Aspek Hukum Dalam Perjanjian Penyelenggaraan Ibadah Haji Dan Umrah Antara PT Siar Haramain International Wisata Dengan Jemaah (Studi Pada PT Siar Haramain International Wisata)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A.

Pengertian

Perjanjian,

Asas-Asas

Perjanjian

dan

Syarat

Sah

Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan
yang diatur dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dengan judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau
Perjanjian”, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Dari rumusan tersebut dapat terlihat bahwa suatu perjanjian adalah:

a. Suatu perbuatan;
b. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);
c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang
berjanji tersebut12.
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin
terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan
secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata13. Oleh karena itu,
di dalam suatu perjanjian harus diutarakan kehendak masing-masing pihak. Atas
                                                            
12


Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 7.
13
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil,
dan perjanjian riil.

Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak
secara lisan, melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Pada Perjanjian
formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji
belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu,
melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan perjanjian riil harus ada suatu perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar
perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.

Definisi perjanjian selain dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, beberapa ahli juga memberikan definisi mengenai
perjanjian. Subekti memberikan definisi “perjanjian adalah suatu peristiwa di

mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal”. KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi
“perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua
orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan
oleh undang-undang”14.

Terhadap pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 tersebut
selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan
persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan
                                                            
14

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian “Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial”, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 15-16.

Universitas Sumatera Utara

“perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai

definisi tersebut ialah:
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum,
di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”15.
Handri Raharjo mengungkapkan dalam bukunya “Hukum Perjanjian di
Indonesia”, ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian menurut Pasal
1313 BW yaitu merupakan perbuatan (hal ini bermakna terlalu luas), yang
mengikatkan dirinya hanya satu pihak sehingga bisa disebut perjanjian sepihak
dan tujuannya tidak jelas.
Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata)
menurut Handri Raharjo adalah sebagai berikut:

Suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat
antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para
pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain

berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan
yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat
hukum16.
Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi
kekurangan definisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian
perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan
                                                            
15
16

Ibid, hlm. 16.
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hlm.

42.

Universitas Sumatera Utara

dirinya terhadap satu orang atau lebih17.
Definisi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengalami perubahan dalam
NBW sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6: 213 yaitu “a contract in

the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties
assume an obligation towards one or more other parties”. Menurut NBW kontrak
merupakan perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih lainnya18.

Dalam perundang-undangan Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan
secara berdampingan dengan perjanjian yaitu perikatan dan memorandum of
understanding (MoU). Pada hakikatnya, antara ketiganya memiliki perbedaan.
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah
suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, di
mana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak
yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut19.

Perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Eksistensi perjanjian sebagai
salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal
1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa“Tiap-tiap
perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.


                                                            
17

Agus Yudha Hernoko, Loc.Cit.
Ibid.
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 1.
18

Universitas Sumatera Utara

Dengan rumusan yang demikian, KUHPerdata hendak menyatakan bahwa
diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak
ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban. Dengan demikian,
perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak yang membuat
perjanjian tersebut20.

Memory of understanding merupakan perkembangan baru dalam aspek
hukum dan ekonomi yang baru dikenal. Menurut pendapat Munir Faudi, memory
of understanding merupakan terjemahan bahasa Indonesia yang paling pas dan

paling dekat dengan nota kesepakatan. Pada hakikatnya memory of understanding
adalah suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan
dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail. Oleh karena itu,
dalam memory of understanding hanya berisikan hal-hal yang pokok saja21.

Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Kontrak atau perjanjian inilah yang melahirkan
perikatan seperti yang telah disinggung sebelumnya. Dalam hukum Islam, inilah
yang disebut dengan akad. Jika dikaitkan dengan sumber perikatan dalam
KUHPerdata, maka letak akad adalah pada perikatan yang lahir dari perjanjian
sebagaimana secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, yang bersumber
dari undang-undang dibagi dua yaitu dari undang-undang saja dan dari
undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya perikatan yang lahir
                                                            
20

Ibid, hlm. 2.

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta, PT
Grasindo, 2007, hlm. 37.
21

Universitas Sumatera Utara

dari undang-undnag karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu
perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum22.
Berdasarkan pengertian-pengertian perjanjian yang telah dipaparkan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian merupakan suatu
perbuatan hukum di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk
melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati yang melahirkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak.
2. Asas-Asas Perjanjian
Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal lima
asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta
sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk:

1)
2)
3)
4)

Membuat atau tidak membuat perjanjian;
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan23.

