Budaya Literasi Studi Deskriptif Budaya Literasi pada Mahasiswa Teknik Industri Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Kini budaya literasi di Indonesia menjadi persoalan yang sangat menarik
untuk diperbincangkan. Mengingat budaya literasi di Indonesia masih rendah dan
belum mendarah daging dikalangan masyarakat. Ditengah melesatnya budaya
populer, buku tidak pernah lagi menjadi prioritas utama. Bahkan masyarakat lebih
mudah menyerap budaya berbicara dan mendengar, dari pada membaca kemudian
menuangkannya dalam bentuk tulisan. Masyarakat Indonesia masih lebih banyak
didominasi oleh budaya komunikasi lisan atau budaya tutur. Masyarakat cenderung
lebih senang menonton dan mengikuti siaran televisi ketimbang membaca.
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti
kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat. Budaya membaca dan menulis
pada masyarakat Indonesia sampai menghadapi milenium baru ini sebenarnya masih
sangat memprihatinkan. Buku-buku pelajaran tak lagi menjadi teman setia pelajar
masa kini. Budaya membaca, menulis dan berdiskusi tak lagi menjadi ciri khas
pelajar yang konon sering disebut sebagai generasi penerus bangsa ini. Padahal ada


1
Universitas Sumatera Utara

pepatah yang mengungkapkan bahwa buku adalah gudangnya ilmu dan membaca
adalah kuncinya.
Tokoh Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno dan
Muhammad Hatta, mengatakan , “membangun negara awali dengan memulai dari
membaca,…” dan fakta menunjukan bahwa “Indonesia sebagai negara dengan minat
baca masyarakatnya paling rendah di Asean” 1.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan
membaca anak usia 15 tahun hanya 37,6 persen anak membaca tanpa bisa menangkap
makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu menghasilkan 8.000 buku
per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan 15.000 buku per
tahun 2. (Hadianto, 2001) Gambaran mengenai rendahnya minat baca ini juga tidak
terlalu jauh berbeda dengan keadaan masyarakat dewasa ini. Indikator yang dapat
dipergunakan adalah dengan melihat jumlah surat kabar yang dikonsumsi oleh
masyarakat. Idealnya, setiap surat kabar dikonsumsi oleh 10 orang, jadi satu surat
kabar dibaca oleh sepuluh orang, tetapi yang ada di Indonesia adalah satu surat kabar
dibaca oleh 45 orang. Bandingkan dengan negara Srilanka yang surat kabarnya
dibaca oleh 38 orang per satu surat kabar. Menurut penelitian yang merupakan

temuan muktahir ternyata belanja surat kabar di Indonesia hanyalah sekitar Rp. 1,9

1

Survey Unisco dilansir dari Laman, Republika, 26 Januari 2011
(http://www.newskpkjambi.com/pendidikan-agama/590-memprihatinkan-literasi-membaca-indonesiaterendah-di-dunia) (diakses tanggal 22 Desember 2013 pukul 12.44 WIB)
2

http://ahmadmukrim.wordpress.com/2012/11/19/budaya-literasi-sebagai-barometer-kualitaspendidikan/ (diakses tanggal 1 November 2013,pukul 19.22 WIB)

2
Universitas Sumatera Utara

trilyun, sementara belanja rokok di Indonesia mencapai angka Rp. 47 trilyun
pertahun.
Lebih ironis lagi, sebuah fakta yang diungkapkan Badan Pusat Statistika
(BPS) pada survey tahun 2012 memaksa kita menghela nafas lebih panjang.
Pasalnya, tren minat baca masyarakat Indonesia ternyata turun dari tahun ke tahun.
Pada 2003 sebanyak 23,70 persen masyarakat Indonesia memilih menghabiskan
waktu dengan membaca. Angka itu menurun pada tahun 2006 menjadi 23,46 persen

dan terus menurun hingga pada 2012 hanya 17,66 persen yang gemar membaca.
Survey yang sama juga membuktikan bahwa masyarakat kita ternyata lebih memilih
menghabiskan waktu dengan menonton televisi (91,68 persen), olahraga (24,57
persen) dan mendengarkan radio (18,57 persen) ketimbang membaca 3. Data itu
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia kita lebih suka mendapatkan informasi
dari media elektronik, terutama televisi. Masyarakat kita berlaku sebagai “pembaca
pasif” yang mendapatkan informasi dengan tenang mengunyah renyah segala persepsi
yang dikemukakan di televisi. Sehingga persepsi yang ada dalam masyarakat, selalu
berdasarkan persepsi dari televisi. Fenomena itu disebut sebagai kelisanan sekunder
(secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa
3

