Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan
Pengertian perjanjian untuk melakukan pemborongan pekerjaan dapat
dilihat dalam Buku III KUH Perdata Bab VIIA pada bagian ke Satu, mengenai
Ketentuan-Ketentuan Umum. Dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata disebutkan :“Pemborongan pekerjaan adalah pejanjian, dengan mana
pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu
harga yang ditentukan.”25
Beberapa sarjana memberikan definisi dari perjanjian pemborongan,
antara lain : Menurut FX. Djumaialdji, pengertian perjanjian pemborongan adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang
memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.
Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara
seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seseorang yang lain (pihak yang
memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu hasil
pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain tersebut serta adanya suatu
pembayaran uang tertentu sebagai harga pemborongan.26Perjanjian perburuhan

adalah perjanjian antara seorang „buruh‟ dengan seorang „majikan‟, perjanjian
mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang

25

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus , Penerbit Kencana, Jakarta,
2004, hal 30.
26
FX. Djumaialdji, Op.Cit, hal 5

20
20
Universitas Sumatera Utara

diperjanjikan dan adanya suatu „hubungan diperatas‟ yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintahperintah yang harus ditaati oleh yang lain.27
Saat ini jasa pemborongan atau jasa konstruksi telah diatur dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Yang dimaksud dengan
Jasa Konstruksi dalam undang-undang ini adalah layanan jasa konsultasi
perencanaan


pekerjaan

konstruksi,

layanan

jasa

pelaksanaan

pekerjaan

konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.28
Sedangkan pengertian Jasa Pemborongan dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat
atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, yang menyebutkan bahwa Jasa Pemborongan adalah
layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang
perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa dan
proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna jasa.29

Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak
terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I
sampai dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur
mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian
yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis
perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam Undang-undang. Sebagai dasar

27

R. Subekti, Op.Cit, hal 58
Nazarkhan Yasin. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia . PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hal 18
29
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta, hal 76
28

21
Universitas Sumatera Utara


perjanjian pemborongan bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir
(b) yang berbunyi: “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana
pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima
suatu harga yang ditentukan”.30
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian pemborongan
disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata “Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan
dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan,
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”31
Menurut Subekti, perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua
macam yaitu a. dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya
untuk pekerjaan tersebut, dan b. dimana si pemborong hanya akan melakukan
pekerjaannya saja.32
Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup,
yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan
umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah
dimana harus diadakan pelelangan. Kontrak kerja bangunan dapat dibedakan

dalam 2 (dua) jenis yaitu:33
1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya
disediakan oleh pemberi tugas.
30
31

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis. Alumni Bandung. 1994, hal 17
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op.Cit, Pasal 1601 huruf

b.
32
33

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Alumni Bandung, 1995, hal 65
Munir Fuadi, Op.Cit, hal 47

22
Universitas Sumatera Utara

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan

bangunan.
Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya
musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak
dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu karena
suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata.34
Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan
perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu samasama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan
pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang
lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau
kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan
danperjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan
melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.35
Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai
dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga
memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan
pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang
berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur
tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada
pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian.36


34

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 8
Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan
Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982, hal 52
36
R. Subekti, Op.Cit, hal 58
35

23
Universitas Sumatera Utara

Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini
pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun
kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai
masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak. Menurut Pasal 25 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi: kegagalan
bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi

dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.37
Di dalam KUH Perdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah
pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan
pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong,
mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain,
pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan
Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUH Perdata menurut para
sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan
adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja
sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenarnya perjanjian
pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dengan mana
yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.38
Subekti berpendapat bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian
antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seorang lain (pihak yang
memborongkan pekerjaan) dimana pihak yang satu menghendaki suatu pekerjan
yang disanggupi oleh pihak lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang
37
38

FX Djumaialdji, Op.Cit, hal 26

Subekti dan Tjirosudibio, Op.Cit, hal 37

24
Universitas Sumatera Utara

ditentukan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.
Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan didalam KUH Perdata berlaku baik
bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah maupun swasta.
Perjanjian pemborongan pada KUH Perdata itu bersifat pelengkap, artinya
ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat
digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam
perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian
pemborongan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan. Apabila para pihak dalam perjanjian pemborongan membuat
sendiri ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pemborongan maka ketentuanketentuan dalam KUH Perdata dapat melengkapi apabila ada kekurangannya.39
Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak
yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya,
atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah
penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang
memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil

dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik
(mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian. Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup,
yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan
umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah
dimana harus diadakan pelelangan.

