Undang-undang diatas dijelaskan bahwa pers haruslah

melaksanakan kegiatan jurnalistik tanpa ada campur tangan atau keterikatan dari pihak manapun baik itu keterikatan kepemilikan atau pun unsur politik

c. Objektivitas

Konsep indepedensi sama halnya dengan

keberimbangan (balance). Konsep ini juga tidak terpisah dengan prinsip objektivitas. Prinsip objektivitas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk mencegah kemungkinan ataupun kecenderunagan wartawan atau jurnalis terpengaruh oleh subjektivitas pribadi maupun pihak lain dalam memandang dan menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian. Prinsip ini bertujuan agar wartawan meninjau setiap masalah dari berbagai sudut pandang, supaya lebih mencerminkan kebenaran.


(50)

d. Balance

Dalam memberitakan suatu berita atau kejadian,

seorang wartawan harus memperhatikan prinsip

keberimbangan , yakni memberi tempat dan kesempatan yang sejajar secara profosional bagi dua atau lebih pihak ataupun pandangan yang berkenan dengan yang diberitakan.

Seorang jurnalis harus mampu berimbang dalam

memberitakan, tidak selalu menginterfensi pihak tertentu dan mengunggulkan pihak yang lain. Karya jurnalistik yang tidak berimbang tentu bernilai rendah dihadapan public.

e. Fairnes

Fairnes merupakan sebuah prinsip yang harus dimiliki oleh jurnalis. Fairnes berarti transparan, terbuka, jujur, dan adil. Prinsip ini bertujuan agar berita yang disampaikan memberi tempat dan peluang bagi semua pihak secara adil. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dianak emaskan dan tidak ada yang merasa dianak tirikan.

Jika diamati terdapat kemiripan antara objektivitas dan fairness. Namun apabila diamati lebih jauh, masing-masing prinsip ini memiliki maksud tersendiri. Objektivitas lebih mengarah kepada penghindaran kesubjektivan pribadi seorang wartawan, sedangkan fairness dimasukkan pada


(51)

pemberian kesempatan yang seimbang dan setara bagi berbagai pihak yang terkait dalam menuliskan suatu berita.

f. Imparsialitas

Pada hakikatnya prinsip ini merupakan penekanan kembali (re-emphasizing) tentang ketidak berpihakan jurnalis dan media dalam mencari, menulis dan menyiarkan berita ataupun karya jurnalistik lainnya. Hal ini amat penting, karena media sebagai suatu institusi sosial menempati posisi tersendiri. Imparsialitas diartikan sebagai peliputan yang fair dan pikiran terbuka untuk menggali semua pandangan yang signifikan (fair and open-minded coverage exploring all significant views)

g. Menghormati Privasi

Sesungguhnya setiap pribadi memiliki hak untuk tidak dijadikan perhatian publik atau untuk tidak diterkenalkan. Hak untuk menjalani kehidupan tanpa orang-orang yang mengetahui secara detail dirinya. Berkenaan dengan hal ini, para jurnalis sering mengajukan argumentasi mereka dengan mengaitkan soal hak public untuk mengetahui (the public’s rigt to know). Mereka berkeyakinan kuat bila para pejabat diperbolehkan untuk bertindak dalam keresahasiaan, maka akibatnya adalah keguguran keadilan dan korupsi. Oleh karena itu


(52)

kebanyakan jurnalis akan mengedepankan public’s right to

know dalam menghadapi klaim soal privasi.

h. Akuntabilitas Kepada Publik

Setiap jurnalis harus meniatkan sejak awal, bahwa

segala proses dan hasil karyanya dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip ini mengaharuskan para jurnalis untuk dapat mempertanggung jawabkan atau akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme. Prinsip ini bersumber pada hak-hak khalayak (audience rights) sebagai salah satu stakeholder dalam proses komunikasi.

