Hubungan Antara Job Characteristic Dengan Work Family Conflict Pada Karyawan Sektor Perbankan

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Work Family Conflict

1. Definisi Work Family Conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work family conflict sebagai

sebuah bentuk dari conflict antar peran dimana tekanan dari peran dalam

pekerjaan dan keluarga saling bertentangan yaitu menjalankan peran dalam pekerjaan menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit karena menjalankan peran dalam pekerjaan. Jam kerja yang panjang dan beban

kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work family

conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003; Greenhaus & Beutell, 1985).

Frone, Russell dan Cooper (1992) mendefinisikan work family conflict

sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana disatu sisi pekerja harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit untuk membedakan antara pekerjaan menggangu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga.


(2)

Sebaliknya, keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga

mengganggu pekerjaan. Work family conflict ini terjadi ketika kehidupan keluarga

seseorang bertentangan dengan tanggung jawabnya ditempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntunan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu dan pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan dengan karirnya. Sependapat

dengan Frone, Greenhaus dan Parasuraman (1992) mengemukaan bahwa work

family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya.

Maka dari beberapa paparan diatas dapat disimpulkan bahwa work family

conflict adalah konflik yang terjadi pada seseorang saat menjalankan dua tutuntutan peran secara bersamaan, yaitu peran dalam bekerja dan peran dalam keluarga, sehingga dapat memunculkan perilaku yang tidak diharapkan.

2. Dimensi Work Family Conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi work family conflict, yaitu:

1. Time-Based Conflict

Mengacu pada kesulitan dalam pembagian waktu, energi dan

kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Time based


(3)

peran menyebabkan tuntutan dari peran lain tidak mungkin terpenuhi (secara fisik) dan (2) individu sangat menikmati satu peran dibanding peran yang lain (secara mental). Waktu yang dihabiskan untuk melaksanakan satu peran akan menyisakan sedikit waktu untuk menjalankan peran yang lain.

2. Strain Based Conflict

Mengacu pada ketegangan atau keadaan emosional (misalnya kelelahan, kecemasan, depresi, mudah marah) yang dihasilkan oleh satu peran menyulitkan pemenuhan tuntutan peran yang lain atau menghambat performansi peran lain tersebut.

3. Behavior Based Conflict

Mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat perilaku individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah menyebabkan individu sulit menukar antara peran yang satu dengan yang lain.

3. Aspek-aspek Work Family Conflict

Work family conflict (WFC) terdiri dari dua aspek yaitu WIF (work interfering with family) dan FIW (family interfering with work) (Frone 2003; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari WIF lebih dikarenakan akibat

tuntutan waktu yang terlalu berlebihan atau time-based conflict dalam satu hal

(contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi pada akhirnya adalah ketegangan dan tekanan


(4)

atau strain-based conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang

ke rumah dengan suasana hati yang buruk (bad mood) setelah bekerja. Sementara

FIW lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau

bagian (pekerjaan atau keluarga) behavior-based conflict (Frone, 2003).

WIF dan FIW dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan organisasi (misalnya

dukungan sosial). Greenhaus dan Beutell (1985) work family conflict yang terjadi

akan menimbulkan konsekuensi yang negatif antara peran pekerja dalam pekerjaan dengan keluarga. Contohnya, konflik antara pekejaan dengan keluarga

dapat meningkatkan tingkat absensi, meningkatkan turnover, menurunkan

performance, dan menurunkan kesehatan individu tersebut baik secara psikologis maupun kesehatan fisik. Sementara menurut Moore (2005) seorang pekerja yang menunjukkan komitmen organisasi yang tinggi maka pekerja tersebut menunjukkan produktivitas yang tinggi, tingkat turnover yang rendah, absen yang rendah, serta tingkat keterlambatan yang rendah.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict

Bellavia & Frone (2005) menguraikan beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya dalam konflik peran ganda (work family conflict), antara

lain:

1. Dalam Diri Individu (General Intra Individual Predictors)

Ciri-ciri demografis (jenis kelamin, status keluarga, usia anak terkecil)

dapat menjadi faktor resiko, kepribadian (seperti negative affectivity,


(5)

2. Peran Keluarga (Family Role Predictors)

Pembagian waktu untuk pekerjaan di keluarga (pengasuhan dan tugas rumah tangga), stresor dari keluarga (dikritik, terbebani oleh anggota keluarga, konflik peran dalam keluarga, ambiguitas peran dalam keluarga).