Lahirnya

asas

kebebasan


berkontrak

dilatarbelakangi

oleh

paham

individualisme yang lahir pada zaman Yunani dan berkembang pesat pada zaman
                                                            
22

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2013. hlm. 6.
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004, hlm. 9.
23

Universitas Sumatera Utara

renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, John Locke dan
Rosseau. Menurut paham individualisme, orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya. Pada hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”24.

Meskipun para pihak memiliki kebebasan dalam berkontrak, kebebasan
tersebut bukanlah sebebas-bebasnya, namun kebebasan yang tetap dibatasi.
Artinya, para pihak bebas membuat kontrak (perjanjian) dan mengatur sendiri isi
kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)

memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;
tidak dilarang oleh undang-undang;
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik25.
Dengan kata lain, asas kebebasan berkontrak ini tetap dibatasi oleh Pasal

1337 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan “suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
baik atau ketertiban umum”.

b. Asas Konsensualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari
pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk
dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka26. Asas

                                                            
24

Ibid.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung, PT Citra
Aditya Bakti, 2001, hlm. 30.
26
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006,
hlm. 95.
25

Universitas Sumatera Utara

konsensualisme dapat dilihat dan disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata.

Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat,
tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak (perjanjian) lainnya sudah dipenuhi.
Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak (perjanjian) tersebut pada prinsipnya
sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga
sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak. Dengan demikian, pada
prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun
sebenarnya sah-sah saja menurut hukum27.

c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
(perjanjian) yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undangundang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak28. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang”.

d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Rumusan
                                                            
27

Munir Fuady, Loc.Cit.
Salim H.S, Loc.Cit.

28

Universitas Sumatera Utara

tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati
dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian
harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat
perjanjian ditutup.

Hal yang mendasari keberadaan Pasal 1338 KUHPerdata dengan rumusan
iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak
perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk
merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak
ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai iktikad baik ini sebenarnya telah
ditemukan dalam Pasal 1235 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas
tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu,
akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan29.
Mengingat iktikad baik dalam perjanjian merupakan doktrin atau asas
yang berasal dari hukum Romawi, iktikad baik dalam hukum Romawi mengacu
kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak (perjanjian). Pertama, para
pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak
boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah
satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai
orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas

                                                            
29

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht)
dalam Hukum Perdata, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 283-284.

Universitas Sumatera Utara

diperjanjikan30. Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam,
yaitu:

1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad
baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa
syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah
terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada
pihak yang beriktikad baik, sedang bagi pihak yang beriktikad tidak baik
(te kwader trouw) harus bertanggungjawab dan menanggung risiko.
Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat (1)
KUHPerdata dan Pasal 1963 KUHPerdata, terkait dengan salah satu syarat
untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluarsa. Iktikad baik ini
bersifat subjektif dan statis.
2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik
semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan
hukumnya. Titik berat iktikad baik terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan
sesuatu hal31.
3. Syarat Sah Perjanjian
Di zaman sekarang, dengan asas kebebasan berkontrak (consensual),
setiap orang dengan bebas membuat perjanjian (kontrak). Asas ini menetapkan
para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada maupun
yang belum ada pengaturannya sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sebuah perjanjian yang baik semestinya memberikan rasa aman dan
menguntungkan masing-masing pihak. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang wajib
diperhatikan sebelum menandatangani sebuah perjanjian yaitu:
a. Memahami syarat-syarat pokok sahnya sebuah perjanjian;
                                                            
30

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm. 132.
31

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 137.

Universitas Sumatera Utara

b. Substansi pasal-pasal yang diatur di dalamnya jelas dan konkrit;
c. Mengikuti prosedur/tahapan-tahapan dalam menyusun kontrak32.
Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan
bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia) yakni sebagai berikut:

a. Unsur Essensialia
Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan
syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk
mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis
perjanjiannya.
b. Unsur Naturalia
Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diamdiam melekat pada perjanjian.
c. Unsur Accidentalia
Unsur yang harus tegas diperjanjikan.

Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalam
pandangan hukum. Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga
mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan
sebagai berikut:

a. Syarat sah yang umum, terdiri dari:
1) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri
dari:
a)
Kesepakatan kehendak;
                                                            
32

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Yogyakarta, Cakrawala, 2012, hlm. 26.

Universitas Sumatera Utara

b)
Wenang berbuat;
c)
Perihal tertentu;
d)
Kausa yang legal.
2) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata
yang terdiri dari:
a) Syarat iktikad baik;
b) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
c) Syarat sesuai dengan kepatutan;
d) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
b. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari:
1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;
2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;
3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrakkontrak tertentu;
4) Syarat izin dari yang berwenang33.
Ke empat syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:

a. Dua syarat pokok yang pertama (1 dan 2) yang menyangkut subjek yang
mengadakan perjanjian disebut syarat subjektif;
b. Dua syarat pokok yang terakhir (3 dan 4) yang menyangkut objek
perjanjian disebut syarat objektif.
Tidak terpenuhinya salah satu dari ke empat syarat tersebut menyebabkan
cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik
dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur
subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur
objektif) dengan pengertian bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut tidak dapat
dipaksakan.

                                                            
33

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 33-34.

Universitas Sumatera Utara

a. Kesepakatan Bebas
Kesepakatan bebas di antara para pihak pada prinsipnya adalah
pengejawantahan dari asas konsensualitas. Kesepakatan dalam perjanjian
merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian
mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara
melaksanakannya,

kapan

harus

dilaksanakan

dan

siapa

yang

harus

melaksanakan34.

Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan
kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak
yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain.
Pernyataan kehendak tidak harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan
tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para
pihak.

Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh
dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod, offerte,
offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk
mengadakan

perjanjian.

Sedangkan

penerimaan

(aanvarding,

acceptatie,

acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari35.
Perjanjian yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan
penerimaan), pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan
pernyataan. Seyogyanya, kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian
                                                            
34

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 95.
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 162.

35

Universitas Sumatera Utara

harus diberikan secara bebas, dalam arti bahwa dalam memberikan kesepakatan
itu tidak ada unsur paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog).
Perjanjian yang proses pembentukannya tersebut dipengaruhi oleh adanya unsur
cacat kehendak mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar).

b. Kecakapan
Setiap subjek hukum yang berwenang melakukan tindakan hukum,
memiliki kewenangan (kapasitas) untuk melakukan tindakan hukum menjadi
pengemban hak dan kewajiban hukum. Untuk terbentuknya suatu hubungan
hukum disyaratkan ada atau dilakukannya suatu tindakan hukum yang
“menghidupkan” kewenangan tersebut. Siapa yang dapat dan boleh bertindak
serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak (handelingsbekwaam)
dan mampu melakukansuatu tindakan yang memiliki konsekuensi hukum36.
Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap, namun
dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum. Cakap hukum adalah orang yang
sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan
perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum37. Seseorang oleh
hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika orang tersebut
belum berumur 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh

                                                            
36

Herlien Budiono, Op.Cit, hlm. 110.
A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:Pedoman
Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta, YLBHI, 2007, hlm. 133.
37

Universitas Sumatera Utara

hukum dianggap cakap, kecuali karena sesuatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan
seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros38.

Dengan demikian, dapat disimpulkan, seseorang dianggap tidak cakap apabila:

1) Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;
2) Berusia 21 tahun tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros.
Sementara itu, KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap untuk membuat
perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu39.

Khusus terhadap poin c ini, sekarang tidak berlaku lagi dengan keluarnya
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan sejak diundangkannya
Undang-Undang No. 1 tahun 1974, maka sejak saat itu hak perempuan dan lakilaki disamakan, dan perempuan dapat bertindak dan berbuat dalam hukum.

Berkaitan dengan kecakapan ini, konsekuensi dari perjanjian yang dibuat
oleh mereka yang tidak cakap adalah dapat dibatalkan. Dalam arti, perjanjian masih
dapat terus berlangsung selama tidak dibatalkan oleh salah satu pihak.
c. Suatu Hal Tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dalam
Pasal 1320 KUHPerdata syarat ke-3 adalah prestasi yang menjadi pokok
                                                            
38

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2008, hlm. 29.
39
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian yang bersangkutan. Mengenai suatu hal tertentu ini, juga diartikan
bahwa apa yang diperjanjikan harus jelas dan terinci jenis, jumlah dan harganya
atau keterangan terhadap objek sehingga diketahuilah hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak sehingga tidak akan terjadi perselisihan dikemudian hari40.

