ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PENITIPAN

BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYURIP DESA

SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN

BLITAR

SKRIPSI Oleh

Livia Khusnul Insyiyah NIM. C02211089

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

Surabaya 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

v ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Penitipan Beras Di Toko Beras Di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

Dalam penelitian ini data yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui proses observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil wawancara dan observasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu menggambarkan konsep penitipan beras ini dalam hukum Islam.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik penitipan Analisi Waka>lah terhadap praktik penitipan beras di toko beras yang dilakukan oleh penitip dan toko dibenarkan dalam Islam, karena dalam hal penitipan ini pihak toko sebagai muwak>il, walaupun akad awalnya adalah titipan tetapi secara tidak langsung ini adalah perintah orang yang menitipkan untuk mewakilkan penjualan. Dan wakil dalam penjualan ini boleh selagi tidak melanggar syarat dan ketentuan. Serta adanya keridhaan dan rela sama rela.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka saranya Waka>lah (wakil) sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena waka>lah dapat membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang

telah direncanakan. Hukum waka>lah adalah boleh, karena waka>lah dianggap

sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama waka>lah tersebut bertujuan

kepada kebaikan, dan dalam waka>lah (perwakilan) ini telah sesuai dengan hukum Islam.


(6)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

G. Kajian Pustaka ... 9

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II LANDASAN TEORI TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS ... 19

A. Pengertian Waka>lah ... 18

B. Dasar Hukum Waka>lah ... 21

C. Syarat dan Rukun Waka>lah ... 26

D. Macam-MacamWaka>lah ... 29


(7)

ix

F. Fatwa MUI tentang Waka>lah ... 30

G. Aplikasi Waka>lah dalam kehidupan sehari-hari ... 36

H. Tindakan Wakil ... 39

I. Akibat Hukum Waka>lah ... 43

J. Tujuan adanya Waka>lah... 45

K. Berakhirnya akad Waka>lah ... 45

BAB III GAMBARAN TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON BLITAR ... 45

A. Gambaran Umum Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 45

B. Proses Pelaksanaan Penitipan Beras ... 50

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR ... 55

A. Analisis terhadap tradisi penitipan beras di tokoberas di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 55

B. Analisis Hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ... 57

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran... 65 DAFTAR PUSTAKA


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi untuk mengisi dan memakmurkan hidup dan kehidupan ini sesuai dengan tata aturan dan hukum-hukum Allah SWT.1 Manusia secara kudrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, yaitu manusia saling membutuhkan satu sama lain, baik dalam pikiran, berinteraksi, dan melengkapi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam melaksanakan hidup dan kehidupan, Islam selain mensyari‟atkan akidah dan ibadah yang benar sebagai alat penghubung antara hamba dan penciptanya juga merumuskan tata cara yang baik dan benar dalam muamalah sebagai penghubung antara manusia satu sama lain. Muamalah adalah aturan-aturan Allah SWT yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.2

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan manusia khususnya umat Islam dapat melakukan interaksi sosial sehari-hari harus memenuhi ketentuan yang ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, apabila muamalah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada, maka semua manusia akan dapat memenuhi kebutuhanya masing-masing.

1Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 1.


(9)

2

Muamalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antara manusia. Dalam pengertian harfiah yang bersifat umum ini, muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Muamalah merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau “pergaulan manusia dengan Tuhan”.3 Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai kewajiban dan hak. Dalam penunaian kewajiban, seseorang dituntut supaya menunaikan kewajibannya itu secara langsung, sebab hal ini termasuk tanggung jawabnya. Demikian pula dalam hal penerimaan hak-hak.

Dalam agama Islam dikenal adanya lembaga waka>lah yang berfungsi memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang akan melakukan sesuatu tugas di mana ia tidak bisa secara langsung menjalankan tugas itu, yakni dengan jalan mewakilkan atau memberi kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama yang mewakilkan atau pemberi kuasa. Karena itu, waka>lah ini merupakan suatu persoalan yang penting, apalagi pada masa sekarang.4

Melihat betapa pentingnya posisi waka>lah dalam konteks sosial kemasyarakatan, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar untuk merumuskan tata aturan dan pelaksanaan transaksi ini agar tidak melenceng dari aturan syari‟at Islam dan dapat memberikan manfaat bagi yang melakukannya, sehingga tujuan utamanya terpenuhi tanpa merugikan salah satu pihak.

Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa> :29, sebagai berikut:

3Gufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual, 1.


(10)

3

‎‎ ‎‎‎ ‎‎‎‎‎‎‎‎ ‎‎‎‎‎ ‎‎‎‎‎‎‎‎‎‎

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bat}il, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu5.

Selain jual beli, maka perwakilan (waka>lah) juga termasuk salah satu kegiatan mu‟amalah yang terjadi di masyarakat dan tentunya juga memerlukan perhatian penting agar pengaplikasianya dapat berjalan sesuai dengan syari‟at Islam, dan pelaksanaannya pada umumnya diserahkan pada akal manusia, karena pelaksanaanya diserahkan kepada apa yang dianggap baik oleh umat, maka dapat saja pelaksanaanya berbeda antara satu lingkungan yang lain dan pula mengalami perkembangan dan perubahan. Hukum Islam memberi ketentuan bahwa pada dasarnya pintu perkembangan muamalah senantiasa terbuka lebar. Berangkat dari kondisi semacam ini, sangatlah dimungkinkan terjadinya praktek-praktek penyelenggaraan jual beli dan lainya yang nantinya tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kondisi ini bila tidak diantisipasi dengan baik, akan dapat munculkan praktek jual beli yang merugikan salah satu pihak.

Sementara itu dalam pelaksanaan penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini, berawal dari warga apabila ada suatu hajatan atau acara besar pasti banyak warga yang datang untuk bowo, dan saat bowo banyak warga yang membawa beras dan beras yang diperoleh oleh tuan rumah

5 Departemen Agama RI, A-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Quran, 2007), 388.


(11)

4

kwintal. Untuk mengatasi kerusakan beras atau hal-hal lain yang tidak diharapkan maka tuan rumah mempunyai inisiatif untuk menitipkan beras tersebut ke toko beras, dan pihak toko pun member pilihan beras ini diuangkan atau tetap dititipkan, dan penitip pun tetap memilih untuk menitipkan berasnya. Pada saat penitipan pihak toko memperjualbelikan beras tersebut yang keuntungan tidak diketahui oleh orang yang menitipkan beras, sela beberapa bulan orang yang menitipkan akan meminta kembali beras dengan cara sedikit demi sedikit, yang mana ada kerancuan pada akad yang digunakan dalam pertanggung jawaban terhadap resiko-resiko yang terjadi di dalamnya akibat terlalu lama waktu penyerahan beras tersebut. Penitipan beras yang terjadi di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini telah berlangsung selama beberapa tahun lamanya dan sudah menjadi tradisi atau adat di Dusun tersebut.6

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin mengadakan penelitian yang lebih mendalam dan jelas agar dapat diketahui kejelasan tata cara, mekanisme, prosedur, serta praktik penitipan beras di toko beras yang terjadi di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar apakah sesuai dengan syarat dan aturan dalam prespektif hukum Islam.


(12)

5

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Melalui latar belakang yang telah peneliti paparkan tersebut di atas, terdapat beberapa problema dalam pembahasan ini yang dapat peneliti identifikasikan, yaitu:

1. Praktik penitipan beras.

2. Sistem Penitipannya dalam praktik penitipan beras.

3. Ketidak jelasan akad yang digunakan dalam penitipan beras.

4. Adanya kerugian sepihak yang dialami oleh orang yang menitipkan beras. 5. Analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas, agar masalah sesuai dengan kebutuhan penelitian maka dibatasi sebagai berikut:

1. Praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

2. Analisi hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah ini, maka dapat dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar?


