Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal di Kota Medan (Studi Kasus : BPOM Kota Medan dan MUI Kota Medan) Chapter III V

BAB III
KEPASTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SETELAH
LAHIRNYA UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK
HALAL (JPH)
3.1. Pengaturan Tentang Kelembagaan
Kepastian

adalah

perihal

(keadaan)

yang

pasti,ketentuan

atau

ketetapan. 68Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.Pasti sebagai pedoman kelakuan
dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

wajar.Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
menjalankan fungsinya.Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar
tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak
pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melinkan bukan hukum
sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des
Rechts). 69Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam
suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu
sanksi. 70Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang
hukum itu sendiri).Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum.Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan(gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta
(Tatsachen),bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh
hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan,

di

samping


juga

mudah

68

Cst Kansil, Christine S.t Kansil,Engelien R,palandeng dan Godlieb N mamahit, Kamus Istilah
Hukum, (jakarta,JALA PERMATA AKSARA,2009) hlm, 385.
69
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung PT REVIKA
ADITAMA,2006), hlm.79-80.
70
Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, PT
RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010) hlm 24.

42

Universitas Sumatera Utara

43


dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. 71 Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma
hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi
da pat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum
(di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum). 72 Menurut Apeldoorn,
kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang
mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang
khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan
hukum.Artinya,

perlindungan

bagi

para

pihak


terhadap

kesewenangan

hakim. 73Menurut Jan michiel otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang
lebih berdimensi yuridis.Namun, otto ingin memberikan batasan kepastian hukum
yang lebih jauh. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan
bahwa dalam situasi tertentu yaitu: Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih),
konsisten dan mudah

diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena

(kekuasaan) negara; Instansi-instansi penguasa(pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; Warga
secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; Hakimhakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;
Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 74 Masalah kepastian hukum dalam
kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama
sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet
tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak
berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri.Berbicara mengenai kepastian, maka

seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan
itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts). 75

71

Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, ( Jakarta, UKI Press, 2006), hlm 135-136.
Ibid., hlm 82.
73
L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,
(Bandung PT REVIKA ADITAMA,2006), hlm 82-83.
74
Jan Michiel Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu
Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung, PT REVIKA ADITAMA,2006), hlm 85.
75
Ibid, hlm 139.

72

Universitas Sumatera Utara


44

Jaminan kepastian hukum terhadap produk pangan halal dalam hukum
nasional sangat diperlukan guna memberikan jaminan kepastian hukum bagi
konsumen Muslim di Indonesia.Hal ini sejalan dengan perubahan pola konstruksi
hukum dalam hubungan produsen dan konsumen, yaitu hubungan yang dibangun atas
prinsip caveat emptor (konsumen harus berhati-hati) menjadi prinsip caveat venditor
(kesadaran produsen untuk berhati-hati guna melindungi konsumen). 76 Tujuan
konsumen dalam mengkonsumsi, terutama pangan, dalam perspektif (ekonomi) Islam
adalah mencari maslahat maksimum dan begitu juga produsen
Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia


Tahun

1945

mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya

masing-masing

dan

untuk

beribadah

menurut

agamanya

dan


kepercayaannya itu.Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan
jaminan

tentang

kehalalan

Produk

yang

dikonsumsi

dan

digunakan

masyarakat.Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas

pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas
dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk
Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan
menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang
sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan
pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta
Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan .
Pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan.
Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja
maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian
suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan
multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri,
76

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,
(Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 4


Universitas Sumatera Utara

45

biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam
realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin
kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki
keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan
jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH
perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk
yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang
gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Diundangkannya UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
terdiri dari XI Bab, 68 Pasal yang diundangkan tanggal 17 Oktober 2014 ini sebagai
jawaban atas keresahan konsumen muslim terhadap segala produk yang dikonsumsi.
Walaupun sebelum diundangkannya UU JPH ini telah banyak pengaturan yang
menyinggung mengenai produk makanan dan minuman berlabel halal seperti UU No.
18 Tahun 2012 Tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Peraturan Pemerintah Tahun 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan, Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 519 Tahun 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksa
Pangan

