POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONES
POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA
Analisis Oleh Malisa Ladini, UNNES, Ilmu Politik
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya politik merupakan sikap, keyakinan, nilai, dan orientasi yang
dimilki setiap individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politik.
Budaya politik merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan
politik diantara masyarakat bangsa (Almond 1990). Orientasi politik mengacu
pada aspek dan obyek, sebagai berikut:
a. Orientasi Kognitif: pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik,
peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
b. Orientasi afektif: perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor
dan penampilannya.
c. Orientasi evaluatif: keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan.
Sedang tipe budaya politik menurut Almond dan Verba ada tiga sebagai
beikut:
a. Kebudayaan politik parokial
b. Kebudayaan politik subyek atau kaula
c. Kebudayaan politik partisipan.
Dalam tugas ini saya akan memotret budaya politik di Indonesia dengan dasar
tipe budaya politik yang disampaikan oleh Almond dan Verba. Apakah masuk
pada kebudayaan subyek-parokial, kebudayaan subyek-partisipan, atau justru
kebudayaan parokial-partisipan. Untuk menganalisisnya saya akan berikan alasan
mengapa saya menggolongkan budaya politik Indonesia ke dalam salah satu tipe
yang telah disampaikan oleh Almond dan Verba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Analisis Tipe Kebudayaan Politik menurut Almond dan Verba
1. The Parochial-Subject Culture (Kebudayaan Subyek Parokial)
Tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak
tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan, desa, otoritas feodal,
dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintah pusat yang bersifat
khusus. Tipe ini masih mengalami problem dan pasang surut dalam
perubahan politik pola parokial menuju pola subyek.
2. The Subject-Participant Culture (Kebudayaan Partisipan Subyek)
Pada tipe ini ada kecenderungan untuk menaati peraturan
pemerintahan pusat. Masyarakat sudah mendukung pembangunan
infrastruktur demokratis. Sebagian besar penduduk telah mempunyai
orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi
seorang aktivis, sementara yang lain termasuk pada rangkaian orientasi
pribadi yang pasif. Pola partisipan hanya tersebar di beberapa
penduduk. Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur
subyek partisipan.
3. The
Parochial-Participant
Culture
(Kebudayaan
Parokial
Partisipan)
Kebudayaan ini biasanya ada di negara yang sedang berkembang.
Budaya politik yang dominan itu parokial. Norma-norma struktural
telah diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Terjadi perbedaan
yang mendasar, di satu sisi penduduk berjalan ke arah otoritarianisme
sedang di lain sisi ke arah demokrasi. Tidak ada struktur untuk tempat
bersandar, birokrasi tidak berdiri tegak, sedang infrastruktur tidak
dijalankan
oleh
warga
negara
yang
berkompeten
dan
bertanggungjawab.
B. Potret Budaya Politik Indonesia
Tipe budaya politik di Indonesia masuk pada tipe budaya politik
subyek-parokial, tetapi sebelumnya saya akan berikan bukti-bukti perilaku
dan budaya politik di Indonesia, sebagai berikut:
1. Pengaruh Pemerintah (Dihimpun dari Media Massa)
Memenuhi Dimensi Kognitif
Pendapat dan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang
out put pemerintah. Sejauh mana masyarakat merasakan bahwa
pemerintah
sungguh-sungguh
mempunyai
pengaruh
pada
kehidupan pribadi individu masyarakat? Sejauh mana masyarakat
Indonesia merasakan bahwa kehidupannya berkaitan langsung
dengan aktivitas pemerintahan?
Dari sumber media (Kompas 9/2010) masyarakat Indonesia
tidak merasakan bahwa pemerintah telah sungguh-sungguh
mempengaruhi kehidupan pribadi setiap hari. Bila ditanyakan
tentang politik jawabannya apatis. Bahkan masyarakat tidak terlalu
memunculkan gejolak yang berarti seperti masa setelah reformasi
dimana setiap pemilu selalu banyak mahasiswa, kelompok
kepentingan, dan kelompok penekan yang melakukan demonstrasi.
Setelah pemilu tahun 2009, masyarakat lebih “adem ayem”. Bukan
karena sudah terjadi stabilitas politik. Tapi justru karena
masyarakat telah lelah dengan perilaku pemerintah dan elit politik
yang seakan tidak bertanggungjawab dan sudah tidak lagi percaya
pada
janji-janji
pemerintah.
Penyebab
utamanya
adalah
penanganan kasus besar yang tidak dapat terselesaikan. Misalnya
kasus skandal Bank Century, manipulasi pajak oleh Gayus
Tambunan, dan kasus kekerasan pada aktivis Indonesian
Corruption Watch. Seakan kasus tersebut telah kabur terbawa
angin. Sedang banyak kasus yang menjatuhkan banyak korban
seperti Kasus Lumpur Porong Sidoharjo, ledakan gas LPG dan
yang
lainnya
dimana
penanganannya
kurang
memuaskan
masyarakat. Lebih penting lagi, masyarakat kecil yang kecewa
dimana harga-harga kebutuhan pokok yang selalu meningkat.
