Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB V

(1)

BAB V

Sistim Pelembagaan Nilai Lokal dan Kelompok Simpan Pinjam

5.1. Pelembagaan Nilai

Proses pelembagaan nilai sudah dimulai sejak pola kekerabatan terbentuk misalnya melalui pernikahan anggota keluarga yaitu anak dari keluarga inti baik pihak perempuan dan pihak laki-laki yang kemudian menempati rumah besar1 atau disebut sombori, sehingga sombori terdiri dari unit-unit keluarga yang memiliki hubungan dengan keluarga inti. Demikian juga hubungan dengan keluarga inti lain yang satu dengan lainnya saling berkaitan karena adanya pernikahan.

Nilai-nilai awal yang dilihat tersebut merupakan bagian dari salah satu konsep yang mendasari habitus Boerdieu misalnya memandang bahwa habitus umumnya dipengaruhi oleh struktur-struktur yang dibentuk dan struktur-struktur yang membentuk seperti halnya awal pelembagaan nilai yang berlangsung pada internalisasi individu ke dalam sombori melalui pernikahan.

1


(2)

Gambar 5: Pola umum dalam tradisi mesale

Awal pelembagaan individu menjadi bagian keluarga tertentu atau bergabung menjadi satu bagian sombori, kemudian melahirkan nilai-nilai yang dibangun berdasarkan kesepakatan seperti berkaitan dengan po sintuwu antara lain pada mekanisme pembagian kerja dimana individu satu memiliki tanggung jawab besar untuk membangun komunikasi dengan individu lain yang bertujuan guna memperkuat serta menjamin keberlangsungan keluarga dari setiap individu seperti berkaitan dengan mesale.

Gambaran po sintuwu bagian dari pola hubungan antar kelompok satu dengan kelompok lainnya baik karena adanya keterikatan secara kekeluargaan, maupun tidak ada hubungan sama sekali. Dimana hubungan tersebut dilakukan guna menjamin keberlangsungan kelompoknya sendiri seperti yang tampak pada tradisi mesale melibatkan tidak sedikit individu di berbagai kegiatan misalnya hajatan-hajatan tertentu yang sedang berlangsung.


(3)

Dalam kegiatan-kegiatan yang memungkinkan lebih banyak terjadi interaksi antar satu orang dengan orang lainnya, hubungan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki tanggungan seperti isteri/ suami dan anak atau beberapa anak. Dimana hubungan tersebut sangat penting untuk memberikan modal bagi keluarga asalnya, sehingga masa mendatang tidak mengalami kesukaran sebab prinsip utama dari dilakukannya hubungan ialah balas jasa terhadap kebaikan yang pernah diterima orang lain dalam kapasitasnya sebagai “tuan rumah” tempat berlangsungnya kegiatan. Dari uraian ini tampak bahwa kedudukan individu merupakan aktor yang tidak hanya sebatas sebagai agen perubahan tetapi sebagai agen yang melakukan proses pelembagaan nilai, dimana hasil dari pelembagaan ialah perilaku mo sintuwu bercirikan kolektif atau pengertian lain Masyarakat Pamona adalah masyarakat kolektif.

5.2 Mekanisme Pelembagaan Nilai

Mekanisme pelembagaan nilai sudah berasal dari hakikat dasar dibentuknya sombori dan ketika satu dengan lainnya saling membutuhkan misalnya mesale ialah kebiasaan dalam Masyarakat Pamona yang dilakukan saat seseorang atau beberapa orang di minta bantuannya menggarap lahan pertanian atau lahan perkebunan juga kegiatan lainnya misalnya ketika pernikahan sedang berlangsung dan saat seseorang sedang dilanda prahara tertentu.

Proses meminta pertolongan kepada orang lain disebut dalam bahasa Pamona metulung yang dapat dilihat dari mesale itu sendiri. Kebiasaan ini dilakukan begitu saja


(4)

tanpa imbalan melainkan dengan “imbalan tertentu” seperti orang yang meminta pertolongan tersebut kelak dimintai pertolongan juga untuk hal-hal yang sama, kemudian ketika seseorang yang meminta pertolongan orang lain, dirinya harus menjamin kenyamanan beberapa yang bekerja di lahannya seperti memberikan jamuan pada mereka yang bekerja. Mekanisme pelembagaan nilai dilakukan oleh individu sebagai agen dimana kedudukan dan perannya sangat menentukan keberlangsungan kelompok atau keluarganya sendiri sebab individu tersebut telah memberikan sesuatu yang baik dan kelak kebaikan itu akan dibalas pada anak-anaknya dari orang yang menerima atau merasakan kebaikan orang tersebut.

