Eksplorasi Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya (Studi Kasus: Hutan Batang Toru Blok Barat, Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara)

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Kondisi Umum Hutan Batang Toru
Kawasan hutan alam Batang Toru termasuk tipe hutan pegunungan

rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan
berlumut (seperti di pegunungan tinggi) dan juga biasa ditemukan beberapa
belang (rawa) di ketinggian 800 mdpl. Cakupan hutan Batang Toru meliputi Blok
Hutan Batang Toru Barat dan Blok Hutan Sarulla Timur Provinsi Sumatra Utara,
sebelah Selatan Danau Toba. Total habitat alami yang ada meliputi kira-kira
150.000 Ha (TFCA, 2010).
Kawasan hutan HBTBB berada antara 98046’48”-99017’24” Bujur Timur
dan 1027’00”-1059’24” Lintang Utara. Kawasan seluas 103.009 Ha ini secara
administrasi berada pada wilayah tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli
Utara dan Tapanuli Tengah. Luas kawasan hutan tiap kabupaten dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Luas kawasan hutan Batang Toru Blok Barat
Kabupaten / Kota
Tapanuli Selatan

Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Luas Keseluruhan

Luas (Ha)
34,845
16,820
51,344
103,009

Sumber: Rachmadi, 2008
Kawasan hutan alam di HBTBB merupakan kawasan transisi biogeografis
antara kawasan biogeografis Danau Toba Bagian Utara dan Danau Toba Bagian
Selatan. Terjadinya kawasan transisi biogeografis ini kemungkinan disebabkan
oleh kekuatan tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba pada 150.000 tahun yang
lalu. Kondisi transisi mengakibatkan kawasan ini memiliki keunikan dan
keragaman hayati yang tinggi. Kawasan HBTBB memiliki beberapa tipe
4

5


ekosistem mulai dari ekosistem dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan.
Variasi habitat yang ada di kawasan ini merupakan ekosistem yang masih asli dan
relatif utuh (Bason, 2008).
Keadaan topografi di kawasan hutan Batang Toru sangat curam.
Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar > 40%, dan lebih
curam lagi di Blok Timur Sarulla. Tanah di hutan Batang Toru termasuk yang
peka terhadap erosi. Hutan Batang Toru menjadi areal yang penting untuk
mencegah banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli ini yang rentan terhadap
datangnya bencana alam, termasuk gempa. Dengan ketinggian sekitar 400-1.803
m di atas permukaan laut, kawasan hutan Batang Toru merupakan hutan
pegunungan dataran rendah dan dataran tinggi. Status hutan Batang Toru saat ini
sekitar 68,7 % Hutan Produksi (93.628 ha), APL 12,7 % (17.341 ha) dan sebagian
Hutan Lindung (Register) atau Suaka Alam 18,6 % (25.315 ha). Saat ini sedang
sedang disiapkan usulan perubahan status untuk menjadikan hutan Batang Toru
sebagai hutan lindung oleh kabupaten-kabupaten yang ada di Tapanuli
(YEL, 2007).
Kondisi Umum Kabupaten Tapanuli Utara
Tapanuli Utara dalam Angka (2012) secara geografis Kabupaten Tapanuli
Utara terletak pada koordinat 1º20'00" - 2º41'00" Lintang Utara (LU) dan 98 05"99 16" Bujur Timur (BT). Secara administratif Kabupaten Tapanuli Utara

berbatasan dengan lima kabupaten tetangga. Adapun batas-batas adalah sebagai
berikut :


Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten
Humbang Hasundutan

6







Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan

Kondisi Umum Kecamatan Adiankoting

Adiankoting

dalam

Angka

(2012),

secara

geografis

kecamatan

Adiankoting terletak pada koordinat 98o50’21,37’’ BT – 01o58’40,02’’ Lintang
Utara. Kecamatan Adiankoting terletak 400-1.300 mdpl dengan luas kecamatan
502, 90 Km2. Secara administratif kecamatan Adiankoting berbatasan dengan
empat kecamatan tetangga. Adapun batas-batasnya adalah sebagai berikut :









Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tarutung
Sebelah Utara berbatasan dengan Kacamatan Parmonangan
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu
Kecamatan Adiankoting terdiri atas 16 desa/kelurahan yaitu Pagaran