Badan Pusat Statistik (BPS, dahulu Biro Pusat Statistik), adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen di Indonesia yang mempunyai fungsi pokok sebagai penyedia data statistik dasar, baik
untuk pemerintah maupun untuk masyarakat umum, secara nasional maupun regional. Setiap sepuluh
tahun sekali, BPS menyelenggarakan sensus penduduk. Di samping itu, BPS juga melakukan
pengumpulan data, menerbitkan publikasi statistik nasional maupun daerah, serta melakukan analisis
data statistik yang digunakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
(http://ihramibnuhamzah.blogspot.com/2013/12/kurikulumpendidikan-dan-bangsa-bibliofil.html)
(diakses tanggal 13 November 2013, pukul 17.03 WIB)


3
Universitas Sumatera Utara

kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih
bersifat audio-visual.
Bahkan di kalangan anak sekolah, anak yang rajin membaca justru diolokolok dengan sebutan “kutu buku”. Seolah-olah kebiasaan membaca sebagai hal yang
aneh. Persepsi inilah yang sesungguhnya telah berakibat buruk terhadap sistem
pendidikan di tanah air. Membangun pendidikan berarti membangun masa depan
bangsa melalui penyiapan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Namun ironisnya, pendekatan yang dilakukan untuk itu menggunakan pendekatan
lama yang tidak sesuai dan tidak signifikan dengan tantangan masa depan itu.
Akibatnya penyiapan sumber daya yang unggul hanya menjadi wacana.
Beberapa hal yang menjadikan rendahnya budaya literasi di Indonesia antara
lain, tingkat pendidikan masyarakat, malas membaca, minimnya akses dalam
membaca. Ini disebabkan sedikitnya perpustakaan, harga buku yang cenderung tak
terjangkau oleh daya beli masyarakat dan pemamfaatan teknologi yang tidak tepat,
sehingga hanya sedikit yang mampu menuliskan pengetahuan yang diperoleh dari
membaca atau menyimak. Di tengah kemajuan teknologi saat ini, seharusnya
kegiatan membaca dan menulis sebagai akar membangun budaya literasi menjadi

semakin mudah. Seperti halnya pemanfaatan internet.
Internet dapat digunakan dalam mengakses informasi tertulis maupun sarana
meningkatkan kemampuan menulis. Seperti website dan blog mudah ditemukan dan
dibuat, e-paper dan e-book gampang diakses. Namun, jika tidak disikapi dengan bijak
internet malah menjadi tempat membuang waktu karena tidak digunakan secara
4
Universitas Sumatera Utara

efektif dan produktif. Padahal jika internet dipakai untuk membaca atau mencari
bahan untuk menulis akan menjadi hal yang sangat berguna. Selain itu ketidaktegasan
pemerintah untuk menindak media yang belakangan ini menampilkan tayangantayangan yang tidak mendidik bahkan bertentangan dengan norma semakin membuat
media berani untuk menampilkan tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat dan
bermartabat. Begitu banyak tayangan-tayangan hiburan di media yang tidak mendidik
bahkan berbahaya.
Peran keluarga juga ikut memegang andil besar dalam terciptanya budaya
literasi pada mahasiswa, terutama peran orang tua. Kurangnya peran orang tua dalam
pengawasan dan penanaman kebiasaan membaca dan menulis pada anaknya juga
salah satu faktor merosotnya budaya literasi. Orang tua lebih sibuk dengan pekerjaan
dan kegiatannya tanpa mengikuti tahap-tahap perkembangan pendidikan anaknya.
Padahal lingkungan keluarga terutama orang tua lah yang dianggap mempunyai peran

besar dalam membimbing anaknya untuk menanamkan budaya membaca dan
menulis.
Dalam membangun budaya literasi perlu kesadaran diri sendiri oleh
masyarakat. Seperti membiasakan membaca buku, majalah, koran atau sumber
informasi lainnya. Dan juga membiasakan kegiatan menulis seperti membuat catatan.
Peran pemerintah juga dituntut besar, seperti memperkuat dunia pembukuan,
memperbanyak taman bacaan atau perpustakaan, mensubsidi buku-buku,membantu
distribusi buku serta yang paling penting yaitu menggalakkan budaya membaca.

