Analisis Faktor Risiko Stunting Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Tapanuli Utara

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Stunting adalah keadaan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur anak
akibat kekurangan gizi dalam waktu lama yang diawali sejak masa janin hingga 2 tahun
pertama kehidupan. Sejak masa janin sampai usia dua tahun pertama, anak akan
mengalami phase pertumbuhan cepat (growth spurt) sehingga phase ini merupakan
periode kesempatan emas kehidupan (window of opportunity) bagi anak
(Kemenkes,2010 ).
Gagal tumbuh pada masa emas ini dapat berakibat buruk pada kehidupan
berikutnya dan akan terlihat jelas pada saat anak mengalami mulai masuk usia sekolah
karena pada usia ini anak akan mengalami pertumbuhan lambat atau phase growth
palte. Akibat lebih lanjut dari tingginya prevalensi kurang gizi pada masa balita dan
tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna
pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia sekolah banyak ditemukan
anak yang kurang gizi kronis yang mengakibatkan anak usia sekolah di Indonesia
tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah.
Apabila kekurangan gizi ini terus berlanjut akan mengakibatkan anak kurang
memiliki kemampuan belajar dan kreatifitas sehingga prestasi belajar menjadi rendah
dan dapat mengakibatkan putus sekolah. Selanjutnya dimasa dewasa akan
mempengaruhi produktivitas anak, karena akan sulit bersaing mencari pekerjaan,

peluang gagal tes wawancara tinggi sehingga kemungkinan besar tidak mendapat

pekerjaan yang berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan
kelak akan menjadi beban negara.
Stunting telah melanda hampir seluruh negara, baik negara berkembang
maupun negara maju. Berdasarkan data UNICEF tahun 2008 menunjukkan bahwa 39%
(± 209 juta) anak yang mengalami stunting di seluruh dunia. Negara yang paling
banyak memberikan kontribusi prevalensi tersebut adalah negara yang ada di Regional
East/ South Asia and Pasific yakni sekitar 144 juta anak. Indonesia merupakan negara
yang berada pada Regional East/South Asia dan Pasific dan untuk kelompok negara
yang ada di Asia Tenggara, Indonesia memiliki prevalensi stunting tertinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan
kontribusi masalah gizi dunia ( www.unicef.org/pon00/leaguetos1.htm).
Prevalensi stunting Indonesia tahun 2007 sebesar 36,8 persen (18,8 persen
severe stunting dan 18,0 persen stunting). Bila dibandingkan 2010 terlihat terjadi
sedikit penurunan yaitu sebesar 35,6 persen yaitu (18,5 persen severe stunting dan
17,1% stunting). Namun walaupun terjadi penurunan, masih seluruh propinsi yang ada
di Indonesia memiliki prevalensi diatas batas non public health problem yang telah
ditentukan WHO yakni sebesar 20%. Ada sebanyak 15 propinsi yang memiliki
prevalensi kependekan diatas angka prevalensi nasional dan Propinsi Sumatera Utara

tercatat sebagai urutan ke empat yang memiliki prevalensi stunting tertinggi yaitu
sebesar 42,3% yaitu 23,4% severe stunting dan 18,9 % stunting (Kemenkes, 2010).
Salah satu kabupaten yang memberikan kontribusi tingginya angka prevalensi
stunting di Propinsi Sumatera Utara adalah Kabupaten Tapanuli Utara. Berdasarkan

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Kabupaten Tapanuli Utara
sebesar 61,2%. Kabupaten Tapanuli tercatat sebagai urutan ke lima terburuk dari 10
kabupaten/kota yang terburuk Indonesia.
Berdasarkan kerangka pikir penyebab masalah gizi yang dikembangkan Unicef
(1999) dapat diketahui bahwa faktor risiko yang mengakibatkan masalah gizi yang
terbagi atas faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung ada dua yakni
konsumsi makan dan status kesehatan yang

saling mendorong (berpengaruh),

sedangkan faktor tidak langsung adalah kebiasaan makan, pola asuh dan pelayanan
kesehatan dan lingkungan. Faktor langsung dan tidak langsung terjadi diakibatkan
keadaan sosial, ekonomi dan budaya. Hasil penelitian Lita (2005) yang
membandingkan anak yang stunting dan normal dengan jumlah anak yang sama pada
tiap kelompok yakni 70 orang anak menunjukkan bahwa adanya perbedaan konsumsi

makanan, riwayat penyakit, pola asuh antara anak yang stunting dan normal.
Penelitian Nurmiati (2006) yang dilakukan di Kecamatan Dramaga Kabupaten
Bogor menunjukkan bahwa penyebab stunting adalah multifaktor karena pada studi
tersebut ditemukan bahwa ada pengaruh pola asuh makan balita, tingkat konsumsi
energi, jumlah balita dalam keluarga dan lama sakit dengan terjadinya stunting. Pada
penelitian ini juga ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P