T2 092012001 BAB III
BAB Tiga
COM I NG I N (PENERI M AAN DI RI ) DAN
EKSI STENSI DI RI SEORANG LESBIAN
Pengantar
Setiap perjalanan kehidupan manusia selalu dinamis, bahwa
manusia selalu berpikir dan berdialog dengan diri tentang proses
menuju kehidupan ke depan. Bisa saja terjadi penurunan dan
peningkatan pada pola pemikiran, batin, kesadaran dan penerimaan
atas kehidupannya. Salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan
setiap manusia adalah proses pencapaian nilai atau makan atas diri.
Nilai dan makna atas diri merupakan satu perdebatan batin yang terjadi
dalam diri manusia, dan ini adalah nilai refleksi puncak yang cukup
memerlukan proses yang sangat dialogis. Dalam proses pencapaian
eksistensi seorang manusia, penting sekali menurut penulis melukiskan
bagaimana eksitensi diri seorang lesbian, ketika begitu banyak lapisan
ketidakadilan dan diskriminasi yang masih didapatkan oleh
homoseksual (lesbian).
Penulis merasa perdebatan yang selama ini muncul di kalangan
masayarakat masih berada pada diskusi mengenai normal, tidak
normal, dosa, penyimpangan dan seksual yang sempit sebatas aktivitas
seksual dan relasi yang tidak semestinya saja. Kondisi pemikiran dan
penilaian sebagian masyarakat yang belum berubah tersebut, terkadang
memunculkan begitu banyak problematika dalam diri sebagian lesbian.
Jika memahami benar, bahwa kehidupan yang dijalani oleh lesbian
penuh dengan perjuangan sama halnya dengan seorang heteroseksual.
M emperjuangkan diri hingga mencapai proses penerimaan diri dengan
apa yang ada di dalam dirinya dan juga memperjuangkan hak serta
43
eksistensi dirinya sebagai bagian dari kehidupan. Lebih dari itu seorang
lesbianpun memiliki proses menuju pada aktualisasi diri yang
diharapkan, baik kesadaran akan diri, kekritisan, menggembangkan
batin dan proses menuju pada kehidupan sesuai dengan konsep nilai
yang terbangun pada dirinya.
Tulisan dalam bab tiga ini akan membahas bagaimana seorang
lesbian menunjukkan dinamika kehidupan menuju pada proses
penerimaan diri. Dimana dalam diri seorang manusia pasti memiliki
modal dalam pencapaian eksistensi diri. M odal tersebut akan sangat
berpengaruh dalam diri untuk proses menyadari, mengkritisi dan
menganalisis proses yang telah dilalui di dirinya yang kemudian akan
memunculkan sebuah refleksi untuk proses menerima dirinya dan
berlanjut pada eksistensi diri. Ketika proses menganalisis atau
mengetahui benar apa yang ada dalam diri “berada” dengan segala
usahanya, maka akan muncul sebuah kesadaran kritis untuk terus
memahami diri. Dalam setiap dinamika yang dilalui oleh seorang
lesbian, pasti menghadirkan banyak hal yang dapat menjadi sebuah
loncatan untuk mencapai kesadaran. Dimana dengan kesadaran diri
tersebut seorang lesbian akan mampu menentukan pilihan dan
keputusan akan dirinya. Prosesnya terus berkembang dan berjalan,
dengan refleksi panjang dari setiap pengalaman kehidupannnya, maka
dia akan terus berkembang, menjadi diri yang dia inginkan.
M eskipun tidak sederhana, namun haruslah di pahami bahwa
fenomena lesbian merupakan sebuah bagian dari kehidupan, bukan
hanya masalah diterima atau tidak diterima, melainkan banyak
problematika yang masih coba diselesaikan dengan baik oleh lesbian.
Diri lesbian membutuhkan proses mengetahui dan memahami setiap
konsep yang terkait dengan dirinya. Pengetahuan akan seksualitas,
tubuh, penerimaan diri, eksistensi diri dan mengembangkan diri dalam
kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang yang tetap terus
dilakukan.
Dalam pembahasan mengenai eksistensi diri, penulis akan
memaparkan fakta empiris tentang proses dan dinamika diri seorang
44
lesbian mencapai pada sebuah tahapan penerimaan diri dan cara
membangun eksitensi dirinya. Bagaimana pengetahuan yang dimiliki
seorang lesbian dapat menjadi modal awal dalam proses eksistensi
dirinya. Penulis menggunakan beberapa konsep yang akan membantu
dalam memahami bagaimana proses eksistensi diri seorang lesbian
dicapai. Beberapa konsep yang dipakai akan sangat membantu penulis
dalam memaparkan dan menganalisis hasil temuan dilapangan.
Eksistensi Diri “Aku adalah Aku”
Eksistensi diri seorang lesbian, bukan merupakan proses
perjalanan pencapaian material dan pengakuan saja, melainkan lebih
pada nilai atas dirinya. Proses pencapaian atas nilai manusia bisa
digambarkan dengan bagaimana diri seorang lesbian haruslah
didefinisikan oleh dirinya sendiri, bukan oleh konsep yang dipahami
orang lain. Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang
diamati dengan membagi Diri kedalam dua bagian, yaitu Ada untuk
dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada
dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif
yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan mineral. Ada
untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara
Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna
dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama untuk
mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh (Tong,
1998:255).
Pandangan kritis yang diperlukan untuk memahami bahwa
lesbian ada untuk dirinya sendiri, seseorang lesbian menyadari bahwa
tubuh dan pilihan atas hidupnya adalah bagian dari ke-Aku-annya
diidentifikasikan oleh dirinya, bahwa tubuh dan pilihannya adalah
bagian dari dirinya bukan bagian tubuh atau pilihan orang lain. Kita
dapat melihat bagaimana orang lain, atau masyarakat sosial selalu
memahami bahwa pilihan atas diri bahkan tubuh seorang lesbian dapat
mereka identifikasikan menurut apa yang mereka yakini dan pahami.
45
Sehingga “Aku” lesbian tidak mampu menunjukkan ke-Aku-annya
dalam proses kehidupan yang dijalaninya.
Namun dengan Ada yang ketiga, yaitu Ada untuk yang lain,
Sartre kadang-kadang menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam
dua bentuk. Secara positif sebagai M it-Sein, sebagai ada yang komunal.
M eskipun demikian Sartre lebih sering menggambarkannya secara
negatif, yaitu Ada yang melibatkan “konflik personal karena setiap Ada
untuk dirinya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri
dengan secara langsung atau tidak langsung menjadikan lain sebagai
obyek. Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya
sendiri sebagai subyek, sebagai Diri, tepat dengan mendefinisi Ada
Liyan sebagai obyek, sebagai Liyan, tindak kesadaran membentuk
sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial yang
konfliktual. Dengan demikian, proses definisi diri adalah proses untuk
menguasai Liyan (Tong, 1998: 256).
Dengan demikian “Aku” masih menjadi sebuah kuasa atas Aku.
Dimana Aku (sosial) mendefinisikan “Aku” (lesbian) sebagai yang lain.
Bukan merupakan diri yang secara sadar dapat mendefinisikan dirinya
dengan kebebasannya. Dalam pencapaian eksistensi lesbian yang
penuh dengan nilai dan makna akan mengalami hambatan ketika
lesbian masih dianggap sebagai Liyan, yang masih menjadi obyek
definisi dan nilai oleh konstruksi sosial masyarakat saat ini.
Pemahaman yang berkembang di masyarakat atas tubuh, seks, gender
dan seksualitas yang utuh belum menjadi sebuah budaya yang dapat
dideskonstruksikan untuk memahami dan menghargai apa yang ada
pada diri orang lain. Bahwasanya mendefinisikan diri atas tubuh, seks,
gender dan seksualitas adalah sebuah kesadaran yang ada dalam Aku
dan dimiliki oleh masing-masing dari diri.
Sehingga muncul satu rangkaian yang penting, bahwa
pemahaman atas tubuh, seks, gender dan seksualitas adalah penting.
Dengan pemahaman tersebut, seorang lesbian akan mampu memahami
dan menyadari tentang orientasi penuh atas tubuh dan dirinya.
Sehingga kemudian akan muncul kesadaran dan kekritisan pada diri
46
untuk menganalisis dan merefleksikan tentang makna atas eksistensi
diri sebagai Aku lesbian, bukan Aku sosial. Pola pendidikan kritis akan
membantu seorang lesbian dalam menyadari dan memahami orientasi
atas tubuh dan dirinya sendiri dalam proses penerimaan diri. Proses
untuk benar-benar memahami diri sendiri sebagai Ada untuk dirinya
sendiri akan terus berkembang untuk mencapai pemaknaan atas
eksistensi dirinya.
M engungkap ke-Aku-an
Untuk mengungkap bagaimana proses penerimaan dan
eksistensi diri seorang lesbian, penulis menggunakan studi kasus dari
Kris untuk menemukan dinamika yang berkembang pada dirinya. Unit
amatan dalam bagian pembahasan ini adalah Kris seorang lesbian, dan
Roh seorang heteroseksual. Studi kasus dari keduanya akan
menggambarkan bagaimana proses penerimaan diri dan proses
pencapaian eksistensi diri seseorang lesbian dan heteroseksual.
Kemudian yang menjadi unit analisis adalah modal yang dimiliki di
dalam diri serta dialog yang terjadi dalam diri lesbian maupun
heteroseksual, memahami dan berproses dalam penerimaan diri. Selain
itu bagaimana Kris dan Roh memahami konsep atas orientasi tubuh,
seks, gender dan seksualitas akan menjadi sebuah proses awal dalam
dirinya untuk mencapai penerimaan dan eksistensi dirinya. Apa yang
penulis temukan dalam dialog bersama dengan Kris dan Roh akan
menjadi temuan yang dapat dianalisis untuk melihat eksistensi dirinya.
Proses penerimaan diri dan eksistensi diri seorang Kris dan Roh yang
penuh dengan dinamika dan problematikanya merupakan sebuah fakta
yang unik untuk diungkapkan. Pola-pola yang dipakai dalam
pemahaman atas konsep tubuh dan seksualitas, sampai pada titik
kesadaran yang menghasilkan kekritisan dalam diri dan lingkungan
sekitarnya menjadi penting untuk diketahui. Berbagai dialog serta
refleksi atas dirinya akan membantu penulis dalam menggambarkan
bagaimana Kris melampaui proses penerimaan dan eksistensi dirinya.
47
Tidak dapat dipungkiri ketika Kris menyadari bahwa dirinya
dengan orientasi seksualnya masih belum dapat diterima oleh
masyarakat akan menjadi salah satu faktor yang menjadi hambatan
bagi Kris untuk membangun eksistensi dirinya. Dari hal tersebut akan
memperlihatkan bagaimana kesadaran diri yang dibangun Kris untuk
dapat berdialog dan berstrategi dalam proses pencapaian Aku,
menyadari bahwa Ada-nya Kris untuk dirinya sendiri sebagai subyek
atas diri dan bukan obyek atas orang lain. Banyak lesbian yang mampu
membangun eksistensi diri dengan cara masing-masing, namun masih
banyak juga lesbian yang belum dapat mencapai proses penerimaan diri
dan membangun eksistensi dirinya. Sehingga dalam bab ini penulis
ingin menunjukkan bagaimana pentingnya seorang lesbian
membangun eksistensi dirinya dengan tantangan yang tergambar
diatas.
Pembahasan proses penerimaan dan eksistensi diri seorang
lesbian ini akan dibagai ke dalam empat pembahasan untuk melihat
deskripsi diri dari seorang lesbian. Dibagian pertama (1) akan
dijelaskan tentang deksripsi diri seorang lesbian dan heteroseksual, (2)
deskripsi modal penegetahuan seorang lesbian dan heteroseksual, (3)
deskripsi modal pengetahuan praksis seorang lesbian dan
heteroseksual, dan yang keempat (4) sejarah penerimaan diri seorang
lesbian dan heteroseksual.
Life H istoris Kris dan Roh
Proses panjang yang dengan dinamika kehidupan yang naik
turun, mungkin inilah yang tergambar dari sebuah proses coming in
atau penerimaan diri seorang lesbian. Penerimaan diri menjadi sebuah
pondasi penting dalam pencapaian eksistensi diri. Proses memahami
nilai dan makna diri secara sadar sehingga menjadikan diri lebih
mampu mengaktualisasikan diri, dan kembali kehakikatnya sebagai
manusia.
48
Pembebasan diri atas dogma dan nilai yang dilebelkan pada
lesbian adalah sebuah proses berat bagi seorang lesbian.Namun
seberapa beratnya proses tersebut, akan terus dijalani sampai pada titik
dimana seorang lesbian menyadari dirinya sebagai manusia yang
memiliki hak atas kehidupannya. Nilai tertinggi dari segala aspek
kehidupan dalam diri seorang manusia bukan hanya nilai material saja,
melainkan nilai spiritual dan ideology dalam hidupnya.
Penerimaan diri dalam hidup seorang lesbian maupun
heteroseksual membutuhkan proses yang berbeda dari masing-masing
individu. M embutuhkan kesabaran diri, analisis dan reflesi atas setiap
pikiran dan tindakan. Dibawah ini akan menceritakan sebuah proses
perjalanan panjang seorang lesbian, dengan proses perjalanan panjang
kehidupannya sampai pada titik dimana terdapat sebuah kesadarn akan
nilai dirinya, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
menghargai dan menjadi seseorang yang memiliki nilai dan berguna
untuk orang lain.
Kris besar disebuah kota di daerah Jawa Tengah, bersama
kakak, adik dan kedua orang tuannya. Kedekatan dengan orang tua
membuat dia merasa disayangi sebagi bagian dari keluarga.Cerita ini
berawal dari dimulainya Kris membangun relasi dengan seorang
perempuan dikelasnya bernama Ayu saat SM A ditahun 2000. Kris
adalah seorang yang pemalu, komunikasi yang dijalin dengan Ayu
diwaktu itu melalui berbalasan surat, karena ditahun itu belum banyak
orang yang menggunakan telepon genggam. Dengan surat itu, Kris
menyatakan ketrtarikannya terhadap Ayu, dan dibalas dengan sebuah
penerimaan. Relasi yang mereka bangun terjalin dengan baik. Hal ini
dikarenakan tidak adanya permasalahan atas mana yang normal dan
tidak normal. Pemahaman yang berkembang adalah ketika mencintai
siapapun dan apapun gender mereka, bukanlah menjadi masalah yang
rumit seperti yang terlihat diwaktu sekarang ini.