3. Peran Pekerjaan (Work Role Predictors)

Pembagian waktu, terkena stressor kerja (tuntutan pekerjaan atau overload, konflik peran kerja, ambiguitas peran kerja), job characteristic (kerjasama, rasa aman dalam kerja), dukungan sosial dari atasan dan rekan, karakteristik tempat kerja. Beban kerja yang terlalu banyak akan membuat karyawan harus kerja lembur, atau banyaknya tanggung jawab tugas keluar kota bersama rekan kerja yang diberikan atasan membuat karyawan akan menghabiskan lebih banyak waktunya untuk pekerjaan dan berada di perjalanan.

Dengan job characteristic yang dimiliki karyawan, maka akan

mempengaruhi keadaan psikologis bagi karyawan, karyawan akan merasakan keberartian mengenai aspek pekerjaan yang dihadapinya, kemudian karyawan tersebut akan merasa bertanggung jawab terhadap hasil dari suatu pekerjaan yang dikerjakan, dan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh untuk menghadapi pekerjaannya, serta peningkatan mutu karyawan dan yang selanjutnya akan memperoleh hasil akhir yaitu motivasi keja internal yang tinggi,


(6)

kinerja yang berkualitas tinggi, kepuasan karyawan, serta rendahnya absensi dan rotasi karyawan.

B. Job Characteristic

1. Definisi Job Characteristic

Job characteristic merupakan aspek internal dari suatu pekerjaan yang

mengacu pada isi dan kondisi dari pekerjaan (Hackman & Oldham, 1980). Job

characteristic sebagai bentuk prediksi individu mengenai kondisi tugas yang

sesuai dengan pekerjaan mereka, kondisi tugas ini meliputi skill variety, task

identity, task significance, autonomy dan feedback (Hackman & Oldham, 1976).

Menurut As’ad (1992) job characteristic merupakan salah satu faktor yang

menentukan kesesuaian seseorang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu, dan memungkinkan seseorang untuk lebih berhasil dalam bidang yang ditekuninya karena karyawan tersebut akan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya, memiliki minat yang besar terhadap pekerjaan dan semakin berorientasi di bidang pekerjaannya.

Menurut Robbins (2003) job characteristic merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Job characteristic menentukan

kesesuaian orang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu dan memungkinkan seseorang untuk lebih berhasil dalam bidang yang di tekuninya. Dengan

pemahaman terhadap job characteristic di harapkan karyawan tersebut akan

semakin berorientasi di bidang pekerjaannya. Karyawan akan menekuni pekerjaan dengan konsentrasi dan tanggung jawab yang di sertai perasaan senang sampai di


(7)

peroleh hasil yang memuaskan. Jika seorang karyawan memiliki karakteristik yang sesuai dengan pekerjaannya maka kinerjanya akan meningkat.

Dari definisi yang diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari job characteristic adalah suatu kondisi pekerjaan yang dapat menentukan kesesuaian seseorang dengan suatu bidang pekerjaan tertentu yang terdiri dari variasi keterampilan yang dibutuhkan, prosedur dan kejelasan tugas, tingkat kepentingan, kewenangan dan tanggung jawab serta umpan balik dari tugas yang dilaksanakan.

