Analisis Faktor Risiko Stunting Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Tapanuli Utara

Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan
orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir
dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat
mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak adalah pribadi yang masih bersih dan
peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Yuliana (2004)
berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih
sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari
keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang
penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai
perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis
dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.
Dalam proses perkembangan manusia, tahap-tahap perkembangan anak, dijumpai
beberapa tahapan atau fase dalam perkembangan, antara fase yang satu dengan fase
yang lain selalu berhubungan dan mempengaruhi serta memiliki ciri-ciri yang relatif
sama pada setiap anak.
Disamping itu juga perkembangan manusia tersebut tidak terlepas dari proses
pertumbuhan, keduanya akan selalu berkaitan. Apabila pertumbuhan sel-sel otak anak
semakin bertambah, maka kemampuan intelektualnya juga akan berkembang. Proses
perkembangan tersebut tidak hanya terbatas pada perkembangan fisik, melainkan juga
pada perkembangan psikis. Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan

pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai

perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis
dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada
masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase
selanjutnya. Anak usia dini dikelompokkan dalam tipe kelompok sebagai berikut : 1).
Kelompok bayi usia 0 – 12 bulan, 2).Kelompok bermain usia 1 – 3 tahun,3). Kelompok
pra sekolah yakni usia 4 – 5 tahun, 4). Kelompok usia sekolah yaitu usia 6 – 8 tahun.
2.2

Tumbuh Kembang Anak
Periode lima tahun pertama anak sering juga disebut sebagai masa keemasan

(golden period) atau jendela kesempatan (window opportunity) atau masa kritis karena
periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat.
Mengingat masa lima tahun pertama merupakan masa yang pendek dan tidak dapat
terulang kembali dalam kehidupan anak. Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah
dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur dimana
untuk dapat menilai adanya pertumbuhan yakni adanya pertambahan tinggi badan,
berat badan dan lingkar kepala (Depkes RI, 2008).

Pertumbuhan dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu pertumbuhan yang
bersifat linear dan pertumbuhan massa jaringan. Pertumbuhan linear berhubungan
dengan panjang, misalnya panjang badan atau tingi badan, lingkar dada dan lingkar
kepala. Sedangkan contoh pertumbuhan massa jaringan yaitu berat badan, lingkar
lengan atas dan tebal lemak bawah kulit. Untuk mencapai pertumbuhan linear yang
optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF

merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu; pertama
memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir,
kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif

sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air
susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI,
2008).
Ternyata pola pertumbuhan anak tidak merupakan suatu kurva garis lurus,
tetapi terdiri atas beberapa bagian (phase) yang menunjukkan tumbuh lambat. Phase
pertumbuhan cepat disebut growth spurt sedangkan phase pertumbuhan lambat disebut
phase growth plateu. Pada kurva pertumbuhan sesorang didapatkan dua phase growth
spurt yaitu periode umur bayi dan balita, serta pada periode remaja (Soegeng, 2009).


Pada phase pertama growth spurt (tumbuh cepat) terjadi saat anak menginjak
usia tahun kedua. Pada masa pertumbuhan tersebut anak sangat membutuhkan gizi
yang baik. Phase berikutnya disebut growth plateu yakni pada saat anak usia sekolah
dimana laju pertumbuhan menurun dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada phase
growth spurt . Sehingga kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan

dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga
dewasa. ( Almatsier,2011).
Anak pada usia pra sekolah mempunyai ciri khusus yaitu mengalami masa
pertumbuhan yang cepat untuk pertumbuhan ini anak membutuhkan makanan yang
bergizi, namun apabila kebutuhan gizi tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan anak

tidak akan sempurna. Pada saat anak masuk usia sekolah masalah gizi semakin berat
karena pada usia anak masuk sekolah sudah beraktifitas tinggi dan mulai memilih
makanan yang diinginkan sehingga anak akan semakin mengalami pertumbuhan.