Dirasakan mahal harga kebutuhan sehari-hari yang membuat
masyarakat beranggapan pemerintah tidak bertanggungjawab
dalam mengatasi fluktuasi harga pasar. Kini masyarakat bersikap
apatis terhadap janji pemerintah yang belum dapat memuaskan
rakyat secara out put.
2. Kesadaran Politik Masyarakat Indonesia (Dihimpun dari Media
Massa)
a. Memenuhi Aspek Afektif (sumber RRI 28/13)
Kajian dimana peranan masyarakat terhadap aktor politik
dan penampilannya. Masyarakat kurang mengambil peran dalam
jalannya sistem politik di Indonesia. Kecuali bagi para mahasiswa
yang
memang
sudah
dituntut
aktif
untuk
memberikan
sumbangsihnya untuk memperbaiki perpolitikan di Indonesia. Tapi
apabila dilihat dari kaca mata global, masyarakat Indonesia tidak
menjalankan perannya dalam sistem politik.
Aturan pemilu pada pasal 19 ayat 1 UU No. 10 tahun 2008
adalah “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih”. Pasal 19 ayat 2 “Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat 1 didaftar
oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih”. Aturan ini tidak
membuat kesadaran politik masyarakat Indonesia menjadi aktif.
Sebab masih saja yang golput dan acuh pada jalannya pesta
demokrasi dan sistem politik di Indonesia.
b. Contoh-contoh Kesadaran Politik di Indonesia (Partisipasi
dalam Pemilu)
(1) Kenaikan tingkat Golput (Nusantaranews 4/2009)
Penghitungan tingkat golput masyarakat Indonesia
sejak 1971 (Era Orde Baru)
http://farm4.static.flickr.com/3309/3427395298_d53ed2f53
0_m.jpg
1971 : 6.64 %
1977 : 8.40 %
1982 : 8.53 %
1987 : 8.39%
1992 : 9.09 %
1997 : 9.42 %
1999 : 10.21 %
2004 : 23.34 %
2009 : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan
UGM ; 2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Dari data golput tersebut menandakan bahwa
pengambilan peran masyarakat dalam pemilu justru
semakin kecil. Sehingga dilihat dai segi afektif masyarakat
Indonesia
tergolong
rendah.
Banyak
pihak
yang
mengatakan bahwa tingkat golput yang tinggi tidak sematamata karena apatis atau pasif, tapi juga karena adanya taktik
pembungkaman warga untuk menonjolkan salah satu suara
partai.
(2) Apatisme Mayarakat Jawa Tengah pada Pemilihan
Gubernur 2008-2013 (Jurnal UGM 2011)
Hasil
temuan
penelitian
Tauchid
Dwijayanto
mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap
bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan
membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi
maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan
semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja
tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus
pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya
golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih
mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme
masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal
yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan
dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada
empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena
administratif,
teknis,
rendahnya
keterlibatan
atau
ketertarikan pada politik (political engagement) dan
kalkulasi rasional.
(3) KPU Yogyakarta (Sumber RRI 8/2013)
Apatisme masyarakat Yogyakarta terhadap pemilu
2014. KPU mulai memasang Daftar Pemilih Sementara di
kelurahan/desa
setempat.
Tapi
hanya
sedikit
yang
melihatnya. Pakar politik UGM Kruskido mengatakan
bahwa masyarakat sudah enggan mengambil sikap dan
peran terhadap sistem politik di Indonesia sebab masyarakat
sudah malas mengikuti himbauan penyelenggaraan pemilu.
Masyarakat juga bersikap apatis sebab sudah jenuh melihat
perilaku partai politik dan para politisi yang lebih suka
berkonflik dan suka melakukan korupsi. Apatisme tersebut
umumnya
dilakukan
oleh
masyarakat
miskin
dan
perantauan sebab siapapun yang akan menang dalam
pemilu tidak akan mengubah kehidupan mereka. Mereka
juga berpikir lancar atau tidaknya sistem politik tidak akan
berpengaruh pada kehidupan mereka. Mereka lebih
memilih bekerja daripada libur untuk ikut mencontreng.
(4) Prosentase Kemenangan Suara Golput dalam Pemilihan
Gubernur Jawa Barat (Pikiran Rakyat Online 12/2012).
Suara golput
Partisipasi
Jumlah penduduk
Daftar pemilih
Suara tidak sah
: 31.46 %
: 68.54 %
: 27.972.924
: 18.826.967
: 806.560
Pengamat politik UIN Gunung Jati Bandung, Asep
Saeful Muhfadi mengatakan bahwa sikap rakyat
terhadap pemilu sudah lelah terhadap janji calon
pemimpin yang ternyata tidak terbukti.
(5) Suara Golput Pemilukada Bekasi Meningkat (Kompas
12/12)
Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia,
Suara aktif
: 48.81 %
Suara golput : 52 %
Sebab golput yaitu tidak ada calon wali kota yang
menurut warga berbobot. Konsumsi berita yang marak
membuat warga tahu positif dan negatif dari setiap calon.
Krisis kepercayaan terhadap para calon walikota.
(6) Pemberian Opini
Memenuhi Aspek Evaluatif
Pakar politik UGM Kruskido (RRI 8/2013).
