Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan (Studi Kasus Di Kota Medan)

(1)

KEDUDUKAN PEREMPUAN KARO DALAM MEMPEROLEH

HARTA WARISAN

(STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh

IMANTA IMMANUEL PERANGIN-ANGIN 077024018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEDUDUKAN PEREMPUAN KARO DALAM MEMPEROLEH

HARTA WARISAN

(STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMANTA IMMANUEL PERANGIN-ANGIN 077024018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul : KEDUDUKAN PEREMPUAN KARO DALAM MEMPEROLEH HARTA WARISAN (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

Nama : Imanta Immanuel Perangin-Angin

Nomor Pokok : 077024018

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska, M.Si) (Drs. Zulkifli Lubis, MA) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska, M.Si Anggota : Drs. Zulkifli Lubis, MA

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si Drs. Irfan, M.Si


(5)

PERNYATAAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN KARO DALAM MEMPEROLEH HARTA WARISAN

(STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh grlar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.

Medan, September 2009 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Masyarakat Suku Batak Karo yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal berpandangan bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya perkawinan dengan sistem uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. membawa akibat bahwa mempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur harus mengikuti suaminya, anak–anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klan ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan, harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami.

Penelitian tentang “Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan ” adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terungkap dari apa yang dinyatakan oleh informan baik secara lisan dan juga perilaku yang nyata, berkenaan dengan hukum dan nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Suku Batak Karo di lokasi penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yaitu melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan melihat hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku serta kenyataan yang terjadi di lapangan atau di masyarakat (law in society).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pembagian harta warisan, dimana hak anak laki-laki dan hak anak perempuan adalah sama, namun anak bungsu mendapat bagian yang lebih besar. Bagian ini diperoleh setelah diadakan pembagian warisan dengan hak yang sama maka terdapat kelebihan. Kelebihan ini yang kemudian diberikan kepada anak bungsu. Pembagian warisan seperti ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu adanya perlakuan yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dan adanya sistem hukum yang mengatur tentang persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam mewarisi harta orang tuanya. Perlakuan yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan pada penelitian ini adalah adanya kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, tanggung jawab dalam pembagian tugas dalam keluarga dan peran orang tua yang tidak terpaku pada sistem pembagian tugas, dimana ibu juga menjadi pencari nafkah dalam rumah tangga. Faktor lainnya yaitu sistem pembagian warisan menurut hukum yang berlaku hanya sebagai alternatif terakhir apabila tidak terdapat kesesuaian antara anak-anak dalam membagi warisan apabila hak anak perempuan tidak diakomodir, dalam hal ini apabila anak perempuan tidak berhak mewarisi harta orangtuanya.

Walaupun telah terjadi pembagian warisan dengan memberi hak yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan namun secara umum konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih perlu di perjuangkan. Kondisi ini akibat masih kuatnya pengaruh sistem budaya patrilieal yang ada di masyarakat, khususnya masyarakat Suku Batak Karo


(7)

ABSTRACT

Karo Batak society is patrilineal kinship systems embrace the view that only boys are able to continue his father's clan and the only son too, who was heir and received the same portion. This is caused by a marriage with an honest money system of the man's family to the woman's family. carried by the bride after marriage and after being paid honest money should follow her husband, the children are then born of the marriage would follow his father's clan, and only boys can continue the descent and receive inheritance, property acquired during marriage in the husband's.

Research on "Status of Women in obtaining inheritance " is a descriptive study of qualitative nature. Descriptive say because of this research is expected to obtain an overall picture of the symptoms and facts revealed by what is stated by the informants whether oral and actual behavior, with regard to law and values live in the midst of Karo Batak communities in locations research. The approach used is the juridical sociological approach to the problem by looking at the laws and regulations in force and the fact that happened in the field or in the community (law in society).

The results showed that the distribution of the estate there, where the rights of boys and girls rights are the same, but the younger son got a bigger part. This section obtained after the estate was held with the same rights then there is excess. This excess is then given to the youngest child. Such inheritance is caused by two factors, namely the equal treatment between boys and girls and the legal system governing the equality between boys and girls in parents inherited the property. Equal treatment of boys and girls in this study is the existence of equal rights in education, responsibility in the division of tasks within the family and parenthood are not fixed on the task distribution system, where the mother is also a breadwinner in the household . Another factor is the distribution system of inheritance by law only as a last alternative when there is no correspondence between the children in shared inheritance rights of children when women are not accommodated, in this case if the girls have no right to inherit parents' property.

Despite the division of inheritance by giving equal rights of boys and girls but in general the concept of equality between men and women still need to strive for. This condition is due to still strong influence patrilieal cultural systems in society, especially the Batak Karo Tribe


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “KEDUDUKAN PEREMPUAN KARO DALAM MEMPEROLEH HARTA WARISAN (STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)” syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung membimbing penulisan tesis ini, maupun secara tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DSAK, DTMH Sp.A.(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. .Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan dan Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Drs. Agus Suriadi, M.Si., sebagai Sekretaris Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 4. Dr. Fikarwin Zuska, M.Si sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

5. Drs. Zulkifli Lubis, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan kesabarannya, memberikan bimbingan kepada penulis.

6. Seluruh Dosen dan staf di Program Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu baik dibidang Akademik maupun administratif.


(9)

7. Seluruh rekan-rekan seperjuangan angkatan XII MSP, atas dukungan dan kerjasamanya, mudah-mudahan kita semua akan sukses, amin.

8. Bapak Prof. Ir. Frans Umbu Datta. M.App, Sc.PhD selaku Rektor Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan izin tugas belajar kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan pada Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan.

9. Seluruh informan yang banyak memberikan bantuan sehingga penelitian inidapat terlaksana dengan baik.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda D.Perangin-Angin dan Ibunda R br Sinuraya, yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada kakak dan adik-adik penulis tercinta, atas motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.

Medan, September 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Imanta Immanuel Perangin-Angin Tempat/ Tgl. Lahir : Bukit Tinggi, 14 Agustus 1974

Alamat : Jln. Sembada XV no 5 Koserna, Medan

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Kawin

II. Orang Tua

Nama Ayah : D. Perangin-Angin Ibu : R br Sinuraya

III. Pendidikan

1. SD Negeri 064024 Kota Medan Tahun 1981 – 1987 2. SMP Negeri 8 Kota Medan Tahun 1987 – 1990 3. SMU PKMI I Medan Tahun 1990 – 1993 4. S-1 FISIP Universitas Sumatera Utara Tahun 1993 – 1999 5. S-2 Magister Studi Pembangunan FISIP

Universitas Sumatera Utara Tahun 2007 – 2009.

Medan, September 2009 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR……….. ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan ... 14

2.1.1. Kedudukan Perempuan Terhadap Warisan dalam Pandangan Pengadilan ... 14

2.1.1.1. Kedudukan perempuan ditinjau dari Sistem Waris KUH Perdata ... 14

2.1.1.2. Kedudukan perempuan dalam Sistem Hukum Waris Islam ... 15

2.1.2. Kedudukaan Perempuan dalam Hukum Waris Adat... 16

2.1.3. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan Adat 18 2.1.3.1. Sistem Pewarisan yang berlaku pada masyarakat Karo... 22

2.2. Pandangan Umum tentang Gender ... 24

2.2.1. Pengertian Gender ... 24

2.2.2. Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia ... 28

2.2.3. Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Anak Laki-laki dan Perempuan di dalam Keluarga ... 36

2.2.3.1. Menurut UU No.1 tahun 1974... 37

2.2.3.1.1. Pengertian perkawinan... 37

2.3.1.1.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan ... 39

2.2.3.2. Menurut hukum perkawinan adat Karo... 43

2.2.3.2.1. Pengertian perkawinan... 43

2.2.3.2.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan pada masyarakat Karo ... 48


(12)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 56

3.1. Deskripsi Penelitian ... 56

3.2. Defenisi Konsep... 56

3.3. Lokasi Penelitian... 59

3.4. Informan... 60

3.5. Tehnik Pengimpulan Data... 61

3.6. Metode Analisa Data... 63

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65

4.1. Hasil Penelitian ... 65

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 65

4.1.2. Gambaran Umum Masyarakat Karo ... 66

4.1.2.1.Asal-usul suku Batak Karo ... 66

4.1.2.2. Identitas dan sifat-sifat suku Batak Karo... 68

4.1.2.3. Masyarakat hukum?persekutuan hukum ... 70

4.1.2.4. Susunan kekerabatan ... 72

4.1.2.5. Konsepsi Gender Perempuan Dalam Budaya Suku Batak Karo ... 79

4.2. Pembahasan... 81

4.2.1. Kedudukan Perempuan Suku Batak Karo dalam Pembagian Harta Warisan ... 81

BAB V. PENUTUP... 117

5.1. Kesimpulan ... 117

5.2. Saran ... 120


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Identitas Informan ... 84 2. Pandangan Mengenai Hak Anak Laki-laki dan Perempuan.. 96 3. Penjualan Warisan... 103 4. Perubahan Hubungan Gender pada Kasus Keluarga di Kota


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Bagan Sejarah Merga Menurut Sempa Sitepu ... 74 2. Structure of Kade-kade Categories (Masri Singarimbun

1975: 97) ... 77


(15)

ABSTRAK

Masyarakat Suku Batak Karo yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal berpandangan bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya perkawinan dengan sistem uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. membawa akibat bahwa mempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur harus mengikuti suaminya, anak–anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klan ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan, harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami.

