Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tanaman Padi
Padi merupakan bahan makanan pokok sehari hari pada kebanyakan penduduk di
negara Indonesia. Padi dikenal sebagai sumber karbohidrat terutama pada bagian
endosperma, bagian lain daripada padi umumnya dikenal dengan bahan baku
industri, antara lain : minyak dari bagian kulit luar beras (katul), sekam sebagai
bahan bakar atau bahan pembuat kertas dan pupuk. Padi memiliki nilai tersendiri
bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat digantikan oleh bahan makanan
yang lain, oleh sebab itu padi disebut juga makanan energi (AAK, 1990).
Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan Gramineae, yang
mana ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi
bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak. Bibit yang hanya
sebatang saja ditanamkan dalam waktu yang sangat dekat, dimana terdapat 20-30
atau lebih anakan/tunas tunas baru (Siregar, 1981).
Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak
mengandung uap air. Dengan kata lain padi dapat hidup baik di daerah beriklim
panas yang lembab. Pengertian ini mencakup curah hujan, temperatur, ketinggian
tempat, sinar matahari, angin dan musim. Curah hujan yang dikehendaki pertahun

sekitar 1500-2000 mm. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 230C
keatas. Sedangkan di Indonesia pengaruh suhu tidak terasa, sebab suhunya hampir

Universitas Sumatera Utara

konstan sepanjang tahun. Ketinggian tempat untuk tanaman padi adalah 0-65 m
diatas permukaan laut (AAK, 1990).
Tanaman padi memerlukan sinar matahari. Hal ini sesuai dangan syarat tumbuh
tanaman padi yang hanya dapat hidup didaerah berhawa panas. Angin juga
memberi pengaruh positif dalam proses penyerbukan dan pembuahan. Musim
berhubungan erat dengan hujan yang berperan dalam penyediaan air dan hujan
dapat berpengaruh terhadap pembentukan buah sehingga sering terjadi bahwa
penanaman padi pada musim kemarau mendapat hasil yang lebih tinggi daripada
penanaman padi pada musim hujan dengan catatan apabila pengairan baik (AAK,
1990).
2.1.2 Perkembangan Budidaya Padi Metode System Of Rice Intensification
(SRI)
Uphoff dan Gani (2004)menyatakan hasil panen dari uji coba SRI pertama dari
pusat penelitian padi di Sukamandi, Jawa Barat mencapai 6,2 ton/ha pada musim
kemarau pada tahun 1999. Hasil panen dari tanah kontrol cuma 4.1 ton/ha dalam

uji coba sama. Rata-rata hasil panen pada musim penghujan berikutnya pada
tahun 1999-2000 mencapai 8,2 ton/ha. Hasil panen lebih tinggi dari kedua uji
coba tersebut membangkitkan perhatian peneliti Indonesia. Dilaksanakan uji coba
SRI lain di wilayah-wilayah lebih luas pada beberapa tahun berikutnya. Karena
hasil panen yang memberikan harapan ini mendorong Agency for Agricultural and
Research and Develoment (AARD) memasukkan prinsip-prinsip SRI di kebijakan
nasional baru untuk Integrated Crop and Resource Management (ICM).

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian Richardson (2010), sejak menciptakan ICM tersebut, hasil ujian
tersebut memberikan harapan. Daftar berikutnya adalah contoh-contoh dari
berbagai tempat di Indonesia di mana SRI sudah dilaksanakan:
Timur Barat: Pada tahun 2002, LSM ADRA bekerja sama dengan tujuh petani
padi yang memakai metode SRI. Rata-rata hasil panen 4,4 ton/ha di tahun itu,
sewaktu petani tersebut memakai metode konvensional. Ketika mereka menukar
metode SRI rata-rata hasil panen 7-11 ton/ha, hasilnya pun setinggi ini yang dapat
mempengaruhi prinsip penyimpan air SRI.
Nusa Tenggara Timur: VECO Indonesia, “LSM pertanian berbasis di Bali, adalah
salah satu lembaga internasional yang mengenalkan metode ini pada petani antara

