Gambaran Penerapan Cognitive Behavior Therapy pada Individu yang Mengalami Anxiety Disorder

(1)

GAMBARAN PENERAPAN COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY PADA

INDIVIDU YANG MENGALAMI

ANXIETY DISORDER

Nancy Naomi GP Aritonang

ABSTRACT

Anxiety is a negative emotion condition that happened when an individual can not do an anticipation to the worst dangered situation in the future. Anxiety being indigence or being an anxiety disorder when happened intensely in particular period of time, also has negative impact to cognition dan perform functions. Anxiety disorders commonly have signed with distorted cognitions or often called automatic thought by Beck. Handling anxiety disorder can be take placed with a few of psychotherapy, include Cognitive Behavior Therapy or CBT; that focused to modified cognition directly, in order to being more rational or positive thought

This research using descriptive qualitative, in direction to acquire a descriptive applied CBT to an individual with anxiety disorder, which dynamic, broad and in-depth. Subject in this research is an adult women, have been diagnosed with anxiety disorder, dan willing to go through Cognitive Restructuring Technique, that combined with Assertion Trainning.

Applied CBT results show that CBT has positive impact in cognitions, emotions and behaviors changes of subjects. Through challenging processes, subject experience cognition changes, from distored to rational thought, that subject feels worthy, also happened changes in negative emotions to being a more positive emotion, from an anxiety or fear of losses being more pleasant and be grateful. Besides subject has changes in assertive behavior, who can refuse others demand directly.

Key words: Anxiety, Maladaptif Behavior, Cognitive Behavior Therapy, Cognitive Restructuring, Assertion Trainning

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Anxiety dapat muncul pada setiap orang, namun anxiety dapat menjadi suatu gangguan (anxiety disorder) apabila kecemasan terjadi tanpa adanya suatu ancaman atau bahaya yang dapat dinilai; ataupun ketika kecemasan menimbulkan efek negatif terhadap fungsi kognisi,


(2)

mengakibatkan hambatan memori, performa dan konsentrasi, serta mengancam kesejahteraan individu (Keable, 1997). Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa salah satu masalah kesehatan mental terbesar di Amerika Serikat adalah anxiety disorder (Kessler, et.all, 1994, dalam Accocela, 1996). The National Comorbidity Study (Neale & Kring & Davidson, 2004) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa satu dari empat orang didiagnosa mengalami setidaknya satu anxiety disorder. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa saat ini anxiety merupakan suatu fenomena yang umum.

Anxiety Disorder merupakan reaksi individu ketika mempertimbangkan dirinya berada dalam keadaan bahaya, yang ditandai dengan pikiran berulang tentang kematian, atau tentang terjadinya peristiwa-peristiwa yang membahayakan di waktu yang akan datang, sehingga individu kehilangan objektifitas dalam mengevaluasi kecemasan yang tidak beralasan, serta cenderung melakukan generalisasi pada stimulus yang diterima (Beck, 1976). Selain itu, anxiety dapat menjadi tidak wajar atau bersifat patologis apabila anxiety

disebabkan oleh “irrational thinking”, khawatir yang berlebihan, dan menghindari situasi yang menimbulkan anxiety, sehingga mengarahkan pada gaya hidup yang terbatas dan kualitas hidup yang buruk (Craighead & Craighead & Kazdin & Mahoney, 1994). Selain ditandai dengan kecemasan yang berkepanjangan, anxiety disorder berkaitan dengan antisipasi terhadap kejadian yang tidak menyenangkan pada masa depan (Beck, 1976).

Dijelaskannya lebih lanjut bahwa anxiety dapat menjadi masalah klinis apabila memenuhi kriteria dari satu atau beberapa gangguan kecemasan atau anxiety disorder, yang dalam DSM IV-TR (2000), dikategorikan atas tujuh kategori dasar, yaitu Generalized Anxiety Disorder, Phobia, Panic Disorder, Obsessive-Compulsive Disorder, Posttraumatic Stress Disorder (PTSD), Acute Stress Disorder dan Anxiety Disorder No Other Specified (Neale, dkk, 2004). Anxiety disorder ini ditandai dengan gejala-gejala fisiologis ataupun perubahan pola perilaku yang berlebihan pada kurun waktu tertentu, dan dapat menyebabkan hambatan


(3)

pada beberapa aspek hidup, termasuk hambatan dalam fungsi sosial, pekerjaan, sosial atau aspek penting lainnya.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat gejala-gejala yang secara umum tampak pada individu anxiety disorder. Penelitian Byrne dalam Matos, dkk (2008) pada remaja yang mengalami kecemasan, menemukan bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi menunjukkan hambatan dalam perilaku, self-concept yang rendah dan performa pendidikan yang rendah. Sejalan dengan yang ditulis pada Psicologosclinicos (2009), bahwa anxiety disorder juga dapat menyebabkan hambatan dalam fungsi sosial, pendidikan dan pekerjaan, bahkan dalam kondisi yang lebih parah dapat menyebabkan hambatan dalam fungsi kehidupan sehari-hari.