5
Universitas Sumatera Utara

Perpustakaan

Nasional

RI telah

melakukan


berbagai

upaya dalam

mengembangkan literasi. Selain upaya yang telah dilakukan masih banyak potensipontensi lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan literasi. Beberapa
diantaranya adalah potensi kewenangan, potensi sumber daya manusia, potensi
teknologi informasi dan komunikasi, komunitas informasi dan kerjasama dengan
pihak lain.Dengan adanya pemahaman diri yang baik dan dengan memanfaatkan
segala potensi yang ada, diharapkan Perpustakaan Nasional RI dapat mengambil
peran penting dan dapat menjalankan dengan baik tugas untuk mengembangkan
literasi informasi masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.
Studi kasus tentang rendahnya kemampuan membaca menulis mahasiswa
Indonesia, hingga kini, belum melahirkan pendekatan atau teori baru yang mampu
mendongkrak dan memotivasi mahasiswa untuk menulis. Hal ini diperparah dengan
mengglobalnya informasi melalui media visual yang berpengaruh terhadap
pembangunan wacana literasi masyarakat Indonesia. Yang hendak kita bangun
dengan sistem pendekatan terkini adalah sebuah masyarakat yang menyadari
pentingnya belajar secara terus menerus dan menggunakan kegiatan membacamenulis (literasi).
Melihat kondisi dermikian tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai budaya literasi pada mahasiswa Teknik Industri

USU yang nantinya akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini.

6
Universitas Sumatera Utara

1.2. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, sebab semua yang
terkandung dalam kebudayaan diperoleh melalui proses belajar. Kebiasaan membaca
dan menulis merupakan keterampilan yang dapat dipupuk dan dikembangkan menjadi
suatu budaya. Dengan membaca, seseorang dapat memperoleh informasi,
pengetahuan dan meningkatkan intelektual.
Keberaksaraan atau yang biasa disebut dengan Literasi (literacy) kerap
didaulat menjadi kunci yang mampu membuka pintu datangnya modernisasi 4,
partisipasi 5, empati 6, demokratisasi 7, desentralisasi ilmu pengetahuan 8, perbaikan
taraf hidup terutama ekonomi, serta kemajuan bangsa. Laporan UNESCO tahun 2005
berjudul

Literacy for life menyebutkan ada hubungan erat antara illiteracy

(ketidakberaksaraan) dan kemiskinan. Di banyak negara berangka kemiskinan tinggi

seperti Bangladesh, Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique, tingkat
illiteracy-nya juga tinggi 9.
Mereka yang mempunyai kemampuan literasi (melek huruf secara
fungsional), berkesempatan mencari dan memperoleh informasi yang bermanfaat dan
4

Merujuk pada sebuah perubahan dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah
yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, berkembang,
dan makmur.
5
Keikutsertaan; peran serta.
6
Kemampuan untuk menyadari perasaan orang lain dan bertindak (sesuai) untuk membantu. Empati
mencakup respon tersendiri terhadap perasaan orang lain, seperti rasa kasihan, kesedihan, rasa sakit.
7
Suatu perubahan baik itu perlahan maupun secara cepat ke arah demokrasi
8
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan yang
dilimpahkan menyangkut pengaturan, pengurusan, pembinaan, dan pengawasan dan substansinya bisa
melebar pada hal-hal menyangkut ilmu pengetahuan.

9
http://sastradiaspora.blogspot.com/2008/11/paradoks-keberaksaraan.html (diakses tanggal 24 Januari
2014 pukul 20.39 WIB)

7
Universitas Sumatera Utara

berguna. Melalui informasi tersebut mereka mendapat pengetahuan baru yang kapan
saja bisa digunakan dalam peningkatan taraf hidupnya. Seperti informasi untuk
mengembangkan usaha. misalnya soal produk apa yang sedang dicari orang; mencari
celah-celah pasar baru; dan sebagainya. Komunikasi dengan rekanan bisnis menjadi
efektif dan hemat, terbukanya kesempatan mengikuti kursus atau pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas. Termasuk lincah menciptakan lowongan kerja bagi dirinya
sendiri. Selain itu manfaat dari membaca dan menulis sangat banyak. Untuk
mengetahui apa manfaatnya sebelum itu terlebih dahulu harus mengetahui apakah
membaca tersebut suatu aktivitas atau hanya sekedar mengisi waktu luang. Kemudian
harus mengetahui jenis bacaan apa yang dibaca, selanjutnya mengevaluasi bahan
bacaan tersebut (Ridwan, 2004).
Tujuan dan alasan setiap orang untuk membaca dapat dibedakan dalam 4 jenis
membaca seperti yang dikemukakan oleh Landheer yang dikutip oleh Benge dalam

Libraries and Cultural Change seperti berikut:


Achievement Reading, yaitu membaca untuk memperoleh keterampilan
atau kualifikasi tertentu. Melalui membaca, pembaca mengharapkan suatu
hasil langsung yang bersifat praktis seperti untuk lulus dalam suatu ujian
atau mempelajari suatu keahlian.