lain di Flores, Jawa, Sulawesi, Bima, dan Bali .” Menurut Hendrikus AM Gego,
Field Coordinator VECO Indonesia di Nusa Tenggara Timur, “Produksi padi
petani di masing-masing daerah yang menerapkan metode SRI meningkat hingga
78 persen.
Jawa Timur: Di Kecamatan Sukorejo Kabubaten Pasuruan, dari 1.450 KK yang
hidup di desanya 50 persen masyarakat di sana menggunakan sistem SRI. SRI
diperkenalkan PT HM Sampoerna Tbk pada 2007 lalu. Sejak memperkenalkan
SRI itu hasil panen mencapai berat 9,3 ton/ha. Dibandingkan hasil panen dengan
sistem konvensional yang dihasilkan 6-6,5 ton/ha, hasilnya meningkat. IR 64 dan
hibrida terkenal di daerah itu.
Salah satu tanda penghargaan dari seorang petani, Zuhriah, diambil dari cerita
dalam koran suarasurabaya.net, “Sebelumnya tanam banyak bisa 15-18 bibit di

Universitas Sumatera Utara

satu lubang, ukuran 20x20 cm. Sekarang sejak pakai SRI, cuma satu (bibit),
anakannya banyak dalam 1 lubang ukurannya 30 x 30 cm”.
Lampung, Sumatra: Rata-rata hasil panen jika memakai metode konvensional
seberat 3 ton/ha. Petani padi pernah mampu mencapai rata-rata hasil seberat 8,5
ton/ha ketika memakai SRI (Richardson, 2010).

Adapun tujuan pengembangan SRI (System of Rice Intensification) menurut
Pedoman Teknis Pengembangan SRI TA 2015 adalah :
a) Memperbaiki tingkat kesuburan tanah/lahan sawah melalui pemberian asupan
bahan organik/kompos/pupuk hayati
b) Meningkatkan produksi dan produktifitas serta hasil panen, efisiensi
penggunaan benih dan penggunaan air
c) Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan partisipasi petani dalam
budidaya padi organik pola SRI
(Kementerian Pertanian, 2015).
Pemilihan metode budidaya padi organik secara SRI bisa menghasilkan produk
akhir berupa beras organik yang memiliki kualitas tinggi sebagai beras sehat,
dilihat dari beberapa aspek berikut:
a)

Aspek lingkungan, dengan menghilangkan penggunaan pupuk dan obat-obatan
kimia dan manajemen penggunaan air yang terukur secara tidak langsung telah
membantu mengkonservasi lingkungan.

b)


Aspek kesehatan, bagi konsumen produk yang dihasilkan akan lebih sehat dan
menyehatkan, karena tidak terkandung residu zat kimia berbahaya yang dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit dalam tubuh manusia.

Universitas Sumatera Utara

c)

Produktivitas tinggi, bagi produsen atau petani, penerapan metode ini bisa
meningkatkan hasil panen yang pada giliranya menghasilkan keuntungan
maksimal.

d)

Kualitas yang tinggi, produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik
dibanding dengan produk konvensional, sehingga harganya pun tentunya akan
lebih baik (Berkelaar, 2008).

2.1.3 Prinsip-Prinsip Budidaya Padi Organik Metode SRI
1) Pengolahan tanah sawah sehat adalah pengolahan tanah yang dilakukan secara

konvensional, dengan memberikan asupan bahan organik seperti kotoran
hewan, hijauan, limbah organik, jerami yang proses dekomposisinya
dipercepat dengan menggunakan mikroorganisme lokal (MOL). Selanjutnya
untuk pengelolaan airnya dibuat parit keliling atau melintang petakan sawah
dengan kedalaman 40 cm dan lebar 40 cm dan dibuat garis jarak tanam dengan
menggunakan caplak.
2) Persemaian SRI, dilakukan dengan cara kering (tidak digenang) dan dilakukan
penyiraman setiap hari. Persemaian bisa dilakukan dilahan sawah / darat,
pekarangan dengan dilapisi plastik dan di nampan / yang dilapisi daun pisang
supaya akar bibit padi tidak tembus ke tanah dan memudahkan pada saat
pindah tanam dari persemaian. Sebagai media tumbuh persemaian berupa
campuran tanah dengan bahan organik dengan perbandingan 1:1. Kebutuhan
benih 10 kg per ha, sebelum benih disemai perlu dilakukan uji benih bermutu /
bernas dengan menggunakan larutan garam.
3) Cara tanam dan jarak tanam SRI adalah penanaman satu bibit per lubang
(tanam tunggal, tanam dangkal dan akar membentuk huruf L) saat bibit

Universitas Sumatera Utara

berumur 5 - 7 hari. Jarak tanam longgar / lebar dengan alternatif antara lain :