Beck (dalam Flanagan & Flanagan, 2004) menyatakan bahwa pemikiran atau kognisi individu dengan gangguan kecemasan cenderung bersifat negatif, maladaptif atau tidak rasional (irrational belief). Pemikiran irasional muncul secara otomatis ketika individu menghadapi kecemasan, yang disebut juga dengan automatic thought. Greenberger & Padesky (2004) menyatakan hal yang serupa bahwa faktor kognisi atau pemikiran merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya anxiety disorder; secara umum menunjukkan pikiran negatif (negative thought) atau maladaptif, cenderung memikirkan bahaya secara berlebihan, serta sering khawatir dan berpikir tentang hal yang buruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anxiety erat kaitannya dengan kognisi, dan distorsi dalam berpikir atau dapat dikatakan bahwa anxiety disorder dapat berasal dari kognisi yang terdistorsi.

Menjelaskan lebih lanjut tentang perbaikan distorsi kognisi pada individu dengan anxiety disorder, Greenberger & Padesky (2004) menambahkan bahwa individu yang mengalami anxiety disorder dapat mengalami perubahan perilaku dan perubahan fisik, namun terlebih dahulu dilakukan perubahan kognisi agar menjadi lebih positif.


(4)

Perubahan kognisi dan „core beliefs‟ yang menyebabkan gangguan emosional dapat dilakukan dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat, atau yang dikenal dengan Cognitive Behavioral Therapy atau CBT (Pucci, 2005; Abbatiello, 2006). CBT dapat membantu individu mengatasi gangguan psikologis dengan memodifikasi kognisi agar menjadi lebih adaptif sehingga dapat menghadapi situasi sulit secara efektif, dan pada akhirnya perilaku yang tampak juga menjadi lebih adaptif (Spiegler & Guevremont, 2003). Sejalan dengan yang dikatakan Beck (dalam Hackney & Cormier, 2001) bahwa CBT dapat digunakan untuk mengurangi gangguan emosional dan pola perilaku maladaptif, dengan cara mengkoreksi pikiran, persepsi, dan keyakinan individu.

Beberapa penelitian menemukan bahwa CBT efektif dalam mengatasi berbagai masalah psikologis, termasuk anxiety disorder. Penelitian Young, dkk pada tahun 1997-1998 (Young & Klap & Shoai & Wells, 2008) yang dilakukan pada 1,642 orang dewasa, menemukan bahwa CBT efektif dalam mengatasi pasien yang mengalami anxiety disorder. Penemuan lainnya yang ditemukan oleh Bannan (2005) menemukan bahwa CBT merupakan manajemen klinis yang secara statistik signifikan dalam mengatasi pasien yang mengalami kecemasan dan depresi dengan gejala-gejala psikologis spesifik (rasa bersalah, self-esteem dan hopelessness), dan social functioning (dependency, interpersonal behavior dan resistance).

Berdasarkan berbagai penelitian terdahulu, CBT telah terbukti efektif dalam menangani individu dengan gangguan psikologis, termasuk anxiety disorder, sehingga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika CBT diterapkan pada individu yang mengalami anxiety disorder?

I.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi atau gambaran dari penerapan CBT terhadap individu yang mengalami anxiety disorder.


(5)

I.3. TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi AnxietyDisorder

Beck (1976) menyatakan bahwa anxiety disorder merupakan suatu keadaan emosi tidak menyenangkan yang disertai oleh reaksi „catastrophic‟, yaitu antisipasi terhadap situasi bahaya terburuk pada masa depan, berupa antisipasi kehilangan terhadap beberapa objek penting, baik makhluk hidup maupun mati, termasuk benda-benda kepemilikan seperti uang, teman, kritikan, penghinaan atau pembelotan, juga penyakit dan bahaya fisik.

B. Jenis Anxiety Disorder

DSM IV-TR (dalam Neale, dkk, 2004) menggolongkan anxiety disorder atas sembilan kategori dasar gangguan yaitu Phobia, Panic Disorder, Generalized Anxiety Disorder, Obsessive-Compulsive Disorder, Posttraumatic Stress Disorder (PTSD), Acute Stress Disorder, dan Anxiety Disorder No Other Specified. Selain itu Anxiety Disorder juga berkaitan dengan kondisi medis umum (Anxiety Disorder Due To a General Medical Condition) ataupun penggunaan substansi (Substance-Induced Anxiety Disorder).

C. Treatment untuk Anxiety Disorder

a. Anxiety Disorder dapat diatasi dengan berbagai terapi, tergantung pada jenis gangguan serta perspektif yang digunakan. Beberapa bentuk terapi yang dapat diberikan yaitu: a) Terapi Psikoanalisa, yaitu dengan teknik asosiasi bebas dan interpretasi mimpi, dan hypnosis, b) Terapi Humanistik-Eksistential, yaitu dengan terapi client-centered, atau paradoxical intention, c) Terapi Behavioral, yaitu dengan teknik-teknik behavioral seperti systematic desensitization, modeling atau reinforcement, d) Terapi Kognitif, yaitu dengan terapi kognitif (cognitive therapy) atau terapi kognitif behavioral (cognitive


(6)

behavior therapy), e) terapi farmakologi, yaitu dengan terapi pengobatan secara medis. (Acocella, 1996)

D. Defenisi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Therapy pertama kali dikembangkan oleh Aaron T.Beck pada tahun 1960-an; merupakan suatu terapi yang melakukan koreksi terhadap konsepsi yang salah, dengan menajamkan perbedaan dan lebih mempelajari sikap adaptif. Terapi kognitif juga meliputi proses introspeksi, insight, reality testing dan mempelajari dasar proses kognitif (Beck, 1976).

E. Langkah-langkah CBT

Spiegler & Guevremont (2003) menyatakan bahwa sebagai langkah penting dalam memahami masalah partisipan dengan lebih tepat berdasarkan pendekatan cognitive behavior, perlu dilakukan analisa fungsional atau analisa masalah berdasarkan prinsip „S-O-R-C‟. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptif, untuk selanjutnya masuk ke dalam tahapan CBT.