2. Dimensi Job Characteristic

Menurut Hackman dan Oldham (1980), job characteristic memiliki lima

dimensi, yaitu :

a. Skill Variety

Dideskripsikan sebagai suatu tingkatan dimana pekerjaan menuntut karyawan untuk melakukan suatu kegiatan yang menantang keterampilan dan kemampuan mereka. Hal ini meliputi penggunaan sejumlah keterampilan dan kemampuan yang berbeda. Beberapa studi

menyatakan bahwa skill variety adalah salah satu prediktor terbaik

dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi lebih besar terhadap orang-orang yang memiliki berbagai keterampilan kerja.

b. Task Identity

Suatu tingkatan dimana karyawan mengenal dan dapat menyelesaikan tugasnya secara menyeluruh dari awal sampai akhir dengan hasil yang terlihat walaupun pada pekerjaan kelompok dan dapat di


(8)

identifikasikan. Hal ini akan lebih berarti bagi karyawan karena mereka menganggap bahwa pekerjaan tersebut penting dan merasa bangga akan hasil yang didapatkannya.

c. Task Significance

Suatu tingkat dimana pekerjaan tersebut memiliki pengaruh yang penting pada kehidupan atau pekerjaan orang lain, baik di dalam organisasi ataupun lingkungan luar. Studi empiris menyebutkan

bahwa task significance berhubungan positif dengan kepuasan kerja

dan komitmen terhadap organisasi. d. Autonomy

Kebebasan untuk mengendalikan sendiri pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya, dengan indikator kebebasan dalam merencanakan pekerjaan dan kebebasan dalam melaksanakan tugas.

e. Feedback

Informasi atau tanggapan mengenai hasil pelaksanaan kerja karyawan, dengan indikator penerima informasi tentang keberhasilan yang telah dicapai dan penerimaan informasi tentang kesesuaian

pelaksanaankerja dengan keinginan atasan.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan masing-masing dimensi, maka

munculnya Job characteristic pada karyawan karena hasil dari suatu pekerjaan

yang dirancang dengan menggabungkan lima dimensi pekerjaan pokok, yaitu skill


(9)

karyawan yang memiliki job characteristic akan mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan psikologis karyawan, kemudian akan mempengaruhi motivasi karyawan dalam bekerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan kinerja karyawa (Hackman & Oldham, 1975). Dengan demikian semakin besar kadar kelima dimensi karakteristik suatu tugas, maka akan semakin besar pula komitmen karyawan dalam bekerja yang selanjutnya akan mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan Ivancevich, Mara dan Michael (2001), yang menyatakan bahawa job

characteristic berkembang sebagai upaya untuk mengukur persepsi karyawan

terhadap isi pekerjaan (job content), yang mengidentifikasi lima dimensi inti

pekerjaan yaitu skill variety, task identity, task significance, autonomy serta

feedback.

C. Hubungan Job Characteristic Dengan Work Family Conflict Pada Karyawan Perbankan

Dunia pebankan merupakan lembaga keuangan dengan tugas memberikan jasa keuangan melalui penitipan uang (simpanan), peminjaman uang (kredit), serta jasa-jasa keuangan lainnya. Oleh karena itu, bank harus dapat menjaga kepercayaan dari nasabah. Faktor utama yang berperan terhadap kemajuan perusahaan adalah sumber daya manusianya (karyawan) yang dimiliki perusahaan. Penampilan dalam bekerja adalah salah satu faktor penting dalam mendukung performa bagi karyawan di tempat kerja (Rickieno, 2008).


(10)

Maka untuk itu setiap bank memerlukan karyawan yang memiliki keterampilan dan kemampuan dalam dunia perbankan agar dapat melayani setiap produk perbankan yang ditawarkan secara cepat, tepat, dan memuaskan. Karyawan juga dituntut untuk menyeimbangkan waktu, tenaga dan pikiran antara keluarga dan pekerjaan. Kesulitan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan

keluarga yang sering kali bertentangan dapat menyebabkan terjadinya work family

conflict (Bedeian, Burke, & Moffett, 1988).

Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan

terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan

waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan menjaga anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan dengan anggota yang lain (Yang, Chen, & Zou, 2000).