25 x 25 cm atau 30 x 30 cm.
a) Pengelolaan air SRI adalah pada umur padi vegetatif, air diberikan secara
macak - macak (kapasitas lapang) kecuali pada saat penyiangan dilakukan
Penyiangan dilakukan dengan selang waktu 10 hari setelah tanam
sebanyak 4 kali dan setiap selesai penyiangan dilakukan penyemprotan
suplement Pupuk cair (POC) / Mikro Organisme Lokal (MOL) yang
dibuat sendiri.
b) Penyulaman tanaman dilakukan bila ada gangguan belalang atau keong,
bibit untuk menyulam adalah bibit yang diambil dari bibit cadangan yang
secara sengaja ditanam dipinggir petakan sawah.
c) Pengendalian hama dilakukan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) secara utuh yaitu: melalui pendayagunaan fungsi musuh alami,
pengamatan

berkala,

dan

tidak


menggunakan

pestisida

sintetis

(Kementerian Pertanian, 2014).
4) Penggenangan ( 2 – 3 ) cm. Pada umur ± 45 hari sebaiknya lahan dikeringkan
selama 10 hari untuk menghambat pertumbuhan anakan, kemudian air
diberikan secara macak-macak kembali sampai masa pertumbuhan malai,
pengisian bulir padi hingga bernas, selanjutnya pada umur tanaman ± 100 hari
sawah dikeringkan sampai panen.
5) Pemeliharaan tanaman SRI adalah penyiangan, penyulaman dan pengendalian
hama.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Teknik Budidaya Padi Organik System of Rice Intensificatoin (SRI)
Persiapan Benih
Dianjurkan menggunakan benih yang bermutu, yaitu yang telah bersertifikat dan

berdaya tumbuh di atas 80%. Kebutuhan benih untuk metode konvensional
biasanya 1 hektar lahan kurang lebih 25 -30 kg. Sedangkanuntuk metode SRI
biasanya hanya membutuhkan benih sekitar 5 –7 kg untuk 1 hektarlahan.Benih
yang baik memiliki banyak cadangan bahan makanan serta akantumbuh lebih
cepat dan seragam. Adapun syarat-syarat benih bagus sebagai berikut :
a) Benih benar-benar tua dan kering.
b) Butir harus bernas (tidak kopong).
c) Murni, tidak tercampur dengan jenis lain.
d) Benih bebas dari hama dan penyakit
(Kurniadiningsih, 2012)
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang
cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur (telur
ayam atau telur bebek), maka telur akan terapung. Jika telu sudah terapung, maka
larutan dapat digunakan untuk menguji benih.Benih yang baik untuk dijadikan
benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah
diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2
hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam
wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10
hari benih padi sudah siap ditanam.


Universitas Sumatera Utara

Pengolahan Tanah
Dengan SRI, petani hanya memakai ½ dari kebutuhan air pada sistem tradisional
yang biasa menggenangi tanaman padi. Tanah cukup dijaga tetap lembab selama
tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan
akar. Kondisi tidak tergenang yang dikombinasikan dengan pendangiran mekanis,
akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar
berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.
Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor
tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk
mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
Untuk menjamin agar bekas padi lama tidak tertinggal sehingga menjadi tempat
persembunyian berbagai sumber hama atau penyakit maka perlu dilakukan
penyemprotan dengan larutan MOL (mikro-organisme lokal)dekomposer ke tanah
yang baru saja dibajak. Bisa digunakan misalnya larutan MOL asal nasi yang
secara pengalaman lapangan dilaporkan juga mampu melindungi diri dari
serangan hama tungro (Mubiar dan Sutaryat, 2014).
Pendangiran pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah transplantasi dan
pendangiran ke dua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali pendangiran,

namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil
hingga satu atau 2 ton/ha. Hal ini disebabkan karena tidak hanya sekedar
membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah dapat memperbaiki struktur dan
meningkatkan aerasi tanah.

