NEW MEDIA DAN POLITIK GLOBAL STUDI KASUS
NEW MEDIA DAN POLITIK GLOBAL
STUDI KASUS BREXIT
Oleh Stefani Dyah Retno Pudyanti - 15/384163/SP/26875
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Esai ini mengulas salah satu topik bahasan Komunikasi Internasional yaitu new
media melalui studi kasus Brexit. New media menjadi salah satu produk hasil globalisasi.
Globalisasi sebagai sebuah proses menjadi hal yang tak terelakan dan masih berlangsung
hingga saat ini. Globalisasi membuat hal, isu, dan fenomena yang terjadi di suatu daerah
dan berskala lokal bisa tersebar hingga ke tinggkat global, hal ini menunjukan semakin
kaburnya batas antar negara yang didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi.
New media sebagai hasil dari perkembangan teknologi informasi dan pendukung
globalisasi menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan masyarakat global saat ini. New
media hampir digunakan setiap saat oleh sebagian besar umat manusia di dunia. New media
juga memberikan signifikansi dan implikasi bagi berbagai aspek kehidupan manusia salah
satunya dalam bidang politik dan komunikasi.
Melalui esai ini, saya akan membahas signifikansi dan implikasi new media pada
bidang politik dengan menggunakan kasus Brexit, tepatnya penggunaan new media sebelum
referendum tanggal 23 Juni 2016. New media yang saya maksudkan di sini adalah sosial
media dan media massa berbasis internet. Brexit sebagai fenomena politik tidak sebatas
perbincangan di dalam negeri Inggris dan regional Eropa, mengingat globalisasi saat ini
batas antar negara mengabur sehingga permasalahan di suatu wilayah juga bisa menjadi
perbincangan di belahan bumi lainnya yang tersebar dengan mudah karena adanya
teknologi informasi yang semakin canggih.
Kemudahan penggunaan new media
dimanfaatkan untuk kampanye melalui sosial media dalam referendum Brexit dan juga
mempermudah banyak orang untuk mencari akses informasi tetang Brexit dengan media
massa yang sudah merambah dunia digital. New media menjadi sarana yang dianggap
berpengaruh dalam hasil referendum Brexit, dimana suara yang menang adalah untuk keluar
dari keanggotaan Uni Eropa.
1
2
Globalisasi merupakan hal yang sudah tidak asing lagi didengar dan diperbincangkan.
Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana makin kaburnya batas antar negara
dan bertambahnya interdependesi berbagai hal, isu, organisasi, kelompok dan individu di
berbagai belahan dunia satu dengan yang lainnya. Globalisasi membawa dampak bagi
berbagai aspek kehidupan salah satunya komunikasi. Sekarang ini kejadian di satu tempat
bisa dengan cepat diketahui di sisi lain bumi, hal ini terutama terjadi karena ada
perkembangan teknologi komunikasi elektronik (Baylis and Smith, 2001: 9).
Perkembangan teknologi komunikasi untuk mendukung globalisasi juga dibarengi
dengan perkembangan new media. New media dapat diartikan sebagai media komunikasi
massa yang berbasis internet, di sini termasuk media massa yang biasanya konvensional
seperti koran dan majalah yang beralih ke fitur digital melalui website atau aplikasi online
dan juga sosial media yang dapat digunakan oleh siapa saja. New media menjadi salah satu
pendukung berlangsungnya globalisasi, dengan new media suatu hal atau isu di satu tempat
bisa dengan cepat tersiar ke tempat lain dan bahkan dapat membawa dampak di sana. Hal ini
menunjukan batas wilayah dan negara sudah tidak menjadi penghalang dan semakin
terkoneksinya orang-orang di berbagai belahan dunia. New media menjadi basis utama dalam
komunikasi internasional di era ini.
New media merupakan pendukung dari globalisasi dan mempermudah komunikasi
internasional. Sudah dibahas sebelumnya apa itu new media dan globalisasi, bagaimana
dengan komunikasi internasional? Menurut Gerhard Maletzke (dikutip oleh Sastropoetro,
1984: 12) komunikasi internasional adalah komunikasi antar berbagai negara atau bangsa
melintasi batas-batas negara . Negara menjadi aktor utama dalam komunikasi internasional,
sama halnya dalam hubungan internasional, negara dilihat sebagai entitas formal yang
memiliki kedaulatan. Namun seiring perkembangannya zaman, komunikasi internasional
tentunya tidak terbatas pada komunikasi formal antar dua negara, melainkan dapat diartikan
dengan komunikasi melewati batas-batas negara yang bisa dilakukan oleh individu ataupun
kelompok tertentu.
Salah satu isu yang sering diulas melalui new media adalah isu politik, baik politik
domestik suatu negara atau wiliayah ataupun politik internasional. Tidak hanya dari kalangan
jurnalis atau profesional lain yang bisa berbicara soal politik, dengan adanya new media
terutama media sosial semua orang bisa berkomentar, bisa menyuarakan pendapatnya dan
juga melakukan pengaruh dalam hal politik. Politik domestik yang terjadi di suatu negara
3
dapat dengan mudah tersebar dan diketahui oleh masyarakat dunia, contoh paling baru di
dalam negeri adalah soal kasus Ahok yang beberapa kali saya lihat beritanya juga dimuat di
media massa internasional. Tidak hanya sekedar diketahui oleh masyarakat global tapi politik
domestik di suatu negara juga bisa berdampak ke negara lain baik secara politik juga ataupun
pada keadaan sosial masyarakatnya. Fenomena ini kembali lagi dengan konsep awal
globalisasi, mengaburnya batas wilayah dan hal lokal menjadi global, masalah politik lokal
menjadi politik global. New media di sini memberi dampak besar pada fenomena-fenomena
politik. Melalui esai ini saya berhipotesis bahwa new media sebagai salah satu instrumen
dalam komunikasi internasional, menjadi faktor utama mengglobalnya isu politik domestik
suatu negara atau wilayah dan menambah warna dalam perpolitikan global. Untuk
memperkuat argumen saya, akan saya paparkan selanjutnya melalui studi kasus Brexit.