Hingga tibalah di tahun 2000 disaat kelulusan, Kris
memutuskan untuk bekerja di Semarang tepatnya di sebuah pabrik roti
sembari menungguu ijasah sekolah dikeluarkan.Setelah menunggu
49
beberapa waktu, ijasah pun didapatkan,kemudian Kris merantau ke
ibukota untuk mencari pekerjaan.Dan Ayu pun saat itu juga sudah
berada di ibukota untuk bekerja.Namun mereka bekerja dipabrik yang
berbeda, dan komunikasi masih berjalan dengan baik.
Sampai pada tahun 2001 Kris memutuskan untuk datang ke
Ungaran mencari dan memulai pekerjaan yang baru disebuah
pabrik.Tak selang berapa lama, Ayu menyusul Kris ke
Ungaran.Berjalannya waktu, setelah mereka sama-sama bekerja di
Ungaran, konflik antara Kris dan Ayupun terjadi. M asalah pertama
yang muncul adalahtanpa disadari ternyata kakak laki-laki Kris juga
tertarik pada Ayu sejak mereka masih di SMA dan masih tinggal di
daerah asal mereka yaitu, Purwodadi.Ayu menjalin hubungan dengan
kakak laki-laki
dan juga masih menjalin hubungan dengan
Kris.Namun Kris menyadari bahwa hubungan itu tidak sehat, sehingga
Kris memutuskan untuk mengakhiri relasinya dengan Ayu. Sampai
pada akhirnya Ayu resmi menjadi kakak ipar Kris. Berat namun
begitulah proses kehidupan yang dijalani Kris.
Di tahun 2005 Kris keluar dari pekerjaannya disebuah pabrik di
Ungaran.Ditahun itu Kris memiliki pasangan bernama Titi dan
keduanya memutuskantinggal bersama.Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, Titi mengajak Kris untuk mencari pekerjaan di Bali.Dan sebelum
mereka ke Bali, orang tua Kris datang ke Ungaran untuk menjenguk
Kris.Namun diwaktu itu orangtua Kris tidak dapat bertemu dengannya,
maka orang tua Kris menitipkan pesan melalui sebuah surat pada Titi.
Namun ternyata pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tua Kris
pada Titi tidak pernah disampaikan.
Akhirnya mereka berdua berangkat ke Bali. Di kota itu mereka
berdua mendapat pekerjaan tetapi mereka bekerja ditempat yang
berbeda. Proses kehidupan mereka jalani, sampai dengan munculnya
konflik karena kondisi ekonomi yang pas-pasan yang sebenarnya tidak
diharapkan oleh Titi. Titipun kerap melakukan kekerasan fisik pada
Kris.“Kekerasan ini nyaris terjadi setiap hari. “ Kekerasan lain muncul
ketika aku menolak ajakan Titi untuk berhubungan seksual. Titi tidak
50
pernah mau mengerti kondisiku.Pulang kerja semua terasa capek tapi
Titi tidak mau tahu, “cerita Kris saat obrolan kami mengenai kekerasan
yang dialaminya. Tidak ada komunikasi yang terjalin dengan baik
ketika hal-hal itu terjadiHal lain yang muncul dan menjadi masalah
adalah rasa cemburu Titi ketika melihat Kris diantar seorang teman
laki-laki disaat pulang kerja.Hal ini juga menimbulkan tindakan
kekerasan bagi Kris.Umpatan dan pukulan sering diterima oleh Kris
ketika Titi marah dan tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.
Karena Kris merasa tidak ada perubahan yang baik dalam
perekonomin dan juga relasinya dengan Titi, Kris memutuskan untuk
kembali ke Ungaran bersamadengan Titi.Akhirnya mereka berdua
kembali ke Ungaran, dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk
mendapatkan pekerjaan di Ungaran.M ereka bekerja di pabrik yang
berbeda.Satu hal yang cukup menrik disini adalah gambaran tentang
identitas relasi yang dibangun oleh Titi. Ada dua kondisi yang berbeda
yang terjadi ketika mereka berada dalam lingkungan pabrik yang
berbeda.Pertama, Titi memunculkan Kris sebagai seorang laki-laki
dihadapan teman-teman dilingkungan pabrik tempatnya bekerja.Dan
untuk memperkuat bentukan Titi dalam lingkungan tempatnya
bekerjanya, Titi meminta Kris berfoto layaknya pernikahan
heteroseksual dengan pakaian umumnya laki-laki.Yang kedua, kondisi
berbeda ditunjukkan oleh Kris pada lingkungan dan tempat ia bekerja.
Temen-teman pabriknya mengetahui benar bahwa relasi Kris dan Titi
adalah relasi lesbian. Hal inilah yang menimbulkan sebuah pertanyaan
ketika teman-teman Kris melihat foto dikamar kosnya dengan pakaian
pernikahan dan Kris diperankan sebagai laki-laki dengan tata rias da
busana layaknya pengantin laki-laki.
Proses terus berjalan tetapi kondisi tidak kunjung membaik.Di
Ungaran kekerasan fisik, ekonomi dan seksual pun terus terjadi kepada
Kris .Hal itu membuat Kris selalu berupaya untuk membuat Titi
merubah kebiasaan kasarnya kepada Kris.Namun Kris belum dapat
membuat Titi menyadari dan merubah perilaku kasarnya.Sampai pada
suatu hari di tanggal 17 Agustus 2008 terjadi konflik besar antara Kris
51
dan Titi. Karena kemarahan yang luar biasa, Titi nyaris
melenyapkannyawa Kris dari muka bumi. Kris hampir terbunuh
karena kemarahan Titi yang tak terbendung. Namun teman-teman
Effort segera datang untuk menengahi masalah mereka.Salah satu
teman Effort sudah mengenal Kris dari tahun 2000 ketika Kris masih
bekerja di Semarang.
Hingga akhirnya keduanya dibawa ke basecamp Effort dengan
dua motor. Di Basecamp dilakukan dialog untuk menyelesaikan
masalah ini. Karena hubungan yang mereka jalin sudah tidak baik,
maka disarankan agar mereka introspeksi dan tidak berdekatan dalam
waktu yang cukup untuk menimbang relasi mereka. Dengan berbagai
pertimbangan, Kris dan Titi akhirnya mengambil keputusan untuk
menyudahi relasinya pada akhir Agustus 2008.
Sebelum relasi antara Kris dan Titi berakhir, Kris mengenal
seorang teman dipabrik tempat dia bekerja dan perempuan itu bernama
Sila. Setelah hubungan Kris dengan Titi berakhir, Kris menjalin relasi
dengan Sila.Relasi ini hanya berjalan selama 1 tahun.Kris memberikan
ruang untuk Sila belajar bersama dengan komunitas di Effort. Kris dan
Sila selalu menghadiri kegiatan dan diskusi secara bersama-sama
dengan komunitas yang di bangun Effort. Hubungan Kris dan Silapun
berakhir genap diusia 1 tahun mereka membangun relasi. Disaat-saat
terakhir relasinya dengan Sila, Kris kembali
mengenal sosok
perempuan bernama Nia. Krispun mengikuti perasaannya untuk
menjalin hubungan spesialnya bersama Nia.Alasan inilah yang
membuat Kris memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan
Sila.
Di sisi lain Krisselalu punya kebiasaan untuk memperkenalkan
pasangannya pada keluarganya. M emperkenalkan pasangan pada
keluarga, bagi Kris adalah upaya untuk mendekatkan pasangannya
pada keluarga Kris. Tak jarang pasangan Kris juga menginap di rumah
orang tua Kris. M enurut Kris, Nia adalah pasangan yang berbeda dari
pasangan-pasangan sebelumnya.Nia mempunyai cara pendekatan yang
baik dengan orang tua Kris,sehingga Nia cukup dekat dengan orang tua
52
Kris. Namun berbeda dengan orang tua Kris, orang tua Nia menolak
hubungan mereka. Sampai pada akhirnya Nia dipaksa pulang oleh
orangtuanya dan kembali ke kota asalnya, Pacitan. Keputusan
orangtua Nia membuat panik dan tanpa berpikir panjang, Kris
menggadaikan BPKB motor untuk menemui Nia di Pacitan.
Kedatangan Kris ke Pacitan adalah untuk menanyakan tentang
keseriusan Nia menjalin hubungan dengan Kris.
W aktu itu salah satu teman di Effort mengetahui bahwa Kris
pergi ke Pacitan, dimalam hari saat Kris sampai di Pacitan,Kris
mendapat telepon dari teman Effort yang menawarinya sebuah
pekerjaan. Krispun langsung menerima tawaran tersebut, meski
sebenarnya ia masih dalam kondisi limbung. “ Disaat itu aku hanya
berpikir bahwa manakah yang terbaik untukku dan Nia, sampai
akhirnya aku memutuskan untuk menerima pekerjaan dan kembali ke
Ungaran. Disaat orangtua Nia tidak menyetujui relasi ini, aku
menimbang bahwa, ketika menyayangi seseorang, tidak berarti harus
mengikat orang yang kita disayangi. Setiap hubungan atau relasi
apapun haruslah saling membebaskan, dan menghargai setiap proses
masing-masing untuk saling berkembang” ungkap Kris ketika
menceritakan proses pembebasan relasinya dengan Nia.
M enurut Kris relasinya dengan Nia, sampai keputusan akhir
yang diambilnya adalah proses dimana dia memahami makna
menyayangi yang sesungguhnya. Relasi inilah yang sangat membuat
Kris merasa bahwa inilah sebuah relasi yang penuh dengan nilai.
Bukan saling mengikat, saling merugikan, penuh dengan kekerasan,
namun membebaskan satu dengan yang lainnya untuk menjalani
proses kehidupannya dengan lebih baik.
M alam itupun di tahun 2009 Kris pulang ke Ungaran dan
menerima tawaran pekerjaan yang diberikan padanya.Dan setelah itu
Kris mulai aktif mengikuti kegiatan dan diskusi dengan
Effort.Komunitas membantu setiap proses dalam kehidupan Kris untuk
penerimaan dirinya, atas orientasi seksualnya, dan bagaimana
mengelola gejolak batinnya karena sering diolok-olok oleh kakaknya
53
karena orientasi seksualnya. Dengan pengalamnannya bersamatemanteman Kris belajar banyak hal. Disaat ingin membangun relasi, Kris
sangat hati-hati dan menimbang banyak hal. Semua dia hitung dan
pertimbangkan karena pengalaman berelasi sebelumnya telah memberi
pelajaran tersendiri bagi Kris.
Di akhir tahun 2009 Kris menjadi peserta pelatihan yang
diadakan rutin setiap satu tahun sekali oleh Effort untuk
komunitas.Pelatihan itu bertema HIV/AIDS, diproses itulah Kris
bersedia bercerita dan sharing didepan teman-teman komunitas
tentang kekerasan yang dia alami saat menjalin relasi dengan
pasangannya.Pada tahun 2009 kegiatan Effort masih bersama dengan
kelompok heteroseksual dan belum ada teman lesbian yang bergabung
selain Kris. Sore itu Kris mulai menceritakan kisahnya, proses
kehidupan yang dia alami bersama dengan mantan pasangannya dulu
yang penuh dengan kekerasan. Selesai bercerita, bukan penolakan yang
Kris dapatkan dalam forum itu, tapi empati dari peserta
pelatihan.Testimony Kris menjadi pengalaman dan pelajaran berharga
bagi peserta pelatihan.Bahwa kekerasan dalam hubungan apapun, dan
orientasi apapun adalah tindakan yang harus ditolak bersama. Temanteman pun akhirnya saling berbagi atas atas apa yang dilihat maupun
yang dialami, termasuk pengalaman peserta pelatihan yang lain yang
juga mengungkapkan fakta di keluarganya ada juga yang berorientasi
seks pada sesama jenis.Testimony yang dilakukan Kris, akhirnya
membuat teman-teman pelatihan yang lain terbuka bahwa tidak ada
yang salah dan tidak ada yang perlu ditolak dari relasi lesbian karena
itu adalah pilihan orientasi seksual dan merupakan hak asasi setiap
orang. Yang harus ditolak adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan
terhadap manusia tanpa melihat latar belakang, orientasi seksual,
pendidikan dan lain sebagainya.
Kini Kris sudah menerima dirinya sebagaimana adanya dirinya
dan orientasi seksualnya.Kris ingin belajar banyak hal, terus berupaya
untuk menjadi lebih baik dan dapat melakukan sesuatu bagi orang lain
disekitarnya. Proses belajardi Effort dan apa yang ia dapatkan selalu ia
54
bagikan kepada teman-teman di pabriknya tempat dia bekerja. Kepada
ibu-ibu ditempatnya bekerja dia membagi banyak hal, termasuk
tentang HIV/AIDS, PM S, Kesehatan, dan lain-lain. Proses itulah yang
membuat teman sekerja yang mayoritas adalah ibu-ibu, menjadikan
Kris sebagai sumber informasi. Disinilah aktualisasi diri Kris sebagai
seorang manusia mencapai eksistensinya.Bukan dengan pemenuhan
atas materi semata, namun dengan niali-nilai yang dapat bermanfaat
bagi orang lain disekitarnya.
Penerimaan diri adalah bagian terawal dalam sebuah proses
aktualisasi diri. Dengan penerimaan diri, maka seseorang akan terus
melakukan apa yang menjadi tujuan baik baginya. Jadi, aktualisasi diri
adalah bagian dimana kehidupan seorang dapat berguna dan
bermanfaat bagi mahkluk lainnya. Satu hal yang Kris sampaikan, ”
Ketika aku merasa dihargai sebagai seseorang dengan apa adanya
diriku, aku merasa bermanfaat dan berguna bagi lingkungan
disekitarku, itulah titik kenyamanan dan kebahagiaanku.”
Kenyamanan dan kebahagiaan inilah yang disebut sebagai eksistensi
diri seorang lesbian.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Effort “ Membangun
Ruang Kemanusian Tanpa Batas ( Sebuah Proses Pengorganisasian ) “
Kris menuliskan kisah kehidupannya. Di bawah ini, sepenggal cerita
yang disampaikan oleh Kris.
“ Pada pertengahan tahun 2012, ada perubahan yang luar biasa
yang kurasakan di diriku. Aku putus dengan pacarku, dan hari kedua
idul fitri tahun 2012 aku pergi ke Yogyakarta bersama teman dari
Effort, dan pada saat itulah aku merasa menjadi manusia merdeka
karena nggak ada lagi pacar yang melarang aku pergi. Dan akhirnya
aku memutuskan untuk memperbaiki diri dan belajar serius.