Universitas Sumatera Utara

Pengolahan tanah untuk tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara
pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk
mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhidar dari gulma.
Perlakuan Pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan
penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan.
Pengelolaan tanah mengutamakan penggunaan bahan organik kompos dengan
dosis 5 – 7 ton/ha atau disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah yang ada.
Kompos adalah bahan organik yang telah lapuk yang merupakan tanah dengan
struktur remah berasal dari berbagai jenis bahan organic (kotorsn hewan, hijauan,
sisa-sisa

tanaman,

limbah

organik)yang

sengaja

difermentasi

dengan

memanfaatkan peran mikroorganisme dan dilangsungkan pada suhu tertentu.
Kompos diberikan pada saat seminggu sebelum bibit padi ditanam dan pada
pengolahan tanah kedua atau saat perataan (ketika kondisi air di petakan macak –
macak/lembap). Dalam pertanian, kompos berfungsi sebagai berikut :
1) Memperbaiki kondisi fisik tanah.
2) Mendorong berbagai kehidupan di dalam tanah, seperti cacing, dan untuk
berkembangnya mikroorganisme.
3) Memperbaiki kondisi kimia tanah yakni memperbaiki pH (derajat keasaman)
tanah dan mampu menyediakan nutrisi bagi tanaman
(Mubiar dan Sutaryat, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus,
cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk
mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi
organik dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi
digenangi dengan ketinggian air ratarata 1 – 3 cm, kemudian pada umur 10 hari
dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi.
Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari
menjelang penyiangan tanaman digenang (Nurhadi, 2012).Pada saat tanaman
berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak
digenangi kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI
tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi
gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan
pengendalian secara fisik dan mekanik (Nurhadi, 2012).
Sistem tanam padi SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan
sistem tanam konvensional.Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi
organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya
sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan
kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan
aktifator MOL (Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan
pestisida dicari dari tumbuhan berkhasiat sebagai pengendali hama. Dengan
demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah (Nurhadi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami
penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode
konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung
meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat
meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala
musim tanam tiba (Nurhadi, 2012).
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik,
kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI
menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan
pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik
dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan
biaya akan semakin mahal (Nurhadi, 2012).
Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan
hasil sebelumnya (metode konvensional) dan terus meningkat pada musim
berikutnya sejalan dengan meningkatnya bahan organik dan kesehatan tanah.
Beras organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki
harga yang sama dengan beras dari sistem tanam konvesional, harga ini
didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum tergolong organik, karena
pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari musim tanam
sebelumnya. Dan untuk musim berikutnya dengan menggunakan metode SRI
secara berturut-turut, maka sampai musim ke 3 akan diperoleh beras organik dan
akan memiki harga yang lebih tinggi dari beras padi dari sistem konvensional
(Nurhadi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Manfaat Sistem SRI
Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut :
1) Hemat air (tidak digenang), kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air
untuk cara konvensional.
2) Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan
ekologi tanah.
3) Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di
lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan
pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.
4) Membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan
meningkatkan pendapatan keluarga petani.
5) Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak
mengandung residu kimia.
6) Mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang
(Nurhadi, 2012)
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui
bagaimana kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta
hasilnya. Istilah evaluasi sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, akan
tetapi kata ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu evaluation yang berarti
penilaian atau penaksiran. Sedangkan menurut pengertian istilah “evaluasi merupakan
kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan

Universitas Sumatera Utara

menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan” (Yunanda, 2009).
Evaluasi meliputi mengukur dan menilai yang digunakan dalam rangka pengambilan
keputusan. Hubungan antara pengukuran dan penilaian saling berkaitan. Mengukur
pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran atau
kriteria tertentu (meter, kilogram, takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat
kuantitatif. Penilaian berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai itu mengandung arti,
mengambil keputusan terhadap sesuatu yang berdasarkan pada ukuran baik atau
buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Dan penilaian bersifat
kualitatif. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Arikunto (2009) bahwa
mengukur adalah ,membandingkan sesuatu dengan satu ukuran (bersifat kuantitatif),
menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik
buruk (bersifat kualitatif), dan evaluasi meliputi kedua langkah tersebut di atas.
Pendapat lain mengenai evaluasi disampaikan oleh Arikunto dan Cepi (2008), bahwa
evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu,
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang
tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah
menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk
menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Menurut Djaali dan Pudji (2008), evaluasi dapat juga diartikan sebagai proses menilai
sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan yang selanjutnya diikuti
dengan pengambilan keputusan atas obyek yang dievaluasi. Sedangkan Ahmad
(2007), mengatakan bahwa evaluasi diartikan sebagai proses sistematis untuk

Universitas Sumatera Utara

menentukan nilai sesuatu (ketentuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang,
obyek,dll.) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
Untuk menentukan nilai sesuatu dengan cara membandingkan dengan kriteria,
evaluator dapat langsung membandingkan dengan kriteria namun dapat pula
melakukan

pengukuran

terhadap

sesuatu

yang

dievaluasi

kemudian

baru

membandingkannya dengan kriteria. Dengan demikian evaluasi tidak selalu melalui
proses mengukur baru melakukan proses menilai tetapi dapat pula evaluasi langsung
melalui penilaian saja. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Crawford
(2000), mengartikan penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui/menguji
apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan
tujuan atau kriteria yang telah ditentukan.