Lambung I, II, III, IV, Sibalanga, Pagaran Pisang, Adiankoting, Dolok Nauli,
Banuaji I, II, IV, Pansur Batu, Pardomuan Nauli, Siantar Naipospos, Pansur Batu I
dan II (Adiankoting dalam Angka, 2012).
Pengertian Tumbuhan Obat dan Pengelompokannya
Tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui
mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi: (1) Tumbuhan obat
tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui dan dipercaya oleh masyarakat
mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional;

(2) Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif dan penggunaanya dapat

7

dipertanggungjawabkan secara medis; dan (3) Tumbuhan potensial, yaitu spesies
tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat
obat tetapi belum secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat
tradisional sulit ditelusuri (Zuhud, et al.,1994).
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian tumbuhannya (akar, batang,
kulit, daun, umbi, buah, biji dan getah) mempunyai khasiat sebagai obat dan
digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional.
Di Indonesia terdapat sekitar 400 jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan
sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional, 80 jenis
diantaranya sudah dibudidayakan oleh petani (TN Baluran, 2006).
Menurut Oswald (1995), obat tradisional adalah ramuan dari tumbuhtumbuhan yang berkhasiat ataupun diperkirakan berkhasiat sebagai obat. Menurut
Sulaksana dan Jayusman (2005), tanaman obat adalah suatu jenis tumbuhan atau
tanaman yang sebagian atau seluruh bagian tanaman berkhasiat menghilangkan
atau menyembuhkan suatu penyakit dan keluhan rasa sakit pada bagian atau organ
tubuh manusia. Sedangkan menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), obat

tradisional adalah obat yang telah terbukti digunakan oleh sekelompok masyarakat
secara turun temurun untuk memelihara kesehatan ataupun untuk mengatasi
gangguan kesehatan mereka. Obat tradisional merupakan aset nasional yang
sampai saat ini masih dimanfaatkan sebagai usaha pengobatan sendiri oleh
masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.
Tumbuhan obat tradisional di Indonesia mempunyai peran yang sangat
penting terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang fasilitas kesehatannya
masih sangat terbatas. Nenek moyang kita mengenal obat-obatan tradisional yang

8

berasal dari tumbuhan di sekitar pekarangan rumah maupun yang tumbuh liar di
semak belukar dan hutan-hutan. Masyarakat sekitar kawasan hutan memanfaatkan
tumbuhan obat yang ada sebagai bahan baku obat-obatan berdasarkan
pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat yang diwariskan secara turuntemurun (Hidayat dan Gusti, 2012).
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem
sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan
serta

pemanfaatannya


diarahkan

untuk

mewujudkan

sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa produk hasil
hutan non-kayu merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki
keunggulan komparatif dan paling bersinambungan dengan kepentingan
masyarakat sekitar hutan (APHI, 2002).
Potensi dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat
Indonesia memiliki sekitar 370 etnis yang hidup di dalam atau di sekitar
kawasan hutan. Mereka umumnya memiliki pengetahuan tradisional dalam
penggunaan tumbuhan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit tertentu.
Pengetahuan

tradisional


tentang

tumbuhan

obat

ini

merupakan

dasar

pengembangan obat fitofarmaka atau obat modern. Potensi khasiat obat dari
tumbuhan tingkat tinggi yang ada di hutan dan kebun sangatlah besar. Industri
obat tradisional dan fitofarmaka telah memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan
sebagai bahan baku obat, antara lain untuk antikuman, demam, pelancar air seni,
antidiare, antimalaria, antitekanan darah tinggi dan sariawan (Supriadi, 2001).
Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan
obat untuk kepentingan pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai


9

tumbuhan obat. Salah satu perbedaan dapat dilihat dari perbedaan ramuan yang
digunakan untuk mengobati penyakit yang sama. Semakin beragam ramuan yang
dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu, berarti peluang untuk
menyembuhkan suatu penyakit menjadi semakin besar, karena suatu ramuan
belum tentu cocok untuk masing-masing orang. Hal ini menunjukkan keragaman
pengetahuan yang dimiliki suku-suku bangsa tersebut. Keragaman pengetahuan
diatas merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus
dipelihara untuk dikembangkan (Aliadi dan Roemantyo, 1994).