PERAN IMF INTERNATIONAL MONETER FOUND DA
SAIDUS SYUHUR
1503101010131
HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL
PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS MONETER DI INDONESIA
PADA TAHUN PADA TAHUN 1997 DAN 1998
A. PROFIL IMF (Internasional Monetary Fund)
IMF (International Monetary Fund) terbentuk secara resmi sejak tahun 1944. Dalam
pertemuan pertama pada tanggal 27 Desember 1945 baru 29 negara yang menghadirinya, dan
baru setelah itu jumlah anggotanya bertambah hingga pada tahun 200 mencapai 182 negara.
Peran yang dilakukan oleh IMF dalam kancah perekonomian dunia dalam menangani negaranegara yang mengalami krisis adalah dengan cara membantu memulihkan dan memperkuat
sistem keuangan negara-negara tersebut secepat mungkin. Tujuan utama IMF dalam hal ini
adalah untuk memperbaiki keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter
dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam Statuta IMF, bahwa: “IMF dibentuk untuk
mempromosikan kerja sama moneter internasional; untuk memfasilitasi kelangsungan dan
perkembangan perdagangan internasional; mempromosikan stabilitas nilai tukar mata uang;
memfasilitasi pembentukan sistem pembayaran multilateral; menyediakan dana taktis untuk
disalurkan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran dengan
syarat-syarat tertentu; dan untuk mengurangi kecenderungan disequilibrium neraca
pembayaran negara-negara anggotanya. ”
Terlihat bahwa IMF merupakan sebuah organisasi multilateral yang sengaja dibentuk
untuk menjaga stabilitas moneter dan perdagangan dunia melalui penyediaan paket-paket
bantuan lunak kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran pada
tingkat yang dapat membahayakan perekonomian regional dan global. IMF memusatkan diri
pada tiga macam kegiatan, yaitu:
1.
Surveillance (monitoring): suatu proses dimana IMF melakukan penilaian secara
reguler terhadap kinerja dan kerangka kebijakan nilai tukar mata uang masing-masing
anggotanya yang hasilnya diterbitkan dua kali setahun di dalam World Economic
Outlook.
2. Financial Assistance (bantuan keuangan): pemberian kredit lunak (bunga sangat rendah
dan jangka waktu pengembalian sangat panjang) kepada negara-negara yang
mengalami
krisis
keuangan
dengan
syarat-syarat
tertentu.
3. Technical Assistance (bantuan teknis): penyediaan tenaga ahli dan pelbagai dukungan
lainnya bagi negara-negara yang melakukan pembenahan kebijakan moneter dan fiskal,
pengumpulan data statistik, pengembangan lembaga keuangan, penyempurnaan
auditing neraca pembayaran, dan lain-lain.
Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari
Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10
elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi
pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong
persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing
dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim
deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10
elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dan ketiga syarat tersebut
harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama programnya adalah
Structural Adjustment Program (SAP)
B. KRISIS MONETER DI INDONESIA
Krisis multidimensi yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan kejadian yang
sangat memberi dampak bagi negara-negara di kawasan tersebut. Nilai mata uang negaranegara di kawasan Asia ini turun dengan cepat dan drastis. Sebut saja Thailand (baht),
Malaysia (ringgit), Singapura (dolar Singapura), Indonesia (rupiah), dan Korea Selatan
(won). Indonesia merupakan negara yang terkena dampak paling parah, nilai rupiah yang
biasanya ada di kisaran Rp 2.600,00 pada waktu itu bisa mencapai Rp 17.000,00 Penurunan
nilai rupiah ini berakibat pada penggelembungan hutang luar negeri yang berdampak pada
kebangkrutan perusahaan-perusahaan yang tidak sanggup membayar hutang dalam bentuk
mata uang asing karena jumlahnya yang meningkat menjadi 4 – 7 kali lipat. Jadi dapat
dikatakan krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 berdampak sistemik.
Sebenarnya penurunan rupiah ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya paling dirasakan oleh para eksportir. Hal ini karena ketika nilai rupiah turun,
barang dagangan mereka laku keras. Maksudnya dengan menurunnya nilai rupiah berarti
barang-barang Indonesia menjadi murah di mata orang asing dan permintaan akan barabgbarang Indonesia menjadi meningkat di dunia. Meskipun mempunyai dampak positif,
dampak negatifnya jauh lebih banyak. Pendapatan per kapita dalam hitungan dolar AS turun
sekejap dari $ 1.115 menjadi $ 300 – 400 pada puncak krisis, dan utang luar negeri
(pemerintah dan swasta) naik beberapa kali lipat. Pada akhir Desember 1997, utang luar
negeri pemerintah Indonesia mencapai $ 137,42 milliar dan utang swasta $ 73,96 milliar.
