Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

(1)

KABAR LAMPU HIJAU JAWA POS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh

Atika Suri

NIM: 1112051100009

KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang, 2 Juni 2016


(5)

i ABSTRAK

ATIKA SURI

Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau)

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan aturan yang dikeluarkan Dewan Pers sebagai tatanan perilaku ideal yang seharusnya dilaksanakan wartawan. Namun berdasarkan data disebutkan masih ada 80 persen wartawan yang belum pernah membaca KEJ, sehingga sangat berpotensi untuk melakukan pelanggaran. Salah satu media, terutama media cetak yang kerap menjadi perbincangan mengenai penerapan KEJ, adalah surat kabar Lampu Hijau.

Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau? Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau?

Pelaksanaan etika pers terkait Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau terbagi ke dalam beberapa poin seperti penerapan, pelanggaran, pelaksanaan tentatif, serta improvisasi yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau. Beberapa hal jenis pelaksanaan ini dapat diketahui dari kinerja wartawan dalam memuat berita sehari-hari.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian etnometodologi, dengan penjabaran yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan berupa observasi partisipatif dengan terjun langsung mengikuti kegiatan wartawan di lapangan. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Pengumpulan dokumen juga dilakukan untuk melengkapi kebutuhan data.

Teori utama yang digunakan adalah teori Kode Etik Jurnalistik dan didukung dengan teori-teori lain yang berkaitan dengan etika, kejurnalistikan, serta kewartawanan. Terdapat 11 pasal dengan poin-poin yang berbeda dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai acuan kinerja wartawan yang ideal.

Setiap media termasuk surat kabar Lampu Hijau memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan kerja jurnalistik. Namun kerja jurnalistik sudah sepatutnya disesuaikan dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Hal ini dilakukan agar hasil kerja sesuai dengan harapan berbagai pihak, sehingga nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Kata kunci: Kode Etik Jurnalistik, wartawan, surat kabar Lampu Hijau, kerja jurnalistik, etika pers.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan begitu banyak karunia dan nikmat kepada penulis, termasuk berbagai kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan ridho-Nya lah akhirnya penulis dapat melewati berbagai proses untuk merampungkan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW., Rasul teladan umat.

Sebagai peneliti awam, penulis tentu memiliki begitu banyak keterbatasan. Namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat tetap memiliki energi untuk terus melangkah melaksanakan perkuliahan hingga akhirnya menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir perkuliahan. Karena itulah dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua yang sangat penulis cintai, Ibunda Hj. Iyum Rumsinah dan Ayahanda H. Rafiudin yang telah memberikan dukungan dan doa tanpa lelah.

2. Keluarga tercinta, kakak Masyhuri Sidik, S. Sos.I, Galih Mugni, S.E, dan Rizka Alamsyah, S.Pdi beserta keluarga kecil mereka


(7)

masing-iii

masing, dan adik penulis satu-satunya Muhammad Said Assurur atas energi positif yang selalu diberikan.

3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

4. Dr, Arief Subhan, MA., Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta jajarannya.

5. Kholis Ridho, M.Si, Ketua Jurusan Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra. Hj. Musfirah Laily, MA., Sekretaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik. 6. Siti Nurbaya, M.Si, Dosen Pembimbing Akademik mahasiswa

konsentrasi jurnalistik A angkatan 2012. Beserta seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya semasa perkuliahan kepada penulis.

7. Rachmat Baihaky, MA., Dosen Pembimbing Skripsi, terima kasih atas bimbingan, waktu, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Keluarga besar surat kabar Lampu Hijau, Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau; Sri Nurganingsih, Sekretaris Redaksi surat kabar Lampu Hijau; M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan; dan seluruh wartawan surat kabar Lampu Hijau atas bantuan dan sambutan hangat yang telah diberikan selama proses penelitian.

9. Dedi Fahrudin, M. Ikom, pembimbing DNK TV, serta Deden Mauli Darajat, M.Sc, Pemimpin Redaksi zamzamedia.com atas wawasan,


(8)

iv

ilmu dan pengalaman yang diberikan selama penulis bergabung dalam DNK TV dan zamzamedia.com.

10.Annisa Novianti, Ruqoyah Raudhatul Jannah, Devi Yuliana, Rahmah Putri Awaliah, dan Avissa Suseno atas kebersamaan selama masa perkuliahan. Terima kasih telah menjadi tempat bernaung dan berbagi cerita yang nyaman dan aman.

11.Asti Niswatussoliha, Lisfa Novianti, Fadhla Rizkia, dan Riezky Romadhona atas warna lain yang telah diberikan dalam menjalani kehidupan di tanah rantau selama masa perkuliahan.

12.Seluruh teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2012, spesial untuk Jurnalistik A 2012. Tak lupa pula teman-teman DNK TV 2012, zamzamedia.com dan KKN Pelangi atas pengalaman berharga yang telah kita lewati bersama. Terima kasih pula untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Tangerang, 2 Juni 2016 Atika Suri


(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 5

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

F. Metodologi Penelitian ... 7

1. Pendekatan Penelitian ... 7

2. Metode Penelitian ... 8

3. Teknik Pengumpulan Data ... 13

G. Tinjauan Pustaka ... 16


(10)

vi BAB II LANDASAN TEORI

A. Etika ... 19

B. Moral dan Moralitas ... 22

C. Surat Kabar ... 23

D. Empat Teori Pers ... 25

1. Teori Pers Otoritarian ... 28

2. Teori Pers Libertarian ... 34

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial ... 36

4. Teori Pers Soviet Komunis ... 39

E. Kode Etik Jurnalistik ... 45

F. Etika Profesi Jurnalistik ... 52

G. Wartawan dan Etikanya ... 53

BAB III GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Perkembangan Pers di Indonesia ... 57

1. Media Massa Era Penjajahan ... 57

2. Memasuki Kemerdekaan ... 58

3. Indonesia di Iklim Reformasi ... 61

B. Sejarah Perkembangan Koran Kuning ... 70

C. Gambaran Umum Surat Kabar Lampu Hijau ... 75

1. Profil dan Sejarah Lampu Hijau ... 75


(11)

vii

3. Karakteristik Pembaca ... 78

4. Distribusi ... 78

5. Ciri Khas ... 79

BAB IV HASIL PENELITIAN ETIKA PERS DAN KERJA JURNALISTIK DALAM SURAT KABAR (STUDI ETNOMETODOLOGI WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU) A. Etika Pers Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 80

1. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 80

2. Improvisasi oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 117

B. Kerja Jurnalistik Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 124

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(12)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 perbedaan empat teori pers secara umum ... 43

Tabel 3.1 perbandingan jumlah pers dan total tiras tahun 1965 dan 1966 ... 64

Tabel 4.1 pelaksanaan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik ... 81

Tabel 4.2 pelaksanaan pasal 2 Kode Etik Jurnalistik ... 88

Tabel 4.3 pelaksanaan pasal 3 Kode Etik Jurnalistik ... 97

Tabel 4.4 pelaksanaan pasal 4 Kode Etik Jurnalistik ... 100

Tabel 4.5 pelaksanaan pasal 5 Kode Etik Jurnalistik ... 104

Tabel 4.6 pelaksanaan pasal 6 Kode Etik Jurnalistik ... 106

Tabel 4.7 pelaksanaan pasal 7 Kode Etik Jurnalistik ... 109

Tabel 4.8 pelaksanaan pasal 8 Kode Etik Jurnalistik ... 110

Tabel 4.9 pelaksanaan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik ... 112

Tabel 4.10 pelaksanaan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik ... 114


(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Logo Surat Kabar Lampu Hijau ... 75

Gambar 4.1 Penyertaan Sumber Gambar oleh Wartawan ... 91

Gambar 4.2 Contoh Pemuatan Berita Sadis dan Cabul... 102

Gambar 4.3 waktu pengambilan gambar tidak dicantumkan ... 103

Gambar 4.4 tidak menyebutkan identitas korban kejahatan seksual ... 105

Gambar 4.5 penyebutan identitas korban kejahatan seksual ... 105

Gambar 4.6 tidak menyebutkan identitas anak pelaku kejahatan ... 106

Gambar 4.7 Headline Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016 ... 119

Gambar 4.8 Headline Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016 ... 120

Gambar 4.9 Headline Lampu Hijau edisi 9 Mei 2016 ... 120

Gambar 4.10 Sisi Humanis Pada Judul Berita ... 123

Gambar 4.11 Contoh Penulisan Profil Tokoh ... 135


(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, media mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.1 Produk media secara umum dapat dilihat sebagai proses di mana makna-makna diproduksi melalui teks media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda. Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, budaya, dan makna-makna tentang masyarakat.

Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperative yang merupakan bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks komersial.2

Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu pandangan yang bermanfaat tentang dunia. Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh ide-ide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita, dan agenda yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan cerita-cerita yang lain.

1

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 9 2


(15)

Berita adalah sesuatu yang diproduksi. Wartawan memberi tekanan untuk mendapatkan cerita yang nyata dan mendapatkan fakta apa adanya.3 Namun demikian terdapat faktor lain yang dapat memengaruhi pemilihan dan penyajian berita, yakni kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat berupa kekuasaan tersembunyi yang meliputi ideologi, hegemoni, serta wacana.4

Wartawan menurut tugasnya terbagi dalam dua golongan, yakni yang pertama mencari dan menghimpun informasi, dan kedua mengerjakan berita dan menulis.5 Bahkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama, Mr. Sumanang menegaskan: “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan Negara”.6

Tak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya media memiliki idealisme, peran, dan fungsi sebagai tuntutan yang mau tidak mau akan selalu mengiri media tersebut. Terkait dengan peran dan fungsi yang dimiliki media dan kenyataan bahwa masih terdapatnya kemungkinan media melakukan pelanggaran, Dewan Pers sebagai lembaga pengawas Pers di Indonesia menerapkan Kode Etik Jurnalistik untuk semua pers.

Kode Etik Jurnalistik telah ditetapkan berlaku untuk semua wartawan sejak 14 Maret 2006. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya penulisan kolom di media massa pada awal kemerdekaan yang bernuansa satir, sinis, dan

3

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 108 4

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 71-74 5

Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masjarakat (Bandung: Binatjipta, 1970), h. 36 6


(16)

penuh dengan anekdot yang menimbulkan sejumlah kontroversi termasuk perdebatan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis dalam bidang jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik pertama ini akhirnya terbentuk pada tahun 1947, yang diketuai oleh Tasrif, seorang wartawan yang kemudian menjadi pengacara. Isi kode etik ini lebih merupakan terjemahan dari

Canon of Journalism, Kode Etik Jurnalistik wartawan Amerika pada masa itu.7 Karena itulah isi Kode Etik Jurnalistik pada masa itu sama seperti

Canon of Journalism, hanya saja penyebutannya disesuaikan dengan bahasa Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini belum semua pers menerapkan Kode Etik Jurnalistik tersebut sepenuhnya. Berkenaan dengan hal ini, bahkan menurut Sukardi, ternyata 80 persen wartawan Indonesia dewasa ini sama sekali belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40/1999 tentang pers.8 Bahkan ketua dewan pers periode 2010-2013, Bagir Manan, pernah mengungkapkan bahwa dewan pers sempat menemukan 80 persen pemberitaan atau siaran melawan kode etik.9

Kode Etik Jurnalistik bersifat otonom karena disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar melaksanakannya.

7

Wina Armada Sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2012), h. 327

8

Menurut Sukardi seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, h. 57

9

Pernyataan Bagir Manan disela pertemuan Bali Media Forum di Kuta, kepada pihak Antara News (http://www.antaranews.com/print/288120/ketua-dewan-pers-80-persen-pengaduan-pelanggaran-kode-etik, diakses pada 7 Maret 2016)


(17)

Dewasa ini banyak anggapan bahwa adanya Kode Etik Jurnalistik akan menghambat kebebasan pers. Wartawan Indonesia tetap dianggap memiliki kebebasan pers, asal bersamaan dengan itu tetap menghayati tanggung jawab etisnya ke berbagai segi seperti terhadap hati nuraninya sendiri, sesama warga negara yang juga memiliki kebebasan, kepentingan umum yang diwakili pemerintah, serta terhadap rekan seprofesinya.10

Melihat fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana penerapan etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar, khususnya pada wartawan surat kabar Lampu Hijau.

Surat kabar Lampu Hijau diterbitkan oleh Rakyat Merdeka yang merupakan bagian dari Jawa Pos. Surat kabar ini merupakan perubahan dari surat kabar Lampu Merah pada tahun 2008 karena dilarang terbit. Namun nyatanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Lampu Hijau dengan pendahulunya tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebutlah maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai penerapan etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau dalam skripsi yang berjudul “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)”.

10


(18)

B. Fokus Penelitian

Penelitian mengenai etika pers dan kerja jurnalistik ini difokuskan pada pelaksanaan etika pers yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik serta kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau?

2. Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau

2. Mengungkap kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau


(19)

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengungkap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pada media massa cetak.

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk praktisi komunikasi, khususnya mahasiswa jurnalistik, agar lebih mengetahui hal-hal terkait Kode Etik Jurnalistik dan penerapannya dalam media massa cetak.

b) Sebagai acuan bagi media agar senantiasa menerapkan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku demi terciptanya lingkungan pers yang sehat.

c) Untuk melengkapi penelusuran dan referensi keilmuan serta koleksi skripsi pada Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(20)

F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif secara deskriptif. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui.

Pada dasarnya ada tiga unsur utama penelitian kualitatif, pertama

yaitu data, data bisa berasal dari berbagai macam sumber biasanya dari wawancara dan pengamatan. Kedua, penelitian kualitatif terdiri atas berbagai prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk memahami data. Ketiga, laporan tertulis dan lisan dapat dikemukakan dalam jurnal ilmiah atau konferensi.11

Alasan peneliti menggunakan metode kualitatif adalah karena jenis penelitian ini membutuhkan wawancara serta pengamatan untuk mengetahui bagaimana penerapan etika pers serta kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Penjabaran hasil analisis secara deskriptif juga dinilai sesuai karena penelitian ini tidak menggunakan penjabaran angka-angka yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif.

11

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4-7


(21)

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnometodologi. Hal ini dilakukan guna mengungkap etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau.

Etnometodologi berasal dari bahasa Yunani „Etnos‟ yang berarti orang, „Metodos‟ yang berarti metode, dan „Logos‟ yang berarti Ilmu, sehingga secara harfiah etnometodologi adalah “sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam atau masyarakat biasa untuk menciptakan perasaan keteraturan atau keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi”.12

Etnometodologi menurut Heritage dapat didefinisikan sebagai “kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan di mana mereka bisa menemukan dirinya sendiri”.13 Di sisi lain Mehan dan Wood mengartikan etnometodologi sebagai “keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan”.14 Selain itu, Muhadjir

12 Soleh Hamdani, “Etnometodologi”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://solehhamdani.wordpress.com/sosiologi/etnometodologi/

13

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi (Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 145

14

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 200


(22)

menyatakan bahwa “etnometodologi berupaya untuk memahami

bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan

menggambarkan tata hidup mereka sendiri”.15

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa etnometodologi merupakan suatu metode untuk mengetahui bagaimana masyarakat memandang tata kehidupan yang mereka jalani. Adapun dalam penelitian ini, masyarakat yang dimaksud adalah wartawan yang mendedikasikan dirinya bekerja untuk surat kabar Lampu Hijau. Dengan demikian, metode etnometodologi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana kerja jurnalistik dan penerapan etika pers yang dilakukan oleh wartawan, dan bagaimana pandangan wartawan terhadap hal tersebut.