Halal,

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan
“Halal” pada Label Makanan. Banyaknya pengaturan yang menyinggung mengenai
produk makanan dan minuman halal tersebut tak kunjung memberikan kepastian
hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen.Akan tetapi,
setelah lahirnya UU JPH diharapkan pengawasan serta penyelenggaraan jaminan
produk halal tak hanya sekedar angan.
Pengawasan terhadap makanan/minuman, terutama secara administratif
dilakukan dengan pendaftaran produk, yang diselenggarakan dalam rangka
melindungi masyarakat terhadap makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan
untuk lebih menjamin keamanan dan mutu makanan yang beredar.Oleh karena itu,
produsen atau importir wajib mendaftarkan makanan yang diproduksi atau diimpor,
serta wajib menjamin keamanan mutu serta kebenaran label makanan yang

Universitas Sumatera Utara

46

didaftarkannya. 77

Pendaftaran

yang

dimaksud

tidak

hanya

meliputi

makanan/minuman, akan tetapi juga produk lain yang berkaitan dengan kesehatan
manusia. Pengawasan adalah salah satu faktor yang memberi perlindungan kepada
konsumen atas peredaran barang dan atau jasa di pasaran. Pengawasan pada Jaringan
Produk Halal dilakukan terhadap: 78
1. Lembaga Pemeriksa Halal;
2. Masa berlaku Sertifikat Halal;
3. Kehalalan Produk;
4. Pencantuman Label Halal;
5. Pencantuman keterangan tidak halal;
6. Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal
dan tidak halal;
7. Keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
8. Kegiatan lain yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal
Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJPH) merupakan Badan yang
dibentuk berdasarkan amanat UU JPH, berkedudukan dibawah Kementerian Agama
berdasarkan Peraturan Menteri Agama No 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata
Kerja (Ortaker) Kementerian Agama.Pasal 1 ayat (6) UU JPH memberikan pengertian
tentang BPJPH yakni badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
Jaminan Produk Halal (JPH). Adapun kewenangan dalam penyelenggaraan jaminan
sebagai bentuk pengawasan produk halal berwenang dalam : 79
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
6. Melakukan akreditasi terhadap LPH;
7. Melakukan registrasi Auditor Halal;
8. Melakukan pengawasan terhadap JPH;
77

Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran
Makanan.
78
Pasal 50 UU JPH
79
Pasal 6 UU JPH

Universitas Sumatera Utara

47

9. Melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH.
Badan penyelenggara jaminan produk halal juga membentuk lembaga
pemeriksa halal yang dapat didirikan oleh pemerintah dan/atau masyarakat yang
mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan produk. 80Kemudian dibentuknya auditor halal yang
diangkat dan diberhentikan oleh LPH.bertugas: 81
1. Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
2. Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
3. Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
4. Meneliti lokasi Produk;
5. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
6. Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
7. Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
8. Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Peran serta masyarakat dalam membentuk jaminan produk halal adalah dapat
berupa melakukan sosialisasi mengenai Jaminan produk halal, mengawasi Produk dan
Produk Halal yang beredar dapat berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.82

3.2. Ketentuan Sanksi Administratif
Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or
coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a
sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang
dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang. Sedangkan pengertian
sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan (tindakan atau
hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undangundang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya); tindakan (mengenai
perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara hukum; a imbalan negatif,
berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b imbalan positif,
yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum. Menurut Hans Kelsen,
80

Pasal 12 UU JPH
Pasal 15 UU JPH
82
Pasal 53 UU JPH
81

Universitas Sumatera Utara

48

sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif masyarakat atas tingkah laku manusia
(fakta sosial) yang mengganggu masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan
Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari
kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga
tingkah laku sosial tertentu.Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk
menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal
tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun
norma itu harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya. 83
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat
hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi
Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum
administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik
(publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving). 84
Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu: 85
a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi
semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom;
b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada
seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;
c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang
diterbitkan