Akibat dari krisis ini, Indonesia yang harus berusaha mengeluarkan diri dari krisis
akhirnya bergantung pada bantuan IMF dan lembaga keuangan dunia lainnya untuk
memulihkan keadaan ekonomi mereka. Namun, sebagai konsekuensi dari ketergantungan
pada bantuan tersebut, pemerintah harus rela untuk melakukan syarat-syarat yang diberikan
oleh IMF.
Bob Sugeng Hadiwinata di dalam bukunya mengutip dari pendapat para pakar ekonomi
mengidentifikasi ada 3 hal yang menyebabkan krisis ekonomi, yakni :
1. Fenomena Productivity Gap (Kesenjangan Produkitivitas).
Negara Asia mengalami kesenjangan produktivitas dikarenakan lemahnya pengalokasian
aset-aset akibat mekanisme pasar yang tidak berfungsi dengan baik. Di dalam kompetisi
internasional negara-negara Asia terlalu bertumpu pada “pengontrolan harga” produk dan
mengabaikan pentingnya penguasaan teknologi untuk memobilisasi perpindahan ke sektor
yang berteknologi tinggi. Kecenderungan negara-negara Asia untuk menganut prinsip
economies of scale (skala ekonomi), yakni peningkatan produksi dan daya ekspor untuk
menguasai pasar dunia, telah membawa mereka ke suatu “jebakan”, yakni tingkat kompetisi
sesama negara Asia yang super ketat sehingga mendorong terjadinya perang harga. Akibat
lain dari praktek economies of scale ini adalah jenuhnya permintaan pasar intenasional yang
menyebabkan penurunan ekspor pada hambatan setiap negara Asia.
2. Fenomena Disequilibrium Trap (Jebakan Ketidakseimbangan)
Francois Godement mengaitkan Krisis Asia 1997 dengan fenomena “Jebakan
Ketidakseimbangan”, yakni situasi dimana negara-negara terjebak ke dalam
ketidakseimbangan antara pertumbuhan kuantitatif dengan perkembangan kualitatif proses
produksi. Menurutnya, ketidakseimbangan dalam proses produksi mengakibatkan
kecenderungan pemborosan dana untuk membiayai pola hidup yang konsumtif sehingga
pengadaan modal dalam negeri menjadi sangat terbatas . Pada dekade 1990-an, negara-negara
Asia (kecuali Jepang) masih belum mampu membangun struktur pemerintahan yang kondusif
bagi mekanisme pasar dan gagal menanamkan perilaku rasional di kalangan warganya. Di
samping itu, ketika terjadi lonjakan harga real estate dan inflasi di pelbagai sektor,
pemerintah juga tidak mampu untuk meredam permintaan yang terus meningkat dari waktu
ke waktu. Negara-negara Asia mengalami tekanan defisit dari dua sisi: dari sisi neraca
pembayaran dan national saving (tabungan nasional, yakni jumlah tabungan lebih kecil
daripada jumlah yang dibutuhkan untuk investasi). Praktek “politik uang” dengan
menggunakan uang rakyat untuk keperluan pembelian dukungan politik inilah yang makin
memperburuk kondisi infrastruktur ekonomi beberapa negara Asia. Dalam hal ini, negara
menghadapi tekanan defisit dari sisi anggaran belanja (pengeluaran yang lebih besar daripada
pemasukan).
3. Fenomena Loan Addiction (Ketergantungan Kepada Hutang Luar Negeri)
Faktor lain yang ikut mendorong terjadinya Krisis Asia 1997 adalah kecenderungan para
pelaku bisnis di beberapa negara Asia untuk meminjam dalam bentuk valuta asing kepada
lembaga-lembaga keuangan asing. Dalam keadaan nilai tukar mata uang lokal yang sangat
fluktuatif, peminjaman besar-besaran dalam bentuk valuta asing oleh para ekonom disebut
sebagai suatu tindakan yang “surealis” (sangat tidak masuk akal). Risiko dari sikap loan
addiction dalam bentuk valuta asing ini bagi perekonomian nasional cukup tinggi. Pertama,
kecenderungan loan addiction akan memunculkan fenomena non-performing loan (yakni,
pinjaman yang tidak digunakan untuk kegiatan produktif). Kedua, ketika mata uang lokal
mengalami krisis nilai tukar, maka beban hutang valuta asing perusahaan menjadi
membengkak. Dalam keadaan seperti ini perusahaan menghadapi dua pukulan: (1)
kecenderungan terjadinya non-performing loan akibat penurunan skala aktivitas perusahaan,
dan (2) lonjakan beban hutang akibat perbedaan nilai tukar mata uang.