Perlu adanya peningkatan partisipasi politik dengan
pendidikan politik. Melalui jangka panjang dengan
perbaikan ekonomi dan tingkat pendidikan sedang
jangka pendek melalui perbaikan kinerja partai
politik untuk memahami representasi politik di
Indonesia.
Abdurrahaman Wahid (Jurnal UGM 2011)
pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di
percaya, ngapain repotrepot ke kotak suara? Dari
pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk,
2009; 1).
Azyumardi
Pascasarjana
Azra
Universitas
Direktur
Islam
Sekolah
Negeri
Syarif
Hidayatullah, Jakarta (Kompas 9/2010). Aptisme
yang terjadi di Indonesia bisa di atasi dengan cara
kepemimpinan yang visioner, jujur, adil, tegas, dan
decisive. Kepemimpinan yang tak jujur, tidak adil,
gamang dan tidak tegas mengakibatkan terjadinya
koalisi dan kepentingan politik semu. Dalam situasi
ini, sulit mengharapkan solidaritas dan kebersamaan
dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.
Aspek
evaluatif
dari
ketiga
di
atas
menunjukkan bahwa sebagian besar yang peduli
pada kegiatan politik dan sistem politik hanya dari
kalangan akademisi dan para profesional politik.
Sedangkan warga yang lain, khususnya masyarakat
bawah
lebih
bersikap
acuh
dan
tidak
mau
berkecimpung terhadap sistem politik.
C. Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia
Budaya politik di Indonesia tergolong tetap dan berkembang secara
lambat, karena secara umum budaya politik di Indonesia sebelum
reformasi hingga memasuki masa reformasi relatif sama. Hal ini
dibuktikan dengan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap sistem
politik terbagi dalam beberapa sikap dan orientasi ketika pemilu, sebagai
berikut:
1. Masyarakat yang bersikap masa bodoh terhadap negaranya.
Acuh tak acuh dan tidak mempunyai harapan apapun terhadap
politik, contohnya masyarakat badui dalam dan masyarakat
samin. Alasan patrimonialisme
2. Masyarakat yang hanya peduli dan aktif dengan daerah asalnya.
Mereka bersikap acuh pada urusan bangsa dan negara.
3. Masyarakat yang peduli pada sistem politik dan ikut
berpartisipasi dalam pemilu dengan alasan kepentingan pribadi.
Misalnya kenaikan pangkat atau pemberian money politic dan
fasilitas tertentu.
4. Ada juga masyarakat yang menjanjikan akan memilih si A agar
mendapatkan bonus tertentu, ternyata dalam faktanya tidak
memilih tokoh tersebut dan lebih memilih calon yang
disukainya.
5. Masyarakat yang aktif dan sangat kritis tehadap semua
kebijakan yang telah diberikan pemerintah baik ketika in put
hingga out put yang keluar.
Berdasarkan
perilaku
politik
masyarakat
Indonesia
dalam
berpartisipasi menujukkan kecenderungan Indonesia masuk pada tipe
budaya campuran. Banyaknya perbedaan suku, daerah, agama, dan sifatsifat tradisional membuat Indonesia masuk pada tipe budaya politik
Subyek-Parokial dan sebagian kecil lainnya masuk dalam tipe partisipan.
Bukti yang menjadi dasar Indonesia masuk pada tipe budaya
politik campuran, sebagai berikut:
a. Budaya politik subyek-parokial ditandai dengan banyaknya
tingkat golput yang dari tahun ke tahun semakin meningkat
seperti di bawah ini:
1971 : 6.64 %
1977 : 8.40 %
1982 : 8.53 %
1987 : 8.39%
1992 : 9.09 %
1997 : 9.42 %
1999 : 10.21 %
2004 : 23.34 %
2009 : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan UGM ;
2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Alasan
(1) Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada
di wilayah pedalaman masih bersikap parokial dan tidak peduli
pada keberlangsungan politik. Masyarakat di pedalaman seperti
suku badui dalam, samin, dan lain sebagainya yang masih
mengutamakan kepercayaan tradisional kepada kepala suku,
kepala adat, kyai, dan dukun untuk mengurus segala kebutuhan
hidup baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Bersikap
patrimonial yang masih mengutamakan “asal bapak senang”.
Juga ikatan kedaerahan yang masih kuat atau primordialisme.
(2) Sebagian yang lain sudah berada pada aspek ekonomi, sosial
politik yang relatif maju. Sudah mau mematuhi aturan hukum
dan kebijakan yang diberikan pada pemerintah tetapi masih
bersikap pasif dan kecenderungan apatis terhadap jalannya
politik dan pemerintahan. Misalnya saja masyarakat desa atau
kota yang tergolong menengah-kebawah memilih untuk golput
dan acuh terhadap sistem politik karena kecewa pada
pemerintah, dan berpikir bahwa ikut serta dalam politik tidak
ada keuntungannya dan tidak akan memberikan perubahan
yang berarti.