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari
tujuan pengenaan sanksi itu sendiri.Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan
pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan
memberi hukuman berupa nestapa.Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan
pelanggaran itu dihentikan.Sifat sanksi adalah reparatoir artinya memulihkan pada
83

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Jakarta :Kencana
Prenada Media Group, 2007, hlm. 84
84
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2006, hlm. 315
85
Ibid, hlm. 319

Universitas Sumatera Utara

49

keadaan semula.Di samping itu perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi
administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi adminitrasi diterapkan oleh
pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi
pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses pengadilan. 86
Mengenai keharusan adanya keterangan atau label halal dalam suatu produk,
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Prodauk
Halal termasuk “produk” dalam Pasal 1 ayat (1) UU Produk Halal adalah barang
dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud
dengan dalam Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian produk halal adalah produk
yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
Terkait dengan kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) hanya mengatur bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label. 87
UU Jaminan Produk Halal telah mengatur secara jelas dalam Pasal 4 yakni
bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika produk yang dijual tersebut
adalah halal, maka wajib bersertifikat halal.
Ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan
sertifikat halal dan setelah memperoleh sertifikat tersebut. Pelaku usaha yang
mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:
a.

Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b.

Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan
tidak halal;

c.

Memiliki Penyelia Halal; dan

d.

Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (“BPJPH”).

86

Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X, Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 2008, hlm. 247
87
Pasal 8 ayat (1) huruf h UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

Universitas Sumatera Utara

50

Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:
a.

Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;

b.

Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;

c.

Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan
tidak halal;

d.

Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan

e.

Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Adapun sanksi administrasi terhadap Pelaku Usaha yang tidak melakukan

kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal, dikenai sanksi administratif berupa:
a.

Peringatan tertulis;

b.

Denda administratif; atau

c.

Pencabutan Sertifikat Halal.
Mengenai kewajiban mencantumkan label halal oleh pihak yang telah

mendapatkan sertifikat halal, perlu diketahui bahwa bentuk label halal ini ditetapkan
oleh BPJPH dan berlaku nasional.[8]
3.3. Ketentuan Sanksi Pidana dan Perdata
Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu1 , sedangkan
Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik. 88
Pasal 56 UU JPH menyebutkan ketentuan hukum pidana atas pelanggaran Jaminan
Produk Halal yakni Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah
memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Pasal 57 UU JPH Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang
tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:
88

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 81

Universitas Sumatera Utara

51

1.

Putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak
dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar
biaya perkara

2.

Putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan
yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan
menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang
menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa

3.

Putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu
ikatanperkawinan

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEPASTIAN HUKUM PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN HALAL
OLEH BERBAGAI LEMBAGA TERKAIT DI KOTA MEDAN
4.1. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sebagai Pemeran Utama Dalam Penerbitan
Sertifikat Halal
4.1.1 Sejarah Lahirnya MUI
MUI adalah sebuah lembaga yang mewadahi ulama zu’ama dan cendekiawan
Islam di Indonesia, untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin
serta menyatukan gerak dan langkah umat Islam di seluruh Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama. MUI berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriah
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta sebagai hasil pertemuan atau
musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru
tanah air, antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia
pada waktu itu, 10 orang ulama mewakili ormas Islam tingkat pusat, yaitu Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Wasliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan Al ittihadiyyah dan 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,
AD, AU, AL dan Polri serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh
perorangan. 89
Dari musyawarah tersebut dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk
wadah, tempat bermusyawarahnya para ulama dan cendekiawan muslim yang tertuang
dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh
Indonesia. 90

89

Latar
Kesejarahaan
MUI
di
Indonesia,
sumber
http://muidki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=109&Itemid=106, diakses pada
Tanggal 3 Agustus 2017.
90
Ibid.