C. PERAN IMF DALAM MENGHILANGKAN KRISIS MONETER DI INDONESIA
Ketika Indonesia ditimpa krisis, IMF menyarankan untuk menaikkan tingkat suku
bunga hingga 70% yang katanya untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Resep
IMF untuk menaikkan suku bunga tinggi ini memang berhasil meredam inflasi, tetapi
untuk tidak daoat menyehatkan secara keseluruhan, malah kebijakan ini membuat sektor
riil semakin tertekan. Pada saat Indonesia ingin mengambil inisiatif dengan CBS
(Currency Board System) atau kebijakan kurs tetap, secara politik IMF menghalanghalanginya dengan menganncam akan memblokir bantuan dan mengajak seluruh anggota
IMF untuk memboikot Indonesia jika menerapkan sistem tersebut.
Dari sisi ekonomi politik, resep yang paling berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan
politik adalah pengetatan fiskal dan pengurangan anggaran. Pada saat krisis, dimana daya
beli masyarakat turun drastis, IMF malah menganjurkan pengurangan subsisdi BBM dan
TDL. Dalam sudut pandang ekonomi murni hal ini dapat dibenarkan, tetapi tidak dalam
sudut pandang ekonomi politik. Hal ini karena waktu pengimplementasiannya kurang
tepat, mana mungkin masyarakat yang daya belinya sedang turun dan seharusnya di bantu
oleh subsidi dari pemerintah malah dicabut. Penarikan subsidi terbukti membuat
kerusuhan dan masyarakat marah sehingga pada pertengahan 1998 terjadi kerusuhan besar
di Indonesia terutama Jakarta.
Selain deregulasi dan liberalisasi, IMF juga menyarankan Indonesia agar
melakukan privatisasi. Tetapi privatisasi yang diterapkan di Indonesia atas dorongan IMF
malah membuat perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikuasai oleh orang-orang asing
karena daya belinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Indonesia.
Hal ini semakin membuat Indonesia dicabik-cabik oleh IMF.
Kegagalan IMF dalam membantu negara-negara yang terkena krisis sebenarnya
sudah dapat dianalisis oleh Paul Krugman sejak tahun 1994. Krugman sudah
memperingatkan bahwa ada dua keterbatasan IMF untuk dimintai pertolongan, yaitu
keterbatasan modal dana dan keterbatasan modal politik. Keterbatasan dana terbukti pada
tahun 1998, di mana untuk membanyu Brazil, Argentina, dan Rusia, IMF hanya mampu
membantu antara $350 hingga $400 tiao 3-4 bulan. Selama kontrak 5 tahun untuk
membanytu krisis Indonesia, IMF hanya membantu sekitar $5 miliar, sangat jauh dari
kebutuhan.Sedangkan keterbatasan politik juga dapat dilihat dari tingkah IMF untuk
menekan Indonesia. LOI (letters of Intent) merupakan salah satu produk politik IMF
dalam menekan Indonesia.Hal ini karena IMF jauh lebih mengutamakan kepentingan
negara kreditor, daripada “kesehatan” negara-negara yang sedang diobati/mengalami
krisis.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah akibat dari ketidakmatangan
IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk Indonesia. Mereka hanya
mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk
kepentingan perekonomian internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak
akan mungkin dapat merubah sistem perekonomia suatu negara menjadi negara berbasis
pasar dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada transparasi
dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF menmbuat para
pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri yang mengakibatkan
hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah Indonesia juga tidak serius
dalam penanganan krisis ini karena tidak menjalankan agenda-agenda perubahan yang
sudah disepakati oleh RI. Jadi selain karena IMF, krisis multidimensi berkepanjangan juga
disebabkan oleh orang-orang dalam di Indonesia.
1503101010131
HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL
PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS MONETER DI INDONESIA
PADA TAHUN PADA TAHUN 1997 DAN 1998
A. PROFIL IMF (Internasional Monetary Fund)
IMF (International Monetary Fund) terbentuk secara resmi sejak tahun 1944. Dalam
pertemuan pertama pada tanggal 27 Desember 1945 baru 29 negara yang menghadirinya, dan
baru setelah itu jumlah anggotanya bertambah hingga pada tahun 200 mencapai 182 negara.
