Ibu introvert yang bingung

Ibu introvert yang bingung
Tanya :
Assalamu’alaikum wr.wb, mbak Emmy yang baik, saya membaca majalah “Suara
Muhammadiyah” ketika main di rumah teman. Saya tertarik dan ingin mencoba
menulis surat tentang masalah yang saya hadapi. Karena saya tidak langganan
majalahnya saya mohon mbak mau membalas juga lewat surat.
Begini mbak, saya perempuan berusia 28 tahun. Saya sudah menikah 1 tahun yang
lalu. Sekarang saya tinggal di rumah orang tua saya, sedang suami bekerja di pulau
seberang. Saya telah mengalami peristiwa yang sangat tragis yang membuat saya
sangat tertekan dan mengganggu, sehingga membuat hidup saya berantakan.
Peristiwa itu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, ketika itu saya baru saja diterima di
sebuah PTN di Jogjakarta, sedang saya tinggal di sebuah kota di Jawa Barat. Suatu
hari saya dalam perjalanan menuju Jogjakarta dengan Bis malam sampai Jogja pagi
sebelum subuh. Waktu itu saya belum tahu banyak tempat / jalan di Jogja. Seorang
pria yang duduk sebangku dengan saya menawarkan pertolongan, katanya alamat
yang saya tuju dekat dengan rumahnya, dia bersedia mengantar saya dan mengajak
saya untuk mampir dirumahnya dulu menunggu hari agak terang. Ternyata di rumahnya ia hanya tinggal sendirian, disitulah saya “diperkosa”.
Sejak peristiwa itu saya jadi bingung, perasaan jijik dan kotor menghantui pikiran
saya, untuk cerita pada orang lain saya tidak bisa. Sering saya mengalami pikiran
kosong dan itu bisa terjadi ketika saya tengah naik motor, tengah mengikuti kuliah
atau aktivitas yang lain. Bahkan saya pernah kecelakaan (menabrak trotoar) gara-gara

pikiran kosong.
Saya pernah ikut konsultasi di biro konsultasi Fakultas Psikologi. Kata konselor saya
mengalami “depresi”. Setelah mengikuti konsultasi perasaan-perasaan jijik, kotor
pada diri sendiri agak berkurang, tapi tidak bisa hilang sama sekali. Saya berjanji
pada diri sendiri untuk tidak menikah. Saya tetap tidak mampu menyelesaikan kuliah.
Sampai akhirnya saya pulang ke rumah orang tua. Saya tidak pernah bercerita
permasalahan saya pada orang tua, sehingga mereka tidak tahu saya yang sebenarnya.
Mereka hanya tahu bahwa saya gagal kuliah.
Mungkin karena saya hanya menganggur, maka saya dijodohkan dengan pemuda
tetangga satu kampung. Sebetulnya hati saya menolak, tapi demi menyenangkan hati
orang tua saya berusaha mengikuti kemauan mereka, menerima lamaran pemuda itu.
Dalam proses pendekatan saya mencoba berterus terang keadaan masa lalu saya apa
adanya. Pertama mendengar ia memang agak kaget, tapi entah kenapa ia tidak mau
membatalkan lamarannya. Saya merasa ada yang mengganjal pada dirinya, tapi saya
pasrah saja.
Dan benar, bulan pertama pernikahan seharusnya menjadi hari-hari yang membahagiakan. Tapi bagi saya, seperti di neraka. Ia tak pernah menghormati saya sebagai
perempuan, apa lagi sebagai istrinya. Dimatanya saya merasa selalu disalahkan,
termasuk ketika suatu pagi ia saya bangunkan untuk sholat shubuh, ia malah marahmarah. Maka saya pun menawarkan bagaimana kalau cerai saja. Saya malah dipukul.

Sejak itu saya yang sebelumnya tinggal di rumah mertua, pulang ke rumah orang tua.