Terimakasih kepada teman-teman karena aku dikennalkan pada
banyak hal yang selama ini aku tidak tahu.
Dari hari ke hari aku semakin punya semangat dan aku tambah
tahu apa yang harus aku lakukan dalam hisup ini. Tehnik dan strategi
dalam menjalankan peranku sebagai seorang CO (Community
55
Organizer) semakin bertambah. Beberapa kali melakukan pendekatan
dengan komunitas buruh lesbian bersama dengan teman-teman Effort
membuat aku semakin mengerti dan memahami bagaimana melakukan
pendekatan pada komunitas. Dari semua ini, aku jadi tahu kesabaran
dari teman-teman Effort dalam mengorganizer lesbian. kesulitan ini
juga aku alami. Tetapi ini juga yang aku alami dulu, susah diajak
berkembang karena belum beres dengan diri sendiri. Aku sadar masih
banyak yang harus aku pelajari untuk meningkatkan kemampuanku
sebagai seorang CO.
Ada yang membuatku paling senang adalah aku tetap menjadi
diriku sendiri, apapun keadaannya. Dan ini selalu aku sampaikan pada
teman-temn siapapun mereka dan apapun orientasi seksualnya. Jadilah
diri sendiri dan berdamailah dengan diri sendiri. Aku sering menyesali
kebodohan masa laluku, tetapi aku tahu penyesalan ini harus aku tebus
dengan semangat belajar agar hidupkubisa lebih berarti. Dan terus
mengisi pikiran karena sekarangaku tahu pikiran adalah pelopor
dunia”. (W idiawati, 2013:66)
Inilah cerita singkat tentang Kris, dan tulisan Kris juga adalah
gambaran tentang nilai dirinya dan pencapaian eksistensinya.
Pergeseran makna dan pandangan tentang tujuan dan hakikat atas
dirinya. Proses pembebasan diri yang terus diupayakan dari saat ke saat
untuk sampai pada proses penerimaan diri,proses aktualisasi diri
dengan tujuan hidup yang penuh dengan nilai.
Setiap proses didalam perjalanan kehidupan seseorang,
siapapun itu pasti mengalami sebuah dinamika, ada titik dimana diri
merasa sangat frustasi, namun tetap akanada titik dimana dia
menyadari dirinya “ada” dalam sebuah makna atas dirinya didunia ini.
Cerita singkat kehidupan Kris diatas juga merupakan sebuah proses
panjang tentang memaknai dirinya sebagai yang “ada” dikehidupan ini.
Eksistensi diri akan dicapai oleh siapapun orang itu ketika seseorang
menyadari benar tentang potensi dan bahwa dirinya berharga. Untuk
melihat sebuah proses lain dibawah ini akan digambarkan singkat
sebuah perjalanan kehidupan seseorang yang memiliki pilihan lain
56
atas hidupannya. Dan dengan cerita ini kita akan melihat bagaimana
proses eksistensi diri seorang heteroseksual dalam perjalanan
panjangnya dan akhirnya menjatuhkan pilihan hidup demi
kenyamanan dan kebahagiaanya.
----Roh adalah seorang perempuan yang lahir di pinggiran kota
Salatiga, kini usianya 43 tahun. Hampir setengah abad proses
kehidupan yang dia jalani. Bukan lagi usia muda, namun kematangan
diri yang nampak dengan proses perjalanan kehidupan yang panjang.
Selama 43 tahun proses demi proses dilalui olehnya untuk menemukan
nilai atau makna tertinggi atas diri dan proses hidupnya. Berbagai nilai
spiritual, bagaimana memahami materialismedan nilai -nilai hidup
yang berarti tidak hanya bagi diri Roh sendiri,tetapi berarti bagi
penulis, dan sebagaian besar orang yang mengenalnya.
Roh adalah bagian
dari anggota kelompok yang selalu
menyediakan diri untuk terus belajar bersama dengan teman lain di
lembaga Effort. Proses perkenalan dengan teman di Effort diawali dari
banyaknya pengurus Effort ditahun 2000an yang berasal dari lembaga
Yasanti (sebuah lembaga perempuan tertua di Indonesia yang concern
pada isu Buruh Perempuan), dan banyak juga buruh pabrik diwaktu itu
yang sering belajar bersama dengan lembaga yasanti. Ditengah-tengah
proses bersama dengan yasanti, Roh sebenarnya mulai mengenal
teman-teman Effort, karena beberapa teman dari Yasanti mendirikan
Effort. Cerita perkenalan ini dimulai dari seorang teman bernama Lia,
seorang buruh pabrik yang bekerja dengan Roh dipabrik yang sama.
Lia sering mengikuti kegiatan diluar bersama teman-teman Effort, dan
apa yang didapatkan dalam kegiatan dan perjumpaanya dengan teman
Effort selalu diisampaikan kepada beberapa teman dipabrik termasuk
Roh.
Sampai pada suatu hari di tahun 2004 Lia di PHK dari pabrik.
Beberapa waktu setelah itu Lia memutuskan untuk bekerja di
Surabaya. Namun Lia berpikir bahwa dia akan merasa sangat bersalah
ketika Roh dan beberapa temannya tidak diperkenalkan dengan
57
teman-teman di Effort karena beberapa alasan. Dari sinilah awal
perkenalan dan kedekatan Roh dengan Effort. Disebuah malam setelah
pulang dari pabrik sekitar tahun 2004, Roh dan seorang temannya
memutuskan untuk berkunjung ke Effort. Pada waktu itu di tahun
2004 Effort belum terbentuk, namun beberapa teman sudah aktif
bersama dalam kegiatan dan gerakan social. Dimalam itu Roh dan
temannya bertemu dengan beberapa teman Effort. Diawal perjumpaan
itu, terjadi banyak diskusi beberapa diantaranya adalah tentang
kesehatan seksual, menstrurasi dan sampai pada obrolan mengenai
tujuan hidup seseorang. Di awal salah seorang teman Effort membahas
mengenai pilihan atas menikah atau tidak menikah. Karena Roh juga
adalah orang yang sudah berpikir lama tentang proses pilihan itu, Roh
menyampaikan bahwa menikah itu adalah ibadah dan sunah, sehingga
menikah bukanlah suatu kewajiban. Sebuah pilihan yang tentu saja
didasari oleh argumen yang cukup kuat tentunya.
Hingga proses-proses lain bergulir ditahun-tahun berikutnya.
Samapi pada Effort resmi berdiri di tahun 2007, tahun yang sama
ketika Roh memutuskan untuk keluar dari pabrik tempatnya bekerja.
Ada beberapa alasan yang cukup menarik dan berbeda dari keputusan
Roh untuk keluar kerja. Alasan-alasan itu diantaranya adalah pekerjaan
menjadi seorang buruh pabrik itu tidak ada seninya. Tuntutan sift dan
bekerja selama 8 jam bahkan lebih tidak menghasilkan sesuatu yang
baru dan berbeda bagi Roh. Sebuah keputusan yang sulit dilakukan
oleh orang lain, yaitu berhenti bekerja. Cukup unik dan menarik,
bahwa pilihan adalah salah satu proses kehidupan yang penuh dengan
seni untuk menjalankannya.
Roh mengikuti kegiatan pertama di Effort pada tahun 2009
yaitu di kegiatan pelatihan HIV/AIDS. Ditahun yang sama juga ketika
Kris mulai mengikuti kegiatan pelatihan bersama Effort. Setelah
pelatihan itu, Roh rutin berproses dan belajar bersama dengan temanteman kelompok lainnya di Effort. Proses yang cukup lama hingga
tahun 2014 ini belajar, berbagi, saling mengerti dan menerima sesama.
58
Sejak SM P, Roh sudah memiliki pola pikir yang berbeda
dengan remaja lain seusianya. Di usia SM P Roh sudah memiliki
pemikiran yang bergejolak tentang sebuah relasi pernikahan, hingga
pemikiran untuk tidak menikah.Dan pilihan itu terus diperkuatnya
hingga sekarang. Bukan sebuah keputusan yang mudah karena banyak
kendala dan penolakan dari eksteral seperti keluarga dan juga
lingkungan terdekat Roh. Ketika melihat bagaimana kakaknya
membina sebuah hubungan pernikahan, dan bukan menuju pada
kebaikan bersama, tapi justru sebaliknya.Yang terjadi dalam pandangan
Roh adalah proses yang cukup berat dengan kehadiran 5 orang anak.
Bukan hanya itu, bagi Roh menikah bukanlah satu-satunya solusi yang
terbaik bagi proses kehidupan. Tentu pemikiran ini sangat bertolak
belakang dengan pemikiran mayoritas orang. Proses kenyamanan,
kebahagiann terkadang tidak selalu diwujudkan dalam proses
perkawinan.Tidak bisa diingkari bahwa banyak fakta menunjukkan
bahwa perkawinan merupakan proses saling mengekang, tidak ada
kemandirian bagi masing-masing pasangan dan akhirnya menjadi
sumber penderitaan yang baru.
Roh menyampaikan gagasan dan pemikirannya dalam sebuah
obrolan bahwa “jalani saja proses kehidupan ini dengan baik, yang
terjadi biarlah terjadi, pikirkan apa yang sekarang kita hadapi, jangan
pikirkan esok hari, karena esok hari belum tentu ada”. Proses
pemikiran inilah yang menjadi dasar bagaimana Roh menjalani
hidupnya secara pribadi dan dilingkungan sekitarnya. Sehingga ketika
banyak orang membicarakan dirinya atas pilihannya untuk tidak
menikah, Roh hanya menanggapinya dengan sikap yang biasa saja dan
cukup memaklumi cara pandang yang berbeda dengannya. Bahkan
cenderung tidak medengarkan apa yang dinilaikan pada dirinya oleh
orang lain. Inilah bentuk perlawanan Roh atas penilaian orang yang
seringkali tidak bisa memahami ruang privat kehidupan orang lain.
Orang tua Roh dulu sangat mendorong Roh untuk menikah,
hingga ditahun 2013 sebelum bapak Roh meninggal, bapaknya masih
mendorong Roh untuk menikah. Ibu Roh pun memiliki keinginan
59
yang sama untuk melihat Roh menikah, namun seiring dengan proses
dialog yang dibangun oleh Roh di keluarga, akhirnyakeluarga bisa
memahami dan menerima keinginan Roh.Ibu Roh kini hanya
menyerahkan seluruh kehidupan dan pilihan kehidupan pada Roh.
Roh selalu memaknai sebuah “kenormalan” yang ada dimasyarakat
dengan cara yang berbeda-beda. Karena Bagi Roh,“kenormalan” bisa ia
maknai secara pribadi yang bisa saja berbeda dengan orang
lain.Artinya, tergantung pada siapa dan bagaimana orang itu akan
menjalani hidupnya.
Latar belakang bapak Roh adalah seorang tokoh NU, dansosok
ibu yang punya prinsip kuat disepanjang perjalanan hidupnya.
Transformasi nilai-nilai spiritual menjadi sebuah dasar yang kuat
mengapa Roh berdiri dan “ada” seperti apa adanya saat ini. Pondasi
kekuatan diri dan independensi yang ditunjukkan ketika usia remaja
adalah sebuah prinsip dasar dimana pencarian makna akan diri telah
dimulai dan dilaluinya. Setiap ideology yang ada di kedua orang tua
Roh juga erat menjadi latar belakang proses menjalani kehidupan Roh
sampai saat ini.
Roh berasal dari keluarga yang taat dalam beragama, namun
ketika dihadapkan dalam proses keputusan untuk tidak menikah dan
menghadapi respon orang disekitarnya tentang pilihannya, Roh
menyampaikan bahwa ajaran agama adalah sebuah konsep. Tinggal
bagaimana kita melihat dan mengambil nilai yang diyakini dan mana
yang baik untuk masing-masing diri. Penafsiran orang boleh berbeda
mengenai ajaran agama, yang terpenting adalah demi kebaikan diri dan
tentunya tidak merugikan orang lain.
Suatu ketika Roh pernah dijodohkan dengan seorang laiki-laki
pilihan keluarganya. Namun Roh menolak, karena Roh sudah berpikir
untuk tidak menikah. Namun Roh mencoba menolak dengan alasan
yang baik. “Kalaupun aku menikah, itu adalah dengan orang pilihanku
sendiri, dan bukan karena perjodohan” begitu yang disampaikan Roh
pada orangtuanya. Saat ia dijodohkan, Roh memilih untuk pergi dari
rumah, dan memilih tinggal dikost di daerah Ungaran dekat dengan
60
tempat dia bekerja. Kepergiannya dari rumah adalah sebuah proses
untuk membebaskan diri dari pernikahan beserta dengan belenggunya.
Selain itu keputusan untuk pergi juga adalahbagian dari penguatan
akan prinsip yang sudah ada semenjak dia masih duduk dibangku SM P.
Sampai akhirnya ditahun 1994 Roh kembali kerumah, untuk
mengahadiri pernikahan adiknya dengan laki-laki yang pernah
dijodohkan orangtuanya pada Roh. Roh tetap bersikap tenang dan
sangat menerima. Bahkan dia menyediakan diri untuk mengambil
bagian sebagai orang yang mengurus segala pesiapan pernikahan
adiknya, dan mengabadikan setiap proses pernikahan adiknya. Orangorang dilingkungan Roh sangat merasa kasihan terhadap Roh karena
pernikahan adiknya dengan laki-laki yang pernah dijohkan denganya.
Rasa haru dari orang disekitarnya membuat Roh juga merasa terharu
saat itu. Dan kini Roh hidup berdampingan rumah dengan adik dan
suaminya.
Keputusan untuk tidak menikah yang diambil Roh bukan
lantaran karena sakit hati dengan laki-laki atau pengalaman tidak baik
dengan laki-laki. Roh pernah bercerita”aku dulu juga punya pacar, aku
juga membuka diri dengan teman lawan jenis, dan kalaupun aku putus
dengan pacarku aku merasa sangat biasa dan tidak pernah merasa sakit
hati, karena memang begitulah proses yang harus dijalani kan”.