Devotional Reading, yaitu membaca sebagai suatu kegiatan yang
berhubungan dengan ibadah seperti membaca kitab suci dan sebagainya.

8
Universitas Sumatera Utara



Cultural Reading, yaitu membaca sesuatu yang berkaitan dengan
kebudayaan (dalam arti sempit), dimana manfaat membaca tidak
diperoleh langsung tetapi sangat penting dalam masyarakat.



Compensatory Reading, yaitu membaca untuk kepuasan pribadi atau
lebih dikenal dengan membaca yang bersifat rekreasi.

Menurut Ahmad Bukhori, dosen Universitas Indonesia, dalam konteks
kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi,
politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar 10. Setiap orang
mengembangkan kemampuannya dengan mendapatkan informasi dan pengetahuan
sebanyak-banyaknya dan cepat. Orang akan ketinggalan jika tidak mempelajari dan
mendayagunakan pengetahuan dan kemajuan teknologi. Dan terwujudnya masyarakat
yang berwawasan dan tanggap dengan apa yang terjadi dilingkungan sekitar.
Kirsch dan Jungeblut (2005) dalam bukunya Literacy: Profiles of America’s
Young Adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang
dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan
pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Lebih jauh,
seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena
membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, yang
dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis.
10

http://galangtaufani.wordpress.com/2011/02/07/literasi-pijakan-pendidikan-ideal/ (diakses tanggal 23
Januari 2014 pukul 18.47 WIB)

9
Universitas Sumatera Utara

Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan
nalar manusia untuk mengartikulasikan 11 segala fenomena sosial dengan huruf dan
tulisan.
Dari berbagai konsep diatas, secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai
sebuah kemampuan membaca dan menulis serta kemampuan mengidentifikasi,
mengurai dan memahami suatu masalah. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau
keberaksaraan. Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi , misalnya literasi
komputer (computer literacy), literasi media (media literacy) literasi teknologi
(technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi
(information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan
atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka
terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat
jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan
melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Budaya literasi merupakan cermin kemajuan bangsa. Para Antropolog bahasa,
seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody
memandang literasi (bahasa) sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari
masyarakat “beradab” 12. Menurut Levi-Strauss bahasa yang digunakan merefleksikan
budaya atau perilaku manusia tersebut. Oleh karena itu ada kesamaan konsep antara
bahasa dan budaya manusia. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk
11

Melafalkan, mengatakan, mengekspresikan, menuturkan.
http://www.literasia.com/2013/03/membangun-budaya-literasi.html (diakses tanggal 23 Januari 2014
pukul 12.33 WIB)

12

10
Universitas Sumatera Utara

mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat. Masyarakat primitif
merupakan individu yang belum mengenal dunia luar atau jauh dari peradaban.
Primitif

mempunyai

arti

tidak

mengenal

peradaban dan

tidak

mengenal kesopanan atau tatakrama. Sehingga melalui kemampuan membaca dan
menulisnya tampak sangat berbeda dengan masyarakat beradab yang mempunyai
pola pikir yang lebih kritis.
Literasi selain dipandang sebagai sekumpulan kompetensi individu dapat juga
dipahami dari sudut pandang kemasyarakatan dan hak asasi manusia. Hal ini sejalan
dengan kebebasan untuk memperoleh dan menyampaikan informasi sebagai salah
satu hak asasi manusia. Dalam konstitusi Republik Indonesia hak asasi ini diakui
dalam Pasal 28F amandemen UUD 45.
“Setiap

orang

berhak

untuk

berkomunikasi

dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pandangan ini sejalan dengan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dari United Nation High
Commisioner for Human Rights 13.

13

Peran Perpustakaan Nasional RI dalam Pengembangan Literasi Informasi Sebagai Amanat
Konstitusi, Visi Pustaka 2007 Vol. 9 (http://www.pnri.go.id/majalahonlineadd.aspx?id=77) (diakses
tanggal 24 Januari 2014 pukul 14.22 WIB)

11
Universitas Sumatera Utara

Pasal 19
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan
memiliki

pendapat

menerima

dan

tanpa

gangguan,

menyampaikan

danuntuk

informasi

mencari,

dan

buah

pikiranmelalui media apa saja dan dengan tidak memandang
batas-batas (wilayah)”.

