Orientasi Politik Kelas Menengah Jakarta

ORIENTASI POLITIK KELAS MENEGAH JAKARTA TERHADAP
KEBIJAKAN GUBERNUR AHOK 2014-2015

UNIVERSITAS INDONESIA

Oleh:
Andy Ilman Hakim
Hasbi Rofiqi
Nofia Fitri

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPOK
2016

1

ORIENTASI POLITIK KELAS MENEGAH JAKARTA TERHADAP
KEBIJAKAN GUBERNUR AHOK 2014-2015

1.


Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah
Eksistensi kelas menengah di Indonesia saat ini sebenarnya bukanlah hal
baru. Bank Dunia merilis laporan statistik tentang meningkatnya pertumbuhan
kelas menengah di Indonesia yang kini berjumlah sekitar 135 juta orang diukur
berdasarkan tingkat pengeluaran belanja 2 hingga 20 dollar sehari. 1 Kategorisasi
mengenai siapa saja yang termasuk di dalam kelas menengah sesungguhnya masih
membuka celah perdebatan, mengingat tidak adanya kriteria maupun karakteristik
baku mengenai klasifikasi kelas tersebut.
Melalui kolom dialog Prisma, Marzuki Darusman memberikan
pandangan mengenai data kelas menengah yang dirilis oleh Bank Dunia di atas. Ia
menilai kelas menengah seringkali dikaitkan dengan pelbagai isu seperti
demokrasi, hak asasi, dan perubahan. 2 Menurut Francisia secara implisit dan
eksplisit, peranan kelas menengah berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai
agen perubahan sosial. Dalam konteks ini, kelas menengah dianggap sebagai agen
pembawa modernisasi dan demokratisasi. 3 Sejarawan ekonomi, seperti Adelman
& Morris, dan Landes menyatakan bahwa kelas menengah adalah kekuatan
pendorong (driving force) bagi proses pembangunan ekonomi yang lebih cepat di
Inggris dan daratan Eropa pada abad ke-19. 4

Muhammad Afdi Nizar 5, dalam penelitiannya mengenai kelas menengah
dan implikasinya bagi perekonomian, menyebutkan bahwa kelas menengah
(middle class) adalah kelas penduduk dengan pengeluaran konsumsi antara $2 -

1

Kolom Dialog Majalah Prisma, Kelas Menengah Indonesia: Apa yang Baru?, (Jakarta: LP3ES,
2012), h.66.
2
Marzuki Darusman, Kelas Menengah yang Tak Sadar, dan Tanpa Disiplin, dalam Majalah
Prisma, Vol.31, No.1, 2012, h.66.
3
Francisia SSE Seda, Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual, dalam Majalah
Prisma, Vol.31, No.1, 2012, h.3.
4
Easterly, W. (2001). The Middle Class Consensus and Economic Development. Journal of
Economic Growth. Vol. 6 (4). pp. 317 – 336.
5
Peneliti, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI,
Jakarta.


2

$20 per kapita per hari. 6 Persebaran penduduk kelas menengah ini sebagian
terbesar berada di perkotaaan (urban). Bila dalam tahun 1999 jumlah kelas
menengah di perkotaan hanya sekitar 44,1% dari total penduduk, maka dalam
tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 62,0% dari total penduduk. 7 Artinya,
dalam kurun waktu 10 tahun tersebut peningkatan jumlah masyarakat menengah
di Indonesia meningkat sekitar 18%.

Grafik 1. Sebaran Penduduk Kelas Menengah Indonesia, 1999-2009 8
Sumber: Asian Development Bank, 2010

Peningkatan jumlah kelas menengah yang diperkirakan terjadi dalam
beberapa tahun ke depan tersebut membawa beberapa implikasi penting, seperti
mendorong naiknya konsumsi rumah tangga, pada gilirannya mendorong
peningkatan konsumsi nasional, selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional, serta kemudian diikuti oleh penambahan daya serap pasar atas tenaga
kerja. 9 Di titik inilah salah satu potensi penambahan jumlah kelas menengah
terjadi di setiap tahunnya. Dalam bidang politik, peningkatan populasi kelas

menengah tersebut konon menjadi indikator penting dalam sukses berdemokrasi.

6

Muhammad Afdi Nizar, Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya Bagi Perekonomian
Indonesia, Research Gate, Februari 2015.
7
Dikutip dari Data Asian Development Bank tahun 2010, dalam Muhammad Afdi Nizar, h.7.
8
Ibid.
9
Muhammad Afdi Nizar, Op. cit., h.13.

3

Perkembangan kuantitas dan kokohnya posisi kelas menengah dalam bidang
ekonomi dan politik tersebut juga akan mendorong permintaan dalam negeri kuat.
Dalam keadaan seperti ini, kelas menengah bukan tidak mungkin akan memiliki
peranan sentral dalam beberapa sektor pertumbuhan nasional, baik ekonomi
maupun politik. Majalah Prisma misalnya, dalam kolom survei mempublikasikan

suara kelas menengah dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Kelas
menengah di Jakarta telah menjadi penggerak utama mesin ekonomi dan politik
Jakarta, bahkan nasional. Meskipun elit politik dan ekonomi menjadi faktor
menentukan dalam hampir semua urusan strategis, namun mereka sangat
bergantung pada peran kelas menengah. 10
Berdasarkan Sensus Penduduk BPS 2010, penduduk Jakarta diperkirakan
mencapai 9,6 juta jiwa.

11

Berbeda dengan struktur demografi daerah lain, 73%

penduduk Jakarta berusia di bawah 40 tahun. Katakanlah yang memiliki hak pilih
adalah yang berusia 17 tahun ke atas, maka pemilih Pilkada DKI sangat
didominasi kalangan muda, yaitu 65,6% untuk penduduk yang berusia 17 – 40
tahun. Dari sisi sosial ekonomi, penduduk Jakarta juga berbeda dengan
karakteristik penduduk Indonesia secara umum. Bila GDP perkapita penduduk
Indonesia tahun 2011 sebesar US$ 3,542, maka GDP per kapita Jakarta sebesar
kurang lebih US$ 10,000. Dengan GDP per kapita sedemikian besar, maka
penduduk Jakarta secara strata sosial ekonomi didominasi oleh kelas menengah.