39

Ibid, hal 38

25
Universitas Sumatera Utara

B. Bentuk Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian
pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila
perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian
pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan
menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara

tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris). Selain
itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena

khusus dalam

proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk
perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja an surat
perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya
ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan.40
Perjanjian

pemborongan

bersifat

konsensuil

artinya

perjanjian

pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah
pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai
pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat
tersebut perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak
tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak lain.41
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian
pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam praktek, apabila
perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian
pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan

40
41

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal 15
Ibid, hal 16

26
Universitas Sumatera Utara

menyangkut harga borongan yang agak besar, biasanya perjanjian dibuat secara
tertulis baik dengan akta dibawah tangan atau akta autentik (akta notaris).42
Selain itu perjanjian jasa pemborongan juga bersifat formil, karena khusus
dalam proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk
perjanjian standar artinya perjanjian pemborongan (surat perintah kerja dan surat
perjanjian pemborongan) dibuat dalam model-model formulir tertentu yang isinya
ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan. Dalam Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dikenal adanya 3 (tiga) bentuk perjanjian pemborongan
yaitu:43
1. untuk pengadaan dengan nilai di bawah Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)
bentuk kontrak cukup dengan kuitansi pembayaran dengan materai
secukupnya.
2. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai
dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bentuk kontrak berupa surat
perintah kerja (SPK) tanpa jaminan pelaksanaan.
3. untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah), bentuk kontrak berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KPBJ)
dengan jaminan pelaksanaan.
Pada umumnya, bantuk perjanjian yang dibuat oleh pihak pengguna jasa
dan penyedia jasa dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan adalah berbentuk
tertulis. Bentuk perjanjian ini dibuat dalam akta di bawah tangan. Karena yang

42

Ibid, hal 16
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomo 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Penerbit CV. Eko Jaya. Jakarta
43

27
Universitas Sumatera Utara

membuat perjanjian itu hanya para pihak. Biasanya pihak pengguna jasa telah
menyiapkan substansi perjanjian secara sepihak, sedangkan pihak penyedia jasa
tinggal mempelajari substansi perjanjian tersebut. Apabila penyedia jasa
menyetujuinya maka ia menandatangani perjanjian tersebut. Pada dasarnya,
perjanjian kerja pemborong ini dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam
perjanjian pemborongan, yang terdiri dari perjanjian kerja pemborong untuk
pekerjaan perencanaan, pekerjaan pelaksanaan pemborong dan perjanjian kerja
pemborong untuk pekerjaan pengawasan. Namun, tidak tertutup kemungkinan
pekerjaan dilakukan secara integrasi antara perjanjian kerja untuk perencanaan,
pekerjaan pelaksanaan dan pengawasan.44
Menurut cara penentuan harganya, perjanjian pelaksanaan pemborongan
itu dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu
1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam
hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga
kontrak maupun harga satuan.
2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini
harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.
3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price),
yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas
pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit.
4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost
plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan
jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan
upahnya.45

C. Macam dan Jenis Perjanjian Pemborongan
Di dalam KUH Perdata dikenal adanya dua macam perjanjian
pemborongan yaitu :46

44

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia , Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, hal 111
45
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal. 59.
46
FX Djumaialdji, Op.Cit, hal 42

28
Universitas Sumatera Utara

1. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
2. Perjanjian pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga
menyediakan bahan-bahannya.
Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal tanggungjawabnya si
pemborong atas hasilnya pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam hal pemborongan
harus menyediakan bahan-bahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga
musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali
jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut. Dalam hal
pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah,
maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi
karena kesalahannya.47 Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata Ketentuan yang
terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan
salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak
yang memborongkan, dipikul pada pundaknya pihak yang memborongkan ini.
Subekti Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian
itu, hal mana harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, maka si
pemborong

dapat

dipertanggungjawabkan

sekedar

kesalahannya

itu

mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. Kemudian dalam halnya si
pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja. Dalam Pasal 1607 KUH
Perdata dikatakan bahwa jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal
yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan
dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak lalai untuk memeriksa dan