Brexit merupakan kepanjangan dari British Exit. Istilah Brexit ditujukan untuk
menggambarkan British/Britania Raya atau lebih dikenal dengan Inggris yang berwacana
untuk keluar dari keanggotaan organisasi regional Uni Eropa. Terjadi dilema dalam negeri
Inggris apakah harus tetap bertahan atau keluar dari Uni Eropa, sehingga diputuskan untuk
melakukan referendum yang telah dilaksanakan pada 23 Juni 2016. Referendum ini diikuti
oleh 71,8% pemilik hak suara atau sekitar 30 juta orang di seluruh Britania Raya yang terdiri
dari England, Wales, Nothern Ireland, dan Scotland, dengan hasil suara 52% memilih untuk
keluar dari Uni Eropa dan 48% tetap bertahan di Uni Eropa (Hunt and Wheeler, 2016). Bila
dari hasil referendum tersebut, Inggris seharusnya keluar dari keanggotaan Uni Eropa, namun
membutuhkan proses lebih untuk benar-benar keluar dari Uni Eropa. Sebelum referendum,
pemilih dihadapi pada dua pilihan yaitu keluar atau bertahan dan pemilih ini disuguhi
berbagai janji, iming-iming dan persuasi yang dilakukan oleh dua kubu juga yaitu pro Brexit
dan kontra Brexit atau pro-Remain (remain in European Union). Referendum Brexit ini
menjadi seperti sebuah pemilu dengan kampanyenya untuk menarik sebanyak mungkin suara.
Kelompok pro-Brexit mengusung nilai-nilai kemerdekaan dan kedaulatan, serta
mempertahankan budaya Inggris mengingat Uni Eropa sebagai organisasi regional yang
bersifat suprastate yang dianggap mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Inggris (Taub,
2016). Uni Eropa agak berbeda dengan organisasi regional lainnya, Uni Eropa memiliki
kewenangan lebih untuk mengatur urusan domestik dan luar negeri negara anggotanya
sehingga mengurangi kedaulatan negara tersebut. Kelompok pro-Brexit menggunakan ini
sebagai bahan kampanye, ditambah dengan isu sensitif saat itu yaitu pengungsi dan imigran,
dimana Uni Eropa dan Inggris ada ketidaksepahaman soal aturan imigran dan pengungsi.
4
Lawan dari pro-Brexit atau pro-remain yang mendukung agar Inggris tetap bertahan di Uni
Eropa menarik massa dengan menggunakan alasan ekonomi. Inggris dianggap akan
mendapatkan keuntungan secara ekonomi bila tetap di Uni Eropa, mengingat fokus utama
Uni Eropa memang pada ekonomi dan perdagangan bebas. Eropa adalah pasar utama ekspor
Inggris serta sumber dari invesatsi asing, bila Inggris keluar dari Uni Eropa ditakutkan akan
timbul permasalah ekonomi bagi Inggris. Masalah lain yang dibawa oleh kelompok proBrexit dianggap bukan suatu urgensi dan lebih urgen kepentingan ekonomi.
Sosial media (terutama Facebook, Twitter, dan Instagram) sebagai salah satu dari new
media dianggap sebagai sarana efektif untuk kampanye menjelang referendum Brexit
terutama. Dua kubu yang berlawanan sama-sama berlomba menggunakan sosial media untuk
menarik perhatian masyarakat yang nantinya akan memilih. Sosial media menjadi pilihan
utama dalam berkampanye karena ada dua alasan utama: pertama lebih hemat biaya
dibanding media konvensional dengan poster, flyer, spanduk atau memasang iklan di koran
dan televisi, alasan kedua karena sosial media mudah digunakan dan dapat menjaring banyak
orang dengan waktu cepat. Menurut data 59% warga Britania Raya memiliki sosial media
dan 32 juta jiwa mengaksesnya menggunakan smart phone (Fleischmann, 2015), sehingga
kemudahan dalam penggunaan sosial media dimaanfaatkan untuk kepentingan politik. Selain
karena kemudahannya, sosial media digunakan juga sebagai ajang para politisi unjuk gigi dan
berinteraksi dengan masyarakat serta menyampaikan gagasan mereka dan mempengaruhi
pemilih secara lebih personal. Sosial media menjadi sarana nomor satu sebagai sumber
informasi (politik) di Inggris, terutama menjelang referendum Brexit dengan perkiraan
sebanyak 38 juta akun media sosial yang aktif (Vickers, 2016).
Kubu pro-Brexit dan pro-remain memiliki strateginya masing-masing dalam
kampanye via sosial media yang berbeda satu sama lain. Kelompok pendukung Brexit
menggunakan emosi atau perasaan dalam kampanyenya yang akan membuat orang-orang
tersentuh dengan ide untuk meninggalkan Uni Eropa. Tag line utama yang digunakan adalan
Vote Leave atau dengan penggunaan hashtag (tanda pagar) menjadi #VoteLeave. Kelompok
pro-remain tidak menggunakan perasaan dalam kampanye melainkan menonjolkan fakta dan
data akurat bagaimana keuntungan bertahan di Uni Eropa dan kerugian jika meninggalkan
Uni Eropa. Kampanye kubu lawan Brexit mengusung Britain Stronger In dengan hashtag
#StrongerIn, dimana penyampain kampanye mengesampingkan perasaan audience dan lebih
ke pemikiran rasional. (Smith, 2016)
Twitter menjadi media sosial favorit dalam kampanye karena kemudahan dengan
penggunaan hashtag atau trending topic dan juga lebih terbuka tiap orang bisa langsung
5
terjun dalam percakapan di Twitter sedangkan Facebook lebih digunakan untuk share artikel
dan tulisan panjang. Di Instagram kampanye tentunya disampaikan menggunakan postingan
foto atau gambar, kubu pro-Brexit cenderung menyebarluaskan gambar-gambar berbau
human interest yang menjadi lebih menarik dibanding dengan kudu lawannya yang lebih
sering post gambar dengan tulisan IN (Vickers, 2016). Kegiatan di sosial media yang biasa
dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan pribadi, karena isu seperti Brexit menjadi suatu
kegiatan politis. Share, like, komentar, retweet yang dilakukan seseorang mungkin bagi
dirinya tidak berasa signifikan, tapi bila dilakukan oleh orang banyak maka menjadi suatu
gerakan sosial yang bisa menyetir pemikiran orang lain dalam memilih atau voting.