2.2.2 Model Evaluasi CIPP
Menurut Mardikanto (1993) evaluasi sebagai suatu kegiatan, sebenarnya
merupakan proses untuk mengetahui atau memahami dan memberikan penilaian
terhadap suatu keadaan tertentu, melalui kegiatan pengumpulan data atau fakta
dan membandingkannya dengan ukuran serta cara pengukuran tertentu yang telah
ditetapkan.

Oleh

karena itu

setiap

pelaksanaan

evaluasi

harus

selalu

memperhatikan 3 (tiga) landasan evaluasi yang mencakup:
a) Evaluasi dilandasi oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu.
b) Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, sehingga dalam mengambil
keputusan tentang penilaian harus selalu dilandasi oleh suatu kesimpulankesimpulan yang diperoleh dari analisis data atau fakta yang berhasil
dikumpulkan.

Universitas Sumatera Utara

c) Obyektif atau dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh kepercayaan dan
keyakinannya dan bukan karena adanya suatu keinginan-keinginan tertentu
atau disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Rozak (2013) dalam proses pengimplementasian suatu program, tentu
mempunyai perbedaan dalam evaluasi. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya
perbedaan maksud dan tujuan dari suatu program. Oleh karena adanya perbedaan
tersebut,

muncul

beberapa

teknik

evaluasi

dalam

pengimplementasian

suatuprogram. Salah satu teknik dalam evaluasi ialah model evaluasi CIPP
(Context, Input, Process, Product).

Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio
State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi
ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan
dari, context evaluation : evaluasi terhadap konteks, input evaluation : evaluasi
terhadap masukan, process evaluation : evaluasi terhadap proses, dan product
evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah
yang menjadi komponen evaluasi.

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation
approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala
sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1993 :
118) dalam Widoyoko (2009) mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is
based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove
but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan

Universitas Sumatera Utara

bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk
memperbaiki (Widoyoko, 2009).

Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat macam keputusan:
1) Perencanaan keputusan yang mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan
tujuan khusus.
2) Keputusan pembentukan atau structuring.
3) Keputusan implementasi.
4) Keputusan yang telah disusun ulang yang menentukan suatu program perlu
diteruskan, diteruskan dengan modifikasi, dan atau diberhentikan secara total
atas dasar kriteria yang ada (Rozak, 2013).
Evaluasi konteks (context evaluation) mencakup analisis masalah yang berkaitan
dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan dilaksanakan.
Evaluasi ini berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu.
Stufflebeam menyatakan evaluasi konteks sebagai fokus institusi yang
mengidentifikasi peluang menilai kebutuhan. Syatu kebutuhan dirumuskan sebgai
suatu kesenjangan (discrepancy view) kondisi nyata (reality) dengan kondisi yang
diharapkan (ideality). Dengan kata lain, evaluasi konteks berhubungan dengan
analisis masalah kekuatan dan kelemahan dari obyek tertentu yang akan atau
sedang berjalan.
Evaluasi (input evaluation) meliputi analisis personal yang berhubungan dengan
bagaimana penggunaan sumber – sumber yang tersedia, alternatif – alternatif
strategi,

yang

harus

dipertimbangkan

untuk

mencapai

suatu

program.

Mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sistem, alternatif strategi program,

Universitas Sumatera Utara

desain prosedur untuk strategi implementasi, pembiayaan dan penjadwalan.
Evaluasi input bermanfaat untuk membimbing pemilihan strategi program dalam
menspesifikasikan rancangan procedural. Informasi dan data yang terkumpul
dapat digunakan untuk menentukan sumber dan strategi dalam keterbatasan yang
ada. Pertanyaan yang mendasar adalah baggaimana rencana penggunaan sumber –
sumber yang ada sebagai upaya memperoleh rencana program yang efektif dan
efisien.
Evaluasi proses (process evaluation) merupakan evaluasi yang dirancang dan
diaplikasikan

dalam

praktek

implementasi

kegiatan,

termasuk

mengidentifikasikan permasalahan prosedur baik tata laksana kejadian dan
aktivitas. Pencatatan aktivitas harian demikian penting karena berguna bagi
pengambil keputusan untuk menetukan tindak lanjut penyempurnaan. Tujuan
utama evaluasi proses seperti yang dikemukakan oleh Worthen dan Sanders,
yaitu:
1) Mengetahui kelemahan selama pelaksanaan termasuk hal – hal yang baik
untuk dipertahankan.
2) Memperoleh informasi mengenai keputusan yang ditetapkan.
3) Memelihara catatan – catatan lapangan mengenai hal – hal yang penting saat
implementasi dilaksanakan.
Evaluasi produk (product evaluation) merupakan kumpulan deskripsi dan
judgement outcomes dalam hubungannya dengan konteks, input, proses kemudian
diinterpretasikan harga dan jasa yang diberikan. Evaluasi produk adalah evaluasi
mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi ini merupakan catatan
pencapaian hasil dan keputusan – keputusan untuk perbaikan dan aktualisasi.

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran dikembangkan dan diadministrasikan secara cermat dan teliti. Secara
garis besar, kegiatan evaluasi produk meliputi kegiatan penetapan tujuan
operasional program, kriteria – kriteria pengukuran yang telah dicapai,
membandingkannya antara kenyataan lapangan dengan rumusan tujuan, dan
menyusun penafsiran secara rasional. Analisis produk ini diperlukan pembanding
antara tujuan, yang ditetapkan dalam rancangan dengan hasil program yang
dicapai. Hasil yang dinilai berupa skor tes, presentase, data observasi, diagram
data, sosiometri, dan lain- lain, yang dapat ditelusuri kaitannya dengan tujuan
penelitian ( Sanders,1984).
2.2.3 Kinerja
Menurut Rivai (2004) kinerja merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh seseorang sesuai dengan
perannya dalam pekerjaannya.
Menurut Sulistiyani (2009) kinerja merupakan kombinasi kemampuan, usaha dan
kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Usaha tersebut merupakan
kontribusi-kontribusi dari individu dalam suatu organisasi atau instansi
menyangkut pelaksanaan dan penyelesaian tugas-tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
Penilaian kerja pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan
suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program
yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian
kinerja individu sangat bermamfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya
tentang bagaimana kinerja seseorang (Simamora, 2004).
Dalam menyusun indikator kinerja perlu untuk mempertimbangkan kriteria
indikator kinerja SMART sebagai berikut:
a. Specific/Spesifik (S)
Terdefinisikan dengan jelas dan fokus sehingga tidak menimbulkan multitafsir.
Hanya mengukur unsur indikator (output, outcome, atau dampak) yang memang
ditujukan untuk mengukur dan tidak ada unsur-unsur lain dalam indikator
tersebut.
b. Measurable/Terukur (M)
Dapat diukur dengan skala penilaian tertentu (kuantitas atau kualitas). Untuk jenis
data dalam bentuk kualitas dapat dikuantitatifkan dengan persentase atau nominal.
Terukur juga berarti dapat dibandingkan dengan data lain dan jelas
mendefinisikan pengukuran, artinya data yang dikumpulkan oleh orang yang
berbeda pada waktu yang berbeda adalah konsisten.
c. Attributable/Achievable/Accountable/Attainable (A)
Dapat dicapai dengan biaya yang masuk akal dan dengan metode yang sesuai,
serta berada di dalam rentang kendali/akuntabilitas dan kemampuan unit kerja
dalam mencapai target kinerja yang ditetapkan. Kredibel dalam kondisi yang
diharapkan. Indikator dapat diperoleh dengan program atau kegiatan itu sendiri
dan tidak bergantung pada data eksternal. Indikator harus diterapkan dan dicapai
oleh sumber daya internal program atau kegiatan. Indikator juga harus sudah
disepakati dalam pengertian umum.