(13)

6

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras

di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

E. Kegunaan Hasil Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam penelitian ini, maka kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam dua aspek, sebagaimana berikut:

1. Teoritis (aspek keilmuan), yaitu hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum, yakni dengan memperkaya dan memperluas khazanah ilmu tentang bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, dan menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk pengembangan hukum Islam dalam bidang Muamalah.


(14)

7

2. Praktis (aspek terapan), yaitu Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya yang memiliki minat pada tema yang sama dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan pemantapan kehidupan beragama khususnya yang berkaitan dengan masalah penitipan., dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi penitipan beras.

F. Definisi Operasional

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan agar tidak terjadi kesalahpahaman pembaca dalam mengartikan judul skripsi ini, maka penulis memandang perlu untuk mengemukakan secara tegas dan terperinci maksud dari judul skripsi di atas.

Hukum Islam : Dalil Allah SWT atau sabda Nabi Muhammad saw

yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukal>af, baik mengandung perintah, larangan, pilihan, atau ketetapan, yang menjelaskan tentangwaka>lah.7

Tradisi Penitipan beras di toko beras : sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Transaksi yang dilakukan oleh orang yang menitipkan beras di toko beras. Setelah dititipkan beras tersebut diperjualbelikan oleh pemilik toko


(15)

8

dan hasil uangnya tidak diberikan kepada orang yang menitipkan beras. Suatu saat beras tersebut akan diminta kembali oleh orang yang menitipkan beras dengan cara sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan yang menitipkan beras.

G. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian tersebut.8

Karya tulis yang membahas masalah ini baik dari konsepnya dan pembahasanya sudah cukup banyak, ‎diantaranya: ‎skripsi dengan judul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Jual Beli Beras Bersubsidi (Raskin) Di Desa Ngares Kidul Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto. Oleh Ilma Pratiwi Nur Amalia, tahun 2012. Dalam kajian ini menjelaskan bahwa petugas pendistribusian raskin dalam sistem jual beli beras bersubsidi (raskin) di Desa Ngares Kidul ini tidak amanah karena tidak adil dan mengandung unsur dzalim. Hal ini tidak lain karena petugas tidak mempertimbangkan proporsi warganya yang berhak mendapatkan bantuan raskin berdasarkan perbedaan klasifikasi yang adil dan disyariatkan. Akibatnya, tidak terciptanya keadilan dalam distribusi. Sekalipun dalam Islam melarang pendistribusian suatu harta menumpuk pada satu kelompok

8Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014), 8.


(16)

9

tertentu. Tetapi karena dalam hal ini yang didistribusikan adalah bantuan orang miskin, jadi orang kaya tidak berhak mendapatkanya. Apabila orang kaya protes, maka sama saja mereka memakan hak orang miskin dengan cara yang bat}il (Q.S al-Baqarah: 188).9

Skripsi yang berjudul “Analisis Al-Urf Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Sistem Pengupahan Buruh Tani Di Desa Panyaksagan Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan. Oleh Siti Lisah, tahun 2012. Menjelaskan tentang upah yang bentuknya ada dua macam dan upahnya tidak dijelaskan terlebih dahulu sebelum melakukan pekerjaan tersebut, upahnya berbentuk uang dan hasil panen padi berupa gabah dan upah yang berupa hasil panen ini bagi sebagian besar pemilik sawah tidak merelakanya. Tokoh agama di Desa Panyaksagan terdapat dua pandangan tentang sistem pengupahan tani tersebut, yaitu 1) tokoh agama yang membolehkan dan 2) tokoh agama yang tidak membolehkan. Tokoh agama yang membolehkan ini karena, sitem pengupahan buruh tani ini merupakan sudah menjadi suatu adat kebiasaan, dan tokoh agama yang tidak membolehkan tentang sistem pengupahan buruh tani, karena tidak sesuai dengan syarat upah atau ujrah serta tidak sesuai dengan nas.10

Skripsi yang terakhir yaitu yang berjudul, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tangguh Serah Dalam Jual Beli Beras (Studi Kasus Di Desa Pandemawu Barat Pamekasan Madura). Oleh Sitti Fuzatur Rahmah, tahun

9Ilma Pratiwi Nur Amalia, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Jual Beli Beras Bersubsidi (Raskin) Di Desa Ngares Kidul Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto (Skripsi–IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 69.

10Sitti Lisah, Analisis Al-Urf Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Sistem Pengupahan Buruh Tani Di Desa Panyaksagan Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan”.(Skripsi–IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 59.


(17)

10

2008. Dalam kajian ini menjelaskan tentang pembahasan penjualan beras ketika musim panen yang sudah bibayarkan ketika akad namun beras tersebut masih dititipkan kepenjualnya atas permintaan pembeli. Adapun tinjauan hukum Islam terhadap transaksi tersebut adalah sah karena beras yang diperjualbelikan telah ada dan dapat diserahkan pada waktu transaksi, sedangkan beras yang dititipkan kepada penjual dan tidak diambil pada saat akad, terjadi karena kesepakatan kedua belah pihak dan masih sejalan dengan aturan dalam prinsip-prinsip jual beli Islam.11

Dari kajian pustaka skripsi-skripsi di atas bahwa ada perbedaan yang mendasar. Pada skripsi yang pertama peneliti mengambil objek yang sama yaitu beras dan di dalamnya baik dari rumusan masalah dan hukum Islamnya berbeda. Begitupun pada skripsi yang kedua bahwa rumusan masalah dan hukum Islamnya berbeda. Dan pada skripsi yang ketiga memang mengalami kesamaan dalam objek akan tetapi rumusan masalah, masalah dan hukum Islamnya berbeda, dimana pada skripsi yang ketiga ini membahas tentang beras yang diperjualbelikan akan tetapi sama pembeli beras tersebut di titipkan ke penjual atau di tangguh serahkan.

Dari sini sudah tampak bahwa tidak ada pengulangan atau duplikasi pada skripsi-skripsi sebelumnya. Untuk mengetahui dan memahami adanya praktik penitipan beras seperti ini yang sudah ‎berlangsung cukup lama dan menjadi tradisi oleh sebagian masyarakat di Dusun Banyuurip Desa

11Sitti Fauzatur Rahmah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tangguh Serah Dalam Jual Beli Beras ( Study Kasus Di Desa Pandemawu Barat Pamekasan Madura).(Skripsi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 45.


(18)

11

Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, maka di sini penulis perlu untuk mengadakan penelitian.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian ini memuat data yang dikumpulkan, yakni data yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah mengenai bagaimana praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, yaitu:

1. Data yang dikumpulkan a.Praktik penitipan beras b.Jenis beras yang digunakan c.Cara melakukan ija>b dan qabu>l d.Transaksi penitipan beras

e.Pihak-pihak yang terkait dengan praktik ini f. Cara pengembalian obyek atau beras tersebut g. Hukum Islam tentang praktik penitipan ini. 2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian yaitu subyek dari mana data diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua bentuk sumber data, yaitu:


(19)

12

a. Sumber primer ialah, sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.12 Dalam penelitian ini, hasil dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada pihak-pihak yang bersangkutan antara lain: Kepala Desa Sumberingin dan perangkatnya, Tokoh Agama, pihak-pihak yang melakukan praktik penitipan beras ini yaitu masyarakat sebagai penjual dan pemilik toko sebagai pembeli serta pihak yang mengetahui langsung tentang tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

a. Sumber sekunder yaitu sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau laporan peneliti terdahulu. Adapun sumber skunder dalam penelitian ini adalah:

1) Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah 2) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah

3) Al-Banna Jamal, Manifesto Fiqih Baru 3‎ 4) Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh 5) Dr. Asmawi, M.Ag,

6) Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Asil>latuhu

7) Dr. Muhammad Syafi‟I Antonio, M.Ec, Bank Syariah dari Teori ke Praktik.