(3) Sisanya, masyarakat Indonesia yang memang sengaja untuk
tidak mau tahu pada urusan politik sebab munculnya stigma
bahwa politik itu kotor, kejam, dan korupsi. Hal yang sama
terjadi juga karena masyarakat yang memang sudah maju
tingkat pendidikannya dan mengikuti maraknya berita politik di
Indonesia kemudian menarik diri pada urusan sistem politik
Indonesia.
b. Budaya politik partisipan di Indonesia, dimana ada sebagian
masyarakat yang aktif mengikuti sistem politik, baik in put,
proses, maupun out put sehingga dapat memberikan evaluasi
baik yang bersifat menolak dan menerima. Misalnya untuk in
put ialah para akademisi, pengamat politik, tokoh, dan elit
politik yang memang mempunyai kepentingan dalam urusan
politik. Juga mereka yang secara aktif memberikan aspirasi
maupun penolakan seperti anggota partai politik, golongan
penekan, dan kelompok kepentingan. Kemudian untuk out put
nya ialah mereka yang secara kritis dapat menolak dan
menerima kebijakan yang telah diberikan. Biasanya ini
dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan politik tertentu.
D. Analisis Akhir Tipe Budaya Politik di Indonesia (Subyek-Parokial)
Analisis akhir saya, tipe budaya politik di Indonesia dengan
mempertimbangkan potret kehidupan politik di Indonesia baik pengaruh
pemerintah, dan kesadaran politik di Indonesia. Juga dari segi kognitif,
afektif, dan evaluatif dan menitik beratkan pada banyaknya golongan
golput di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat baik dalam
pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada
Indonesia masuk pada tipe budaya subyek-parokial. Sebab masih banyak
sekali yang menganut primordialisme, patrimonialisme, dan sifat
kedaerahan lainnya yang membuat sistem politik yang berjalan bukan
berdasarkan kompetensi melainkan kecenderungan money politic.
Meski ada sebagian yang telah aktif dan tergolong pada budaya
politik partisipan tetapi prosentasenya masih lebih kecil dibandingkan
dengan tipe budaya politik subyek-parokial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpijak pada analisis di atas, dapat menjadi dasar untuk saya
mengambil kesimpulan bahwa tipe budaya politik di Indonesia relatif tetap
sejak dulu. Budaya politik di Indonesia tidak murni, dan masuk pada
budaya politik campuran. Sebab banyaknya masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan terdiri dari berbagai sifat kedaerahan baik perbedaan
suku, daerah, dan agama. Secara umum masyarakat Indonesia masuk pada
tipe kebudayaan subyek-parokial dimana prosentase kesadaran politik di
Indonesia masih banyak yang tidak peduli dan golput ketika pemilu.
Angka golput di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun baik untuk
pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada.
Banyak hal yang menjadi latar belakang, kecenderungan masyarakat
Indonesia yang masih primordialisme kuat untuk sifat-sifat kedaerahannya
dan patrimonialisme yang masih menganut “asal bapak senang”, dan krisis
kepercayaan terhadap pemerintah yang dinilai kurang bertanggungjawab
sehingga muncul anggapan politik tidak akan mengubah hidup “orang
kecil”.
Meski di lain sisi, masyarakat Indonesia juga terdapat budaya
politik yang partisipan. Dimana masyarakat aktif dalam input proses dan
out put pemerintah. Baik dalam hasil akhir mereka menerima atau
menolak yang pasti mereka secara kritis berkecimpung dalam urusan
politik. Umumnya dilakukan oleh akademisi, pakar, profesional, pengamat
politik, elite politik, mahasiswa, kelompok kepentingan, dan penekan. Tapi
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan denga budaya politik subyekparokial sehingga saya menyimpulkannya Indonesia masuk pada budaya
politik subyek-parokial.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas bahwa di Indonesia seharusnya
lebih konsistem dalam berperilaku politik. Khususnya bagi pembaca agar
dapat menjadi penggerak yang solid dan dapat mengubah Indonesia
menjadi lebih baik. Tentu ilmuwan politik UNNES diharapkan mampu
menjadi sarjana yang memperbaiki negeri, bukan malah menambah
kerusakan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Verba. 1990. Budaya Politik, terjemahan Sahat Simamora. Jakarta:
Bumi Aksara
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam
Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1 No. 1
Asyumardi, Azra. 2010. Apatisme Poltik. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:25 WIB
Fetika, Andriyani. 2013. Apatisme Politik Menggejala: Masyarakat Malas Lihat
DPSHP. http:rri\Apatisme-Politik-Menggejala-Masyarakat-Malas-Lihat-.htm.
diunduh Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:27 WIB
Muhtadi, Asep Saiful. 2012. Presentasi Suara Golput Bisa Menjadi Pemenang
Pilgub Jabar 2013. http://www.pikiran-rakyat.com/. diunduh Jumat, 4
Oktober 2013 | 19:30 WIB
Achmad, Zaini. 2012. Golput Menang Lagi. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:37 WIB
Analisis Oleh Malisa Ladini, UNNES, Ilmu Politik
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya politik merupakan sikap, keyakinan, nilai, dan orientasi yang
dimilki setiap individu-individu dalam berhubungan dengan sistem politik.