Bersumber kepada data diatas dan mempertimbangkan peran dan posisi
kelas menengah yang menjadi semacam tumpuan harapan bagi sebuah perubahan
yang didambakan kelas-kelas sosial dibawahnya, di sinilah letak pentingnya kelas
menengah kota Jakarta dalam seluruh proses dan jejaring ekonomi dan politik
yang begitu kompleks. 12 Oleh karena itu, peran sentral kelas menengah di Jakarta
dalam merespon kebijakan-kebijakan Pemerintah menjadi menarik. Bagaimana
latar belakang ekonomi dan ideologi dapat membentuk orientasi politik kelas
menengah dalam merespon kebijakan-kebijakan gubernur juga patut diteliti lebih
lanjut.

10

Majalah Prisma, op.cit, h.74.
Data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik/BPS, diunduh melalui
laman https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268
12
Majalah Prisma, op.cit., h.75.
11

4


Dalam kurun waktu 2014 hingga 2015 misalnya, kebijakan gubernur Ahok
seperti relokasi warga Kampung Pulo atau dikenal dalam isu publik sebagai
penggusuran, dan pelarangan sepeda motor lewat jalan protokol, 13 tidak banyak
menimbulkan reaksi yang keras di kalangan masyarakat menengah, justru
masyarakat bawah yang terlibat lebih aktif. Kebijakan reklamasi contohnya, yang
memperlihatkan puluhan warga nelayan turun ke jalan menolak reklamasi. 14
Dengan demikian, eksistensi dan orientasi kelas menengah dalam konteks ini
menarik untuk diulas lebih mendalam dalam makalah ini.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka pertanyaan
penulisan dalam makalah ini adalah bagaimana orientasi politik kelas menengah
di Jakarta terhadap kebijakan gubenur Basuki Tjahya Purnama atau Ahok selama
kempimpinan satu tahunnya di 2014-2015?
2.

Kerangka Konseptual

2.1 Kelas Menengah dalam Terminologi Stratifikasi Sosial Masyarakat
Max Weber

Membahas tentang terminologi kelas tidak bisa dilepaskan dari gagasan
yang dikemukakan oleh Max Weber. Hal tersebut diperlukan untuk memahami
ap adan bagaimana kelas sosal di dalam masyarakat. Weber berpendapat bahwa
membicarakan kelas tidak bisa hanya melihat ia sebagai sebuah komunitas
semata, namun harus lebih jauh daripada itu. Weber menjelaskan bahwa ada tiga
hal yang terkadung dalam pengertian kelas sosial yaitu: pertama, adanya bagian
dari masyarakat yang memiliki spesifikasi kesadaran yang khas, yang
mempengaruhi pola kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, adanya unsur
kepemilikan terhadap modal dan barang, serta pengaruhnya terhadap pendapatan
sehari-hari. Ketiga, adanya pekerjaan/profesi yang dimunculkan di sana 15.
Berangkat dari konsepsi diatas maka dalam memahami kelas menengah, tulisan
13

Lihat http://megapolitan.kompas.com/read/Kebijakan.Kontroversial.Ahok.di.2015?
Lihat http://metro.news.viva.co.id/news/read/757529-tolak-reklamasi-teluk-jakarta-puluhannelayan-demo-di-ptun
14

15

Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic

History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California:
University of California Press, 1982), hlm. 61.

5

ini menggunakan beberapa kata kunci tentang kelas yaitu kesadaran yang khas,
kepemilikan terhadap modal dan barang, ekonomi, dan profesi/pekerjaan.
Konsepsi diatas nantinya akan sangat membantu dalam memahami apa
dan siapa kelas menengah itu. Dalam pemahaman yang singkat kelas menengah
secara enteng dikategorikan dengan sekelompok manusia dengan pendapatan
atau pengeluaran tertentu. Pemahaman tetang kelas menengah yang sebatas
komunitas ini tidak akan banyak membantu untuk memahami konteks politik.
Padahal dalam berbagai fenomena politik, kelas menengah sangat dihitung
sebagai salah satu aktor (dalam konteks kelas) politik yang berpengaruh. Salah
satu contoh, kita akan dengan mudah menyepakati bahwa arab spring yang
terjadi pada medio 2011an dipicu oleh gerakan kelas menengah melalui media
sosial. Dalam konsepsi Weber, hal tersebutlah yang dimaksud dengan kesadaran
yang khas.
Weber sendiri juga telah mencoba mendefinisikan kelas menengah, ia
berpendapat kelas menengah atau middle classes dapat disebut juga sebagai

commercial classes. Commercial classes ini dibagi dalam dua bagian besar yakni
entrepreneurs dan laborers 16. Mereka yang disebut sebagai entrepreneurs adalah
yang bekerja sebagai merchants, shipowners, industrial, bankers, financiers,
lawyer, physicians, artists, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang disebut
sebagai laborers adalah mereka yang bekerja dengan pendapatan tetap dengan
kategori skilled, semi-skilled, dan unskilled 17.
Dalam konsepsi Weber ini kelas menengah cenderung memiliki
kesadaran politik yang baik. Hal tersebut karena kelas menengah membutuhkan
kondisi politik yang ideal untuk melangsungkan pekerjaan/bisnis mereka.
Dengan kata lain Weber memberi pondasi relasi antara kelas menengah dengan
demokrasi, bahwa dengan segala pekerjaan/bisnisnya, kelas menengah akan
selalu mengusahakan situasi yang demokratis demi kelangsungan hidup
mereka 18. Gagasan Weber ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