Penelitian tentang “Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan ” adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terungkap dari apa yang dinyatakan oleh informan baik secara lisan dan juga perilaku yang nyata, berkenaan dengan hukum dan nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Suku Batak Karo di lokasi penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yaitu melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan melihat hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku serta kenyataan yang terjadi di lapangan atau di masyarakat (law in society).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pembagian harta warisan, dimana hak anak laki-laki dan hak anak perempuan adalah sama, namun anak bungsu mendapat bagian yang lebih besar. Bagian ini diperoleh setelah diadakan pembagian warisan dengan hak yang sama maka terdapat kelebihan. Kelebihan ini yang kemudian diberikan kepada anak bungsu. Pembagian warisan seperti ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu adanya perlakuan yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dan adanya sistem hukum yang mengatur tentang persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam mewarisi harta orang tuanya. Perlakuan yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan pada penelitian ini adalah adanya kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, tanggung jawab dalam pembagian tugas dalam keluarga dan peran orang tua yang tidak terpaku pada sistem pembagian tugas, dimana ibu juga menjadi pencari nafkah dalam rumah tangga. Faktor lainnya yaitu sistem pembagian warisan menurut hukum yang berlaku hanya sebagai alternatif terakhir apabila tidak terdapat kesesuaian antara anak-anak dalam membagi warisan apabila hak anak perempuan tidak diakomodir, dalam hal ini apabila anak perempuan tidak berhak mewarisi harta orangtuanya.

Walaupun telah terjadi pembagian warisan dengan memberi hak yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan namun secara umum konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih perlu di perjuangkan. Kondisi ini akibat masih kuatnya pengaruh sistem budaya patrilieal yang ada di masyarakat, khususnya masyarakat Suku Batak Karo


(16)

ABSTRACT

Karo Batak society is patrilineal kinship systems embrace the view that only boys are able to continue his father's clan and the only son too, who was heir and received the same portion. This is caused by a marriage with an honest money system of the man's family to the woman's family. carried by the bride after marriage and after being paid honest money should follow her husband, the children are then born of the marriage would follow his father's clan, and only boys can continue the descent and receive inheritance, property acquired during marriage in the husband's.

Research on "Status of Women in obtaining inheritance " is a descriptive study of qualitative nature. Descriptive say because of this research is expected to obtain an overall picture of the symptoms and facts revealed by what is stated by the informants whether oral and actual behavior, with regard to law and values live in the midst of Karo Batak communities in locations research. The approach used is the juridical sociological approach to the problem by looking at the laws and regulations in force and the fact that happened in the field or in the community (law in society).

The results showed that the distribution of the estate there, where the rights of boys and girls rights are the same, but the younger son got a bigger part. This section obtained after the estate was held with the same rights then there is excess. This excess is then given to the youngest child. Such inheritance is caused by two factors, namely the equal treatment between boys and girls and the legal system governing the equality between boys and girls in parents inherited the property. Equal treatment of boys and girls in this study is the existence of equal rights in education, responsibility in the division of tasks within the family and parenthood are not fixed on the task distribution system, where the mother is also a breadwinner in the household . Another factor is the distribution system of inheritance by law only as a last alternative when there is no correspondence between the children in shared inheritance rights of children when women are not accommodated, in this case if the girls have no right to inherit parents' property.

Despite the division of inheritance by giving equal rights of boys and girls but in general the concept of equality between men and women still need to strive for. This condition is due to still strong influence patrilieal cultural systems in society, especially the Batak Karo Tribe


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang telah dianut dan di implementasikan dalam kehidupan masyarakat tersebut sampai saat ini, antara lain adalah bahwa hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian yang sama. Masyarakat Karo sangat membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam struktur sosialnya. Pembedaan terhadap laki-laki dan perempuan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Karo.

Hal ini sebenarnya disebabkan oleh adanya perkawinan dengan sistem uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Djaja S Meliala (1979:30) Mengatakan : Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa : Mempelai wanita setelah menikah dan setelah dibayar uang jujur harus mengikuti suaminya. Anak–anak yang kemudian lahir dari


(18)

perkawinan akan mengikuti klan ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan. Harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami.

Dengan sistem kekeluargaan patrilineal yamg di anut masyarakat Karo, di mana hanya anak laki-laki yang menjadi penerus garis keturunan dari orang tuanya maka hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Atas alasan itu pula maka perempuan di dalam adat masyarakat karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris. Bagaimanakah kedudukan perempuan Karo dalam memperoleh harta warisan pada saat ini apabila nilai budaya masyarakat Karo menyatakan bahwa anak perempuan bukan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya. Hal inilah yang menjadi permasalahan utama pada penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa pada satu keluarga Karo yang berdomisili di kota Medan, terjadi pembagian warisan yang tidak berpedoman kepada Hukum Waris Adat Karo ataupun positif, yaitu Keputusan Mahkamah Agung No.179/K/Sip 1961. Faktanya adalah bahwa terjadi pembagian warisan dimana anak laki-laki dan anak perempuan mendapat hak atau bagian yang sama, sedangkan anak bungsu mendapat hak yang lebih besar dari saudara saudaranya. Fakta inilah yang akan dibahas dengan memperhatikan hasil penelitian lapangan yang ternyata menyebutkan pembagian warisan seperti itu disebabkan oleh adanya perlakuan yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dan adanya sistem hukum yang


(19)

mengatur tentang persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam mewarisi harta orang tuanya.

Perlakuan yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan dan persamaan hak dalam mewarisi harta orang tua ini merupakan suatu bentuk konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender ini pada dasarnya memperhatikan bagaimana terciptanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat tanpa melihat pembedaan secara sexual yang memang tidak dapat dipertukarkan.

Pada kebudayaan Suku Batak Karo, konsep kesetaraan gender umumnya masih memperlihatkan suatu keadaan dimana perempuan masih menduduki posisi yang termajinalkan, tersubordinasi yaitu dalam hal warisan, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian/Tesis Mberguh Sembiring (2003:49) dengan judul Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1961 (Studi di Desa Lingga) yang mengatakan:

Bahwa pada asasnya dalam susunan masyarakat Batak Karo yang mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga pemberian yang dimaksud tergantung pada kemampuan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah Agung tersebut dengan jelas mengatakan: bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Istilah “gender” berasal dari bahasa Inggris dan di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender,


(20)

perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender merupakan perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti (2000) mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah oleh masyarakat sendiri, oleh karena itu, sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing (Fakih, 1996:8).

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Hubungan yang sub-ordinasi tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang sub-ordinasi tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan lain-lainnya. Subordinasi akibat gender terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari


(21)

waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga (Fakih, 1996:15-16). Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis karena mereka beranggapan bahwa perempuan selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum femins berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang sub-ordinasi tersebut. Feminis berasal dari suatu paham yang disebut Feminisme yang merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya di tindas dan di eksploitasi (Fakih, 1996:79).

Di Indonesia sebenarnya perjuangan untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dilakukan oleh R.A. Kartini jauh sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat pada Pasal 27:(1) dan (2) UUD 1945. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebagai hukum tertulis), kedudukan setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan adalah sama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.


(22)

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan Pasal 27 UUD’45 tersebut sejalan dengan makna sila kedua dari Pancasila (Sila kemanusiaan yang adil dan beradab) yaitu mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia (Burhanuddin, 1998:80).

Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 27 UUD’45 tersebut, pelaksanaan pembangunan hukum nasional dilandasi oleh tiga wawasan yaitu wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan Bhineka Tunggal Ika yang mengacu kepada satu tujuan pembangunan hukum nasional yaitu adanya unifikasi hukum di seluruh kepulauan Indonesia. Ketiga wawasan pembangunan hukum ini harus dilihat sebagai satu wawasan pembangunan hukum nasional yang terpadu yang dapat membantu mempercepat terwujudnya sistem Hukum Nasional (BPHN, 18-19).

Selanjutnya jika ditinjau dari sudut hukum dan Undang-Undang telah dijamin oleh UUD’45 yang dimuat dalam Pasal 27 bahwa perempuan Indonesia tidak mempunyai kendala, karena begitu Indonesia merdeka perempuan Indonesia telah menerima hak-haknya yang penuh sebagai warga negara yang utuh. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Sekarang ini di Indonesia telah lahir pula undang-undang baru tentang Hak Asasi Manusia pada tanggal 23 September 1999, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dengan undang-undang ini maka Komnas HAM yang selama ini


(23)

menangani masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, melainkan mengacu pada undang-undang tersebut. Undang-Undang HAM yang disetujui oleh DPR ini lebih menjamin hak perempuan. Hal ini terangkum dalam perlunya keterwakilan perempuan, baik dibidang eksekutif, legislatif maupun judikatif. Perempuan mempunyai hak menentukan status kewarganegaraannya sendiri. Kaum perempuan dijamin pula haknya dalam dunia pekerjaan, jabatan, serta profesi sesuai dengan persyaratan dan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian pula, pemerintah melalui badan legislatifnya telah banyak mengeluarkan peraturan yang pada prinsipnya mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu di antaranya adalah UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan. Dalam pasal 31 dari Undang-Undang tersebut ditentukan:

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Keselurahann peraturan dan perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa posisi kaum perempuan tidaklah bisa dikesampingkan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara. Tidak ada lagi perbedaan hak dan kedudukan antara seorang perempuan dan laki-laki. Masing-masing pihak dapat


(24)

bertindak sendiri-sendiri dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, termasuk dalam hal pembuatan keputusan dalam keluarga (Hidayat, 1999).

Sebagaimana diketahui, masyarakat adat di Indonesia dapat dibedakan dalam 3 kelompok sistem kekerabatan (kelompok persekutuan hukum), yaitu berdasarkan (Wignyodipuro, 1982:79) :

(1) Geneologis

Yaitu persekutuan hukum karena ikatan hubungan darah yang dekat. (2) Teritorial

Yaitu persekutuan hukum berdasarkan kesamaan tempat tinggal. (3) Geneologis Territorial

yaitu persekutuan hukum berdasarkan keterpaduan-keterpaduan dua komponen tersebut.

Persekutuan hukum Geneologis itu dibedakan lagi kedalam 3 bentuk pertalian darah, yaitu (Wignyodipuro, 1982:79) :

1. Pertalian darah menurut garis bapak atau patrilineal, seperti pada suku Batak (termasuk Karo, Simalungun, Nias)

2. Pertalian darah menurut garis ibu atau matrilineal, seperti di Minangkabau.

3. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak atau parental, seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan Melayu.


(25)

Adanya perbedaan persekutuan geneologis menyebabkan timbulnya hubungan kekerabatan yang menjadi faktor penting berkaitan dengan masalah perkawinan yang termasuk di dalamnya hubungan antara suami dan isteri serta pembagian warisan dalam keluarga.

Pada masyarakat patrilineal dikenal bentuk perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang diawali dengan adanya pembayaran uang dan barang dari kelompok kerabat laki-laki kepada kelompok kerabat perempuan, dengan tujuan untuk memasukkan perempuan kedalam bahagian klen suaminya. Dengan demikian, anak-anak yang kelak dilahirkan akan menjadi pelanjut garis keturunan dari kerabat ayahnya (Sudiyat,1981: 90-91).

Oleh karena itulah pada masyarakat patrilineal (paham ini dianut masyarakat Suku Batak Karo) yang menarik garis keturunan menurut garis bapak menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan perempuan terutama dalam hal pembagian harta warisan di dalam keluarga. Hal ini didasarkan atas ketentuan bahwa setelah isteri berada dipihak klan si suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya, harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan (Hadikusuma, 1995:73).

Otonomi perempuan dalam kehidupan rumah tangga perlu dipertanyakan; dalam aktivitas apa saja perempuan dapat menempatkan dirinya sebagai faktor


(26)

penentu atau pengambilan keputusan. Perempuan hampir tidak memiliki hak dan perlindungan hukum, dimana perempuan selalu di anggap sebagai makhluk yang lemah dan kelas rendah. Kondisi ini membuat kedudukan perempuan selalu ada pada sub–ordonansi pria (Sjahrir, 1991:20)

Salah satu sisi yang menempatkan kedudukan perempuan lebih lemah dari laki-laki disebabkan oleh sistim kekeluargaan patrilineal. Dimana sistim kekeluargaan ini telah melahirkan sistim kekeluargaan patrilineal genealogis yang menyebutkan bahwa kemampuan untuk melanjutkan keturunan hanya terbatas pada laki-laki. Peran perempuan hanya sekedar menjadi ibu yang berfungsi sebagai wadah benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak untuk dilahirkan. Oleh karena itu anak yang dilahirkan tersebut bukan miliknya tetapi menjadi anak suaminya serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ikatan kekerabatan suami secara genealogis.

Hal itu sejalan dengan pendapat dari IC Vergowen dalam Harahap (1975:114) yang menyatakan bahwa hak waris adalah hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki (male line). Alasan filosofisnya adalah karena lelaki sebagai pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan laki-laki galur bapak. Kehidupan dunia para leluhur yang sudah mati dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Keturunan laki-laki melakukan pemujaan dan mengurus arwah mereka dalam kerajaan semangat, pasang surut kemakmuran dan kemiskinan yang menimpa


(27)

ditentukan oleh pemujaan dan penghormatan turunan laki terhadap leluhur laki-laki (Harahap, 1997:114-115).

Konsekwensi asas patrilinel ini telah melahirkan sistem kewarisan yang ditegakkan dengan prinsip bahwa anak laki-laki jauh lebih utama dari anak perempuan, harta warisan harus dipertahankan keutuhannya di tangan anak laki-laki dan harta warisan tersebut tidak boleh berpindah kepada keluarga lain atas dasar perkawinan. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris yang syah sementara anak perempuan tidak berhak atas harta warisan orang tuanya.

Dalam Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa masyarakat Karo adalah masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya. Kekentalan itu semakin terlihat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya seperti dalam hal proses perkawinan, waris, dan lain-lain (Panitia Kongres Kebudayaan Karo, 1995:1).

Sehubungan dengan bentuk kekerabatan patrilineal dan sebagai konsekwensi dari perkawinan jujur, maka di dalam hukum adat Karo, yang dapat menjadi generasi penerus adalah hanya anak laki-laki saja. Tegasnya fungsi uang jujur ialah melepaskan wanita dari marga orang tuanya, dan dia masuk ke dalam marga suaminya. Akibatnya terhadap pelaksanaan semua kegiatan didalam keluarga maupun di luar keluarga didominasi oleh kaum laki-laki atau bapak.

Pada saat ini kemajuan pendidikan, teknologi, komunikasi, maupun akses di bidang ekonomi keluarga oleh pihak perempuan apakah mempunyai pengaruh


(28)

terhadap cara berpikir dan sikap serta kesadaran hukum masyarakat Karo atau bisa saja masih mengindikasikan bahwa sebenarnya masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya dan menganggap tidak aneh atau memandang hal tersebut di atas adalah wajar apabila terdapat “ketidakadilan gender’ karena telah tersosialisasi dalam diri perempuan dan laki-laki khususnya di Karo.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas akan dilakukan penelitian dengan judul “Kedudukan Perempuan Karo dalam Memperoleh Harta Warisan”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimanakah kedudukan perempuan karo dalam praktek pembagian harta warisan pada saat ini?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka target yang akan dicapai dengan penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui proses pembagian harta warisan yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat Karo


(29)

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang di hadapi perempuan dalam pembagian harta warisan di dalam rumah tangga dan masyarakat di Karo. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut : 1.4.1. Teoritis

1. Sebagai bahan informasi tentang data empiris mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bidang sosial budaya khususnya dalam bidang proses pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan.