Prinsip S-O-R-C tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:

a) S (Stimulus) : peristiwa yang terjadi sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu. b) O (Organism) : partisipan dengan aspek kognisi (C) dan emosi (E) di dalamnya.

c) R (Responses) : apa yang dilakukan oleh individu atau organism, sering juga disebut dengan perilaku (Behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior) ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior).

d) C (Consequences) : peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai suatu hasil dari perilaku. Consequnces termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai suatu hasil dari perilaku tersebut.

2.8. Teknik-Teknik CBT

McGinn (2000) secara spesifik menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT dan kemudian dibagi atas tiga area, yaitu:


(7)

a. Area Kognitif: Cognitive Restructuring, yaitu mengkoreksi pikiran-pikiran yang terdistorsi secara negatif dan diarahkan menjadi lebih logis dan adaptif.

b. Area Perilaku: Activity Scheduling, Social Skills Training, and Assertiveness Training. c. Area Fisiologis: teknik Imagery, Meditasi dan Relaksasi.

Pada penelitian ini digunakan teknik Cognitive Restructuring, yang kemudian akan dikombinasikan dengan Overt Behavioral Intervention.

A. Cognitive Restructuring.

Cognitive Restructuring mengajari individu untuk mengubah kognisi terdistorsi yang menyebabkan masalah pada perilaku, dan mensubstitusinya dengan kognisi yang lebih adaptif. Teknik Cognitive Restructuring memiliki asumsi yang didasari prinsip

constructivism‟, yaitu bahwa setiap orang membuat realitanya sendiri (apa yang real dan bermakna baginya) (Spiegler & Guevremont, 2003). Terapis dan individu berkolaborasi

dalam mengidentifikasikan „dysfunctional beliefs‟ atau distorsi kognitif individu dan menantang validitasnya. Terapis melakukan „socratic dialogue‟ dalam proses rekognisi

terhadap „dysfunctional beliefs‟ tersebut, dengan menanyakan serangkaian pertanyaan yang

mudah dijawab serta mengarahkan individu agar dapat merekognisi adanya „dysfunctional beliefs‟dan „automatic thought‟.

Craighead, dkk. (1994) menyatakan bahwa Cognitive Restructuring merupakan teknik mengkoreksi pikiran-pikiran yang terdistorsi secara negatif, dan mengarahkannya agar menjadi lebih logis dan adaptif. Tahapan-tahapan yang dapat dilakukan dalam cognitive restructuring adalah sebagai berikut: a) Identifikasi kognisi yang terdistorsi, b) Identifikasi hubungan pikiran dengan perasaan atau suasana hati, c) Mencatat secara berkala situasi (peristiwa, waktu, tempat) yang menyebabkan kognisi atau pikiran yang terdistorsi dalam catatan pemikiran, d) Membuat tanggapan rasional (pikiran alternatif yang positif) untuk setiap automatic thought yang muncul pada partisipan.


(8)

b. Overt Behavioral Intervention

Menurut Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003), bahwa disamping melakukan intervensi pada kognisinya, terapis juga perlu memperhatikan intervensi perilaku. Sesuai dengan asumsi CBT awal yang disebutkan diatas, bahwa dengan kognisi yang berubah, maka diharapkan perilakunya yang tampak (overt behavior) juga dapat berubah.

Pada penelitian ini bentuk intervensi cognitive behavioral yang digunakan adalah Assertion Trainning. Assertion Trainning adalah latihan social skill khusus yang digunakan dalam mengajar individu bagaimana dan kapan harus berperilaku asertif. Perilaku asertif adalah tindakan yang aman dan mempertahankan kehendak (keinginan) diri dalam suatu situasi interpersonal tanpa melanggar hak-hak orang lain.

3. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif, dengan pengumpulan data melalui metode wawancara dan observasi, serta pemeriksaan psikologis sebagai alat bantu dalam persiapan partisipan penelitian. Melalui pendekatan kualitatif ini maka peneliti dapat memperoleh data yang bersifat deskriptif, menyeluruh, mendalam dan detail mengenai kecemasan yang dikemukakan oleh partisipan, agar dapat diberikan perlakuan yang tepat pada partisipan.

3.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, hal-hal penting yang menjadi karakteristik bagi sampel yang dipilih antara lain: a) Perempuan atau laki-laki yang berada dalam usia dewasa (18 tahun ke atas), b) Memiliki diagnosa salah satu dari anxiety disorder seperti yang didefinisikan dalam DSM IV-TR, c) Bersedia untuk diberikan perlakuan atau treatment.


(9)

Peneliti memilih sampel dengan metode pengambilan sampel purposif, yaitu sampel diambil bukan secara acak, tetapi dipilih mengikuti kriteria tertentu (Poerwandari, 2001). Sampel yang mungkin untuk diterapi dibatasi oleh kriteria yang sesuai dengan karakteristik sampel dalam penelitian ini.

3.3. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap evaluasi hasil penelitian.

1. Tahap Persiapan

Tahapan persiapan penelitian (preliminary research) dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu: a) mempelajari fenomena tentang anxiety disorder, b) mengumpulkan konsep teori tentang anxiety disorder dan treatment yang sesuai untuk partisipan anxiety disorder, c) menseleksi partisipan penelitian, d) mengatur waktu pelaksanaan tes psikologi, e) memberikan tes psikologi pada partisipan sesuai dengan administrasi tes yang baku, f) melakukan skoring dan interpretasi tes psikologi, g) menyiapkan rancangan CBT, h) menyiapkan kontrak pelaksanaan terapi.