47

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 30

29
Universitas Sumatera Utara

menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang
dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya cacat.48
Perjanjian pemborongan pekerjaan dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan
memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut. Dalam hal si pemborong
diwajibkan memberikan bahannya dan kemudian pekerjaannya itu dengan
cara bagaimanapun musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang
memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong,
kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil
pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja,
dan kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk
kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUH Perdata). Ketentuan yang
terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar
kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahanbahan yang telah disediakan
oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang
memborongkan ini. Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan
mengenai kejadia itu, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan oleh pihak
yang

memborongkan,

dengan

demikian

si

pemborong

dapat

dipertanggungjawabkan atas kesalahannya itu mengakibatkan bahanbahan
tersebut musnah.
2. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana si pemborong hanya akan
melakukan pekerjaannya saja. Dalam hal si pemborong hanya diwajibkan
melakukan pekerjaan saja, di dalam Pasal 1607 Kitab Undang-Undang Hukum

48

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal 21

30
Universitas Sumatera Utara

Perdata disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu
kelalaian dari pihaknya si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan,
sedang pihak yang memborongkan pekerjaan tidak telah lalai untuk
memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak
atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang atau pekerjaan
itu disebabkan oleh suatu cacad dalam bahannya.
Sedangkan

menurut

cara

terjadinya,

ada

tiga

jenis

perjanjian

pemborongan, yaitu49
1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam
hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga
kontrak maupun harga satuan.
2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini
harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.
3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price),
yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas
pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit.
4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost
plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan
jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan
upahnya.
Kontrak pengadaan barang dapat dibedakan berdasarkan bentuk imbalan,
jangka waktu dan jumlah penggunaan barang (Pasal 30 Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003). Ketiga pembagian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kontrak Berdasarkan Imbalan
Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan bentuk imbalannya,
merupakan kontrak yang dibuat berdasarkan atas imbalan atau biaya yang
dikeluarkan untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak pengadaan
barang berdasarkan imbalannya dibagi menjadi 5 (lima) macam, yaitu :

49

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hal. 59.

31
Universitas Sumatera Utara

a. Kontrak Lump Sum, adalah :
Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam
batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap dan semua
risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan
sepenuhnya di tanggung oleh penyedia barang/jasa
b. Kontrak Harga Satuan, adalah :
Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam
batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk
setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang
volume pekerjaannya masih bersifat perkiran sementara, sedangkan
pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume
pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang.
c. Kontrak Gabungan Lump dan Harga Satuan, adalah :
Kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu
pekerjaan yang diperjanjikan.
d. Kontrak Terima Jadi, adalah :
Kontrak pengadaan barang pemborongan, atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap
sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun
penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja
yang telah ditetapkan.
e. Kontrak Presentase, adalah :
Kontrak pelaksanaan jasa konsultasi dibidang konstruksi atau pekerjaan
pemborongan tertentu, di mana konsultan yang bersangkutan menerima

32
Universitas Sumatera Utara

imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik
konstruksi/pemborongan tersebut.
2. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jangka Waktu
Pelaksanaan Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan jangka waktu
pelaksanaan, merupakan kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua
belah pihak, di mana dalam kontrak itu ditentukan lamanya kontrak pengadaan
dilaksanakan. Kontrak ini dibagi menjadi :
a. Kontrak Tahun Tunggal, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang
mengikat dana anggaran untuk masa satu tahun anggaran.
b. Kontrak Tahun Jamak, adalah : Kontrak pelaksanaan pekerjaan yang
mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran yang
dilakukan atas persetujuan :
1) Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN
2) Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi Bupati atau
Walikota

untuk

pengadaan

barang

yang

dibiayai

APBD

Kabupaten/Kota.
3. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Jumlah Penggunaan Barang/Jasa
Kontrak pengadaan barang/jasa ini, merupakan kontrak pengadaan barang/jasa
didasarkan pada jumlah lembaga atau institusi yang menggunakan barang
tertentu. Kontrak pengadaan barang/jasa ini dibagi menjadi :
a) Kontrak Pengadaan Tunggal, adalah : Kontrak antara satu unit kerja atau
satu proyek dengan penyediaan barang tertentu untuk menyelesaikan
pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.