Wayne, Musisca dan Fleeson, (2004) menemukan bahwa ternyata konflik antarperan disebabkan oleh dua bentuk tuntutan peran yang saling bertentangan yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) sebelumnya, yaitu : waktu

(time) dan ketegangan (strain). Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan

memiliki lebih banyak energi, mengalami lebih sedikit stress, atau lebih mampu menghadapi berbagai tekanan sehingga akan memiliki konflik peran yang lebih sedikit ketika orang tersebut memiliki karakteristik tertentu yang memungkinkannya untuk bekerja dengan memanfaatkan waktu secara lebih efisien (Wayne, Musisca, & Fleeson, 2004).


(11)

Beberapa job characteristic seperti jam kerja yang panjang dan beban

kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work family

conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003; Greenhaus & Beutell, 1985). Work Family Conflict dapat mengakibatkan stress dan ketidakpuasan, yang kemudian berpengaruh pada keputusan ketidakhadiran karyawan dan dalam waktu

tertentu dapat meningkatkan turnover karyawan atau yang melatar belakangi

keputuasan berhenti bekerja bagi karyawan (Triaryati, 2002).

Konflik peran dan tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan faktor terjadinya stress di tempat kerja (Nouri & Parker, 1996). Strees kerja terjadi karena adanya karakteristik intrinsik dalam pekerjaan. Karakteristik tersebut

antara lain berupa, tuntutan kerja (task demans) seperti disain kerja, autonomy,

task identity, tingkat otomisasi (Sheridan & Radmacher, 1992), heterogenitas personalia, saling ketergantungan dalam pelaksanaan tugas dan spesialisasi (Schultz & Schultz, 1982). Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya, seperti lembur, akan memunculkan kelelahan, ketegangan dan emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga


(12)

conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Studi yang dilakukan oleh Apperson, Schimdt, Moore, dan Grunber (2002)

menemukan bahwa job characteristic yang lebih formal dan manajerial, seperti

jam kerja yang relatif panjang dan banyaknya beban pekerjaan yang harus

dikerjakan lebih cenderung memunculkan work-family conflict pada pekerja.

Job characteristic berupa pendekatan terhadap pengayaan pekerjan (job enrichment). Program pengayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha merancang pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan mereka akan pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dikerjakan. Dengan pemerkayaan pekerjaan dapat menambahkan sumber kepuasan kepada pekerjaan (Simamora, 2004). Namun kepuasan pekerjaan yang

di dapat terhambat ketika seseorang pekerja mengalami work family conflict

dimana pekerja berusaha memenuhi tuntutan dari pekerjaan dan keluarga dan kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga (Simon, Kummerling & Hasselhorn, 2004).

Menurut Hackman dan Oldham (1975) job characteristic mempengaruhi

tingkat motivasi, kinerja karyawan, kepuasan kerja, tingkat absensi, dan tingkat perputaran kerja. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa faktor-faktor dalam pekerjaan yang dapat memunculkan pengalaman akan arti penting dari pekerjaan

adalah adanya variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (Task identity),


(13)

characteristic, bila dihubungkan dengan keadaan psikologis akan dapat memberikan hasil antara lain, motivasi kerja intern yang tinggi, kepuasan kerja yang tinggi dan tingkat kemangkiran serta pertukaran kerja yang rendah (Schuller, 1997).

Berdasarkan lima dimensi di atas atau yang disebut ciri-ciri intrinsik pekerjaan, Hackman dan Oldham (1980) (Luthans, 2008) mengembangkan model job characteristic dari motivasi kerja. Keduanya mengasumsikan bahwa ciri-ciri

pekerjaan di atas menimbulkan tiga critical psychological states, yaitu:

experienced meaningfulness of the work (skill variety, task identity dan task significant), mengacu pada sejauh mana karyawan mengalami pekerjaan sebagai salah satu yang umumnya bermakna, berharga dan berguna. Namun, ketika

seorang karyawan dihadapkan pada strain-based conflict maka hal yang akan

terjadi tekanan dari salah satu peran akan mempengaruhi kinerja peran lainnya. Dimana gejala tekanan, seperti: Ketegangan kecemasan, depresi dan mudah marah (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Experienced responsibility for outcomes of the work (autonomy), mengacu pada sejauh mana karyawan merasa dipertanggung jawabkan dan bertanggung jawab untuk hasil pekerjaan yang dia lakukan. Namun tanggung jawab seorang

pekerja tidak hanya dalam pekerjaannya saja, dalam Time-Based Conflict

seseorang pekerja akan merasa kesulitan dalam pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Bentuk konflik Ini secara positif berkaitan dengan: Jumlah jam kerja, lembur, tingkat kehadiran, ketidakteraturan shift dan kontrol jadwal kerja (Greenhaus dan Beutell, 1985).