Budaya politik merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan
politik diantara masyarakat bangsa (Almond 1990). Orientasi politik mengacu
pada aspek dan obyek, sebagai berikut:
a. Orientasi Kognitif: pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik,
peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
b. Orientasi afektif: perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor
dan penampilannya.
c. Orientasi evaluatif: keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan.
Sedang tipe budaya politik menurut Almond dan Verba ada tiga sebagai
beikut:
a. Kebudayaan politik parokial
b. Kebudayaan politik subyek atau kaula
c. Kebudayaan politik partisipan.
Dalam tugas ini saya akan memotret budaya politik di Indonesia dengan dasar
tipe budaya politik yang disampaikan oleh Almond dan Verba. Apakah masuk
pada kebudayaan subyek-parokial, kebudayaan subyek-partisipan, atau justru
kebudayaan parokial-partisipan. Untuk menganalisisnya saya akan berikan alasan
mengapa saya menggolongkan budaya politik Indonesia ke dalam salah satu tipe
yang telah disampaikan oleh Almond dan Verba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Analisis Tipe Kebudayaan Politik menurut Almond dan Verba
1. The Parochial-Subject Culture (Kebudayaan Subyek Parokial)
Tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak
tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan, desa, otoritas feodal,
dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintah pusat yang bersifat
khusus. Tipe ini masih mengalami problem dan pasang surut dalam
perubahan politik pola parokial menuju pola subyek.
2. The Subject-Participant Culture (Kebudayaan Partisipan Subyek)
Pada tipe ini ada kecenderungan untuk menaati peraturan
pemerintahan pusat. Masyarakat sudah mendukung pembangunan
infrastruktur demokratis. Sebagian besar penduduk telah mempunyai
orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi
seorang aktivis, sementara yang lain termasuk pada rangkaian orientasi
pribadi yang pasif. Pola partisipan hanya tersebar di beberapa
penduduk. Ketidakstabilan struktural yang sering menyertai kultur
subyek partisipan.
3. The
Parochial-Participant
Culture
(Kebudayaan
Parokial
Partisipan)
Kebudayaan ini biasanya ada di negara yang sedang berkembang.
Budaya politik yang dominan itu parokial. Norma-norma struktural
telah diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Terjadi perbedaan
yang mendasar, di satu sisi penduduk berjalan ke arah otoritarianisme
sedang di lain sisi ke arah demokrasi. Tidak ada struktur untuk tempat
bersandar, birokrasi tidak berdiri tegak, sedang infrastruktur tidak
dijalankan
oleh
warga
negara
yang
berkompeten
dan
bertanggungjawab.
B. Potret Budaya Politik Indonesia
Tipe budaya politik di Indonesia masuk pada tipe budaya politik
subyek-parokial, tetapi sebelumnya saya akan berikan bukti-bukti perilaku
dan budaya politik di Indonesia, sebagai berikut:
1. Pengaruh Pemerintah (Dihimpun dari Media Massa)
Memenuhi Dimensi Kognitif
Pendapat dan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang
out put pemerintah. Sejauh mana masyarakat merasakan bahwa
pemerintah
sungguh-sungguh
mempunyai
pengaruh
pada
kehidupan pribadi individu masyarakat? Sejauh mana masyarakat
Indonesia merasakan bahwa kehidupannya berkaitan langsung
dengan aktivitas pemerintahan?
Dari sumber media (Kompas 9/2010) masyarakat Indonesia
tidak merasakan bahwa pemerintah telah sungguh-sungguh
mempengaruhi kehidupan pribadi setiap hari. Bila ditanyakan
tentang politik jawabannya apatis. Bahkan masyarakat tidak terlalu
memunculkan gejolak yang berarti seperti masa setelah reformasi
dimana setiap pemilu selalu banyak mahasiswa, kelompok
kepentingan, dan kelompok penekan yang melakukan demonstrasi.
Setelah pemilu tahun 2009, masyarakat lebih “adem ayem”. Bukan
karena sudah terjadi stabilitas politik. Tapi justru karena
masyarakat telah lelah dengan perilaku pemerintah dan elit politik
yang seakan tidak bertanggungjawab dan sudah tidak lagi percaya
pada
janji-janji
pemerintah.
Penyebab
utamanya
adalah
penanganan kasus besar yang tidak dapat terselesaikan. Misalnya
kasus skandal Bank Century, manipulasi pajak oleh Gayus
Tambunan, dan kasus kekerasan pada aktivis Indonesian
Corruption Watch. Seakan kasus tersebut telah kabur terbawa
angin. Sedang banyak kasus yang menjatuhkan banyak korban
seperti Kasus Lumpur Porong Sidoharjo, ledakan gas LPG dan
yang
lainnya
dimana
penanganannya
kurang
memuaskan
masyarakat. Lebih penting lagi, masyarakat kecil yang kecewa
dimana harga-harga kebutuhan pokok yang selalu meningkat.
Dirasakan mahal harga kebutuhan sehari-hari yang membuat
masyarakat beranggapan pemerintah tidak bertanggungjawab
dalam mengatasi fluktuasi harga pasar. Kini masyarakat bersikap
apatis terhadap janji pemerintah yang belum dapat memuaskan
rakyat secara out put.