Pelopor kajian etnometodologi ini adalah Harold Garfinkel. Ia merupakan professor Emeritus di University Of California, Los Angeles.16 Sejarah penemuan metode etnometodologi diawali saat Garfinkel diajak oleh Fred Strodtbeck dan Saul Mendlovitz untuk meneliti anggota dewan juri di suatu pengadilan.17

Strodbeck meletakkan alat perekam secara tersembunyi di ruang rapat pengadilan Wichita, untuk merekam kegiatan musyawarah para juri. Garfinkel terkejut oleh kenyataan bahwa para juri yang tidak diajarkan teknik-teknik hukum mampu menguji, mengkaji tindak pidana, dan mengutarakan kesalahan para pelakunya. Untuk dapat melakukan itu, mereka menggunakan berbagai prosedur dan logika

15

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 146

16Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-metodelogy.html

17

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 141


(23)

penilaian bersama, seperti membedakan benar dan salah, kemungkinan, serta ketepatan; mereka mampu mengevaluasi ketepatan argumen yang dikemukakan selama proses pengadilan.18

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat sebuah praktik evaluasi dan penilaian yang dapat dideskripsikan. Melalui kejadian tersebutlah akhirnya Garfinkel mengetahui metode yang mulai tahun 1955 disebut sebagai etnometodologi.19

Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian ilmu sosial karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang dilakukan para sosiolog sebelumnya.20 Etnometodologi yang diperkenalkan Garfinkel ini memiliki tatanan secara teoritis maupun praktis.

Pada tatanan teoritis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim mengenai “fakta sosial” karena baginya justru “aktor sosial” itulah yang sangat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial.21 Sedangkan pada tatanan praktisnya, etnometodologi Garfinkel menekankan pada kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.22

18

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 141

19

Alain Coulon, Etnometodologi, (Jakarta: Lengge, 2008), h. 56 20

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142

21

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, h. 199

22

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142


(24)

Kelahiran etnometodologi tak lepas dari pengaruh karya-karya yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan lain. Etnometodologi Garfinkel ini diilhami oleh karya-karya dari Talcot Parson dan Alfred Schutz. Adapun sumber lain yang ikut memberikan pengaruh di antaranya Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron Gurwitsch, Maurice Merleau-ponty, dan lain-lain.23

Meskipun telah disebutkan bahwa etnometodologi Garfinkel ini diilhami serta dipengaruhi oleh para pemikir lain, Garfinkel mengakui bahwa sumber utama yang memberikan pengaruh baginya adalah fenomenologi oleh Schutz.24

Validitas dalam etnometodologi dapat dilihat dengan sederhana karena tidak menggunakan cara-cara konvensional dalam mengukur suatu konsep. Etnometodologi sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang sedang dihadapinya.

Penelitian etnometodologi memiliki beberapa tujuan utama, yakni: (1) untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat pengungkapan istilah-istilah; (2) berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, mengerti, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia sehari-hari di tempat mereka hidup; (3) Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis dibanding kemanfaatan logika formal; dan (4)

23

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142

24 Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-metodelogy.html


(25)

Hasil penelitian dari etnometodologi dapat berupa program atau prinsip perubahan dan pembaruan.25

Dalam melakukan penelitian, peneliti tentu memerlukan sebuah strategi tersendiri, termasuk dalam penelitian menggunakan metode etnometodologi. Dalam penelitian etnometodologi, terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan, yaitu (1) strategi responsif, mengungkapkan bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya; (2) strategi provokatif, mengungkapkan reaksi orang terhadap situasi atau bahasa; dan (3) strategi subersif, yang lebih menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.26

Adapun tahap pengumpulan data dalam penelitian etnometodologi adalah dengan melakukan wawancara, terutama pada penelitian kualitatif menggunakan etnometodologi seperti yang dilakukan peneliti. Wawancara dalam penelitian etnometodologi itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan dasar seperti wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, serta wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka.27

Wawancara informal, yakni proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara

25

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 147

26

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 151

27

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154-155


(26)

spontan dalam interaksi alamiah, dengan tipe wawancara observasi partisipatif.28

Wawancara dengan pedoman umum dilakukan oleh peneliti dengan dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.29

Sedangkan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka, yakni pedoman wawancara ditulis secara rinci dan lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Dalam penelitian ini peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai dengan sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada narasumber berbeda.30

3. Teknik Pengumpulan Data

a) Observasi

Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah jenis observasi partisipatif dengan mengikuti kegiatan wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan selama 14 hari sejak tanggal 2 hingga 15 Mei 2016. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

28

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154

29

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154

30

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 155


(27)

dalam melakukan observasi partisipatif adalah dengan mengikuti berbagai rangkaian kegiatan wartawan dalam proses pencarian informasi. Peneliti ikut terjun ke lapangan untuk proses peliputan, mengikuti kegiatan wartawan dalam meramu informasi menjadi naskah berita utuh yang siap saji, dan peneliti juga turut mengikuti rapat redaksi yang dilakukan tim redaksi wartawan surat kabar Lampu Hijau untuk lebih mengetahui secara lebih detail kerja jurnalistik yang dimulai dari perencanaan yang disusun dalam rapat redaksi.

Observasi partisipatif ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau dan bagaimana penerapan Kode Etik Jurnalistik yang dilakukannya secara lebih real dan mendalam. Dengan observasi partisipatif peneliti juga dapat merasakan bagaimana menjadi wartawan yang bekerja di surat kabar Lampu Hijau.

b) Wawancara

Secara umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara secara etnometodologi, yakni wawancara informal, wawancara dengan


(28)

pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka.31

Terdapat dua jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti, yakni wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Wawancara informal dilakukan saat peneliti melaksanakan observasi partisipatif pada 2-15 Mei 2016 dengan turut terjun langsung bersama Muhammad Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan di lapangan. Selama proses penelitian tersebut peneliti melakukan wawancara secara informal untuk menggali data dari objek penelitian.

Adapun wawancara dengan pedoman umum telah terlebih dahulu dilakukan sebelum peneliti melaksanakan onservasi partisipatif. Wawancara dengan pedoman umum dilakukan secara formal dengan interview guide yang telah disiapkan peneliti. Wawancara dengan pedoman umum dilangsungkan pada 14 April 2016 bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi dari surat kabar Lampu Hijau bertempat di Gedung Rumah Pena, Jakarta Barat.

c) Dokumentasi

Dokumentasi yang dilakukan peneliti untuk melengkapi data penelitian adalah berupa foto-foto kegiatan, rincian kegiatan penelitian, rekaman suara wawancara yang telah ditranskrip,

31

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154


(29)

naskah berita wartawan pra dan pasca cetak, serta dokumen resmi berupa Company Profile Lampu Hijau yang diperoleh melalui email langsung dari General Manager Lampu Hijau.

G. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka pada penelitian “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik

dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar

Lampu Hijau Jawa Pos)” ini adalah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, yakni sebagai berikut:

1. Skripsi berjudul “Dinamika Kerja Citizen Journalism dalam Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh

Cucu Sulastri, Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, tahun 2014.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Cucu Sulastri ini adalah mengetahui bagaimana struktur kerja citizen journalism dalam manajemen redaksi rubrik rohani www.kabarindonesia.com, kebijakan redaksional

www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani, serta tujuan ideologi www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani. Ketiga hal tersebut diungkap dengan menggunakan metode etnometodologi.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa persamaan antara penelitian mengenai “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi


(30)

penelitian berjudul “Dinamika Kerja Citizen Journalism dalam

Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh Cucu Sulastri ini adalah berada pada metode penelitian yang dilakukan yang sama-sama menggunakan medote etnometodologi.

Adapun perbedaan terletak pada objek penelitian. Cucu Sulastri menjadikan media online www.kabarindonesia.com sebagai objek penelitian, sedangkan peneliti menjadikan media cetak surat kabar Lampu Hijau sebagai objek penelitian. Fokus penelitian juga berbeda. Cucu Sulastri fokus pada dinamika kerja citizen journalism di media

www.kabarindonesia.com, yang diketahui sebagai pihak eksternal media. Sedangkan peneliti fokus terhadap etika pers dan kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau yang merupakan pihak internal media.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang terkait dengan masalah penelitian seperti etika, moral dan moralitas, surat kabar, empat teori pers, kode etik jurnalistik, etika profesi jurnalistik, serta wartawan dan etikanya.


(31)

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini menjabarkan gambaran umum perkembangan pers di Indonesia, sejarah perkembangan Koran kuning, serta gambaran umum surat kabar Lampu Hijau yang meliputi profil dan sejarah Lampu Hijau, visi dan misi, karakteristik pembaca, distribusi, dan ciri khas.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Bab ini menjelaskan hasil penelitian berupa etika pers wartawan surat kabar Lampu Hijau dan kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau.

