Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pendidikan

sejatinya

adalah

pembentukan

karakter,

sifat

dan

pemaksimalan kapasitas intelektual manusia. Bowls dan Gintis dalam Sanderson
(2000: 493) mengungkapkan tujuan pendidikan yang tepat adalah meningkatkan
penyelidikan intelektual yang terbuka, kreatifitas, dan pertumbuhan manusia yang

positif. Jenis sistem pendidikan yang benar ialah sistem yang menjurus pada
kepuasan pribadi dan pemenuhan intelektual dan emosional. Namun pendidikan
justru telah digunakan oleh kaum kapitalis untuk dua tujuan utama: untuk
membenarkan ketidaksamaan kelas dan untuk mendisiplinkan angkatan kerja
dengan memasukkan kepada siswa-siswa itu bentuk-bentuk kesadaran kerja yang
tepat.
Dunia pendidikan terkait dengan sistem yang dibangun oleh institusiinstitusi pendidikan berkaitan dengan dominasi dunia kapitalis yang berbasis
ideologi liberalisme. Pengalihan fungsi pendidikan dari tujuan memanusiakan
manusia menjadi lahan untuk mencari keuntungan bagi para pemilik modal sangat
jauh dari harapan dan tujuan mulia pendidikan tersebut. Jauh lebih dalam lagi
dunia pendidikan berbasis ideologi liberalisme ini, secara afeksi mempengaruhi
budaya masyarakat yang menegaskan ketidaksamaan kelas.
Dunia pendidikan adalah salah satu media pembentukan kultur
masyarakat, di mana menurut Kelner dalam Ritzer dan Goodman (2004:181)
bahwa kultur masa adalah instrumen penting ideologi kapitalis, maka secara

Universitas Sumatera Utara

ideologis para pemilik modal berlomba-lomba untuk menguasai dunia pendidikan
baik dalam hal birokrasi maupun penanaman nilai-nilai dan budaya. Dalam dunia

pendidikan para pelajar tidak lagi mengenal identitas dan karakter yang baik
dalam kehidupan, baik secara umum maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang mahal mengarahkan para pelajar menjadi orang yang tidak
peduli dengan kondisi sosialnya, menjadi lebih apatis, individualis dan hedonis.
Mereka tidak lagi memiliki nalar yang dibangun untuk menjadi manusia
intelektual yang kritis terhadap kondisi sosial.
Hal ini sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal yang digambarkan oleh
beberapa tokoh sosiologi yang mengaji permasalahan pendidikan. Dalam
beberapa konteks, pendidikan tidak lagi dianggap sebagai media untuk mencari
sebuah kebenaran, melainkan bertujuan untuk mencari kekuatan. Pendidikan
seperti dikatakan Sargent dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013)
merupakan instrument untuk mengatasi kesenjangan, mencapai derajat kesetaraan
yang tinggi dan mencapai tingkat kesejahteraan yang baik bagi siapa saja.
Pembelajar memiliki semangat dan motivasi mengejar inspirasi menuju kemajuan
dan usaha menjadi manusia yang terbaik. Pendidikan seperti dikatakan oleh
Schofield dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013) memposisikan diri
sebagai tempat bagi mereka untuk mengembangkan diri berdasar keunikan potensi
dan kepentinganya masing-masing.
Chirzin dalam Batubara (2004:110) mengemukakan bahwa “proses
globalisasi dengan percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem

perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada
tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana”. Globalisasi membuat dunia

Universitas Sumatera Utara

menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian
mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ke tempat lain
sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide
atau gagasan tersebut.
Gambaran pendidikan pada era globalisasi ini secara langsung ataupun
tidak terus mengarahkan pada perubahan nilai dan norma di berbagai belahan
dunia lainnya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang mudah diakses di
mana saja, dunia pendidikan kini telah menyingkirkan nilai-nilai dan budaya yang
menjaga norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Tilaar dalam Batubara
(2004:111) sistem pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai budaya, karena
budaya yang ada akan mendorong terjadinya pembudayaan dalam proses
pendidikan yang diselenggarakan tersebut.
Menghilangnya penanaman budaya dalam sistem pendidikan sama halnya
dengan menghilangkan karakter suatu bangsa, di mana anak-anak bangsa tidak

lagi mengenal kepribadian bangsanya, dan tidak lagi memiliki penyaring terhadap
hal-hal baru yang bertentangan dengan karakter bangsa tersebut. Pada masa
sekarang ini banyak media yang menggambarkan bagai mana budaya yang
sejatinya tidak pantas untuk ditiru oleh para pelajar. Hal itu terus digandrungi oleh
para pelajar pada era globalisasi ini.
Ericson dalam Muslich (2011:35) mengungkapkan bahwa karakter bangsa
merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa
menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan
dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter

Universitas Sumatera Utara

seseorang. Menurut Freud dalam Muslich (2011:35) kegagalan penanaman
kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah
di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam
mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak
dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.
Maka dalam hal ini pendidikan yang menegaskan karakter yang
ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan sangat penting untuk diterapkan.
Mengingat kondisi masyarakat yang semakin menuju kearah liberalisasi, baik dari

segi budaya maupun ilmu pengetahuan, pendidikan karakter sangat penting untuk
menanamkan nilai afeksi sebagai fondasi setiap anak bangsa dalam berpikir dan
berprilaku dalam masyarakat.
Pendidikan sendiri adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia.
Sangat jelas tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini
diwujudkan dengan berdirinya 144.228 Sekolah Dasar (SD), 28.777 Sekolah
Menengah Pertama (SMP), 10.765 Sekolah Menengah Atas (SMA), 7.592
Sekolah Menengah Kejuruan dan 1.686 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar
di

seluruh

Indonesia

baik

sekolah

swasta


maupun

negeri.