52

Universitas Sumatera Utara

53

4.1.2. Peran dan Tugas MUI
Momentum berdirinya MUI bertepatan dengan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kembangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, dimana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik, kelompok dan kurang peduli
pada kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa
mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), maka mereka
terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI,
seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada jaman penjajahan dan perjuangan
kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang
sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan
moral serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan
hawa nafsu yang dapat melunturkan religiusitas masyarakat serta meremehkan peran
agama dalam kehidupan umat manusia.Selain itu kemajuan dan keragaman umat
Islam di Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan
kecenderungan aliran dan aspirasi politik sering mendatangkan kelemahan dan bahkan
dapat menjadi sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat
Islam dapat terjebak dalam egoism kelompok yang berlebihan.Oleh karena itu
kehadiran MUI makin dirasakan kebutuhannya, sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturahmi demi kebersamaan umat Islam. 91
Dalam perjalanannya Majelis Ulama Indonesia berusaha untuk memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT; memberikan nasehat dan fatwa mengenai
masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat;
meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar
umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjadi
penghubung antara ulama dan Pemerintah, dan menjadi penterjemah timbal balik
antara

umat

dan

Pemerintah

guna

mensukseskan

pembangunan

nasional;

meningkatkan hubungan dan kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada

91

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

54

masyarakat khususnya umat Islam dalam mengadakan konsultasi dan informasi timbal
balik. 92
Di dalam Pasal 3 Pedoman Dasar MUI yang disahkan Musyarawarah Nasional
(Munas) I pada 26 Juli 1975, disebutkan bahwa MUI bertujuan untuk turut serta
mewujudkan masyarakat yang aman sesuai dengan Pancasila, UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada Munas II, Pasal 3
Pedoman Dasar MUI tersebut telah disempurnakan menjadi: “MUI bertujuan ikut
serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan
jasmaniah sesuai dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diridhoi oleh Allah, SWT. Sedangkan pada
Munas III yang berlangsung pada 23 Juli 1985, Pasal 3 Pedoman Dasar MUI
disempurnakan menjadi: “MUI bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta
mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah
yang diridhoi ole Allah SWT dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila. 93
Tugas utama MUI adalah membina dan membimbing umat untuk
meningkatkan keimanan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, dalam usaha
untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, sedangkan
peran MUI sebagaimana dirumuskan oleh Munas I dalam Pedoman Dasar Pasal 4,
yaitu berperan untuk mengeluarkan fatwa dan nasihat kepada pemerintah dan umat
Islam dalam masalah yang berhubungan dengan masalah keagamaan dan
kemaslahatan bangsa, menjaga kesatuan umat, institusi representasi umat Islam dan
sebagai perantara yang mengharmonisasikan hubungan antara umat beragama. 94
4.1.3. Peran LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia)
Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara
agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak
babi di Indonesia pada tahun 1988.LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari
1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi
LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996
92

Ibid.
Ibid.
94
Ibid.
93

Universitas Sumatera Utara

55

ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen
Kesehatan dan MUI.
Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan
Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang
menguatkan

MUI

sebagai

lembaga

sertifikasi

halal

serta

melakukan

pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan
kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian
Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan
Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim
Semarang, serta Universitas Muslimin Indonesia Makasar. Sedangkan kerjsama
dengan lembaga telah terjalin dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin
Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion
(Blackberry).Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan
dalam pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di
Indonesia.
Kini, dalam usianya yang ke-28 tahun, LPPOM MUI semakin menunjukkan
eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal yang kredibel, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Sistem sertifikasi dan sistem jaminan halal yang dirancang
serta diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui bahkan juga diadopsi
oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini mencapai 42 lembaga
dari 23 negara. 95
Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan
Pangan Halal adalah sebagai pihak yang memberikan sertifikasi halal kepada
produsen sebagai syarat bagi produsen yang hendak melakukan pemeriksaan kepada
Lembaga Pemeriksa. Keharusan memperoleh sertifikasi halal dari MUI bagi produsen
sebatas terhadap produsen yang melakukan aktivitas produksi yang menggunakan
95

http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 , Diakses tanggal 3
Agustus 2017.