2. Kesadaran Politik Masyarakat Indonesia (Dihimpun dari Media
Massa)
a. Memenuhi Aspek Afektif (sumber RRI 28/13)
Kajian dimana peranan masyarakat terhadap aktor politik
dan penampilannya. Masyarakat kurang mengambil peran dalam
jalannya sistem politik di Indonesia. Kecuali bagi para mahasiswa
yang
memang
sudah
dituntut
aktif
untuk
memberikan
sumbangsihnya untuk memperbaiki perpolitikan di Indonesia. Tapi
apabila dilihat dari kaca mata global, masyarakat Indonesia tidak
menjalankan perannya dalam sistem politik.
Aturan pemilu pada pasal 19 ayat 1 UU No. 10 tahun 2008
adalah “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih”. Pasal 19 ayat 2 “Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat 1 didaftar
oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih”. Aturan ini tidak
membuat kesadaran politik masyarakat Indonesia menjadi aktif.
Sebab masih saja yang golput dan acuh pada jalannya pesta
demokrasi dan sistem politik di Indonesia.
b. Contoh-contoh Kesadaran Politik di Indonesia (Partisipasi
dalam Pemilu)
(1) Kenaikan tingkat Golput (Nusantaranews 4/2009)
Penghitungan tingkat golput masyarakat Indonesia
sejak 1971 (Era Orde Baru)
http://farm4.static.flickr.com/3309/3427395298_d53ed2f53
0_m.jpg
1971 : 6.64 %
1977 : 8.40 %
1982 : 8.53 %
1987 : 8.39%
1992 : 9.09 %
1997 : 9.42 %
1999 : 10.21 %
2004 : 23.34 %
2009 : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan
UGM ; 2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Dari data golput tersebut menandakan bahwa
pengambilan peran masyarakat dalam pemilu justru
semakin kecil. Sehingga dilihat dai segi afektif masyarakat
Indonesia
tergolong
rendah.
Banyak
pihak
yang
mengatakan bahwa tingkat golput yang tinggi tidak sematamata karena apatis atau pasif, tapi juga karena adanya taktik
pembungkaman warga untuk menonjolkan salah satu suara
partai.
(2) Apatisme Mayarakat Jawa Tengah pada Pemilihan
Gubernur 2008-2013 (Jurnal UGM 2011)
Hasil
temuan
penelitian
Tauchid
Dwijayanto
mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap
bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan
membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi
maupun kehidupan mereka. Menurut mereka perhelatan
semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik saja
tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Hasil penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus
pilkada Jawa Tengah ada tiga yang menyebabkan terjadinya
golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih
mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme
masyarakat. Berdasarkan hasil temuan Efniwati ada dua hal
yang menyebabkan pemilih golput yaitu faktor pekerjaan
dan faktor lokasi TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada
empat alasan mengapa pemilih golput yaitu karena
administratif,
teknis,
rendahnya
keterlibatan
atau
ketertarikan pada politik (political engagement) dan
kalkulasi rasional.
(3) KPU Yogyakarta (Sumber RRI 8/2013)
Apatisme masyarakat Yogyakarta terhadap pemilu
2014. KPU mulai memasang Daftar Pemilih Sementara di
kelurahan/desa
setempat.
Tapi
hanya
sedikit
yang
melihatnya. Pakar politik UGM Kruskido mengatakan
bahwa masyarakat sudah enggan mengambil sikap dan
peran terhadap sistem politik di Indonesia sebab masyarakat
sudah malas mengikuti himbauan penyelenggaraan pemilu.
Masyarakat juga bersikap apatis sebab sudah jenuh melihat
perilaku partai politik dan para politisi yang lebih suka
berkonflik dan suka melakukan korupsi. Apatisme tersebut
umumnya
dilakukan
oleh
masyarakat
miskin
dan
perantauan sebab siapapun yang akan menang dalam
pemilu tidak akan mengubah kehidupan mereka. Mereka
juga berpikir lancar atau tidaknya sistem politik tidak akan
berpengaruh pada kehidupan mereka. Mereka lebih
memilih bekerja daripada libur untuk ikut mencontreng.
(4) Prosentase Kemenangan Suara Golput dalam Pemilihan
Gubernur Jawa Barat (Pikiran Rakyat Online 12/2012).
Suara golput
Partisipasi
Jumlah penduduk
Daftar pemilih
Suara tidak sah
: 31.46 %
: 68.54 %
: 27.972.924
: 18.826.967
: 806.560
Pengamat politik UIN Gunung Jati Bandung, Asep
Saeful Muhfadi mengatakan bahwa sikap rakyat
terhadap pemilu sudah lelah terhadap janji calon
pemimpin yang ternyata tidak terbukti.
(5) Suara Golput Pemilukada Bekasi Meningkat (Kompas
12/12)
Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia,
Suara aktif
: 48.81 %
Suara golput : 52 %
Sebab golput yaitu tidak ada calon wali kota yang
menurut warga berbobot. Konsumsi berita yang marak
membuat warga tahu positif dan negatif dari setiap calon.
Krisis kepercayaan terhadap para calon walikota.
(6) Pemberian Opini
Memenuhi Aspek Evaluatif
Pakar politik UGM Kruskido (RRI 8/2013).