Waktu itu saya sudah hamil 4 minggu. Selama tinggal di rumah orang tua, suami
hanya datang sesekali dan terakhir ia pamit kembali bekerja ke pulau seberang.
Sampai sekarang sudah 5 bulan, ia tak pernah memberi kabar sekali pun, nafkah juga
tidak pernah diberikan. Pada hal untuk komunikasi gampang, karena ada telpon / HP.
Keluarganya sampai malu pada saya, terutama ibunya. Sedang usia kehamilan saya
kini sudah 8 bulan.
Menurut ibu bagaimana keluarga yang saya alami ?
Sebaiknya dipertahankan atau tidak ? Untuk cerai jelas secara materi saya tidak siap.
Saya malu harus bergantung pada orang tua, meski selama ini saya memang bergantung pada mereka. Orang tua saya sudah tahu dan mengerti atas semua yang saya
alami. Tapi saya masih bingung untuk memutuskan langkah selanjutnya.
Tolong saya ya, mbak apa yang sebaiknya saya perbuat.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum. wr.wb.
Sum, di kota B.
Jawab :
Wassalamu’alaikum. wr.wb. Ibu Sum saya bisa merasakan betapa berat beban peristiwa-peristiwa yang ibu alami, apalagi ibu seorang yang sangat pandai menyimpan
masalah sendiri, meski itu berakibat ibu menjadi depresi.
Kalau saya diminta untuk menilai rumah tangga ibu, tentu akan berbeda dengan
pandangan ibu karena hal itu sangat tergantung persepsi/pandangan masing-masing
orang terhadap rumah tangga/keluarganya.
Ada seorang istri yang sudah diperlakukan sedemikian rupa, seperti dipukul, dicekik

bahkan tidak diberi nafkah, tapi dia tetap ingin mempertahankan keluarganya. Tapi
ada yang sebaliknya, meski baru bertengkar kecil sudah merasa ada masalah besar
yang harus diselesaikan.
Ibu Sum, kalau saya mencermati dari awal pernikahan ibu, apa yang ibu lakukan
dengan berterus terang tentang masa lalu ibu itu sudah benar. Hanya, hal itu membuat
calon suami agak kecewa. Entah kenapa ia tidak membatalkan niatnya, tapi selanjutnya ia tidak konsekuen dengan pilihannya. Rupanya ia termasuk tipe laki-laki “kuno”
yang menganggap “keperawanan” adalah segala-galanya. Akibatnya sikap-sikapnya
sangat merugikan ibu. sampai-sampai ia tega menganiaya ibu, padahal ibu dalam
keadaan mengandung darah dagingnya.
Saya tidak berhak menilai dan menjawab, apakah keluarga/rumah tangga ibu dipertahankan atau tidak. Saya hanya bisa menyarankan, cobalah ibu renungkan, apakah
keadaan rumah tangga ibu sudah sesuai dengan tujuan membentuk keluarga yang
sesungguhnya.
Bukankah tujuan utama pernikahan adalah membentuk keluarga bahagia, masingmasing harus bisa saling membahagiakan. Pikiran juga apakah ada sisi positifnya
bagi anda. Bandingkanlah dengan sisi negatif selama pernikahan yang anda alami.
Kalau anda kesulitan cobalah lihat keluarga lain yang bahagia di sekitar ibu, supaya
ibu mendapat referensi yang nyata.

Saya berharap dengan begitu ibu bisa bersikap dan mengambil keputusan yang tepat
untuk ibu. Mengenai perceraian, saya bukan penganjur seseorang untuk bercerai,
namun bila dari hasil renungan ibu, tidak ada sisi positif yang bisa ibu rasakan, cerai

bukanlah keputusan yang tabu untuk diambil. Kalau masalahnya karena ibu takut
bercerai karena malu harus bergantung pada orang tua, saya kira sekarang pun ibu
sudah bergantung pada orang tua. Jadi cerai atau tidak kok sama saja.
Bila orang tua sudah tahu, cobalah sering-sering diskusi dengan mereka, masukan
dan dukungan dari orang tua sangat ibu perlukan. Jangan lupa mintalah petunjuk pada
Allah semoga ibu dapat membuat keputusan yang tepat bagi ibu dan anak ibu kelak.
Amin.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 14 2004