2. Menambah khasanah kepustakaan. 1.4.2. Praktisi

Dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi para penegak hukum pada umumnya, maupun masyarakat Karo pada khususnya bahwa sudah tidak saatnya lagi untuk terlalu membedakan secara ekstrim tentang kedudukan pria dan wanita terutama dalam pembagian harta warisan sehingga ada komitmen untuk mencari solusi baru yang lebih bijaksana dan adil.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan

2.1.1 Kedudukan Perempuan Terhadap Warisan dalam Pandangan Pengadilan Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan perempuan terhadap warisan, maka dasarnya adalah aturan perundang-undangan positif (hukum positif) dan putusan pengadilan Sehubungan dengan itu untuk menjelaskan kedudukan perempuan terhadap warisan di Indonesia, maka kita harus melihat format hukum waris yang terdapat di Indonesia, menyusul kemudian seiap sistem yang terdapat dalam setiap format hukum waris yang di maksud.

2.1.1.1. Kedudukan perempuan ditinjau dari sistem waris KUH Perdata

Dalam sistem waris KUH Perdata, hubungan keahliwarisan di dasarkan kepada beberapa faktor, yaitu :

a) Faktor hubungan darah; yang menempatkan para kerabat menjadi ahli waris berdasarkan keturunan

b) Faktor perkawinan; yang menempatkan janda dan duda saling mewaris

c) Faktor testamen yang menempatkan seseorang sebagai ahli waris berdasarkan kehendak sepertiyang tertulis dalam testamen.

Memperhatikan patokan hubungan keahliwarisan yang di dasarkan pada keturunan, perkawinan dan testamen dan bila di hubungkan dengan ketentuan yang


(31)

mengatur hak dan kedudukan perempuan untuk mewarisi yang di atur dalamKUH Perdata, dapat di rinci sebagai berikut :

a. Hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalah sama

b. Janda sebagai istri behak mewarisi harta warisan mendiang suami (pasal 832 KUH Perdata)

2.1.1.2 Kedudukan perempuan dalam sistem Hukum Waris Islam

Pada sistem hukum waris Islam, ada kesamaan pengaturan dengan KUH Perdata, dimana :

a. Berdasarkan hubungan darah atau keturunan b. Berdasarkan hubungan ikatan perkawinan c. Berdasarkan wasiat

Kedudukan perempuan dalam Hukum Waris Islam sebagaimana yang telah di atur dalam Kompilasi Hukim Islam (KHI) yang ada adalah sebagai berikut :

a. Anak perempuan mempunyai hak dan kedudukan mewarisi harta peninggalan orang tua berdasarkan hubungan darah, yaitu dengan aturan :

a. Bersama dan bersekutu dengan anak laki-laki

b. Porsi anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan yaitu 2:1 (pasal 176 KHI)

c. Bila tidak ada anak laki-laki maka :

1. Yang ada hanya seorang anak perempuan maka mendapat 1/2 bagian 2. Bila lebih dari seorang maka mendapat 2/3 bagian

b. Janda adalah ahliwaris berdasarkan kepada ikatan perkawinan Furuddul Muqadarrah (jumlah/bahagian yang sudah tetap)

c. Ibu mewarisi harta warisan anak (pasal 178 KHI)

a. Dalah hal ini anak meninggalkan anak dan dua saudara atau lebih maka ibu mendapat 1/6 bagian

b. Bila anak tidak memiliki keturunan atau saudara yang lain maka ibu mendapat 1/3 bagian


(32)

c. Ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa setelah di ambil oleh janda atau duda si anak, di mana ibu mewarisi bersama ayah. (Harahap, 1975:138)

2.1.2. Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Adat

Pembahasan kedudukan perempuan dalam sistem hukum waris adat merujuk kepada putusan pengadilan, tidak mengenal lagi pembedaan nilai hukum waris berdasarkan kedudukan sosial. Terhadap semua lapisan masyarakat, mulai dari petani sampai kepada bangsawan, baik perempuan atu laki-laki di terapkan hukum waris yang sama. Hal ini dapat di lihat pada Keputusan Mahkamah Agung No 302/Sip/1960 tanggal 2 November 1960, di mana di sebutkan bahwa ”hukum adat di seluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda mewarisi harta asal suami. (Harahap, 1975:144)

Dengan demikian hukum waris adat baru telah mengaburkan bentuk-bentuk stelsel kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Yang paling kuat mendapat goncangan dan pegeseran adalah sistem patrilineal. Selama ini stelsel tersebut hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini kemudian dibalikkan oleh hukum waris adat baru yang memberi porsi yang hak dan kedudukan yang sama kepada kepada anak perempuan dan janda sebagai ahli waris dengan jumlah sama.

Paham dan pandangan yang menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris penuh harta orang tuanya, ditegaskan dalam Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 yang menyatakan : ”atas dasar rasa kemanusiaan dan keadilan umum


(33)

dan juga atas hakekat persamaan hak, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap warisan orang tuanya.”

Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 ini merobek kemapanan stelsel patrilineal ke arah stelsel parental parental yang berwawasan harmonisasi secara horizontal.

Ketentuan harmonisasi yang di atur ini kemudian membawa akibat : a) Telah menjadi standard hukum yang berbobot

b) Semua putusan pengadilan yang muncul kemudian telah menjadikan putusan tersebut sebagai rujukan secara nasional

c) Dengan demikian para hakim telah sepakat menegakkan asas terhadapnya dan terikat untuk mengikutinya.

Sedangkan perempuan yang berkedudukan sebagai janda berhak mewarisi harta bersama. Hal tersebut dapat di lihat kembali pada putusan Mahkamah Agung No 320/K/Sip/1958 yang berisikan: ”menurut hukum adat Tapanuli, pada zaman sekarang janda mewarisi harta pencaharian suami.”

Putusan ini di katakan sebagai titik awal lahirnya pengakuan adat hakdan kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama yang berwawasan nasional. Dengan demikian putusan tersebut sekaligus megkonstruksi lahirnya harta bersama yang di barengi dengan pemberian hak dan kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama tersebut.


(34)

2.1.3. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan Adat

Sistem pewarisan adat di Indonesia pada dasarnya di pengaruhi oleh susunan kekeluargaan masyarakat yang bersangkutan. Akibatnya adalah dimana pengertian warisan itu kemudian menimbulkan masalah-masalah sebagai berikut

1. Bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang pewaris dengan kekayaannya?

2. Hal ini di pengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si pewaris berada. Dalam masyarakat dengan sistem patrilineal, yamg menjadi ahli waris adalah hanya orang-orang yang di tarik dari garis keturunan laki-laki saja. Dalam masyarakat matrilineal yang berhak mewarisi adalah setiap orang yang ditarik dari garis keturunan perempuan saja. Sedangkan pada masyarakat parental yang paling berhak mewarisi adalah anak lak-laki dan anak perempuan (Notopura, 1981:16).

3. Bagaimana dan sampai di mana harus terdapat tali kekeluargaan antara pewaris dan ahli waris, agar kekayaan si pewaris dapat beralih kepada ahli waris?

4. Bagaimana dan sampai di mana wujud kekayaan yang beralih itu di pengaruhi oleh sifat kekeluargaan, dan di mana si pewaris dan ahli waris sama-sama berada?

Dari hal-hal tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa masalah warisan itu sangat erat hubungannya dengan sifat kekeluargaan.


(35)

Dalam masyarakat Indonesia, mengenai sistem kekeluargaan ini dapat di kelompokkan atas tiga bahagian, yaitu : Pertalian darah menurut garis ’bapak” (patrilineal) seperti yang terdapat pada Suku Batak, Nias dan Bali, Pertalian darah menurut garis ”Ibu” (matrilineal) seperti di Minangkabau dan Pertalian darah menurut garis “Ibu dan Bapak” (Parental) seperti yang terdapat pada Suku Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak (Prodjodikoro, 1973:86).