Roh adalah anak ketiga dari lima bersaudara dan sejaki dulu
Roh sudah nampak berbeda dengan saudara lainnya. Roh selalu punya
prinsip dan independensi diri yang kuat dalam setiap keputusan yang
diambilnya. Sampai pada titik memaknai orangtua dia pun berbeda
dengan yang lain. Dia tidak ingin mengorbankan diri pada keluarga,
dalam artian menghabisi dirinya demi keluarga. Tetapi bukan berarti
Roh tidak perduli dengan keluarganya. Ada ruang yang paling pribadi
yang mampu ia jaga. Bahkan Roh sempat mengatakan, “ kalau orang
tuaku meninggal karena memikirkan aku tidak menikah, itu bukan
karena kesalahan atas keputusnku yang menyebabkan mereka
meninggal, itu hanyalah takdir yang harus dijalani setiap orang sampai
61
pada waktunya. Yang menjalani kehidupan ini adalah diri sendiri,
dengan setiap pemikiran dan keputusannya, bukan orang lain.”
Proses-proses yang dilalui Roh bersama teman-teman di Effort
menjadikan sebuah pengalaman belajar kedepan untuk sebuah
perjalanan panjang hidupnya. Roh menyampaikan bahwa Effort adalah
bagian dari support dan kekuatan untuk dirinya. Tidak ada penilaian,
tetapi terus membebaskan manusia dari berbagai kungkungan
apapun.Proses untuk saling membebaskan dan memanusiakan
manusia, adalah hal yang didapat dan selalu dibawa Roh dalam
menjalani kehidupannya. Itu nampak dari kehadiran seorang lesbian
didalam kegiatan bersama Effort. Roh dan teman-teman lain tidak
pernah menilai baik atau tidak, salah atau benar, bahwa setiap orang
sama dan yang terpenting adalah toleransi dan saling menghargai.
Bahwa proses belajar bersama ini adalah ruang yang di buka bagi
semua orang.
Sebelum penulis mengakhiri perbincangan dengan Roh, ada
satu hal lain yang Roh sampaikan. “ Hidup akan mati, harta dan benda
termasuk orang tua bukanlah milik kita selamanya. Yang paling
penting dan utama adalah perbuatan kita didalam kehidupan ini,
bahwa perbuatan kita itulah yang akan melekat pada orang dan yang
akan kita bawa sampai mati. Hidup kita harus penuh dengan motivasi
sama seperti yang aku sampaikan, jangan pernah merasa minder,
karena kita semua pasti mampu. Dan jangan perdulikan omongan
orang lain ketika itu hanya akan menghambat proses kita”. Inilah nilai
yang diterus dipegang oleh Roh dalam memaknai pencapaian tertinggi
atas dirinya, inilah eksistensi dirinya. Hal itulah yang terus dia
jalankan dalam prosesnya untuk sebuah aktualisasi diri.
Deskripsi Diri Seorang Lesbian dan H eteroseksual
Setiap proses yang berkembang pada diri seorang manusia
merupakan sebuah afeksi yang terus dinamis. Kedinamisan tersebut
bukan hanya jalan untuk menuju pemenuhan atas kebutuhan biologis
62
saja, melainkan mencoba untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas
seorang diri. Dimana dialog terhadap proses yang telah dijalani menjadi
sebuah refleksi untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Dari
setiap tahapan yang dijalani oleh seseorang, ada sebuah tahapan
terpenting yang terkadang kurang menjadi perhatian, yaitu proses
penjalanan penerimaan dan eksistensi diri. Penerimaan diri dan
eksistensi diri merupakan sebuah proses yang penting untuk
dideskripsikan agar memahami benar konflik serta dinamika
perjuangan diri seorang manusia. Bahwa dirinya harus menyadari
benar keber-Ada-annya sebagai mahkluk yang memiliki kebebasan
atau hak atas dirinya, menentukan dirinya sendiri, menerima setiap
resiko yang ada dan penuh tanggung jawab terhadap pilihan akan
hidupnya.
Eksistensi diri adalah proses yang dilalui setiap manusia,
siapapun itu, dan apapun orientasi seksualnya. Tidak ada batasan bagi
heteroseksual ataupun homoseksual. Namun demikian kita memahami
bagaimana heteronormatifitas menjadi nilai yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat, sehingga homoseksual termasuk lesbian memerlukan
upaya yang cukup keras untuk mencapai eksistensi drinya.
Problematika bahkan diskriminasi yang berlapis bagi lesbian menjadi
sebuah tantangan tersendiri bagi lesbian untuk berstrategi dalam
pencapaian eksistensi dirinya sebagai seorang manusia. Ada dua hal
yang menjadi problematika bagi lesbian yang harus terselesaikan untuk
mencapai eksistensi dirinya, yang pertama adalah penerimaan diri,
yang bersifat internal dalam diri seorang lesbian. Dan yang kedua
adalah
kemampuan
untuk
mendeskripsikan
dirinya yang
menitikberatkan pada kesadaran diri yang kritis untuk mencapai
haknya sebagai manusia yang bertanggung jawab atas dirinya.
Untuk lebih memahami bagaimana
lesbian dan heteroseksual, dalam sub bab
menggambarkan mulai dari proses mengenal
hetersoseksual. Dalam proses mengenal
eksistensi diri seorang
ini penulis akan lebih
diri seorang lesbian dan
siapakah lesbian dan
63
heteroseksual ini, akan difokuskan pada deskripsi awal yang penting
untuk diketahui bersama, yaitu deskripsi diri dari seorang Kris (lesbian)
dan Roh (heteroseksual). Deskripsi lesbian dan heteroseksual disini
bukan
untuk
membandingkan,
tetapi
untuk
membantu
menggambarkan bagaimana seorang diri membangun eksistensinya.
Bahwa eksistensi setiap orang adalah relatif, proses dan capaiannya
tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Namun pemaparan
eksistensi diri seorang lesbian dan heteroseksual disini adalah untuk
melihat bagaimana proses penerimaan diri dari seseorang atas diri dan
pilihan kehidupannya. Pada bagian ini penulis akan memaparkan
identitas dan latar belakang dari Kris dan Roh. Dengan dua studi kasus
ini diharapkan akan menemukan pola eksistensi diri seorang manusia
yang beragam, dan apapun orientasi seksualnya. Studi kasus yang
pertama adalah mengenal siapa Kris, dan apa yang melatar belakangi
kehidupan Kris dan keluarganya.
“Aku lahir di kota Purwodadi, kini usiaku sudah jalan 33 tahun.
Di Purwodadi aku tinggal bersama kakak, adik dan kedua orang
tua ku. Aku dulu sangat dekat dengan orang tua, kedekatan itu
membuat aku merasa disayangi sebagai bagian dari keluarga.
Aku sangat dekat dengan ibu ku sampai sekarang, mungkin
karena ibu ku selalu dirumah dan sangat memperhatikan anakanaknya. Dengan bapak juga cukup dekat tetapi karena bapak
ku bekerja di PJKA, jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu
dengan ibu ku, kami sering bersama sampai aku lulus SMA.
Setelah lulus SMA tahun 2000 aku ke Semarang untuk cari
pekerjaan. Pertama kali aku bekerja dipabrik roti di Semarang.
Tapi pekerjaan di pabrik roti itu hanya untuk mengisi waktu
luang sampai ijasah SMA ku bisa diambil. Nah pas ijasah ku
sudah keluar dan aku ambil, aku keluar kerja dari pabrik roti,
lalu aku ke Jakarta untuk cari kerja yang lain, karena aku sudah
bisa pakai ijasah ku untuk mencari pekerjaan”.
Dari profil diri singkat yang disampaiakan oleh Kris diatas dapat
menjadi sebuah awalan untuk mengenal Kris. M elihat bagaimana latar
belakangnya dan bagaimana kehidupan Kris bersama dengan
keluarganya. Tumbuh dalam keluarga yang terbangun kedekatan dan
kasih sayang. Dengan usia yang sudah dewasa, dan pendidikan sampai
pada jenjang sekolah menengah atas yang ia selesaikan. Pengalaman
64
kerja yang dia miliki hingga saat ini adalah dilingkungan pabrik,
tempat dimana Kris memulai proses dalam dirinya di usia dewasa.
Dalam studi kasus yang kedua ini akan membahas juga mengenai
deskripsi diri seorang Roh. Untuk memahami bagaimana diri Roh,
penulis mencoba mendeskripsikan diri dan latar belakang keluarga
Roh.
“ Saya asli Salatiga, usia ku kini 43 tahun. Aku menjalani
hidupku selama 43 tahun dengan banyak pengalaman baik
dilingkungan keluarga maupun lingkungan tempat aku kerja.
Aku anak ketiga dari 5 sodara. Mungkin aku yang beda dari
yang lain, lulus SMP aku merasa diriku sudah berbeda. Bapakku
itu tokoh NU, dan semua orang tau. Aku tau bapak ku orang
yang punya prinsip dalam hidupnya. Mungkin itu yang
menurun di aku. Ya tentunya pemikiran bapak yang cukup
terbuka melatar belakangi apa yang ada pada diriku sekarang”.
Usia yang hampir setengah abad, dengan proses perjalanan
kehidupan yang panjang telah di lalui oleh Roh. Latar belakang
keluarga NU, memperkuat prinsip dan keyakinan Roh dalam menjalani
setiap proses dalam hidupnya. Pendidikan yang hanya diselesiakan
pada jenjang sekolah menengah pertama tidak menjadi sebuah
halangan bagi Roh untuk menjadi orang yang terus membangun
kediriannya.
Deskripsi M odal Pengetahuan Seorang Lesbian dan H eteroseksual
M emahami diri adalah sebuah proses yang terus dinamis dan
berkembang. Namun dalam perkembangannya membutuhkan sebuah
pemahaman atas pengetahuan akan konsep yang terkait dengan pilihan
atas hidup masing-masing. Seorang lesbian maupun seorang
heteroseksual memiliki sebuah cara untuk memahami apa yang ada di
dalam dirinya. Pilihan atas kehidupannya, bersama dengan seorang
perempuan atau laki-laki, atau bahkan pilihan untuk menjalani hidup
tanpa pasangan adalah proses dialog yang tentunya membutuhkan
pemahaman atas beberapa hal yang terkait dengan seksualitas. Pada
65
sub bab ini penulis akan menggambarkan bagaimana Kris dan Roh
memahami istilah-istilah yang lekat dalam pilihan kehidupan mereka.
Ada beberapa istilah yang akan coba dideskripsikan oleh Kris
dan Roh untuk melihat pengetahuan yang telah mereka miliki sebagai
sebuah modal untuk berproses dalam kesadaran kritis akan makna
pilihan hidup masing-masing untuk sampai pada penerimaan diri dan
pencapaian eksistensi diri.
“Kalau menurutku seks itu lebih kepada jenis kelamin biologis,
kalau seksualitas itu lebih luas bukan hanya sebatas hubungan
seksual. Seksualitas itu di dalamnya juga menyangkut masalah
cinta, mengekspresikan diri, emosi, kemudian termasuk
perspektif dan bagaimana memahami diri dan tubuh kita.
Gender itu lebih kepada pemahaman atas pembedaan sifat
peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk
secara sosial di masyarakat, tetapi dengan pembedaan sifat
tersebut akan muncul ketidakadilan. Sedangkan istilah lesbian
itu adalah seorang perempuan yang tertarik dengan perempuan
lainnya, tetapi tidak hanya masalah cinta atau melihat dari fisik
saja, tetapi juga hal lain seperti emosi dan seksual.
Dari apa yang aku ketahui homoseksual itu adalah rasa tertarik,
seperti perasaan, emosi, kasih sayang, bisa berhubungan fisik
ataupun tidak pada sesama jenis. Kalau heteroseksual ya
ketertarikan dengan lawan jenis. Dulu sebelum aku ikut diskusi
di Effort ya aku sering mendengar istilah-istilah itu. Aku tau
tentang istilah itu, tetapi saat bergabung dikomunitas, ada
banyak diskusi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, dan itu
membuatku menjadi lebih paham karena ternyata bukan
maslah suka atau cinta tetapi ketertarikannya bisa dalam
berbagai hal yang luas”.
Dari pemaparan di atas, Kris dan Roh cukup memahami benar
istilah-istilah yang lekat dengan pilihan atas kehidupan mereka.
Konsep seksualitas yang digambarkan diatas menjadi sebuah modal
dalam diri untuk terus membangun keyakinan akan hidup masingmasing. Dengan memahaminya pun akan membantu dalam proses
berdialog dengan diri. Hal tersebut pun akan mempengaruhi
bagaimana kesadaran diri, dan kekritisan diri dalam menghadapi
pemahaman yang telah menjadi konstruksi sebagian masyarakat
tentang lesbian dan heteroseksual yang memutuskan untuk tidak
66
menikah. Sehingga Kris dan Roh akan berproses untuk mencari makna
atas seksualitas mereka masing-masing, bukan karena pemahaman
orang lain melainkan atas pemahaman yang dimiliki oleh diri.
Deskripsi M odal Pengetahuan Praksis Seorang Lesbian dan
H eteroseksual
Dari deskripsi yang ada pada sub bab tentang pengetahuan
formal pada Kris dan Roh diatas, akan terkait dengan deskripsi praktis.
Konsep yang ada saling berkaitan, istilah yang berkembang dan
penamaan yang dipakai dalam mendeskripsikan diri mereka juga
menjadi penting untuk dipahami. Pemahaman atau pemaknaan atas
penamaan yang melabeli masing-masing sebagai lesbian ataupun
heteroseskual juga menjadi sebuah modal bagaimana Kris dan Roh
memahami apakah ada perbedaan yang signifikan atas orientasi
seksual. Ataukah penamaan yang selama ini mereka ketahui dan yang
berkembang di lingkungan dan komunitas memiliki deskripsi yang
berbeda atau hanya sebagai sebuah alat untuk benar membedakan
manusia sesuai dengan kotaknya masing-masing.
“Dari dulu sampai sekarang ya lesbian yang aku pakai untuk
mengidentifikasikan perempuan yang tertarik terhadap sesama
perempuan. Dari dulu penamaan itu yang dipakai, tetapi
sebenarnya aku merasa penamaan itu tidak terlalu penting.
Dengan teman-temanku ditempat kerja aku rasa semua
memakai istilah itu, direlasi dan dikomunitas pun untuk
menamakan dan memahami perempuan yang tertarik dengan
perempuan ya dengan istilah atau penamaan lesbian.
Kalau maknanya sendiri lesbian adalah ketertarikan secara
banyak hal dari seorang perempuan pada perempuan lainnya
bukan hanya masalah seksual, tetapi bagaimana aku
mengekspresikan serta mengaktualisasikan diri ku dengan
pilihanku. Tapi bagiku maknanya tidak harus dibedakan, atau
bisa dikatakan sama saja, karena intinya menjalin hubungan
dengan siapapun itu kan sama saja. Mau dengan laki-laki atau
perempuan sama, yang penting tidak saling meny
COM I NG I N (PENERI M AAN DI RI ) DAN
EKSI STENSI DI RI SEORANG LESBIAN
Pengantar
Setiap perjalanan kehidupan manusia selalu dinamis, bahwa
manusia selalu berpikir dan berdialog dengan diri tentang proses
menuju kehidupan ke depan. Bisa saja terjadi penurunan dan
peningkatan pada pola pemikiran, batin, kesadaran dan penerimaan
atas kehidupannya. Salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan
setiap manusia adalah proses pencapaian nilai atau makan atas diri.