Selain itu, hal tersebut juga untuk menentukan sifat dan luasnya pernyataanpernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan yang tidak
dapat ditentukan sifat dan luasnya kewajiban para pihak adalah tidak mengikat
(batal demi hukum).

Lebih lanjut mengenai suatu hal tertentu ini dapat dirujuk dari substansi
beberapa pasal di dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut:

1) Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan “Hanya barang yang dapat
diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”.
2) Pasal 1333 KUPerdata yang berbunyi “Suatu pejanjian harus mempunyai
pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung”.
3) Pasal 1334 KUHPerdata yang menegaskan bahwa:
Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok
suatu perjanjian.
Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang
belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai
warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan
meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 169, 176 dan 178.
                                                            
40

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara

Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam suatu
kontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan
luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.
Bahwa kata “tertentu” tidak harus dalam gramatikal sempit tetapi juga dimungkinkan
untuk objek tertentu tersebut sekedar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat
ditentukan kemudian hari41.
d. Kausa yang Diperbolehkan
Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang
menerjemahkan “sebab yang halal” (eene geoorloofde oorzaak) beberapa sarjana
mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro,
yang memberikan pengertian “sebab (kuasa) sebagai maksud atau tujuan dari
perjanjian”. Sedangkan Subekti menyatakan bahwa “sebab adalah isi perjanjian itu
sendiri”. Dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling
dipertukarkan oleh para pihak42.
Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Suatu perjanjian yang
dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak
mempunyai kekuatan”. Sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa
yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian tersebut harus disertai iktikad
baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum dan kesusilaan. Selanjutnya dalam Pasal 1337 KUHPerdata ditegaskan
pula bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
                                                            
41

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 192.
Ibid, hlm. 194.

42

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata tersebut, suatu perjanjian
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila perjanjian
tersebut:

1) Tidak mempunyai kausa;
2) Kausanya palsu;
3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang;
4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan;
5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum43.
B.

Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian

1. Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian
Mariam Darus menyatakan ada beberapa ajaran tentang saat terjadinya
perjanjian antara para pihak, yaitu:

a. Teori Penawaran dan penerimaan (offer and acceptance) merupakan teori
dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan
penerimaan”.

Maksudnya

adalah

bahwa

pada

prinsipnya

suatu

kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari
salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh
pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap
sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan
di negara-negara yang menganut sistem hukum common law;
b. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan
surat;

                                                            
43

Ibid, hlm. 196.

Universitas Sumatera Utara

c. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi
pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran;
d. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima;
e. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan
itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan44.
Dalam buku Salim H.S, selain teori-teori yang telah disebutkan di atas
terdapat teori lain yaitu:

a. Teori Pernyataan (uithingsthorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran
itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap
terjadinya kesepakatan secara otomatis;
b. Teori Penerimaan (ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan;

                                                            
44

Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Bandung,
Pustaka Sutra, 2008, hlm. 120.

Universitas Sumatera Utara

c. Teori Geobjectiveerde bernemingstheorie
Teori ini diungkapkan oleh Pitlo, yang menentukan bahwa saat si pengirim
surat redelijkerwijs, dapat menganggap si alamat telah mengatahui isi surat
itu45.

Selain itu, juga masih dikenal teori lain yaitu:

a. Teori Kotak Pos
Teori kotak pos yakni terjadinya kesepakatan adalah pada saat
dimasukkannya jawaban penerimaan atas penawaran ke dalam kotak pos.
Hal ini tidak diterangkan lebih lanjut karena esensinya sama dengan teori
pengiriman yaitu surat tersebut sudah lepas dari kekuasaan pihak yang
menerima penawaran;
b. Teori Dugaan
Teori dugaan yaitu terjadinya kesepakatan pada saat pihak yang menerima
penawaran sudah menduga bahwa suratnya yang berisi penerimaan
penawaran sudah diterima oleh pihak yang menawarkan46.