5.3 Hakikat Kelompok Simpan Pinjam sebagai Lembaga Sosial

Dalam uraian ini, perilaku individu dipandang sebagai aspek pengaruh terbentuknya struktur dan pembentukan struktur juga bagian dari pengaruh dibentuknya perilaku. Kedua hal ini berbeda tekanannya2)(1). Perilaku yang dipandang sebagai aspek pengaruh terbentuknya struktur mengarahkan bahwa setiap perilaku seperti yang tampak pada beberapa penjelasan tentang mesale bagian yang relevan misalnya sebagai aspek-aspek pengaruh yang membentuk struktur sosial. Contohnya, saat seseorang sering memberikan pertolongan kepada orang lain maka secara otomatis ia memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat sehingga individu itu berada pada struktur sosial tertentu. (2). Struktur yang membentuk perilaku. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa sombori ialah cikal bakal atau titik sentral yang penting untuk melakukan proses pelembagaan nilai dimana individu akan memperoleh pembelajaran tentang penting tidaknya menjalin 2


(5)

hubungan dengan baik untuk kelangsungannya serta kelangsungan keluarganya masa mendatang. Kedua uraian ini mengacu pada pandangan penulis yang menganggap bahwa masyarakat merupakan lembaga itu sendiri terdiri dari beberapa elemen penting pembentuknya seperti unit-unit keluarga yang terintegrasi pada nilai dan norma, contohnya sintuwu yang memiliki beberapa tujuan penting, antara lain:

• Masyarakat mengalami perkembangan baik pengertian kuantitas maupun kualitas. Perkembangan tersebut berpotensi negatif yang dapat mengancam kelangsungan individu atau kelompok tertentu.

• Kecenderungan lain ialah akan berlangsungnya invasi yang menyebabkan individu atau kelompok kurang terjamin keberlangsungannya.

• Perkembangan yang terjadi dapat menimbulkan marginalisasi 5.3.1. Peran dan Kedudukan Aktor dalam Lembaga

Aktor sangat penting dilihat dalam suatu lembaga dimana perihal ini ditunjukkan pada hakikat dasar sombori yaitu sebagai suatu rumah besar yang dalamnya dihuni oleh beberapa individu atau kelompok keluarga kemudian diketuai seorang yang dituakan misalnya orang tua. Kedudukan dan peran aktor terletak pada kewenangan yang dimilikinya untuk memperkenalkan sejak dini dan penting tidaknya hubungan tolong menolong dilakukan, tak terkecuali siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki. Selain memperkenalkan arti tolong menolong, seseorang juga memperkenalkan ajaran-ajaran lain yang erat kaitannya tentang filosofi budaya seperti mo sintuwu.

Peran dan kedudukan aktor yang dimaksudkan pada uraian ini lebih menempatkan kapasitasnya sebagai individu yang mencerna baik nilai dan norma kemudian berangkat


(6)

dari sini, maka aktor tersebut melakukan pelembagaan yang bertujuan untuk memperkuat kedudukan aktor lain misalnya individu dari keluarganya, sehingga terkesan bahwa peran dan kedudukan aktor adalah memperkuat ikatan berupa jejaring sosial melalui pelembagaan perilaku yang disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku.

5.3.2. Kesepakatan dan Kebutuhan

Hubungan yang dilakukan dalam gambaran nilai atau norma yang berlaku misalnya po sintuwu atau perilaku kolektif tampak pada budaya mesale, tidak dilakukan begitu saja atau tanpa alasan-alasan yang mendasari. Hubungan tersebut terjadi karena adanya kesepakatan yang bersifat take and give misalnya dalam kaitannya dengan po sintuwu. Kesepakatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan individu bersangkutan dengan cara memperkuat jejaring yang ditempuh melalui peran sertanya pada berbagai kegiatan.

Dalam rangka mencapai kesepakatan dan kebutuhan, maka fungsi nilai dan norma sebagai tata pedoman berperilaku dimana setiap individu membangun standar tertentu yang diberlakukan formal pada setiap hubungan misalnya berkaitan dengan kelompok usaha simpan pinjam. Kelompok usaha simpan pinjam di Desa Tonusu ialah lembaga yang dibangun sebagai media masyarakat membangun kesepakatan dan mencapai kebutuhan dimana proses-proses penting yang dipandang merupakan aspek-aspek penguatan lembaga dilakukan dengan mengelaborasikan nilai-nilai lokal pada lembaga yang dibentuk serta perilaku-perilaku anggotanya. Kesepakatan dan kebutuhan tampak pada beberapa hal utama (1). Aturan-aturan yang berlaku, (2). Sistim penokohan atau orang yang dipercaya memiliki kemampuan membawa perubahan positif bagi


(7)

anggotanya dalam mencapai kebutuhan, (3). Hubungan-hubungan yang bersifat take and give, (4). Usaha-usaha yang dilakukan bersama misalnya mengerjakan lahan perkebunan atau lahan pertanian, arisan-arisan, keseluruhan itu untuk mencapai tujuan bersama dan tujuan setiap individu.