Nilai dan makna atas diri merupakan satu perdebatan batin yang terjadi
dalam diri manusia, dan ini adalah nilai refleksi puncak yang cukup
memerlukan proses yang sangat dialogis. Dalam proses pencapaian
eksistensi seorang manusia, penting sekali menurut penulis melukiskan
bagaimana eksitensi diri seorang lesbian, ketika begitu banyak lapisan
ketidakadilan dan diskriminasi yang masih didapatkan oleh
homoseksual (lesbian).
Penulis merasa perdebatan yang selama ini muncul di kalangan
masayarakat masih berada pada diskusi mengenai normal, tidak
normal, dosa, penyimpangan dan seksual yang sempit sebatas aktivitas
seksual dan relasi yang tidak semestinya saja. Kondisi pemikiran dan
penilaian sebagian masyarakat yang belum berubah tersebut, terkadang
memunculkan begitu banyak problematika dalam diri sebagian lesbian.
Jika memahami benar, bahwa kehidupan yang dijalani oleh lesbian
penuh dengan perjuangan sama halnya dengan seorang heteroseksual.
M emperjuangkan diri hingga mencapai proses penerimaan diri dengan
apa yang ada di dalam dirinya dan juga memperjuangkan hak serta
43
eksistensi dirinya sebagai bagian dari kehidupan. Lebih dari itu seorang
lesbianpun memiliki proses menuju pada aktualisasi diri yang
diharapkan, baik kesadaran akan diri, kekritisan, menggembangkan
batin dan proses menuju pada kehidupan sesuai dengan konsep nilai
yang terbangun pada dirinya.
Tulisan dalam bab tiga ini akan membahas bagaimana seorang
lesbian menunjukkan dinamika kehidupan menuju pada proses
penerimaan diri. Dimana dalam diri seorang manusia pasti memiliki
modal dalam pencapaian eksistensi diri. M odal tersebut akan sangat
berpengaruh dalam diri untuk proses menyadari, mengkritisi dan
menganalisis proses yang telah dilalui di dirinya yang kemudian akan
memunculkan sebuah refleksi untuk proses menerima dirinya dan
berlanjut pada eksistensi diri. Ketika proses menganalisis atau
mengetahui benar apa yang ada dalam diri “berada” dengan segala
usahanya, maka akan muncul sebuah kesadaran kritis untuk terus
memahami diri. Dalam setiap dinamika yang dilalui oleh seorang
lesbian, pasti menghadirkan banyak hal yang dapat menjadi sebuah
loncatan untuk mencapai kesadaran. Dimana dengan kesadaran diri
tersebut seorang lesbian akan mampu menentukan pilihan dan
keputusan akan dirinya. Prosesnya terus berkembang dan berjalan,
dengan refleksi panjang dari setiap pengalaman kehidupannnya, maka
dia akan terus berkembang, menjadi diri yang dia inginkan.
M eskipun tidak sederhana, namun haruslah di pahami bahwa
fenomena lesbian merupakan sebuah bagian dari kehidupan, bukan
hanya masalah diterima atau tidak diterima, melainkan banyak
problematika yang masih coba diselesaikan dengan baik oleh lesbian.
Diri lesbian membutuhkan proses mengetahui dan memahami setiap
konsep yang terkait dengan dirinya. Pengetahuan akan seksualitas,
tubuh, penerimaan diri, eksistensi diri dan mengembangkan diri dalam
kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang yang tetap terus
dilakukan.
Dalam pembahasan mengenai eksistensi diri, penulis akan
memaparkan fakta empiris tentang proses dan dinamika diri seorang
44
lesbian mencapai pada sebuah tahapan penerimaan diri dan cara
membangun eksitensi dirinya. Bagaimana pengetahuan yang dimiliki
seorang lesbian dapat menjadi modal awal dalam proses eksistensi
dirinya. Penulis menggunakan beberapa konsep yang akan membantu
dalam memahami bagaimana proses eksistensi diri seorang lesbian
dicapai. Beberapa konsep yang dipakai akan sangat membantu penulis
dalam memaparkan dan menganalisis hasil temuan dilapangan.
Eksistensi Diri “Aku adalah Aku”
Eksistensi diri seorang lesbian, bukan merupakan proses
perjalanan pencapaian material dan pengakuan saja, melainkan lebih
pada nilai atas dirinya. Proses pencapaian atas nilai manusia bisa
digambarkan dengan bagaimana diri seorang lesbian haruslah
didefinisikan oleh dirinya sendiri, bukan oleh konsep yang dipahami
orang lain. Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang
diamati dengan membagi Diri kedalam dua bagian, yaitu Ada untuk
dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada
dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif
yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan mineral. Ada
untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara
Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna
dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama untuk
mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh (Tong,
1998:255).
Pandangan kritis yang diperlukan untuk memahami bahwa
lesbian ada untuk dirinya sendiri, seseorang lesbian menyadari bahwa
tubuh dan pilihan atas hidupnya adalah bagian dari ke-Aku-annya
diidentifikasikan oleh dirinya, bahwa tubuh dan pilihannya adalah
bagian dari dirinya bukan bagian tubuh atau pilihan orang lain. Kita
dapat melihat bagaimana orang lain, atau masyarakat sosial selalu
memahami bahwa pilihan atas diri bahkan tubuh seorang lesbian dapat
mereka identifikasikan menurut apa yang mereka yakini dan pahami.
45
Sehingga “Aku” lesbian tidak mampu menunjukkan ke-Aku-annya
dalam proses kehidupan yang dijalaninya.
Namun dengan Ada yang ketiga, yaitu Ada untuk yang lain,
Sartre kadang-kadang menggambarkan modus ke-Ada-an ini dalam
dua bentuk. Secara positif sebagai M it-Sein, sebagai ada yang komunal.
M eskipun demikian Sartre lebih sering menggambarkannya secara
negatif, yaitu Ada yang melibatkan “konflik personal karena setiap Ada
untuk dirinya sendiri berusaha untuk menemukan Ada-nya sendiri
dengan secara langsung atau tidak langsung menjadikan lain sebagai
obyek. Karena setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya
sendiri sebagai subyek, sebagai Diri, tepat dengan mendefinisi Ada
Liyan sebagai obyek, sebagai Liyan, tindak kesadaran membentuk
sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial yang
konfliktual. Dengan demikian, proses definisi diri adalah proses untuk
menguasai Liyan (Tong, 1998: 256).
Dengan demikian “Aku” masih menjadi sebuah kuasa atas Aku.
Dimana Aku (sosial) mendefinisikan “Aku” (lesbian) sebagai yang lain.
Bukan merupakan diri yang secara sadar dapat mendefinisikan dirinya
dengan kebebasannya. Dalam pencapaian eksistensi lesbian yang
penuh dengan nilai dan makna akan mengalami hambatan ketika
lesbian masih dianggap sebagai Liyan, yang masih menjadi obyek
definisi dan nilai oleh konstruksi sosial masyarakat saat ini.
Pemahaman yang berkembang di masyarakat atas tubuh, seks, gender
dan seksualitas yang utuh belum menjadi sebuah budaya yang dapat
dideskonstruksikan untuk memahami dan menghargai apa yang ada
pada diri orang lain. Bahwasanya mendefinisikan diri atas tubuh, seks,
gender dan seksualitas adalah sebuah kesadaran yang ada dalam Aku
dan dimiliki oleh masing-masing dari diri.
Sehingga muncul satu rangkaian yang penting, bahwa
pemahaman atas tubuh, seks, gender dan seksualitas adalah penting.
Dengan pemahaman tersebut, seorang lesbian akan mampu memahami
dan menyadari tentang orientasi penuh atas tubuh dan dirinya.
Sehingga kemudian akan muncul kesadaran dan kekritisan pada diri
46
untuk menganalisis dan merefleksikan tentang makna atas eksistensi
diri sebagai Aku lesbian, bukan Aku sosial. Pola pendidikan kritis akan
membantu seorang lesbian dalam menyadari dan memahami orientasi
atas tubuh dan dirinya sendiri dalam proses penerimaan diri. Proses
untuk benar-benar memahami diri sendiri sebagai Ada untuk dirinya
sendiri akan terus berkembang untuk mencapai pemaknaan atas
eksistensi dirinya.
M engungkap ke-Aku-an
Untuk mengungkap bagaimana proses penerimaan dan
eksistensi diri seorang lesbian, penulis menggunakan studi kasus dari
Kris untuk menemukan dinamika yang berkembang pada dirinya. Unit
amatan dalam bagian pembahasan ini adalah Kris seorang lesbian, dan
Roh seorang heteroseksual. Studi kasus dari keduanya akan
menggambarkan bagaimana proses penerimaan diri dan proses
pencapaian eksistensi diri seseorang lesbian dan heteroseksual.
Kemudian yang menjadi unit analisis adalah modal yang dimiliki di
dalam diri serta dialog yang terjadi dalam diri lesbian maupun
heteroseksual, memahami dan berproses dalam penerimaan diri. Selain
itu bagaimana Kris dan Roh memahami konsep atas orientasi tubuh,
seks, gender dan seksualitas akan menjadi sebuah proses awal dalam
dirinya untuk mencapai penerimaan dan eksistensi dirinya. Apa yang
penulis temukan dalam dialog bersama dengan Kris dan Roh akan
menjadi temuan yang dapat dianalisis untuk melihat eksistensi dirinya.
Proses penerimaan diri dan eksistensi diri seorang Kris dan Roh yang
penuh dengan dinamika dan problematikanya merupakan sebuah fakta
yang unik untuk diungkapkan. Pola-pola yang dipakai dalam
pemahaman atas konsep tubuh dan seksualitas, sampai pada titik
kesadaran yang menghasilkan kekritisan dalam diri dan lingkungan
sekitarnya menjadi penting untuk diketahui. Berbagai dialog serta
refleksi atas dirinya akan membantu penulis dalam menggambarkan
bagaimana Kris melampaui proses penerimaan dan eksistensi dirinya.
47
Tidak dapat dipungkiri ketika Kris menyadari bahwa dirinya
dengan orientasi seksualnya masih belum dapat diterima oleh
masyarakat akan menjadi salah satu faktor yang menjadi hambatan
bagi Kris untuk membangun eksistensi dirinya. Dari hal tersebut akan
memperlihatkan bagaimana kesadaran diri yang dibangun Kris untuk
dapat berdialog dan berstrategi dalam proses pencapaian Aku,
menyadari bahwa Ada-nya Kris untuk dirinya sendiri sebagai subyek
atas diri dan bukan obyek atas orang lain. Banyak lesbian yang mampu
membangun eksistensi diri dengan cara masing-masing, namun masih
banyak juga lesbian yang belum dapat mencapai proses penerimaan diri
dan membangun eksistensi dirinya. Sehingga dalam bab ini penulis
ingin menunjukkan bagaimana pentingnya seorang lesbian
membangun eksistensi dirinya dengan tantangan yang tergambar
diatas.
Pembahasan proses penerimaan dan eksistensi diri seorang
lesbian ini akan dibagai ke dalam empat pembahasan untuk melihat
deskripsi diri dari seorang lesbian. Dibagian pertama (1) akan
dijelaskan tentang deksripsi diri seorang lesbian dan heteroseksual, (2)
deskripsi modal penegetahuan seorang lesbian dan heteroseksual, (3)
deskripsi modal pengetahuan praksis seorang lesbian dan
heteroseksual, dan yang keempat (4) sejarah penerimaan diri seorang
lesbian dan heteroseksual.
Life H istoris Kris dan Roh
Proses panjang yang dengan dinamika kehidupan yang naik
turun, mungkin inilah yang tergambar dari sebuah proses coming in
atau penerimaan diri seorang lesbian. Penerimaan diri menjadi sebuah
pondasi penting dalam pencapaian eksistensi diri. Proses memahami
nilai dan makna diri secara sadar sehingga menjadikan diri lebih
mampu mengaktualisasikan diri, dan kembali kehakikatnya sebagai
manusia.
48
Pembebasan diri atas dogma dan nilai yang dilebelkan pada
lesbian adalah sebuah proses berat bagi seorang lesbian.Namun
seberapa beratnya proses tersebut, akan terus dijalani sampai pada titik
dimana seorang lesbian menyadari dirinya sebagai manusia yang
memiliki hak atas kehidupannya. Nilai tertinggi dari segala aspek
kehidupan dalam diri seorang manusia bukan hanya nilai material saja,
melainkan nilai spiritual dan ideology dalam hidupnya.
Penerimaan diri dalam hidup seorang lesbian maupun
heteroseksual membutuhkan proses yang berbeda dari masing-masing
individu. M embutuhkan kesabaran diri, analisis dan reflesi atas setiap
pikiran dan tindakan. Dibawah ini akan menceritakan sebuah proses
perjalanan panjang seorang lesbian, dengan proses perjalanan panjang
kehidupannya sampai pada titik dimana terdapat sebuah kesadarn akan
nilai dirinya, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
menghargai dan menjadi seseorang yang memiliki nilai dan berguna
untuk orang lain.
Kris besar disebuah kota di daerah Jawa Tengah, bersama
kakak, adik dan kedua orang tuannya. Kedekatan dengan orang tua
membuat dia merasa disayangi sebagi bagian dari keluarga.Cerita ini
berawal dari dimulainya Kris membangun relasi dengan seorang
perempuan dikelasnya bernama Ayu saat SM A ditahun 2000. Kris
adalah seorang yang pemalu, komunikasi yang dijalin dengan Ayu
diwaktu itu melalui berbalasan surat, karena ditahun itu belum banyak
orang yang menggunakan telepon genggam. Dengan surat itu, Kris
menyatakan ketrtarikannya terhadap Ayu, dan dibalas dengan sebuah
penerimaan. Relasi yang mereka bangun terjalin dengan baik. Hal ini
dikarenakan tidak adanya permasalahan atas mana yang normal dan
tidak normal. Pemahaman yang berkembang adalah ketika mencintai
siapapun dan apapun gender mereka, bukanlah menjadi masalah yang
rumit seperti yang terlihat diwaktu sekarang ini.