Perlu adanya peningkatan partisipasi politik dengan
pendidikan politik. Melalui jangka panjang dengan
perbaikan ekonomi dan tingkat pendidikan sedang
jangka pendek melalui perbaikan kinerja partai
politik untuk memahami representasi politik di
Indonesia.
Abdurrahaman Wahid (Jurnal UGM 2011)
pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di
percaya, ngapain repotrepot ke kotak suara? Dari
pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk,
2009; 1).
Azyumardi
Pascasarjana
Azra
Universitas
Direktur
Islam
Sekolah
Negeri
Syarif
Hidayatullah, Jakarta (Kompas 9/2010). Aptisme
yang terjadi di Indonesia bisa di atasi dengan cara
kepemimpinan yang visioner, jujur, adil, tegas, dan
decisive. Kepemimpinan yang tak jujur, tidak adil,
gamang dan tidak tegas mengakibatkan terjadinya
koalisi dan kepentingan politik semu. Dalam situasi
ini, sulit mengharapkan solidaritas dan kebersamaan
dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.
Aspek
evaluatif
dari
ketiga
di
atas
menunjukkan bahwa sebagian besar yang peduli
pada kegiatan politik dan sistem politik hanya dari
kalangan akademisi dan para profesional politik.
Sedangkan warga yang lain, khususnya masyarakat
bawah
lebih
bersikap
acuh
dan
tidak
mau
berkecimpung terhadap sistem politik.
C. Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia
Budaya politik di Indonesia tergolong tetap dan berkembang secara
lambat, karena secara umum budaya politik di Indonesia sebelum
reformasi hingga memasuki masa reformasi relatif sama. Hal ini
dibuktikan dengan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap sistem
politik terbagi dalam beberapa sikap dan orientasi ketika pemilu, sebagai
berikut:
1. Masyarakat yang bersikap masa bodoh terhadap negaranya.
Acuh tak acuh dan tidak mempunyai harapan apapun terhadap
politik, contohnya masyarakat badui dalam dan masyarakat
samin. Alasan patrimonialisme
2. Masyarakat yang hanya peduli dan aktif dengan daerah asalnya.
Mereka bersikap acuh pada urusan bangsa dan negara.
3. Masyarakat yang peduli pada sistem politik dan ikut
berpartisipasi dalam pemilu dengan alasan kepentingan pribadi.
Misalnya kenaikan pangkat atau pemberian money politic dan
fasilitas tertentu.
4. Ada juga masyarakat yang menjanjikan akan memilih si A agar
mendapatkan bonus tertentu, ternyata dalam faktanya tidak
memilih tokoh tersebut dan lebih memilih calon yang
disukainya.
5. Masyarakat yang aktif dan sangat kritis tehadap semua
kebijakan yang telah diberikan pemerintah baik ketika in put
hingga out put yang keluar.
Berdasarkan
perilaku
politik
masyarakat
Indonesia
dalam
berpartisipasi menujukkan kecenderungan Indonesia masuk pada tipe
budaya campuran. Banyaknya perbedaan suku, daerah, agama, dan sifatsifat tradisional membuat Indonesia masuk pada tipe budaya politik
Subyek-Parokial dan sebagian kecil lainnya masuk dalam tipe partisipan.
Bukti yang menjadi dasar Indonesia masuk pada tipe budaya
politik campuran, sebagai berikut:
a. Budaya politik subyek-parokial ditandai dengan banyaknya
tingkat golput yang dari tahun ke tahun semakin meningkat
seperti di bawah ini:
1971 : 6.64 %
1977 : 8.40 %
1982 : 8.53 %
1987 : 8.39%
1992 : 9.09 %
1997 : 9.42 %
1999 : 10.21 %
2004 : 23.34 %
2009 : 39.1%
Data : 1971-2004 dari Pusat Studi dan Kawasan UGM ;
2009 daridata sementara dari hasil lembaga survei.
Alasan
(1) Hal ini menujukkan bahwa masyarakat Indonesia yang berada
di wilayah pedalaman masih bersikap parokial dan tidak peduli
pada keberlangsungan politik. Masyarakat di pedalaman seperti
suku badui dalam, samin, dan lain sebagainya yang masih
mengutamakan kepercayaan tradisional kepada kepala suku,
kepala adat, kyai, dan dukun untuk mengurus segala kebutuhan
hidup baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Bersikap
patrimonial yang masih mengutamakan “asal bapak senang”.
Juga ikatan kedaerahan yang masih kuat atau primordialisme.
(2) Sebagian yang lain sudah berada pada aspek ekonomi, sosial
politik yang relatif maju. Sudah mau mematuhi aturan hukum
dan kebijakan yang diberikan pada pemerintah tetapi masih
bersikap pasif dan kecenderungan apatis terhadap jalannya
politik dan pemerintahan. Misalnya saja masyarakat desa atau
kota yang tergolong menengah-kebawah memilih untuk golput
dan acuh terhadap sistem politik karena kecewa pada
pemerintah, dan berpikir bahwa ikut serta dalam politik tidak
ada keuntungannya dan tidak akan memberikan perubahan
yang berarti.