5.3.3. Proses Pelembagaan po sintuwu dalam prespektif Peters

Dalam Peters (2006: 18) suatu nilai dikatakan melembaga jika (1) dihayati bersama-sama, (2) tetap stabil (3) mempengaruhi perilaku dan (4) terjadi interaksi / elaborasi nilai. Sehubungan dengan analisis pelembagaan po sintuwu dalam sub bab ini akan dijelaskan berdasarkan data penelitian:

Pertama, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, dasar penghayatan nilai po sintuwu terletak pada konsep sombori. Karena sombori dipandang sebagai unit terkecil dalama sistem kelompok didalam Masyarakat Pamona yang menciptakan, memelihara dan mengembangkan nilai po sintuwu seperti terlihat pada gambar 5. Pada gambar tersebut mesale dianggap sebagai produk nyata dari prinsip nilai po sintuwu yang abstrak. Pernyataan ini diperkuat oleh pandangan Bapak Ito sebagai ketua adat setempat. Menurutnya agar dapat bertahan hidup (tu’wu) orang-orang kemudian bersatu (sin’tuwu) dalam ikatan sombori, agar ikatan sombori tetap kuat maka mereka kemudian memproduksi suatu nilai yang mempersatukan yakni nilai po sintuwu. Adapun tindakan nyata dari po sintuwu (mo’sin’tuwu) itu dikenal dengan istilah mesale. Ketika sombori-sombori berkembang menjadi sebuah pemukiman prinsip-prinsip dalam nilai po sintuwu


(8)

inilah yang dipakai dalam setiap kegiatan interaksi baik antara individu dengan individu, maupun antara individu dengan kelompoknya.

Kedua, dalam pemahaman Masyarakat Pamona nilai po sintuwu dijabarkan dalam tiga3) konsep namun ketiga konsep ini merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan yaitu tuwu malinuwu atau hidup dalam kedamaian,tuwu siwagi atau hidup saling menopang dan sintuwu maroso hidup dalam persatuan yang kokoh. Dengan mengacu pada 3 penjabaran po sintuwu maka kebiasaan mesale dalam prespektif penulis masih tetap pada hakikatnya. Karena perubahan praktek dari nilai po sintuwu dalam tindakan mesale yang bersifat kaku menjadi fleksibel adalah wujud penyesuaian nilai po sintuwu sebagai dasar atau pedoman Masyarakat Pamona. Penyesuaian-penyesuaian inilah yang dianggap sebagai gambaran perilaku kolektif Masyarakat Pamona, bukanlah perilaku yang stabil tetapi mudah berubah untuk menjaga keberlangsungan dari eksistensi mereka. Meskipun perubahan-perubahan terjadi, tetapi nilai po sintuwu sebagai dasar tetap melandasi perilaku kolektif masyarakat hanya saja perubahan yang dimaksudkan terletak pada konteks hubungannya yang semula tanpa adanya pertimbagan rasional berubah menjadi konteks hubungan dengan pertimbangan rasional misalnya digunakannya alat-alat teknologi pertanian.

Ketiga, kebiasaan dan perilaku yang dipaparkan pada point ke dua, dapat dilihat dalam tindakan-tindakan sehari-hari misalnya dibidang pertanian, dari data penelitian pada tabel kelompok mesale, tampak terjadi penyesuaian-penyesuaian akibat

3

Diera-era pasca p eran g antar suku (anak-anak suku atau d engan suku lain ) ketiga slo gan ini m enjadi jargon politik untuk m emp ersatuhkan M asyarakat Pamona.


(9)

pertambahan penduduk dalam sebuah pemukiman dan meningkatnya jenis-jenis pekerjaan dibidang pertanian yang tidak hanya terkonsentrasi di ladang. Adanya mekanisasi pertanian menyebabkan perubahan pada cara kerja kelompok dalam mengolah tanah. Tradisi ini disebut mesale pada Masyarakat Pamona dimana semula dibutuhkan 15 – 20 orang kini hanya butuh 2-3 orang dikarenakan penggunaan teknologi pertaniaan seperti mesin tractor

Berkaitan dengan mekanisasi pertaniaan bahwa penggunaan teknologi mengubah tradisi yang semula dilakukan secara kolektif menjadi kegiatan yang sepenuhnya tergantung pada kepemilikan modal dalam hal ini teknologi pupuk dan obat-obatan.

Meskipun teknik ini umumnya dipakai oleh petani akan tetapi pada kondisi tertentu misalnya ketika banjir atau kondisi lahan tanam lumpurnya dalam, mereka menggunakan sistim tanam manual dengan melibatkan 10-15 orang4).

Gambar 6: Tradisi mesale dalam bidang pertanian dan kepemilikan modal (tractor, pupuk, obat obatan)

4

Contoh lain d iluar kegiatan p ertanian sangat t ampak pu la dilih at pada kegiatan padungku (pengucapan sukur hasil panen) acara duka (mo taumate) acara pesta (m eta’a atau mompaw awa)


(10)

Gambar 6 diatas menjelaskan perubahan konteks nilai po sintuwu yang sebelumnya merupakan tradisi atau kebiasaan hidup saling membutuhkan dengan orang lain tanpa aspek ketergantungan terhadap kepemilikan modal dalam hal ini teknologi pertanian, berubah menjadi pola hubungan dalam tradisi atau kebiasaan hidup yang tergantung dengan orang lain, pada kapasitasnya sebagai pemilik modal pertanian, misalnya tractor, pupuk dan obat obatan. Dalam kapasitas ini maka kelompok simpan pinjam dapat dikatakan sebagai komunitas yang dibentuk oleh orang-orang yang memiliki modal-modal pertanian antara lain tanah dan teknologi. Akan tetapi KSP dibentuk tidak mengarustamakan nilai-nilai po sintuwu yang tidak dilakukan ketika seseorang memiliki kelebihan tertentu.