Universitas Sumatera Utara

d. Result-Oriented/Relevant (R)
Terkait secara logis dengan program/kegiatan yang diukur, tupoksi serta realisasi
tujuan dan sasaran strategis organisasi.
e. Time-Bound (T)
Memperhitungkan rentang waktu pencapaian, untuk analisa perbandingan kinerja
dengan masa-masa sebelumnya. Dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
2.2.4 Metode Penyuluhan Partisipatif
Kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu dari sekian banyak variabel
yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku pada petani dan perubahan yang
terjadi menjadi tujuan akhir dari penyuluhan pertanian (Mardikanto, 1993).
Penyuluhan partisipatif merupakan pendekatan penyuluhan dari bawah ke atas
(bottom up) untuk memberikan kekuasaan kepada petani agar dapat mandiri, yaitu
kekuasaan dalam peran, keahlian, dan sumberdaya untuk mengkaji desanya
sehingga tergali potensi yang terkandung, yang dapat diaktualkan, termasuk
permasalahan yang ditemukan (Suwandi, 2006).
Penyuluhan pertanian partisipatif yaitu masyarakat berpartisipasi secara interaktif,
analisis-analisis dibuat secara bersama yang akhirnya membawa kepada suatu
rencana tindakan. Partisipasi disini menggunakan proses pembelajaran yang
sistematis dan terstruktur melibatkan metode-metode multidisiplin, dalam hal ini
kelompok ikut mengontrol keputusan lokal (BBPP Lembang). Berdasarkan atas
Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian ,
Perikanan dan Kehutanan ( SP3K) Pasal 26 Ayat 3, dikatakan bahwa "Penyuluhan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja

Universitas Sumatera Utara

dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan
pelaku usaha".
Dengan pelatihan metode penyuluhan pertanian partisipatif, para penyuluh
pertanian akan termotivasi untuk menggali keberadaan sumber informasi
pertanian setempat yang mudah diakses oleh yang memerlukan, baik penyuluh
maupun petani. Pelatihan juga akan mendorong inisiatif positif para penyuluh
pertanian dan petani, melalui pendekatan partisipatif untuk mendapatkan solusi
permasalahan usahatani di lapangan (BBPP Lembang, 2009).
Untuk menyelenggarakan penyuluhan partisipatif, perlu terlebih dahulu
disamakan persepsi atau interpretasi terhadap partisipasi. Persepsi dan interpretasi
oleh berbagai pihak tentang pengertian partisipasi masih berbeda – beda.
Partisipasi memungkinkan perubahan – perubahan yang lebih besar dalam cara
berfikir manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit
terjadi dan perubahan – perubahan ini tidak akan bertahan jika mereka menuruti
saran – saran agen penyuluhan dengan patuh daripada bila mereka ikut
bertanggung – jawab (Van den Baan dan Hawkins, 1999).
Tingkat partisipasi petani dalam penerapan metodologi penyuluhan pertanian
partisipatif mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring
dirasakan masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini dapat
dimaklumi karena konsep ini merupakan paradigma baru penyelenggaraan
penyuluhan pertanian. Namun bagi petani yang telah mengikuti kegiatan ini
membawa dampak yang positif bagi pengembangan usahataninya (Sirait, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Penelitian Terdahulu
Dalam Riwanto Sihombing (2014) “Studi Pelaksanaan Program SRI(System Of
Rice Intensification) Petani Pemula Dan Petani Berpengalaman” Di Desa Aras,
Kecamatan Airputih, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil
penelitian diperoleh : (1) Pelaksanaan program SRI oleh petani berhasil
diterapkan . (2) Karakteristik petani pemula yang memiliki hubungan dengan
pelaksanaan program SRI yaitu jumlah tanggungan dan karakteristik petani
pemula yang tidak memiliki hubungan dengan pelaksanaan program SRI yaitu
umur, lama berusaha tani, tingkat pendidikan dan frekuensi mengikuti
penyuluhan; Karakteristik petani berpengalaman yang memiliki hubungan dengan
pelaksanaan program SRI yaitu jumlah tanggungan dan karakteristik petani
berpengalaman yang tidak memiliki hubungan dengan program penyuluhan yaitu
umur, lama berusaha tani, tingkat pendidikan dan frekuensi mengikuti
penyuluhan. (3) Petani pemula dan petani berpengalaman tidak terbiasa
melakukan metode SRI yang menurut mereka terlalu kompleks dibanding dengan
cara konvensional. (4) Upaya yang dilakukan oleh penyuluh dalam pelaksanaan
program SRI adalah memberikan arahan petunjuk kepada petani untuk dapat
menguasai teknik penanaman bibit padi SRI dan memberi motivasi kepada petani
dengan melakukan ujicoba pada areal yang lebih kecil terlebih dahulu ; Upaya
yang dilakukan oleh petani dalam pelaksanaan program SRI adalah menambah
tenaga kerja yang berasal dari keluarga dan orang sewaan dan mengatur sistem
irigasi secara tepat agar air masuk dan keluar dari sawah secara teratur.
Johannes Kapri Pandiangan (2011) dalam penelitiannya tentang “Evaluasi
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Desa Buah Nabar