33
Universitas Sumatera Utara

b) Kontrak Pengadaan Bersama, adalah : Kontrak antara beberapa unit kerja
atau beberapa proyek dengan penyediaan barang tertentu, untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan
kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan
bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.50

D. Hak dan Kewajiban para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan
Hukum perjanjian yang sifatnya timbal balik dimana hak pada satu pihak
merupakan kewajiban pihak lain dan sebaliknya. Hak dan kewajiban para pihak
adalah ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki serta kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa
dalam melaksanakan kontrak.
Ada pun hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam pelaksanaan
perjanjian pemborongan menurut Pasal 32 ayat (1) – ayat (5) KEPPRES Nomor
80 Tahun 2003 adalah :
1. Setelah penandatangan kontrak pengguna barang/jasa segera melakukan
pemeriksaan lapangan bersama-sama dengan penyedia barang/jasa dan
membuat berita acara keadaan lapangan/serah terima lapangan;
2. Penyedia barang/jasa dapat menerima uang muka dari pengguna barang/jasa;
3. Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan seluruh pekerjaan utama dengan
mensubkontrakan kepada pihak lain;
4. Penyedia

barang/Jasa

dilarang

mengalihkan

tanggungjawab

sebagian

pekerjaan utama dengan mengsubkontrakan kepada pihak lain dengan cara

50

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata , PT. RajaGrafindo, Edisi
I, Jakarta, 2006, hlm. 267-268

34
Universitas Sumatera Utara

dan alas an apapun kecuali disubkontrakan kepad penyedia barang/jasa
spesialis;
5. Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam kontrak.
Dalam Lampiran I KEPPRES Nomor 80 Tahun 2003 disebutkan bahwa
hak dan kewajiban pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hak dan Kewajiban pihak pengguna barang/jasa
1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia
barang/jasa;
2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan
yang dilakukan oleh pihak penyedia barang/jasa;
3) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga kontrak yang telah ditetapkan
kepada pihak penyedia barang/jasa;
4) Memberikan fasilitas berupa sarana dan pra sarana yang dibutuhkan oleh
pihak penyedia barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai
ketentuan kontrak.
b. Hak dan Kewajiban pihak penyedia barang/jasa
1) Menerima pembayaran untuk pelaksaan pekerjaan sesuai denga harga
yang telah ditentukan dalam kontrak;
2) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan pra sarana dari
pihak pengguna barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan
sesuai dengan ketentuan kontrak;

35
Universitas Sumatera Utara

3) Melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodic kepada pihak penguna
barang/jasa;
4) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan pekerjaan yang telah ditentukan dalam kontrak;
5) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan
pelaksanaan yang dilakukan oleh\ pihak pengguna barang/jasa;
6) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan
yang telah ditetapkan dalam kontrak;
7) Kontraktor harus mengambil langkah-langkah yang cukup memadai untuk
melindungi lingkungan di dalam maupun di luar tempat kerja dan
membatasi perusakan dan pengaruh/gangguan kepada masyarakat maupun
miliknya, sebagai akibat polusi, kebisingan dan kerusakan lain sebagai
akibat kegiatan kontraktor.

E. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah
seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidak melakukan
sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seorang:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.