Hingga tibalah di tahun 2000 disaat kelulusan, Kris
memutuskan untuk bekerja di Semarang tepatnya di sebuah pabrik roti
sembari menungguu ijasah sekolah dikeluarkan.Setelah menunggu
49
beberapa waktu, ijasah pun didapatkan,kemudian Kris merantau ke
ibukota untuk mencari pekerjaan.Dan Ayu pun saat itu juga sudah
berada di ibukota untuk bekerja.Namun mereka bekerja dipabrik yang
berbeda, dan komunikasi masih berjalan dengan baik.
Sampai pada tahun 2001 Kris memutuskan untuk datang ke
Ungaran mencari dan memulai pekerjaan yang baru disebuah
pabrik.Tak selang berapa lama, Ayu menyusul Kris ke
Ungaran.Berjalannya waktu, setelah mereka sama-sama bekerja di
Ungaran, konflik antara Kris dan Ayupun terjadi. M asalah pertama
yang muncul adalahtanpa disadari ternyata kakak laki-laki Kris juga
tertarik pada Ayu sejak mereka masih di SMA dan masih tinggal di
daerah asal mereka yaitu, Purwodadi.Ayu menjalin hubungan dengan
kakak laki-laki
dan juga masih menjalin hubungan dengan
Kris.Namun Kris menyadari bahwa hubungan itu tidak sehat, sehingga
Kris memutuskan untuk mengakhiri relasinya dengan Ayu. Sampai
pada akhirnya Ayu resmi menjadi kakak ipar Kris. Berat namun
begitulah proses kehidupan yang dijalani Kris.
Di tahun 2005 Kris keluar dari pekerjaannya disebuah pabrik di
Ungaran.Ditahun itu Kris memiliki pasangan bernama Titi dan
keduanya memutuskantinggal bersama.Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, Titi mengajak Kris untuk mencari pekerjaan di Bali.Dan sebelum
mereka ke Bali, orang tua Kris datang ke Ungaran untuk menjenguk
Kris.Namun diwaktu itu orangtua Kris tidak dapat bertemu dengannya,
maka orang tua Kris menitipkan pesan melalui sebuah surat pada Titi.
Namun ternyata pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tua Kris
pada Titi tidak pernah disampaikan.
Akhirnya mereka berdua berangkat ke Bali. Di kota itu mereka
berdua mendapat pekerjaan tetapi mereka bekerja ditempat yang
berbeda. Proses kehidupan mereka jalani, sampai dengan munculnya
konflik karena kondisi ekonomi yang pas-pasan yang sebenarnya tidak
diharapkan oleh Titi. Titipun kerap melakukan kekerasan fisik pada
Kris.“Kekerasan ini nyaris terjadi setiap hari. “ Kekerasan lain muncul
ketika aku menolak ajakan Titi untuk berhubungan seksual. Titi tidak
50
pernah mau mengerti kondisiku.Pulang kerja semua terasa capek tapi
Titi tidak mau tahu, “cerita Kris saat obrolan kami mengenai kekerasan
yang dialaminya. Tidak ada komunikasi yang terjalin dengan baik
ketika hal-hal itu terjadiHal lain yang muncul dan menjadi masalah
adalah rasa cemburu Titi ketika melihat Kris diantar seorang teman
laki-laki disaat pulang kerja.Hal ini juga menimbulkan tindakan
kekerasan bagi Kris.Umpatan dan pukulan sering diterima oleh Kris
ketika Titi marah dan tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.
Karena Kris merasa tidak ada perubahan yang baik dalam
perekonomin dan juga relasinya dengan Titi, Kris memutuskan untuk
kembali ke Ungaran bersamadengan Titi.Akhirnya mereka berdua
kembali ke Ungaran, dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk
mendapatkan pekerjaan di Ungaran.M ereka bekerja di pabrik yang
berbeda.Satu hal yang cukup menrik disini adalah gambaran tentang
identitas relasi yang dibangun oleh Titi. Ada dua kondisi yang berbeda
yang terjadi ketika mereka berada dalam lingkungan pabrik yang
berbeda.Pertama, Titi memunculkan Kris sebagai seorang laki-laki
dihadapan teman-teman dilingkungan pabrik tempatnya bekerja.Dan
untuk memperkuat bentukan Titi dalam lingkungan tempatnya
bekerjanya, Titi meminta Kris berfoto layaknya pernikahan
heteroseksual dengan pakaian umumnya laki-laki.Yang kedua, kondisi
berbeda ditunjukkan oleh Kris pada lingkungan dan tempat ia bekerja.
Temen-teman pabriknya mengetahui benar bahwa relasi Kris dan Titi
adalah relasi lesbian. Hal inilah yang menimbulkan sebuah pertanyaan
ketika teman-teman Kris melihat foto dikamar kosnya dengan pakaian
pernikahan dan Kris diperankan sebagai laki-laki dengan tata rias da
busana layaknya pengantin laki-laki.
Proses terus berjalan tetapi kondisi tidak kunjung membaik.Di
Ungaran kekerasan fisik, ekonomi dan seksual pun terus terjadi kepada
Kris .Hal itu membuat Kris selalu berupaya untuk membuat Titi
merubah kebiasaan kasarnya kepada Kris.Namun Kris belum dapat
membuat Titi menyadari dan merubah perilaku kasarnya.Sampai pada
suatu hari di tanggal 17 Agustus 2008 terjadi konflik besar antara Kris
51
dan Titi. Karena kemarahan yang luar biasa, Titi nyaris
melenyapkannyawa Kris dari muka bumi. Kris hampir terbunuh
karena kemarahan Titi yang tak terbendung. Namun teman-teman
Effort segera datang untuk menengahi masalah mereka.Salah satu
teman Effort sudah mengenal Kris dari tahun 2000 ketika Kris masih
bekerja di Semarang.
Hingga akhirnya keduanya dibawa ke basecamp Effort dengan
dua motor. Di Basecamp dilakukan dialog untuk menyelesaikan
masalah ini. Karena hubungan yang mereka jalin sudah tidak baik,
maka disarankan agar mereka introspeksi dan tidak berdekatan dalam
waktu yang cukup untuk menimbang relasi mereka. Dengan berbagai
pertimbangan, Kris dan Titi akhirnya mengambil keputusan untuk
menyudahi relasinya pada akhir Agustus 2008.
Sebelum relasi antara Kris dan Titi berakhir, Kris mengenal
seorang teman dipabrik tempat dia bekerja dan perempuan itu bernama
Sila. Setelah hubungan Kris dengan Titi berakhir, Kris menjalin relasi
dengan Sila.Relasi ini hanya berjalan selama 1 tahun.Kris memberikan
ruang untuk Sila belajar bersama dengan komunitas di Effort. Kris dan
Sila selalu menghadiri kegiatan dan diskusi secara bersama-sama
dengan komunitas yang di bangun Effort. Hubungan Kris dan Silapun
berakhir genap diusia 1 tahun mereka membangun relasi. Disaat-saat
terakhir relasinya dengan Sila, Kris kembali
mengenal sosok
perempuan bernama Nia. Krispun mengikuti perasaannya untuk
menjalin hubungan spesialnya bersama Nia.Alasan inilah yang
membuat Kris memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan
Sila.
Di sisi lain Krisselalu punya kebiasaan untuk memperkenalkan
pasangannya pada keluarganya. M emperkenalkan pasangan pada
keluarga, bagi Kris adalah upaya untuk mendekatkan pasangannya
pada keluarga Kris. Tak jarang pasangan Kris juga menginap di rumah
orang tua Kris. M enurut Kris, Nia adalah pasangan yang berbeda dari
pasangan-pasangan sebelumnya.Nia mempunyai cara pendekatan yang
baik dengan orang tua Kris,sehingga Nia cukup dekat dengan orang tua
52
Kris. Namun berbeda dengan orang tua Kris, orang tua Nia menolak
hubungan mereka. Sampai pada akhirnya Nia dipaksa pulang oleh
orangtuanya dan kembali ke kota asalnya, Pacitan. Keputusan
orangtua Nia membuat panik dan tanpa berpikir panjang, Kris
menggadaikan BPKB motor untuk menemui Nia di Pacitan.
Kedatangan Kris ke Pacitan adalah untuk menanyakan tentang
keseriusan Nia menjalin hubungan dengan Kris.
W aktu itu salah satu teman di Effort mengetahui bahwa Kris
pergi ke Pacitan, dimalam hari saat Kris sampai di Pacitan,Kris
mendapat telepon dari teman Effort yang menawarinya sebuah
pekerjaan. Krispun langsung menerima tawaran tersebut, meski
sebenarnya ia masih dalam kondisi limbung. “ Disaat itu aku hanya
berpikir bahwa manakah yang terbaik untukku dan Nia, sampai
akhirnya aku memutuskan untuk menerima pekerjaan dan kembali ke
Ungaran. Disaat orangtua Nia tidak menyetujui relasi ini, aku
menimbang bahwa, ketika menyayangi seseorang, tidak berarti harus
mengikat orang yang kita disayangi. Setiap hubungan atau relasi
apapun haruslah saling membebaskan, dan menghargai setiap proses
masing-masing untuk saling berkembang” ungkap Kris ketika
menceritakan proses pembebasan relasinya dengan Nia.
M enurut Kris relasinya dengan Nia, sampai keputusan akhir
yang diambilnya adalah proses dimana dia memahami makna
menyayangi yang sesungguhnya. Relasi inilah yang sangat membuat
Kris merasa bahwa inilah sebuah relasi yang penuh dengan nilai.
Bukan saling mengikat, saling merugikan, penuh dengan kekerasan,
namun membebaskan satu dengan yang lainnya untuk menjalani
proses kehidupannya dengan lebih baik.
M alam itupun di tahun 2009 Kris pulang ke Ungaran dan
menerima tawaran pekerjaan yang diberikan padanya.Dan setelah itu
Kris mulai aktif mengikuti kegiatan dan diskusi dengan
Effort.Komunitas membantu setiap proses dalam kehidupan Kris untuk
penerimaan dirinya, atas orientasi seksualnya, dan bagaimana
mengelola gejolak batinnya karena sering diolok-olok oleh kakaknya
53
karena orientasi seksualnya. Dengan pengalamnannya bersamatemanteman Kris belajar banyak hal. Disaat ingin membangun relasi, Kris
sangat hati-hati dan menimbang banyak hal. Semua dia hitung dan
pertimbangkan karena pengalaman berelasi sebelumnya telah memberi
pelajaran tersendiri bagi Kris.
Di akhir tahun 2009 Kris menjadi peserta pelatihan yang
diadakan rutin setiap satu tahun sekali oleh Effort untuk
komunitas.Pelatihan itu bertema HIV/AIDS, diproses itulah Kris
bersedia bercerita dan sharing didepan teman-teman komunitas
tentang kekerasan yang dia alami saat menjalin relasi dengan
pasangannya.Pada tahun 2009 kegiatan Effort masih bersama dengan
kelompok heteroseksual dan belum ada teman lesbian yang bergabung
selain Kris. Sore itu Kris mulai menceritakan kisahnya, proses
kehidupan yang dia alami bersama dengan mantan pasangannya dulu
yang penuh dengan kekerasan. Selesai bercerita, bukan penolakan yang
Kris dapatkan dalam forum itu, tapi empati dari peserta
pelatihan.Testimony Kris menjadi pengalaman dan pelajaran berharga
bagi peserta pelatihan.Bahwa kekerasan dalam hubungan apapun, dan
orientasi apapun adalah tindakan yang harus ditolak bersama. Temanteman pun akhirnya saling berbagi atas atas apa yang dilihat maupun
yang dialami, termasuk pengalaman peserta pelatihan yang lain yang
juga mengungkapkan fakta di keluarganya ada juga yang berorientasi
seks pada sesama jenis.Testimony yang dilakukan Kris, akhirnya
membuat teman-teman pelatihan yang lain terbuka bahwa tidak ada
yang salah dan tidak ada yang perlu ditolak dari relasi lesbian karena
itu adalah pilihan orientasi seksual dan merupakan hak asasi setiap
orang. Yang harus ditolak adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan
terhadap manusia tanpa melihat latar belakang, orientasi seksual,
pendidikan dan lain sebagainya.
Kini Kris sudah menerima dirinya sebagaimana adanya dirinya
dan orientasi seksualnya.Kris ingin belajar banyak hal, terus berupaya
untuk menjadi lebih baik dan dapat melakukan sesuatu bagi orang lain
disekitarnya. Proses belajardi Effort dan apa yang ia dapatkan selalu ia
54
bagikan kepada teman-teman di pabriknya tempat dia bekerja. Kepada
ibu-ibu ditempatnya bekerja dia membagi banyak hal, termasuk
tentang HIV/AIDS, PM S, Kesehatan, dan lain-lain. Proses itulah yang
membuat teman sekerja yang mayoritas adalah ibu-ibu, menjadikan
Kris sebagai sumber informasi. Disinilah aktualisasi diri Kris sebagai
seorang manusia mencapai eksistensinya.Bukan dengan pemenuhan
atas materi semata, namun dengan niali-nilai yang dapat bermanfaat
bagi orang lain disekitarnya.
Penerimaan diri adalah bagian terawal dalam sebuah proses
aktualisasi diri. Dengan penerimaan diri, maka seseorang akan terus
melakukan apa yang menjadi tujuan baik baginya. Jadi, aktualisasi diri
adalah bagian dimana kehidupan seorang dapat berguna dan
bermanfaat bagi mahkluk lainnya. Satu hal yang Kris sampaikan, ”
Ketika aku merasa dihargai sebagai seseorang dengan apa adanya
diriku, aku merasa bermanfaat dan berguna bagi lingkungan
disekitarku, itulah titik kenyamanan dan kebahagiaanku.”
Kenyamanan dan kebahagiaan inilah yang disebut sebagai eksistensi
diri seorang lesbian.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Effort “ Membangun
Ruang Kemanusian Tanpa Batas ( Sebuah Proses Pengorganisasian ) “
Kris menuliskan kisah kehidupannya. Di bawah ini, sepenggal cerita
yang disampaikan oleh Kris.
“ Pada pertengahan tahun 2012, ada perubahan yang luar biasa
yang kurasakan di diriku. Aku putus dengan pacarku, dan hari kedua
idul fitri tahun 2012 aku pergi ke Yogyakarta bersama teman dari
Effort, dan pada saat itulah aku merasa menjadi manusia merdeka
karena nggak ada lagi pacar yang melarang aku pergi. Dan akhirnya
aku memutuskan untuk memperbaiki diri dan belajar serius.