Bila dilihat hasil akhir referendum dimana Brexit menang, bisa dikatakan bahwa
kampanye dari kelompok pro-Brexit bisa lebih menarik simpati masyarakat untuk memilih
hengkang dari Uni Eropa, terlepas dari keadaan politik yang terjadi pasca referendum. Di sini
terlihat keberhasilan penggunaan sosial media oleh kubu pro-Brexit dalam kampanye.
Kelompok pro-Remain sendiri merasa gagal dalam kampanye, walaupun setelah referendum
selesai banyak yang menyayangkan hasil referendum itu. Keberhasilan dari kudu pro-Brexit
ini selain karena permainan perasaan dan emosi dalam kampanye, juga dikarenakan
efektifnya penggunaan sosial media. Efektif di sini maksudnya adalah rutinitas dalam
kampanye sosial media, dan banyaknya pendukung setia yang mensupport kampanye di
berbagai sosail media sehingga mendominasi berbagai jenis sosial media dan dapat
mempengaruhi terutama bagi yang tidak tahu apa-apa dan belum memiliki pendirian soal
referendum (Polonski, 2016). Tidak hanya sekedar menggunakan sosial media, kubu proBrexit hingga membuat applikasi di smartphone untuk menyebarkan kampanyenya yang di
download oleh puluhan ribu orang (Mullen, 2016). Cara kerja dari aplikasi ini dengan
pengguna yang sign up pada aplikasi ini mengajak orang lain seperti teman dan keluarga
terdekat untuk menjadi subscribers aplikasi ini, sehingga secara langsung juga sebagai ajakan
“let‟s Vote Leave”. Aplikasi ini sendiri menghadirkan konten-konten berisi data dan pesan
kampanye dan diseminasi.
Kampanye yang dilakukan ini memang ditujukan untuk domestik Inggris, namun
karena penggunaan sosial media sehingga tersebar ke seluruh dunia. Kita yang tidak berada
di Inggris jadi mengetahui situasi sosial politik di sana hanya dengan melihat sosial media
dari trending topics di twitter atau explore di Instagram. Tidak hanya sekedar mengetahui tapi
juga bisa ikut bersuara dan mengeluarkan pendapat soal referendum Brexit. Brexit menjadi
perhatian dunia internasional, mengingat Inggris pernah menjadi negara besar dan
berpengaruh, sampai saat ini masih ada negara-negara bekas jajahan Inggris berhubungan erat
6
dengan Inggris yaitu negara-negara Commonwealth seperti Australia, Selandia Baru,
Malaysia dan banyak negara lainnya yang dapat terkena dampak bila Inggris keluar dari Uni
Eropa. Selain itu, Uni Eropa sebagai entitas yang diperhitungkan di tingkat internasional juga
dapat terkena dampak bila Inggris benar-benar hengkang, juga negara-negara anggota Uni
Eropa yang lainnya. Tidak heran bila isu Brexit menjadi permasalahan global dan perhatian
banyak orang di berbagai belahan dunia.
Tidak hanya sosial media yang ambil andil dalam referendum Brexit tapi juga media
massa seperti koran atau surat kabar (misalnya The Guardian dan The Telegraph) yang juga
sudah beralih ke new media melalui website dan stasiun televisi yang tidak hanya
mengandalkan siaran di televisi tapi juga bisa diakses via internet dan memiliki portal berita
online seperti BBC. Media dengan berita dan artikel yang disampaikan ke publik domestik
Inggris dan internasional mengenai Brexit memberikan dampaknya juga bagaimana orang
melihat fenomena ini dan mungkin menjadi pertimbangan dalam memberikan suara.
Walaupun media massa tidak secara terang-terangan berpihak pada satu kubu karena
seharusnya bersikap netral, tapi tidak jarang dari apa yang disampaikan tersirat pesan lainnya
bagi para pembaca.
Sebuah riset (Levy, Aslan, and Bironzo , 2016) menyatakan bahwa dalam tiga bulan
pertama masa kampanye Brexit, media di Inggris cenderung lebih mendukung pro-Brexit dan
berdampak pada media lain di tingkat yang lebih luas (internasional). Hal ini didukung
dengan beberapa data yang ditemukan oleh tiga penulis riset ini. Ada sekitar 1558 artikel
yang membahas isu referendum Brexit dengan rata-rata 52 artikel dalam sehari. Sebanyak
41% mendukung keluar dari Uni Eropa dan hanya 27% yang mendukung
bertahan,
sedangkan yang netral sebanyak 32% dengan rincian 23% campur antara mendukung keluar
dan bertahan, 9% tidak mengambil posisi. Pernyataan tokoh politik dari dua kubu yang jadi
sumber artikel (sebanyak 35%) dan terlihat secara kuantitas adanya „keberpihakan‟. Artikel
media massa menggunakan 70% tokoh Conservative Party dan 8% partai UKIP dimana dua
partai ini pro-Brexit, sedangkan hanya 13% dari Labour Party yang pro-Remain digunakan
dalam artikel media massa.