3. Teknik Pengumpulan data


(20)

13

Untuk memperoleh data yang kongkrit, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi, guna memperoleh data secara langsung yang dapat menjawab persoalan tentang rumusan masalah, dengan cara:

1) Menggunakan wawancara langsung dengan masyarakat yang

terlibat dalam tradisi penitipan beras, 2) Wawancara langsung pemilik toko,

3) Wawancara langsung dengan Tokoh Agama.

b. Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data secara tertulis, berupa catatan, transkip, arsip, dokumen, buku tentang pendapat (doktrin), teori, dalil, atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

4. Teknis Analisis Data

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yaitu penelitian terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

a. Metode Kualitatif Deskriptif

Metode yang diawali dengan menggambarkan kenyataan yang ada di lapangan mengenai praktik penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon


(21)

14

Kabupaten ‎Blitar, kemudian diteliti dan dianalisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

b. Metode Deduktif

Metode yang awali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai waka>lah (perwakilan) dan selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan mengenai praktik tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, kemudian diteliti dan analisis sehingga hasilnya dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai praktik tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

I. Sistematika Pembahasan

Demi mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sistematika pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab yang masing-masing ada keterkaitan serta merupakan suatu kesatuan yang utuh. Bab-bab tersebut merupakan kebulatan penjelasan dalam penelitian ini.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum tentang pola dasar penulisan skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil


(22)

15

penelitian yang berisi, definisi operasional, metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, teknil pengumpulan data, metode analisis data dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan tentang landasan teori yang berkaitan dengan studi ini, yaitu konsep umum tentang waka>lah dalam hukum Islam. Bab ini memuat beberapa subbab yaitu: pengertian waka>lah, rukun dan syarat waka>lah, Macam-macam waka>lah, landasan hukum waka>lah, konsep waka>lah.

Bab ketiga merupakan laporan hasil penelitian lapangan yang membahas tentang pokok pelaksanaan praktik penitipan beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanakulon Kabupaten Blitar. Dalam bab ini memuat tentang gambaran tentang latar belakang proses terjadinya tradisi penitipan beras di Dusun Banyuurip. Seperti sosial, budaya, demografisnya, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, dan latar belakang agama.

Bab keempat, membahas dan menganalisis terhadap pokok-pokok permasalahan yang sesuai dengan data yang diperoleh, yaitu memuat tentang analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, yang meliputi: analisis terhadap pelaksanaan tradisi penitipan beras, serta analisis hukum Islam terhadap tradisi penitipan beras di toko beras di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar.

Bab kelima merupakan penutup berupa kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan hasil dari analisis pembahasan, dan disampaikan beberapa saran dari hasil kesimpulan.


(23)

16 BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN

SANANKULON KABUPATEN BLITAR

A. WAKA>LAH

1. Pengertian Wakal>ah

Secara bahasa arti waka>lah atau wika>lah (dengan waw difathah dan dikasrah) adalah melindungi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎  ‎   ‎  ‎   ‎   ‎   ‎  ‎‎‎

Artinya: “Dan mereka menjawab, cukuplah Allah SWT (menjadi penolong) bagi kami dan dia sebaik-baiknya pelindung.(Ali Imran: 173)1

Yaitu al-Ha>fizh (pelindung atau penjaga). Dan firmannya,

  ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎   ‎  ‎‎‎

Artinya: “Tidak ada tuhan selain dia, maka jadikanlah dia sebagai pelindung.(Al-Muzzammil: 9)2

1 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, 388. 2 ibid


(24)

17

Al-Farra‟ berkata, “maksud dari wakiila dalam ayat ini adalah yang melindungi.

Waka>lah juga artinya penyerahan. Misalnya, wakkala amrahu ilafulaan (dia menyerahkan urusanya kepada si fulan). Misalnya juga ucapan, “Tawakkaltu alallah (saya berserah diri kepada Allah SWT).”

Seperti juga dalam firman Allah SWT,

‎‎‎ ‎‎‎ ‎‎‎‎ ‎‎‎ ‎‎

‎‎‎ ‎‎‎‎

Artinya: “Dan hanya kepada Allah SWT saja hendaknya orang-orang yang beriman berrtawakal.(Ibrahim: 12)3

Dan Allah SWT berfirman ketika mengabarkan tentang Nabi Hud a.s.,

‎ ‎‎‎‎‎‎‎‎ ‎‎‎‎ ‎‎‎‎‎

‎ ‎‎‎‎

Artinya: Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah SWT, Tuhanku dan Tuhanmu.(Hud: 56)4

Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam

kehidupan manusia.Waka>lah termasuk salah satu akad yang menurut

kaidah Fiqh Muamalah, akadwaka>lah dapat diterima.Waka>lah itu

3Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, 388. 4 ibid


(25)

18

berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwi>d}), yang diartikan juga dengan

memberikan kuasa atau mewakilkan.Adapula pengertian-pengertian

lain dariwaka>lah yaitu:

a. Waka>lahatau wika>lah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau

pemberian mandat.

b. Waka>lahadalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak

pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.

Dalam definisi syara, waka>lah menurut para ulama Mazhab Hanafi adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain di tempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak mengikat dan diketahui, atau penyerahan tindakan hukum dan penjagaan terhadap sesuatu kepada orang lain yang menjadi wakil. Tindakan hukum ini mencakup pembelanjaan terhadap harta, seperti jual beli, juga hal-hal lain yang secara syara bisa diwakilkan seperti juga memberi izin kepada orang orang lain untuk masuk rumah.


(26)

19

Para ulama Mazhab Syafi‟I mengatakan bahwa waka>lah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik kewenangan asli masih hidup. Pembatasan dengan ketika masih hidup ini adalah untuk membedakanya dengan wasiat.5 Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa al- waka>lah adalah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu. Para ulama Al-Hanabillah berpendapat bahwa al- waka>lah ialah permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia.

Menurut Syayyid al-Bakri Ibnu al-„Arif billah al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati al- waka>lah ialah seseorang menyerahkan urusanya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian. Menurut Imam Taqy Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini bahwa waka>lah ialah seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelolanya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika hidupnya.


(27)

20

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa al- waka>lah ialah akad penyerahan kekuasaan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya dalam bertindak.

Menurut Idris Ahmad al- waka>lah ialah seseorang yang menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara‟ supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang diwakilkan masih hidup. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al- waka>lah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang diwakilkan masih hidup.6

2. Landasan Hukum Waka>lah

a. Al-Quran

Salah satu dasar dibolehkannyaal- waka>lah adalah firman Allah SWT., berkenaan dengan kisah Ashabul Kahfi,

ََ يَاَن ثِبَلَاوُلاَقَ مُت ثِبَلَ مَكَ مُه نِمٌَلِئاَقََلاَقَ مُهَ ن يَ بَاوُلَءاََّتَيِلَ مُاَن ثَعَ بََكِلَذَكَو

ََض عَ بَ وَأَاًم و

َ مُكّبَرَاوُلاَقٍَم وَ ي

َُمَّ عَأ

َ رُظ نَ ي َّ فَِةَنيِدَم لاَ ََِإَِِذََ مُكِقِرَوِبَ مُكَدَحَأَاوُثَع باَفَ مُت ثِبَلَاَِِ

(َاًدَحَأَ مُكِبَّنَرِع شُيَلَوَ فَََّّ تَي لَوَُه نِمَ ٍق زِرِبَ مُكِت أَي َّ فَاًماَعَطَىَك زَأَاَهّ يَأ

٩١

)

Artinya: Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu


(28)

21

berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.