16

Ibid., hlm. 70
Ibid., hlm. 71.
18
A Ranggabumi Nuswantoro, Middle Class and Deliberative Conditions,Tesis Ilmu Komunikasi

UGM hlm. 18
17

6

Michael Mann 19 yang menyebutkan bahwa stabilitas politik dan sosial
merupakan suatu kondisi pra-politik yang diinginkan oleh kelas menengah.
Mereka memerlukan kondisi yang stabil demi tercapainya cita-cita hidup mereka
masing-masing.
2.2 Kelas Menengah di Asia
Dalam konteks Asia, ada penelitian tentang kelas menengah dalam buku
berjudul The New Rich in Asia pada tahun 1996 yang dilakukan oleh Richard
Robison & David S.G. Goodman. Studi tersebut menjelaskan bahwa tipologi
kelas menengah di Asia termasuk unik karena para kelas meengah ini memiliki
kemampuan finansial cukup kuat dan menjadi faktor penting dalam proses
pembangunan di asia. Tumbuhnya kelas baru di asia telah menumbuhkan
ekspektasi besar bangsa barat terhadap Asia. Kelas ini memberikan kepastian
bahwa asia perlahan-lahan akan tumbuh menyerupai Eropa, yang mengagungkan
rasionalitas, modernitas, dan demokrasi 20.
Robison & Goodman menambahkan bahwa kelas baru ini memiliki
pengaruh yang signifikan untuk bersekutu dengan pemodal besar dan mampu
membawa gerbong kapitalisme ke Negara nya. Militer atau tentara juga bisa
dimasukkan ke dalam kategori kelas ini apabila ia bersekutu dengan pemodal
besar untuk memunculkan investasi di negaranya. Menurut Robison dan
Goodman, munculnya kelas menengah yang bersekongkol dengan para kapitalis
tersebut membawa beberapa implikasi sosial politik, salah satunya adalah
gagasan untuk menumbangkan praktek-praktek otoritarianisme agar investasi
para kapatalis ini bisa dengan mudah masuk ke Negara tersebut 21.
Ariel Heryanto ketika menyoroti soal tumbangnya otoritarianisme di
Asia, khususnya Asia Tenggara, menyinggung soal kelas menengah. Baginya
kelas menengah adalah kelas yang unik sebab bukan kelas atas namun memiliki
kekuatan konsumsi yang signifikan, sekaligus pengaruh sosial-kultural yang

19

Michael Mann, The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes, Power, and Conflict:
Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 387.
20
Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds
and Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 2.
21
Ibid., hlm. 24

7

besar. 22 Heryanto menjelaskan tentang kelas menengah, kelas ini bukan kelas
pekerja, bukan pula kelas borjuis. Tingkat pendidikan dan ketrampilannya
menyerupai kelas borjuis, namun kepemilikan modalnya minim seperti kelas
bawah. Tingkat konsumsi yang besar hanya untuk barang-barang yang
mendukung gaya hidupnya. Kelas ini menyukai demokrasi, karena baginya
demokrasi memberi kepastikan hukum. Rata-rata dari komponen kelas ini juga
melek politik.
Heryanto menegaskan bahwa kelas menengah pada umumnya memiliki
unsur-unsur berikut: tinggal di perkotaan, memiliki pekerjaan dan pendidikan
modern, serta selera budaya. Secara ekonomi kelas ini menduduki posisi yang
jelas berbeda dengan mereka yang lazim disebut sebagai kelas pekerja. Namun ia
juga mengklasifiksikan kelas menengah kedalam dua kelompok yaitu apolitis
dan oportunis. Kelas menengah apolitis dicontohkan seperti pejabat negara
peringkat tengah (birokrat) dan perwira menengah. Kelas menengah yang
politis dan kritis adalah jurnalis, akademisi, dan seniman 23.
Kedua klasifikasi kelas ini memiliki perbedaan dinamika kultural dan
politik. Heryanto cenderung meyakini kelas menengah yang memainkan peran
penting dalam peta politik Indonesia dewasa ini adalah kelas menengah
golongan kedua, yakni kaum cerdik pandai, jurnalis, dan seniman. Mereka
bekerja dengan otonomi, inovasi, integritas, dan kreativitas, serta terkadang
subversi. Mereka berbeda, dan membedakan diri, dari sosok pejabat militer,
pejabat negara, atau kaum profesional dalam dunia usaha. 24
Jadi kelas menengah Heryanto adalah kelas menengah yang menguasai
produksi karya- karya intelektual dan kultural, dan menguasai posisi sebagai
intelektual publik. Dengan demikian bahasan kelas menengah dan intelektual
dalam bahasannya memiliki posisi yang sama, yakni berwujud konsep-konsep
diskursif, ideologis, dan mistis ketimbang sebagai deskripsi yang murni empiris
dari sejumlah individu yang secara biologis ada dengan nama, profesi, pola-pola

22

Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia:
Comparing Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 27.
23
Ariel Heryanto (ed.), Op. Cit., hlm. 54-55
24
A Ranggabumi Nuswantoro, Op. Cit., hlm. 20

8

konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik 25.
Namun lebih jauh, kelas apolitis dan politis-kritis tersebut mempunyai
kelemahan yakni kecenderungan kelas ini menginginkan suatu kondisi yang
ideal dalam hidupnya terutama dari sisi ekonomi: karir cemerlang, finansial kuat,
tingkat konsumsi tinggi, keluarga sejahtera, dan terdapat kepastian hukum bagi
hidupnya, pada konteks inilah dia menyebut sebagai kelas menengah dengan
ideology oportunistik, hal tersebut juga sejalan dengan konsepsi Robinson &
Godman. 26
3.