Kondisi ini sengaja dibangun karena nilai po sintuwu yang tadinya abstrak dan hanya dapat dilihat melalui aktifitas mesale dinyatakan secara real dalam bentuk buku po sintuwu. Keberadaan buku po sintuwu5) menyebabkan seorang aktor yang telah menjadi bagian dari buku po sintuwunya secara moral memiliki tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi dalam keanggotaanya. Jika aktor tersebut melalaikan tugasnya maka resiko sangsi sosial (Social punishment sebagai bagian dari kondisi reward and punishment) akan selalu membayanginya. Ini jelas terlihat pada wawancara dengan Bapak Bou.6) Dalam wawancara tersebut tampak jelas terlihat kuatnya hubungan personal timbal-balik antara individu yang satu dengan individu yang lain seperti pada kutipan berikut ini “

5

M asyarakat Pamona b iasanya m encatat ket erlibatan seseorang dalam kegiatan tert entu. Buku itu b erisi iden tit as dari p elaku (seseorang yang ikut dalam kegiatan t ert en tu ) ialah nam a dan marga.

6


(11)

Mesale itu seperti ini, hari ini kau (penulis) memanggil saya, saya datang. Besok jika saya panggil kamu, ya kamu harus datang.”

Kuatnya hubungan individu ini kemudian diturukan ke anak-anaknya dan begitu seterusnya. Bahkan secara mendetail pada wawancara dengan Bapak Buloko7), Dijelaskan bahwa sebenarnya po sintuwu itu dapat dilihat sebagai jaminan sosial, sebagai contoh “Ayahmu sebelum kamu dilahirkan sudah rajin ber po sintuwu nah, ketika kamu sekarang sudah dewasa dan membutuhkan bantuan, setidaknya tetanggamu akan datang menolongmu. Bukan semata-mata melihat kamu kesusahan, akan tetapi mereka datang karena mengingat jasa dari ayahmu kepada mereka dahulu”

Keempat, dalam kaitannya dengan elaborasi nilai-nilai tampaknya perkembangan elaborasi tersebut sudah mulai terlihat sekitar tahun 80an, ketika Masyarakat Pamona khususnya masyarakat di Desa Tonusu diperkenalkan dengan produk-produk baru diluar kebutuhan dasar mereka seperti jenis-jenis kebutuhan rumah, pertanian dan gaya hidup. Adapun contoh-contoh elaborasi nilai dijabarkan sebagai berikut:

1. Pada acara duka, nilai po sintuwu sengaja dipublikasikan ke ruang umum seperti yang dijabarkan oleh Bapak Bou dalam lampiran wawancara, dengan cara disediakannya tempat sintuwu di depan rumah duka bersama dengan pencatatan buku po sintuwu, Disini terlihat adanya pengabungan tradisi po sintuwu dengan tradisi luar mengenai buku tamu.

2. Semakin kuatnya nilai uang sebagai alat ukur membuat tradisi mesale menyesuaikan dengan kondisi budaya luar tersebut dengan cara menonjolkan sisi 7


(12)

mewalo sebagai reward and punishment dan mempersempit sisi mesale dalam kaitanya dengan take and give, sebagaimana yang dijabarkan dalam lampiran. Pada kondisi ini mesale sebenarnya tidak hilang hanya saja perannya seolah-olah tidak menonjol karena lebih didominasi oleh sisi mewalonya

3. Pada kebiasaan mesale sebelumnya dibidang pertaniaan, tidak dapat dihindari bahwa mekanisasi pertaniaan menyebabkan perubahan tradisi atau kebiasaan hidup mesale para pekerja kelompok. Perubahan tersebut tampak dalam jumlah orang yang terlibat menjadi lebih sedikit merupakan suatu gambaran (a) berlakunya hubungan ketergantungan terhadap teknologi pertanian seperti tractor, pupuk dan obat-obatan yang menyebabkan (b) timbulnya diferensiasi struktural yaitu orang yang memiliki modal dan serta orang yang menguasai teknologi. (c) hal ini berkaitan dengan efesiensi dan efektifitas dari pekerjaan mengolah tanah. Efektifitas tampak pada pengeluaran biaya untuk upah yang semula 15 – 20 orang hanya diberikan kepada 3 – 5 orang pekerja. Efesiensi tampak pada tidak dibutuhkannya waktu yang lama untuk mengolah lahan. Efektifitas dan efisiensi menjadi pilihan dari kelompok-kelompok tertentu untuk melembagakan diri, membagi tugas masing-masing dan mengorganisir pekerjaan masing-masing seperti yang terjadi pada KSP Mekar Jaya. Disamping itu penggunaan teknologi pertaniaan dipandang sebagai pilihan yang tepat jika mengingat tradisi atau kebiasaan hidup dalam Masyarakat Pamona terkait po sintuwu membutuhkan tidak sedikit pengeluaran yang harus diberikan seseorang kepada orang lain baik menyangkut materi, maupun non materi.