Riset ini juga menyebut nama beberapa media dalam
keberpihakannya soal isu Brexit. Keberpihakan pada pro-Brexit pertama ditempati oleh The
Daily Express (http://www.express.co.uk/) dianggap paling mendukung pro-Brexit dengan
75% dari keseluruhan artikelnya membahas soal referendum dan hanya 15% dari itu yang
mendukung pro-Remain. Kedua, The Daily Mail (http://www.dailymail.co.uk/) dari
artikelnya tentang Brexit 61% pro-Brexit dan 14% pro-Remain, sisanya netral. Selanjutnya
ditempati
oleh
The
Sun
(https://www.thesun.co.uk/),
The
Daily
Star
7
(http://www.dailystar.co.uk/) dan the Telegraph (http://www.telegraph.co.uk/). Tetap ada
media
yang mendukung Inggris bertahan
di
Uni Eropa seperti
the Guardian
(https://www.theguardian.com), the Daily Mirror (http://www.mirror.co.uk/) dan the FT
(https://www.ft.com). Sedangkan media yang dianggap imbang dan tidak berpihak dalam
publikasinya adalah The Times (http://www.thetimes.co.uk/). Dalam membahas isu Brexit,
the FT dan the Times lebih cenderung membahas persoalan ekonomi, sedangkan
permasalahan migrasi, kedaulatan, dan keamanan (yang menjadi poin utama kampanye proBrexit) banyak diulas oleh the Daily Express, The Daily Star dan the Daily Mail.
Media-media ini tetap menggunakan sarana lama berupa koran dan majalah print
untuk di dalam negeri, namun dalam konteks komunikasi internasional masyarakat global
membaca dan menikmati artikel dari media ini menggunakan new media yaitu melalui
website dan aplikasi smartphone. Saya sendiri sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial dan
politik memiliki rasa ingin tahu soal isu sosial politik di belahan dunia lain salah satunya
Inggris, menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah pencarian informasi
dibanding harus membaca surat kabar konvensional dalam negeri atau surat kabar impor yang
harganya mahal. Ketika mengetik di mesin pencari seperti Google “Brexit”, web-web yang
akan keluar banyak dari media-media Inggris itu sendiri. Sehingga menurut saya,
pemberitaan dari media ini dapat mempengaruhi pola pikira tidak hanya masyarakat di
Inggris tapi juga internasional tentang situasi politik di Inggris.
Politik domestik Inggris menjadi penting juga di tingkat Eropa, mengingat dapat
berdampak langsung pada stabilitas Eropa hasil dari referendum Brexit. Eropa sebagai
kawasan penting di tingkat internasional dan pengaruh besar Uni Eropa semakin membuat
Brexit bukan hanya masalah lokal tapi juga global, politik dalam negeri Inggris tidak bisa
disimpan sendiri tapi menjadi konsumsi publik internasional dan jadi isu politik global.
Media lain diluar milik Inggris juga meliput dan membahas tentang Brexit, seperti CNN dan
New York Times, Al Jazeera, bahkan Kompas milik Indonesia. Dengan mengikuti
perkembangan politik global, kita tidak hanya menjadi warga negara suatu negara tapi juga
menjadi warga dunia. Batas-batas antar negara tidak jadi penghalang untuk up to date dengan
isu di berbagai belahan bumi. Kita bahkan tidak hanya menjadi penikmat, penonton, atau
pembaca, kegiatan di new media seperti media sosial dengan like, share, dan repost menjadi
suatu bentuk kegiatan politik berupa dukungan pada satu ide yang disampaikan.
New media di sini memberi dampak besar pada fenomena-fenomena politik. Melalui
esai ini saya berhipotesis bahwa new media sebagai salah satu instrumen dalam komunikasi
internasional, menjadi faktor utama mengglobalnya isu politik domestik suatu negara atau
8
wilayah dan menambah warna dalam perpolitikan global. Untuk memperkuat argumen saya,
akan saya paparkan selanjutnya melalui studi kasus Brexit.
Pemaparan di atas yang berupa penjelasan dan bukti data, berupaya menegaskan
argumen utama saya bahwa new media sebagai instrumen komunikasi internasional
berdampak pada fenomena politik global. Di sini saya melihat Brexit sebagai permasalahan
politik domestik Inggris dan Eropa karena sudah menjadi isu politik tingkat global.
Globalisasi menyebabkan interdependensi antar aktor di dunia yang saling terhubung dan
mempengaruhi satu sama lain, dengan Brexit ini ada banyak pihak di berbagai belahan dunia
yang terlibat dan terkena dampat dari peristiwa ini seperti negara (secara ekonomi, politik,
dan keamanan), media dalam pemberitaannya, perusahaan atau industri dan lainnya. New
media menjadi penting berperan penting dalam Brexit, pertama melalui media sosial yang
sebagai alat kampanye dan secara nyata dianggap efektif memenangkan Leave EU dalam
referendum, kedua media massa yang menyajikan berita-berita seputar Brexit memberikan
informasi pada masyarakat global mengenai apa yang terjadi di Inggris dan membentuk sudut
pandang dalam melihat isu Brexit. Melalui kasus Brexit dapat dilihat signifikansi new media
dalam komunikasi internasional terutama di bidang politik.
9
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Baylis, J., and Smith, S. 2001. The Globalization of World Politics. New York: Oxford
University Press.
Sastropoetro, S. 1984. Komunikasi Internasional Sarana Interaksi Antar Bangsa. Bandung:
Penerbit Alumni.
Sumber Online
Fleischmann, C. 21 Januari 2015. UK Digital, Social and Mobile Statistics for 2015
#smlondon.
Diakses
11
Desember
2016,
dari
#smlondon:
http://socialmedialondon.co.uk/digital-social-mobile-statistics-2015/
Hunt, A., & Wheeler, B. 24 November 2016. Brexit: All you need to know about the UK
leaving
the
EU .
Diakses
10
Desember
2016,
dari
BBC
News:
http://www.bbc.com/news/uk-politics-32810887
Levy, D., Aslan, B., & Bironzo , D. 2016. The press and the Referendum campaign. Diakses
11
Desember
2016,
dari
EU
Referendum
Analysis
2016:
http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendum-analysis-2016/section-3-news/thepress-and-the-referendum-campaign/
Mullen, A. 2016. Leave versus Remain: the digital battle. Diakses 11 Desember 2016, dari
EU Referendum Analysis 2016: http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendumanalysis-2016/section-7-social-media/leave-versus-remain-the-digital-battle/
Polonski, V. 2016. Impact of social media on the outcome of the EU referendum. Diakses 11
Desember
2016,
dari
EU
Referendum
Analysis
2016:
http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendum-analysis-2016/section-7-socialmedia/impact-of-social-media-on-the-outcome-of-the-eu-referendum/
10
STUDI KASUS BREXIT
Oleh Stefani Dyah Retno Pudyanti - 15/384163/SP/26875
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Esai ini mengulas salah satu topik bahasan Komunikasi Internasional yaitu new
media melalui studi kasus Brexit. New media menjadi salah satu produk hasil globalisasi.