Terimakasih kepada teman-teman karena aku dikennalkan pada
banyak hal yang selama ini aku tidak tahu.
Dari hari ke hari aku semakin punya semangat dan aku tambah
tahu apa yang harus aku lakukan dalam hisup ini. Tehnik dan strategi
dalam menjalankan peranku sebagai seorang CO (Community
55
Organizer) semakin bertambah. Beberapa kali melakukan pendekatan
dengan komunitas buruh lesbian bersama dengan teman-teman Effort
membuat aku semakin mengerti dan memahami bagaimana melakukan
pendekatan pada komunitas. Dari semua ini, aku jadi tahu kesabaran
dari teman-teman Effort dalam mengorganizer lesbian. kesulitan ini
juga aku alami. Tetapi ini juga yang aku alami dulu, susah diajak
berkembang karena belum beres dengan diri sendiri. Aku sadar masih
banyak yang harus aku pelajari untuk meningkatkan kemampuanku
sebagai seorang CO.
Ada yang membuatku paling senang adalah aku tetap menjadi
diriku sendiri, apapun keadaannya. Dan ini selalu aku sampaikan pada
teman-temn siapapun mereka dan apapun orientasi seksualnya. Jadilah
diri sendiri dan berdamailah dengan diri sendiri. Aku sering menyesali
kebodohan masa laluku, tetapi aku tahu penyesalan ini harus aku tebus
dengan semangat belajar agar hidupkubisa lebih berarti. Dan terus
mengisi pikiran karena sekarangaku tahu pikiran adalah pelopor
dunia”. (W idiawati, 2013:66)
Inilah cerita singkat tentang Kris, dan tulisan Kris juga adalah
gambaran tentang nilai dirinya dan pencapaian eksistensinya.
Pergeseran makna dan pandangan tentang tujuan dan hakikat atas
dirinya. Proses pembebasan diri yang terus diupayakan dari saat ke saat
untuk sampai pada proses penerimaan diri,proses aktualisasi diri
dengan tujuan hidup yang penuh dengan nilai.
Setiap proses didalam perjalanan kehidupan seseorang,
siapapun itu pasti mengalami sebuah dinamika, ada titik dimana diri
merasa sangat frustasi, namun tetap akanada titik dimana dia
menyadari dirinya “ada” dalam sebuah makna atas dirinya didunia ini.
Cerita singkat kehidupan Kris diatas juga merupakan sebuah proses
panjang tentang memaknai dirinya sebagai yang “ada” dikehidupan ini.
Eksistensi diri akan dicapai oleh siapapun orang itu ketika seseorang
menyadari benar tentang potensi dan bahwa dirinya berharga. Untuk
melihat sebuah proses lain dibawah ini akan digambarkan singkat
sebuah perjalanan kehidupan seseorang yang memiliki pilihan lain
56
atas hidupannya. Dan dengan cerita ini kita akan melihat bagaimana
proses eksistensi diri seorang heteroseksual dalam perjalanan
panjangnya dan akhirnya menjatuhkan pilihan hidup demi
kenyamanan dan kebahagiaanya.
----Roh adalah seorang perempuan yang lahir di pinggiran kota
Salatiga, kini usianya 43 tahun. Hampir setengah abad proses
kehidupan yang dia jalani. Bukan lagi usia muda, namun kematangan
diri yang nampak dengan proses perjalanan kehidupan yang panjang.
Selama 43 tahun proses demi proses dilalui olehnya untuk menemukan
nilai atau makna tertinggi atas diri dan proses hidupnya. Berbagai nilai
spiritual, bagaimana memahami materialismedan nilai -nilai hidup
yang berarti tidak hanya bagi diri Roh sendiri,tetapi berarti bagi
penulis, dan sebagaian besar orang yang mengenalnya.
Roh adalah bagian
dari anggota kelompok yang selalu
menyediakan diri untuk terus belajar bersama dengan teman lain di
lembaga Effort. Proses perkenalan dengan teman di Effort diawali dari
banyaknya pengurus Effort ditahun 2000an yang berasal dari lembaga
Yasanti (sebuah lembaga perempuan tertua di Indonesia yang concern
pada isu Buruh Perempuan), dan banyak juga buruh pabrik diwaktu itu
yang sering belajar bersama dengan lembaga yasanti. Ditengah-tengah
proses bersama dengan yasanti, Roh sebenarnya mulai mengenal
teman-teman Effort, karena beberapa teman dari Yasanti mendirikan
Effort. Cerita perkenalan ini dimulai dari seorang teman bernama Lia,
seorang buruh pabrik yang bekerja dengan Roh dipabrik yang sama.
Lia sering mengikuti kegiatan diluar bersama teman-teman Effort, dan
apa yang didapatkan dalam kegiatan dan perjumpaanya dengan teman
Effort selalu diisampaikan kepada beberapa teman dipabrik termasuk
Roh.
Sampai pada suatu hari di tahun 2004 Lia di PHK dari pabrik.
Beberapa waktu setelah itu Lia memutuskan untuk bekerja di
Surabaya. Namun Lia berpikir bahwa dia akan merasa sangat bersalah
ketika Roh dan beberapa temannya tidak diperkenalkan dengan
57
teman-teman di Effort karena beberapa alasan. Dari sinilah awal
perkenalan dan kedekatan Roh dengan Effort. Disebuah malam setelah
pulang dari pabrik sekitar tahun 2004, Roh dan seorang temannya
memutuskan untuk berkunjung ke Effort. Pada waktu itu di tahun
2004 Effort belum terbentuk, namun beberapa teman sudah aktif
bersama dalam kegiatan dan gerakan social. Dimalam itu Roh dan
temannya bertemu dengan beberapa teman Effort. Diawal perjumpaan
itu, terjadi banyak diskusi beberapa diantaranya adalah tentang
kesehatan seksual, menstrurasi dan sampai pada obrolan mengenai
tujuan hidup seseorang. Di awal salah seorang teman Effort membahas
mengenai pilihan atas menikah atau tidak menikah. Karena Roh juga
adalah orang yang sudah berpikir lama tentang proses pilihan itu, Roh
menyampaikan bahwa menikah itu adalah ibadah dan sunah, sehingga
menikah bukanlah suatu kewajiban. Sebuah pilihan yang tentu saja
didasari oleh argumen yang cukup kuat tentunya.
Hingga proses-proses lain bergulir ditahun-tahun berikutnya.
Samapi pada Effort resmi berdiri di tahun 2007, tahun yang sama
ketika Roh memutuskan untuk keluar dari pabrik tempatnya bekerja.
Ada beberapa alasan yang cukup menarik dan berbeda dari keputusan
Roh untuk keluar kerja. Alasan-alasan itu diantaranya adalah pekerjaan
menjadi seorang buruh pabrik itu tidak ada seninya. Tuntutan sift dan
bekerja selama 8 jam bahkan lebih tidak menghasilkan sesuatu yang
baru dan berbeda bagi Roh. Sebuah keputusan yang sulit dilakukan
oleh orang lain, yaitu berhenti bekerja. Cukup unik dan menarik,
bahwa pilihan adalah salah satu proses kehidupan yang penuh dengan
seni untuk menjalankannya.
Roh mengikuti kegiatan pertama di Effort pada tahun 2009
yaitu di kegiatan pelatihan HIV/AIDS. Ditahun yang sama juga ketika
Kris mulai mengikuti kegiatan pelatihan bersama Effort. Setelah
pelatihan itu, Roh rutin berproses dan belajar bersama dengan temanteman kelompok lainnya di Effort. Proses yang cukup lama hingga
tahun 2014 ini belajar, berbagi, saling mengerti dan menerima sesama.
58
Sejak SM P, Roh sudah memiliki pola pikir yang berbeda
dengan remaja lain seusianya. Di usia SM P Roh sudah memiliki
pemikiran yang bergejolak tentang sebuah relasi pernikahan, hingga
pemikiran untuk tidak menikah.Dan pilihan itu terus diperkuatnya
hingga sekarang. Bukan sebuah keputusan yang mudah karena banyak
kendala dan penolakan dari eksteral seperti keluarga dan juga
lingkungan terdekat Roh. Ketika melihat bagaimana kakaknya
membina sebuah hubungan pernikahan, dan bukan menuju pada
kebaikan bersama, tapi justru sebaliknya.Yang terjadi dalam pandangan
Roh adalah proses yang cukup berat dengan kehadiran 5 orang anak.
Bukan hanya itu, bagi Roh menikah bukanlah satu-satunya solusi yang
terbaik bagi proses kehidupan. Tentu pemikiran ini sangat bertolak
belakang dengan pemikiran mayoritas orang. Proses kenyamanan,
kebahagiann terkadang tidak selalu diwujudkan dalam proses
perkawinan.Tidak bisa diingkari bahwa banyak fakta menunjukkan
bahwa perkawinan merupakan proses saling mengekang, tidak ada
kemandirian bagi masing-masing pasangan dan akhirnya menjadi
sumber penderitaan yang baru.
Roh menyampaikan gagasan dan pemikirannya dalam sebuah
obrolan bahwa “jalani saja proses kehidupan ini dengan baik, yang
terjadi biarlah terjadi, pikirkan apa yang sekarang kita hadapi, jangan
pikirkan esok hari, karena esok hari belum tentu ada”. Proses
pemikiran inilah yang menjadi dasar bagaimana Roh menjalani
hidupnya secara pribadi dan dilingkungan sekitarnya. Sehingga ketika
banyak orang membicarakan dirinya atas pilihannya untuk tidak
menikah, Roh hanya menanggapinya dengan sikap yang biasa saja dan
cukup memaklumi cara pandang yang berbeda dengannya. Bahkan
cenderung tidak medengarkan apa yang dinilaikan pada dirinya oleh
orang lain. Inilah bentuk perlawanan Roh atas penilaian orang yang
seringkali tidak bisa memahami ruang privat kehidupan orang lain.
Orang tua Roh dulu sangat mendorong Roh untuk menikah,
hingga ditahun 2013 sebelum bapak Roh meninggal, bapaknya masih
mendorong Roh untuk menikah. Ibu Roh pun memiliki keinginan
59
yang sama untuk melihat Roh menikah, namun seiring dengan proses
dialog yang dibangun oleh Roh di keluarga, akhirnyakeluarga bisa
memahami dan menerima keinginan Roh.Ibu Roh kini hanya
menyerahkan seluruh kehidupan dan pilihan kehidupan pada Roh.
Roh selalu memaknai sebuah “kenormalan” yang ada dimasyarakat
dengan cara yang berbeda-beda. Karena Bagi Roh,“kenormalan” bisa ia
maknai secara pribadi yang bisa saja berbeda dengan orang
lain.Artinya, tergantung pada siapa dan bagaimana orang itu akan
menjalani hidupnya.
Latar belakang bapak Roh adalah seorang tokoh NU, dansosok
ibu yang punya prinsip kuat disepanjang perjalanan hidupnya.
Transformasi nilai-nilai spiritual menjadi sebuah dasar yang kuat
mengapa Roh berdiri dan “ada” seperti apa adanya saat ini. Pondasi
kekuatan diri dan independensi yang ditunjukkan ketika usia remaja
adalah sebuah prinsip dasar dimana pencarian makna akan diri telah
dimulai dan dilaluinya. Setiap ideology yang ada di kedua orang tua
Roh juga erat menjadi latar belakang proses menjalani kehidupan Roh
sampai saat ini.
Roh berasal dari keluarga yang taat dalam beragama, namun
ketika dihadapkan dalam proses keputusan untuk tidak menikah dan
menghadapi respon orang disekitarnya tentang pilihannya, Roh
menyampaikan bahwa ajaran agama adalah sebuah konsep. Tinggal
bagaimana kita melihat dan mengambil nilai yang diyakini dan mana
yang baik untuk masing-masing diri. Penafsiran orang boleh berbeda
mengenai ajaran agama, yang terpenting adalah demi kebaikan diri dan
tentunya tidak merugikan orang lain.
Suatu ketika Roh pernah dijodohkan dengan seorang laiki-laki
pilihan keluarganya. Namun Roh menolak, karena Roh sudah berpikir
untuk tidak menikah. Namun Roh mencoba menolak dengan alasan
yang baik. “Kalaupun aku menikah, itu adalah dengan orang pilihanku
sendiri, dan bukan karena perjodohan” begitu yang disampaikan Roh
pada orangtuanya. Saat ia dijodohkan, Roh memilih untuk pergi dari
rumah, dan memilih tinggal dikost di daerah Ungaran dekat dengan
60
tempat dia bekerja. Kepergiannya dari rumah adalah sebuah proses
untuk membebaskan diri dari pernikahan beserta dengan belenggunya.
Selain itu keputusan untuk pergi juga adalahbagian dari penguatan
akan prinsip yang sudah ada semenjak dia masih duduk dibangku SM P.
Sampai akhirnya ditahun 1994 Roh kembali kerumah, untuk
mengahadiri pernikahan adiknya dengan laki-laki yang pernah
dijodohkan orangtuanya pada Roh. Roh tetap bersikap tenang dan
sangat menerima. Bahkan dia menyediakan diri untuk mengambil
bagian sebagai orang yang mengurus segala pesiapan pernikahan
adiknya, dan mengabadikan setiap proses pernikahan adiknya. Orangorang dilingkungan Roh sangat merasa kasihan terhadap Roh karena
pernikahan adiknya dengan laki-laki yang pernah dijohkan denganya.
Rasa haru dari orang disekitarnya membuat Roh juga merasa terharu
saat itu. Dan kini Roh hidup berdampingan rumah dengan adik dan
suaminya.
Keputusan untuk tidak menikah yang diambil Roh bukan
lantaran karena sakit hati dengan laki-laki atau pengalaman tidak baik
dengan laki-laki. Roh pernah bercerita”aku dulu juga punya pacar, aku
juga membuka diri dengan teman lawan jenis, dan kalaupun aku putus
dengan pacarku aku merasa sangat biasa dan tidak pernah merasa sakit
hati, karena memang begitulah proses yang harus dijalani kan”.