Dalam penelitian ini selain memaparkan prinsip-prinsip utama etika jurnalistik yang terdapat buku Zulkarimein Nasution, peneliti juga memaparkan kode etik yang telah dirumuskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kode etik tersebut memuat aturan-aturan tentang kewartawanan yang terdiri dari 7 pasal, yaitu :

a. Kepribadian wartawan Indonesia b. Bertanggung jawab

c. Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat d. Pelanggaran hak jawab


(53)

f. Pengawasan pentaatan kode etik.38

Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat pasal-pasal kode etik jurnalistik, sebagai berikut :

PEMBUKAAN

Bahwasahnya kemerdekaan pers adalah perwujudan kemerdekaan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UUD 1945, dan karena itu wajib dihormati oleh semua pihak. Kemerdekaan pers merupakan salah satu ciri Negara hukum yang dikehendaki oleh penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Sudah barang tentu kemerdekaan pers itu harus dilaksanakan dengan tanggung jawab sosial serta jiwa pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan bangsa dan Negara. Karena itulah PWI menetapkan kode etik jurnalistik untuk melestarikan asas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Pasal 1

Kepribadian Wartawan Indonesia

Wartawan Indonesia adalah warga Negara yang memiliki kepribadian:

1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Berjiwa Pancasila

3. Bersifat kesatria

4. Menjunjung tinggi hak asasi manusia

38


(54)

5. Berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakatbangsa-bangsa di dunia.

Pasal 2 Pertanggungjawaban

1. Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur, dan sebagainya disiarkan.

2. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:

a. Hal-hal yang bersifat destruktif dan dapat merugikan Negara bangsa

b. Hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan

c. Hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama,

kepercayaan, atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh udang-undang.

3. Wartawan Indonesia melakukan pekerjaannya berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab demi keselamatan umum.

4. Wartawan Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya yang menyangkut bangsa dan Negara lain, mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.

Pasal 3

Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat

1. Wartawan Indonesia menempuh cara dan jalan yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan selalu menyatakan


(55)

identitasnya sebagai wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.

2. Wartawan Indonesia meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya dan juga memperhatikan kredibilitas sumber berita yang bersangkutan.

3. Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini) sehingga tidak bercampur-baurkan fakta dan opni tersebut.

4. Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.

5. Dalam tulisan yang memuat pendapat tentang suatu kejadian by line story, wartawan Indonesia selalu berusaha untuk obyektif, jujur, dan sportif berdasarkan dari cara-cara penulisan yang bersifat pelanggaran kehidupan pribadi (privacy), sensasional, immoral, atau melanggar kesusilaan.

6. Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak mendasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu kejadian, merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik. 7. Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam

siding-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang tersangka bari dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana apabila ia telah dinyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah dimiliki kekuatan tetap.


(56)

8. Penyiaran nama secara lengkap, identitas dan gambar dari seorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan dihidarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau menyangkut anak-anak yang belum dewasa. Pemberitaan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya trial by the press.

Pasal 4 Hak Jawab

1. Setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tiak benaratau berisi hal-hal yang menyesatkan, harus dicabut atau diralat atas keinsyafan wartawan sendiri.

2. Pihak yang merasa dirugikan wajib diberikan kesempatan secepatnya menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang dimaksud, sedapat mungkin dalam ruangan yang sama dengan pemberitaan semula dan maksimal sama panjangnya itu dilakukan secara wajar.

Pasal 5 Sumber Berita

1. Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebut nama tersebut disiarkan, maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan atau penerbit pers yang bersangkutan. 2. Keterangan-keterangan yang diberikan secara off the record tidak

disiarkan kecuali apabila wartawan yang bersangkutansecara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki


(57)

keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara off the record itu. Jika seseorang wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu pertemuan secara of the record, maka ia dapat menghadirinya.

3. Wartawan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita, gambar atau tulisan dari suatu penerbitan pers, baikyang terbit di dalam maupun di luar negeri. Perbuatan plagiat (menerbitkan karya tulis orang lain dengan mengatasnamakan dirinya, menciplak) yaitu mengutipberita, gambar, atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya merupakan pelanggaran berat.

4. Penerimaan imbalan atau sesuatu janji akan menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu berita, gambar atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang, suatu golongan atau sesuatu pihak dilarang sama sekali.

Pasal 6

Kekuatan Kode Etik

1. Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang pentaatannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.

2. Tiada satu pasalpun dalam kode etik iniyang memberikan wewenang kepada golongan maupun di luar PWI untuk mengambil tindakan kepada seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers di Indonesia berdasarkan pasal-pasal dalam kode etik ini, karena saknsi


(58)

atas pelanggaran kode etik ini adalah merupakan hak organisasi persatuan wartawan Indonesia (PWI) melalui organ-organnya.39

4. Teori Tanggung Jawab Sosial

Teori tanggung jawab sosial merupakan teori yang berkembang dari perjalanan panjang teori-teori sebelumnya. Teori tanggung jawab sosial ini muncul sebagai reaksi teori pers libertarian yang dinilai terlalu membuka kran-kran kebebasan, dan pemikiran libertarian umumnya tentang hakikat manusia dan masyarakat. Teori ini menerima menerima ide libertarian bahwa fungsi politik, dan menjaga kebebasan sipil. Namun teori tanggung jawab sosial tidak percaya pers telah benar-benar melakukan fungsi-fungsi itu dalam demokrasi industry modern.