Globalisasi sebagai sebuah proses menjadi hal yang tak terelakan dan masih berlangsung
hingga saat ini. Globalisasi membuat hal, isu, dan fenomena yang terjadi di suatu daerah
dan berskala lokal bisa tersebar hingga ke tinggkat global, hal ini menunjukan semakin
kaburnya batas antar negara yang didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi.
New media sebagai hasil dari perkembangan teknologi informasi dan pendukung
globalisasi menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan masyarakat global saat ini. New
media hampir digunakan setiap saat oleh sebagian besar umat manusia di dunia. New media
juga memberikan signifikansi dan implikasi bagi berbagai aspek kehidupan manusia salah
satunya dalam bidang politik dan komunikasi.
Melalui esai ini, saya akan membahas signifikansi dan implikasi new media pada
bidang politik dengan menggunakan kasus Brexit, tepatnya penggunaan new media sebelum
referendum tanggal 23 Juni 2016. New media yang saya maksudkan di sini adalah sosial
media dan media massa berbasis internet. Brexit sebagai fenomena politik tidak sebatas
perbincangan di dalam negeri Inggris dan regional Eropa, mengingat globalisasi saat ini
batas antar negara mengabur sehingga permasalahan di suatu wilayah juga bisa menjadi
perbincangan di belahan bumi lainnya yang tersebar dengan mudah karena adanya
teknologi informasi yang semakin canggih.
Kemudahan penggunaan new media
dimanfaatkan untuk kampanye melalui sosial media dalam referendum Brexit dan juga
mempermudah banyak orang untuk mencari akses informasi tetang Brexit dengan media
massa yang sudah merambah dunia digital. New media menjadi sarana yang dianggap
berpengaruh dalam hasil referendum Brexit, dimana suara yang menang adalah untuk keluar
dari keanggotaan Uni Eropa.
1
2
Globalisasi merupakan hal yang sudah tidak asing lagi didengar dan diperbincangkan.
Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana makin kaburnya batas antar negara
dan bertambahnya interdependesi berbagai hal, isu, organisasi, kelompok dan individu di
berbagai belahan dunia satu dengan yang lainnya. Globalisasi membawa dampak bagi
berbagai aspek kehidupan salah satunya komunikasi. Sekarang ini kejadian di satu tempat
bisa dengan cepat diketahui di sisi lain bumi, hal ini terutama terjadi karena ada
perkembangan teknologi komunikasi elektronik (Baylis and Smith, 2001: 9).
Perkembangan teknologi komunikasi untuk mendukung globalisasi juga dibarengi
dengan perkembangan new media. New media dapat diartikan sebagai media komunikasi
massa yang berbasis internet, di sini termasuk media massa yang biasanya konvensional
seperti koran dan majalah yang beralih ke fitur digital melalui website atau aplikasi online
dan juga sosial media yang dapat digunakan oleh siapa saja. New media menjadi salah satu
pendukung berlangsungnya globalisasi, dengan new media suatu hal atau isu di satu tempat
bisa dengan cepat tersiar ke tempat lain dan bahkan dapat membawa dampak di sana. Hal ini
menunjukan batas wilayah dan negara sudah tidak menjadi penghalang dan semakin
terkoneksinya orang-orang di berbagai belahan dunia. New media menjadi basis utama dalam
komunikasi internasional di era ini.
New media merupakan pendukung dari globalisasi dan mempermudah komunikasi
internasional. Sudah dibahas sebelumnya apa itu new media dan globalisasi, bagaimana
dengan komunikasi internasional? Menurut Gerhard Maletzke (dikutip oleh Sastropoetro,
1984: 12) komunikasi internasional adalah komunikasi antar berbagai negara atau bangsa
melintasi batas-batas negara . Negara menjadi aktor utama dalam komunikasi internasional,
sama halnya dalam hubungan internasional, negara dilihat sebagai entitas formal yang
memiliki kedaulatan. Namun seiring perkembangannya zaman, komunikasi internasional
tentunya tidak terbatas pada komunikasi formal antar dua negara, melainkan dapat diartikan
dengan komunikasi melewati batas-batas negara yang bisa dilakukan oleh individu ataupun
kelompok tertentu.
Salah satu isu yang sering diulas melalui new media adalah isu politik, baik politik
domestik suatu negara atau wiliayah ataupun politik internasional. Tidak hanya dari kalangan
jurnalis atau profesional lain yang bisa berbicara soal politik, dengan adanya new media
terutama media sosial semua orang bisa berkomentar, bisa menyuarakan pendapatnya dan
juga melakukan pengaruh dalam hal politik. Politik domestik yang terjadi di suatu negara
3
dapat dengan mudah tersebar dan diketahui oleh masyarakat dunia, contoh paling baru di
dalam negeri adalah soal kasus Ahok yang beberapa kali saya lihat beritanya juga dimuat di
media massa internasional. Tidak hanya sekedar diketahui oleh masyarakat global tapi politik
domestik di suatu negara juga bisa berdampak ke negara lain baik secara politik juga ataupun
pada keadaan sosial masyarakatnya. Fenomena ini kembali lagi dengan konsep awal
globalisasi, mengaburnya batas wilayah dan hal lokal menjadi global, masalah politik lokal
menjadi politik global. New media di sini memberi dampak besar pada fenomena-fenomena
politik. Melalui esai ini saya berhipotesis bahwa new media sebagai salah satu instrumen
dalam komunikasi internasional, menjadi faktor utama mengglobalnya isu politik domestik
suatu negara atau wilayah dan menambah warna dalam perpolitikan global. Untuk
memperkuat argumen saya, akan saya paparkan selanjutnya melalui studi kasus Brexit.
