DIALOG TERBUKA SOLUSI TERBAIK UNTUK PAPU

DIALOG TERBUKA: SOLUSI TERBAIK UNTUK PAPUA
Untuk memahami dan memaknai pokok permasalahan yang terjadi
di Tanah Papua merupakan hal yang sangat kompleks dan sukar
ditemukan ujung pangkalnya. Pernyataan senada sering dijumpai di
bagian awal pada buku maupun tulisan-tulisan yang mengangkat topik
tentang konflik di Papua dan solusi penyelesaiannya. Tentu saja ini dapat
dimaklumi karena para penulis, ahli dan pemerhati yang mengadakan
studi maupun penelitian tentang konflik di Papua, terutama orang amber
(non-Papua), pada umumnya tidak mampu merasakan apa yang dirasakan
dan diinginkan orang Papua. Sehingga kebanyakan orang Indonesia, yang
tentunya awam tentang Papua, sepakat bahwa yang terjadi di Papua
adalah permasalahan tentang kesejahteraan, pembangunan, ekonomi,
pendidikan, sampai pada keamanan, separatis dan terorisme. Pandangan
tersebut tidak sepenuhnya dapat dikatakan salah, tapi sepenuhnya tidak
dapat dibenarkan. Namun untuk menyimpulkan tentang ‘apa yang
dirasakan dan diinginkan orang Papua’ dibutuhkan lebih dari sekedar riset
1-2 tahun, tidak pun juga dengan menceriterakan pengalaman hidup
beberapa belas tahun seorang prajurit TNI atau pejabat pemerintahan,
yang mungkin dengan rasa terpaksa menerima tugas untuk berdinas di
Papua. Dengan alasan itu pula maka hingga detik ini ada semacam rasa
ketidakpuasan orang Papua terhadap Indonesia, dalam hal ini Jakarta,

yang memunculkan ketidak percayaan akan semua bentuk ‘kebaikan’
yang ditawarkan pemerintah Jakarta.
Pemerintah pusat pun telah banyak melakukan berbagai macam
pendekatan-pendekatan untuk membangun kepercayaan dari orang
Papua yang telah dilakukan pada masa pemerintahan yang lalu (sebelum
SBY) hingga sekarang, namun dengan berat dapat saya katakan disini
bahwa semua itu belum menghasilkan sesuatu yang berarti. Kini di era
reformasi ini, dengan diberikannya Otonomi Khusus (Propinsi Papua &
Papua Barat) menurut saya sendiri sedikit banyak telah memberikan
perubahan bagi peningkatan kesejahteraan di berbagai aspek kehidupan.
Walaupun masih banyak ditemukan misalnya sekolah-sekolah di
pedalaman yang sangat minim tenaga pengajar, atau juga ibu hamil yang
harus bersalin sendiri karena tak tersentuh pelayanan medis. Untuk itu
tak dapat dipungkiri pula bahwa banyak juga yang berpendapat bahwa
‘Otsus Papua telah gagal’. Untuk yang terakhir ini (Otsus) saya tidak
mengatakan telah gagal, namun menganggapnya sebagai suatu bentuk
‘tawar-menawar’ pemerintah Indonesia dengan orang Papua. Yang
sejujurnya bahwa Jakarta terkesan setengah hati dalam memenuhi
tuntutan dasar orang Papua. Dalam artian jika pemerintah Jakarta
memang benar-benar ingin mengakhiri secara tuntas akar permasalahan

di Papua, maka yang diperlukan terutama adalah niat baik yang tulus

serta konsistensi untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan
terjadi di Tanah Papua.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, pun dengan adanya peristiwaperistiwa yang tidak kita inginkan bersama mulai dari unjuk rasa, mogok
kerja, kerusuhan, perang suku, dll, hingga terakhir penembakan yang
menjatuhkan korban jiwa, Papua kembali diperbincangkan dalam rangka
langkah-langkah kebijakan apa yang harus diambil Jakarta untuk
meredamnya dari sorotan internasional. Salah satu opsi yang bisa
dilakukan adalah penegakan hukum dengan jalan mengusut tuntas kasuskasus yang terjadi. Yang pastinya mengarah pada pengejaran,
penangkapan, penahanan, mungkin juga penyiksaan, dan mengadili
oknum-oknum yang dinilai merupakan pengganggu keamanan dan
mengancam kedaulatan negara Indonesia, tentunya mengatas namakan
hukum Indonesia. Jika ini ‘terpaksa’ dilakukan maka yang akan menjadi
korban adalah lagi-lagi orang Papua, yang sejak lama memang seperti
begitu.
Namun dengan alasan apapun juga kita semua harus menyadari
bahwa kekerasan dalam bentuk apapun dengan mengatas namakan
hukum manapun, sudah sangat tidak relevan terjadi dalam perkembangan
peradaban manusia saat ini. Dan juga pemerintah Jakarta pasti tidak

seceroboh itu untuk secara terbuka mengambil langkah militer. Disamping
sebagai pencitraan supaya dianggap sudah tidak lagi menggunakan
kekerasan di Tanah Papua, juga (lagi-lagi) untuk menghindari sorotan
dunia internasional. Yang mana sangat mengancam bila ada oknumoknum tertentu (yang disebut separatis oleh militer Indonesia) yang
mendapat dukungan dari dunia internasional.
Opsi lain yang sangat mungkin dilakukan adalah dialog, yang lebih
populer di Indonesia disebut musyawarah. Wacana mengenai dialog ini
pun bukan hal yang baru. Telah banyak utusan-utusan dari Papua yang
melakukan dialog-dialog dengan pemerintah Indonesia, namun sekali lagi
itu belum bisa menyelesaikan gejolak-gejolak yang terjadi.
Sampai sekarang pun belum ada dialog terbuka dengan orang
Papua yang mampu mengakomodir semua aspirasi. Dialog terbuka yang
saya maksud disini adalah perwakilan orang Papua (tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa) yang duduk
bersama seluruh stake holder di Indonesia yang berkepentingan di Papua,
dan tentu saja harus difasilitasi oleh sebuah organisasi internasional atau
pun satu negara yang bersifat netral, bukan Australia maupun Belanda,
apalagi Amerika. Kalau ini bisa dilakukan dan pemerintah Jakarta benarbenar tulus mau melihat orang-orang Papua hidup dalam damai, niscaya

bukan hal yang mustahil semua cita-cita luhur dan kehidupan cerah di

masa depan bukan lagi menjadi mimpi. Terima kasih.