2.3

Gangguan Pertumbuhan Linear (Stunting)

Stunting merupakan dampak dari kekurangan gizi dalam waktu lama pada masa

janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak yang mengakibatkan seorang
anak bila ditimbang berat badan dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar terlihat bawah anak tersebut dibawah normal atau secara
fisik anak akan lebih pendek dibandingkan dengan balita seumurnya.
Penyebab kejadian stunting akibat pada saat prenatal dan postnatal terutama
pada dua tahun pertama kehidupan anak, sehingga dapat dijelaskan bahwa anak yang
mengalami stunting akibat pada masa anak masih dalam kandungan dan semakin berat
ketika anak sampai usia dua tahun tidak terpenuhi kebutuhan gizinya Sehingga
stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan

meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan fungsi
motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik.
Stunting mengidikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan

dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan
motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik, terhambatnya perkembangan
motorik dan mental ditandai oleh perilaku yang abnorml seperti apatis, kurang aktif,
kurang mengeksplorasi lingkungan, lekas marah dan kurang respon terhadap stimulus


yang diberikan (Astari, 2011).

Umeta (2003) dalam peneltian Nurul (2011)

menyatakan bahwa Stunting pada anak balita berarti kurangnya atau gagalnya
pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang
kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek
kumulatif dari kurangnya atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat
gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi
berulang kali ( Nurul, 2011).
Stunting banyak terjadi pada anak balita terutama di negara-negara

berkembang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan
2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8%
(18.8% sangat pendek dan 18.0% pendek) pada tahun 2007 dan 35.6% (18.5% sangat
pendek dan 17.1% pendek) pada tahun 2010 atau lebih dari sepertiga balita di
Indonesia. Meskipun secara nasional jumlah tersebut mengalami penurunan, tetapi di
beberapa provinsi jumlahnya justru meningkat hingga 50% dibandingkan tahun 2007
lalu. Kejadian stunting merupakan indikator yang krusial untuk melihat keberhasilan

pembangunan di suatu daerah dan di suatu negara.
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak
yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga
didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara
kebutuhan dan masukan nutrien. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu
konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Almatsier, 2009).

Penilaian status gizi anak biasanya digunakan adalah dengan mengunakan
metode antropometri yakni untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan
energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan
tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Indeks antropometri memiliki
beberapa kelebihan seperti dapat digunakan untuk mengindentifikasi keadaan gizi
ringan, sedang, dan buruk serta untuk memperoleh informasi tentang riwayat gizi masa
lampau yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain dan dapat digunakan untuk
melakukan screening test dalam rangka mengidentifikasi individu yang beresiko
terhadap malnutrisi (Siagian, 2010).
Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk
menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et
al. 2002). Tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan parameter yang


menggambarkan

pertumbuhan

skeletal.

Indikator

TB/U

berguna

untuk

menggambarkan status gizi masa lalu.
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya
umur. Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar
WHO 2007 untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal,
pendek atau sangat pendek yang disajikan pada Tabel 2.1. Dibawah ini :

Tabel 2.1 : Kategori Status Gizi Berdasarkan Indikator WHO 2007
Indeks
TB/U

Status Gizi

Batas Ambang

Sangat Pendek (Savere Stunting) Z-score < - 3,0

Pendek ( Stunting )
Normal
Sumber : Depkes RI (2011)

Z- Score ≥ -3,0 s/d Z-Score < -2,0
Z-Score 2,0

Z-Score = Nilai Individu Subjek-Nilai Media Rujukan
Nilai Simpangan Baku Rujukan
Menurut Supariasa (2002) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif

terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama sehingga kejadian stunting atau
kependekan merupakan indikator kekurangan gizi kronik yang menggambarkan
riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama dan dapat memberikan gambaran
gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau. Status gizi
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas di masa yang akan datang.
Status gizi berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan
pada masa usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Semakin rendah
asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan anak. Gizi
kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-anak terutama pada umur kurang dari 5
tahun dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan anak.
Pertumbuhan sel otak berlangsung sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf
sempurna pada usia 4-5 tahun. Perkembangan otak yang cepat hanya dapat dicapai bila
anak berstatus gizi baik. (Depkes RI, 2002).
Hasil penelitian penelitian dari Katryn (2010) menunjukkan bahwa adanya pengaruh
intake energi protein dengan kejadian stunting, sehingga dapat diketahui bahwa apabila

kebutuhan energi protein terpenuhi maka anak akan terhindar dari masalah gizi tersebut. Pada
penelitian Nurul (2011) dapat diketahui bahwa faktor terjadinya kejadian stuting pada balita di