Pembahasan

3.1 Pergeseran Ideologi Kelas Menengah dan Perubahan Orientasi Politik
Perkembangan studi kelas menengah di Indonesia cukup menarik
perhatian banyak ilmuan dunia. Prof Gerry van Klinken, peneliti senior dari
Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) dalam
bukunya “In Search of Middle Indonesia” memaparkan kajian sosial dengan
pendekatan etnografi tentang masyarakat kelas menengah di berbagai kota
penyangga di Indonesia. Penelitian tersebut fokus pada perilaku politik kelas
menengah yang hidup di kota-kota kecil dengan kemampuan sektor informal dan
jaringan komunitas lokal. Menurut Gerry dalam buku tersebut, populasi kelas
menengah di Indonesia semakin berkembang pesat dan pengaruhnya bertambah
besar memiliki karakteristik senang dengan politik dan memiliki kecenderungan
beragama yang konservatif. 27
Menurut Peneliti LIPI Wasisto Raharjojati dalam artikelnya “Politik
Digital dan Kelas Menengah” kesadaran politik kelas menengah yang salama ini
kita saksikan lewat berbagai media sebenarnya masih fluktuatif, “bergantung
seberapa besar isu itu disokong oleh media sehingga menjadi masalah bersama.
Selain bergantung pada media, kesadaran politik itu juga bergantung seberapa

25

Ariel Heryanto (ed.)., Op. Cit., hlm 56-57
Ibid
27
Gerry van Klinken pada diskusi “Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah
Indonesia” di Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Kamis 10
Maret 2016. Dari laman Tempo https://nasional.tempo.co/read/news/2016/03/10/078752298/kelasmenengah-indonesia-semakin-berpengaruh.

26

9

intensisu dibicarakan dan kemudian menyinggung kepentingan mereka sehingga
berkembang menjadi gerakan moral.” 28
Bambang Setiawan melalui artikel riset Litbang Kompas yang bertajuk
“Kelas Menengah Menggantung Asa pada Negara” mengatakan bahwa
tumbangnya rezim presiden Soeharto yang ditandai sebagai peristiwa besar
Reformasi 1998, memperlihatkan situasi dimana pengadopsian demokrasi dengan
menerapkan prosedur-prosedur yang menjamin kebebasan memilih seolah
menggambarkan pesatnya perubahan ideologi kelas menengah dari konservatif
menjadi liberal. 29Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada bulan Maret-April
2012 tersebut memperlihatkan perkembangan kelas menengah yang berbeda kini
dibandingkan dengan kelas menengah pasca reformasi, tepatnya 14 tahun yang
lalu:
“Semakin tinggi kelas sosial, semakin banyak mereka mengoleksi semua
ornamen dan aktivitas gaya hidup. Di satu sisi, masyarakat berlomba
menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup
konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai
demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme.” 30
Orientasi berfikir yang “mainstream” pun menjadi karakteristik
kelompok kelas menengah kini. Dalam memandang demokrasi misalnya, kelas
menengah di Indonesia sudah turut terjebak dalam penjara mayoritas dan
minoritas, dimana mereka melihat demokrasi sebagai perwujudan kepentingan
mayoritas, sehingga kepentingan minoritas bisa saja terabaikan dalam demokrasi.
Dari survey Kompas, 14 tahun pasca reformasi tersebut, menyimpulkan bahwa
“kelas menengah dan menengah atas lebih menggantungkan harapan kepada
kewenangan negara untuk memperbaiki apa yang buruk, mengambil jarak dengan
problem-problem sosial, dan menempatkan dirinya sebagai ”penonton” berbagai

28

Wasisto Raharjojati dalam Kompas, “Politik Digital dan Kelas Menengah”, edisi 7 Januari
2016. Hal: 6, atau dapat diunduh melalui laman http://lipi.go.id/lipimedia/single/politik-digitaldan-kelas-menengah/12388
29
Bambang Setiawan, “Kelas Menengah Menggantungkan Asa pada Negara” Jumat, 8 Juni 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/1200246/kelas.menengah.menggantung.asa.pada.neg
ara.
30
Ibid.

10

peristiwa. Kedua kelas ini hanya sebatas sebagai ”kelas penceloteh” yang ramai
menanggapi sejenak tetapi ragu bertindak. 31
Dalam satu perspektif akademis, sebagaimana konsepsi kelas menengah
yang dikemukakan oleh William Liddle, berpendapat bahwa kelas menengah di
Indonesia berkembang pesat pada era orde baru 32. Walau akhirnya ikut
menumbangkan, namun kelas menengah di Indonesia kelahirannya banyak
dibantu oleh orde baru. Dijelaskan oleh Liddle bahwa ideologi pembangunan di
era orde baru telah memunculkan kelas baru, yakni kelas menengah, yakni kelas
menengah hasil dari masuknya kapitalisasi yang telah dijelaskan di atas. Liddle
juga menambahkan bahwa kelas menengah juga tumbuh seiring masuknya
kapitalisme global ke Indonesia. Gelombang ini menciptakan ribuan pekerjaan
baru yang tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya tinggi, dan dalam
perkembangannya justru kelompok inilah yang mendorong terbukanya era
politik baru di Indonesia, yang kemudian menemukan momentum pada saat
reformasi 1998.
Apabila diteliti secara mendalam, menggunakan konsepsi kelas
menengah Heryanto sebagaimana dijelaskan dalam kerangka konseptual
makalah ini, sesungguhnya berbeda dengan Robison & Goodman dan juga
dengan William Liddle. Robison & Goodman cenderung memposisikan kelas
menengah, sebagai kelas yang bergantung pada negara. Kelas ini umumnya
oportunis dan egois. Kalaupun kelas ini menghendaki demokrasi, maka
demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang disokong penuh oleh negara
yang kecenderungannya militeristik. Dengan demikian kelas menengah
Indonesia secara politis tidak bisa diharapkan berbuat lebih karena kelahiran
mereka disokong pemerintah orde baru. Selain itu, cukup banyak masyarakat
yang masuk kelas ini beretnis Cina yang kurang tertarik atau kurang terlatih
pemahamannya tentang politik33.
Konsepsi Heryanto sebaliknya sejalan juga dengan apa yang dimaksud

31

Ibid.
R. William Liddle, The Middle Class and New Order Legitimacy dalam The Politics of Middle
Class Indonesia (Victoria: Monash University Press, 1992), hlm., 50-52.
32

33

Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian
Politics (London & New York: Routledge Media, 2008), hlm. 53.