2. Tahap Pelaksanaan

Adapun langkah-langkah dalam tahap pelaksanaan penelitian sebagai berikut: a) peneliti menjelaskan tujuan pelaksanaan terapi dan menanyakan kesediaan partisipan dalam menegaskan kembali kesediaan partisipan untuk dikenakan treatment, b) peneliti meminta partisipan untuk menandatangani Kontrak Terapi, c) melaksanakan setiap sesi terapi sesuai dengan yang telah dirancang.


(10)

3. Tahap Evaluasi

Beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu: a) mencatat proses penerapan CBT yang telah dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan dalam rancangan terapi yang telah dirancang, b) melakukan analisa berdasarkan penemuan yang diperoleh dalam terapi, c) melakukan analisa terhadap perubahan perilaku yang tampak, melalui wawancara yang dilaporkan oleh partisipan, d) melakukan evaluasi terhadap penerapan terapi CBT pada partisipan, e) menarik kesimpulan serta membuat diskusi dan saran.

3.4. Prosedur Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh adalah berupa kata-kata yang bersifat naratif. Menurut Poerwandari (2007), prosedur analisis data penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: a) mencatat data menjadi bentuk teks, b) mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab, c) menyusun transkripsi verbatim sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kiri dan kanan transkrip, d) secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkripsi verbatim, e) memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu, f) melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data, g) mengidentifikasikan tema atau kategori anxiety disorder dari data yang terkumpul, h) menulis hasil akhir.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

Setelah menerapkan CBT pada partisipan M (bukan nama sebenarnya) maka diringkaskan gambaran emosi, kognisi, dan perilaku partisipan dalam tabel berikut:


(11)

Tabel A. Gambaran Emosi, Kognisi dan Perilaku Partisipan M selama proses CBT

PT Kognisi Emosi Perilaku

I (tidak dapat diidentifikasikan)

Kesal, marah, cemas

Submissive (mendiami teman), plin plan (tidak tegas)

II - Teman tidak menghargaiku - Merasa terpaksa

membantu teman - Temanku telah merusak

bukuku

Takut, jengkel, kecewa, serta marah

Tingkah laku submissive (tidak bersikap tegas dan menuruti keinginan orang lain), serta gejala-gejala fisiologis (sesak nafas, jantung berdebar, otot tegang dan pikiran menjadi kosong secara tiba-tiba), blocking III - Aku membantu selagi ada

waktu

- Ingin menghajar adikku karena dituduh telah mengambil uangnya - Temanku dengan

sembarangan telah mengambil FD milikku tanpa permisi Marah, cemas, takut, kurang nyaman, tidak bersemangat

Tidak tegas untuk menolak permintaan teman, menghindari situasi tidak menyenangkan, gejala fisiologis (sesak nafas), blocking

IV Merasa berguna ketika bisa membantu teman, Merasa dimanfaatkan teman

Takut, kesal, kecewa

Tingkah laku submissive (bertindak tidak tegas, tidak berani menolak atau menyatakan keinginanya), gejala fisiologis (gugup, gelisah, kurang konsentrasi), menghindar, blocking

V - Merasa berguna ketika bisa membantu teman - Teman hanya

memanfaatkannya dan merugikannya

Cemas, kesal Tingkah laku submissive

(bertindak tidak tegas, tidak berani menegur teman secara tegas), konsentrasi yang rendah VI Merasa dimanfaatkan dan

dirugikan teman

Membantu teman sekalian mengerjakan tugasku

Kesal, marah, sedih

Submissive (tidak berani menolak secara tegas)

VII - Takut ditanyai macam-macam dan tidak

disetujui ketika meminta uang untuk keperluan kuliah pada abang - Teman bisa pergi sendiri

atau mengajak teman lain

Takut, khawatir, senang

- Meminta uang kepada kakak (alternatif)

- Menolak ajakan teman dengan tegas


(12)

4.2. Analisa dan Interpretasi

Berdasarkan penerapan CBT pada partisipan M, maka diperoleh analisa data dan interpretasi sebagai berikut:

1) Distorsi Kognitif

Masalah-masalah yang dihadapi M dalam hubungan interpersonal tersebut secara umum disebabkan oleh distorsi kognitif yang cenderung mengambil kesimpulan tanpa ada fakta yang jelas mendukung kesimpulannya, seperti yang dikemukakan oleh

Burns (2003) dalam menjelaskan tentang „jumping conclusion‟. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

“…... Aku jadi merasa dimanfaatkan. Karena dia diatasku satu tingkat, jadi

gitu…” (P1/W5/080609/kal 56-57/hal3)

Menurut Burns, distorsi kognitif yang dialami M karena menganggap bahwa emosi-emosi yang negatif mencerminkan bagaimana sebenarnya realita (emotional reasoning). Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

”Karena sekaliannya kak. Karena aku gi ngerjain punyaku, trus datang sms dia, karena kupikir sekalian ngerjain punyaku gak apalah” (P1/W6/110609/kal 86-88/hal4)

2) Automatic Thought

Seringkali M sering merasa bahwa ia bodoh atai sering dibodohi orang lain, terutama karena ia tidak bisa menolak permintaan orang lain. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