Roh adalah anak ketiga dari lima bersaudara dan sejaki dulu
Roh sudah nampak berbeda dengan saudara lainnya. Roh selalu punya
prinsip dan independensi diri yang kuat dalam setiap keputusan yang
diambilnya. Sampai pada titik memaknai orangtua dia pun berbeda
dengan yang lain. Dia tidak ingin mengorbankan diri pada keluarga,
dalam artian menghabisi dirinya demi keluarga. Tetapi bukan berarti
Roh tidak perduli dengan keluarganya. Ada ruang yang paling pribadi
yang mampu ia jaga. Bahkan Roh sempat mengatakan, “ kalau orang
tuaku meninggal karena memikirkan aku tidak menikah, itu bukan
karena kesalahan atas keputusnku yang menyebabkan mereka
meninggal, itu hanyalah takdir yang harus dijalani setiap orang sampai
61
pada waktunya. Yang menjalani kehidupan ini adalah diri sendiri,
dengan setiap pemikiran dan keputusannya, bukan orang lain.”
Proses-proses yang dilalui Roh bersama teman-teman di Effort
menjadikan sebuah pengalaman belajar kedepan untuk sebuah
perjalanan panjang hidupnya. Roh menyampaikan bahwa Effort adalah
bagian dari support dan kekuatan untuk dirinya. Tidak ada penilaian,
tetapi terus membebaskan manusia dari berbagai kungkungan
apapun.Proses untuk saling membebaskan dan memanusiakan
manusia, adalah hal yang didapat dan selalu dibawa Roh dalam
menjalani kehidupannya. Itu nampak dari kehadiran seorang lesbian
didalam kegiatan bersama Effort. Roh dan teman-teman lain tidak
pernah menilai baik atau tidak, salah atau benar, bahwa setiap orang
sama dan yang terpenting adalah toleransi dan saling menghargai.
Bahwa proses belajar bersama ini adalah ruang yang di buka bagi
semua orang.
Sebelum penulis mengakhiri perbincangan dengan Roh, ada
satu hal lain yang Roh sampaikan. “ Hidup akan mati, harta dan benda
termasuk orang tua bukanlah milik kita selamanya. Yang paling
penting dan utama adalah perbuatan kita didalam kehidupan ini,
bahwa perbuatan kita itulah yang akan melekat pada orang dan yang
akan kita bawa sampai mati. Hidup kita harus penuh dengan motivasi
sama seperti yang aku sampaikan, jangan pernah merasa minder,
karena kita semua pasti mampu. Dan jangan perdulikan omongan
orang lain ketika itu hanya akan menghambat proses kita”. Inilah nilai
yang diterus dipegang oleh Roh dalam memaknai pencapaian tertinggi
atas dirinya, inilah eksistensi dirinya. Hal itulah yang terus dia
jalankan dalam prosesnya untuk sebuah aktualisasi diri.
Deskripsi Diri Seorang Lesbian dan H eteroseksual
Setiap proses yang berkembang pada diri seorang manusia
merupakan sebuah afeksi yang terus dinamis. Kedinamisan tersebut
bukan hanya jalan untuk menuju pemenuhan atas kebutuhan biologis
62
saja, melainkan mencoba untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas
seorang diri. Dimana dialog terhadap proses yang telah dijalani menjadi
sebuah refleksi untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Dari
setiap tahapan yang dijalani oleh seseorang, ada sebuah tahapan
terpenting yang terkadang kurang menjadi perhatian, yaitu proses
penjalanan penerimaan dan eksistensi diri. Penerimaan diri dan
eksistensi diri merupakan sebuah proses yang penting untuk
dideskripsikan agar memahami benar konflik serta dinamika
perjuangan diri seorang manusia. Bahwa dirinya harus menyadari
benar keber-Ada-annya sebagai mahkluk yang memiliki kebebasan
atau hak atas dirinya, menentukan dirinya sendiri, menerima setiap
resiko yang ada dan penuh tanggung jawab terhadap pilihan akan
hidupnya.
Eksistensi diri adalah proses yang dilalui setiap manusia,
siapapun itu, dan apapun orientasi seksualnya. Tidak ada batasan bagi
heteroseksual ataupun homoseksual. Namun demikian kita memahami
bagaimana heteronormatifitas menjadi nilai yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat, sehingga homoseksual termasuk lesbian memerlukan
upaya yang cukup keras untuk mencapai eksistensi drinya.
Problematika bahkan diskriminasi yang berlapis bagi lesbian menjadi
sebuah tantangan tersendiri bagi lesbian untuk berstrategi dalam
pencapaian eksistensi dirinya sebagai seorang manusia. Ada dua hal
yang menjadi problematika bagi lesbian yang harus terselesaikan untuk
mencapai eksistensi dirinya, yang pertama adalah penerimaan diri,
yang bersifat internal dalam diri seorang lesbian. Dan yang kedua
adalah
kemampuan
untuk
mendeskripsikan
dirinya yang
menitikberatkan pada kesadaran diri yang kritis untuk mencapai
haknya sebagai manusia yang bertanggung jawab atas dirinya.
Untuk lebih memahami bagaimana
lesbian dan heteroseksual, dalam sub bab
menggambarkan mulai dari proses mengenal
hetersoseksual. Dalam proses mengenal
eksistensi diri seorang
ini penulis akan lebih
diri seorang lesbian dan
siapakah lesbian dan
63
heteroseksual ini, akan difokuskan pada deskripsi awal yang penting
untuk diketahui bersama, yaitu deskripsi diri dari seorang Kris (lesbian)
dan Roh (heteroseksual). Deskripsi lesbian dan heteroseksual disini
bukan
untuk
membandingkan,
tetapi
untuk
membantu
menggambarkan bagaimana seorang diri membangun eksistensinya.
Bahwa eksistensi setiap orang adalah relatif, proses dan capaiannya
tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Namun pemaparan
eksistensi diri seorang lesbian dan heteroseksual disini adalah untuk
melihat bagaimana proses penerimaan diri dari seseorang atas diri dan
pilihan kehidupannya. Pada bagian ini penulis akan memaparkan
identitas dan latar belakang dari Kris dan Roh. Dengan dua studi kasus
ini diharapkan akan menemukan pola eksistensi diri seorang manusia
yang beragam, dan apapun orientasi seksualnya. Studi kasus yang
pertama adalah mengenal siapa Kris, dan apa yang melatar belakangi
kehidupan Kris dan keluarganya.
“Aku lahir di kota Purwodadi, kini usiaku sudah jalan 33 tahun.
Di Purwodadi aku tinggal bersama kakak, adik dan kedua orang
tua ku. Aku dulu sangat dekat dengan orang tua, kedekatan itu
membuat aku merasa disayangi sebagai bagian dari keluarga.
Aku sangat dekat dengan ibu ku sampai sekarang, mungkin
karena ibu ku selalu dirumah dan sangat memperhatikan anakanaknya. Dengan bapak juga cukup dekat tetapi karena bapak
ku bekerja di PJKA, jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu
dengan ibu ku, kami sering bersama sampai aku lulus SMA.
Setelah lulus SMA tahun 2000 aku ke Semarang untuk cari
pekerjaan. Pertama kali aku bekerja dipabrik roti di Semarang.
Tapi pekerjaan di pabrik roti itu hanya untuk mengisi waktu
luang sampai ijasah SMA ku bisa diambil. Nah pas ijasah ku
sudah keluar dan aku ambil, aku keluar kerja dari pabrik roti,
lalu aku ke Jakarta untuk cari kerja yang lain, karena aku sudah
bisa pakai ijasah ku untuk mencari pekerjaan”.
Dari profil diri singkat yang disampaiakan oleh Kris diatas dapat
menjadi sebuah awalan untuk mengenal Kris. M elihat bagaimana latar
belakangnya dan bagaimana kehidupan Kris bersama dengan
keluarganya. Tumbuh dalam keluarga yang terbangun kedekatan dan
kasih sayang. Dengan usia yang sudah dewasa, dan pendidikan sampai
pada jenjang sekolah menengah atas yang ia selesaikan. Pengalaman
64
kerja yang dia miliki hingga saat ini adalah dilingkungan pabrik,
tempat dimana Kris memulai proses dalam dirinya di usia dewasa.
Dalam studi kasus yang kedua ini akan membahas juga mengenai
deskripsi diri seorang Roh. Untuk memahami bagaimana diri Roh,
penulis mencoba mendeskripsikan diri dan latar belakang keluarga
Roh.
“ Saya asli Salatiga, usia ku kini 43 tahun. Aku menjalani
hidupku selama 43 tahun dengan banyak pengalaman baik
dilingkungan keluarga maupun lingkungan tempat aku kerja.
Aku anak ketiga dari 5 sodara. Mungkin aku yang beda dari
yang lain, lulus SMP aku merasa diriku sudah berbeda. Bapakku
itu tokoh NU, dan semua orang tau. Aku tau bapak ku orang
yang punya prinsip dalam hidupnya. Mungkin itu yang
menurun di aku. Ya tentunya pemikiran bapak yang cukup
terbuka melatar belakangi apa yang ada pada diriku sekarang”.
Usia yang hampir setengah abad, dengan proses perjalanan
kehidupan yang panjang telah di lalui oleh Roh. Latar belakang
keluarga NU, memperkuat prinsip dan keyakinan Roh dalam menjalani
setiap proses dalam hidupnya. Pendidikan yang hanya diselesiakan
pada jenjang sekolah menengah pertama tidak menjadi sebuah
halangan bagi Roh untuk menjadi orang yang terus membangun
kediriannya.
Deskripsi M odal Pengetahuan Seorang Lesbian dan H eteroseksual
M emahami diri adalah sebuah proses yang terus dinamis dan
berkembang. Namun dalam perkembangannya membutuhkan sebuah
pemahaman atas pengetahuan akan konsep yang terkait dengan pilihan
atas hidup masing-masing. Seorang lesbian maupun seorang
heteroseksual memiliki sebuah cara untuk memahami apa yang ada di
dalam dirinya. Pilihan atas kehidupannya, bersama dengan seorang
perempuan atau laki-laki, atau bahkan pilihan untuk menjalani hidup
tanpa pasangan adalah proses dialog yang tentunya membutuhkan
pemahaman atas beberapa hal yang terkait dengan seksualitas. Pada
65
sub bab ini penulis akan menggambarkan bagaimana Kris dan Roh
memahami istilah-istilah yang lekat dalam pilihan kehidupan mereka.
Ada beberapa istilah yang akan coba dideskripsikan oleh Kris
dan Roh untuk melihat pengetahuan yang telah mereka miliki sebagai
sebuah modal untuk berproses dalam kesadaran kritis akan makna
pilihan hidup masing-masing untuk sampai pada penerimaan diri dan
pencapaian eksistensi diri.
“Kalau menurutku seks itu lebih kepada jenis kelamin biologis,
kalau seksualitas itu lebih luas bukan hanya sebatas hubungan
seksual. Seksualitas itu di dalamnya juga menyangkut masalah
cinta, mengekspresikan diri, emosi, kemudian termasuk
perspektif dan bagaimana memahami diri dan tubuh kita.
Gender itu lebih kepada pemahaman atas pembedaan sifat
peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk
secara sosial di masyarakat, tetapi dengan pembedaan sifat
tersebut akan muncul ketidakadilan. Sedangkan istilah lesbian
itu adalah seorang perempuan yang tertarik dengan perempuan
lainnya, tetapi tidak hanya masalah cinta atau melihat dari fisik
saja, tetapi juga hal lain seperti emosi dan seksual.
Dari apa yang aku ketahui homoseksual itu adalah rasa tertarik,
seperti perasaan, emosi, kasih sayang, bisa berhubungan fisik
ataupun tidak pada sesama jenis. Kalau heteroseksual ya
ketertarikan dengan lawan jenis. Dulu sebelum aku ikut diskusi
di Effort ya aku sering mendengar istilah-istilah itu. Aku tau
tentang istilah itu, tetapi saat bergabung dikomunitas, ada
banyak diskusi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, dan itu
membuatku menjadi lebih paham karena ternyata bukan
maslah suka atau cinta tetapi ketertarikannya bisa dalam
berbagai hal yang luas”.
Dari pemaparan di atas, Kris dan Roh cukup memahami benar
istilah-istilah yang lekat dengan pilihan atas kehidupan mereka.
Konsep seksualitas yang digambarkan diatas menjadi sebuah modal
dalam diri untuk terus membangun keyakinan akan hidup masingmasing. Dengan memahaminya pun akan membantu dalam proses
berdialog dengan diri. Hal tersebut pun akan mempengaruhi
bagaimana kesadaran diri, dan kekritisan diri dalam menghadapi
pemahaman yang telah menjadi konstruksi sebagian masyarakat
tentang lesbian dan heteroseksual yang memutuskan untuk tidak
66
menikah. Sehingga Kris dan Roh akan berproses untuk mencari makna
atas seksualitas mereka masing-masing, bukan karena pemahaman
orang lain melainkan atas pemahaman yang dimiliki oleh diri.
Deskripsi M odal Pengetahuan Praksis Seorang Lesbian dan
H eteroseksual
Dari deskripsi yang ada pada sub bab tentang pengetahuan
formal pada Kris dan Roh diatas, akan terkait dengan deskripsi praktis.
Konsep yang ada saling berkaitan, istilah yang berkembang dan
penamaan yang dipakai dalam mendeskripsikan diri mereka juga
menjadi penting untuk dipahami. Pemahaman atau pemaknaan atas
penamaan yang melabeli masing-masing sebagai lesbian ataupun
heteroseskual juga menjadi sebuah modal bagaimana Kris dan Roh
memahami apakah ada perbedaan yang signifikan atas orientasi
seksual. Ataukah penamaan yang selama ini mereka ketahui dan yang
berkembang di lingkungan dan komunitas memiliki deskripsi yang
berbeda atau hanya sebagai sebuah alat untuk benar membedakan
manusia sesuai dengan kotaknya masing-masing.
“Dari dulu sampai sekarang ya lesbian yang aku pakai untuk
mengidentifikasikan perempuan yang tertarik terhadap sesama
perempuan. Dari dulu penamaan itu yang dipakai, tetapi
sebenarnya aku merasa penamaan itu tidak terlalu penting.
Dengan teman-temanku ditempat kerja aku rasa semua
memakai istilah itu, direlasi dan dikomunitas pun untuk
menamakan dan memahami perempuan yang tertarik dengan
perempuan ya dengan istilah atau penamaan lesbian.
Kalau maknanya sendiri lesbian adalah ketertarikan secara
banyak hal dari seorang perempuan pada perempuan lainnya
bukan hanya masalah seksual, tetapi bagaimana aku
mengekspresikan serta mengaktualisasikan diri ku dengan
pilihanku. Tapi bagiku maknanya tidak harus dibedakan, atau
bisa dikatakan sama saja, karena intinya menjalin hubungan
dengan siapapun itu kan sama saja. Mau dengan laki-laki atau
perempuan sama, yang penting tidak saling meny