11

oleh Gerry van Klinken dalam buku In Search of Middle Indonesia: Middle
Classes in Provincial Towns:
“The natural setting for the middle classes who provided the political steam
pressure for both democracy and decentralization was not the globalized
metropolis, but the provincial town – a place that foreign researchers rarely
visit. The selfemployed medium scale entrepeneurs, the private and public
sector clerks, the Golkar apparatchiks, the teachers – and the youth
aspiring to these positions – who populate this book, belong to a world of
their own. They are only partly assimilated with the national bourgeoisie.
They may share elite global consumerist aspirations, but their economic
interests differ. Their incomes are less secure, their networks of relations
more local (where they may be more intense than in the big city), their
religion more conservative – in short, their horizon is more parochial. Yet
their control of the towns gives them a national clout that belies their
relative lack of affluence.” 34
Berdasarkan pemaparan panjang lebar di atas, maka dalam penelitian
ini, penulis lebih sepakat dengan konsepsi kelas menengah yang dikemukakan
oleh Heryanto yang juga dikuatkan oleh Klinken. Karena dia lebih lengkap dan
paling mendekati fenomena kelas menengah dan politik di Indonesia.
Pemahaman dasar ini yang akan menuntun penulis kepada analisis kelas kelas
menengah di Jakarta dan orientasi politik yang berubah seiring waktu. Namun
demikian dalam memahami orientasi politik itu sendiri, makalah ini
menggunakan analisis Marxian sebagai alat bantu dalam menjelaskan fenomena
yang ada.
3.2 Analisis Kelas Menengah Jakarta dan Orientasi Politik
Menganalisa persoalan kelas menengah di Jakarta dengan menggunakan
teori kelas Marx, makalah ini mengacu kepada pemikiran Marx yaitu hanya ada
dua kelas dalam struktur masyarakat, yaitu kelas atas yang mendominasi dan kelas
34

Gerry van Klinken & Ward Berenschot (ed.), In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in
Provincial Towns (Leiden-Boston: KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and
Caribbean Studies, 2014), hlm. 6.

12

proletar yang tidak dominan dalam struktur produksi. Ariel Heryanto menyebut
bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari kelas kapitalis dan proletar sebagaimana
tradisi Marx. Tapi ada corak produksi yang lain. Sehingga pencarian kelas
menengah, tidak melulu ada di antara kelas atas dan kelas bawah. “Kelas
menengah dapat dikonsepsikan sebagai terdiri dari beberapa kelas atas dari
beberapa tata produksi yang kurang dominan. Kelas menengah bukan suatu
kelompok sosial yang berada di antara kelas atas dan kelas bawah dalam suatu
tata produksi,” 35 dikarenakan bukan kelas atas dan juga bukan kelas bawah, maka
kelas menengah pada hakikatnya tidak mewakili kepentingan dua kelas dalam
tradisi Marxist, mereka sehinggatidak menghamba pada kapitalis dan juga tidak
benar-benar berpihak kepada proletar. Asumsi inilah yang menurut kami
menumbuhkan sikap oportunis dan pragmatisme politik yang kental pada kelas
menengah di Jakarta.
Upaya membandingkan kelas menengah di Indonesia dengan kelas
menegah di negara lain, dapat dilakukan untuk melihat apa sebetulnya faktor yang
membentuk orientasi politik kelas menengah di Jakarta. Mengutip dari Ashoka
Siahaan, ketua umum Pusat Kajian Ideologi Pancasila, bahwa “kelas menengah
di Eropa memiliki rasionalitas sedang kelas menengah Indonesia masih belum
rasional sehingga bagai pisau bermata dua.” 36 Sehingga dalam satu sisi, kelas
menengah di Indonesia mampu menjadi agent of change dalam memperjuangkan
kelas bawah dihadapan pemerintah, namun disisi lain dia menjadi pihak yang
mengambil bagian dari kebijakan dan peran pemerintah dalam menindas kelas
bawah.

3.3 Politik Oportunis: Respon Politik Kelas Menengah Jakarta terhadap
Kebijakan Gubernur Ahok
Lembaga-Lembaga survey di Indonesia seakan mempunyai kesepakatan
bersama dalam mendifinisikan kelas menengah, yakni mereka yang berpedidikan
SLTA ke atas, memiliki akses terhadap sumber ekonomi yang baik, akses yang
35

Richard Tanter & Keneth Young “Politik Kelas Menengah Indonesia,” Jakarta: LP3ES , 1994.
Hal 13.
36
Ashoka Siahaan, “Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah Indonesia.”
Loc.cit.