““….Karena diliatnya aku bodoh-bodoh, makanya dibilang kawan-kawanku, kau bodoh kali, mau kali kau diminta-mintanya gitu” (P1/W5/080609/kal 57-59/hal3)

3) Tanggapan Rasional

M mulai menyadari bahwa ia harus belajar untuk bersikap tegas dan berani mempertahankan keinginannya. Seiring dengan proses terapi yang dilakukan pada Mona, ia mulai memiliki insight bahwa tidak selamanya ia harus mengikuti


(13)

permintaan orang lain, dapat membantu teman pada porsi dan situasi yang tepat, bukan pada segala situasi. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

“Teman ne gak tau aku ge sibuk dan mungkin aku harus terus terang kalo aku

gak bisa hari ini, tapi ada waktu kuusahakan pun” (P1/PR4/030609/no 2/TR1)

4) Perilaku Maladaptif

Setelah menyadari bahwa perilaku tidak tegasnya tersebut bersifat maladaptif karena ternyata merugikan dirinya, menjelang akhir sesi terapi M mulai memiliki insight bahwa ia perlu melatih diri untuk bersikap tegas ataupun berperilaku asertif. Pada beberapa latihan berperilaku asertif, M memberikan respon yang mengarah pada perilaku yang lebih adaptif atau asertif. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

“Ketika disuruh teman ke rumah dia biar sama-sama pergi ke kampus untuk bimbingan sementara aku udah janji dengan teman lain, aku bisa tegas dan

bilang,”Maaf ya, udah janji sama teman yang lain fren”

(P1/PR1/110609/no1/AT4)

Berdasarkan gambaran masalah di atas secara ringkas dibuat suatu analisa distorsi pada partisipan M sebagai berikut:

Tabel B. Gambaran distorsi kognisi pada Partisipan M

Data Distorsi Pikiran Keterangan

Kecemasan Kecemasan karena tidak mampu bersikap tegas dalam hubungan interpersonal (teman, keluarga, kenalan) Emotional Reasoning Menganggap perilaku mengikuti keinginan orang lain sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan realita Kecemasan karena merasa

dimanfaatkan dan

diabaikan ketika berbicara

Jumping conclusion

Menganggap diri telah dimanfaatkan tanpa bukti dan usaha menceknya Kecemasan dinilai buruk

oleh orang lain (dianggap sombong)

Jumping conclusion

Merasa dinilai buruk tanpa adanya bukti konkrit

Automatic Thought

Menolong orang lain berarti menjadi orang yang berguna Emotional Reasoning Mengganggap perasaannya sebagai realita


(14)

4.3. Pembahasan

Penelitian ini menganalisa penerapan CBT yang diterapkan pada satu partisipan. Partisipan M diberikan teknik assertion trainning karena disesuaikan dengan masalah partisipan yang tidak mampu bersikap tegas dalam hubungan interpersonal. Sikap tidak tegas ini menimbulkan kecemasan dalam diri partisipan karena merasa tidak mampu untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka. Dari hasil penerapan CBT pada partisipan M, terlihat bahwa partisipan M mulai menunjukkan perubahan dalam pola kognisinya, dari pola kognisi yang bersifat automatic ataupun terdistorsi, mengarah pada kognisi yang lebih rasional atau positif. Juga lebih ditekankan adalah perubahan perilaku (secara behavioral), sehingga terapis bergerak dari mengubah perilaku untuk merubah apa yang dipikirkan oleh partisipan. Hal ini disebabkan partisipan M sulit untuk mengalami perubahan pikiran, sebelum dirubah perilakunya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Spiegler & Guevremont (2003) bahwa CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, sehingga ketika individu mengubah pikiran maladaptifnya (maladaptive thought), maka secara tidak langsung akan mengubah tingkah laku yang tampak (overt action). Kognisi dimodifikasi dengan dua cara, yaitu secara kognitif dan secara behavioral. Mengubah apa yang kita lakukan (overt), dalam merubah apa yang kita pikirkan, adalah strategi untuk perubahan sikap.

Berdasarkan hasil penerapan CBT tersebut juga ditemukan bahwa pola kognisi pada individu yang mengalami kecemasan cenderung mengalami kesalahan berpikir atau kognisi yang terdistorsi. Flanagan & Flanagan (2004), menyatakan bahwa ketika orang sedang dalam keadaan distress, maka ia tidak bisa berpikir secara jernih dan pikirannya terdistorsi dalam beberapa hal. Kesalahan dalam berpikir yang paling sering muncul pada partisipan M adalah jumping conclusion, yaitu membuat kesimpulan negatif tanpa fakta atau bukti yang jelas untuk mendukung kesimpulannya, serta distorsi kognisi emotional reasoning, yaitu menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi. Hal tersebut sejalan dengan yang pendapat Burns (dalam Woolfe & Dryden & Strawbridge, 2003), bahwa jumping conclusion dan emotional reasoning sering ditemukan pada klien yang mengalami gangguan psikologis, termasuk anxiety disorder selama proses terapi.