Desa Sukawening Kabupaten Bogor antara lain pekerjaan dan pendapatan orang tua,
pendidikan orang tua dan tingkat pengetahuan orang tua.
WHO menginterprestasikan bahwa tingginya prevalensi stunting menunjukkan bahwa
terjadi masalah gizi kronis yang diakibatkan kekurangan asupan makanan bergizi dan tingginya
angka kesakitan akibat penyakit infeksi atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut dalam
waktu yang lama. Agar dapat mengetahui telah terjadi stunting perlu dilakukan deteksi dini
tumbuh kembang yakni melalui upaya penyaringan untuk menemukan penyimpangan tumbuh
kembang anak dan segera mengenal faktor resiko pada anak. Upaya deteksi dini tersebut
dilakukan supaya dapat dilakukan pencegahan dan dapat dilakukan upaya penyembuhan sedini
mungkin pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang.

2.4

Faktor Risiko Stunting
Berdasarkan kerangka pikir Unicef ada dua faktor yang menyebabkan

terjadinya masalah gizi yakni faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung ada
dua yakni konsumsi makanan dan status kesehatan yang saling berpengaruh. Faktor
langsung ini disebabkan oleh faktor tidak langsung yaitu pola konsumsi anak, pola asuh
dan pelayanan kesehatan serta keadaan lingkungan (Depkes RI, 2008).

Supariasa (2002) mengambarkan faktor risiko yang mengakibatkan kejadian
stunting adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Faktor risiko tidak langsung pada

kejadian stunting adalah kebiasaan makan, pola asuh anak, lingkungan. Untuk dapat
mengetahui faktor resiko apa yang menjadi penyebab terjadinya stunting, dapat

dijelaskan melalui jaring-jaring sebab akibat yang dapat dilihat pada gambar dibawah
ini (Supariasa, 2002).

Gambar 2.1 Konsep Jaring-jaring Sebab Akibat (The Web Of
Causations)

2.4.1. Pola Asuh Anak
Tumbuh kembang anak yang optimal membutuhkan dukungan pengasuhan
yang berkualitas, salah satunya adalah pola asuh makan anak dan pola asuh perawatan
anak. Faktor penyebab langsung yang menyebabkan gangguan pertumbuhan anak
adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang
memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang dan aman. Kebutuhan zat gizi
adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang diperlukan tubuh untuk
menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi
tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai untuk memelihara fisik (Almatsier, 2003).

Pola asuh anak dapat dinilai menurut jenis makanan yang dikonsumsi, frekuensi
makanan dan perilaku pemberian makanan anak yang menunjukkan pola kebiasaan
makan anak. Kebiasaan makan anak yang baik adalah anak makan dengan nilai gizi
yang baik akan menunjukkan konsumsi gizi anak baik. Kebiasaan makan anak
menunjukkan apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat anak
makan (Nurmiati, 2006).
Kebiasaan makan yang sehat harus dimulai pada usia dini. Anak harus dibiasakan
untuk makan makanan yang bergizi seimbang, seperti lauk pauk hewani dan nabati,
sayur, minum susu dan makan buah. Pemberian makanan yang baik akan membentuk
kebiasaan makan yang baik pula. menyangkut pola makan anak. Pemilihan jenis
makanan dan frekuensi makan anak merupakan bagian dari pola asug ibu terhadap
anak.
Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya. Kekurangan
gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Perilaku ibu dalam memberikan pola asuh
makan anak berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang pola asuh anak yang baik.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan
terhadap obyek tertentu. Perilaku ibu dalam mengasuh anak akan baik apabila pengetahuan
gizi ibu juga baik.

Tumbuh kembang anak yang optimal membutuhkan dukungan pengasuhan
yang berkualitas baik pula, salah satunya adalah pola pengaasuhan makan anak yang
diterapkan orang tua terutama ibu sebagai penanggung jawab utama dalam pengasuhan
anak. Pola pengasuhan anak meliputi perilaku pemberian makan anak yang baik,