BAB V PENUTUP


(32)

19

A. Etika

Secara etimologis, kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani Kuno,

ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir.1

Secara epistemologis, etika memiliki beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).2

Guwandi menyebutkan ada tiga macam pengertian etika, yakni: (1) etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya; (2) etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas, sesuatu yang dianggap baik atau buruk; (3) etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai moral.3

1

K. Bertens, Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), h. 3-4 2

KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/etika 3


(33)

Menurut Ward, etika juga didefinisikan sebagai “analisis, evaluasi

dan promosi perilaku yang benar dan/ atau karakter yang bagus menurut standar terbaik yang ada”.4

Altschull mendefinisikan etika sebagai “studi tentang pembentukan

nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip mengenai benar dan salah”.5

Adapun menurut American Heritage Dictionary: Description of Ethic, disebutkan bahwa etik memiliki beberapa arti yakni: (1) seperangkat prinsip perilaku yang benar; suatu teori atau sistem nilai-nilai moral; (2) studi tentang sifat umum dari moral dan pilihan-pilihan moral yang spesifik yang dibuat oleh seseorang.6

Dari beberapa pengertian etika di atas, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan suatu aturan mengenai baik dan buruk serta benar atau salah mengenai perilaku yang ditetapkan berdasarkan standar tertentu. Dalam hal ini memungkinkan adanya perbedaan penerapan etika di setiap tempat, karena dikembalikan pada standar yang diberlakukan di wilayah yang bersangkutan. Namun intinya etika memberikan sebuah penilaian tersendiri terhadap perilaku, apakah dianggap baik atau buruk, maupun benar atau salah.

Menurut Zulkarimein Nasution setidaknya ada dua alasan mengapa etika tumbuh di masyarakat yaitu: (1) pada hakikatnya manusia sadar bahwa mereka butuh dan ingin berbuat baik sehingga secara otomatis

4

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 27

5

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 84 6


(34)

sebenarnya manusia memiliki potensi untuk berperilaku baik; (2) karena adanya kesadaran akan kebutuhan dan keinginan untuk berperilaku baik tersebutlah maka sudah selayaknya ditegakkan aturan berperilaku dengan konsekuensi mendapat sanksi sosial bagi pihak yang melanggar.7

Aturan perilaku yang terbentuk itulah yang kemudian disebut sebagai etika. Adapun kemungkinan buruk akan adanya sanksi sosial kepada pihak yang dianggap melanggar etika adalah karena meskipun pada hakikatnya manusia ingin berperilaku baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak juga manusia yang tidak mengindahkan hakikat tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai tindakan yang tidak seharusnya.

Terdapat banyak etika dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah etika pers. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya terkait pengertian etika yang terkait dengan hal baik dan buruk, maka dapat dikatakan bahwa etika pers merupakan hal yang dianggap baik maupun buruk dalam kehidupan pers. Bahkan menurut Franz Magnis-Suseno, etika pers menyangkut peranan dan tanggung jawab pers dalam masyarakat modern.8

Peranan dan tanggung jawab pers yang paling utama dalam masyarakat tentunya adalah menyampaikan informasi. Karena itulah pers dituntut untuk menyajikan informasi yang berorientasi pada kebenaran.

7

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 20-21 8

Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, (Tangerang: Pustaka irVan, 2008), h. 13


(35)

B. Moral dan Moralitas

Istilah “moral” berasal dari bahasa latin “mos”, dan jamaknya adalah

“mores” yang artinya adat, kebiasaan.9

Secara etimologis makna kata

“moral” sama dengan “etika” meskipun bahasa asalnya berbeda. Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, sedangkan “moral” berasal dari bahasa

Latin. Adapun menurut KBBI, moral adalah: (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.10

Secara epistemologis, atau pengertian yang lebih luas, moral memiliki beberapa arti, yakni: (1) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.11

Sedangkan “Moralitas” yang berasal dari bahasa Latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada

lebih abstrak. Jika berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya.Moralitas adalah sifat

9

Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, h. 10 10

KBBI Online, “Moral”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/moral 11


(36)

moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.12

C. Surat Kabar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kabar adalah

“lembaran-lembaran kertas bertuliskan berita dan sebagainya”.13 Di masyarakat, surat kabar dikenal juga dengan nama koran. Apriadi Tamburaka mengatakan “surat kabar atau koran merupakan media massa paling tua sebelum adanya film, radio, dan televisi. Media yang satu ini hanya dapat dinikmati oleh mereka yang melek huruf atau mampu baca

tulis”.14

Apriadi juga mengungkapkan bahwa pelanggan surat kabar biasanya berasal dari golongan menengah ke atas yang berpendidikan tinggi dan juga dari kelompok pekerja kantoran yang mapan.15 Mereka yang berada pada golongan menengah ke atas dan kelompok pekerja kantoran biasanya memiliki pendidikan tinggi, yang secara otomatis tentunya mereka melek huruf sehingga dapat menikmati surat kabar. Selain itu, masyarakat yang ada pada golongan ini juga biasanya melek informasi dan merasa butuh akan informasi, khususnya informasi yang sesuai dengan bidang yang mereka geluti.

12

K. Bertens, Etika, h. 6 13

KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertan kata diakses pada 6 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/surat%20kabar 14

Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 45 15


(37)

Sebagai media cetak, kelebihan surat kabar adalah sebagai catatan tertulis yang dapat mendokumentasikan suatu peristiwa yang pernah terjadi.16 Berbeda dengan televisi dan radio yang siarannya hanya dapat dinikmati dalam sekali waktu, karena bentuknya berupa lembaran kertas yang tercetak, surat kabar dapat disimpan dan jika sewaktu-waktu kembali dibaca, peristiwa yang pernah disajikan tetap terdokumentasi di sana.

Pada dasarnya surat kabar memiliki sifat profesionalisme untuk menekankan akurasi dan objektivitas pemberitaan.17 Tentu sikap profesionalisme jurnalisme seperti itu adalah harapan masyarakat selaku konsumen informasi. Namun pada kenyataannya dengan berbagai macam alasan, ada sebagian surat kabar yang terkadang tidak lagi peduli pada akurasi dan objektivitas pemberitaan, bahkan lebih mengutamakan keuntungan.

Persoalan yang dihadapi surat kabar saat ini adalah kompetisi berupa persaingan, baik dengan sesama platform media cetak maupun dengan media elektronik.18 Namun persaingan ini tidak begitu menggairahkan lagi karena munculnya konglomerasi media di abad ke 20, sehingga surat kabar akan mewakili satu komunitas tertentu.19 Jika surat kabar menjadi perwakilan dari komunitas tertentu, tidak dapat dipungkiri akan memiliki keberpihakan. Pers hanya akan menjadi alat pewujud tujuan sang empunya.

16 Elisa Zakaria, “Surat Kabar”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://elisazakaria18.blogspot.co.id/2016/03/surat-kabar.html

17

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 50 18

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 137 19


(38)

Robert McChesney mengatakan “ketika kepemilikan secara nasional terkonsentrasi pada bentuk rantai, jurnalisme menjadi refleksi kepentingan para pemilik dan pengiklan daripada ragam kepentingan dari sebuah

masyarakat”.20

Salah satu kepentingan para pemilik adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena itulah tak heran jika akhirnya surat kabar rela mengganti ruang pada halaman koran, yang seharusnya dapat digunakan untuk memuat berita, dengan iklan. Hal ini disebut sebagai komersialiasi media.21 Dengan menempatkan iklan pada kolom di surat kabar, secara otomatis kuantitas berita akan menurun. Padahal tujuan utama dari penerbitan surat kabar adalah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

D. Empat Teori Pers

Menurut Haris Sumadiria, Pers seringkali dianggap sama dengan jurnalistik meski sebenarnya tidak.22 Anggapan adanya kesamaan antara pers dan jurnalistik ini mungkin dapat terjadi karena adanya hubungan yang sangat erat antar keduanya. Hubungan yang erat tersebut tentu terjalin karena pers dan jurnalistik berada dalam ruang lingkup yang sama, yakni mengenai pemberitaan.