Untuk memahami masalah perwarisan, ketiga sistem kekeluargaan tersebut tidak dapat di pisahkan. Karena misanya dalam masyarakat patrilinealyang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang di tarikdari garis keturunan laki-laki saja. Contohnya di daerah Tapanuli yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki atau saudara laki-laki dari mendiang, sedangkan janda,anak perempauan dan cucu perempuan tidak lah sebagai ahli waris. Dalam masyarakat matrilineal yang berhak mewarisi adalah setiap orang yang di tarik dari garis perempuan saja. Sedangkan dalam masyarakat parental yang paling berhak mewarisi adalah anak perempuan dan anak laki-laki, apakah di tarik dari garis perempuan atau laki-laki. (Notopura, 1981:16)

Sesuai dengan perkembangan jaman, dimana keadaan masyarakat juga ikut berkembang maka masalah warisan di masing-masing sistem kekeluargaan juga mengalami perkembangan, misalnya

Pada suatu keluarga dengan sistem patrilineal pada Suku Batak, ketentuan hukum waris adatnya menyatakan bahwa pada prinsipnya hanya anak laki-laki sajayang mendapat harta warisan atau yang mewarisi harta orang tuanya. Namun ketentuan ini dalam praktek telah


(36)

di perlemah dengan adanya pemberian harta kepada anak perempuan yang di sebut ”Pauseang”. Seorang wanita tidak kawin dari Suku Batak dan tinggal di Pematang Siantar, dimana tinggal segala suku bangsa di Indonesia berhak melakukan tindakan hukum terhadap yang di peroleh dalam perkawinan. (Mahadi, 1980:5)

Dalam sebuah keluarga dengan sistem kekeluargaan yang matrilineal maka harta pencaharian seorang suami tidak di wariskan kepada anak-anaknya sendiri melainkan kepada saudara sekandung. Ketentuan adat ini di dalam adat Minangkabau telah mengalami perkembangan, misalnya ; seorang suami memiliki sejumlah harta peninggalan yang dalam hal ini pewaris dapat mengadakan koreksi sendiri terhadap hukum warisnya yaitu dengan jalan sebelum meninggal dunia ia sudah menghibahkan barang-barang dan harta pencahariannya kepada anak-anaknya.

Dalam suatu keluarga dengan sistem kekeluargaan parental, sebagai contoh keluarga di Jawa yang terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya. Apabila anak tertua seorang laki-laki, adalah suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah sebahagian dari harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian. Pada waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuwat gawe) sebagai dasar materil untuk kehidupannya setelah ia mentas.

Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan kawin, lazimnya pada waktu ia di kawinkan, orang tuanya memberikan ia sebidang tanah sebagai dasar materil bagi kahidupannya lebih lanjut setelah ia berdiri sendiri dengan suaminya sebagai suatu keluarga baru. Setelah pewaris meninggal, hibah-hibah yang telah di lakukan


(37)

akan di perhitungkan nantinya di dalam harta warisan ayah mereka yang akan beralih kepada ahliwaris.

Di dalam Hukum Adat Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan, yaitu : 1. Sistem kewarisan individuil

Ciri dari sistem ini adalah bahwa harta peninggalan dapat di bagi-bagi diantara para ahliwaris seperti yan terdapat pada masyarakat bilateral di Jawa. 2. Sistem kewarisan kolektif

Cirinya bahwa harta peninggalan itu di warisi oleh kelompok ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum. Dimana harta tersebut yang disebut pusaka tidak boleh di bagi-bagikan pemilikannya diantara apa ahliwaris dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya sajakepada mereka (hanya memiliki hak pakai seperti pada masyarakat Minangkabau)

3. Sistem Kewarisan Mayorat

Cirinya sebagian besar harta peninggalan diwarisi oleh seorang anak saja, seperti di Bali, dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki tertua.

Ketiga sistem pewarisan tersebut jika dihubungkan dengan sistem kekeluargaan kita dapat kita lihat bahwa sistem kewarisan itu tidak langsung menunjuk suatu bentuk susunan masyarakat tertentu. Karena suatu sistem pewarisan itu dapat di temukan dalam berbagai bentuk susunan masyarakat, yaitu :

1. Sistem kewarisan Mayorat (hak anak tertua) selain dijumpai pada masyarakat patrilineal di tanah Semendo Sumatera Selatan, juga terdapat di Kalimantan pada masyarakat parental Suku Dayak.

2. Sistem kewarisan kolektif, selain dijumpai pada masyarakat matrilineal di Minangkabau, dalam batas-batas tertentu dijumpai juga di Ambon dalam masyarakat patrilinel (yang di sebut “tanah dati”) dan juga di Minahasa dalam masyarakat bilateral (yang disebut tanah “wakesunterananak barang kelakeran”)


(38)

Sistem kekeluargaan masyarakat Suku Batak Karo adalah mayarakat yang menarik garis keturunan dari salahatu pihak saja yaitu dari pihak laki-laki. Dengan demikian masyarakat ini juga menganut stelsel kebapaan (patrilineal) di mana si anak meneruskan klan bapak. Ciri dari mayarakat Suku Batak Karo yang berasaskan stelsel kebapaan adalah bahwa anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian yang sama.

Mengenai sistem kekeluargaan mayarakat karo, Djaja S Meliala (1979:30) mengatakan : Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa :

1. Mempelai wanita setelah menikah dan setelah di bayar uang jujur harus mengikuti suaminya,

2. anak–anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klan ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan.

3. Harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami.

Dengan sitem kekeluargaan patrilineal yamg dianut Suku Batak

Karo, di mana hanya anak laki-laki yang menjadi penerus garis


(39)

mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Atas alasan itu pula maka

perempuan di dalam adat masyarakat karo sejak dahulu bukan

merupakan ahli waris.

Namun demikian, dalam prakteknya seorang perempuan Suku

Bqatak Karo tidak berarti tidak mendapat sama sekali kekayaan dari

orang tuanya. Seorang perempuan karo juga memperoleh bahagian dari

harta peninggalan orang tuanya. Anak perempuan mendapat hak yang di

sebut

Hak Buat-Buaten

atau hak pakai seumur hidupnya atas bagian

tanah dari harta peninggalan tersebut dan tidak dapat di wariskan.

Hak buat-buaten ini pada dasarnya di berikan kepada anak

perempuan pada saat pembagian harta warisan. Di samping itu

menurut kebiasaan dari masyarakat karo, pada saat anak perempuan

akan melangsungkan perkawinan atau pernikahan, maka orang tuanya

akan melengkapi perhiasan anak tersebut, seperti kalung, cincin,

gelang, anting-anting dan perhiasan lain. Pemberian inilah yang

menjadi hak milik anak perempuan. Kadangkala nilai dari pemberian ini

melebihi harga dari sebidang tanah. Pemberian yang dilakukan orang

tua terhadap anak perempuannya ini lazim di sebut dengan istilah

”pemere” yaitu pemberian yang di dasarkan kepada ”Keleng Ate”

(kasih sayang).


(40)

Dalam hal kedudukan janda pada masyarakat Karo, setelah

kematian suaminya adalah tetap merupakan bagian dari kerabat suami.

Dengan demikian si janda tetap berhak menikmati barang-barang

peninggalan suaminya sehingga ia terjamin kehidupannya dan tidak

terlantar. Teridah Bangun menyatakan bahwa kebiasaan dalam

masyarakat karo, seorang janda yang di tinggal mati suaminya dapat

memilih tiga kemungkinan, yaitu :

a)

Kawin lagi dengan saudara/kerabat suaminya (lakoman)

b)

Tetap tinggal menjanda dalam lingkungan keluarga suami

c)

Kawin lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini ia harus

mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada

saat ia kawin dahulu.

Karena sistem kekeluargaan patrilineal dan sistem perkawinan dengan membayar uang jujur inilah yang pada akhirnya menyebabkan di dalam hukum adat masyarakat karo hanya anak laki-laki meneruskan keturunan dan menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya.

2.2. Pandangan Umum tentang Gender

2.2.1. Pengertian Gender


(41)

Pada saat ini kata gender telah memasuki perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi pemerintah, non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya gender itu? Dari pengamatan, masih terjadi ketidak jelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan.