Brexit merupakan kepanjangan dari British Exit. Istilah Brexit ditujukan untuk
menggambarkan British/Britania Raya atau lebih dikenal dengan Inggris yang berwacana
untuk keluar dari keanggotaan organisasi regional Uni Eropa. Terjadi dilema dalam negeri
Inggris apakah harus tetap bertahan atau keluar dari Uni Eropa, sehingga diputuskan untuk
melakukan referendum yang telah dilaksanakan pada 23 Juni 2016. Referendum ini diikuti
oleh 71,8% pemilik hak suara atau sekitar 30 juta orang di seluruh Britania Raya yang terdiri
dari England, Wales, Nothern Ireland, dan Scotland, dengan hasil suara 52% memilih untuk
keluar dari Uni Eropa dan 48% tetap bertahan di Uni Eropa (Hunt and Wheeler, 2016). Bila
dari hasil referendum tersebut, Inggris seharusnya keluar dari keanggotaan Uni Eropa, namun
membutuhkan proses lebih untuk benar-benar keluar dari Uni Eropa. Sebelum referendum,
pemilih dihadapi pada dua pilihan yaitu keluar atau bertahan dan pemilih ini disuguhi
berbagai janji, iming-iming dan persuasi yang dilakukan oleh dua kubu juga yaitu pro Brexit
dan kontra Brexit atau pro-Remain (remain in European Union). Referendum Brexit ini
menjadi seperti sebuah pemilu dengan kampanyenya untuk menarik sebanyak mungkin suara.
Kelompok pro-Brexit mengusung nilai-nilai kemerdekaan dan kedaulatan, serta
mempertahankan budaya Inggris mengingat Uni Eropa sebagai organisasi regional yang
bersifat suprastate yang dianggap mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Inggris (Taub,
2016). Uni Eropa agak berbeda dengan organisasi regional lainnya, Uni Eropa memiliki
kewenangan lebih untuk mengatur urusan domestik dan luar negeri negara anggotanya
sehingga mengurangi kedaulatan negara tersebut. Kelompok pro-Brexit menggunakan ini
sebagai bahan kampanye, ditambah dengan isu sensitif saat itu yaitu pengungsi dan imigran,
dimana Uni Eropa dan Inggris ada ketidaksepahaman soal aturan imigran dan pengungsi.
4
Lawan dari pro-Brexit atau pro-remain yang mendukung agar Inggris tetap bertahan di Uni
Eropa menarik massa dengan menggunakan alasan ekonomi. Inggris dianggap akan
mendapatkan keuntungan secara ekonomi bila tetap di Uni Eropa, mengingat fokus utama
Uni Eropa memang pada ekonomi dan perdagangan bebas. Eropa adalah pasar utama ekspor
Inggris serta sumber dari invesatsi asing, bila Inggris keluar dari Uni Eropa ditakutkan akan
timbul permasalah ekonomi bagi Inggris. Masalah lain yang dibawa oleh kelompok proBrexit dianggap bukan suatu urgensi dan lebih urgen kepentingan ekonomi.
Sosial media (terutama Facebook, Twitter, dan Instagram) sebagai salah satu dari new
media dianggap sebagai sarana efektif untuk kampanye menjelang referendum Brexit
terutama. Dua kubu yang berlawanan sama-sama berlomba menggunakan sosial media untuk
menarik perhatian masyarakat yang nantinya akan memilih. Sosial media menjadi pilihan
utama dalam berkampanye karena ada dua alasan utama: pertama lebih hemat biaya
dibanding media konvensional dengan poster, flyer, spanduk atau memasang iklan di koran
dan televisi, alasan kedua karena sosial media mudah digunakan dan dapat menjaring banyak
orang dengan waktu cepat. Menurut data 59% warga Britania Raya memiliki sosial media
dan 32 juta jiwa mengaksesnya menggunakan smart phone (Fleischmann, 2015), sehingga
kemudahan dalam penggunaan sosial media dimaanfaatkan untuk kepentingan politik. Selain
karena kemudahannya, sosial media digunakan juga sebagai ajang para politisi unjuk gigi dan
berinteraksi dengan masyarakat serta menyampaikan gagasan mereka dan mempengaruhi
pemilih secara lebih personal. Sosial media menjadi sarana nomor satu sebagai sumber
informasi (politik) di Inggris, terutama menjelang referendum Brexit dengan perkiraan
sebanyak 38 juta akun media sosial yang aktif (Vickers, 2016).
Kubu pro-Brexit dan pro-remain memiliki strateginya masing-masing dalam
kampanye via sosial media yang berbeda satu sama lain. Kelompok pendukung Brexit
menggunakan emosi atau perasaan dalam kampanyenya yang akan membuat orang-orang
tersentuh dengan ide untuk meninggalkan Uni Eropa. Tag line utama yang digunakan adalan
Vote Leave atau dengan penggunaan hashtag (tanda pagar) menjadi #VoteLeave. Kelompok
pro-remain tidak menggunakan perasaan dalam kampanye melainkan menonjolkan fakta dan
data akurat bagaimana keuntungan bertahan di Uni Eropa dan kerugian jika meninggalkan
Uni Eropa. Kampanye kubu lawan Brexit mengusung Britain Stronger In dengan hashtag
#StrongerIn, dimana penyampain kampanye mengesampingkan perasaan audience dan lebih
ke pemikiran rasional. (Smith, 2016)
Twitter menjadi media sosial favorit dalam kampanye karena kemudahan dengan
penggunaan hashtag atau trending topic dan juga lebih terbuka tiap orang bisa langsung
5
terjun dalam percakapan di Twitter sedangkan Facebook lebih digunakan untuk share artikel
dan tulisan panjang. Di Instagram kampanye tentunya disampaikan menggunakan postingan
foto atau gambar, kubu pro-Brexit cenderung menyebarluaskan gambar-gambar berbau
human interest yang menjadi lebih menarik dibanding dengan kudu lawannya yang lebih
sering post gambar dengan tulisan IN (Vickers, 2016). Kegiatan di sosial media yang biasa
dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan pribadi, karena isu seperti Brexit menjadi suatu
kegiatan politis. Share, like, komentar, retweet yang dilakukan seseorang mungkin bagi
dirinya tidak berasa signifikan, tapi bila dilakukan oleh orang banyak maka menjadi suatu
gerakan sosial yang bisa menyetir pemikiran orang lain dalam memilih atau voting.