20

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 21

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 22

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 1


(39)

Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional” juga

mengatakan bahwa “jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media”.23 Dengan demikian perbedaan antara pers dan jurnalistik dapat terlihat dari spesialisasi yang dimiliki. Seperti yang telah disebutkan bahwa jurnalistik adalah bagian dari proses kegiatan wartawan mengumpulkan informasi, sedangkan pers adalah media yang menampung ataupun menyalurkan pemberitaan. Dalam hal ini terlihat bahwa jurnalistik fokus kepada objek manusia, sedangkan pers lebih kepada wadah media itu sendiri.

Dengan adanya hubungan yang erat dan saling berkesinambungan antara pers dan jurnalistik, maka muncullah apa yang disebut dengan

jurnalistik pers. Jurnalistik pers ini dapat diartikan sebagai proses kegiatan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan berita melalui media berkala pers kepada masyarakat.24 Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Jurnalistik tanpa pers akan menyebabkan kegiatan pencarian berita sia-sia karena tidak sampai kepada masyarakat. Pers tanpa jurnalistik juga akan pincang karena tidak memiliki bahan informasi untuk disampaikan.

Kembali pada teori pers, di dunia ini terdapat empat macam teori pers yang muncul seiring berjalannya waktu sesuai dengan keadaan,

23

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 1

24

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 1


(40)

situasi, serta kondisi yang terjadi pada masa perkembangannya. Keempat teori pers tersebut di antaranya adalah teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers bertanggung jawab sosial, dan teori pers komunis Soviet.25Keempat teori pers ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya, berkembang sesuai dengan keadaan, situasi, serta kondisi yang terjadi pada masa perkembangannya masing-masing.Hal ini tentu menyebabkan adanya perbedaan dari masing-masing teori pers tersebut.

Dalam buku “Empat Teori Pers” yang merupakan terjemahan dari buku “The Four Theories of the Press” diungkapkan bahwa perbedaan -perbedaan di antara keempat teori pers: “sebagiannya mencerminkan kemampuan sebuah negara dalam membiayai persnya, kesederhanaan dan sumber daya mekanik yang dapat mendukung komunikasi massa,dan tingkat urbanisasi relatif yang menyebabkan sirkulasi media massa sekaligus lebih mudah dan lebih diperlukan”.26

Selain perbedaan, teori pers Otoritarian, Libertarian, Tanggung jawab Sosial, serta Komunis Soviet juga memiliki keterkaitan. Teori Komunis Soviet merupakan pengembangan dari teori Otoritarian, sedangkan teori Tanggung jawab Sosial merupakan pengembangan dari teori Libertarian.27 Berikut adalah penjabaran lebih lanjut mengenai keempat teori pers tersebut:

25

Menurut Siebert seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 172

26

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), h. 1 27


(41)

1. Teori Pers Otoritarian

Teori pers yang pertama yakni teori pers otoritarian. Otoritarian berasal dari kata otoriter, yang menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti “berkuasa sendiri, sewenang-wenang”.28 Dari pengertian tersebut dapat terlihat bahwa dalam teori pers otoritarian terdapat pihak yang memiliki kuasa yang lebih dibandingkan dengan pihak lainnya.

Teori pers Otoritarian secara jelas berpendapat, bahwa negara, ekspresi tertinggi dari kelompok organisasi manusia, mengungguli perorangan dalam skala nilai, karena tanpa negara orang-perorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya.Ketergantungan perorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban, muncul sebagai formula umum dari semua sistem otoritarian.29

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa teori pers Otoritarian menganggap negara memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan dengan sekelompok manusia yang tinggal dalam negara tersebut. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan dapat mengembangkan atribut kemanusiaannya seperti budaya tanpa negara. Ketidakmampuan manusia mengembangkan diri dan kehidupan tanpa adanya negara inilah yang menunjukkan adanya ketergantungan manusia. Karenanya kedudukan negara menjadi lebih tinggi dibanding manusia itu sendiri. Hal semacam ini adalah formula umum dalam

28

KBBI Online, “Otoriter”, pegertian diakses pada 24 Juni 2016 dari

http://kbbi.web.id/otoriter 29


(42)

sistem otoritarian karena dalam sistem ini semua pihak termasuk pers harus tunduk kepada negara.

Pada awal perkembangannya, teori pers otoritarian digunakan oleh semua negara di Eropa Barat sebagai pondasi teoritis untuk sistem pengawasan terhadap pers, dan hingga kini telah menjadi doktrin dasar bagi sebagian besar dunia selama berabad-abad.30 Pers otoritarian dianggap dapat memberikan pengawasan terhadap pers karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa negara memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan organisasi kelompok manusia, sehingga segala atribut manusia termasuk pers harus tunduk terhadap negara.Hal ini secara otomatis tentu akan memberi kemudahan kepada negara untuk melakukan pengawasan.

Fred S. Siebert mengatakan bahwa “teori Otoritarian memberikan jawaban yang sama terhadap problem-problem filosofis yang lebih mendasar, tentang hakikat pengetahuan dan kebenaran”.31 Hakikat pengetahuan dan kebenaran yang dimaksud tentu memiliki keterkaitan dengan peran pers yang berjalan di negara yang menganut teori otoritariantersebut. Pengetahuan yang bukan berasal dari Tuhan seperti agama didapat dari hasil usaha manusia dan Fred berpandangan bahwa usaha ini sudah selayaknya disalurkan melalui negara demi kebaikan semua orang agar pengetahuan yang didapat tersebut dapat menjadi

30

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 9 31


(43)

patokan seluruh masyarakat yang pada akhirnya memunculkan kebaikan.32

Teori pers Otoritarian ini rupanya juga mendapat perhatian dari ilmuwan lain seperti Plato. Filsuf Yunani Kuno ini memiliki keyakinan bahwa masyarakat ideal akan terbentuk dalam negara yang membentuk dan memaksakan tujuan politik dan kultural.33 Hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Plato mendukung teori pers Otoritarian yang menjadikan negara sebagai pemangku kedudukan tertinggi dibanding sekelompok organisasi manusia. Dalam keyakinannya tersebut Plato jelas-jelas beranggapan bahwa peran negara amat besar dalam membentuk masyarakat ideal. Dapat disimpulkan bahwa keyakinan Plato ini memiliki makna bahwa dengan adanya paksaan dari negara, masyarakat akan lebih terkontrol sehingga masyarakat ideal sesuai harapan negara akan terwujud.

Terlepas dari adanya tujuan dan harapan negara, teori pers otoritarian memiliki sistem pengawasan terhadap media massa yang ada di negara penganutnya. Dalam hal ini otoritarian memiliki filsafat utama yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk pengorganisasian pemerintah yang memiliki banyak variasi namun tetap memiliki kesamaan dalam karakteristik pengawasannya.34

Salah satu bentuk pengawasan negara terhadap media massa dalam teori pers otoritarian ini adalah berupa pemberian paten kepada

32

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 11 33

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 12 34


(44)

orang yang terlibat dalam proses penyajian berita kepada masyarakat. Pemberian paten ini juga tidak sembarang dilakukan. Paten atau yang bisa disebut sebagai izin khusus pada pemberlakukan pers otoritarian ini hanya diberikan kepada pihak yang disukai oleh pemerintah dan dinilai dapat mendukung kebijakan negara.35

Fred S. Siebert memaparkan bahwa di Inggris, sistem paten ini tumbuh dengan baik selama 200 tahun. Dalam periode panjang itu, jelas terlihat bahwa metode ini lebih sukses dari metode yang lain. Sistem ini mencapai puncaknya ketika dibentuk sebuah organisasi para

pemegang paten atau para pencetak “yang punya hak khusus” (dikenal

dengan nama Stationers' Company) yang melalui para pegawai dan anggotanya dapat mengawasi perdagangan barang-barang cetakan, praktis tanpa biaya negara.36

Namun kesuksesan sistem pengawasan dengan menggunakan hak paten tersebut rupanya tidak bertahan selamanya. Di akhir abad 17 sistem ini mengalami keruntuhan.37 Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang abadi dalam dunia ini. Bahkan sistem yang telah berhasil bertahan selama ratusan tahun pun akhirnya runtuh. Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh keadaan, situasi, serta kondisi yang terus berkembang seiring perubahan zaman.