Peran yang dilakukan oleh IMF dalam kancah perekonomian dunia dalam menangani negaranegara yang mengalami krisis adalah dengan cara membantu memulihkan dan memperkuat
sistem keuangan negara-negara tersebut secepat mungkin. Tujuan utama IMF dalam hal ini
adalah untuk memperbaiki keadaan sesegera mungkin untuk menciptakan stabilitas moneter
dunia, sebagaimana dinyatakan di dalam Statuta IMF, bahwa: “IMF dibentuk untuk
mempromosikan kerja sama moneter internasional; untuk memfasilitasi kelangsungan dan
perkembangan perdagangan internasional; mempromosikan stabilitas nilai tukar mata uang;
memfasilitasi pembentukan sistem pembayaran multilateral; menyediakan dana taktis untuk
disalurkan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran dengan
syarat-syarat tertentu; dan untuk mengurangi kecenderungan disequilibrium neraca
pembayaran negara-negara anggotanya. ”
Terlihat bahwa IMF merupakan sebuah organisasi multilateral yang sengaja dibentuk
untuk menjaga stabilitas moneter dan perdagangan dunia melalui penyediaan paket-paket
bantuan lunak kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis neraca pembayaran pada
tingkat yang dapat membahayakan perekonomian regional dan global. IMF memusatkan diri
pada tiga macam kegiatan, yaitu:
1.
Surveillance (monitoring): suatu proses dimana IMF melakukan penilaian secara
reguler terhadap kinerja dan kerangka kebijakan nilai tukar mata uang masing-masing
anggotanya yang hasilnya diterbitkan dua kali setahun di dalam World Economic
Outlook.
2. Financial Assistance (bantuan keuangan): pemberian kredit lunak (bunga sangat rendah
dan jangka waktu pengembalian sangat panjang) kepada negara-negara yang
mengalami
krisis
keuangan
dengan
syarat-syarat
tertentu.
3. Technical Assistance (bantuan teknis): penyediaan tenaga ahli dan pelbagai dukungan
lainnya bagi negara-negara yang melakukan pembenahan kebijakan moneter dan fiskal,
pengumpulan data statistik, pengembangan lembaga keuangan, penyempurnaan
auditing neraca pembayaran, dan lain-lain.
Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari
Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10
elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi
pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong
persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing
dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim
deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10
elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dan ketiga syarat tersebut
harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF. Nama programnya adalah
Structural Adjustment Program (SAP)
B. KRISIS MONETER DI INDONESIA
Krisis multidimensi yang terjadi di Asia pada tahun 1997 merupakan kejadian yang
sangat memberi dampak bagi negara-negara di kawasan tersebut. Nilai mata uang negaranegara di kawasan Asia ini turun dengan cepat dan drastis. Sebut saja Thailand (baht),
Malaysia (ringgit), Singapura (dolar Singapura), Indonesia (rupiah), dan Korea Selatan
(won). Indonesia merupakan negara yang terkena dampak paling parah, nilai rupiah yang
biasanya ada di kisaran Rp 2.600,00 pada waktu itu bisa mencapai Rp 17.000,00 Penurunan
nilai rupiah ini berakibat pada penggelembungan hutang luar negeri yang berdampak pada
kebangkrutan perusahaan-perusahaan yang tidak sanggup membayar hutang dalam bentuk
mata uang asing karena jumlahnya yang meningkat menjadi 4 – 7 kali lipat. Jadi dapat
dikatakan krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998 berdampak sistemik.
Sebenarnya penurunan rupiah ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya paling dirasakan oleh para eksportir. Hal ini karena ketika nilai rupiah turun,
barang dagangan mereka laku keras. Maksudnya dengan menurunnya nilai rupiah berarti
barang-barang Indonesia menjadi murah di mata orang asing dan permintaan akan barabgbarang Indonesia menjadi meningkat di dunia. Meskipun mempunyai dampak positif,
dampak negatifnya jauh lebih banyak. Pendapatan per kapita dalam hitungan dolar AS turun
sekejap dari $ 1.115 menjadi $ 300 – 400 pada puncak krisis, dan utang luar negeri
(pemerintah dan swasta) naik beberapa kali lipat. Pada akhir Desember 1997, utang luar
negeri pemerintah Indonesia mencapai $ 137,42 milliar dan utang swasta $ 73,96 milliar.