13

baik terhadap media baik konvensional maupun sosial dan hal menunjang
lainnya 37 . Dalam Konteks Jakarta, tulisan ini akan menggunakan definisi kelas
menengah yang rata-rata digunakan oleh lembaga surey tersebut untuk
kepentingan penilaian terhadap perspektif masyarakat kelas menengah atas
kebijakan Gubernur Ahok.
Rata-rata lembaga Survey termasuk juga Litbang Kompas sepakat bahwa
jumlah kelas menengah di Jakarta paling banyak dibandingkan dengan daerahdaerah lain, hal tersebut dilihat dari jumlah orang yang berpendidikan SLTA ke
atas, memiliki pendapatan per kapita rata-rata mencapai 10 ribu dollar per tahun,
jauh di atas angka nasional (sekitar 3-4 ribu dollar), dan, ekspos pada berita di
media massa paling tinggi dibanding daerah lain. Definisi ini tidak bertentangan
dengan yang telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka koseptual diatas, hanya
saja pada definisi ini tidak tergambarkan dengan jelas aspek kesadaran yang
dimaksud oleh Heryanto ataupun lebih jauh oleh Weber.
Penulis berasumsi bahwa kesadaran politik kelas menengah yang
dimaksudkan oleh Heryanto nantinya bisa dijelaskan dari kecenderungan pola
orientasi mereka melihat sebuah masalah politik melalui hasil-hasil survey yang
dilakukan. Hasil survey yang digunakan untuk kepentingan penelitian ini adalah
hasil survey tentang Gubernur Ahok yang berkaitan dengan kebijakankebijakannya pada tahun 2014 – 2016 berdasarkan litbang Kompas.
Chapter ini akan melihat bagaimana pola orieantasi kesadaran politik kelas
menengah di Jakarta, intrumen yang digunakan adalah hasil survey masyarakat
yang berkaitan dengan Kebijakan Gubernur Ahok yang Populis. Tulisan ini
dibatasi hanya melihat dua kebijakan Ahok yang populis dan Kontroversial:
Pelarangan sepeda motor melalui Jalan protokol dan Reklamasi Jakarta.

1.

Pembatasan Jalur Sepeda Motor
Penetapan kebijakan yang membatasi para pengguna sepeda motor

melintas di beberapa kawasan jalan protokol ibu kota diatur dalam Perda No. 5
Tahun 2014, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya
37

Lihat pembagian kelas atas, menengah dan bawah versi, Lingkaran Survey Indonesia (LSI),
Lembaga Survey Indonesia (LSI), Indobarometer (IB), Polltracking (PT) dan Saiful Mujani
Research Center (SMRC). Kesemuanya hampir sama dalam mendefinisikan kelas menengah.

14

masyarakat yang menggunakan sepeda motor sebagai transportasi utama seharihari. Pembatasan diberlakukan di sepanjang Jalan MH Thamrin menuju Jalan
Merdeka Barat kemudian menghembuskan wacana yang terakhir beredar di
masyarakat yakni, akan dilakukannya perluasan area pelarangan tersebut, antara
lain di Jalan Industri, Jalan Angkasa, Jalan Garuda, Jalan Bungur Selatan, Jalan
Otista, Jalan Minangkabau, Jalan Dr. Soepomo, dan Jalan Jenderal Sudirman.
Penggunaan sepeda motor di DKI Jakarta sudah menjadi moda angkutan
utama masyarakat, khususnya para kelas menengah-bawah dalam melakukan
perjalanan. Selain murah, Motor juga efisien untuk membelah kemacetan di
Jakarta. Gubernur Ahok berdalih kebijakan tersebut dibuat untuk mengurangi
kesemrawutan di Jalan, karena Motor dianggap salah satu biang utamanya.
Pengguna motor terkesan tidak tertib seperti menerobos lampu merah, sering abai
terhadap rambu-rambu lalu lintas, menggunakan trotoar sebagai jalan alternative
kemacetan dan ditambah lagi tingginya angka kecelakaan kendaraan roda dua.
Meskipun demikian Gubernur Ahok berpendapat bahwa pelarangan
motor akan diikuti oleh penambahan fasilitas kendaraan umum, seperti
penyediaan bus tingkat, penambahanan armada bus way dan angkuta umum
lainnya. Secara tidak langsung kebijakan tersebut ingin mengalihkan pengguna
Motor menjadi pengguna moda transportasi umum untuk mengurangi kemacetan.
Sebetulnya dalih mengurangi kemacetan tidaklah begitu tepat karena pada saat
yang sama pemerintahan Jokowi-JK melanjutkan program mobil murah atau Low
Cost Green Car (LCGC). Menurut data dari ASEAN Automotive Federation
(AFF), Indonesia menempati urutan pertama penjualan mobil di tahun 2014. Dari
2.380.683 unit yang terjual, 923.943 unit diantaranya masuk ke Indonesia yang
hampir setengahnya lebih terjual di Jakarta (Kompas, 18 Desember 2014).
Sehingga, terkesan bahwa kebijakan tersebut sangat pro terhadap orang-orang
yang mempunyai mobil dibandingkan dengan mereka yang menggukanan motor.
Tulisan ini tidak sedang membahas baik-buruknya kebijakan tersebut, yang
dibahas disini adalah bagaimana penilaian kelas menengah terhadap hal itu.
Pro-kontra terhadap kebijakan pembatasan ini pun terjadi. Untuk
menjelaskan hal ini, konsepsi Bambang Setiawan tentang kelas menengah dan
menengah-atas akan digunakan, kelas menengah atas diasumsikan orang-orang

15

yang menggunakan mobil dan kelas menengah adalah orang-orang yang
meggunakan motor. Menurut hasil survey Kompas 38 tentang kebijakan ini, 80%
lebih pengguna mobil setuju atas kebijakan ini, sedangkan 66% pengguna motor
mengaku tidak setuju karena menyulitkan mereka. Alasan terkuat responden yang
menyetujui kebijakan ini adalah mereka merasa jalan yang tidak dilalui motor
lebih tertib dan lancar.
Gambaran hasil survey tersebut menguatkan apa yang dimasudkan oleh
Heryanto tentang ideology oportunistik kelas menengah, mereka cenderung
memilih kebijakan yang menguntungkan mereka saja. Dalam hal ini kelas
menengah-atas bisa dikatakan tidak perduli terhadap kesulitan akses yang dialami
oleh kelas menengah yang menggunakan motor. Kondisi angkutan umum yang
belum sepenuhnya memadai dan belum terkoneksi dengan baik juga menambah
kesulitan para pengguna motor bila ingin berpindah ke moda transportasi umum.
Dengan pola seperti ini, bukan tidak mungkin nantinya, apabila diterapkan
kebijakan yang merugikan kelas menengah-atas yang semuala 80% mendukung
akan menjadi berbalik menjadi menolak, meskipun dengan alasan yang sama
untuk ketertiban lalu-lintas.
2.