Dari pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran atau yang dikenal dengan
literasi informasi adalah perwujudan dari hak asasi manusia.
Gong dan Irkham (2012) Penyebab dari rendahnya budaya literasi terkhusus
di Indonesia adalah masih kurangnya buku di Indonesia. Ketika melansir
perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang merujuk pada laporan UNESCO
(Statistical Yearbook, 1993). Kenyataan bahwa Indonesia (masih) kurang buku. Bila
dibandingkan dengan Vietnam. Indonesia yang berpenduduk 225 juta hanya
memproduksi 8000 judul buku baru setiap tahun, sementara Vietnam dengan 80 juta
penduduk telah memproduksi 15.000 judul buku. Padahal Vietnam baru merdeka
pada tahun 1968, 23 tahun setelah Indonesia merdeka. Penyebab kedua dari
mesrosotnya budaya literasi adalah rendahnya minat baca anak Indonesia.
Berdasarkan riset lima tahunan Progress in International Reading Literacy
Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD, Indonesia berada pada posisi 36 dari 40

12
Universitas Sumatera Utara

negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait,
Maroko, dan Afrika Selatan.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab rendahnya budaya literasi,
namun kebiasaan membaca dianggap sebagai faktor utama dan mendasar. Padahal,
salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia agar cepat menyesuaikan
diri dengan perkembangan global yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia
adalah dengan menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca. Kenyataannya
masyarakat masih menganggap aktifitas membaca untuk menghabiskan waktu, bukan
mengisi waktu dengan sengaja. Artinya aktifitas membaca belum menjadi kebiasaan
tapi lebih kepada kegiatan ’iseng’.
Menurut Hadi Nurahmad, ada banyak faktor yang menyebabkan kemampuan
membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah 14. Pertama, ketiadaan sarana dan
prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan memadai.
Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak tanpa adanya buku-buku
bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan
dengan buku-buku bermutu menjadi suatu keniscayaan bagi kita. Dengan kata lain,
ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang dan/atau anak-anak untuk
memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Dari situlah, tumbuh
harapan bahwa masyarakat kita akan semakin mencintai bahan bacaan. Implikasinya,

14

Jurnal Hadi Nurahmad Membangun Budaya Baca di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya
Meningkatkan Intelektualitas Mahasiswa, 2008. PLS UM.

13
Universitas Sumatera Utara

taraf kecerdasan masyarakat akan kian meningkat; dan oleh karena itu isyarat baik
bagi sebuah kerja perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat.
Kedua, banyaknya keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan
membaca. Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan
baik akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini.
Orang tua dalam hal ini juga berperan sangat penting dalam peningkatan kemampuan
membaca pada anak. Orang tua harusnya berperan aktif dalam menanamkan
kebiasaan atau tradisi membaca dan pengawasan pada anaknya.
(Ridwan,2004) minat membaca adalah keinginan atau kecenderungan hati
yang tinggi (gairah) untuk membaca. Minat membaca didukung oleh sarana dan
prasarana untuk membaca akan menumbuhkan kebiasaan membaca (reading habit),
dan selanjutnya akan berkembang menjadi budaya baca dalam masyarakat. Minat
baca dapat dipupuk, dibina dan dikembangkan karena minat baca adalah suatu
keterampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan keterampilan
bawaan.
Menurut Edward Burnett Tylor (1832-1917) dalam perspektif antropologi,
kebiasaan yang disebut juga folkways yaitu perbuatan yang diulang-ulang dalam
bentuk yang sama. Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada bahasan mengenai hubungan antar-individu dalam masyarakat. Kebiasaan

14
Universitas Sumatera Utara

yang diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama
merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut 15.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia DEPDIKBUD (1995: 129), “kebiasaan
adalah sesuatu yang biasa dilakukan, kebiasaan juga berarti pola untuk melakukan
tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang
dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama”. Kebiasaan bukanlah sesuatu
yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh
pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar. Karena itu kebiasaan dapat dibina dan
ditumbuhkembangkan.Sedangkan membaca merupakan suatu proses komunikasi ide
antara pengarang dengan pembaca, dimana dalam proses ini pembaca berusaha
menginterpretasikan makna dari lambanglambang atau bahasa pengarang untuk
menangkap dan memahami ide pengarang. Maka kebiasaan membaca adalah kegiatan
membaca yang dilakukan secara berulangulang tanpa ada unsur paksaan. Kebiasaan
membaca mencakup waktu untuk membaca, jenis bahan bacaan, cara mendapatkan
bahan bacaan, dan banyaknya buku/bahan bacaan yang dibaca. Kemampuan
membaca merupakan dasar bagi terciptanya kebiasaan membaca.
Namun demikian kemampuan membaca pada diri seseorang bukan jaminan
bagi terciptanya kebiasaaan membaca karena kebiasaan membaca juga dipengaruhi
oleh faktor lainnya (Winoto, 1994 : 151), seperti ketersediaan bahan bacaan.
Perkembangan kebiasaan melakukan kegiatan merupakan proses belajar yang