Akibat dari krisis ini, Indonesia yang harus berusaha mengeluarkan diri dari krisis
akhirnya bergantung pada bantuan IMF dan lembaga keuangan dunia lainnya untuk
memulihkan keadaan ekonomi mereka. Namun, sebagai konsekuensi dari ketergantungan
pada bantuan tersebut, pemerintah harus rela untuk melakukan syarat-syarat yang diberikan
oleh IMF.
Bob Sugeng Hadiwinata di dalam bukunya mengutip dari pendapat para pakar ekonomi
mengidentifikasi ada 3 hal yang menyebabkan krisis ekonomi, yakni :
1. Fenomena Productivity Gap (Kesenjangan Produkitivitas).
Negara Asia mengalami kesenjangan produktivitas dikarenakan lemahnya pengalokasian
aset-aset akibat mekanisme pasar yang tidak berfungsi dengan baik. Di dalam kompetisi
internasional negara-negara Asia terlalu bertumpu pada “pengontrolan harga” produk dan
mengabaikan pentingnya penguasaan teknologi untuk memobilisasi perpindahan ke sektor
yang berteknologi tinggi. Kecenderungan negara-negara Asia untuk menganut prinsip
economies of scale (skala ekonomi), yakni peningkatan produksi dan daya ekspor untuk
menguasai pasar dunia, telah membawa mereka ke suatu “jebakan”, yakni tingkat kompetisi
sesama negara Asia yang super ketat sehingga mendorong terjadinya perang harga. Akibat
lain dari praktek economies of scale ini adalah jenuhnya permintaan pasar intenasional yang
menyebabkan penurunan ekspor pada hambatan setiap negara Asia.
2. Fenomena Disequilibrium Trap (Jebakan Ketidakseimbangan)
Francois Godement mengaitkan Krisis Asia 1997 dengan fenomena “Jebakan
Ketidakseimbangan”, yakni situasi dimana negara-negara terjebak ke dalam
ketidakseimbangan antara pertumbuhan kuantitatif dengan perkembangan kualitatif proses
produksi. Menurutnya, ketidakseimbangan dalam proses produksi mengakibatkan
kecenderungan pemborosan dana untuk membiayai pola hidup yang konsumtif sehingga
pengadaan modal dalam negeri menjadi sangat terbatas . Pada dekade 1990-an, negara-negara
Asia (kecuali Jepang) masih belum mampu membangun struktur pemerintahan yang kondusif
bagi mekanisme pasar dan gagal menanamkan perilaku rasional di kalangan warganya. Di
samping itu, ketika terjadi lonjakan harga real estate dan inflasi di pelbagai sektor,
pemerintah juga tidak mampu untuk meredam permintaan yang terus meningkat dari waktu
ke waktu. Negara-negara Asia mengalami tekanan defisit dari dua sisi: dari sisi neraca
pembayaran dan national saving (tabungan nasional, yakni jumlah tabungan lebih kecil
daripada jumlah yang dibutuhkan untuk investasi). Praktek “politik uang” dengan
menggunakan uang rakyat untuk keperluan pembelian dukungan politik inilah yang makin
memperburuk kondisi infrastruktur ekonomi beberapa negara Asia. Dalam hal ini, negara
menghadapi tekanan defisit dari sisi anggaran belanja (pengeluaran yang lebih besar daripada
pemasukan).
3. Fenomena Loan Addiction (Ketergantungan Kepada Hutang Luar Negeri)
Faktor lain yang ikut mendorong terjadinya Krisis Asia 1997 adalah kecenderungan para
pelaku bisnis di beberapa negara Asia untuk meminjam dalam bentuk valuta asing kepada
lembaga-lembaga keuangan asing. Dalam keadaan nilai tukar mata uang lokal yang sangat
fluktuatif, peminjaman besar-besaran dalam bentuk valuta asing oleh para ekonom disebut
sebagai suatu tindakan yang “surealis” (sangat tidak masuk akal). Risiko dari sikap loan
addiction dalam bentuk valuta asing ini bagi perekonomian nasional cukup tinggi. Pertama,
kecenderungan loan addiction akan memunculkan fenomena non-performing loan (yakni,
pinjaman yang tidak digunakan untuk kegiatan produktif). Kedua, ketika mata uang lokal
mengalami krisis nilai tukar, maka beban hutang valuta asing perusahaan menjadi
membengkak. Dalam keadaan seperti ini perusahaan menghadapi dua pukulan: (1)
kecenderungan terjadinya non-performing loan akibat penurunan skala aktivitas perusahaan,
dan (2) lonjakan beban hutang akibat perbedaan nilai tukar mata uang.