Menurut peneliti, dari semua teori lahirnya perjanjian tersebut, teori yang
paling relevan dan ideal ialah teori penawaran dan penerimaan (offer and
acceptance). Hal ini dikarenakan pada teori ini jelas tampak bahwa perjanjian
terjadi secara praktis yaitu ketika tawaran pihak I diterima oleh pihak II sehingga
menunjukkan kesepakatan telah terjadi tanpa direka-reka.
                                                            
45

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika,
2003, hlm. 40-41.
46
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian Menurut Sumbernya
Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan
perjanjian yang didasarkan pada tempat ditemukannya perjanjian. Sudikno
Mertokusumo menggolongkan jenis perjanjian berdasarkan sumber
hukumnya menjadi lima macam, yaitu perjanjian yang sumbernya berasal
dari hukum keluarga, kebendaan, perjanjian obligatoir, perjanjian yang
bersumber dari hukum acara, dan perjanjian yang bersumber dari hukum
publik47.

b. Perjanjian Menurut Namanya

Hal ini didasarkan kepada Pasal 1319 KUHPerdata dan artikel 1355 NBW
yang menyebutkan bahwa ada dua macam perjanjian menurut namanya
yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak
bernama).
c. Perjanjian Timbal Balik
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian timbal

balik ini dibagi menjadi dua macam:

1) Perjanjian Timbal Balik Tidak Sempurna
                                                            
47

Eka Astri Maerisa, Panduan Praktis Membuat Surat-Surat Bisnis dan Perjanjian, Jakarta,
Visimedia, 2013, hlm. 21-22.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian ini senantiasa menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak. Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang
tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya48;
1) Perjanjian Sepihak
Perjanjian yang hanya menimbulkan kewajiban ada pada satu pihak,
sedangkan menimbulkan hak bagi pihak lainnya.
d. Perjanjian Cuma-Cuma atau Perjanjian atas Beban
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan-keuntungan salah satu
pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian Cuma-Cuma
adalah suatu perjanjian ketika pihak yang satu memberikan keuntungan
kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya.
Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak
yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi
yang harus dilakukan oleh pihak lain49.

e. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya
Didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari
adanya perjanjian tersebut. Perjanjian berdasarkan sifatnya dibagi menjadi
dua macam yaitu perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.
f. Perjanjian Pokok dan Tambahan
Perjanjian pokok merupakan perjanjian utama baik kepada individu maupun
badan hukum. Perjanjian tambahan (accesoir) adalah perjanjian yang timbul
karena adanya perjanjian pokok.
                                                            
48

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata: Termasuk Asas-asas
Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2004, hlm. 207.
49
Eka Astri Maerisa, Op.Cit. hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara

g. Perjanjian Berdasarkan Aspek Larangannya
Penggolongan perjanjian ini merupakan penggolongan perjanjian berdasarkan
aspek tidak diperbolehkannya para pihak untuk membuat perjanjian yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
h. Berdasarkan Kesepakatan
Perjanjian berdasarkan kesepakatan dibagi dua yaitu:
1) Perjanjian Konsensual, yaitu perjanjian yang tercipta dengan
tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak;
2) Perjanjian Rieel, yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila disamping
persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoir, diikuti pula
dengan penyerahan barang (levering)50.
i. Perjanjian Dilihat dari Segi Hasil Perjanjian
Perjanjian dilihat dari segi hasil perjanjian terbagi dua yaitu:
1) Perjanjian Comutatif, yaitu perjanjian di mana terdapat keuntungan
yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan
prestasi itu;
2) Perjanjian Aleatoir, yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu
prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya suatu
keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak
bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan
perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan
kemungkinan dipenuhinya syarat itu51.  
 

j. Dilihat dari Segi Pengaturannya
Dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Perjanjian yang lahir dari undang-undang;
2) Pejanjian yang lahir dari persetujuan.
                                                            
50

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 208.
Ibid.

51

Universitas Sumatera Utara

C.