Sistem lain yang juga sempat diterapkan adalah berupa sistem

lisensi. Sistem lisensi atau yang disebut juga sebagai sistem

“penyensoran” pada abad ke 17 dan 18 ini digunakan untuk karya -karya perorangan, yang sempat diterapkan di negara-negara Eropa

35

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 21-22 36

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 22 37


(45)

Barat.38 Jika dilihat dari namanya, sistem penyensoran tentu akan membatasi aktivitas pemberitaan. Lagi-lagi segala hal yang disajikan tentu harus mampu mendukung kebijakan dan tujuan negara. Melalui sistem ini pula negara tetap dapat melakukan pengawasan terhadap pers.

Selain sistem paten dan lisensi, pengawasan pers dengan sistem otoritarian juga menggunakan cara pendakwaan. Pengawasan dengan metode yang berkembang saat monopoli negara dan sistem lisensi tidak lagi mampu mengawasi pers ini, dilakukan di depan pengadilan terhadap pihak yang dianggap melanggar aturan, yang tentunya telah dibuat oleh negara.

Metode pendakwaan ini tentu berkaitan dengan hukum. Menurut Fred S. Siebert, dua masalah tradisional mengenai hal ini dalam bidang hukum yakni berupa penghianatan (treason) dan hasutan (sedition).39

Dalam hal penghianatan, terdapat tiga hal yang dianggap sebagai perilaku penghiatan yakni (1) usaha menggulingkan negara, (2) terlibat dalam kegiatan yang dapat mengarah kepada penggulingan negara, dan (3) mendukung serta menganjurkan kebijaksanaan yang dapat mengarahkan kepada penggulingan negara.40

Jika diperhatikan, inti dari tindakan yang dianggap sebagai penghianatan terhadap negara adalah hal-hal yang dapat mengancam

38

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 23 39

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 25

40 Ucan, “Sistem Pers Otoriter”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://ucanmencarimakna.blogspot.co.id/2011/10/sistem-pers-otoriter.html


(46)

keamanan negara, berupa penggulingan negara. Mengingat pandangan otoritarian yang menganggap bahwa negara memiliki kedudukan tertinggi, tentu menggulingkan negara adalah hal yang tidak pantas dilakukan. Sebaliknya, seluruh masyarakat termasuk pers yang berada dalam suatu negara tersebut haruslah mendukung tujuan serta kebijakan yang dimiliki negara.

Masalah lain pada hukum dalam metode pendakwaan adalah hasutan. Jika telah disebutkan sebelumnya bahwa tindakan penghianatan berkaitan dengan tindakan penggulingan negara, maka tindakan menghasut lebih kepada perkara-perkara kecil yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap menentang penguasa.41

Baik penghianatan ataupun penghasutan, keduanya sama-sama tindakan yang dianggap dapat mengancam kedudukan negara, dan juga penguasa selaku pemimpin negara. Hal ini wajar dimasukan ke dalam ranah hukum dalam sistem otoritarian, mengingat sistem ini memang memandang posisi negara lebih tinggi dibanding yang lainnya, sehingga tidak ada pihak yang diperkenankan untuk mengganggu hal tersebut.

41


(47)

2. Teori Pers Libertarian

Teori pers libertarian berangkat dari konsep liberal atau kebebasan.42 Teori ini mulai tumbuh pada abad ke 17, kemudian mulai benar-benar hadir di abad ke 18 serta berkembang di abad ke 19.43

Fred S. Siebert dalam buku “The Four Theories of the Press” yang telah diterjemahkan dalam buku berjudul “Empat Teori Pers”

mengatakan bahwa:

Abad ke 18 merupakan abad di mana prinsip-prinsip pers secara keseluruhan beralih dari otoritarian ke libertarian. Pada awal abad itu sistem pengawasan pers otoritarian sedang sekarat. Kekuasaan kerajaan untuk mengatur pers telah dihapuskan, gereja tidak lagi berfungsi sebagai agen-agen pengatur, dan monopoli negara dalam penerbitan telah dihapuskan. Menjelang akhir abad itu, prinsip-prinsip libertarian disisipkan di hukum dasar dan kalimat Undang-Undang yang melindungi kebebasan berbicara dan kebebasan pers.44

Selain Fred S. Siebert, tokoh lain yang juga turut berpengaruh terhadap perkembangan teori pers libertarian ini adalah Thomas Jefferson. Filsuf sekaligus negarawan ini memiliki keinginan agar pemerintahan memberi kesempatan kepada setiap orang karena ia memiliki keyakinan meskipun warga negara secara individual memiliki kemungkinan melakukan kesalahan, namun suatu kelompok akan mampu membuat keputusan yang tepat.45

Dalam masing-masing pernyataannya, baik Fred S. Siebert maupun Thomas Jefferson sama-sama mengakui bahwa warga negara

42 M. Ilham Nugraha, “Teori Pers Libertarian”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://hanz-one.blogspot.co.id/2013/09/teori-pers-libertarian.html

43

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 3 44

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 48-49 45


(48)

sudah selayaknya diberikan kebebasan berbicara dan membuat keputusan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan otoritarian yang menganggap negara memiliki kedudukan tertinggi sehingga manusia harus tunduk kepada negara. Kemunculan libertarian sebagai tanda keruntuhan otoritarian membentuk sejarah baru perkembangan teori pers dunia.

Dengan pandangan manusia perlu diberi kesempatan untuk memiliki kebebasan, Thomas Jefferson mengungkapkan bahwa untuk mempersiapkan semua itu maka setiap orang memerlukan pendidikan dan diberikan informasi.46 Bahkan menurut Thomas Jefferson, “Fungsi pers adalah untuk berpartisipasi dalam pendidikan orang-perorangan dan pada saat yang sama juga menjaganya dari penyimpangan oleh pemerintah dari tujuan-tujuannya semula”.47 Melihat hal tersebut, tentu pers perlu memiliki kebebasan dari pengawasan pemerintah agardapat melaksanakan fungsinya dengan lebih leluasa. Bahkan dalam pernyataan itu disebutkan bahwa pers harus menjaga penyimpangan pemerintah dari tujuannya semula. Hal ini tentu tidak mungkin dapat terlaksana jika negara masih mengungkung kebebasan pers.

Di bawah konsep libertarian, fungsi media komunikasi massa adalah untuk memberi informasi dan menghibur. Fungsi ketiga dikembangkan sebagai suatu korelasi dengan dua fungsi sebelumnya, untuk mempersiapkan suatu basis pendukung ekonomi dan yang karenanya dapat menjamin ketidaktergantungan finansial.Fungsi ini adalah fungsi penjualan dan periklanan. Secara dasarnya, tujuan dari media adalah untuk menolong menemukan kebenaran, membantu

46

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 52 47


(49)

penyelesaian masalah-masalah politik dan sosial dengan mengetengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan keputusan.48

Dari pemaparan tersebut kita dapat mengetahui bahwa fungsi media dalam konsep libertarian fokus terhadap pelayanan yang dilakukan oleh media itu sendiri terhadap semua pihak yang membutuhkannya. Dalam teori pers libertarian, media atau bisa kita sebut sebagai pers tentu harus memiliki kebebasan dari tekanan atau pengaruh apapun agar dapat memberi sajian yang bebas dari campur tangan pihak lain terutama pemerintah. Bahkan pers itulah yang memiliki hak dan tugas untuk mengawasi pemerintah agar para pejabat pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.49

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial

Teori pers tanggung jawab sosial mulai berkembang sejak abad ke 20 saat secara bertahap orang-orang mulai menjauhi libertarianisme murni.50 Asumsi utama dari teori pers tanggung jawab sosial ini adalah bahwa kebebasan dan pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern.51 Dalam hal ini dikatakan bahwa tanggung jawab sosial yang dimiliki pers harus dilaksanakam kepada

48

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 57 49

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 63 50

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 83 51


(50)

masyarakat, karena masyarakat itu sendiri lah yang menjadi target penerima informasi.

Adapun fungsi-fungsi komunikasi massa yang harus dilaksanakan pers terkait dengan tanggung jawabnya kepada masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pers diantaranya melayani sistem politik, memberi penerangan kepada masyarakat, menjadi penjaga hak perorangan, melayani sistem ekonomi, menyediakan hiburan, dan mengusahakan sendiri biaya finansial.52

Kembali kepada asumsi dasar teori pers tanggung jawab sosial yang menyebutkan bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat, hal ini jelas menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki pers merupakan kebebasan yang terbatas. Pers harus mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat terkait pemberitaan yang dimuat. Kebebasan yang dimiliki pers adalah kebebasan dengan aturan. Masyarakat itu sendiri lah yang menjadi pengontrol dari kebebasan yang dimiliki pers.