Bila dilihat hasil akhir referendum dimana Brexit menang, bisa dikatakan bahwa
kampanye dari kelompok pro-Brexit bisa lebih menarik simpati masyarakat untuk memilih
hengkang dari Uni Eropa, terlepas dari keadaan politik yang terjadi pasca referendum. Di sini
terlihat keberhasilan penggunaan sosial media oleh kubu pro-Brexit dalam kampanye.
Kelompok pro-Remain sendiri merasa gagal dalam kampanye, walaupun setelah referendum
selesai banyak yang menyayangkan hasil referendum itu. Keberhasilan dari kudu pro-Brexit
ini selain karena permainan perasaan dan emosi dalam kampanye, juga dikarenakan
efektifnya penggunaan sosial media. Efektif di sini maksudnya adalah rutinitas dalam
kampanye sosial media, dan banyaknya pendukung setia yang mensupport kampanye di
berbagai sosail media sehingga mendominasi berbagai jenis sosial media dan dapat
mempengaruhi terutama bagi yang tidak tahu apa-apa dan belum memiliki pendirian soal
referendum (Polonski, 2016). Tidak hanya sekedar menggunakan sosial media, kubu proBrexit hingga membuat applikasi di smartphone untuk menyebarkan kampanyenya yang di
download oleh puluhan ribu orang (Mullen, 2016). Cara kerja dari aplikasi ini dengan
pengguna yang sign up pada aplikasi ini mengajak orang lain seperti teman dan keluarga
terdekat untuk menjadi subscribers aplikasi ini, sehingga secara langsung juga sebagai ajakan
“let‟s Vote Leave”. Aplikasi ini sendiri menghadirkan konten-konten berisi data dan pesan
kampanye dan diseminasi.
Kampanye yang dilakukan ini memang ditujukan untuk domestik Inggris, namun
karena penggunaan sosial media sehingga tersebar ke seluruh dunia. Kita yang tidak berada
di Inggris jadi mengetahui situasi sosial politik di sana hanya dengan melihat sosial media
dari trending topics di twitter atau explore di Instagram. Tidak hanya sekedar mengetahui tapi
juga bisa ikut bersuara dan mengeluarkan pendapat soal referendum Brexit. Brexit menjadi
perhatian dunia internasional, mengingat Inggris pernah menjadi negara besar dan
berpengaruh, sampai saat ini masih ada negara-negara bekas jajahan Inggris berhubungan erat
6
dengan Inggris yaitu negara-negara Commonwealth seperti Australia, Selandia Baru,
Malaysia dan banyak negara lainnya yang dapat terkena dampak bila Inggris keluar dari Uni
Eropa. Selain itu, Uni Eropa sebagai entitas yang diperhitungkan di tingkat internasional juga
dapat terkena dampak bila Inggris benar-benar hengkang, juga negara-negara anggota Uni
Eropa yang lainnya. Tidak heran bila isu Brexit menjadi permasalahan global dan perhatian
banyak orang di berbagai belahan dunia.
Tidak hanya sosial media yang ambil andil dalam referendum Brexit tapi juga media
massa seperti koran atau surat kabar (misalnya The Guardian dan The Telegraph) yang juga
sudah beralih ke new media melalui website dan stasiun televisi yang tidak hanya
mengandalkan siaran di televisi tapi juga bisa diakses via internet dan memiliki portal berita
online seperti BBC. Media dengan berita dan artikel yang disampaikan ke publik domestik
Inggris dan internasional mengenai Brexit memberikan dampaknya juga bagaimana orang
melihat fenomena ini dan mungkin menjadi pertimbangan dalam memberikan suara.
Walaupun media massa tidak secara terang-terangan berpihak pada satu kubu karena
seharusnya bersikap netral, tapi tidak jarang dari apa yang disampaikan tersirat pesan lainnya
bagi para pembaca.
Sebuah riset (Levy, Aslan, and Bironzo , 2016) menyatakan bahwa dalam tiga bulan
pertama masa kampanye Brexit, media di Inggris cenderung lebih mendukung pro-Brexit dan
berdampak pada media lain di tingkat yang lebih luas (internasional). Hal ini didukung
dengan beberapa data yang ditemukan oleh tiga penulis riset ini. Ada sekitar 1558 artikel
yang membahas isu referendum Brexit dengan rata-rata 52 artikel dalam sehari. Sebanyak
41% mendukung keluar dari Uni Eropa dan hanya 27% yang mendukung
bertahan,
sedangkan yang netral sebanyak 32% dengan rincian 23% campur antara mendukung keluar
dan bertahan, 9% tidak mengambil posisi. Pernyataan tokoh politik dari dua kubu yang jadi
sumber artikel (sebanyak 35%) dan terlihat secara kuantitas adanya „keberpihakan‟. Artikel
media massa menggunakan 70% tokoh Conservative Party dan 8% partai UKIP dimana dua
partai ini pro-Brexit, sedangkan hanya 13% dari Labour Party yang pro-Remain digunakan
dalam artikel media massa.
Riset ini juga menyebut nama beberapa media dalam
keberpihakannya soal isu Brexit. Keberpihakan pada pro-Brexit pertama ditempati oleh The
Daily Express (http://www.express.co.uk/) dianggap paling mendukung pro-Brexit dengan
75% dari keseluruhan artikelnya membahas soal referendum dan hanya 15% dari itu yang
mendukung pro-Remain. Kedua, The Daily Mail (http://www.dailymail.co.uk/) dari
artikelnya tentang Brexit 61% pro-Brexit dan 14% pro-Remain, sisanya netral. Selanjutnya
ditempati
oleh
The
Sun
(https://www.thesun.co.uk/),
The
Daily
Star
7
(http://www.dailystar.co.uk/) dan the Telegraph (http://www.telegraph.co.uk/). Tetap ada
media
yang mendukung Inggris bertahan
di
Uni Eropa seperti
the Guardian
(https://www.theguardian.com), the Daily Mirror (http://www.mirror.co.uk/) dan the FT
(https://www.ft.com). Sedangkan media yang dianggap imbang dan tidak berpihak dalam
publikasinya adalah The Times (http://www.thetimes.co.uk/). Dalam membahas isu Brexit,
the FT dan the Times lebih cenderung membahas persoalan ekonomi, sedangkan
permasalahan migrasi, kedaulatan, dan keamanan (yang menjadi poin utama kampanye proBrexit) banyak diulas oleh the Daily Express, The Daily Star dan the Daily Mail.