Efektivitas pelaksanaan CBT pada partisipan ini menunjukkan beberapa keterbatasan. Beberapa faktor lain dinilai turut mempengaruhi proses penerapan CBT, termasuk kemampuan intelegensi atau kemampuan menganalisa masalah, kemauan dan motivasi diri untuk perubahan, konsistensi dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan, suasana hati


(15)

atau mood serta kondisi fisik selama terapi. Selain aspek pribadi yang mempengaruhi proses terapi, dalam terapi ini, ada beberapa faktor eksternal atau faktor di luar diri partisipan, yang dinilai juga mempengaruhi hasil penerapan terapi, yaitu termasuk: motivasi dan dorongan dari orang terdekat dari partisipan untuk perubahan kognisi dan perilaku, faktor lingkungan dan tempat dalam pelaksanaan terapi, serta minimnya pengalaman terapis dalam meng-conduct terapi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada individu yang mengalami gangguan kecemasan, maka diperoleh kesimpulan: Penerapan CBT pada partisipan M memberikan pengaruh yang relatif signifikan, dimana partisipan menunjukkan perubahan kognisi dan perilaku, yang juga diikuti dengan perubahan emosi dan spiritual. Partisipan M mengalami perubahan kognisi menjadi lebih rasional, namun membutuhkan arahan dan waktu yang relatif lebih lama dalam pemerolehan tanggapan rasional. Partisipan M juga mengalami perubahan perilaku menjadi lebih asertif.

B. Saran

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dipaparkan, penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Saran Metodologis

Penelitian ini masih mengandung banyak kelemahan, untuk itu diharapkan pada penelitian selanjutnya hal ini dapat diatasi.

1. Bagi individu yang mengalami kecemasan, agar dibantu untuk lebih mampu menemukan kesalahan atau hambatannya dalam menginterpretasikan situasi atau peristiwa, sehingga mampu memandang suatu peristiwa atau situasi dengan lebih


(16)

positif dan rasional, dan pada akhirnya mampu untuk mengatasi masalahnya dengan lebih positif dan efektif.

2. Bagi institusi atau profesional psikologi yang terlibat dalam penanganan gangguan psikologis secara klinis, agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang penerapan CBT khususnya pada individu yang mengalami gangguan kecemasan, dengan teknik yang lebih efektif bagi individu yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan jumlah responden yang lebih banyak serta waktu pelaksanaan sesi terapi yang lebih panjang serta lebih memfokuskan pada perubahan perilaku; dan perlu dilakukan pemahaman yang lebih tentang cara atau teknik dalam meng-conduct CBT, khususnya bagi terapis yang belum memiliki banyak pengalaman.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Abbatiello, Geraldine (2006). Integrative Perspectives: Cognitive-Behavioral Therapy and Metaphor. Perspectives in Psychiatric Care. ProQuest Psychology Journals, 42, 208. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1157381251&SrchMode=1&sid=1&F mt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246874068&cli entId=63928

Acocella & Alloy & Bootzin. (1996). Abnormal Psychology: Current Perspective (7th Edition). USA : McGraw-Hill, Inc.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th Ed - Text Revision). Arlington: American Psychiatric Association.

“Anxiety Disorder”. (2009). Dikutip pada 20 Januari 2009 dari

http://www.psicologosclinicos.com/id/articulos/category/psicologia-clinica/ansiedad/htm.

Bannan, Noreen (2005). Multimodal Therapy of Treatment Resistant Depression: A Study And Analysis. International Journal Psychiatry In Medicine, 35, 27-39. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=859771791&SrchMode=1&sid=4&Fm t=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246875320&clien tId=63928

Beck, Aaron, T. (1976). Cognitive Therapy and The Emotional Disorders. USA: A Meridian Book.

Craighead & Craighead & Kazdin & Mahoney (1994). Cognitive and Behavioral Interventions: An Empirical Approach to Mental Health Problems. Massachusetts : Allyn & Bacon, A Longwood Professional Book

Flanagan & Flanagan. (2004). Counseling and Psychotherapy Theories in Context and Practice : Skill, Strategies, and Techniques. USA : John Wiley & Sons, Inc.

Greenberger, D. & Padesky, C. (2004). Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Bandung : Mizan Media Utama.

Hackney & Cormier. (2001). The Professional Counselor: A Process Guide To Helping (4th Edition). USA : Allyn & Bacon Company.

Keable, D. (1997). The Management of Anxiety: A Guide For Therapist. New York: Churchill Livingstone.

Matos & Tome & Borges & Manso & Ferreira & Ferreira. (2008). Anxiety, Depression and Coping, Strategies: Improving The Evaluation and The Understanding of These Dimensions During Pre-Adolescence and Adolscence. Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies, Sep, 2008; Vol.8, No.2, Pg.189-184.


(18)

McGinn, Lata K. (2000). Cognitive Behavioral Therapy of Depression: Theory, Treatment, and Empirical Status. American Journal of Psychotherapy - 00029564, 54 (2). http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=57007291&SrchMode=1&sid=12&Fm t=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246875939&clien tId=63928

Neale & Kring & Davidson. (2003). Abnormal Psychology (6th Edition), USA : John Wiley & Sons, Inc.

Pucci, R. Aldo. (2005). Evidence-Based Counseling & Psychotherapy. Dikutip pada 20 Januari 2009 dari http://www.nacbt.org/evidenced-based-therapy.htm.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Spiegler & Guevremont (2003). Contemporary Behavior Therapy (4th Edition). USA: Thomson Wadsworth. “Therapy for Anxiety Disorders: Cognitive Behavioral Therapy, Exposure Therapy, and Other Options”. 2008. Dikutip pada 20 Januari 2009 dari http://www.helpguide.org/mental/anxiety_therapy.htm

Williams & Foo. (2006). Cultural considerations in using cognitive behaviour therapy with Young & Klap & Shoai & Wells. (2008). Persistent Depression and Anxiety in the United

States: Prevalence and Quality of Care. ProQuest Psychiatric Services Journal. 59, 1391.