(14)

Knowledge of the actual results of the work activities (feeedback), mengacu pada sejauh mana karyawan mengetahui dan memahami secara terus

menerus, seberapa efektif ia dapat melakukan pekerjaan. Dalam behavior based

conflict, mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat perilaku individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah menyebabkan individu sulit menukar antara peran yang satu dengan yang lain (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Kondisi psikologis pada pegawai akan menghasilkan motivasi kerja yang tinggi, dimana motivasi ini lebih bersifat internal, kepuasaan kerja yang terus tumbuh, tingginya efektifitas kerja (Hackman & Oldham, 2005) dan rendahnya tingkat absensi serta berhenti kerjanya karyawan (Djastuti, 2011). Dari penjelasan

di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa job characteristics dapat membuat

karyawan mengalami kondisi psikologis seperti meaningfulness, responsibility,

dan knowledge the results. Kondisi psikologis yang dialami karyawan akan membuat motivasi kerja yang tinggi, puas dalam bekerja, tingginya efektifitas

kerja yang membuat rendahnya tingkat turnover dan resign dari pekerjaan dimana

hal-hal ini diindikasikan sebagai ciri-ciri dari karyawan yang terlibat dalam pekerjaannya (Robbins, 2002).

Hackman dan Oldham (1980) menjelaskan bahwa karyawan yang berada pada pekerjaan yang sesuai dengan tugas pekerjaan mereka akan bekerja lebih keras karena motivasi internal yang dimiliki. Aldag, Barr dan Brief (1981) yang

membuktikan bahwa job characteristic berpengaruh terhadap motivasi kerja,


(15)

dan stres. Sedangkan Gibson (2006) menyatakan sikap terhadap job characteristic secara positif dapat menumbuhkan semangat kerja dan untuk mencapai prestasi kerja yang optimal.

Faktor lain yang turut mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, seperti

faktor skill variety individu, autonomy individu dalam mengerjakan tugas,

feedback yang didapatkan individu atas tugas yang diselesaikan, dan hal lain

menyangkut job characteristic itu sendiri (Hackman dan Oldham, 1976 dalam

Spector, 1996). Misalnya, seseorang yang memandang tugasnya sebagai tugas yang penting, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja (Munandar, 2001).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika karyawan memiliki

kesesuai job characteristic yang positif dengan kehidupan pekerja, maka

karyawan tersebut akan merasa puas dengan pekerjaannya sehingga karyawan akan lebih efektif dalam melakukan pekerjaan dan pada akhirnya karyawan akan

mengabaikan kepentingan keluarganya demi pekerjaan kemudian work family

conflict terjadi.

D. Hipotesis

1. Hipotesis Utama

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini

adalah terdapat hubungan positif antara job characteristic dengan work family

conflict pada karyawan perbankan. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi

skor job characteristic maka semakin tinggi pula skor work family conflict pada


(16)

2. Hipotesis Tambahan

Ada hubungan antara dimensi skill variety, task identidy, task significance,

dan feedback pada job characteristic dengan work family conflict.

a. Ada hubungan positif antara skill variety dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor skill

variety semakin tinggi pula skor work family conflict.

b. Ada hubungan positif antra task identity dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor task

identity semakin tinggi pula skor work family conflict.

c. Ada hubungan positif antara task significance dengan work family

conflict pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi

skor task significance semakin tinggi pula skor work family conflict.

d. Ada hubungan positif antara autonomy dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor autonomy semakin tinggi pula skor work family conflict.

e. Ada hubungan positif antara feedback dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor feedback semakin tinggi pula skor work family conflict.