Ayat ini melukiskan perginya salah seorangash-habul Kahfiyang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan. Islam mensyariatkan waka>lah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi dan membutuhkan orang lain untuk menggantikan yang bertindak sebagai wakilnya, dan Ijma para ulama telah sepakat telah membolehkanwakal>ah, karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT QS. Al-Maidah ayat 2 :

َاوُنَواَعَ تَ َلَوَىَو قّ تلاَوَِِر لاَىََّعَاوُنَواَعَ تَو

ىََّع

َ

َُديِدَشََهّّلاَّنِإََهّّلاَاوُقّ تاَوَِناَو دُع لاَوَ ِ ِْ ْا

باَقِع لا

.

Artinya: Dan tolong-menolong lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih.


(29)

22

Waka>lah dipraktekkan berdasarkan beberapa ayat al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. Ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai landasan waka>lah diantaranya adalah:

َاًمَكَحَاوُثَع باَفَاَمِهِن يَ بََقاَقِشَ مُت فِخَ نِإَو

َ نِم

َ

َاًح ََ صِإَاَديِرُيَ نِإَاَهِّ َأَ نِمَاًمَكَحَوَِهِّ َأ

ََهّّلاَّنِإَاَمُهَ ن يَ بَُهّّلاَِقِفَوُ ي

ََ

اًرِبَخَاًميَِّعََناَك

Artinya: Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.Jika kedua hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya allah akan memberikan taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. (an-Nisa : 35)

Ayat diatas mengandung pesan tersurat tentang diperkenankannya mengangkat seorang wakil dari masalah keluarga. Dalam hal ini digambarkan tentang hubungan suami-istri. Ia membicarakan tentang perselisihan keluarga (waktu itu perselisihan antara Sa‟ad dan istrinya) yang hampir mencapai perceraian. Kemudian al Qur‟an mengisyaratkan untuk mengangkat seorang hakim (wakil) dari keduanya untuk memperjelas permasalahannya dan mencari jalan keluar terbaik untuk mereka.

b. Al-Hadits

Banyak hadist yang dapat dijadikan keabsahan wakal>ah, diantaranya:

ََبَأََثَعَ بَ.معّصَِهاََل وُسَر

َِثِراَح اََت نِبََةَن وُم يَمَُاَجّوَزَ فَِراَص نَأ اََنِمًََُجَرَوٍَعِفاَرَا


(30)

23

Artinya:Bahwasannya Rasulullah saw., mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Harits.(Malik no. 678, kitab al-Muwaththa‟, bab Haji)

Artinya Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.(HR Tirmidzi dari „Amr bin „Auf)

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lainnya

c. Ijma

Para ulama pun bersepakat dengan ijma‟ atas dibolehkannya

wakal>ah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya

dengan alasan bahwa hal tersebut jenis ta‟awun atau tolong

menolong atas kebaikan dan taqwa.

Seperti firman Allah SWT“… dan tolong-menolonglah

kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”(Qs. Al-Maidah


(31)

24

Dan Rasulullah saw bersabda (HR Muslim no 4867)“Dan Allah SWT menolong hamba selama hamba menolong saudaranya

“Dalam perkembangan fiqih Islam status waka>lah sempat

diperdebatkan: apakah waka>lah masuk dalam niabah yakni sebatas

mewakili atau kategori wilayah atau wali? hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang.

Pendapat pertama menyatakan bahwa waka>lah adalah niabah

atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwak>il. Pendapat kedua menyatakan

bahwa waka>lah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan)

dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih

baik,sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara

tunai lebih baik, walaupundiperkenankan secara kredit.7

Hukum asal waka>lah adalah dibolehkan. Namun terkadang di

sunahkan jika itu merupakan bantuan untuk sesuatu yang

disunnahkan. Terkadang juga menjadi makruh jika merupakan

bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Hukumnya juga menjadi haram jika merupakan bantuan terhadap sesuatu yang diharamkan. Dan, hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindari

kerugian dari muwak>il .8

7 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), 22-23. 8Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 595.


(32)

25

3. Rukun dan Syarat-syarat Waka>lah

a. Rukun Waka>lah

Rukunwaka>lahdalam KHES pasal 452 ialah: 1) Wakil(orang yang mewakili)

2) Muwak>il(orang yang mewakilkan)

3) Muakkal fih(sesuatu yang diwakilkan)

4) S}ighat(lafadz ija>b dan qabu>l)

b. Syarat-syarat Waka>lah

Sebuah akad waka>lah dianggap syah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) al muwak>il (orang yang mewakilkan) adalah orang yang dianggap sah oleh syari‟at dalam menjalankan apa yang ia wakilkan. Ia harus sudah dianggap cakap bertindak hukum (telah baligh dan berakal sehat).Dalam kitab fathul mu.in ini juga di jelaskan bahwasanya wakalah dikatakan sah apabila muwakkil memiliki kekuasaan pelaksanaan atas suatu perkara saat diikat akad waka>lah.

2) al wakildianggap cakap bertindak hukum dan dianggap sah oleh syari‟at dalam menjalankan sesuatu yang diwakilkan kepadanya.


(33)

26

Wakil juga harus ditunjuk secara langsung dan tegas oleh orang yang mewakilkan untuk menghindari salah pendelegasian tugas. Penunjukan ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. 3) al muwak>al fih( barang yang diwakilkan), adalah:

a) Milik sah dan milik pribadi orang yang mewakilkan. Barang tersebut bukan milik umum, bukan barang yang semua orang bisa memperolehnya. Seperti tidak sah untuk mewakilkan

untuk menggali barang tambang yang belum ada

pemiliknya, sebab barang itu adalah milik umum dan bukan milik pribadi muwakkil.

b) Bukan berbentuk utang kepada orang lain, seperti pernyataan: ” saya tunjuk engkau sebagai wakil saya untuk meminjam uang kepada Ahmad”. Jika hal tersebut dilakukan, maka hutang menjadi tanggung jawab wakil, bukan muwak>il.

c) Merupakan sesuatu yang boleh diwakilkan menurut syara.

d) Menurut jumhur ulama‟ boleh perwakilan dalam masalah ibadah yang bersifat menerima dan menyerahkan kepada yang berhak. Seperti mewakilkan menerima zakat dan kemudian menyerahkannya kepada yang berhak.


(34)

27

Dalam waka>lah disyaratkan keadaanmuwak>al fihdiketahui oleh wakil walaupun hanya dari satu wajah.

1) S}ighat dari pihak muwakkil harus berupa ucapan yang mengindikasikan kerelaan. Sedangkan qobul dari pihak wakil tidak harus diucapkan secara lisan, cukup dengan tidak adanya penolakan darinya.9

4. Macam-Macam Waka>lah

Adapun bentuk-bentuknya dalam KHES pasal 456 dijelaskan bahwa transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan/ atau terbatas, ialah:

a. Waka>lah Muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari waka>lah yang ditentukan. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara terbatas (pasal 468 KHES)

b. Waka>lah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan waka>lah secara luas. Maka melakukan perbuatan hukumnya secara mutlak (pasal 467 KHES)

9 M. Yazid Afandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam lembaga keuangan, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2009), 254.M.L


(35)

28

Sedangkan KUHPer pasal 1795 dan 1796Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.

Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkutpengurusan.

Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.10

5. Konsekuensi Hukum Waka>lah

a. Konsekuensi Hukum Waka>lah

Konsekuensi hukum dari akad waka>lah adalah berlakunya kewenangan wakil untuk melakukan tindakan hukum yang dicakup oleh pewakilan itu.