Teori pers tanggung jawab sosial juga merupakan kelanjutan dari teori pers libertarian yang mendewakan kebebasan individu termasuk pers. Jika dalam teori pers libertarian para warga negara memperjuangkan kebebasan pers dari tekanan dan pengawasan pemerintah, dalam teori pers tanggung jawab sosial pers justru

52


(51)

mendapat “tekanan” baru berupa tanggung jawab kepada masyarakat sosial.

Ada dua teori mengenai masyarakat: teori individualistis dan teori kolektivistis. Teori individualistis berpandangan bahwa individu lebih penting dibandingkan masyarakat. Sebaliknya, teori kolektivistis menganggap bahwa masyarakat lebih penting dibandingkan individu.53

Teori tanggung jawab sosial memperlihatkan adanya penggabungan pemikiran seperti itu. Ini bukanlah berarti bahwa teori tanggung jawab sosial pada titik ekstremnya menunjukkan kecenderungan ke arah totalitarianisme. Sebaliknya, teori ini menganggap tanggung jawab sosial media sebagai benteng terhadap totalitarianisme.54

Sementara itu Lukman Solihin dalam artikel yang berjudul

“Etnografi Sejarah Koran Kuning (1) menyebutkan bahwa:

Totalitarianisme merupakan sistem sosio-politis yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan individu-individu. Dengan kata lain, sistem ini meletakkan martabat tertinggi pada negara yang menguasai segala golongan dalam masyarakat dalam segala bidang: politik, ekonomi, ilmu, agama, dan sebagainya.55

Dalam teori tanggung jawab sosial, pers memiliki beberapa tuntutan terhadap pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini Komisi Kebebasan Pers telah menyebutkan lima hal yang dituntut masyarakat modern kepada persnya dan tuntutan-tuntutan tersebut merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers.56 beberapa tuntutan yang dimiliki pers tersebut diantaranya: (1) pers dituntut untuk menyajikan laporan

53

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93 54

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93

55 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1)”, artikel diakses pada 26 April 2016 dari http://arti-definisi-pengertian.info/arti-totalitarianisme/

56


(52)

tentang kejadian sehari-hari secara jujur, mendalam dan cerdas; (2) pers harus menjadi wadah diskusi berupa pertukaran komentar dan kritik; (3) pers hendaknya menonjolkan representatif kelompok masyarakat; (4) pers harus bertanggungjawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai masyarakat; (5) pers harus menyajikan berita setiap hari.57

4. Teori Pers Soviet Komunis

Teori pers soviet komunis didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Melalui pemikirannya Marx memberikan sumbangan terhadap pandangan umum yang menjadi landasan Soviet, dan pandangan yang dimilikinya tersebut terlihat bahwa Marxisme mencoba untuk serba merangkum, merenungkan totalitas, melenyapkan subjektifisme dalam memilih pemikiran-pemikiran, serta mencoba mengungkap akar-akar yang sama dari semua pemikiran dan kecenderungan yang berbeda.58

Tradisi Marxis memperlihatkan otoritarianisme, keteguhan, serta kecenderungan membuat perbedaan yang jelas antara yang salah dan yang benar.59 Dalam hal ini terlihat adanya ketegasan dari tradisi Marxis untuk menentukan mana hal yang dianggap benar, dan mana yang dianggap salah. Dengan adanya pembeda yang jelas antara hal yang salah dan hal yang benar, maka tidak akan muncul keraguan untuk mengambil sikap berdasarkan pakem-pakem kebenaran yang

57

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 99-104 58

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 123 59


(53)

ada. Namun justru melalui konsep ini pers tidak memungkinkan menjadi lembaga yang dapat memberikan kritik terhadap pemerintah,

bahkan pers dianggap sebagai “alat untuk menginterpretasi doktrin,

melaksanakan kebijakan-kebijakan kelas pekerja atau partai militan” dan kontrol terhadap pers itu sendiri dipegang oleh mereka yang memiliki kekuasaan baik di bidang percetakan, penerbitan, maupun pemilik stasiun siaran.60

Dengan demikian terlihat bahwa pers dalam teori pers soviet komunis ini tidak memiliki kebebasan bergerak karena setiap gerakannya dikontrol dan diawasi oleh penguasa. Pers juga tidak bekerja secara independen untuk masyarakat, melainkan menjadi corong penguasa untuk mengukuhkan doktrin kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pers dituntut untuk berpihak kepada para penguasa yang memiliki akses dan kemudahan dalam bidang penyampaian informasi kepada masyarakat.

Kekuasaan dalam teori Soviet ini bersifat sosial karena berada di orang-orang, bersembunyi di lembaga sosial, serta dipancarkan dalam tindakan masyarakat.61 Wilbur Schramm dalam buku Empat Teori Pers

mengatakan bahwa “kekuasaan ini mencapai puncaknya (a) jika ia digabungkan dengan sumberdaya alam dan kemudahan produksi dan

distribusi, dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan”.62

60

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 127 61

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 62


(54)

Adapun sumber kepemimpinan dalam kekuasaan pada teori Soviet berasal dari partai komunis. Partai ini dianggap memiliki hak untuk bertindak sebagai penjaga dan pemimpin massa.63 Sebagai penjaga dan pemimpin massa, partai tentu memiliki kewenangan untuk menentukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian peran partai menjadi lebih aktif, dan peran massa menjadi semakin pasif.64 Partai ini menjalankan kepemimpinan dalam prakteknya dengan memiliki tuntutan-tuntutan.

Pada prakteknya, tuntutan partai Soviet adalah sebagai berikut: (1) paling pertama, partai berusaha menempatkan kandidat-kandidatnya pada pos-pos pemerintahan dalam pemilihan Soviet – pekerja terbaik yang mengabdi untuk kepentingan pembangunan sosialis dan sangat dipercaya oleh massa rakyat. Dalam hal ini partai

berhasil… (2) “partai memeriksa kerja organ-organ pemerintahan dan organ-organ kekuasaan yang mengoreksi kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan tak terhindarkan, membantu mengambil keputusan pemerintahan dan mencoba memastikan dukungan massa bagi mereka – dan tak ada satu keputusan pun yang diambil tanpa arahan-arahan dari partai.” (3) “Dalam membuat rencana kerja bagi sebuah organ kekuasaan tertentu – baik dalam bidang industry dan pertanian maupun dalam bidang perdagangan dan kebudayaan – partai memberi pengarahan-pengarahan umum yang menentukan sifat dan

arah kerja itu…”65

Jika dalam teori ini massa atau lebih khususnya pers harus tunduk kepada partai, maka partai pun harus tunduk kepada kediktaktoran birokrasi dan pimpinan pusatnya.66 Dalam hal ini terlihat adanya sikap penguasaan berantai, dengan partai sebagai pihak penengah, dikuasai namun juga menguasai.

63

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 64

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 65

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 136 66


(55)

Konsep Soviet memiliki beberapa pandangan, diantaranya: (1) menurut pandangan Soviet, tidak mungkin ada kebebasan yang absolut, (2) menurut pandangan Soviet, yang berguna adalah kebebasan untuk menyatakan apa yang mereka anggap benar, (3) di Uni Soviet kebebasan yang bertentangan dengan negara tidak diizinkan, (4) Soviet menjamin akses dan menghapuskan kontrol-kontrol yang tersembunyi, dan (5) kebebasan bertanggung jawab erat terikat dalam teori Soviet.67

Pandangan tidak adanya kebebasan mutlak dari teori ini tentu didasari dari kenyataan bahwa pers harus tunduk kepada partai, dan partai harus tunduk kepada keditaktoran penguasa. Adanya sikap penguasaan ini secara langsung membatasi kebebasan yang dimiliki pers. Teori pers soviet komunis ini juga kerap disebut dengan

panggilan “totalitarian”.