perilaku pengasuhan dengan adanya kedekatan hubungan antara anak dan orang tua,
orang tua memberikan stimulasi pada anak, waktu yang diberikan orang tua untuk
berinteraksi dengan anak (USAID, 2004).
Menurut Zeitlin et al. dalam penelitian Nurul (2011) menunjukkan bahwa
pengasuhan makan yang melibatkan interaksi psikis antar ibu dan anak seperti tatapan
mata, bujukan untuk makan atau strategi yang dilakukan ibu atau pengasuh agar anak
mau dan bersedia makan, merupakan cara yang tepat bagi anak untuk dapat
meningkatkan selera dan nafsu makan anak. Praktek pengasuhan makan terdiri dari
pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh
mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan nafsu makan anak, serta
menciptakan situasi makan yang baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan.
Oleh karena itu, apabila praktek pengasuhan makan yang diterapkan ibu kurang
dapat menciptakan suasana atau situasi makan yang menyenangkan apalagi disertai
perilaku yang sering memaksa, akibatnya anak tidak mau makan bahkan menolak sama
sekali. Keadaan ini pada akhirnya mempengaruhi konsumsi makan anak yang kurang
memenuhi anjuran dengan tingkatan umur anak bahkan seringkali dibawah standar
yang berlaku (Suhardjo, 2002).
Pola asuh makan dimulai sejak anak lahir yakni melalui pemberian ASI
Eksklusif, kolosrtum dan usia penyapihan. ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan
pertama dan utama bagi bayi. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi
karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Pemberian ASI dengan tepat

kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses
tumbuh kembangnya.
ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI juga mengandung zat-zat penting
yang akan memberi perlindungan kepada bayi dari serangan penyakit dan alergi, serta
membantu pengembangan kecerdasan bayi secara optimal. Pemberian ASI juga akan
menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual,
dan perkembangan sosialisasi yang baik bagi bayi (Roesli 2000).
Hasil berbagai studi menyimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara
tepat merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan
sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak menyusui eksklusif dari lahir hingga usia
enam bulan tidak saja dirugikan untuk tidak tumbuh optimal akan tetapi juga tidak
mendapat stimulasi optimal untuk perkembangan otak. Melalui menyusui eksklusif
hubungan kasih sayang akan terbentuk antara ibu dan anak, karena pada saat menyusui
ibu akan berkomunikasi dengan bayinya (Syarief et al. 2007).
WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga
usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan
didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak
kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di
tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A. Para ahli
menemukan bahwa manfaat ASI akan terus meningkat sesuai dengan lama pemberian
ASI tetap dilakukan (Roesli 2000).

Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga yang biasa
dimakan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi
dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah
yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga.
Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung dengan keadaan sosial
ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makanan yang adekuat
(BAPPENAS, 2011).
2.4.2 Riwayat Penyakit Infeksi
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan
tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Apalagi
negara terbelakang dan negara berkembang seperti Indonesia dimana kesadaran akan
kebersihan/personal hygiene yang masih kurang serta ancaman endemisitas penyakit
infeksi kronik. Konsumsi makanan dan riwayat penyakit infeksi bersifat saling
mendorong (berpengaruh). Anak yang tidak mengkonsumsi zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh akan mengakibatkan daya tubuh anak rendah sehingga mudah terserang
penyakit infeksi, sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan ISPA akan
mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Untuk itu,
cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian
kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis
sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

Penyakit infeksi dan status gizi merupakan suatu masalah kesehatan yang saling
berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki
daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi.
Sebaliknya penyakit infeksi dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh
dengan baik sehingga berakibat gizi buruk.
Penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen
biologi (seperti virus, bakteria atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka
bakar) atau kimia (seperti keracunan). Bayi dan anak-anak di bawah lima tahun adalah
kelompok yang rentan terhadap berbagai penyakit karena sistem kekebalan tubuh
mereka belum terbangun sempurna sehingga infeksi yang terjadi dalam tubuh anak
balita dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Oleh karena itu, mencegah
terjadinya infeksi juga dapat mengurangi masalah gizi yang ditunjukkan dengan
tingginya prevalensi stunting (BAPPENAS, 2007).
2.4.3 Berat Badan Lahir Rendah
Keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat badan bayi yang lahir
dibawah 2500 gram. Ada dua keadaan BBLR yaitu 1) bayi lahir kecil karena kurang
bulan (prematur) yaitu bayi baru lahir pada umur kehamilan antara 28-36 minggu bayi
lahir kurang bila mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang bulan berfungsi normal
untuk mempertahankan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ
tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosisnya yang memburuk. 2) bayi lahir kecil
untuk masa kehamilan yaitu bayi lahir kecil akibat retardasi pertumbuhan janin dalam
rahim, organ dan alat-alat tubuh bayi kecil masa kehamilan cukup sudah matang