Reklamasi
Reklamasi ini menjadi pembahasan yang cukup menarik, secara kasat

mata proyek ini terlihat sarat akan kepentingan politik dan bisnis dalam sekala
besar. Aktor-aktor bisnis yang terlibat termasuk pemain-pemain bisnis kelas
kakap properti di Indonesia, sebut saja ada Tommy Winata dan Ariesman
Widjaja. sejak pertama kali dilantik 19 November 2014, Gubernur Ahok telah
menerbitkan sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi, masing-masing:
a. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang
Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT Muara Wisesa
Samudra terbit pada tanggal 23 Desember 2014;

38

Lihat di
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/26/14050071/Survei.Warga.Pelarangan.Sepeda.Mot
or.Kurang.Efektif

16

b. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang
Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo,
terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;
c. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015 tentang
Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci,
terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;
d. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015 tentang
Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya
Ancol, Tbk, terbit pada tanggal 17 November 2015.
Kontroversipun terjadi, banyak pihak yan pro terhadap kebijakan tersebut
namun tidak sedikit pula yang kontra, bahkan berapa menteri kabinet presiden
Jokowidodo secara umum menyatakan bahwa Kebijakan reklamasi tersebut salah.
Analisis yang dilakukan oleh LBH dan Walhi Jakarta menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang dilanggar Gubernur Ahok dalam kebijakan reklamasi yaitu: 39
1. Menerbitkan izin reklamasi diluar kewenangannya. Karena Jakarta telah
ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional maka kewenangan pengelolaa dan
pemanfaatannya berada di Pemerintah Pusat.
2. Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Rencana Zonasi. Berdasarkan
UU No. 27 Tahun 2007 sebagai aturan yang secara khusus mengatur pengelolaan
sumber daya dan wilayah pesisir laut dibawah 12 mil. Ketentuan Pasal 9 UU No.
27 Tahun 2007 memandatkan adanya Peraturan Zonasi sebagai arahan
pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan
tersebut untuk meminimalkan konflik pemanfaatan sumber daya.
3. Menerbitkan izin Reklamasi tanpa didasarkan kepada Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009,
KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan atau evaluasi kebijakan, rencana,
dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup. Termasuk dalam kasus ini proyek reklamasi yang mengubah
bentang alam dan telah mendapatkan penolakan karena berisiko merusak
lingkungan.
39

Reklamasi sarat penggusurah, press release diakses dari http://knti.or.id/wpcontent/uploads/2016/04/Kertas-Kasus-Reklamasi-Jakarta.pdf

17

4. Menerbitkan Izin Reklamasi dengan penilaian lingkungan hidup secara parsial
tanpa melalui kajian kawasan terpadu dan kajian yang dilakukan secara holistik.
5. Menerbitkan Izin Reklamasi Tanpa Mengikuti Prosedur perizinan lingkungan
hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007. Perizinan lingkungan hidup berupa
Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan dan Dokumen
AMDAL (terdiri dari Kerangka Acuan ANDAL, ANDAL dan RKL/RPL) tidak
pernah diumumkan kepada masyarakat luas termasuk yang terdampak langsung:
nelayan tradisional.
6. Pelanggaran prosedur hukum terbitnya reklamasi. Prosedur perizinan reklamasi
adalah Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi. Izin Lokasi tidak hanya
terkait lokasi reklamasi, termasuk juga izin lokasi untuk wilayah sumber daya
material untuk melakukan reklamasi.
Tulisan ini tidak hendak mengkaji secara mendalam tentang kebijakan
tersebut benar atau salah, namun yang akan dilihat disini adalah bagaimana respon
kelas menengah menilai kebijakan ini. Ada temuan menarik menurut survey yang
dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia yang mengukur dampak popularitas
Ahok pasca kebijakan Reklamasi. Hasil survey Kompas 40 menunjukkan bahwa
yang terkategorikan warga kelas menengah di Jakarta cenderung acuh terhadap
masalah ini hal tersebut dibuktikan dengan 40% lebih responden mengaku tidak
tahu tentang polemik reklamasi teluk Jakarta. Selanjutnya, dari 60% yang
mengikuti isu tersebut, 56,5% tidak setuju dengan reklamasi Teluk Jakarta dan
sisanya mendukung kebijakan tersebut.
Apabila Angka-angka tersebut diterjemahkan ke dalam pola pikir kelas
menengah sesuai yang telah dijelaskan pada konsepsi tentang kelas menengah,
maka ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik, Pertama, karena kebijakan
tersebut tidak langsug berdampak pada kelas menengah secara langsung maka
atensinya pun tidak sebesar kedua isu sebelumnya. Hal ini menunjukkan pola
oportunistik kelas menengah sesuai yang dikemukakan oleh Heryanto. Namun,
ada pula anomali dari oportunistik kelas menengah, dalam konsepsi Heryanto, hal

40

Lihat di
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/25/15030251/64.5.Persen.Warga.Percaya.Suap.Rekl
amasi.Teluk.Jakarta.Seret.Banyak.Anggota.DPRD

18

tersebut ditunjukkan angka 56,5% kelas menengah yang tidak setuju dengan
proyek.
Hal ini menjelaskan bahwa ternyata kelas menengah masih memikirkan
kelas bawahnya dalam hal ini nelayan yang dirugikan karena jelajah tangkap
ikannya semakin sempit dan kerusakan lingkungan yang disebabkannya. Konsepsi
ini berarti melegitimasi konsepsi Ashoka Siahaan yang menjelaskan dualitas kelas
menengah di Indonesia yang salah satu nya mereka bisa berperan sebagai agent of
change dalam memperjuangkan kelas bawah dihadapan pemerintah. Hal tersebut
semakin dikuatkan dengan protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai
LSM seperti Walhi, LBH dan sebagainya atas kebijakan reklamasi. Padahal
sebelumnya LSM-LSM seperti ini cenderung sepakat dengan kebijakan Ahok
dalam mewujudkan birokrasi yang bersih dan transparan serta mendukung sepak
terjang Ahok dalam melawan DPRD DKI Jakarta yang secara common sense
menjadi musuh masyarakat karena dinilai sebagai eksekutor kepentingankepentigan politik praktis.