36
Universitas Sumatera Utara

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti
rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.51
Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur
untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan
terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar
janji.52
Dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu perjanjian perlu
dijaga prinsip umum berlakunya hukum perjanjian. Dengan demikian antara hak
dan kewajiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan kewajiban tidak
dijalankan sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak, maka terjadi konflik
kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi. Apabila terjadi ingkar
janji

atau

wanprestasi

menyelesaiannya

bahkan

diperlukan

instrumen

penyelesaiannya

hukum

memerlukan

perjanjian
putusan

untuk

hakim. 53

Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah
memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur
salah atasnya.54
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi
buruk.55 Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk
dicantumkan dalam suatu perjanjian. R. Subekti menguraikan arti dari kata
wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (Debitur) tidak melakukan apa
51

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Cetakan
Ketuju, Penerbit Kencana, Jakarta 2014, hlm 41
52
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 53
53
Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan , Cetakan Kedua,
Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2012, hlm 50-77
54
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata , Doktrin, dan Yurisprudensi, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm 3
55
R. Subekti, Op.Cit, hal. 45.

37
Universitas Sumatera Utara

yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan
wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar
perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya.” 56
Pengertian umum mengenai wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si
berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar
perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si Debitur tidak boleh melakukan
sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”.57 Wanprestasi sebagai “ketiadaan
suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam
Hukum Perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai
isi dari suatu perjanjian. Istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.58
Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan
seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang
telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus
melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan
sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya,
maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau
ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat
sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.59

56
57

Ibid
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia , Pustaka Yustisia, Yogyakarta 2009,

hal 40
58

Wirjono Prodjodiko, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal

59

Ibid, hal. 28.

38

38
Universitas Sumatera Utara

Prestasi atau yang dalam Bahasa Ingris disebut juga dengan istilah
“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengingatkan diri
untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Sementara itu, dengan wanprestasi
(default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach
of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban

sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak
tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.60
Ketentuan lain dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pasal 1338 KUH Perdata
menyebutkan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena
alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan
harus dilakukan dengan itikad baik”. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut
dapat disimpulkan, bahwa perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak
adalah mengikat untuk pihak-pihak yang melakukan perjanjian pemborongan dan
akan membawa akibat hukum bagi keduanya. Menegaskan bahwa, semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini telah memungkinkan
perkembangan dalam hukum perjanjian, para pihak dapat menciptakan sendiri
60

Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hal. 87-88

39
Universitas Sumatera Utara

bentuk dari perjanjian asalkan perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian adalah
realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para
pihak yang membuat perjanjian, supaya perjanjian itu dapat mencapai tujuannya.
Tujuan tidak akan terwujud tanpa adanya pelaksanaan dalam suatu perjanjian,
yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan sesuatu barang/benda (Pasal 1234 KUH
Perdata).
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (Pasal 1241 KUH Perdata).
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1242 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian saja, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang, perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu
perjanjian tidak dapat kembali selain dengan kata sepakat diantara para pihak atau
kerena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu
perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak
patut atau sewenang-wenang dalam hal pekerjaan tersebut.
Dalam pelaksanaan pekerjaan kemungkinan timbul wanprestasi yang
dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikian, berlakulah
ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi yaitu
kemungkinan pemutusan perjanjian, penggantian kerugian atau pemenuhan. Pada
umumnya wanprestasi baru terjadi apabila salah satu pihak dinyatalan telah lalai

40
Universitas Sumatera Utara

untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada bila salah
satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan kesalahannya atau
karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak
ditentukan tenggang waktunya, maka salah satu pihak dipandang perlu untuk
memperingatkan atau menegur agar segera memenuhi kewajibannya. Teguran ini
disebut juga dengan sommatie.
Pada dasarnya, tidak semua kerugian yang dimintakan penggantian.
Undang-Undang menentukan, bahwa kerugian yang harus dibayar sebagai akibat
dari wanprestasi, adalah sebagai berikut :
1. Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut Pasal 1247
KUH Perdata, bahwa debitur harus diwajibkan membayar ganti kerugian yang
nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perjanjian itu
disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi. Menurut Pasal 1248 KUH
Perdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan oleh tipu daya
debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita
oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam, yaitu :
1. Tidak melaksanakkan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlamat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.61

61

R. subekti, Op.Cit, hlm. 43

41
Universitas Sumatera Utara

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:62
a. Perikatan tetap ada.
Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia
terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti
rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan
kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi
tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah
debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari
pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan
diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal
1266 KUH Perdata.
Akibat Hukum Pada Perjanjian Pekerjaan Pemborongan Bagi Para Pihak:
1. Early Warning System Dalam Kontrak Konstruksi
Bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa di
katakan, sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian
akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh
karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang
(Legally Concluded Contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana diketahui, untuk setiap kontrak
62

Romadijawis, Ketentuan-Ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Kontrak Bisnis
(Perjanjian), melalui https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/. Diakses tanggal 21
Februari 2016

42
Universitas Sumatera Utara

bahwa kontrak dapat saja tidak terlaksana/tidak dilaksanakan dengan
semestinya

seringkali

terjadi.