Universitas Sumatera Utara

56

bahan dari hewan. 96Akan tetapi, peran MUI menjadi lebih luas setelah dikeluarkannya
Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal. Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun
2001 MUI dinyatakan sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal, 97 yang
memiliki otoritas sebagai berikut: 98
1. Memeriksa dan /atau memverifikasi data pemohon,
2. Memeriksa proses produksi,
3. Memeriksa laboratorium,
4. Memeriksa pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk,
5. Memeriksa sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian, dan
6. Memproses dan menetapkansertifikasi halal.
4.1.4. Syarat dan Kreteria Produk Makanan dan Minuman Halal
Adapun Syarat produk makanan dan minuman halal untuk dikonsumsi sesuai dengan
perintah Allah SWT yang ketentuannya terdapat dalam Al-Qur’an antara lain :
a. Tidak mengandung bangkai hewan;
b. Tidak mengandung babi dan sejenisnya;
c. Tidak mengandung darah hewan;
d. Tidak mengandung binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah
SWT;
e. Tidak mengandung Khamer atau minuman yang memabukkan
f. Tidak mengandung hewan yang memakan binatang buas, seperti anjing,
kucing, harimau dan sebagainya;
g. Dan makanan dan minuman tersebut haruslah diproduksi dengan cara yang
bersih dan sesuai dengan ketentuan syariah
Selain syarat itu terdapat juga syarat yang menentukan produk pangan yang
halal dan baik diambil dari tenaga ahli yang berhubungan dengan bidang tersebut.
Contoh : bahan penolong yang digunakan pada produk makanan atau minuman
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menurut Al-Qur’an tumbuhan merupakan
makanan halal, tetapi menurut standar kesehatan ada beberapa tumbuhan-tumbuhan
96

Pasal 3 Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
97
Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal.
98
Pasal 2 Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal.

Universitas Sumatera Utara

57

yang tidak baik dikonsumsi untuk kesehatan, hal ini menjadi keterangan tambahan
untuk mengeluarkan sertifikat halal.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis di MUI Kota Medan, jumlah
pemohon produsen makanan dan minuman di Kota Medan ditunjukkan pada Gambar
4.1.

produsen makanan dan minuman
yang memohonkan untuk
menerbitkan sertifikat halal
di MUI kota medan
140
120
100
80
60
40
20
0

121
77
55

2015

2016

produsen makanan dan
minuman di kota medan
yang menerbitkan
sertifikat halal

2017

Gambar 4.1. Produsen Makanan dan Minuman yang Memohonkan untuk
Menerbitkan Sertifikatdi Kota Medan
4.1.5. Proses Sertifikasi Halal Produk Makanan dan Minuman
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi juga tidak memiliki wewenang
dalam pelabelan halal, seperti hasil wawancara dengan bapak Yanto Aprianto sebagai
kepala seksi Pengawasan Perdagangan beliau berpendapat bahwa “Klausal tidak
kesesuaian SNI terhadap barang dagang yang beredar di Indonesia, seperti minuman
mineral kemasan harus SNI, labeling penulisannya SNI dengan jelas, dan harus ada
nama produsen selaku pelaku usahanya, kesesuaian berat barang, berbahaya atau
tidaknya barang oleh konsumen, penyeleksian kerusakan barang, dan waktu
kadaluarsa yang jelas.” Beliau melanjutkan “Jika tidak berlabel menjamin kemutuan
produksinya maka tidak mengapa, karena Label halal itu sifatnya masih persuasif
belum merupakan wajib secara keseluruhannya.Sedangkan SNI wajib pada minuman
kemasan.” Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi (Disperindagkop) berpacu
pada UU Perlindungan Konsumen, pada bab IV tentang Perbuatan Yang Dilarang
Bagi Pelaku Usaha pada pasal 8 yang berbunyi :