4.

Kesimpulan
Kelas menengah adalah suatu terminologi baku yang digunakan dalam

ilmu sosiologi, khususnya berkenaan dengan stratifikasi sosial, dimana kelas
menengah dipahami sebagai orang-orang yang menempati tingkat kedua dari
keseluruhan anggota masyarakat yang ada. Tingkat pertama ialah kelas atas yang
menempati puncak tertinggi bangunan stratifikasi sosial. Tingkat ketiga adalah
kelompok masyarakat yang berada di lapisan bawah. Dalam perkembangannya,
istilah kelas menengah ini pun mengambil posisi keilmuan sendiri dalam kajian
ekonomi dan politik yang berdiri sendiri-sendiri, namun demikian juga memiliki
definisi yang varian dalam tradisi keilmuan ekonomi-politik.
Gerry van Klinken yang menyebut bahwa kelas menengah di Indonesia
sebagai kelas yang menghubungkan antara kelas bawah dan pemerintah yang
membentuk kekuasaan politik tersendiri, menyimpulkan kelas menengah
indonesia adalah kelas yang mencintai negara bagi yang rasional dan bernalar
kritis, mereka menolak pasar bebas dan mengharap proteksi pemerintah, suka
dengan proses demokrasi dan penguasaan daerah dengan kekuatan sektor
19

informal. Hal tersebut benar namun dalam batasan-batasan tertentu yang
dimaksud adalah apabila proses demokrasi tersebut dinilai tidak merugikan kelas
menengah.
Berdasarkan penilaian tentang dua kebijakan diatas, rasionalitas kelas
menengah di Jakarta cenderung rasionalitas yang oportunistik seperti yang
disampaikan oleh Heryanto. Namun pada saat yang lain ada juga kesadaran
sebagai agen perubahan dalam memperjuangkan kelas bawah dihadapan
pemerintah.

5.

Daftar Pustaka

Buku:
Easterly, W. 2001. The Middle Class Consensus and Economic Development.
Journal of Economic Growth. Vol. 6, No.4.
Heryanto, Ariel & Sumit K. Mandal. 2003. Challenging Authoritarianism in
Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: Routledge.
Heryanto, Ariel (ed.). 2008. Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in
Post-Authoritarian Politics. London & New York: Routledge Media.
Klinken, Gerry van & Ward Berenschot (ed.). 2014. In Search of Middle
Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. Leiden-Boston: KITLVRoyal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.
Liddle, R. William .1992. The Middle Class and New Order Legitimacy dalam
The Politics of Middle Class Indonesia. Victoria: Monash University Press.
Majalah Prisma. 2012. Kelas Menengah Indonesia: Apa yang Baru?. Jakarta:
LP3ES.
Mann, Michael. 1982. The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes,
Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates. California:
University of California Press.
Nizar, Muhammad Afdi. 2015. Kelas Menengah (Middle Class) dan Implikasinya
Bagi Perekonomian Indonesia. Research Gate, Februari 2015.
Nuswantoro, A Ranggabumi. Middle Class and Deliberative Conditions. Tesis
Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada.

20

Robison, Richard & David S.G. Goodman. 1996. The New Rich in Asia: Mobile
Phones, McDonalds and Middle-class Revolution. London & New York:
Routledge.
Tanter, Richard & Keneth Young. 1994. Politik Kelas Menengah Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Weber, Max. 1982. Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and
General Economic History dalam Classes, Power, and Conflict: Classical
and ConTemporery Debates. California: University of California Press.

Website:
Badan Pusat Statistik, Data Sensus Penduduk 2010 diunduh melalui laman
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268
Bambang Setiawan, “Kelas Menengah Menggantungkan Asa pada Negara”
Jumat,

8

Juni

2012,

diunduh

melalui

laman

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/1200246/kelas.menengah.men
ggantung.asa.pada.negara.
Gerry van Klinken pada diskusi “Konservatisme dan Pengalaman Beragama
Kelas Menengah Indonesia” di Centre for Dialogue and Cooperation
among Civilisations (CDCC), Kamis 10 Maret 2016. Dari laman Tempo
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/03/10/078752298/kelasmenengah-indonesia-semakin-berpengaruh.
Kebijakan

Kontroversi

Ahok,

diunduh

dalam

laman

http://megapolitan.kompas.com/read/Kebijakan.Kontroversial.Ahok.di.2015
Reklamasi sarat penggusurah, press release diakses dari http://knti.or.id/wpcontent/uploads/2016/04/Kertas-Kasus-Reklamasi-Jakarta.pdf
Reklamasi

Teluk

Jakarta,

diunduh

dari

laman

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/25/15030251/64.5.Persen.War
ga.Percaya.Suap.Reklamasi.Teluk.Jakarta.Seret.Banyak.Anggota.DPRD
Survey Warga dalam Pelarangan Sepeda Motor, diunduh dari laman
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/26/14050071/Survei.Warga.P
elarangan.Sepeda.Motor.Kurang.Efektif

21

Tolak

Kebijakan

Reklamasi

diunduh

melalui

laman

http://metro.news.viva.co.id/news/read/757529-tolak-reklamasi-telukjakarta-puluhan-nelayan-demo-di-ptun
Wasisto Raharjojati dalam Kompas, “Politik Digital dan Kelas Menengah”, edisi
7

Januari

2016.

Hal:

6,

atau

dapat

diunduh

melalui

laman

http://lipi.go.id/lipimedia/single/politik-digital-dan-kelas-menengah/12388

22