Universitas Sumatera Utara

Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang” menunjukkan bahwa penyuluh
pertanian lapangan sangat berperan besar dalam membimbing dan mengarahkan
para petani pada umumnya dan para pengurus Gapoktan. Gapoktan memiliki
peran sentral dalam program PUAP, karena syarat utama desa penerima program
adalah memiliki Gapoktan yang juga berperan dalam proses penyaluran dan
pengembalian dana PUAP. Pelaksanaan program PUAP di daerah penelitian juga
dikategorikan berhasil dengan nilai tingkat keberhasilan program sebesar 42,79
dengan persentase ketercapaian sebesar 89,16%.
Saidul Khudri (2016) dalam “Analisis Dampak Adopsi Metode Sistem of Rice
Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan
Beringin Kabupaten Deli Serdang”, menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI di Kecamatan Beringin adalah tinggi, dan terdapat dampak
adopsi metode SRI terhadap pendapatan petani yang menyatakan bahwa ada
perbedaan pendapatan petani sebelum dengan sesudah mengadopsi metode SRI
terhadap pendapatan petani di daerah penelitian serta adanya hubungan tingkat
adopsi metode SRI dengan naiknya pendapatan petani di Kecamatan Beringin.
2. 4 Kerangka Pemikiran
Revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 11 Juni 2005 antara lain bertujuan untuk meningkatkan produksi padi
menuju swasembada beras dalam upaya mendukung ketahanan pangan nasional.
Berbagai upaya peningkatan produksi padi terus dilakukan melalui program
kebijakan program pemerintah yang tentunya harus didukung oleh teknologi
inovasi yang dapat mendongkrak produksi padi. Indonesia dikenal sebagai negara
agraris karena sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian.Salah satu solusi

Universitas Sumatera Utara

yang diajukan sebagai pendekatan untuk mengatasi masalah pangan tersebut
adalah System of Rice Intensification (SRI).Melalui pendekatan partispatif,
penyuluh juga menjalankan tugasnya sebagai fasilitator dalam perkembangan
penerapan metode SRI melalui kelompok-kelompok tani maupun secara
individual dengan melibatkan setiap unsur lembaga yang mendukung metode SRI
tersebut.
Untuk menilai sampai sejauh mana metode SRI ini dapat diterima dan diterapkan
oleh petani adalah dengan mengevaluasi kinerja petani dengan model evaluasi
CIPP (context, input, process, product). Melalui model evaluasi ini akan terlihat
sejauh mana pemahaman petani dan apakah teori penerapan metode SRI sudah
sejalan pada di lapangan sehingga mencapai tujuan yang te;ah ditetapkan. Karena
pada umumnya kenyataan di lapangan, belum semua petani mampu menerapkan
metode SRI dengan baik.
Lalu penilaian dari petani mengenai penerapan dan kinerja metode SRI ini bisa
ditarik kesimpulan, apakah metode SRI telah diterapkan dengan baik atau
tidak,sehingga dapat menjadi tolak ukur untuk melanjutkan metodeSRI dalam
usahatani padi.

Universitas Sumatera Utara

PENYULUHAN
PARTISIPATIF

System Of Rice
Insentification
(SRI)

EVALUASI KINERJA
PETANI

PETANI

USAHA TANI
PADI

MODEL EVALUASI CIPP :

Baik

Cukup
Baik

Tidak
Baik

Keterangan
: menyatakan hubungan
: menyatakan dievaluasi dengan
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Pola
System Of Rice Insentification (SRI) Pada Petani Padi Desa
Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Pendapatan Petani Sistem Tanam SRI (System of Rice Intensification) Dengan Petani Sistem Tanaman Legowo (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

2 84 123

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 5 120

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 11 104

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 1

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 0 9

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 0 8

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 1 3

Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam System Of Rice Intensification (SRI) Pada Petani Padi, (Kasus : Desa Kramat Gajah Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

0 0 16