Pada teori ini juga mendukung sebuah ide bahwa pers seharusnya mendukung system ekonomi, menyajikan hiburan, dan mencetak laba, namun fungsi ini dalam teori tanggung jawab sosial dijadikan nomor dua setelah pungsi promosi, demokrasi, dan pencerdasan publik. Singkatnya teori tanggung jawab sosial tetap setuju dengan enam fungsi pers yang ditawarkan oleh teori libertarian, namun baiknya pada teori ini ia tidak menerima cara-cara yang ditempuh para pemilik dan pengelola media dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.40

Dalam pandangan teori tanggung jawab sosial, pers tetap mempunyai kebebasan dalam membuat berita dan informasi pada

39

. Asep Saeful Muhtadi, op.cit, h. 225-258. Lihat Pula, PD/ PRT Kode Etik Jurnalistik dan Sepuluh Pedoman Penulisan bagi Wartawan (Jakarta: PWI Pusat)

40


(59)

masyarakat. Namun kebebasan pada teori ini tetap harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Keberadaan pers jangan sampai malah menjadi perusak norma yang telah tersusun rapi di masyarakat. Pers haruslah mempunyai rambu-rambu dalam dirinya, sehingga bisa mengontrol dalam perjalanannya. Rambu-rambu tersebut berupa kode etik jurnalistik, yang merupakan batasan-batasan pers dalam membuat berita. Karena jika kita menyadari bahwa pers tidak hanya menghadirkan informasi yang menghibur saja, tetapi juga informasi yang mencerdaskan dengan pemberitaan yang baik dan tidak menyinggung kelompok masyarakat tertentu. 41

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini berjudul Strategi Jurnalis Muslim dalam Memegang Prinsip Kode Etik Jurnalistik, untuk menghindari penafsiran yang keliru terhadap masalah, dalam hal ini peneliti menekankan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Bagaimana Profesionalisme Jurnalis Muslim dalam menyandang profesi jurnalis yang beragama Islam.

Merujuk pada pertanyaan tadi peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang penulis kerjakan. Diantara penelitian yang relevan sebagai berikut :

1. Perilaku Profesionalisme Wartawan (Studi Fenomologis Wartawan dalam Menerapkan Etika Profesi Sesuai dengan Kode Etik Wartawan dalam Menerapkan Etika Profesi Sesuai

41

. Romy Haitojo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumiteri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, h. 11-12


(60)

dengan Kode Etik Jurnalistik di Harian Umum Galamedia) yang diteliti oleh R. Indriane Chintia Lefti mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Pada penelitian tersebut menganalisis dari segi perilaku penyesuaian diri, interaksi social, dan mengidentifikasi akan dirinya sendiri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perilaku profesionalisme yang ditinjau dari aspek pemehamannya, pengetahuannya, dan pengalamannya akan profesinya terhdap lima orang wartawan di Harian Umum Galamedia.

2. Pelaksanaan Program Kerja Aliansi Jurnalis Independen Dalam Meningkatkan Profesionalisme Jurnalis Di Kota Palembang (Metode penelitian ini menggunakan metode dekriptif kualitatif) Melihat profesionalisme menurut sisi AJI dan bagaimana mereka melaksanakan program kerja dalam meningkatkan profesionalisme jurnalis di Palembang. Peneliti pada penelitian ini bernama Muhammad Agung Dwipayana seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Patah Palembang. Hasil dalam penelitian ini penulis melihat secara keseluruhan bahwa AJI Palembang terus giat melaksanakan program kerja dalam meningkatkan profesionalisme jurnalis.


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode penelitian merupakan sebuah pengetahuan tentang bagaimana langkah sistematis dan logis mengenai pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, ditarik kesimpulan, kemudian selanjutnya dicarikan masalahnya. Metode yang digunanakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan format desain deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan, menggambarkan, atau melukiskan secara sistematis, factual, serta akurat tentang fakta-fakta, dan sifat-sifat hubungan dengan fenomena yang diselidiki.1

Pada penelitian yang berjudul Strategi Jurnalis Muslim dalam Memegang Prinsip Kode Etik Jurnalistik lebih menekankan pada pengalaman beberapa orang yang sesuai dengan jenis penelitian kualitatif fenomenologi.