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1621747491&SrchMode=1&sid=15& Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246876158&c lientId=63928


(1)

permintaan orang lain, dapat membantu teman pada porsi dan situasi yang tepat, bukan pada segala situasi. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

“Teman ne gak tau aku ge sibuk dan mungkin aku harus terus terang kalo aku gak bisa hari ini, tapi ada waktu kuusahakan pun” (P1/PR4/030609/no 2/TR1) 4) Perilaku Maladaptif

Setelah menyadari bahwa perilaku tidak tegasnya tersebut bersifat maladaptif karena ternyata merugikan dirinya, menjelang akhir sesi terapi M mulai memiliki insight bahwa ia perlu melatih diri untuk bersikap tegas ataupun berperilaku asertif. Pada beberapa latihan berperilaku asertif, M memberikan respon yang mengarah pada perilaku yang lebih adaptif atau asertif. Seperti salah satu kutipan dari hasil wawancara berikut:

“Ketika disuruh teman ke rumah dia biar sama-sama pergi ke kampus untuk bimbingan sementara aku udah janji dengan teman lain, aku bisa tegas dan bilang,”Maaf ya, udah janji sama teman yang lain fren” (P1/PR1/110609/no1/AT4)

Berdasarkan gambaran masalah di atas secara ringkas dibuat suatu analisa distorsi pada partisipan M sebagai berikut:

Tabel B. Gambarandistorsi kognisi pada Partisipan M

Data Distorsi Pikiran Keterangan Kecemasan Kecemasan karena tidak

mampu bersikap tegas dalam hubungan interpersonal (teman, keluarga, kenalan) Emotional Reasoning Menganggap perilaku mengikuti keinginan orang lain sebagai sesuatu yang wajar, sesuai dengan realita Kecemasan karena merasa

dimanfaatkan dan

diabaikan ketika berbicara

Jumping conclusion

Menganggap diri telah dimanfaatkan tanpa bukti dan usaha menceknya Kecemasan dinilai buruk

oleh orang lain (dianggap sombong)

Jumping conclusion

Merasa dinilai buruk tanpa adanya bukti konkrit

Automatic Thought

Menolong orang lain berarti menjadi orang yang berguna Emotional Reasoning Mengganggap perasaannya sebagai realita


(2)

4.3. Pembahasan

Penelitian ini menganalisa penerapan CBT yang diterapkan pada satu partisipan. Partisipan M diberikan teknik assertion trainning karena disesuaikan dengan masalah partisipan yang tidak mampu bersikap tegas dalam hubungan interpersonal. Sikap tidak tegas ini menimbulkan kecemasan dalam diri partisipan karena merasa tidak mampu untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka. Dari hasil penerapan CBT pada partisipan M, terlihat bahwa partisipan M mulai menunjukkan perubahan dalam pola kognisinya, dari pola kognisi yang bersifat automatic ataupun terdistorsi, mengarah pada kognisi yang lebih rasional atau positif. Juga lebih ditekankan adalah perubahan perilaku (secara behavioral), sehingga terapis bergerak dari mengubah perilaku untuk merubah apa yang dipikirkan oleh partisipan. Hal ini disebabkan partisipan M sulit untuk mengalami perubahan pikiran, sebelum dirubah perilakunya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Spiegler & Guevremont (2003) bahwa CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, sehingga ketika individu mengubah pikiran maladaptifnya (maladaptive thought), maka secara tidak langsung akan mengubah tingkah laku yang tampak (overt action). Kognisi dimodifikasi dengan dua cara, yaitu secara kognitif dan secara behavioral. Mengubah apa yang kita lakukan (overt), dalam merubah apa yang kita pikirkan, adalah strategi untuk perubahan sikap.

Berdasarkan hasil penerapan CBT tersebut juga ditemukan bahwa pola kognisi pada individu yang mengalami kecemasan cenderung mengalami kesalahan berpikir atau kognisi yang terdistorsi. Flanagan & Flanagan (2004), menyatakan bahwa ketika orang sedang dalam keadaan distress, maka ia tidak bisa berpikir secara jernih dan pikirannya terdistorsi dalam beberapa hal. Kesalahan dalam berpikir yang paling sering muncul pada partisipan M adalah jumping conclusion, yaitu membuat kesimpulan negatif tanpa fakta atau bukti yang jelas untuk mendukung kesimpulannya, serta distorsi kognisi emotional reasoning, yaitu menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi. Hal tersebut sejalan dengan yang pendapat Burns (dalam Woolfe & Dryden & Strawbridge, 2003), bahwa jumping conclusion dan emotional reasoning sering ditemukan pada klien yang mengalami gangguan psikologis, termasuk anxiety disorder selama proses terapi.