Universitas Sumatera Utara

58

Pasal 8
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang
danatau jasa yang:
a. tidak

memenuhi

atau

tidak

sesuai

dengan

standar

yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak

sesuai

dengan

kondisi,

jaminan,

keistimewaan

atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang danatau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan
barang

dalam

bahasa

Indonesia

sesuai

dengan

ketentuan

perundangundangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

59

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Syarat atau standarisasi produk untuk dapat memberi label halal pada kemasan
produksinya menurut bapak Hasan Matsum selaku Wakil Ketua Umum MUI Kota
Medan berpendapat bahwa standarisasi label halal yaitu dengan mengecek bahan,
distribusi, pengolahan, penyimpanan, asal muasal pembelian. 99 Menurut penyusun
bahwa pemeriksaan halal dalam rangka sertifikasi halal dan pencantuman label halal
dilakukan secara bersama-sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) akan tetapi saat ini BPJPH baik di pusat maupun di daerah belum juga
ditentukan orang-orangnya maka, pemeriksaan dan atau menguji kehalalan produk
dilakukan oleh MUI padahal seharusnya dilakukan oleh auditor halal, kemudian
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menyerahkan produk kepda BPJPH dan penetapan
kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). Langkah yang ditempuh oleh
pemerintah dalam usaha melindungi konsumen pada produk makanan yang tidak
berlabel halal menurut bapak Hasan Matsum adalah pemerintah dalam melindungi
konsumen yaitu dengan diterbitkannya UU Konsumen, memiliki sertifikat halal dan
memiliki Sistem Jaminan Halal. 100
Adapun sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI Kota Medan sepanjang
tahun 2015-2017 dapat dilihat pada Gambar 4.2.

99

Hasil wawancara ada hari Rabu, 26 juli 2017 di Kantor MUI Kota Medan.
Ibid.

100

Universitas Sumatera Utara

60

Sertifikat halal yang telah
dikeluarkan MUI
120

110

112

100
80
60

49

40

produsen makanan dan
minuman termasuk
restaurant dan pelaku
usaha rumah potong
ayam

20
0
2015

2016

2017

Gambar 4.2. Sertifikat Halal yang Telah Dikeluarkan MUI
Bagi konsumen, manfaat memiliki sertifikat halal mempunyai beberapa fungsi,
yang pertama, untuk melindungi konsumen muslim dari mengkonsumsi pangan, obatobatan dan kosmetika yang tidak halal; kedua, secara kejiwaan perasaan hati dan batin
konsumen akan tenang; ketiga, mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan
akibat produk haram; dan keempat, akan memberikan kepastian dan perlindungan
hukum. Menurut pendapat penyusun bagi pelaku usaha maupun produsen jika
memiliki sertifikat halal dan mencantumkan label halal dari BPJPH maka akan lebih
banyak memiliki keuntungan, mengingat banyaknya jumlah pasar muslim di Kota
Medan pada khususnya sangatlah besar. Apabila suatu produk mencantumkan label
halal (Halal BPJPH) tanpa memiliki sertifikat halal dari BPJPH dapat dikategorikan
memalsukan atau melakukan penipuan terhadap konsumen dan dapat dituntut secara
hukum. Manfaat yang diperoleh bagi pelaku usaha yang memiliki sertifikat halal
mempunyai beberapa peran penting. Yangpertama, sebagai pertanggungjawaban
produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari
prinsip hidup muslim; kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen;
ketiga, meningkatkan citra dan daya saing perusahaan; dan keempat, sebagai alat
pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran, dan kelima, memberi

Universitas Sumatera Utara

61

keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet paroduksi dan
penjualan. 101
Berikut adalah alur proses sertidikasi halal oleh MUI, dapat dilihat pada
Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Alur Proses Sertifikasi Halal oleh MUI 102