(mature) dan berfungsi lebih baik dibandingkan dengan bayi lahir kurang bulan,
walaupun berat badan sama (Kemenkes,2011).
BBLR dapat merusak fungsi kekebalan tubuh anak, perkembangan kognitif,
dan meningkatkan risiko terhadap penyakit diare, pneumonia, dan penyakit infeksi
lainnya. Kejadian stunting berhubungan dengan berat badan lahir yang rendah. Bayi
yang lahir dengan berat badan yang rendah juga memiliki kemungkinan yang kecil
untuk memulai menyusui dan lebih mungkin untuk disapih lebih awal.
BBLR disebabkan karena kekurangan gizi pada masa kehamilan sehingga
mengakibatkan anak yang BBLR mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik,
perkembangan motorik, dan gangguan perkembangan kognitif . Keadaan gizi yang
buruk sewaktu janin di dalam kandungan dan setelah dilahirkan, mempunyai pengaruh
sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dimasa yang akan datang.
Bayi BBLR berisiko untuk mengalami proses hidup dimasa depan kurang baik,
memiliki resiko meninggal dalam usia balita dan bila tidak meninggal bayi BBLR akan
tumbuh lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping
ASI yang tidak cukup, maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status
gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup dalam lima tahun pertama akan
mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang
kehidupan dibandingkan bayi non BBLR (Siti,dkk.2010).
Pada saat janin dalam kandungan sampai bayi dilahirkan, 66 persen dari jumlah
sel otak dan 25 persen dari berat otak dewasa telah tercapai. Sisanya akan ditentukan
oleh keadaan gizi setelah lahir. Pertumbuhan otak yang sangat cepat terjadi pada

minggu ke 15-20 dan minggu ke 30 masa kehamilan, serta bulan ke 18 setelah kelahiran
(BAPPENAS, 2011).
2.4.4

Pendidikan Orang Tua
Menurut Langeveld dalam buku Sadiman (2009) pendidikan adalah setiap

usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau
yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari,
dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Sadiman et all, 2009).
Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara
merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut.
Pengetahuan dan pendidikan orang tua sangat penting dalam menentukan status gizi keluarga,
karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga
gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah
gizi pada anak ( Nurmiati,2006).

Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada tingkah laku yang baik.
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah memiliki konsekuensi terhadap rendahnya

kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Nurmiati (2006) dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ibu dan ayah yang rendah
mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif
tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan
kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang
rendah.
Menurut penelitian Aeda (2006) adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu
dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada anak, semakin tinggi pendidikan ibu semakin
tinggi tingkat konsumsi energi protein anak, hal ini dimungkinkan karena penegtahuan ibu
akan lebih baik tentang manfaat energi protein bagi anak dibandingkan ibu yang meniliki
pendidikan lebih rendah.
Menurut Nasar (2010), banyak orang tua yang memberikan makan kepada anak-anak
sebatas supaya kenyang, sementara komposisinya tidak disesuaikan dengan kebutuhan gizinya.
Rendahnya pendidikan juga seringkali menyebabkan kebiasaan, kepercayaan, pantangan, dan
tahayul yang keliru. Adanya pantangan mengonsumsi makanan tertentu yang salah dalam
pemberian makan anak akan sangat merugikan dan menghilangkan kesempatan anak untuk
mendapat asupan gizi yang cukup. Pendidikan sangat penting bagi ibu rumah tangga yang turut
bertanggung jawab akan keadaan gizi setiap anggota keluarga.
Hasil penelitian Katryn,dkk (2011) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan akan
mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi
cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka
yang berpendidikan rendah.

FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan, status kesehatan, dan lingkungan hidup
dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta
terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti
rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak
serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga (Katryn, dkk.2011).