Efektivitas pelaksanaan CBT pada partisipan ini menunjukkan beberapa keterbatasan. Beberapa faktor lain dinilai turut mempengaruhi proses penerapan CBT, termasuk kemampuan intelegensi atau kemampuan menganalisa masalah, kemauan dan motivasi diri untuk perubahan, konsistensi dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan, suasana hati


(3)

atau mood serta kondisi fisik selama terapi. Selain aspek pribadi yang mempengaruhi proses terapi, dalam terapi ini, ada beberapa faktor eksternal atau faktor di luar diri partisipan, yang dinilai juga mempengaruhi hasil penerapan terapi, yaitu termasuk: motivasi dan dorongan dari orang terdekat dari partisipan untuk perubahan kognisi dan perilaku, faktor lingkungan dan tempat dalam pelaksanaan terapi, serta minimnya pengalaman terapis dalam meng-conduct terapi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada individu yang mengalami gangguan kecemasan, maka diperoleh kesimpulan: Penerapan CBT pada partisipan M memberikan pengaruh yang relatif signifikan, dimana partisipan menunjukkan perubahan kognisi dan perilaku, yang juga diikuti dengan perubahan emosi dan spiritual. Partisipan M mengalami perubahan kognisi menjadi lebih rasional, namun membutuhkan arahan dan waktu yang relatif lebih lama dalam pemerolehan tanggapan rasional. Partisipan M juga mengalami perubahan perilaku menjadi lebih asertif.

B. Saran

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dipaparkan, penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Saran Metodologis

Penelitian ini masih mengandung banyak kelemahan, untuk itu diharapkan pada penelitian selanjutnya hal ini dapat diatasi.

1. Bagi individu yang mengalami kecemasan, agar dibantu untuk lebih mampu menemukan kesalahan atau hambatannya dalam menginterpretasikan situasi atau peristiwa, sehingga mampu memandang suatu peristiwa atau situasi dengan lebih


(4)

positif dan rasional, dan pada akhirnya mampu untuk mengatasi masalahnya dengan lebih positif dan efektif.

2. Bagi institusi atau profesional psikologi yang terlibat dalam penanganan gangguan psikologis secara klinis, agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang penerapan CBT khususnya pada individu yang mengalami gangguan kecemasan, dengan teknik yang lebih efektif bagi individu yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan jumlah responden yang lebih banyak serta waktu pelaksanaan sesi terapi yang lebih panjang serta lebih memfokuskan pada perubahan perilaku; dan perlu dilakukan pemahaman yang lebih tentang cara atau teknik dalam meng-conduct CBT, khususnya bagi terapis yang belum memiliki banyak pengalaman.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abbatiello, Geraldine (2006). Integrative Perspectives: Cognitive-Behavioral Therapy and Metaphor. Perspectives in Psychiatric Care. ProQuest Psychology Journals, 42, 208. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1157381251&SrchMode=1&sid=1&F mt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246874068&cli entId=63928

Acocella & Alloy & Bootzin. (1996). Abnormal Psychology: Current Perspective (7th Edition). USA : McGraw-Hill, Inc.

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th Ed - Text Revision). Arlington: American Psychiatric Association. “Anxiety Disorder”. (2009). Dikutip pada 20 Januari 2009 dari

http://www.psicologosclinicos.com/id/articulos/category/psicologia-clinica/ansiedad/htm.

Bannan, Noreen (2005). Multimodal Therapy of Treatment Resistant Depression: A Study And Analysis. International Journal Psychiatry In Medicine, 35, 27-39. http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=859771791&SrchMode=1&sid=4&Fm t=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246875320&clien tId=63928

Beck, Aaron, T. (1976). Cognitive Therapy and The Emotional Disorders. USA: A Meridian Book.

Craighead & Craighead & Kazdin & Mahoney (1994). Cognitive and Behavioral Interventions: An Empirical Approach to Mental Health Problems. Massachusetts : Allyn & Bacon, A Longwood Professional Book

Flanagan & Flanagan. (2004). Counseling and Psychotherapy Theories in Context and Practice : Skill, Strategies, and Techniques. USA : John Wiley & Sons, Inc.

Greenberger, D. & Padesky, C. (2004). Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Bandung : Mizan Media Utama.

Hackney & Cormier. (2001). The Professional Counselor: A Process Guide To Helping (4th Edition). USA : Allyn & Bacon Company.

Keable, D. (1997). The Management of Anxiety: A Guide For Therapist. New York: Churchill Livingstone.

Matos & Tome & Borges & Manso & Ferreira & Ferreira. (2008). Anxiety, Depression and Coping, Strategies: Improving The Evaluation and The Understanding of These Dimensions During Pre-Adolescence and Adolscence. Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies, Sep, 2008; Vol.8, No.2, Pg.189-184.


(6)

McGinn, Lata K. (2000). Cognitive Behavioral Therapy of Depression: Theory, Treatment, and Empirical Status. American Journal of Psychotherapy - 00029564, 54 (2). http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=57007291&SrchMode=1&sid=12&Fm t=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246875939&clien tId=63928

Neale & Kring & Davidson. (2003). Abnormal Psychology (6th Edition), USA : John Wiley & Sons, Inc.

Pucci, R. Aldo. (2005). Evidence-Based Counseling & Psychotherapy. Dikutip pada 20 Januari 2009 dari http://www.nacbt.org/evidenced-based-therapy.htm.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Spiegler & Guevremont (2003). Contemporary Behavior Therapy (4th Edition). USA: Thomson Wadsworth. “Therapy for Anxiety Disorders: Cognitive Behavioral Therapy, Exposure Therapy, and Other Options”. 2008. Dikutip pada 20 Januari 2009 dari http://www.helpguide.org/mental/anxiety_therapy.htm

Williams & Foo. (2006). Cultural considerations in using cognitive behaviour therapy with Young & Klap & Shoai & Wells. (2008). Persistent Depression and Anxiety in the United

States: Prevalence and Quality of Care. ProQuest Psychiatric Services Journal. 59, 1391.

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1621747491&SrchMode=1&sid=15& Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD&TS=1246876158&c lientId=63928