Jika waka>lah berlangsung dengan sah, maka ia mempunyai sejumlah konsekuensi hukum berkaitan dengan hal-hal yang menjadi kewenangan wakil, hak dan kewajiban yang harus dia lakukan dalam perwakilan jual beli serta berkaitan dengan status benda objek

10Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Bariliati, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 135.


(36)

29

waka>lah yang ada ditangannya; apakah ia sekedar amanah ataukah harus dujamin gantinya.11


(37)

30

6. FATWA DSN MUI TENTANG WAKA>LAH

FATWA

DEWAN SYARI‟AH NASIONAL

NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

W A K A >L A H

ْسب ها ْح ا ْح ا

Dewan Syari‟ah Nasional setelah Menimbang:

a. Bahwa dalam rangka mencapai suatu tujuan sering diperlukan pihak

lain untuk mewakilinya melalui akad waka>lah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.

b. Bahwa praktek waka>lah pada LKS dilakukan sebagai salah satu

bentuk pelayanan jasa perbankan kepada nasabah;

c. Bahwa agar praktek waka>lah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentangwaka>lah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Mengingat : 1. Firman Allah SWT QS. al-Kahfi [18]: 19: ك ك ْ ا ْعب اْ ء س

ْ ْب ، ا ئا ْ ْ ْ ك ،ْ ْ اْ ا ا ْ ا ْ ْ ْعب ، ْ اْ ا ْ ب ْع ْ ْ ا ب اْ عْباف ْ كدح

ْ ب

ْد ْا ْ ظْ ْف ا

كْ ا اعط ْ ْ ْف

ْ ب ْ ْفّ ْ ا عْش ْ ب ادح .


(38)

31

Artinya : "Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)? Mereka menjawab: Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.’”

2. Firman Allah SWT dalam QS. Yusuf [12]: 55 tentang ucapan Yusuf kepada raja:

ْ ْعْجا ع ئا خ ، ْ أْا ْ

ظْ ح ْ ع .

Artinya: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.

3. Firman Allah SWT QS.al-Baqarah [2]: 283: ... ْ ف ْ ْعب ا ْعب ّ ْف ا ْ ا ، ا ْ ها ب ...

Artinya: “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

4. Firman Allah SWT QS.al-Ma‟idah [5]: 2: اْ اع

ع ْا ، ْ ا ا اْ اع ع ْإْا ا ْدعْا .

Artinya: Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.

5. Hadis-hadis Nabi, antara lain:

ْ س ها ص ها ْ ع آ س عب اب عفا اج ، ا ْأْا اج ف ْ ْ ْب احْا ( ا ك ا ف ط ا )


(39)

32

Artinya: “Rasulullah saw mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a.”(HR. Malik dalam al-Muwaththa‟).

اج ا ص ا ْ ع س ا ا ظ ْغ ف ف ب باحْص ا ف س ا ص ا ْ ع آ س : ، ْ عّ ف بحا حْا ،اا ا : ْ ّْع اًس ْ س . ا ا : ا س ا دج ا ا ْ ْ س . ا ف ، ْ ّْع ف ْ ْ ك ْخ ْ سْح

ءا ) ْ ب ْ ع اخ ا ا (

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw untuk menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “menanganinya”. Beliau bersabda,

„Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;‟

lalu sabdanya, „Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)‟.Mereka menjawab, „Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.‟ Rasulullah kemudian bersabda:

„Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar.‟”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah). 6. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf:

حْ ا ئاج ْب ْس ْا ا احْص ح ااح ْ ح ا ا ح ْس ْا ع ش ْ ط ا اطْ ش ح ااح ْ ح ا ا ح .

Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

7. Umat Islam ijma‟ tas kebolehkan wakal>ah, bahkan memandangnya sebagai sunnah, karena hal itu termasuk jenistaawun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang oleh al-Qur'an dan hadis.


(40)

33

ْصأا ف ا اع ْا حابإْا

ا ْ د ْ ّ ع ا ْ ْح .

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H./13 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG WAKALAH Pertama : Ketentuan tentang Waka>lah:

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). 2. Waka>lah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Kedua : Rukun dan Syarat Waka>lah: 1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)

a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.

b. Orang mukallaf atau anakmumayyizdalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili) a. Cakap hukum.


(41)

34

b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya, c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.

3. Hal-hal yang diwakilkan

a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, b. Tidak bertentangan dengan syari‟ah Islam,

c. Dapat diwakilkan menurut syari‟ah Islam.

Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ditetapkan di :Jakarta

Tanggal :08Muharram 1421H. 13 April 2000 M

DEWAN SYARI‟AH NASIONAL

MAJELIS ULAMAINDONESIA

Ketua, Sekretaris,

Prof. KH. Ali Yafie Drs. H.A. Nazri Adlani 7. Aplikasi Waka>lah Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam praktek perbankan syariah, transaksi wakal>ah ibarat pisau dapur. Keberadaannya kurang dirasakan, namun bila tidak ada, baru

terasa betapa pentingnya. Ini karena transaksi wakal>ah sering hanya

menjadi transaksi pendukung dan bukan sebagai transaksi utama. Lihat saja trasaksi pembiayaan murabahah, salam, istishna, seluruhnya


(42)

35

memerlukan transaksi wakal>ah untuk alasan kemudahan. Tanpa

transaksi wakalah niscaya bank syariah akan sangat kerepotan dalam memberikan pembiayaan karena harus membeli sendiri barang yang dibutuhkan debitor. Waka>lah dalam Lembaga Keuangan Syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya

melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuanletter of

creditdan transfer uang.

Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian

kuasa harus cakap hukum. Khususnya pada pembukaanletter of credit,

apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C dapat dilakukan dengan pembiayaan murabbahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.

AkadWaka>lahdapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan: a. Transfer uang


(43)

36

Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akadWaka>lah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagaiAl-Muwak>ilterhadap bank sebagai Al-Wakiluntuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini.

b. Wesel Pos

Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dariAl-Muwakk>l kepada Al-Wakil, danAl-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.

c. Transfer uang melalui cabang suatu bank

Dalam proses ini,Al-Muwak>ilmemberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakanAl-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.


(44)

37

d. Transfer melalui ATM

Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dariAl-Muwak>ilkepada bank sebagaiAl-Wakil. Dalam model ini, NasabahAl-Muwak>ilmeminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri, yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.12

8. Tindakan Wakil

a. Wakil untuk berpekara

Wakil dalam berperkara di hadapkan hakim, pada zaman ini menurut jumhur ulama Mazhab Hanafi memiliki kewenangan untuk mengaku atas nama muwak>il-nya tentang adanya hak orang lain pada muwak>il-nya tersebut selain dalam masalah qishash dan hudud.

Zufar, Malik, Syafi‟I dan Ahmad mengatakan bahwa jika akad wakal>ah itu bersifat mutlak, maka ia tidak mencakup pengakuan atas nama muwaki>l tentang adanya hak orang lain padanya. Karena jika orang lain mewakilkan kepada orang lain


(45)

38

untuk berpekara, maka tidak diterima pengakuanya atas nama muwak>il baik itu pengakuan bahwa muwak>il-nya telah menerima hak orang lain itu maupun yang lainya. Karena akad waka>lah dalam berpekara artinya perwakilan untuk berselisih, sedangkan pengakuan berarti penyelesaian secara damai.

Adapun yang membedakan pengakuan dengan pengingkaran adalah pengingkaran tidak menghentikan sengketa.

b. Wakil untuk menagih utang

Hukum asal yang dinukil dari para imam Mazhab Hanafi menetapkah bahwa seorang wakil untuk menagih hutang mempunyai kewenangan menerima pelunasan utang tersebut. Karena kewenangan menagih tidak bisa tercapai kecuali dengan diterimanya pelunasan hutang, sehingga perwakilan dalam hal ini mencakup perwakilan untuk menerimanya.