2.4.5

Besar Keluarga
Definisi besar keluarga menurut BPS (2011) adalah semua orang yang biasa

bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada saat
pencacahan maupun sementara tidak ada atau anggota rumah tangga yang telah
berpergian selama enam bulan atau semua orang yang telah tinggal di suatu rumah
tangga selama enam bulan atau lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga
kurang dari enam bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap
sebagai anggota rumah tangga.
Menurut BKKBN tahun 1998, besar keluarga adalah keseluruhan jumlah
anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak, dan anggota keluarga lainnya
yang tinggal bersama. Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga
dikelompokkan menjadi 3, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar.
Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari empat
orang, keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga antara lima
sampai tujuh orang, sedangkan keluarga besar adalah keluarga dengan jumlah anggota
keluarga lebih dari 7 orang.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dini Latief, dkk (2000) menunjukkan
adanya penurunan rata-rata intake energi dan protein selama terjadi krisis moneter.
Distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang
mempunyai anggota yang cukup besar. Pada rumah tangga yang beranggotakan enam
orang atau lebih menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang memburuk. Pada rumah
tangga yang beranggotakan tiga sampai lima orang rata-rata intake energi dan protein
masih mendekati nilai yang dianjurkan.
Jumlah keluarga yang banyak akan semakin menjadi faktor risiko terjadinya
masalah gizi karena akan mempengaruhi jumlah konsumsi gizi dan faktor kemiskinan
akan meningktkan resiko keluarga besar mengalami gangguan gizi. Pangan yang
tersedia pada sebuah keluarga yang besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang
besarnya setengah dari keluarga tersebut.
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin merupakan kelompok
paling rawan kurang gizi di antara anggota keluarganya. Anak yang paling kecil
biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Seandainya anggota keluarga
bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang. Usia 1 -6 tahun merupakan masa
yang paling rawan. Kurang energi protein berat akan sedikit dijumpai pada keluarga
yang jumlah anggota keluarganya lebih kecil (Aeda, 2006).
Hal ini sesuai dengan hasil Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium Indonesia BAPPENAS (2007) yang menyatakan bahwa anakanak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan
terhadap kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil

biasanya yang paling terpengaruh terhadap kekurangan pangan. Sebagian memang
demikian, sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap
anak berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda
memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan
demikian, anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Kurang energi
protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarganya lebih kecil.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu
rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Jumlah anggota rumah tangga
biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi
pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas
lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota
keluarga dapat terbagi secara merata (Arpansah, 2010).
2.4.6

Faktor Ekonomi
Tingginya kompleksitas dari masalah angka kemiskinan yang dihadapi

Indonesia membuat pengentasan masalah ini menjadi tidak mudah dan diperlukan
komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan donor.
Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengentaskan masalah
kemiskinan sebagaimana tercantum dalam stategi nasional penanggulangan
kemiskinan (SNPK). Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk menurunkan angka
kemiskinan dari 18.2 persen di tahun 2002 menjadi 8,2 persen ditahun 2009 untuk
mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

Beberapa faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan. Kimiskinan dinilai
mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik sebagai sumber permasalahan gizi
yakni kemiskinan menyebabkan kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan.
Hal ini disebabkan apabila seseorang mengalami kurang gizi maka secara
langsung akan menyebabkan hilangnya produktifitas kerja karena kekurangan fisik,
menurunnya fungsi kognitif yang akan mempengaruhi tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi keluarga. Dalam mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan gizi,
tantangan yang dihadapi adalah mengusahakan agar masyarakat miskin, terutama ibu
dan anak balita dapat memperoleh bahan pangan cukup dengan gizi yang seimbang dan
harga yang terjangkau ( BAPPENAS,2007).
Standar kemiskinan yang digunakan BPS (2011) bersifat dinamis, disesuaikan
dengan perubahan/pergeseran pola konsumsi agar realistis yaitu Ukuran Garis
Kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk
makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi kebutuhan
nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan
aneka barang/jasa lainnya. Biaya untuk membeli 2.100 kilo kalori/hari disebut sebagai
garis kemiskinan makanan. Sedangkan biaya untuk membayar kebutuhan minimum
non-makanan disebut sebagai garis kemiskinan non-makanan.
Keluarga yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan disebut
sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin.
Stunting adalah masalah gizi kronis yang terjadi akibat riwayat gizi dimasa lampau,

maka sebaiknya dilakukan penilaian tingkat ekonomi dimasa yang lalu. Saat ini
pemerintah menetapkan bahwa masyarakat miskin memberikan jaminan pelayanan
kesehatan masyarakat miskin dan beras miskin. Penilaian masyarakat miskin tersbut
dilakukan oleh BPS berdasarkan kategori miskin.