Berakhirnya Perjanjian
Dalam Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan secara berturut-turut peristiwa-

peristiwa yang mengakibatkan hapusnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1381
KUHPerdata, perjanjian berakhir karena 10 peristiwa yaitu:
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata)
Maksud pembayaran dalam Pasal 1381 KUHperdata adalah lebih luas
daripada sekedar membayar sejumlah uang. Karena isi perjanjian bisa
dalam hal memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu, maka pembayaran dalam Pasal 1381 KUHPerdata harus diartikan
meliputi semua wujud “pemenuhan” atau “pelunasan” perikatan.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan
(konsinyasi)
Ini adalah suatu cara hapusnya perjanjian di mana debitur hendak membayar
hutangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat
menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
3. Pembaharuan hutang (novasi)
Perjanjian yang sudah ada antara debitur dengan kreditur dengan mana
perikatannya dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Ada

beberapa macam cara untuk melakukan pembaharuan hutang yang diatur oleh

Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, yang mana perjanjian
lama dihapuskan (novasi objektif);

Universitas Sumatera Utara

b. Apabila terjadi pergantian debitur dengan pergantian mana debitur lama
dibebaskan dari perikatannyanovasi subjektif yang pasif);
c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka kreditur lama dibebaskan
dari perikatannya (novasi subjektif yang aktif).
4. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata)
Perjumpaan hutang (kompensasi) adalah suatu penghapusan masing-masing
hutang debitur dan kreditur dengan cara saling memperhitungkan hutang
yang sudah dapat ditagih secara timbal balik.

Syarat terjadinya kompensasi yaitu:

a. Keduanya berpokok sejumlah uang;
b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dapat diganti);
c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
5. Percampuran hutang/konfisio (Pasal 1436-1437 KUHPerdata)
Percampuran hutang terjadi pada saat kedudukan orang yang berhutang
dengan kedudukan sebagai kreditur menajdi satu.

6. Pembebasan hutang (1438-1443 KUHPerdata)
Secara sederhana dapat dipahami bahwa pembebasan hutang merupakan
tindakan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur menegnai hapusnya
hutang-piutang di antara mereka. Akan tetapi, hal ini sebaiknya dibuat
dalam bentuk tertulis dengan menyatakan secara tegas mengenai hapusnya

Universitas Sumatera Utara

hutang tersebut dan disertai dengan pengembalian tanda piutang yang asli
kepada debitur52.

7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata)
Perikatan menjadi hapus karena musnahnya atau hilangnya barang tertentu
yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk
menyerahkannya kepada kreditur.

8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata)
Suatu perjanjian dapat dibatalkan (pembatalan) apabila syarat kecakapan
dan syarat kesepakatan tidak dipenuhi dalam perjanjian tersebut. Dengan
kata lain, suatu perjanjian dapat dibatalkan bila syarat subjektif tidak
terpenuhi.Suatu perjanjian batal demi hukum (kebatalan) terjadi apabila
tidak terpenuhinya syarat objektif dari syarat sahnya suatu perjanjian.

Kebatalan dan pembatalan adalah salah satu syarat untuk menghapus
perjanjian. Pembatalan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Pembatalan secara aktif, artinya pihak yang merasa dirugikan menuntut
pembatalan perjanjian kepada hakim pengadilan;
b. Pembatalan secara pasif, artinya pihak yang dirugikan menunggu sampai
ada pihak yang menggugat di muka hakim pengadilan untuk memenuhi
prestasi dan pada saat itu baru mengajukan tentang kekurangannya atau

                                                            
52

Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, Jakarta,
Grasindo, 2008, hlm. 51.

Universitas Sumatera Utara

tidak sahnya perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian53.
9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata)
Berlakunya syarat batal tidak sama dengan syarat dalam syarat sahnya
perjanjian. Berlakunya syarat batal berarti bahwa suatu syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada

keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.

10. Lewatnya waktu (daluwarsa)
Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa terbagi
dua, yaitu:

a. Daluwarsa acquisitif, yaitu daluwarsa atau lewatnya waktu yang
mengakibatkan seseorang memperoleh hak milik atas suatu barang atau
benda;
b. Daluwarsa extinctif, yaitu daluwarsa atau lewatnya waktu yang
mengakibatkan seseorang dibebaskan dari suatu perjanjian.
Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu
tertentu;
                                                            
53

Yunirman Rijan dan Ira Koesoemawati, Cara Mudah Membuat Suatu Perjanjian/Kontrak
dan Surat Penting Lainnya, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2009, hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara

b. Undang-undang menentukan baats waktu berlakunya perjanjian (Pasal
1066 ayat (3) KUHPerdata;
c. Salah satu pihak meninggal dunia;
d. Salah satu pihak (bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya
maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian
secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan
perjanjian;
e. Karena putusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai;
g. Dengan persetujuan para pihak54.
 

 

                                                            
54

Handri Raharjo, Op.Cit, hlm. 101.

Universitas Sumatera Utara