(13)

Gambar 7: Pupuk dan obat obatandan rumah penduduk serta mesin Tractor 4. Kelompok simpan pinjam dipandang sebagai media yang dibentuk oleh

individu-individu yang melembagakan dirinya, tradisi atau kebiasaan hidup berkaitan dengan mesale dan mengalang potensi-potensi yang ada sebagai gambaran po sintuwuuntuk mencapai tujuan-yang dikehendaki. Dalam upayanya untuk mencari tambahan dana kelompok tersebut tidak mengandalkan sumbangan bantuan, tetapi mereka lebih memberdayakan kelompoknya sebagai ikatan kolektif untuk menghasilkan modal pertaniaan seperti teknologi pertanian tractor, pupuk dan obat obatan dimana tenaga serta keahlian tertentu dalam bidang pertaniaan merupakan sumber pendanaan. Dengan demikian jelas terlihat pelembagaan individu menjadi kelompok KSP ialah perilaku kolektif yang mengambarkan filosofi dari sombori. Sikap kolektif yang dimaksudkan kemudian menjadi salah satu dasar pembentukan kelompok simpan pinjam Mekar Jaya sebagaimana pada gambar elaborasi nilai-nilai pembentukan KSP sesuai pemikiran Peters.


(14)

Gambar 8 Alur pemikiran penulis tentang pelembagaan nilai po sintuwu dengan panduan dari pemikiran Peters (2006 : 18)

Gambar 8 dapat dijelaskan sebagai berikut, pada dasarnya agar bertahan hidup setiap individu bersosialisasi membentuk kelompok. Pada Masyarakat Pamona kelompok tersebut dikenal dengan istilah sombori, dalam sombori berlaku nilai lokal sebagai pandangan hidup dengan istilah po sintuwu. Dalam realitas tindakan nilai po sintuwu dilihat pada kegiatan mesale. Mesale itu sendiri dapat dipahami sebagai bentuk jaminan sosial atau disisi lain sebagai bagian dari reward and punishmen. Agar kelompok sombori dapat mempertahankan eksistensinya menghadapi perubahan jaman yang indentik dengan keanekaragaman produk dan kemajemukan lainnya maka terjadilah penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian dalam hal ini diasumsikan merupakan penyesuaian yang bersifat elaboratif dimana hasil dari produk penyesuaian ada yang terkesan di “tolak” namun pada kenyataanya tetap ada seperti tengkulak dan rentenir, dan juga produk penyesuaian yang diterima misalnya Bank, KSP , UB dan lain lain. Ini berati tingkat penghayatan Masyarakat Pamona pada nilai po sintuwu dinyatakan secara kolektif


(15)

dalam bentuk mesale. Selanjutnya agar tetap stabil dan menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Pamona, mesale harus dilebur dalam ikatan-ikatan elaborasi dengan nilai luar, maupun produk luar

5.3.4 Elaborasi nilai lokal dalam kelompok simpan pinjam

Pengembangan atau adaptasi penerapan tradisi po sintuwu diilustrasikan seperti pada gambar 9. Digambar tersebut hubungan po sintuwu yang bersifat privat antar partikel-partikel, dikembangkan menjadi sebuah hubungan antara kesatuan (KSP) dengan partikel-partikel (Anggota KSP). Ini berati nilai take and give maupun nilai reward and punishment yang tadinya bersifat abstrak pada tradisi po sintuwu dijadikan nyata lewat aturan-aturan yang telah disepakati oleh setiap anggota didalam kelompok. Seperti yang dijelaskan pada lampiran “daftar tempat kelompok KSP mencari tambahan kas kelompok”. Pada lampiran tersebut tampak bahwa partikel meminta bantuan dari kesatuan, partikel kemudian memberikan reward pada kesatuan untuk dijadikan modal simpan pinjam bagi keberlangsungan partikel-partikel lain termasuk partikel yang memberi upah itu sendiri.

Contoh lain dari penerapan tradisi nilai po sintuwu dapat dilihat pada iuran wajib yang harus dikumpulkan setiap bulannya seperti yang dipaparkan pada wawancara 9 Ferbuari 2012. Meskipun kewajiban menggumpulkan iuran merupakan ketentuan dalam sebuah koperasi simpan pinjam akan tetapi iuran juga dipandang sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dalam sebuah kesatuan, seperti yang dipaparkan pada wawancara 14 januari 2012. Wujud lain dapat dilihat pada kebijakan aturan kelompok yang menyisihkan sebagian dari modal kas untuk dipakai bila ada anggota keluarga dari


(16)

kelompok KSP yang meninggal dunia. Selain dalam bentuk uang, jika ada anggota KSP yang berpesta atau berduka seluruh anggota KSP diwajibkan untuk datang berpartisipasi.