15

http://naffstradiv13.wordpress.com/2012/06/23/antropologi/ (diakses tanggal 22 Desember pukul
18.22 WIB)

15
Universitas Sumatera Utara

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Gould (1991, 27) menyatakan bahwa
dalam setiap proses belajar, kemampuan mendapatkan ketrampilan-ketrampilan baru
tergantung dari dua faktor, yaitu faktor internal dalam hal ini kematangan individu
dan ekternal seperti stimulasi dari lingkungan. Faktor eksternal yang seringkali
disorot berpengaruh terhadap perkembangan minat dan kebiasaan membaca
seseorang adalah lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan, dalam hal ini guru
dan perpustakaan. Perpustakaan menjadi fokus sentral dalam hal akses ke bahan
bacaan karena masyarakat menaruh harapan besar pada lembaga ini untuk
menyediakan informasi yang mereka butuhkan. 16

1.3.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana keadaan budaya literasi pada mahasiswa
Teknik Industri USU. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian
berikut:
a. Sejauh mana perkembangan budaya literasi pada mahasiswa Teknik
Industri USU?
b. Apa saja bentuk-bentuk kegiatan budaya literasi yang dilakukan
mahasiswa Teknik Industri USU?

16

http://eprints.rclis.org/12549/1/Menciptakan_Generasi_Literat_Melalui_Perpustakaan.pdf

16
Universitas Sumatera Utara

c. Apa saja faktor yang mempengaruhi budaya literasi pada mahasiswa
Teknik Industri USU?

1.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan dengan fokus penelitian di Teknik
Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara di jalan Almamater No.1
Padang Bulan, Medan. Pemilihan lokasi ini didasarkan belum banyak penelitian
antropologi yang dilakukan di lokasi ini. Secara teknis lokasi ini mudah dijangkau
oleh peneliti, hal ini juga menjadi salah satu alasan pemilihan lokasi tersebut.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pentingnya budaya bacatulis bagi para mahasiswa. Selain itu juga penulis akan mengkaji upaya apa saja yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalkan budaya literasi. Pada akhirnya, bertujuan
untuk menjelaskan pentingnya antuasiasme mahasiswa terhadap budaya literasi dan
kontribusi mereka terhadap masyarakat sekitar.
Adapun manfaat penelitian ini adalah menambah wawasan tentang budaya
literasi dan bisa menjadi dasar bagi banyak pihak untuk mendorong munculnya
budaya literasi yang meningkatkan kualitas pendidikan.

17
Universitas Sumatera Utara

1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yang berusaha menggambarkan bagaimana
budaya literasi melekat pada diri mahasiswa sebagai kesadaran akan pendidikan.
Penelitian ini penting dilakukan karena kini budaya literasi di Indonesia masih rendah
dan sangat memprihatinkan, terutama di kalangan mahasiswa. Adapun lokasi
penelitian ini adalah di kota Medan dengan fokus penelitian di Fakultas Teknik
Departemen Teknik Industri Universitas Sumatera Utara di jalan Almamater No. 1
Padang Bulan, Medan. Alasan peneliti memilih lokasi ini didasarkan belum banyak
penelitian antropologi yang dilakukan di lokasi ini. Selain itu juga antropologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang umat manusia. Ada baiknya seorang
antropolog melakukan penelitian di luar daerahnya agar tidak terjadi penelitian yang
bersifat subjektif.

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian dikumpulkan dengan mempergunakan teknik observasi
partisipasi dan wawancara mendalam.