Fenomonologi terbentu dari kata fenomenon dan logos, fenomenon berarti sesuatu yang menggejala, yang menampakkan diri, sedangkan istilah logos berarti ilmu. Jadi fenomenologi berarti ilmu tentang fenimena atau pembahsan tentang sesuatu yang menampakkan diri., Dengan demikian, semua wilayah fenomena (realitas) yang

1


(62)

menampakkan diri (manusia, gejala sosial, budaya atau objek-objek lain) dapat dikatakan sebagai objek kajian fenomenologi.2

Fenomenologi merupakan cara berfikir (metode) yang dikemukakan oleg Husserl pada awal abad ke-20. Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Saat ini, fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprhensif dan mandiri.3

Sebagai pendekatan sebuah metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode deskriptif kualitatif dengan paradigm kontruktivisme. Sesuai dengan asumsi antologis yang ada dalam paradigma kontruktivisme, peneliti yang menggunakan metode iniakan memperlakukan realitas sebagai kontruksi sosial kebenaran. Secara epistemology ada interaksi antara peneliti dan subjek yang diteliti. Sementara itu, dari sisi aksiologis, penelitiakan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman sunyektivitas pelaku sosial dalam rangka mengkontruksi realitas sosial.

Peneliti memilih Fenomenologi dalam penelitian ini karena pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan

2

. Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer: Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, cet 1, h. 205-206

3


(63)

untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Liile John bahwa fenomenlogi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia di sekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterprestasikan pengalaman tersebut.

B. Jenis data

Setelah mengidentifikasi subjek dan lokasi penelitian selesai, langkah berikutnya ialah menentukan jenis dan seperti apa data yang akan dicari. Dalam tahap ini peneliti harus focus merujuk pada kajian, tujuan penelitian, dan pertanyaan peneliti yang hendak dicari pertanyaannya. Dari tga al tersebut akan dengan muda untuk menentukan jenis data yang akan dicari.4

Adapun jenis data dalam penelitian ini dibenadakan menjadi :

a. Data Primer

Data primer adalah sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan, dalam penelitian ini sumber data primernya adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari individu atau kelompok (orang) maupun hasil observasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengujian (benda). Dengan kata lain, peneliti membutuhkan

4

. Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta: Salemba Humanika, 2012),Cet 3, h.153


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Strategi yang dilakukan wartawan merupakan suatu rumusan sebelum melakukan sebuah peliputan. Dimana seorang jurnalis Muslim tentu merancang strategi apa yang dipandang tepat dalam melakukan tugas jurnalistik. Kemudian tahap selanjutnya ialah implementasi strategi itu sendiri, diamana pada tahapan ini seorang wartawan akan melaksanakan strategi yang dirasa sudah tepat. Pada tahap selanjutnya yang dilakukan seorang jurnalis ialah melakukan evalusai dari strategi yang ia lakukan.

Menurut keterangan narasumber tersebut berhasil peneliti rangkum. Setidaknya ada empat strategi yang harus dimiliki oleh jurnalis Muslim dalam memilih profesi jurnalistik. Ke empat strategi tersebut ialah menata niat menjadi seorang jurnalis, patuh terhadap kode etik, memiliki potensi, dan menguasai medan liputan.

1. Menata niat menjadi jurnalis

Menata niat merupakan sebuah sikap kehati-hatian yang diiringi dengan berbagai pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara. Calon jurnalis maupun seorang yang telah berprofesi sebagai jurnalis hendaknya menata niatnya sebelum memutuskan sebuah perkara. Ia harus ingat bahwa profesinya merupakan amamat yang mulia serta memiliki beribu tantangan dan godaan.


(2)

2. Patuh terhadap kode etik

Kode etik jurnalistik merupakan rambu-rambu bagi seseorang yang berprofesi sebagai jurnaklis maupun wartawan, oleh karena itu harus dimengerti dan dipatuhi. Agar kegiatan jurnalistik yang ia lakukan dapat dipertanggung jawabkan. 3. Memiliki potensi

Potensi merupakan hal dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis, yang berupa pemahaman dan kesanggupan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Tanpa potensi di dalam dunia jurnalistik maka tentu tidak dapat melakukan kegiatan jurnalistik dengan baik.