Gambar 9. Ilustrasi model po sintuwu dan model penerapan po sintuwu dalam KSP

Untuk melihat secanra kongkrit proses elaborasi nilai-nilai lokal dalam KSP maka penulis menjabarkan beberapa contoh peristiwa yang sudah dipaparkan dibuku notulesi kelompok KSP sebagai berikut:

a. Pemberdayaan tradisi mesale

Adapun pemberdayaan tradisi mesale dapat dilihat pada notulensi kegitan kelompok pada tanggal 1 Desember 2010 salah satu hasil dari pertemuan kelompok memutuskan dalam rangka upaya memperoleh tambahan kas modal untuk diperpinjamkan, maka kelompok bersepakat membuat aturan tambahan anggaran dasar kas kelompok yang didapat dari kerja kelompok disawah atau kebun. Keputusan ini kemudian dibahas kembali pada pertemuan ditanggal 10 April 2011 dengan dibuatnya keputusan kelompok bahwa pada musim panen


(17)

(padi) anggota kelompok akan keluar mencari dana8)dan dari hasilnya akan dibagi 60 % untuk anggota 40% modal kas kelompok

b. Pemberdayaan tradisi mo sintuwu

Menurut pandangan penulis, pemberdayaan tradisi nilai mo sintuwu (tin,dakan) atau po sintuwu (nilai) sebagai berwujudan dari nilai tradisi me tulungi9) dari buku notulensi dapat dijabarkan menjadi dua bentuk po sintuwu. Pertama, po sintuwu anggota (partikel) pada KSP (kesatuannya) ini dapat dilihat Pada keputusan hasil pertemuan tanggal 16 Januari 2011 dimana kelompok bersepakat untuk menjadikan saham simpanan mereka sebagai tambahan modal10). Selanjutnya pada pertemuan tanggal 16 Januari 2011 disepakati bahwa “ Setiap anggota yang sudah terdaftar harus menyetor setelah panen sebesar 5 kg beras sebagai tambahan kas kelompok”. Bahkan ketika pengurus menceritakan permasalah tidak bisanya kelompok memperoleh akta notaris karena syarat harus memiliki modal kas minimal Rp 15.000.000, maka pada pertemuan bulanan tanggal 10 Juli 2011 kelompok kembali bersepakat mencari dana untuk menambah kas kelompok. Selain itu pada pertemuan tanggal 7 Agustus 2011 dibuat lagi keputusan kelompok untuk mengumpulkan dana Rp 25.000 dari setiap anggota kelompok.

Kedua, Po sintuwu kelompok pada partikel ini dapat dilihat pada pertemuan kelompok tanggal 8 April 2011 ketika kelompok dalam hal ini pengurus seksi

8

Lihat lam piran “ b. Daftar t empat -tempat kelompok KSP m encari tambahan kas kelompok” 9

Lihat Adat Ist iadat Sulaw esi Tengah dalam Depdikbud 1987 10


(18)

kredit memberitahukan masalah keterlambatan dalam pengembalian pinjaman. Maka kelompok memberikan solusi kepada anggota yang menunggak dengan cara mengunjungi11) terlebih dahulu. Pada permasalahan lain, meskipun ditemukan beberapa kasus diantaranya seperti yang terjadi pada pertemuan tanggal 8 Mei 2011 yakni (1) Belum adanya kesadaran bagi anggota dalam menyimpan (2) Selama ini anggota hanya berlomba-lomba untuk meminjam. Akan tetapi pada pertemuan tanggal 4 Juni 2011 Pengurus memperoleh laporan adanya penurunan jumlah anggota kelompok yang menun0ggak dari 9 orang menjadi 2 orang. ini berati kelompok (kesatuan) berhasil mempengaruhi anggota (partikel) yang menunggak untuk membayar. Peran seperti ini, salah satunya dideskripsikan pada lampiran wawancara penulis tanggal 4 Ferbuari 2012 dengan Mama Amon.

c. Pemberdayaan tradisi mo limbu12)(berkumpul)

Selain kedua nilai yang menjadi pembahasan dalam penelitian penulis, tradisi mo limbu juga secara tidak sadar dipraktekan oleh kelompok KSP. Hal itu dapat dilihat pada hasil notulensi tanggal 16 januari 2011 dimana kelompok memutuskan bahwa pinjaman dilakukan setiap pertemuan bulanan anggota kelompok. Itu artinya tradisi kebersamaan melakukan segala kegiatan kelompok secara tidak langsung menumbuhkan kembali tradisi mo limbu yang sudah mulai jarang dipraktekan oleh masyarakat di Desa Tonusu. Disisi lain keberadaan tradisi 11

M enu ru t hasil wawancara penu lis d en gan pengurus kredit , biasanya anggo ta kelo mpok yang pen gembaliannya macet hanya d it egur ketika pert emuan wajib bulanan . Jika anggo ta t ersebut t idak pernah hadir dalam p ertemuan atau t idak m emb erikan alasan m engapa ia m enunggak, maka p engu ru s baru m en gunjuginya.