2.5 Landasan Teori
Kejadian stunting merupakan indikator yang mengambarkan riwayat kurang
gizi anak dalam jangka waktu lama. Akibat lebih lanjut dari tingginya prevalensi
kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan
(catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila
pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi kronis yang mengakibatkan
anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah.
Kondisi anak sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Kejadian stunting dapat disebabkan pola asuh anak yang meliputi pola asuh
makan anak dan pola asuh perawatan anak. Pola asuh makan anak menujukkan
kebiasaan makan anak yang dapat diketahui dari jenis makanan dan frekuensi makanan
yang sering dimakan anak. Kebiasaan makan anak dapat menunjukkan riwayat gizi
anak pada masa yang lalu. Pola asuh perawatan anak menujukkan bagaimana pola asuh
untuk merawat anak .
Faktor risiko yang lain adalah karakteristik dalam keluarga yakni pendidikan
orang tua dan besar keluarga. Semakin tingginya pendidikan orang tua akan
mengakibatkan pengetahuan pola pengasuhan, pemberian makan anak akan semakin

baik. Keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya semakin tinggi
dibandingkan orang tua yang berpendidikan lebih rendah. Pekerjaan orang tua juga
menunjukkan waktu yang diberikan orang tua untuk mengasuh anak. Semakin berat
pekerjaan orang tua semakin kecil kesempatan anak untuk memperoleh pengasuhan
yang baik dari orang tua.
Besar jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi kebiasaan makan anak
dan pola pengasuhan anak. Semakin besar jumlah keluarga makan semakin sedikit
makanan yang diperoleh oleh masing-masing anggota keluarga. Besar kemungkinan
anak akan semakin sedikit untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi. Besar jumlah
anggota keluarga juga dapat mempengaruhi kesempatan perhatian orang tua terhadap
seluruh anggota keluarga.
Pekerjaan akan mengambarkan kemampuan orang tua dalam memberikan pola
pengasuhan anak yang meliputi perilaku pemberian makan anak, perilaku membentuk
psikososial anak dan perilaku pengasuhan anak. Pekerjaan menunjukkan
Penyakit infeksi merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Penyakit infeksi
yang diderita oleh anak mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap
makanan karena penyakit infeksi akan menghambat absorbsi zat gizi dalam tubuh.
Penyakit infeksi dapat terjadi akibat keadaan lingkungan yang tidak baik, sehingga
anak mudah terkena penyakit infeksi.
Pemberian ASI eksklusif akan menghindari anak terkena infeksi karena
kandungan ASI mengandungkolostrum sebagai zat anti bodi selain itu banyak unsur
gizi yang baik bagi pertumbuhan anak. Anak yang mempunyai riwayat berat badan

lahir rendah akan mempunyai resiko lebih tinggi berisiko dalam tumbuh kembang
secara jangka panjang dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan
normal, terlebih lagi jika anak tersebut tidak mendapat kebutuhan gizi yang baik.
Kemiskinan merupakan faktor risiko terjadinya masalah stunting. Kemiskinan
menyebabkan keluarga tidak mampu menyediakan kebutuhan makanan dalam
keluarga. Ketidak mampuan untuk membeli makanan menyebabkan anak tidak dapat
mengkonsumsi makanan yang bergizi.
Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF (1998)
maka dapat diketahui kerangka pikir terjadinya stunting secara jelas yang dapat dilihat
pada kerangka pikir dibawah ini :

Status

Tingkat
Ko
nsu
msi
Ma

`

K

Penyaki
t
Inf
eks

Pola
A
s
u
h

Kurang pemberdayaan wanita dan
keluarga

Penyebab Langsung

Pel
a
y
a
nTidak Langsung

Pendidikan rendah, Pengetahuan rendah dan keterampilan rendah
Pokok Masalah

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Akar
Permasalahan
Sosial, Ekonomi, Budaya

Gambar 2.1: Kerangka Pikir UNICEF tentang Penyebab Masalah Gizi

2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori tersebut maka kerangka konsep
dalam penelitian
ini adalah :
Karakteristik
Keluarga
 Pendidikan orang tua
 Besar Keluarga
Pola Asuh Anak :

Pola Asuh Makan
anak

Pola Asuh Perawatan
Anak
Riwayat Penyakit infeksi:
 Jenis penyakit infeksi
 Frekuensi sakit

Status Gizi
Anak
(TB/U)

Berat Badan
Lahir :
Faktor Ekonomi