101

Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label halal; Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas Agama,
Malang; Madani 2009, hlm. 31.
102
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1 diakses pada tanggal
7 Agustus 2017 pukul 15.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

62

Penetapan jaminan produk halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan sertifikasi halal. Sertifikasi halal dilakukan melalui langkah sebagai
berikut: 103
1. Pengajuan Permohonan
a. Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis
kepada BPJPH.
b. Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen:

1)

Data pelaku usaha; 2) Nama dan jenis produk; 3) Daftar produk dan
bahan yang digunakan; dan 4) Proses pengolahan produk.
2. Penetapan Lembaga Pemeriksaan Halal
a. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk
b. dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung
sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap.
3. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh
Auditor Halal.
b. Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat
proses produksi.
c. Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di
laboratorium.
d. Pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha,pelaku usaha wajib
memberikaninformasi kepada Auditor Halal.
4. Pengujian
a. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk kepada BPJPH.
b. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk.
5. Penetapan Kehalalan Produk
a. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
b. Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

103

Pasal 29-36 UU JPH

Universitas Sumatera Utara

63

c. Sidang

Fatwa

Halal

MUI

mengikutsertakan

pakar,

unsur

kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
d. Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian Produk dari BPJPH.
e. Keputusan penetapan halal produk ditandatangani oleh MUI.
f. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk
menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
6. Penerbitan Sertifikat Halal
a. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada produk yang
dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal paling
lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk
diterima dari MUI dan wajib dipublikasikan oleh BPJPH
b. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH
mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha
disertai dengan alasan.
Sedangkan pemeriksaan dari aspek syariah dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI, yaitu
salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan
ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang
sedang dihadapi umat Islam.Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh BPJPH yang
ditetapkan kehalalannya oleh MUI merupakan fatwa tertulis dari lembaga yang
memiliki kompetensi dalam memberikan fatwa. Pelaku Usaha yang telah memperoleh
Sertifikat Halal wajib mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat
sertifikat halal, menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal,
memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir,
melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH. 104Pelaku Usaha yang
memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan
dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.Pelaku usaha wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.Pelaku Usaha yang melanggar
dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, atau
104

Pasal 25 UU JPH

Universitas Sumatera Utara

64

pencabutan Sertifikat Halal. Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
mencantumkan label tidak halal bahwa produknya haram bagi umat muslim dikenai
sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, ataudenda administratif.
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan yang
sudah berlakumaka dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan
tertulis, atau pencabutan Sertifikat Halal.
Masa berlaku Sertifikasi halal Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun
sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi bahan.Sertifikat
halal wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat
Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal
berakhir. 105Sedangkan sertifikat halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu sertifikat
halal tersebut berakhir. 106 Untuk melindungi konsumen dan mencapa hal tersebut,
maka perlu diambil langkah-langkah dan kebijakan sebagai berikut:
a. Menyusun Undang-undang dan Ketentuan tentang sertifikasi dan lebelisasi
pangan halal.
b. Meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam sertifikasi dan
lebelisasi halal.
c. Menetapkan pedoman dan standarisasi untuk menunjang kelancaran proses
sertifikasi dan labelisasi halal.
d. Meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM
e. Memperbaiki/meningkatkan kualitas dan kapasitas laboratorium.
f. Meningkatkan koordinasi intern dan antar lembaga terkait/berwenang.
g. Melakukan sosialisasi dengan tiga sasaran utama pemerintah, pelaku usaha dan
masyarakat (konsumen).
h. Melakukan pengawasan sertifikasi dan labelisasi halal.
untuk pencantuman label halal yang sudah memiliki sertifikat halal BPJPH harus
melakukan pencantuman label halal ke BPJPH. Sehingga secara sederhana dapat
dikatakan bahwa BPJPH mengeluarkan surat/izin keamanan produk (thoyiban),
sedangkan MUI menetapkan surat/jaminan kehalalan produk kehalalannya, sehingga
dapat dipastikan merupakan produk yang aman dan sehat untuk digunakan dan
105
106