12

Tradisi M asyarakat Suku Pamona umumnya senang berkumpul baik m embahas masalah -masalah p ent ing sepert i politik, ekonom i , pertanian dan lain maupun sekedar bercanda. Tradisi ini d i Desa Tonusu sendiri hanya terlihat ket ika p esta atau duka, padungku


(19)

mo limbu ini mendorong majunya kelompok, karena setiap peminjaman ataupun pengembaaalian diketahui oleh seluruh anggota sehingga anggota secara tidak langsung juga ikut mengawasi anggota lainya seperti yang dilukiskan pada gambar 9.


(1)

Gambar 8 Alur pemikiran penulis tentang pelembagaan nilai po sintuwu dengan panduan dari pemikiran Peters (2006 : 18)

Gambar 8 dapat dijelaskan sebagai berikut, pada dasarnya agar bertahan hidup setiap individu bersosialisasi membentuk kelompok. Pada Masyarakat Pamona kelompok tersebut dikenal dengan istilah sombori, dalam sombori berlaku nilai lokal sebagai pandangan hidup dengan istilah po sintuwu. Dalam realitas tindakan nilai po

sintuwu dilihat pada kegiatan mesale. Mesale itu sendiri dapat dipahami sebagai bentuk jaminan sosial atau disisi lain sebagai bagian dari reward and punishmen. Agar kelompok

sombori dapat mempertahankan eksistensinya menghadapi perubahan jaman yang

indentik dengan keanekaragaman produk dan kemajemukan lainnya maka terjadilah penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian dalam hal ini diasumsikan merupakan penyesuaian yang bersifat elaboratif dimana hasil dari produk penyesuaian ada yang terkesan di “tolak” namun pada kenyataanya tetap ada seperti tengkulak dan rentenir, dan juga produk penyesuaian yang diterima misalnya Bank, KSP , UB dan lain lain. Ini berati tingkat penghayatan Masyarakat Pamona pada nilai po sintuwu dinyatakan secara kolektif


(2)

dalam bentuk mesale. Selanjutnya agar tetap stabil dan menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Pamona, mesale harus dilebur dalam ikatan-ikatan elaborasi dengan nilai luar, maupun produk luar

5.3.4 Elaborasi nilai lokal dalam kelompok simpan pinjam

Pengembangan atau adaptasi penerapan tradisi po sintuwu diilustrasikan seperti pada gambar 9. Digambar tersebut hubungan po sintuwu yang bersifat privat antar partikel-partikel, dikembangkan menjadi sebuah hubungan antara kesatuan (KSP) dengan partikel-partikel (Anggota KSP). Ini berati nilai take and give maupun nilai reward and

punishment yang tadinya bersifat abstrak pada tradisi po sintuwu dijadikan nyata lewat aturan-aturan yang telah disepakati oleh setiap anggota didalam kelompok. Seperti yang dijelaskan pada lampiran “daftar tempat kelompok KSP mencari tambahan kas kelompok”. Pada lampiran tersebut tampak bahwa partikel meminta bantuan dari kesatuan, partikel kemudian memberikan reward pada kesatuan untuk dijadikan modal simpan pinjam bagi keberlangsungan partikel-partikel lain termasuk partikel yang memberi upah itu sendiri.

Contoh lain dari penerapan tradisi nilai po sintuwu dapat dilihat pada iuran wajib yang harus dikumpulkan setiap bulannya seperti yang dipaparkan pada wawancara 9 Ferbuari 2012. Meskipun kewajiban menggumpulkan iuran merupakan ketentuan dalam sebuah koperasi simpan pinjam akan tetapi iuran juga dipandang sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dalam sebuah kesatuan, seperti yang dipaparkan pada wawancara 14 januari 2012. Wujud lain dapat dilihat pada kebijakan aturan kelompok yang menyisihkan sebagian dari modal kas untuk dipakai bila ada anggota keluarga dari


(3)

kelompok KSP yang meninggal dunia. Selain dalam bentuk uang, jika ada anggota KSP yang berpesta atau berduka seluruh anggota KSP diwajibkan untuk datang berpartisipasi.

Gambar 9. Ilustrasi model po sintuwu dan model penerapan po sintuwu dalam KSP

Untuk melihat secanra kongkrit proses elaborasi nilai-nilai lokal dalam KSP maka penulis menjabarkan beberapa contoh peristiwa yang sudah dipaparkan dibuku notulesi kelompok KSP sebagai berikut:

a. Pemberdayaan tradisi mesale

Adapun pemberdayaan tradisi mesale dapat dilihat pada notulensi kegitan kelompok pada tanggal 1 Desember 2010 salah satu hasil dari pertemuan kelompok memutuskan dalam rangka upaya memperoleh tambahan kas modal untuk diperpinjamkan, maka kelompok bersepakat membuat aturan tambahan anggaran dasar kas kelompok yang didapat dari kerja kelompok disawah atau kebun. Keputusan ini kemudian dibahas kembali pada pertemuan ditanggal 10 April 2011 dengan dibuatnya keputusan kelompok bahwa pada musim panen