Media-media ini tetap menggunakan sarana lama berupa koran dan majalah print
untuk di dalam negeri, namun dalam konteks komunikasi internasional masyarakat global
membaca dan menikmati artikel dari media ini menggunakan new media yaitu melalui
website dan aplikasi smartphone. Saya sendiri sebagai seorang mahasiswa ilmu sosial dan
politik memiliki rasa ingin tahu soal isu sosial politik di belahan dunia lain salah satunya
Inggris, menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah pencarian informasi
dibanding harus membaca surat kabar konvensional dalam negeri atau surat kabar impor yang
harganya mahal. Ketika mengetik di mesin pencari seperti Google “Brexit”, web-web yang
akan keluar banyak dari media-media Inggris itu sendiri. Sehingga menurut saya,
pemberitaan dari media ini dapat mempengaruhi pola pikira tidak hanya masyarakat di
Inggris tapi juga internasional tentang situasi politik di Inggris.
Politik domestik Inggris menjadi penting juga di tingkat Eropa, mengingat dapat
berdampak langsung pada stabilitas Eropa hasil dari referendum Brexit. Eropa sebagai
kawasan penting di tingkat internasional dan pengaruh besar Uni Eropa semakin membuat
Brexit bukan hanya masalah lokal tapi juga global, politik dalam negeri Inggris tidak bisa
disimpan sendiri tapi menjadi konsumsi publik internasional dan jadi isu politik global.
Media lain diluar milik Inggris juga meliput dan membahas tentang Brexit, seperti CNN dan
New York Times, Al Jazeera, bahkan Kompas milik Indonesia. Dengan mengikuti
perkembangan politik global, kita tidak hanya menjadi warga negara suatu negara tapi juga
menjadi warga dunia. Batas-batas antar negara tidak jadi penghalang untuk up to date dengan
isu di berbagai belahan bumi. Kita bahkan tidak hanya menjadi penikmat, penonton, atau
pembaca, kegiatan di new media seperti media sosial dengan like, share, dan repost menjadi
suatu bentuk kegiatan politik berupa dukungan pada satu ide yang disampaikan.
New media di sini memberi dampak besar pada fenomena-fenomena politik. Melalui
esai ini saya berhipotesis bahwa new media sebagai salah satu instrumen dalam komunikasi
internasional, menjadi faktor utama mengglobalnya isu politik domestik suatu negara atau
8
wilayah dan menambah warna dalam perpolitikan global. Untuk memperkuat argumen saya,
akan saya paparkan selanjutnya melalui studi kasus Brexit.
Pemaparan di atas yang berupa penjelasan dan bukti data, berupaya menegaskan
argumen utama saya bahwa new media sebagai instrumen komunikasi internasional
berdampak pada fenomena politik global. Di sini saya melihat Brexit sebagai permasalahan
politik domestik Inggris dan Eropa karena sudah menjadi isu politik tingkat global.
Globalisasi menyebabkan interdependensi antar aktor di dunia yang saling terhubung dan
mempengaruhi satu sama lain, dengan Brexit ini ada banyak pihak di berbagai belahan dunia
yang terlibat dan terkena dampat dari peristiwa ini seperti negara (secara ekonomi, politik,
dan keamanan), media dalam pemberitaannya, perusahaan atau industri dan lainnya. New
media menjadi penting berperan penting dalam Brexit, pertama melalui media sosial yang
sebagai alat kampanye dan secara nyata dianggap efektif memenangkan Leave EU dalam
referendum, kedua media massa yang menyajikan berita-berita seputar Brexit memberikan
informasi pada masyarakat global mengenai apa yang terjadi di Inggris dan membentuk sudut
pandang dalam melihat isu Brexit. Melalui kasus Brexit dapat dilihat signifikansi new media
dalam komunikasi internasional terutama di bidang politik.
9
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Baylis, J., and Smith, S. 2001. The Globalization of World Politics. New York: Oxford
University Press.
Sastropoetro, S. 1984. Komunikasi Internasional Sarana Interaksi Antar Bangsa. Bandung:
Penerbit Alumni.
Sumber Online
Fleischmann, C. 21 Januari 2015. UK Digital, Social and Mobile Statistics for 2015
#smlondon.
Diakses
11
Desember
2016,
dari
#smlondon:
http://socialmedialondon.co.uk/digital-social-mobile-statistics-2015/
Hunt, A., & Wheeler, B. 24 November 2016. Brexit: All you need to know about the UK
leaving
the
EU .
Diakses
10
Desember
2016,
dari
BBC
News:
http://www.bbc.com/news/uk-politics-32810887
Levy, D., Aslan, B., & Bironzo , D. 2016. The press and the Referendum campaign. Diakses
11
Desember
2016,
dari
EU
Referendum
Analysis
2016:
http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendum-analysis-2016/section-3-news/thepress-and-the-referendum-campaign/
Mullen, A. 2016. Leave versus Remain: the digital battle. Diakses 11 Desember 2016, dari
EU Referendum Analysis 2016: http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendumanalysis-2016/section-7-social-media/leave-versus-remain-the-digital-battle/
Polonski, V. 2016. Impact of social media on the outcome of the EU referendum. Diakses 11
Desember
2016,
dari
EU
Referendum
Analysis
2016:
http://www.referendumanalysis.eu/eu-referendum-analysis-2016/section-7-socialmedia/impact-of-social-media-on-the-outcome-of-the-eu-referendum/
10