Pasal 42 UU JPH
Pasal 58 UU JPH

Universitas Sumatera Utara

65

dikonsumsi oleh masyarakat. Adapun upaya pemerintah dalam mengetahui status
kehalalan suatu produk kemasan yaitu dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Perhatikan pada kemasan apakah tercantum nomor MD (Makanan Dalam
negeri),

SP

(Sertifikat

Penyuluhan)

atau

ML

(Makanan

Luar

negeri).Keterangan: Peraturan pencantuman nomor MD/SP/ML sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 382 tahun 1989 tentang Pendaftaran
Makanan.
a. Nomor MD dikeluarkan oleh BPOM bagi perusahaan pangan skala
industri menengah dan besar. Nomor MD diberikan bila perusahaan
telah dievaluasi (assessment) dan dinyatakan bahwa produk yang
dikeluarkan memenuhi standar mutu dan aman dikonsumsi.
b. Nomor SP dikeluarkan oleh kantor wilayah Depkes di setiap propinsi
bagi industri pangan skala kecil (modal investasi di bawah 10 juta).
Nomor SP diberikan bila industri yang bersangkutan telah mengikuti
program penyuluhan yang diselenggarakan oleh Depkes.
c. Nomor ML diberikan kepada produk-produk impor yang akan
dipasarkan di Indonesia.
2. Selanjutnya perhatikan apakah sudah ada logo halalnya. Bila YA, maka
produk tersebut sudah dilakukan pemeriksaan kehalalan dan mendapat
sertifikat halal dari MUI, sehingga sudah terjamin kehalalannya.
3. Untuk produk yang memiliki nomor MD/SP/ML, tapi tidak ada label halal,
bisa berarti produk tersebut belum diperiksa kehalalannya atau sudah
mendapat sertifikat halal tetapi masih dalam proses pengajuan pencantuman
label halal di BPOM. Untuk kepastian apakah produk tersebut sudah
bersertifikat halal atau belum, silahkan merujuk pada daftar produk halal yang
dikeluarkan oleh LPPOM-MUI.
4. Bila ditemukan pada label kemasan ada label halal, tapi tidak ditemui nomor
registrasi MD/SP/ML, maka produk tersebut tidak dijamin halal dan label halal
yang tercantum adalah ilegal dan di luar tanggung jawab BPOM.
4.2. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Universitas Sumatera Utara

66

Gambar 4.4. Alur Proses Labelisasi Halal oleh BPOM
4.3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan
Sengketa Konsumen Produk Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur penyelesaian sengketa
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

67

Pasal 45
(1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaha
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum
(2) penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undangundang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penjelasan ayat (2)
“Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup
kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa.Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian
yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan
konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan
tidak bertentangan dengan undang-undang ini.”
Melalui ketentuan Pasal 45 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen dapat
diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:
a. melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku
usaha, atau
b. melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penunjukan peradilan umum ini, erat kaitannya dengan substansi pasal 48 UU
Perlindungan Konsumen tentang penyelesaian sengketa melalui pengadilan.Namun
yang menjadi persoalan adalah ketentuan pasal 45 ayat 1 mengenai penunjukan
“lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha”.Ketentuan ini kurang jelas “lembaga” penyelesaian sengketa mana yang
dimaksud.Apabila yang dimaksud adalah khusus tertuju pada Badan Penyelesaian
sengketa Konsumen, maka mengapa undang-undang tidak menunjuk langsung kepada

Universitas Sumatera Utara

68

badan ini. 107Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut
secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui peradilan
dalam lingkungan peradilan umum. 108
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain BPSK masih tetap
berlaku/ dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha jika bertolak pada Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dan
Penjelasannya. Dalam pasal ini hanya disebut penyelesaian sengketa melalui
pengadilan atau di luar pengadilan, tanpa menyebut bentuk dan cara penyelesaian di
luar penga