Teori totalitarian dan teori otoritarian memiliki persamaan dalam

penggunaan kata “kebebasan” untuk masyarakat, yang mana

kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah untuk kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian adalah kebebasan untuk melancarkan kepentingan partai.68

67

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 147-150 68 Fachri, “Empat Teori Pers”, artikel diakses

pada 12 Mei 2016 dari https://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/empat-teori-pers/


(56)

Adapun beberapa perbedaan keempat teori pers secara umum dapat dilihat pada tabel berikut:69

Otoritarian Libertarian Tanggung jawab sosial

Soviet- totalitarian

Berkembang Di Inggris pada abad 16 dan 17; dipakai secara meluas di dunia dan masih dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini Di Inggris dipakai setelah 1688, dan kemudian di AS; di tempat lainnya teori ini juga

berpengaruh

Di AS pada abad ke 20

Di Uni Soviet

Muncul dari Filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan absolut, atau kedua-duanya Tulisan-tulisan Milton, Locke, Mill, dan filsafat umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi Tulisan W.E Hocking. Komisi kebebasan pers, para pelaksana media; kode-kode etik media Pemikiran Marxis- Leninis- Stalinis dengan campuran pemikiran Hegel dan pandangan orang Rusia abad 19 Tujuan utama Mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa; dan mengabdi pada negara Memberi informasi, menghibur, dan berjualan Memberi informasi, menghibur, dan berjualan

– tetapi terutama untuk mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi Memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktaktoran partai Siapa yang berhak menggunaka n media?

Siapa saja yang punya hak paten dari kerajaan atau izin lain semacam itu

Siapa saja yang punya kemampuan ekonomi untuk menggunakann ya Siapa saja yang ingin mengatakan sesuatu Anggota-anggota partai yang loyal dan ortodoks Bagaimana media diawasi Melalui paten-paten dari pemerintah, Dengan “proses pelurusan sendiri untuk Melalui pendapat masyarakat, Pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi 69


(57)

(dikontrol)? serikat-serikat kerja, izin-izin, dan kadang-kadang sensor mendapatkan kebenaran” dalam “pasar ide yang bebas”; serta melalui pengadilan tindakan-tindakan konsumen, etika-etika kaum profesional oleh pemerintah Apa saja yang dilarang? Kritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa Penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan penghianatan pada massa perang Invasi serius terhadap hak-hak perorangan yang dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat Kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai

Pemilikan Swasta

perorangan atau umum (masyarakat) Terutama perorangan Perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil alih demi kelangsunga n pelayanan terhadap masyarakat Masyarakat Perbedaan utama dengan teori lainnya Media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun tidak harus dimiliki pleh pemerintah Media massa adalah alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lainnya Media harus menerima tanggung jawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak harus ada pihak yang mengusahaka n agar media mau

menerimanya

Media massa adalah milik negara dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara


(58)

E. Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku dan tata krama penerbitan.70 Dasar berlakunya Kode Etik Jurnalistik yang sekarang berlaku antara lain berdasarkan kesepakatan 29 organisasi pers seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 14 maret 2006, peraturan Dewan Pers No. 6/peraturan-DP/V/2008, serta pasal 7 ayat 2 undang-undang no. 40 tahun

1999 tentang pers yang menyebut “wartawan Indonesia memiliki dan

menaati Kode Etik Jurnalistik”.71

Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini sudah dirancang dengan memperhatikan kemungkinan daya lakunya di berbagai media. Kode Etik Jurnalistik mengandung nilai-nilai dasar di bidang jurnalistik yang dapat dipakai di semua media. Dengan demikian Kode Etik Jurnalistik ini juga berlaku untuk media cetak, radio, televisi, dan sebagainya.72

Inti kandungan dari Kode Etik Jurnalistik adalah empat asas, yakni asas moralitas, asas demokratis, asas profesionalitas, dan asas supremasi hukum.73 Asas moralitas adalah nilai-nilai moralitas yang menjadi kandungan utama dari Kode Etik Jurnalistik, Asas demokratis adalah nilai demokratis yang dikandung oleh Kode Etik Jurnalistik, Asas

70

Menurut Kees Bertens seperti dikutip dalam Rosihan Anwar, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), h. 11-12

71

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2012), h. 329

72

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 334

73

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 336


(59)

profesionalitas adalah nilai-nilai professional yang dikandung dalam Kode Etik Jurnalistik, Dan asas hukum dalam Kode Etik Jurnalistik adalah nilai hukum yang diadopsi dan atau didukung oleh Kode Etik Jurnalistik.74

Kandungan asas moralitas dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya adalah: (1) wartawan tidak boleh beritikad buruk; (2) wartawan tidak boleh membuat berita cabul dan sadis; (3) wartawan tidak menyebut identitas korban kesusilaan; (4) wartawan tidak menyebut identitas anak-anak yang melakukan kejahatan; (5) wartawan tidak berprasangka dan diskriminatif terhadap segala jenis perbedaan, baik itu perbedaan jenis kelamin, bahasa, suku agama, dan antar golongan (SARA); (6) wartawan tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, dan sakit (jasmani dan rohani); (7) wartawan tidak menerima suap; (8) wartawan menghormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan umum; dan (9) wartawan melaksanakan kewajiban koreksi.75

Asas demokratis dalam Kode Etik Jurnalistik meliputi keharusan wartawan untuk menghasilkan berita yang berimbang dan bersikap independen, serta kewajiban untuk melayani hak jawab dan hak koreksi.76

Adapun dalam asas profesionalitas, Kode Etik Jurnalistik mengandung nilai-nilai profesional yang harus dimiliki oleh para wartawan seperti: (1) wartawan harus membuat berita yang akurat; (2) menunjukkan identitas kepada narasumber; (3) menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; (4) selalu menguji informasi; (5) dapat membedakan fakta dan opini; (6) wartawan juga tidak boleh membuat berita bohong dan fitnah; (7) wartawan diminta untuk mencantumkan waktu peristiwa dan atau pengambilan/ penyiaran gambar; (8) wartawan juga harus menghargai ketentuan embargo, off the record, informasi latar belakang dan (9) wartawan juga harus menjelaskan reka ulang.77

74

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 336-340

75

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 337

76

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 339

77

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 338


(60)

Terakhir, asas supremasi hukum diantaranya wartawan tidak boleh melakukan plagiat, wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, wartawan memiliki hak tolak, serta tidak menyalah gunakan profesinya.78

Keempat asas tersebut merupakan intisari dari Kode Etik Jurnalistik secara keseluruhan. Kode Etik Jurnalistik dikeluarkan oleh Dewan Pers. Dewan Pers dibentuk berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.79 Adapun fungsi dibentuknya Dewan Pers berdasarkan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 diantaranya adalah untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Selain itu Dewan Pers juga berfungsi untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, serta mendata perusahaan pers.80

78

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 341

79

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 222

80

Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 223


(61)

Adapun Kode Etik Jurnalistik yang saat ini berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut:81

Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

b. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

c. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan ojektif ketika peristiwa itu terjadi.

d. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

e. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

81 Dewan Pers, “Kode Etik Jurnalistik”, diakses pada 7 Maret 2016 dari http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik


(1)

Jadi poinnya adalah menyajikan dengan setulus hati dan positif?

Iya, ya seperti itu lah. hahaha

Berapa jumlah wartawan lampu hijau?

Jakarta 5 wilayah, tangerang, bekasi, bogor, depok. Udah 8. Cirebon, indramayu satu orang. Tasik satu orang, sama purwakarta satu orang.

Bagaimana teknis kerja?

By phone, menggunakan laptop, modem. Jadi tinggal dikirim aja. Kebanyakan ya via telepon aja. Tapi tetap untuk hari senin wajib hadir semua untuk rapat redaksi. Jadi perwakilan setiap wilayah juga tetap harus datang untuk kita rapat. Rapat menyamakan persepsi, apa yang akan diberitakan, apa yang bisa dikerjakan bareng-bareng.

Adakah variasi lain dalam pemberitaan?

Untuk edisi minggu kita lebih bikin ke feature. Jadi mengedukasinya itu dengan feature. Kita punya tema apa, jadi fokusnya ke situ. Tema per halaman. Ada juga tentang profil orang, politikus, atau juga kadang profil kepolisian. Kadang yang bukan pejabat juga kita bikini profil. Kaya tukang sampah. Ya itu saya bilang. Kalo kita ngikutin pasti ada hal unik dari diri dia yang bisa kita angkat.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)