Akan tetapi, para ulama kalangan mutaakhiriin dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa seorang wakil dalam menagih utang, Berdasarkan kebiasaan (urf) yang berlaku, tidak mempunyai hak untuk mengambil pelunasan utang dari orang yang berutang.

Wakil dalam menagih hutang tidak memiliki kewenangan untuk mewakilkanya lagi kepada orang lain. Karena, kondisi orang


(46)

39

beda dalam penagihan utang, sehingga terkadang orang berutang merasa tidak nyaman bila ditagih oleh orang-orang tertentu.

c. Wakil untuk mengambil pelunasan hutang

Para ulama Mazhab Hanafi berbeda pendapat apakah wakil untuk mengambil pelunasan hutang mempunyai kewenangan untuk membuktikan dan memastikan adanya hutang itu. Dalil pendapat Abu Hanifah berpendapat bahwa perwakilan dalam mengambil pelunasan hutang adalah perwakilan untuk melakukan pertukaran. Para ulama Mazhab Syafi‟I dan Hambali dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa wakil untuk mengambil pelunasan utang atau barang adalah wakil untuk membuktikan dan memastikan adanya hak muwak>il-nya yang menjadi tanggungan orang lain. Karena pengambilan terhadap pelunasan hutang itu tidak bisa tercapai kecuali dengan adanya pembuktian dan pemastian, maka izin itu ada berdasarkan kebiasaan yang berlaku.

Namun, dalam pendapat yang lain, mereka mengatakan bahwa wakil untuk mengambil pelunasan hutang atau barang bukanlah wakil untuk mengajukan tuntutan. Hal ini mengingat izin untuk mengambil pelunasan utang atau barang bukanlah izin untuk memastikanya, baik berdasarkan kata-kata yang diucapkan muwakil maupun berdasarkan kebiasaan.


(47)

40

Wakil untuk menjual mempunyai kewenangan melakukan tindakan hukum yang mutlak, bisa juga terbatas. Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayarannya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja.

Dia harus menjual dengan harga pada umumnya sehingga dapat dihindarighubun(kecurangan), kecuali penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Jika perwakilan bersifat terikat, wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya, Bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp 10.000,00 maka harus dijual dengan harga Rp 10.000,00.

Bila yang mewakili menyalahi aturan–aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang memberi kuasa, maka perbuatan tersebut bathil menurut pandangan madzhab Syafi‟i. Menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah, bila tidak, maka menjadi batal.

Jika wakil mempunyai kewenangan melakukan tindakan hukum secara mutlak, maka menurut Abu Hanifah wakil boleh


(48)

41

melakukan sesuai dengan kemutlakan tersebut.Sehingga dia boleh menjualnya dengan harga berapa pun, baik sedikit maupun banyak. Juga walaupun dengan harga yang lebih rendah yang cukup jauh dari harga yang umum, juga boleh dengan pembayaran secara kontan ataupun hutang. Dalilnya ada bahwa secara hukum asalnya, lafal mutlak harus diberlakukan sesuai dengan kemutlakanya, dan ia tidak boleh dibatasi kecuali dengan dalil.

Dalam masalah perwakilan untuk penjualan yang mutlak ini, jumhur ulama bependapat sesuai dengan pendapat dua murid Imam Hanafi, yaitu mereka tidak membolehkan wakil menjual sesuatu yang diwakilkan dengan harga yang kurang dari harga umum tanpa izin muwak>il-nya, dan ia diperintahkan untuk berusaha memberikan kebaikan kepadanya. Karena wakil dilarang merugikan muwak>il-nya dan dia diperintahkan untuk berusaha memberikan kebaikan kepadanya.13

9. Akibat HukumWakal>ah

Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatuatasnama orang yang memberikan kuasa. Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan


(49)

42

lisan. Penerimaan suatu kuasa dapatpulaterjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa. Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.

Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkutpengurusan.

Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada keputusan wasit.

Orang-orang perempuan dan anak yang belum dewasa dapat ditunjuk kuasa tetapi pemberi kuasa tidaklah berwenang untuk mengajukan suatu tuntutan hukum terhadap anak yang belum dewasa,


(50)

43

selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan suami pun ia tak berwenang untuk mengadakan tuntutan hukum selain menurut ketentuan-ketentuan Bab 5 dan 7 Buku Kesatu dari Kitab Undang-undang Hukum Perdataini.Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang dengannya penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang telah dibuat.14

10. Tujuan AdanyaWaka>lah

Pada hakikatnya waka>lah merupakan pemberian dan

pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baikmuwak>il(orang yang mewakilkan) danwakil(orang yang mewakili) yang telah bekerja sama/ kontrak, wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan beburuk sangka.

Sisi lainnyawakal>ahterdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka munculah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan


(51)

44

terbantu dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.15

11. Berakhirnya Akad Wakaa>ah

Para ahli fiqih sepakat bahwa akad wakal>ah tanpa upah adalah akad yang tidak mengikat bagi kedua pelaku akad. Adapun akad wakal>ah dengan upah, maka jika dia ji‟alah (sayembara) yaitu didalamnya akad tidak ditentukan waktu atau pekerjaanya, maka menurut kesepakatan para ulama, akad tersebut tidaklah mengikat juga.

Akad wakal>ah ini berakhir karena banyak hal: a. Muwak>il memberhentikan wakilnya

Para ulama sepakat bahwa akad waka>lah berakhir dengan penghentian yang dilakukan oleh muwak>il terhadap wakilnya. Karena sebagaimana diketahuai, waka>lah adalah akad yang tidak mengikat, sehingga secara otomatis dapat dihentikan dengan penghentian muwak>il terhadap wakilnya.

b. Muwak>il melakukan sendiri perkara yang diwakilkan

15Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana


(52)

45

Jika muwak>il (pemilik kewenangan yang asli) melakukan sendiri perkara yang dia wakilkan kepada orang lain, maka akad waka>lah itu pun berakhir sebagaimana menurut kesepakatan para ulama.

c. Selesainya tujuan dari akad waka>lah

Jika perkara yang diwakilkan selesai dilaksanakan oleh wakil, maka akad waka>lah itu pun berakhir, karena ketika itu akad waka>lah menjadi tanpa objek.

d. Muwak>il atau wakil kehilangan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum

Ulama sepakat bahwa kondisi ini terjadi karena kematian, atau menurut jumhur ulama juga karena gila yang terus-menerus. e. Muwak>il menghentikan wakil atau wakil mundur dari akad

wakaalah

Jika wakil berkata, “saya berhenti dari wakaalah ini”, “saya mengembalikan waka>lah ini”, atau “saya keluar dari waka>lah ini”. Maka, dia pun keluar dari akad waka>lah tersebut, karena perkataan itu menunjukkan pengunduran dirinya. Dalam hal ini, para ahli fiqih mensyaratkan muwakkil mengetahui pengunduran diri wakil, hingga dia tidak dirugikan oleh tindakan wakil itu.


(53)

46

f. Keluarnya sesuatu yang diwakilkan dari kepemilikan muwak>il

g. Bangkrut

h. Pengingkaran

i. Pelanggaran wakil

j. Kefasikan

k. Perceraian


(54)

44 BAB III

GAMBARAN TERHADAP TRADISI PENITIPAN BERAS DI TOKO BERAS DI DUSUN BANYUURIP DESA SUMBERINGIN KECAMATAN SANAN

KULON KABUPATEN BLITAR

A. Keadaan Umum Dusun Banyuurip Desa Sumberingin

1. Keadaan Geografis

Dusun Banyuurip merupakan salah satu dusun yang berada di wilayah Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar, jarak dari ibu kota Kabupaten kira-kira 6 Km dengan luas wilayah menurut penggunaanya yaitu : luas pemukiman 65 Ha, luas persawahan 154 Ha, luas perkebunan 85 Ha, luas kuburan 4 Ha, luas pekarangan 48 Ha, dan luas perkantoranya 0,070 Ha. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Ponggok

Sebelah Selatan : Desa Sumberjo

Sebelah Timur : Desa Gledug

Sebelah Barat : Desa Maliran

Dusun Banyuurip Desa Sumberingin merupakan daerah yang tinggi tempat dari permukaan laut 125 mdl dan suhu rata-rata 27 C yang sebagaian besar tanahnya terdiri dari tanah pemukiman dan pertanian.