4. Menguasai medan liputan

Medan liputan dalam hal ini terdapat dua macam, yakni medan liputan yang bersifat geografis dan medan liputan yang bersifat ruang lingkup liputan. Dalam hal geografis seorang jurnalis Muslim harus memiliki bekal standar liputan, memiliki tubuh yang prima, dan penuh kehati-hatian. Seorang jurnalis yang professional juga harus memahami ranah liputan yang sedang ia lakukan, seperti liputan criminal, politik, hokum dan sebagainya. Sehingga seorang jurnalis Muslim dapat menepatkan sesatu pada tempatnya.

B.Saran


(3)

etikjurnalistik. Maka saran-saran ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan oleh pihak-pihak yang terkait.

1. Bagi Jurnalis Muslim, Pers, maupun pihak yang terlibat dalam media massa dapat menjadikan strategi tadi dalam melakukan tugasnya. Serta dapat memberikan peringtan bahwa selain kode etik yang telah ditetapkan terdapat juga kode etik yang berasal dari agama Islam. Dimana pertanggung jawabannya kepada Allah SWT. 2. Bagi para mahasiswa Kominikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai refrensi keilmuan, serta barometer dalam menjalankan praktek jurnalistik, baik di Lembaga Pers Kampus maupun di lembaga pers di luar kampus.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Sosial,Surabaya: Air Langga University Press

Dauly Hamdan, Kode etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia ditinjau dari Perspektif Islam, Makalah Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009

Depag RI. Al-Quran Dan Terjemahannya Bandung : Fokus Media

Dr. Haryatmoko, Etika Komunikasi Manipulasi Media, kekerasan, dan pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Fred R. David, Manajemen Strategi Konsep, Jakarta: Prenhallindo, 2002 Hadi Sutrisno, Methodologi Research II, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1984

Herdiansyah Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2012

Hidayat Ari, Jurnalisme Islam, Tempo 2010

Kasman Suf, Jurnalisme Universal Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi-Al-Qalam dalam Al-Quran, Jakarta Selatan : Teraju 2004

Kekerasan terhadap wartawan,

Keller Anett, Tantangan dari Dalam (Otonomi Redaksi di empat media cetak nasi onal: Kompas,

Lubis Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer: Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, cet 1


(5)

Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakart: Prenamedia Group, 2003 Muhtadi, Asep Saeful op.cit. Lihat Pula, PD/ PRT Kode Etik Jurnalistik dan Sepuluh Pedoman Penulisan bagi Wartawan (Jakarta: PWI Pusat)

Mujib, Abdul Kepribadian Dalam Psikologi Islam, Jakarta : PT Raja Gravindo Persada 2007

Murad, Strategic Manajemen and Bussines Policy,(Jakarta:Erlangga,1994) Nasution Zulkarimein, Etika Jurnalisme (Prinsip-prinsip Dasar), Jakarta : Rajawali Pers, 2015,

Prof. Dr. Hamidi, M.Si, Teori Komunikasi dan Strategi Dakwah, Malang: UMM Press, 2010

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005

Ramdan Anton, Jurnalistik Islam, Sahara Digital Publishing

Samarqandi, Ali Faqih Abu Laits Tnbihul Ghafilin Pembangun Jiwa Moral Umat, Penerjemah Abu Imam Taqyuddin, Malang 1986

Setiati, Eni Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan Strategi wartawan menghadapi tigas jurnalistik, Yogyakarta: C.V. Andi Offset, 2005

Setiawan Purnomo Hari, Manajemen Strategi: Sebuah Konsep Pengantar, Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996

Soemitro Romy Haitojo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumiteri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998

Sophiaan Ainur Rofiq, Tantangan Media Informasi Islam (Antara Profesionalisme dan Zionis, Surabaya: Risalah Gusti


(6)

Suhandang, Kustadi Pengantar Jurnalistik (Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik, Bandung: Nuansa Cendikia 2004

Sukardi Wina Armada, Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers Jakarta: Dewan pers, 2008

Suryawati, Indah Jurnalistik Suatu Pengantar Teori dan Praktik, Bogor: Ghalia Indonesia Cet ke 2 2011

Tanzeh Ahmad, Pengantar Metode Penelitian Yogyakarta: Teras, 2009

Usman Said Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan perkembangan pemikirannya), PT. RajaGrafindo Persada, 1994

William L.Rivers,et al. Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenamedia Group, Jakarta 2015

Koran Tempo, Media Indonesia dan Republika), Jakarta: Friendrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office), 2009

http://regional.kompas.com/read/2012/10/18/09074947/Kekerasan.pada.Warta wan.Tak.Selesai.dengan.Maaf), Diakses pada tanggal 03 Januari 2016