(1)

Beberapa job characteristic seperti jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work family conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003; Greenhaus & Beutell, 1985).

Work Family Conflict dapat mengakibatkan stress dan ketidakpuasan, yang kemudian berpengaruh pada keputusan ketidakhadiran karyawan dan dalam waktu tertentu dapat meningkatkan turnover karyawan atau yang melatar belakangi keputuasan berhenti bekerja bagi karyawan (Triaryati, 2002).

Konflik peran dan tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan faktor terjadinya stress di tempat kerja (Nouri & Parker, 1996). Strees kerja terjadi karena adanya karakteristik intrinsik dalam pekerjaan. Karakteristik tersebut antara lain berupa, tuntutan kerja (task demans) seperti disain kerja, autonomy, task identity, tingkat otomisasi (Sheridan & Radmacher, 1992), heterogenitas personalia, saling ketergantungan dalam pelaksanaan tugas dan spesialisasi (Schultz & Schultz, 1982). Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya, seperti lembur, akan memunculkan kelelahan, ketegangan dan emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tersebut memunculkan work-family


(2)

conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Studi yang dilakukan oleh Apperson, Schimdt, Moore, dan Grunber (2002) menemukan bahwa job characteristic yang lebih formal dan manajerial, seperti jam kerja yang relatif panjang dan banyaknya beban pekerjaan yang harus dikerjakan lebih cenderung memunculkan work-family conflict pada pekerja.

Job characteristic berupa pendekatan terhadap pengayaan pekerjan (job enrichment). Program pengayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha merancang pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan memuaskan kebutuhan mereka akan pertumbuhan, pengakuan, dan tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang dikerjakan. Dengan pemerkayaan pekerjaan dapat menambahkan sumber kepuasan kepada pekerjaan (Simamora, 2004). Namun kepuasan pekerjaan yang di dapat terhambat ketika seseorang pekerja mengalami work family conflict

dimana pekerja berusaha memenuhi tuntutan dari pekerjaan dan keluarga dan kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga (Simon, Kummerling & Hasselhorn, 2004).

Menurut Hackman dan Oldham (1975) job characteristic mempengaruhi tingkat motivasi, kinerja karyawan, kepuasan kerja, tingkat absensi, dan tingkat perputaran kerja. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa faktor-faktor dalam pekerjaan yang dapat memunculkan pengalaman akan arti penting dari pekerjaan adalah adanya variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (Task identity), dan nilai penting tugas (Task significance). Rangkaian dari kelima job


(3)

characteristic, bila dihubungkan dengan keadaan psikologis akan dapat memberikan hasil antara lain, motivasi kerja intern yang tinggi, kepuasan kerja yang tinggi dan tingkat kemangkiran serta pertukaran kerja yang rendah (Schuller, 1997).

Berdasarkan lima dimensi di atas atau yang disebut ciri-ciri intrinsik pekerjaan, Hackman dan Oldham (1980) (Luthans, 2008) mengembangkan model

job characteristic dari motivasi kerja. Keduanya mengasumsikan bahwa ciri-ciri pekerjaan di atas menimbulkan tiga critical psychological states, yaitu:

experienced meaningfulness of the work (skill variety, task identity dan task significant), mengacu pada sejauh mana karyawan mengalami pekerjaan sebagai salah satu yang umumnya bermakna, berharga dan berguna. Namun, ketika seorang karyawan dihadapkan pada strain-based conflict maka hal yang akan terjadi tekanan dari salah satu peran akan mempengaruhi kinerja peran lainnya. Dimana gejala tekanan, seperti: Ketegangan kecemasan, depresi dan mudah marah (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Experienced responsibility for outcomes of the work (autonomy), mengacu pada sejauh mana karyawan merasa dipertanggung jawabkan dan bertanggung jawab untuk hasil pekerjaan yang dia lakukan. Namun tanggung jawab seorang pekerja tidak hanya dalam pekerjaannya saja, dalam Time-Based Conflict

seseorang pekerja akan merasa kesulitan dalam pembagian waktu, energi dan kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Bentuk konflik Ini secara positif berkaitan dengan: Jumlah jam kerja, lembur, tingkat kehadiran, ketidakteraturan shift dan kontrol jadwal kerja (Greenhaus dan Beutell, 1985).