(55)

45

Sebagaimana wilayah Indonesia yang beriklim tropis, maka demikian terdiri dari dua musim yaitu musim hujan yang jumlah bulanya ada 4 dan musim kemarau 8 bulan.

2. Kependudukan dan Keadaan Sosial Ekonomi

a. Kependudukan

Berdasarkan data terakhir tahun 2014, jumlah penduduk Desa Sumberingin 6500 0rang. Yang terdiri dari :

Laki-laki : 3300 orang Perempuan : 3200 orang b. Keadaan Sosial Ekonomi

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Dusun Banyuurip Desa Sumberingin adalah petani dan peternak.Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik wilayah Dusun Banyurip Desa Sumberingin yang luas, dan dimanfaatkan untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan.Selain petani, ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri, buruh swasta, peternak, sopir, TNI/POLRI.


(56)

46

Untuk melestarikan dan mengembangkan sosial budaya masyarakat Dusun Banyuurip Desa Sumberingin ada beberapa lembaga organisasi atau perkumpulan, seperti : LKMD, BPD, LPMD, BUMPES, dan Karang Taruna.

Sedangkan adat istiadat yang ada di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin antara lain:

1) Upacara Kematian, diadakan untuk mendo‟akan orang yang meninggal dunia dengan dihadiri orang banyak, biasanya pada hari pertama, tiga harinya, tujuh harinya, empat puluh harinya, seratus harinya, seribu harinya, dan haulnya.

2) Upacara Perkawinan, diadakan untuk memeriahkan perkawinan warga setelah akad nikah berlangsung.

3) Upacara Tingkepan, diadakan untuk mendo‟akan keselamatan ibu dan bayi, dan merupakan ungkapan kegembiraan akan hadirnya seorang anak, dan disusul acara selapanan dsb.

4) Maulid Nabi, diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, biasanya diselenggarakan di masjid-masjid atau mushola.

Masyarakat Dusun Banyuurip Desa Sumberingin umunya beragama Islam dan sudah banyak yang memiliki pemikiran-pemikiran baik tentang Islam, hal ini dapat dilihat dari


(57)

47

kegiatan keagamaan yang diadakan oleh kelompok remaja, bapak0bapak, dan ibu-ibu seperti:

1) Kelompok yasinan bapak-bapak pada malam jum‟at

2) Pengajian rutin satu minggu sekalih yang diadakan oleh ibu-ibu. Jadi, dari data-data diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa warga yang mengikuti tradisi ini adalah rata-rata mereka yang beragama Islam dan mereka yang kurang dalam hal pendidikan, dan mereka yang hanya sebagai petani dan buruh tani.

Pengaruh pendidikan dapat menentukan keberhasilan dalam berproses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas. Pendidikan yang relatif tinggi menyebabkan peningkatan ilmu

pengetahuan dalam membantu proses perkembangan


(58)

48

B. Proses Pelaksanaan Penitipan Beras Di Toko Beras Di Dusun Banyurip Desa

Sumberingin

Di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar dalam satu tahun yang memiliki hajatan sekitar 96 kepala keluarga adapun hajatan tersebut yaitu menikah dan meninggal. Dari 96 ini peneliti mengerucutkan menjadi 54 dan 54 dikerucutkan menjadi 13. Peneliti memfokuskan pada hajatan orang meninggal.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan proses pelaksanaan penitipan beras di toko beras adalah sebagai berikut:


(59)

49

1. Pelaksanaan tradisi penitipan beras.

Setelah acara hajatan selesai, maka tuan rumah atau orang yang menitipkan beras akan mendatangi toko beras tersebut untuk menitipkan beras bowo (menikah dan meninggal).

Bagi sebagian warga Dusun Banyuurip Desa Sumberingin melakukan penitipan beras setelah acara hajatan sudah menjadi kebiasaan atau tradisi. Karena rata-rata mereka berfikir kalau beras yang banyak disimpan sendiriakan rusak maka mereka menitipkan di toko. Dan dari pihak toko pun akan mengelola atau memanfaatkan beras tersebut dengan cara memperjualbelikan beras .1

a. Cara melakukan ija>b qabu>l

Setelah tuan rumah atau orang yang menitipkan beras mendatangi toko , maka antara orang yang menitipkan beras dan toko akan melakukan akad (ija>b-qabu>l). Orang yang menitipkan beras akan mengutarakan niatnya untuk menitipkan beras tersebut, namun sebelumnya orang yang menitipkan beras diberi pilihan oleh pemilik toko yaitu berasnya akan dititipkan dikembalikan dalam bentuk beras


(60)

50

atau diuangkan, dan penitip pun memilih untuk menitipkan berasnya. Kemudian pemilik toko menyanggupinya.2

Namun dalam akad penitipan ini ada syarat yang diajukan oleh orang yang menitipkan beras yaitu beras yang dititipkan akan diminta kembali dalam bentuk beras pada batas waktu yang tidak ditentukan atau ketika orang yang menitipkan beras ini membutuhkanya. yang mana diucapkan oleh orang yang menitipakan beras untuk meminta kembali berasnya ketika si penitip membutuhkanya. Hal ini dilakukan oleh orang yang menitipakan beras dalam jumlah besar tersebut tidak mengalami kerusakan karena tidak mungkin beras yang terlalu banyak akan dihabiskan dalam waktu singkat, dan dengan menitipan beras di toko beras maka orang yang menitipkan akan dapat meminta kembali berasnya kapan pun mereka membutuhkan. Ketika orang yang menitipkan dan orang yang dititipi beras menyetujuinya dan kedua belah pihak telah sepakat.3

Ija>b qa>bul dalam penitipan beras ini menggunakan bahasa lisan, jadi tidak ada perjanjian tertulis. Mereka hanya berlandaskan kepada kepercayaan semata karena memang telah lama mengenal dan mengerti sifat masing-masing. Ijab qabul diucapkan secara langsung yaitu antara ijab yang diucapkan oleh orang yang menitipkan beras dengan qabul yang diucapkan oleh orang pemilik toko, tentunya

2 Ibu Tini, Wawancara, Blitar, 20 Desember 2014. 3 Bapak Markasi, Wawancara, Blitar, 20 Desember 2014.


(61)

51

dengan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Bukan bahasa formal, namun cukup dimengerti maksud dan tujuannya.4

Sighat dari pihak muwak>il harus berupa ucapan yang mengindikasikan kerelaan, sedangkan qa>bul dari pihak wakil tidak harus diucapkan secara lisan, cukup dengan tidak adanya penolakan darinya.

b. Cara penyerahan kembali barang yang dititipkan.

Sebagaimana syarat yang diajukan oleh orang yang menitipkan beras ketika melakukan akad penitipan, maka beras masih ada dalam tanggung jawab pemilik toko sebagai orang yang yang diserahi barang titipan, dan beras tersebut akan diserahkan kepada orang yang menitipkan ketika orang yang menitipakan membutuhkanya.