(3) Sisanya, masyarakat Indonesia yang memang sengaja untuk
tidak mau tahu pada urusan politik sebab munculnya stigma
bahwa politik itu kotor, kejam, dan korupsi. Hal yang sama
terjadi juga karena masyarakat yang memang sudah maju
tingkat pendidikannya dan mengikuti maraknya berita politik di
Indonesia kemudian menarik diri pada urusan sistem politik
Indonesia.
b. Budaya politik partisipan di Indonesia, dimana ada sebagian
masyarakat yang aktif mengikuti sistem politik, baik in put,
proses, maupun out put sehingga dapat memberikan evaluasi
baik yang bersifat menolak dan menerima. Misalnya untuk in
put ialah para akademisi, pengamat politik, tokoh, dan elit
politik yang memang mempunyai kepentingan dalam urusan
politik. Juga mereka yang secara aktif memberikan aspirasi
maupun penolakan seperti anggota partai politik, golongan
penekan, dan kelompok kepentingan. Kemudian untuk out put
nya ialah mereka yang secara kritis dapat menolak dan
menerima kebijakan yang telah diberikan. Biasanya ini
dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok-kelompok yang
mempunyai kepentingan politik tertentu.
D. Analisis Akhir Tipe Budaya Politik di Indonesia (Subyek-Parokial)
Analisis akhir saya, tipe budaya politik di Indonesia dengan
mempertimbangkan potret kehidupan politik di Indonesia baik pengaruh
pemerintah, dan kesadaran politik di Indonesia. Juga dari segi kognitif,
afektif, dan evaluatif dan menitik beratkan pada banyaknya golongan
golput di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat baik dalam
pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada
Indonesia masuk pada tipe budaya subyek-parokial. Sebab masih banyak
sekali yang menganut primordialisme, patrimonialisme, dan sifat
kedaerahan lainnya yang membuat sistem politik yang berjalan bukan
berdasarkan kompetensi melainkan kecenderungan money politic.
Meski ada sebagian yang telah aktif dan tergolong pada budaya
politik partisipan tetapi prosentasenya masih lebih kecil dibandingkan
dengan tipe budaya politik subyek-parokial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berpijak pada analisis di atas, dapat menjadi dasar untuk saya
mengambil kesimpulan bahwa tipe budaya politik di Indonesia relatif tetap
sejak dulu. Budaya politik di Indonesia tidak murni, dan masuk pada
budaya politik campuran. Sebab banyaknya masyarakat Indonesia yang
sangat plural dan terdiri dari berbagai sifat kedaerahan baik perbedaan
suku, daerah, dan agama. Secara umum masyarakat Indonesia masuk pada
tipe kebudayaan subyek-parokial dimana prosentase kesadaran politik di
Indonesia masih banyak yang tidak peduli dan golput ketika pemilu.
Angka golput di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun baik untuk
pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilihan gubernur, dan pemilukada.
Banyak hal yang menjadi latar belakang, kecenderungan masyarakat
Indonesia yang masih primordialisme kuat untuk sifat-sifat kedaerahannya
dan patrimonialisme yang masih menganut “asal bapak senang”, dan krisis
kepercayaan terhadap pemerintah yang dinilai kurang bertanggungjawab
sehingga muncul anggapan politik tidak akan mengubah hidup “orang
kecil”.
Meski di lain sisi, masyarakat Indonesia juga terdapat budaya
politik yang partisipan. Dimana masyarakat aktif dalam input proses dan
out put pemerintah. Baik dalam hasil akhir mereka menerima atau
menolak yang pasti mereka secara kritis berkecimpung dalam urusan
politik. Umumnya dilakukan oleh akademisi, pakar, profesional, pengamat
politik, elite politik, mahasiswa, kelompok kepentingan, dan penekan. Tapi
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan denga budaya politik subyekparokial sehingga saya menyimpulkannya Indonesia masuk pada budaya
politik subyek-parokial.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas bahwa di Indonesia seharusnya
lebih konsistem dalam berperilaku politik. Khususnya bagi pembaca agar
dapat menjadi penggerak yang solid dan dapat mengubah Indonesia
menjadi lebih baik. Tentu ilmuwan politik UNNES diharapkan mampu
menjadi sarjana yang memperbaiki negeri, bukan malah menambah
kerusakan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Verba. 1990. Budaya Politik, terjemahan Sahat Simamora. Jakarta:
Bumi Aksara
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih dalam
Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1 No. 1
Asyumardi, Azra. 2010. Apatisme Poltik. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:25 WIB
Fetika, Andriyani. 2013. Apatisme Politik Menggejala: Masyarakat Malas Lihat
DPSHP. http:rri\Apatisme-Politik-Menggejala-Masyarakat-Malas-Lihat-.htm.
diunduh Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:27 WIB
Muhtadi, Asep Saiful. 2012. Presentasi Suara Golput Bisa Menjadi Pemenang
Pilgub Jabar 2013. http://www.pikiran-rakyat.com/. diunduh Jumat, 4
Oktober 2013 | 19:30 WIB
Achmad, Zaini. 2012. Golput Menang Lagi. http://www.kompas.com. diunduh
Jumat, 4 Oktober 2013 | 19:37 WIB