C. PERAN IMF DALAM MENGHILANGKAN KRISIS MONETER DI INDONESIA
Ketika Indonesia ditimpa krisis, IMF menyarankan untuk menaikkan tingkat suku
bunga hingga 70% yang katanya untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Resep
IMF untuk menaikkan suku bunga tinggi ini memang berhasil meredam inflasi, tetapi
untuk tidak daoat menyehatkan secara keseluruhan, malah kebijakan ini membuat sektor
riil semakin tertekan. Pada saat Indonesia ingin mengambil inisiatif dengan CBS
(Currency Board System) atau kebijakan kurs tetap, secara politik IMF menghalanghalanginya dengan menganncam akan memblokir bantuan dan mengajak seluruh anggota
IMF untuk memboikot Indonesia jika menerapkan sistem tersebut.
Dari sisi ekonomi politik, resep yang paling berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan
politik adalah pengetatan fiskal dan pengurangan anggaran. Pada saat krisis, dimana daya
beli masyarakat turun drastis, IMF malah menganjurkan pengurangan subsisdi BBM dan
TDL. Dalam sudut pandang ekonomi murni hal ini dapat dibenarkan, tetapi tidak dalam
sudut pandang ekonomi politik. Hal ini karena waktu pengimplementasiannya kurang
tepat, mana mungkin masyarakat yang daya belinya sedang turun dan seharusnya di bantu
oleh subsidi dari pemerintah malah dicabut. Penarikan subsidi terbukti membuat
kerusuhan dan masyarakat marah sehingga pada pertengahan 1998 terjadi kerusuhan besar
di Indonesia terutama Jakarta.
Selain deregulasi dan liberalisasi, IMF juga menyarankan Indonesia agar
melakukan privatisasi. Tetapi privatisasi yang diterapkan di Indonesia atas dorongan IMF
malah membuat perusahaan-perusahaan milik pemerintah dikuasai oleh orang-orang asing
karena daya belinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Indonesia.
Hal ini semakin membuat Indonesia dicabik-cabik oleh IMF.
Kegagalan IMF dalam membantu negara-negara yang terkena krisis sebenarnya
sudah dapat dianalisis oleh Paul Krugman sejak tahun 1994. Krugman sudah
memperingatkan bahwa ada dua keterbatasan IMF untuk dimintai pertolongan, yaitu
keterbatasan modal dana dan keterbatasan modal politik. Keterbatasan dana terbukti pada
tahun 1998, di mana untuk membanyu Brazil, Argentina, dan Rusia, IMF hanya mampu
membantu antara $350 hingga $400 tiao 3-4 bulan. Selama kontrak 5 tahun untuk
membanytu krisis Indonesia, IMF hanya membantu sekitar $5 miliar, sangat jauh dari
kebutuhan.Sedangkan keterbatasan politik juga dapat dilihat dari tingkah IMF untuk
menekan Indonesia. LOI (letters of Intent) merupakan salah satu produk politik IMF
dalam menekan Indonesia.Hal ini karena IMF jauh lebih mengutamakan kepentingan
negara kreditor, daripada “kesehatan” negara-negara yang sedang diobati/mengalami
krisis.
Kegagalan IMF dalam membantu Indonesia adalah akibat dari ketidakmatangan
IMF dalam mengatur program-program yang cocok untuk Indonesia. Mereka hanya
mementingkan liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi di Indonesia untuk
kepentingan perekonomian internasional. Padahal secara pendekatan ekonomi politik tidak
akan mungkin dapat merubah sistem perekonomia suatu negara menjadi negara berbasis
pasar dalam waktu “sekejap malam”. Hal ini ditambah buruk dengan tidak ada transparasi
dari pemerintah Indonesia . ketidakjelasan langkah-langkah IMF menmbuat para
pengusaha berspekulasi untuk menarik kesimpulan sendiri-sendiri yang mengakibatkan
hancurnya nilai mata uang rupiah. Di lain pihak pemerintah Indonesia juga tidak serius
dalam penanganan krisis ini karena tidak menjalankan agenda-agenda perubahan yang
sudah disepakati oleh RI. Jadi selain karena IMF, krisis multidimensi berkepanjangan juga
disebabkan oleh orang-orang dalam di Indonesia.