Untuk bulan-bulan berikutnya orang yang menitipkan beras tersebut akan meminta berasnya sesuai kebutuhan untuk kebutuhan hidup atau melakukan hajatan lagi, dan pemilik toko akan menyerahkan beras tersebut sebanyak yang diminta oleh pembeli, akan tetapi dengan naiknya harga beras disini pemilik toko akan memberi pilihan atau syarat kepada orang yang menitipkan beras yaitu dengan meminta beras yang awalnya penitipan satu kilonya di


(62)

52

hargai enam ribu dan ketika meminta maka harganya berubah dari yang enam ribu menjadi delapan ribu, atau dengan meminta beras yang yang lebih bagus maka orang yang menitipkan beras harus membayar sisa harga beras tersebut dengan uang, hal demikian terjadi karena beras yang dititipkan berupa beras campuran.5

Dan syarat serta ketentuan yang di berikan pemilik toko ini tidak ada dalam kesepakatan sebelumnya dan dalam hal ini pihak penitip pun merelakan syarat yang diberikan pihak toko, karena ini adalah ujrah atau upah bagi pemilik toko karena telah menjadi wakil dalam hal ini.6

Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat dihindari, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.

Pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di

5 Ibu Umi, Wawancara, Blitar, 20 Desember 2014 6 Ibu Sriatun, Wawancara, Blitar, 20 Desember 2014.


(63)

53

kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan.

2. Pelaku Transaksi Penitipan Beras

Dalam kegiatan masyarakat di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin ini menggunakan akad titipan. Dimana yang melakukan kegiatan ini yaitu para bapak-bapak, ibu-ibu rumah tangga dan pemilik tokoh yang umumnya berumur 30-60 tahun. Merekalah yang bertindak sebagai orang yang menitipkan dan yang dititipi, orang yang menitipkan yaitu bapak-bapak dan ibu-ibu akan pergi ke toko untuk melakukan transaksi penitipan beras yang mana dilakukan sendiri tanpa perwakilan orang yang dibawah usia karena mereka dianggap belum cakap dalam bertindak.7

Al muwak>il( orang yang mewakilkan) adalah orang yang dianggap sah oleh syari‟at dalam menjalankan apa yang ia wakilkan. Ia harus sudah dianggap cakap bertindak hukum (telah baligh dan berakal sehat).Dalam kitab fathul mu'in ini juga di jelaskan bahwasanya waka>lah dikatakan sah apabila muwak>il memiliki kekuasaan pelaksanaan atas suatu perkara saat diikat akad waka>lah.


(64)

54

3. Obyek transaksi

Milik sah dan milik pribadi orang yang mewakilkan. Barang tersebut bukan milik umum, bukan barang yang semua orang bisa memperolehnya, Seperti tidak sah untuk mewakilkan untuk menggali barang tambang yang belum ada pemiliknya, sebab barang itu adalah milik umum dan bukan milik pribadi muwakkil. Bukan berbentuk utang kepada orang lain, seperti pernyataan: ” saya tunjuk engkau sebagai wakil saya untuk meminjam uang kepada Ahmad”. Jika hal tersebut dilakukan, maka hutang menjadi tanggung jawab wakil, bukan muwakkil.Merupakan sesuatu yang boleh diwakilkan menurut syara‟.Menurut jumhur ulama‟ boleh perwakilan dalam masalah ibadah yang bersifat menerima dan menyerahkan kepada yang berhak. Seperti mewakilkan menerima zakat dan kemudian menyerahkannya kepada yang berhak.

Beras hasil bowo (menikah dan meninggal) dengan berbagai jenis merupakan obyek atau benda yang menjadi transaksi penitipan ini. Beras ini telah tersedia dan nyata keberadaanya. Beras ini dititipan karena dengan alasan untuk menjaga agar beras tidak rusak dan bisa diambil atau dimanfaatkan suatu hari ketika orang yang menitipkan membutuhkan beras kembali. 8


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tentang ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Penitipan Beras Di Toko Beras Di Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar‛ yang penulis sajikan maka dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Praktik Penitipan Beras yang dilakukan oleh orang yang menitipkan beras dan toko yang terjadi di Dusun Banyuurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini telah sesuai dengan hukum Islam yaitu waka>lah atau perwakilan, yang mana pihak toko sebagai muwak>il dalam menjualkan beras yang akadnya titipkan.

2. Analisis Waka>lah terhadap praktik penitipan beras di toko beras yang dilakukan oleh penitip dan toko dibenarkan dalam Islam, karena dalam hal penitipan ini pihak toko sebagai muwak>il, walaupun akad awalnya adalah titipan tetapi secara tidak langsung ini adalah perintah orang yang menitipkan untuk mewakilkan penjualan, dan wakil dalam penjualan ini boleh selagi tidak melanggar syarat dan ketentuan. Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil menurut pandangan mazhab syafi’i, sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada


(2)

65

kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah bila tidak meridhainya, maka menjadi batal. Dan pihak yang menitipkan pun merelakannya. Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat dihindari, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil pemaparan tersebut maka penulis memberi saran adalah Melihat kehidupan sekarang perlu kiranya kita mengetahui akad dalam muammalah yang sekarang ini adalah waka>lah (perwakilan), yang semuanya itu sudah ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulam terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum waka>lah, sumber-sumber hukum waka>lah, dan bagaimana seharusnya waka>lah diaplikasikan dalam kehidupan kita.


(3)

66

Waka>lah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena waka>lah dapat membantu seseorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah direncanakan. Hukum waka>lah adalah boleh, karena waka>lah dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama waka>lah tersebut bertujuan kepada kebaikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Al-Banna,Jamal. Manifesto Fiqih Baru 3. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. Al-Ghazali, Imam. Benang Tipis Antara Halal Dan Haram. Surabaya: Putra

Pelajar, 2002.

Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Amalia, Ilma Pratiwi Nur. , ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Jual Beli

Beras Bersubsidi (Raskin) Di Desa Ngares Kidul Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto‛ , Skripsi – IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012. Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH, 2011.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Al- Hidayah, 2002.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2008.

Fauzan, Al-Shahih bin Fauzan, Ringkasan Fiqh Lengkap, Jakarta: Darul Falah, 2005.

Hadi, Sutrisno.Metodologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.

Hasan, M. Iqbal. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Huwai, Ekonomi Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2006.

Ibnu Mas’ud, Abidin Zainal, Fiqih Mazhab Syafi’I, jilid 2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.

Jaziri, Al-Abdur Rahman, Kitabul Fiqh Ala Madzahibul Al-Arba’ah, Beirut: Kitabul Fikri, t.t.


(5)

Lisah, Sitti. ‚Analisis Al-Urf’ Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Sistem Pengupahan Buruh Tani Di Desa Panyaksagan Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan‛. Skripsi – IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012.

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003

Muhammad Amin al Kurdi, Tanwi>r al Qutu>b fi Mu,a>malah ‘Alla>M al-Ghuyu>b, Beirut: daar al Fikr, tt

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001

Muslich, Ahmad, Wardi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah, 2013.

Rahmah, sitti Fauzatur. ‚ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tangguh Serah Dalam Jual Beli Beras ( Study Kasus Di Desa Pandemawu Barat Pamekasan Madura)‛. Skripsi -- IAIN Sunan Ampel‎, Surabaya, 2008. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Darul Fath, 2004.

Saebani, Beni Ahmad. Metode Penelitian. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Sodah,Nana. Metode Penelitian. Bandung: Rosadakarya, 2007.

Suhendi, Hendi, Haji. Fiqih Mu’amalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Tim Penyusun Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014.

Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011 Sumber Wawancara

Markasi. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Sawitah. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Seswati. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.


(6)

Sriatun. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Sumini. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Tini. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Umi. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.

Wijiati. Wawancara. Dusun Banyurip Desa Sumberingin Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar. 20 Desember 2014.