Gender difahami dengan cukup bervariasi. Dikatakan demikian, karena dalam realitas sosial memang kata gender ini banyak yang lari dari konsep semula. Misalnya saja, ketika orang menyebutkan gender, maka konotasi yang muncul adalah perempuan. Ada juga yang mengartikannya dengan jenis kelamin, sebagaimana yang dimaknai dalam kamus Bahasa Inggris

Sebenarnya, gender bukanlah perempuan, bukan pula jenis kelamin. Tetapi yang dimaksudkan dengan gender adalah sebuah konstruksi sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender dapat berubah dalam kurun waktu dan tempat. Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir. Kontruksi sosial budaya yang dibangun laki-laki dan perempuan secara tidak adil, di mana posisi perempuan selalu dilemahkan dengan berbagai macam aturan dan alasan. Di sinilah ketidakadilan itu muncul. Sehingga sejak berabad-abad yang lalu, nasib kaum perempuan masih saja tertindas. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah pada zaman revolusi hijau, dimana pada saat itu banyak kaum perempuan terpinggirkan


(42)

dari perannya sebagai pekerja di bidang pertanian, pelebelan negative (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu yang pada umumnya dilekatkan kepada perempuan, misalnya adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) (Fakih, 1999:73-74)

Begitu pandangan banyak para pakar gender. Gender kini disosialisasikan memang karena ada persoalan yang menghantam kaum perempuan. Barangkali itulah sebabnya kalau berbicara soal gender akan sangat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan.

Kosakata gender pertama kali disinggung oleh Ann Oakly (1972) untuk membedakan seks (jenis kelamin) secara biologis dan realitas konstruksi sosial budaya atau seks laki-laki dan perempuan. Menurut Oakley (1972) dalam “Sex, Gender and Society” merumuskan gender adalah “pembedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan, juga merupakan tingkah laku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat (socially constructed) melalui proses sosial dan budaya yang panjang (Fakih,1999:71).

Menurut Julia Cleves Mosse, Gender adalah: Seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim dan maskulin. Perangkat khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles “peran gender” kita.(Mosse, 1996:3) Selanjutnya Caplan 1987 dalam The Construction of


(43)

Sexualitas, menegaskan bahwa “perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis namun melalui proses sosial dan kultural” (Fakih, 1999:72) Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, misalnya tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan hanya membantu (Djohani, 1996:7).

Menurut Inpres (Instruksi Presiden) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarus utamaan Gender, gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat (Kelompok Kerja Convention Watch UI, 2003:72). Perubahan ini dapat ditandai dengan

banyaknya wanita pada saat ini yang bekerja di luar sektor domestik atau bahkan sebagai pencari nafkah utama pada keluarga.

Dari defenisi yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefenisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis (tidak bersifat kodrat) sedangkan jenis kelamin (sex) adalah perbedaan yang


(44)

bersifat biologis atau kodrat. Maka untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin).

Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Misalnya pula, zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat berbeda laki-laki lebih lemah dari perempuan. Ciri-ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1999:8-9). Dengan perkataan lain, gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seorang yang ia pelajari (Saparinah, 2000:4).

Hal yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan hanyalah kodrat biologis. Perempuan di negara dan suku manapun mempunyai alat reproduksi yaitu seperti rahim, mempunyai vagina, mengalami menstruasi, dapat hamil, melahirkan serta menyusui. Sedangkan laki-laki kodrat biologisnya adalah memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma yang dapat membuahi sel telur perempuan. Fakta biologis inilah yang dimaksud sebagai “kodrati” atau suatu konstruks


(45)

(bangunan) yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain (antara laki-laki dan perempuan).

2.2.2 Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia

Kedudukan dan posisi kaum perempuan dan laki-laki secara teoritis dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu :

Pertama, bila dilihat secara biologis, perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin (seks) yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial (social role) yang diperankan oleh kedua pihak. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil (diskriminasi) dalam menentukan peran dan posisinya dibandingkan kaum laki-laki.

Kedua, bila dilihat secara budaya (culture), yaitu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikonstruksikan mempunyai atau kedudukan bukan disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial (Social Construct) yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan, hak dan tanggung jawab, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada (Akbar, 2000).


(46)

Diakui atau tidak, bahwa selama ini banyak ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini bukanlah persoalan yang disebut mengada-ada (Junis,19 Juni 2004:16). Persoalan itu bukan isu tetapi adalah sebuah realitas di masyarakat kita. Oleh karena itu, bila kita mau membuka mata dan juga hati kita, kita baru bisa melihat bagaimana realitas kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender.

Dengan membuka mata untuk melihat dan menganalisis masalah kaum perempuan berkaitan dengan peran sosialnya di dalam membangun kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan itu, maka sebenarnya sangat banyak persoalan yang menghimpit dan memarginalkan kaum perempuan selama ini. Dengan mencoba mengindentifikasi serta menganalisis realisasi kehidupan kaum perempuan di muka bumi ini, maka di sanalah kita menemukan bahwa selama ini perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Pandangan, perlakuan atau tindakan diskriminatif terhadap perempuan yang menghantam kaum perempuan selama berabad-abad ini telah membangkitkan kesadaran terutama kaum perempuan yang mulai terasa bahwa selama ini mereka ditindas. Ditindas secara sosial, budaya, agama dan lain-lain.

Penindasan itu berbentuk sebuah kontruksi sosial, pengkondisian yang melemahkan kaum perempuan di dalam masyarakat. Dengan pelemahan dan penindasan secara sosial, budaya, agama dan lain-lain, membuat posisi perempuan


(47)

dalam segala sektor kehidupan menjadi sangat terbatas. Keterbatasan ini sering dikatakan karena memang sudah kodratnya kaum perempuan. Sebagai contoh, kodrat kaum perempuan adalah mengurus suami, anak dan semua urusan rumah tangga. Kodrat laki-laki adalah sebagai kepala keluarga dan sebagainya. Inilah salah satu bentuk kontruksi sosial dan pengkondisian sosial yang memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan. Inilah yang disebut dengan persoalan gender.

Padahal, bila kita mau jujur dan ikhlas melihat hal-hal yang bernama kodrrat dan non kodrat, kita bakal berkata ternyata, yang membedakan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan hanyalah pada hal-hal yang kodrati yang memang tidak dapat dipertukarkan, seperti mengalami menstruasi (haid), melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sementara peran-peran sosial baik itu peran domestik (rumah tangga) maupun peran di sektor publik dapat dipertukarkan. Inilah apa yang disebut dengan ketidakadilan gender (gender injustice).

Ketidakadilan tersebut seperti masalah beban ganda (double burden) yang harus diemban oleh perempuan, penomorduaan (subordination) terhadap perempuan, pelebelan (stereotype), kekerasan (violence) serta marginalisasi (peminggiran) yang menyebabkan kemiskinan yang parah di kalangan kaum perempuan seperti yang terjadi pada zaman dimulainya revolusi hijau. Bentuk bentuk ketidakadilan ini hingga saat ini masih terus berlangsung. Kita bisa melihat realitas di sekitar kita. Kita bisa melihat bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil.


(48)

Ketidakadilan itu justru dipengaruhi oleh cara pandang, sikap dan perbuatan kita terhadap kaum perempuan dengan cara pelebelan dan sebagainya. Dan satu hal yang sangat sering mempurukkan perempuan ke dalam lembah yang melemahkan perempuan adalah karena persepsi kita tentang apa yang dikatakan kodrat dan non kodrati.

. Tersadar dari kondisi buruk yang melanda kaum perempuan, belakangan ini muncul sebuah keprihatinan yang melahirkan keinginan dan komitmen untuk memberdayakan dan menguatkan kaum perempuan, baik secara individu maupun dalam bentuk kelompok yang akhirnya membangun sebuah gerakan bersama.

Apabila dilihat pada tingkat global pada dasawarsa tahun 1990-an konsep gender dan pembangunan diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer.

Ciri-ciri utama wawasan gender dan pembangunan adalah sebagai berikut:

a. Wawasan gender dan pembangunan melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan secara holistik dan komprehensif, yaitu mengkaji bagaimana masyarakat terorganisir dalam hubungan gender dalam berbagai dimensinya, seperti dimensi ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan dan pembangunan dalam arti luas.

b. Wawasan gender dan pembangunan tidak hanya menaruh perhatian pada fungsi reproduksi perempuan, tetapi pada keterkaitan antara fungsi produksi (baik dalam rumah tangga maupun dalam pasar) dengan fungsi reproduksi biologis maupun sosial (pola arah).

c. Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah mengapa perempuan secara sistematik cenderung ditempatkan pada posisi lebih rendah atau sekunder dalam hubungan dependensi terhadap pria.

d. Karenanya wawasan gender dan pembangunan melihat peningkatan peranan perempuan sebagai upaya, mengubah hubungan gender yang selaras, seimbang dan serasi.

e. Sehubungan dengan itu, intervensi kebijaksanaan dalam meningkatkan peranan perempuan tidak hanya ditujukan kepada kebutuhan praktis perempuan yang berorientasi kepada kesejahteraan lahiriah semata-mata,


(49)

tetapi pada pemenuhan kebutuhan strategik gender perempuan, kebutuhan mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk memiliki akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Bainar dan Aichi Halik, 1999:15).

Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa bila hukum diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya, maka akan tercipta keadilan. Terdapat pula persepsi yang luas bahwa hukum mengatur hubungan-hubungan antar manusia secara adil dan tidak memihak. Bila hukum ditinjau melalui paradigma kritis maka persepsi arus umum (main stream) yang cukup lama bertahan tanpa digoyang-goyangkan ini akan dipertanyakan, malahan akan ditolak (Notosusanto,1997:176).

Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap kemampuannya dalam memimpin. Untuk itulah dalam usaha mencapai hukum yang adil dan menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hubungan kemanusiaan, perlu dilakukan upaya-upaya mempercepat kesetaraan gender di masyarakat kita.

Barus (2001:43) menyatakan bahwa berbicara mengenai pengakuan dan jaminan sebagai prinsip dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak dan kewajiban sebagai warganya di Indonesia secara hukum tertulis tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya perubahan atau penambahan (amandemen), dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam beberapa pasal-pasalnya mengandung prinsip :

a. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 :

Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

b. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 :


(50)

c. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. d. Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. e. Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

f. Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 : Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. g. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

h. Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan.

i. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita secara substantif diatur dalam Pasal 1-16. (Disingkat dengan CEDAW = Commission on the Elimination of All Types of Discrimination) yang mana setelah sepuluh tahun diratifikasi oleh Indonesia barulah sejumlah wanita yang terdiri dari para pengajar dan aktifitas sejumlah LSM perempuan membentuk kelompok kerja convention watch yang bertujuan untuk mensosialisasikan substansi dari konvensi wanita.

j. Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap wanita Tahun 1993.

k. Pasal 45 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.

Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi Manusia”. Yang maksudnya bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa adanya pengakuan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sebenarnya secara formal sudah mendapat pengakuan sejak lama.

l. GBHN 1978 yang mengandung 5 (lima) esensi pokok:

(1) Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang bangunan (prinsip kemitra sejajaran). (2) Adanya keselarasan dan keserasian tanggung jawab dan peranan perempuan


(51)

Amanat GBHN tentang pelaksanaan peran ganda perempuan secara selaras dan serasi secara implisit juga mengandung pengertian pembagian kerja dan tingkat kesejahteraan yang seimbang, akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan. (3) Partisipasi perempuan dalam pembangunan dan dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara mencakup semua faktor pembangunan dan semua aspek kehidupan (prinsip holistik/komprehensif).

(4) Tanggung jawab perempuan dalam membina anak balita, remaja, dan generasi muda (prinsip pendidik pertama dan utama).

(5) Perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan (prinsip pemberdayaan). m. GBHN 1983, terjadi perluasan esensi dalam peningkatan kedudukan dan peranan

perempuan yaitu dengan dicantumkannya tentang peranan perempuan dalam kesejahteraan keluarga antara lain melalui gerakan pembinaan kesejahteraan keluarga.

n. GBHN 1988, terjadi lagi perluasan dengan penambahan 2 (dua) esesi pokok, yaitu :

(1) Pengakuan terhadap kodrat perempuan yang seharusnya dilindungi serta harkat dan martabat perempuan yang perlu dijunjung tinggi.

(2) Perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang lebih menopang kemajuan perempuan.

o. GBHN 1988, terdapat essensi pokok yang sangat memperkuat posisi perempuan. Esensi baru dalam GBHN 1993 adalah :

(1) Kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan secara eksplisit disebutkan. (2) Pentingnya peranan orangtua (bukan semata-mata ibu) dalam pendidikan

anak.

(3) Pengembangan kemampuan dalam peningkatan penguasaan IPTEK oleh perempuan.

(4) Peran aktif perempuan dalam pengambilan keputusan.

(5) Peningkatan kemampuan perempuan dalam menghadapi perubahan-perubahan, baik dalam masyarakat maupun dunia internasional.

(6) Peningkatan keterampilan, produktifitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja perempuan.

(7) Peranan perempuan dalam menangani masalah sosial, ekonomi, yang diarahkan pada pemerataan pembangunan, pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan.

p. GBHN 1998 kembali menegaskan bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-laki, baik sebagai perencana dan pelaksanaan pembangunan maupun sebagai pengambil keputusan, perumus kebijaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangunan. Agar perempuan dapat memberi sumbangan sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa, kualitas dan kedudukan mereka dalam keluarga dan masyarakat harus ditingkatkan serta didukung oleh keluarga dan masyarakat itu sendiri.


(52)

q. GBHN 1999, mengenai kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa pemerintah atas nama negara harus berusaha menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan perundang-undangan yang berbasis gender. Apabila hal ini terlaksana tentunya membuktikan adanya keseriusan dalam menempatkan kedudukan dan peranan perempuan. Komitmen ini telah dapat diwujudkan dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalam Pasal 45 disebutkan “Hak Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia” Ketentuan ini menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan.

2.2.3. Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan

Perempuan di dalam Keluarga

Dalam kehidupan manusia, kita akan melihat kenyataan dimana dua orang yang berlainan kelamin yaitu laki-laki dan perempuan menjalani suatu kehidupan bersama dalam suatu kesatuan rumah tangga masing-masing yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai suami isteri. Untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga yang sehat dan keturunan yang sah dan terbentuk, maka perlulah hubungan tersebut diatur dengan perkawinan.

Dengan adanya perkawinan maka anak atau keturunan yang lahir darinya akan terpelihara karena ada yang bertanggung jawab yaitu orang tuanya yang sah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan inilah yang menjadi pangkal tolak terciptanya pergaulan dan masyarakat yang teratur.

Lebih lanjut Prawirohamidjoyo (1986:22) mengatakan sebagai berikut Dasar-dasar dari perkawinan itu dibentuk oleh unsur-unsur alam dari kehidupan itu sendiri: kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat, yang sempurna (berharga/volwaarding). Bentuk tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam, berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembaga/perantara.

2.2.3.1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 2.2.3.1.1. Pengertian perkawinan


(53)

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, arti dan tujuan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Harahap, 1975:249).

Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 perkawinan itu diartikan sebagai Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan “Ikatan lahir bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya.

Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan dengan suatu hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-isteri, dengan kata lain dapat disebut “hubungan formal”.Hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.

Sebaliknya, suatu “ikatan bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.

Hal ini seyogianya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam taraf permulaan untuk mengadakan perkawinan ikatan bathin ini diawali hidup bersama. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal (Saleh, 1980:14-15).

Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan perkawinan dengan cara cerai hidup hanya merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi (Sitepu, 1998:22).


(54)

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Hadikusuma (1984:88) memberikan pengertian tentang perkawinan adalah sebagai “ikatan dalam arti kenyataan tidak nyata antara pria dan wanita sebagai suami isteri untuk tujuan membentuk keluarga”.

Selanjutnya dilihat dari sudut pandang etnologi (culture antropologie), perkawinan dipandang sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat sedemikian rupa sehingga anak-anak yang dilahirkan oleh

si isteri adalah keturunan yang diakui dari kedua belah pihak” (Hamidjoyo, 1986:23)

Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap-tiap perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehidupan bahagia dalam suatu keluarga dapat dirasakan

apabila telah dicapai kesejahteraan lahir dan bathin. Keluarga sejahtera menurut Pasal 1 angka (11) Undang-Undang No. 1 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan menyatakan:

Keluarga sejahtera ialah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat serta lingkungan.

2.3.1.1.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan

Suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah menurut hukum akan menimbulkan berbagai akibat hukum.

Akibat hukum dari suatu perkawinan itu pada pokoknya menyangkut 3 hal penting, yaitu :

1) hubungan suami isteri;

2) hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terhadap hubungannya dengan kedua orang tuanya (ayah dan ibunya), serta seterusnya dengan kerabat ayah dan kerabat pihak ibunya;

3) mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Bagaimana akibat hukum suatu perkawinan terhadap 3 hal tersebut di atas, sangat tergantung dari sistem hukum mana hal itu ditinjau, karena


(55)

masing-masing sistem hukum berbeda-beda pengaturannya. Mengenai hal tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut :

ad.1) Mengenai hubungan suami dengan isteri dirumuskan dalam Bab VI dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang selengkapnya berbunyi:

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada hak dan kedudukan yang seimbang yang dibarengi dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Dalam pembinaan rumah tangga, berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 kepada suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) dibebani kewajiban moral untuk saling cinta mencintai dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, sebagai perwujudan dari hak dan kedudukan yang seimbang tersebut. Berdasarkan Pasal 32 angka (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, rumah tempat kediaman bersama tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama.