(4)

(padi) anggota kelompok akan keluar mencari dana8)dan dari hasilnya akan dibagi 60 % untuk anggota 40% modal kas kelompok

b. Pemberdayaan tradisi mo sintuwu

Menurut pandangan penulis, pemberdayaan tradisi nilai mo sintuwu (tin,dakan) atau po sintuwu (nilai) sebagai berwujudan dari nilai tradisi me

tulungi9) dari buku notulensi dapat dijabarkan menjadi dua bentuk po sintuwu. Pertama, po sintuwu anggota (partikel) pada KSP (kesatuannya) ini dapat dilihat Pada keputusan hasil pertemuan tanggal 16 Januari 2011 dimana kelompok bersepakat untuk menjadikan saham simpanan mereka sebagai tambahan modal10). Selanjutnya pada pertemuan tanggal 16 Januari 2011 disepakati bahwa “ Setiap anggota yang sudah terdaftar harus menyetor setelah panen sebesar 5 kg beras sebagai tambahan kas kelompok”. Bahkan ketika pengurus menceritakan permasalah tidak bisanya kelompok memperoleh akta notaris karena syarat harus memiliki modal kas minimal Rp 15.000.000, maka pada pertemuan bulanan tanggal 10 Juli 2011 kelompok kembali bersepakat mencari dana untuk menambah kas kelompok. Selain itu pada pertemuan tanggal 7 Agustus 2011 dibuat lagi keputusan kelompok untuk mengumpulkan dana Rp 25.000 dari setiap anggota kelompok.

Kedua, Po sintuwu kelompok pada partikel ini dapat dilihat pada pertemuan kelompok tanggal 8 April 2011 ketika kelompok dalam hal ini pengurus seksi

8

Lihat lam piran “ b. Daftar t empat -tempat kelompok KSP m encari tambahan kas kelompok”

9

Lihat Adat Ist iadat Sulaw esi Tengah dalam Depdikbud 1987

10


(5)

kredit memberitahukan masalah keterlambatan dalam pengembalian pinjaman. Maka kelompok memberikan solusi kepada anggota yang menunggak dengan cara mengunjungi11) terlebih dahulu. Pada permasalahan lain, meskipun ditemukan beberapa kasus diantaranya seperti yang terjadi pada pertemuan tanggal 8 Mei 2011 yakni (1) Belum adanya kesadaran bagi anggota dalam menyimpan (2) Selama ini anggota hanya berlomba-lomba untuk meminjam. Akan tetapi pada pertemuan tanggal 4 Juni 2011 Pengurus memperoleh laporan adanya penurunan jumlah anggota kelompok yang menun0ggak dari 9 orang menjadi 2 orang. ini berati kelompok (kesatuan) berhasil mempengaruhi anggota (partikel) yang menunggak untuk membayar. Peran seperti ini, salah satunya dideskripsikan pada lampiran wawancara penulis tanggal 4 Ferbuari 2012 dengan Mama Amon.

c. Pemberdayaan tradisi mo limbu12)(berkumpul)

Selain kedua nilai yang menjadi pembahasan dalam penelitian penulis, tradisi mo limbu juga secara tidak sadar dipraktekan oleh kelompok KSP. Hal itu dapat dilihat pada hasil notulensi tanggal 16 januari 2011 dimana kelompok memutuskan bahwa pinjaman dilakukan setiap pertemuan bulanan anggota kelompok. Itu artinya tradisi kebersamaan melakukan segala kegiatan kelompok secara tidak langsung menumbuhkan kembali tradisi mo limbu yang sudah mulai jarang dipraktekan oleh masyarakat di Desa Tonusu. Disisi lain keberadaan tradisi

11

M enu ru t hasil wawancara penu lis d en gan pengurus kredit , biasanya anggo ta kelo mpok yang pen gembaliannya macet hanya d it egur ketika pert emuan wajib bulanan . Jika anggo ta t ersebut t idak pernah hadir dalam p ertemuan atau t idak m emb erikan alasan m engapa ia m enunggak, maka p engu ru s baru m en gunjuginya.

12

Tradisi M asyarakat Suku Pamona umumnya senang berkumpul baik m embahas masalah -masalah p ent ing sepert i politik, ekonom i , pertanian dan lain maupun sekedar bercanda. Tradisi ini d i Desa Tonusu sendiri hanya terlihat ket ika p esta atau duka, padungku


(6)

mo limbu ini mendorong majunya kelompok, karena setiap peminjaman ataupun pengembaaalian diketahui oleh seluruh anggota sehingga anggota secara tidak langsung juga ikut mengawasi anggota lainya seperti yang dilukiskan pada gambar 9.


Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa Longkotan Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi

2 64 128

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Database Sistem Simpan Pinjam pada Unit Simpan Pinjam Kud Mekar Ungaran

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Database Sistem Simpan Pinjam pada Unit Simpan Pinjam Kud Mekar Ungaran

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB IV

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu

0 1 29

T0__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prototipe Sistem Informasi Koperasi Simpan Pinjam T0 BAB V

0 0 2