1.6.1.1.Observasi Partisipasi
Observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data melaui pengamatan
terhadap gejala yang terjadi pada objek yang diteliti. Melalui observasi peneliti dapat
mendapatkan gambaran tentang kehidupan sosial dan budaya dalam suatu
masyarakat. Metode observasi partisipasi sesuai untuk studi hampir setiap aspek
18
Universitas Sumatera Utara

kehidupan

manusia.

melalui

observasi

partisipasi,

adalah

mungkin

untuk

menggambarkan apa yang terjadi, siapa atau apa yang terlibat, kapan dan di mana hal
itu terjadi, bagaimana mereka terjadi dan mengapa setidaknya dari sudut pandang
peserta hal-hal terjadi seperti yang mereka lakukan dalam situasi tertentu. Metode
observasi partisipasi adalah untuk mempelajari proses, hubungan antara orang-orang
dan peristiwa, organisasi orang dan peristiwa, kontinuitas dari waktu ke waktu, dan
pola, serta konteks sosial budaya langsung di mana eksistensi manusia terbentang
(Jorgensen, 1989)
Pengamatan awal dilakukan dengan melihat bagaimana aktivitas mahasiswa.
Seperti saat mahasiswa berkumpul, saat berada di perpustakaan untuk membaca
ataupun menyelesaikan tugasnya, maupun aktivitas lainnya di kampus.

1.6.1.2.Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang
yang diwawancarai, dengan menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan
metode seperti ini, keterlibatan peneliti atau penulis dengan subyek yang diteliti,
dalam pola kedekatan, termasuk lewat wawancara mendalam (indept interview), akan
19
Universitas Sumatera Utara

lebih mempermudah peneliti mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Sebab
metode indept interview, bertujuan untuk menemukan dan mengetahui kebudayaan
informan yang diteliti (Spradley, 1997:114)

1.6.2. Informan
Dalam penelitian ini istilah yang digunakan informan kunci, informan pangkal
dan informan biasa. Pendekatan yang diinginkan dengan menyebut informan adalah
dari yang bersangkutan peneliti akan memperoleh informasi mengenai hal-hal yang
bersangkutan dengan dirinya sendiri ataupun tentang lingkungan sekitarnya yang
menjadi topik dalam penelitian ini.
Pemilihan informan dan informan kunci lebih menekankan pada data apa
yang hendak dicari. Pemilihan informan pangkal yaitu informan yang mengetahui
perkembangan mahasiswa tersebut, seperti dosen, ketua jurusan ataupun orangtua
mahasiswa tersebut. Data yang ingin didapatkan dari informan pangkal yaitu
rekomendasi mahasiswa yang memiliki budaya literasi yang tinggi dan juga
bagaimana cara mereka menanamkan budaya literasi pada diri mahasiswa tersebut.
Dalam pemilihan informan kunci adalah mahasiswa yang memang menggeluti bidang
yang berhubungan dengan budaya literasi. Seperti, mahasiswa yang senang menulis
di mading, ataupun mahasiswa yang pernah menulis buku ataupun mahasiswa yang
menjadikan membaca sebagai rutinitasnya. Data yang ingin didapatkan yakni sejauh
mana perkembangan budaya literasi pada mahasiswa dan juga apa saja bentuk-bentuk
kegiatan budaya literasi pada mahasiswa. Sedangkan informan biasa adalah
20
Universitas Sumatera Utara

mahasiswa yang dipilih secara acak. Dan dari informan biasa inilah peneliti akan
mendapatkan data-data pendukung.

1.7. Analisis Data
Data-data dari penelitian yang berupa rekaman wawancara dan observasi,
setiap hari dipindahkan atau ditranskripkan dalam bentuk field note (catatan
lapangan). Catatan lapangan merupakan catatan yang ditulis secara rinci, cermat,
luas, dan mendalam yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan oleh peneliti tentang subjek, aktivitas, ataupun tempat berlangsungnya
kegiatan tersebut (Idrus, 2009). Setelah itu data-data tersebut diklasifikasikan
berdasarkan tema.
Selain itu juga peneliti akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi
informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data kepustakaan dapat
diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, koran dan sumber
elektronik seperti televisi dan internet.

1.8. Pengalaman Penelitian
Pada tanggal 15 April tepat pukul 11.00 WIB penulis tiba di Fakultas Teknik
Departemen Teknik Industri Universitas Sumatera Utara. Sesampainya disana penulis
duduk di tempat duduk yang terletak di bawah pohon rindang yang berada di halaman
kampus Departemen Teknik Industri Universitas Sumatera Utara untuk menunggu
Nadia teman SMA penulis yang sebelumnya sudah membuat janji. Setelah waktu
21
Universitas Sumatera Utara