Dengan demikian maka dikatakan bahwa di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 berlaku suatu asas yaitu “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat demikian pula segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama.


(1)

berupa pandangan yang menyatakan anak laki-laki jauh lebih berharga dari anak perempuan sehingga anak laki-laki tersebut harus membawa harta warisan sebagai bekal hidupnya kelak setelah menikah.

Faktor hukum positif berupa Kep MA No 179/K/Sip 1961 belum menjadi penentu utama dalam pembagian warisan di masyarakat Karo. Kekuatan hukum ini hanya menjadi alternatif terakhir apabila terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan jumlah harta yang akan diwariskan. Sebab telah menjadi kebiasaan bahwa apabila tidak terjadi kesepakatan maka runggun menjadi alternatif pemecahannya. Terdapat nilai budaya pada masyarakat karo yang disebut dengan “Arih ersada muat simehuli” (mufakat untuk hal yang lebih baik) Ini merupakan suatu bentuk pembicaraan yang dilaksanakan dalam bentuk runggun guna memecahkan persoalan yang timbul, Hanya saja kesimpulan ini belumlah dapat dikatakan telah mencapai keberhasilan 100%, artinya untuk menentukan suatu keputusan di dalam keluarga dan masyarakat tidak menemukan hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan atau konflik itu selalu ada baik penyebabnya dari faktor biologis, faktor psikologi, faktor ekonomi maupun faktor sosial budaya. Kalaupun hambatan atau konflik itu ada tidak pernah sampai ke lembaga adat sehingga peran lembaga adat belum pernah dipergunakan. Biasanya bila terjadi pertentangan maka pihak-pihak yang bertikai lebih suka menyelesaikannya di lembaga pemerintahan yang memang mengurusi permasalahan yang sedang terjadi. Dalam hal ini pengadilan tentunya.

5.2. Saran

1. Walaupun informan telah mengetahui apa itu gender atau istilah gender sudah di mengerti oleh masyarakat di Kota Medan, namun dianggap masih perlu dilakukan pengsosialisasian masalah gender secara luas secepat mungkin agar konsep


(2)

pemerintah terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dapat terlaksana sesuai dengan yang dicanangkan.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kedudukan perempuan dalam pembagian warisan karena peneliti menganggap kesadaran kaum perempuan sendiri masih rendah. Hal itu di karenakan masih kuatnya pengaruh sistem kekerabatan patrilineal yang sangat membatasi hak dan kedudukan perempuan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Syamsiah, 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, Penerbit Obor, Jakarta. Bangun Tridah, 1996, Manusia Batak Karo, Cetakan Pertama, Inti Indayu, Jakarta.

Bainar dan Aichi Halik, 1991, Jagat Wanita Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia, PT. Pustaka Cidesindo Jakarta.

Bayu Sorioningrat, 1992, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, PT. Rineka Cipta Jakarta.

Barus Utary, 2001, Persinggungan Prinsip-prinsip Kesetaraan Hak-hak Politik Perempuan Dalam Prospektif Hak Islam dan Hukum Positip di Indonesia (Tinjaun Terhadap UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia). Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Tesis.

Burhanuddin Salam, ,1985, Filsafat Pancasila, Bina Aksara Jakarta. Daulay, Harmona, 2001, Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran, Galang Press, Jogjakarta.

Drummond, Helga, 1995, Pengambilan Keputusan Yang Efektif, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fakih Mansur, 1996, Analisa Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hadikusuma, Hilman, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV Mandar Maju Bandung.

_____, 1990, 1995, Hukum Perkawinan Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _____, 1994, Bahasa Hukum Adat, Alumni, Bandung.

Hafidz Wardah, 1995, Feminimisme; Agenda Baru Pemikiran Islam, Ulumul Quran No. 3


(4)

Harahap, M. Jahya, 1975, Pembahasan Undang-Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan.

Ginting, Perdana, 1989, Masyarakat Karo Dewasa Ini, Hasil Rumusan Sarasehan Budaya Karo.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, PT. Rineka Cipta, 1981

Notosusanto, Smita, et. al, 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, Yayasan Obar Indonesia, Jakarta.

Perangin-angin, L., 2004, Orang Karo Diantara Orang Batak, Pustaka Sora Mido, Jakarta.

Prawirohamidjojo, Soetojo, 1986, Pluralis Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

Purba, Rehngena, 1992, Runggun dan Fungsinya Menyelesaikan Masalah di Tanah Karo, Medan, (KPK UGM – USU)

_____, et al., 2002, Eksistensi Badan Perwakilan Desa Dalam Kaitannya Dengan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UU No. 22/99, Studi Kasus di Kabupaten Langkat.

_____, 1996, Runggun dan Sangkep Sitelu Serta Peranannya Dalam Menyelesaikan Masalah Di Tanah Karo.

Sadli, Saparinah, 2000, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung.

Saleh, Wantjik, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Saragih, Djaren, et al., , 1980, Hukum Perkawinan Adat Batak, Tarsito

Sitepu, Sempa, 1993, Sejarah Pijer Podi Adat Nggeluh Suhu Karo Indonesia, Forum Komunikasi Masyarakat Karo (FKMK) Sumatera Utara.

Sitepu, Runtung, Pemilikan dan Pemanfaatan Harta Bawaan Dalam Suatu Perkawinan Pada Masyarakat Karo Muslim (PPS – USU 1998).

.Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995).


(5)

Slaats, HMC-MK, Portier, 1981, Grodenrecht En Zijn Verweklukking in de Karo Batahse Dorpssamen lebing een beschrij vende Studies, Nijmegen.

Sudiyat, Iman, 1981, Hukum Adat, Sketsa Asas, Liberty, Jogyakarta.

Sadli, Saparina et al., 2000, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni Bandung.

Sunggono Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada.

T.O. Ihroni, et al, 1995, Kajian Wanita Dalam Pembangunan.

Usman, Datuk, ttp, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Permas Sumatera Utara, Medan.

Wignyodipuro, Surojo, 1982, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Gunung Agung Jakarta.

Makalah/Jurnal/Majalah/Surat Kabar/Kamus

Akbar, Faisal, Peningkatan Kualitas Peran Dan Kemandirian Organisasi Perempuan: Perspektif Otonomi Daerah, Makalah Seminar Nasional Peningkatan Kualitas dan Peran Kemandirian Organisasi Perempuan dan Integrasi Nasional, Medan, 2000.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Pembinaan Sistem Hukum Nasional Dan Pola Pikir Pembangunan Hukum, Departemen Kehakiman, Jakarta.

Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, 1999, Pengantar Teknik Analisis Gender.

Kelompok Kerja Convention Watch UI, 2003, Masalah Gender & Hukum, Materi Pendidikan dan Pelatihan Kerja Kejaksaan Agung Indonesia.

Lubis, Suwardi, Gender Dalam Keputusan Keluarga dan Masyarakat, Seminar Pembekalan Pendidikan Politik Bagi Perempuan: Agenda Khusus Implementasi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KGG) Menyongsong Pemilu 2004 yang diadakan Pusat Studi Wanita Universitas muhammadyah Sumut 21 Juni 2003.


(6)

Panitia Kongres Kebudayaan Karo, Adat Nggloh Karo Langkat, Makalah Dipaparkan pada Kongres Budaya Karo, Medan, 1995.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1999, Balai Pustaka, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, Jaminan Perlindungan Hak-hak Wanita Seminar

Implementasi Konvensi Penghapussan Segala Bentuk Deskriminasi Terhadap Wanita, Universitas 17 Agustus, oleh Pusat Studi Wanita, Semarang 11-12 Juli 1997.

Syarif, Hidayat, Jender dan Perencanaan Pembangunan, Makalah pada Rapat Kerja Nasional Pembangunan Peranan Wanita, 27-29 Juni 1999, Jakarta hlm. 1.

Tabrani Junis, “Gender di Sekolah Kita”, Harian Analisa tanggal 19 Juni 2004