Ketidakterlaksanakan

kontrak

tersebut

mempunyai graduasi yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut :
a. Tidak terlaksana pada tingkat yang sangat ringan, sehingga tidak perlu
diperbaiki sama sekali oleh pihak kontraktor.
b. Tidak terlaksana ringan, sehingga perlu diperbaiki pada saat serah terima
atau pada masa perawatan oleh pihak kontraktor.
c. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu diperbaiki pada saat
sedang berlangsungnya pembangunan tanpa harus mengubah kontrak.
d. Tidak terlaksana yang agak berat, sehingga perlu perbaikan pada saat
sedang
berlangsungnya
pembangunan
dengan
dilakukannya
penyesuaian/perubahan
penbangunan
dengan
dilakukannya
penyesuaian/perubahan kontrak.
e. Tidak terlaksana yang berat, sehingga pelaksanaan kontrak harus ditunda.
f. Tidak terlaksana yang sangat berat, sehingga kontrak boleh diputus
(terminasi) oleh salah satu pihak.63
Merupakan tindakan yang sangat baik, jika ketidakterlaksanaan
kontrak dapat dideteksi sejak dini, sehingga masih mudah untuk diperbaiki
atau dapat dengan segera diperbaiki. Untuk itu, perlu secepatnya dianalisis
gejala-gejala ketidakberesan dalam pelaksanaan proses pembangunan proyek
tersebut, sehingga perlu segera dibicarakan dengan pihak kontraktornya. Early
warning system dari ketidakberesan pelaksanaan pekerjaan proyek dapat

dideteksi dengan dua cara sebagai berikut : Dengan mengamati bangunan
secara fisiknya, sehingga jika ada penyimpangan atau ketidakberesan dapat
segera diobservasi. Dengan mengamati dokumen yang ada, sebab banyak
dokumen yang dibuat dalam proses pelaksanaan suatu pekerjaan proyek
tersebut.
2. Ketidakterlaksanaan Kontrak Konstruksi

63

Munir Fuady, Op.Cit, hlm 196

43
Universitas Sumatera Utara

Adapun macam-macam ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi sebagai suatu
rencana manusia, tentunya tidak semua dari rencana tersebut kesampaian apa
adanya seperti yang direncanakan. Demikian juga dengan Rencana
Pembangunan suatu proyek yang dituangkan dalam kontrak tertentu tidak
semuanya tercapai. Banyak hal yang dipengaruhi oleh kehendak manusia atau
di luar kehendak yang mempengaruhi jalannya suatu kontrak yang dapat
menyebabkan rencana tersebut diubah di tengah jalan atau kemudian bahkan
rencana tersebut harus batal sama sekali. Demikianlah akhirnya, berkembang
teori dan praktek hukum mengenai ketidakterlaksanaan kontrak konstruksi
dengan berbagai konsekuensinya.
3. Pemutusan Kontrak
Salah satu bentuk ketidaklaksanaan suatu kontrak konstruksi, adalah
dilakukannya pemutusan kontrak konstruksi, adalah dilakukannya pemutusan
kontrak (terminasi) oleh salah satu kedua belah pihak dalam kontrak tersebut.
Tindakan pemutusan kontrak ini, merupakan salah satu akibat hukum dari
adanya suatu perjanjian yang tidak memenuhi prestasi.

44
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

2 20 117

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

0 0 7

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

0 0 1

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

0 0 19

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

0 1 3

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

0 0 9

Implementasi E-Procurement dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan

0 1 11

Implementasi E-Procurement dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan

0 0 1

Implementasi E-Procurement dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan

0 1 7

Implementasi E-Procurement dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah di Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan

0 0 19