menunjukkan pukul 11.35 WIB akhirnya Nadia selesai kuliah dan segera menemui
penulis. Tidak lama penulis dan temannya menuju ruangan Ketua Jurusan Teknik
Industri USU. Sesampainya disana, penulis bertemu dengan salah seorang staff
bagian jurusan. Penulis menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke ruangan ketua
jurusan. Ternyata saat itu Ketua Jurusan Teknik Industri sedang melaksanakan
Sholat. Dan penulis diminta untuk menunggu. Tak lama menunggu, akhirnya staff
bagian jurusan memanggil penulis untuk bertemu dengan Ketua Jurusan. Ketua
Jurusan Teknik Industri Universitas Sumatera Utara adalah seorang ibu. Beliau
bernama Ir. Khawarita Siregar, MT. Setelah penulis bersalaman dan memperkenalkan
diri serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang, akhirnya ibu ketua jurusan
menyarankan untuk datang lagi di lain waktu dikarenakan beliau sedang sibuk. Dan
akhirnya penulis pun berpamitan dan keluar dari ruangan ketua jurusan. Walaupun
kecewa penulis tetap semangat. Dan meskipun hari ini batal wawancara dengan ibu
ketua jurusan teknik industri, penulis berinisiatif berkeliling kampus teknik industri
usu untuk melihat keadaan kampus. Menurut yang penulis amati hari ini, banyak
mahasiswa berkumpul di sudut-sudut koridor untuk membaca ataupun mengerjakan
tugas bersama. Dan ada juga yang berkumpul untuk bercengkrama dengan teman.
Setelah setengah jam penulis mengamati kampus, akhirnya penulis memutuskan
untuk pulang.
Beberapa hari kemudian penulis kembali lagi ke kampus teknik industri USU
untuk melakukan penelitian. Sesampainya disana penulis yang sudah mengetahui
ruangan ketua jurusan langsung menemui beliau. Ternyata beliau sedang membaca
22
Universitas Sumatera Utara

koran. Siang itu, penulis mengetuk pintu dan meminta ijin untuk memasuki ruangan
beliau, dan beliau mempersilahkan. Penulis kembali memperkenalkan diri dan
menjelaskan kembali maksud dan tujuannya datang. Dan akhirnya beliau
menyetujuinya. Setelah itu penulis mewawancarai beliau.
Setelah selesai mewawancarai ibu ketua jurusan Teknik industri USU, penulis
bertemu dengan temannya di koridor kampus. Dan penulis dibawa menuju ruangan
IMTI. IMTI yaitu ikatan Mahasiswa Teknik Industri. Disini penulis bertemu dengan
beberapa mahasiswa. Mereka menyambut penulis dengan ramah seperti kepada
temen sendiri. Dan setelah berkenalan akhirnya penulis melakukan wawancara
kepada setiap mahasiswa di ruangan itu. Penulis mendapat banyak data dari hasil
wawancara yang dilakukan terhadap mahasiswa teknik industri pada hari itu.
Hari-hari berikutnya, penulis juga sering mendatangi kampus teknik Industri
USU untuk terus melakukan penelitian. Penulis kembali bertemu dengan mahasiswamahasiswi yang telah diwawancarai pada hari-hari sebelumnya. Penulis melakukan
observasi partisipasi dengan mengikuti kegiatan-kegiatan mereka hingga ikut ketika
mereka berencana untuk makan siang bersama. Mahasiswa teknik industri terutama
pengurus dan anggota IMTI merupakan pertemanan yang solid. Mereka sudah
terbiasa untuk pergi makan siang bersama-sama. Sungguh sangat menyenangkan.
Setelah beberapa lama melakukan wawancara dan observasi di kampus teknik
industri USU, penulis melanjutkan penelitiannya dengan mewawancarai orang tua
dari mahasiswa yang diwawancarai. Tidak semua mahasiswa yang diwawancarai
tinggal bersama dengan orang tua. Sebagian dari mereka merupakan anak perantauan.
23
Universitas Sumatera Utara

Sehingga penulis hanya mewawancarai orang tua mahasiswa yang tinggal di medan
saja. Penulis mewawancarai 3 orang tua mahasiswa. Sama seperti anak-anak mereka,
orang tua mereka juga menyambut penulis dengan ramah. Penulis seperti berada di
rumah sendiri karena dianggap seperti anak sendiri di rumah mereka.
Setelah penulis mendapatkan semua data-data yang diperlukan dari seluruh
informan, akhirnya penulis menyelesaikan penelitiannya. Sungguh penelitian yang
melelahkan namun penulis senang bertemu dengan informan-informan yang baik dan
ramah.

24
Universitas Sumatera Utara