(4)

Knowledge of the actual results of the work activities (feeedback), mengacu pada sejauh mana karyawan mengetahui dan memahami secara terus menerus, seberapa efektif ia dapat melakukan pekerjaan. Dalam behavior based conflict, mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat perilaku individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah menyebabkan individu sulit menukar antara peran yang satu dengan yang lain (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Kondisi psikologis pada pegawai akan menghasilkan motivasi kerja yang tinggi, dimana motivasi ini lebih bersifat internal, kepuasaan kerja yang terus tumbuh, tingginya efektifitas kerja (Hackman & Oldham, 2005) dan rendahnya tingkat absensi serta berhenti kerjanya karyawan (Djastuti, 2011). Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa job characteristics dapat membuat karyawan mengalami kondisi psikologis seperti meaningfulness, responsibility, dan knowledge the results. Kondisi psikologis yang dialami karyawan akan membuat motivasi kerja yang tinggi, puas dalam bekerja, tingginya efektifitas kerja yang membuat rendahnya tingkat turnover dan resign dari pekerjaan dimana hal-hal ini diindikasikan sebagai ciri-ciri dari karyawan yang terlibat dalam pekerjaannya (Robbins, 2002).

Hackman dan Oldham (1980) menjelaskan bahwa karyawan yang berada pada pekerjaan yang sesuai dengan tugas pekerjaan mereka akan bekerja lebih keras karena motivasi internal yang dimiliki. Aldag, Barr dan Brief (1981) yang membuktikan bahwa job characteristic berpengaruh terhadap motivasi kerja, kepuasan kerja, kinerja, absensi, harapan terhadap pekerjaan, keterlibatan kerja,


(5)

dan stres. Sedangkan Gibson (2006) menyatakan sikap terhadap job characteristic

secara positif dapat menumbuhkan semangat kerja dan untuk mencapai prestasi kerja yang optimal.

Faktor lain yang turut mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, seperti faktor skill variety individu, autonomy individu dalam mengerjakan tugas,

feedback yang didapatkan individu atas tugas yang diselesaikan, dan hal lain menyangkut job characteristic itu sendiri (Hackman dan Oldham, 1976 dalam Spector, 1996). Misalnya, seseorang yang memandang tugasnya sebagai tugas yang penting, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja (Munandar, 2001).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika karyawan memiliki kesesuai job characteristic yang positif dengan kehidupan pekerja, maka karyawan tersebut akan merasa puas dengan pekerjaannya sehingga karyawan akan lebih efektif dalam melakukan pekerjaan dan pada akhirnya karyawan akan mengabaikan kepentingan keluarganya demi pekerjaan kemudian work family conflict terjadi.

D. Hipotesis

1. Hipotesis Utama

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara job characteristic dengan work family conflict pada karyawan perbankan. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi skor job characteristic maka semakin tinggi pula skor work family conflict pada karyawan sektor perbankan.


(6)

2. Hipotesis Tambahan

Ada hubungan antara dimensi skill variety, task identidy, task significance,

dan feedback pada job characteristic dengan work family conflict.

a. Ada hubungan positif antara skill variety dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor skill variety semakin tinggi pula skor work family conflict.

b. Ada hubungan positif antra task identity dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor task identity semakin tinggi pula skor work family conflict.

c. Ada hubungan positif antara task significance dengan work family conflict pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor task significance semakin tinggi pula skor work family conflict. d. Ada hubungan positif antara autonomy dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor

autonomy semakin tinggi pula skor work family conflict.

e. Ada hubungan positif antara feedback dengan work family conflict

pada karyawan sektor perbankan yang berarti semakin tinggi skor