(mustafatope.wordpress.com/2011/01/09/jumlah-sekolah-di-indonesia/)
Sedangkan jumlah Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh indonesia,
baik Pergutuan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
adalah sejumlah 3.151. Di mana sebanyak 3.068 atau 97% merupakan PTS,
sedangkan PTN hanya berjumlah 83 atau 3% (kuliahmurahjakarta.blogspot.com/
2014/01/jumlah-perguruan-tinggi swasta-dan.html).

Universitas Sumatera Utara

Namun di lain pihak pada kondisi gobalisasi yang seharusnya akses untuk
mendapatkan pendidikan lebih mudah, justru bertolak belakang dengan kondisi
yang ada. Selain berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang cenderung
berbudaya liberal, globalisasi sendiri ternyata telah gagal dalam memberi
kemudahan dalam akses pendidikan bagi bangsa Indonesia. Laporan tahunan
UNICEF pada tahun 2012 mencatat sekitar 2,3 juta anak usia 7-15 tahun yang

tidak

bersekolah.

(www.Unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_

(Ind)130731.pdf). Hal ini sangat bertentangan dengan amanat Undang-Undang
Dasar yang menjamin pendidikan yang harusnya dapat diakses oleh setiap elemen
masyarakat.
Kegagalan globalisasi dengan dampak sistem pendidikan yang menularkan
budaya liberalnya ternyata tidak menjadi jawaban atas ketertinggalan Indonesia
dalam pemenuhan kebutuhan dasar berupa pendidikan. Maka perlu ada sebuah
formulasi di mana sistem pendidikan yang dibangun memiliki penyaring atas
semua akses pendidikan yang masuk melalui berbagai media, untuk menjaga
nilai-nilai, norma dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila
dan nilai-nilai lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Di Indonesia sendiri sangat banyak model yang mewarnai dunia
pendidikan. Mulai dari bantuk pendidikan umum hingga model pendidikan
berbasis agama. Keberagaman ini juga yang membuat karakter siswa di berbagai
sekolah menjadi beragam. Peneliti sendiri merasa tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap salah satu model pendidikan tersebut. Menurut peneliti
pendidikan tingkat menengah atas (SMA) atau sederajat adalah tingkat teratas
dalam pembentukan afeksi bagi setiap individu sebelum menuju tingkat

Universitas Sumatera Utara

pendidikan di perguruan tinggi. Pembentukan afeksi sangat penting bagi seorang
individu untuk membentuk karakter seorang siswa sebelum manuju tingkat
pendidikan di perguruan tinggi yang cenderung lebih luas dalam hal cara berpikir
dan bersikap.
Peneliti memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai objek
penelitian. Lembaga pendidikan Muhammadiyah sendiri memiliki karakter khusus
yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar dan menengah. Sesuai
dengan

pasal

33

ayat


2

Qa’idah

Pendidikan

Dasar

dan

Menengah

Muhammadiyah, yaitu Pada Pendidikan Dasar dan Menengah, Pendidikan Khusus
diberikan Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab yang
Kurikulumnya ditetapkan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
Hal ini diperkuat dengan pertimbangan bahwa Muhammadiyah sebagai
sebuah organisasi masyarakat yang mapan memiliki pengalaman yang panjang
dalam memberikan peran di dunia pendidikan. Persyarikatan Muhammadiyah

telah menyumbangkan peran dalam dunia pendidikan sudah sejak masa
pemerintahan kolonial Belanda.
Pada

masa

pemerintahan

kolonial

Belanda,

tepatnya

pada 17

September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan
moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia
Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan

politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang salah satu
poinnya adalah mengenai edukasi, yakni memperluas dalam bidang pengajaran

Universitas Sumatera Utara

dan pendidikan. Namun semua itu hanyalah sebatas kedok untuk melancarkan
sistem kolonial Belanda yang lebih modern. Terutama dalam hal pendidikan.
Seperti yang dituliskan oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya
Api Sejarah, praktik politik etis dalam bidang edukasi dijalankan dengan sangat
diskriminatif. Selain tidak banyak sekolah yang didirikan, tidak semua Pribumi
mendapatkan kesempatan bersekolah, kecuali putra bangsawan dan anak-anak
etnis Cina serta Ambon. Diskriminasi juga diberlakukan dalam

pemberian

subsidi.
Soemarsono Mestoko dalam
perbedaan

jumlah

subsidi

dari

Suryanegara
pemerintah

(2010:440)

kolonial

menuturkan

Belanda

dalam

mengaplikasikan Politik Etis di bidang edukasi. Eropeesche Lager School (ELS)
dengan murid hanya berjumlah 2.500, yang terdiri dari anak eropa dan
bangsawan, mendapatkan subsidi f. 2.677.000. Sebaliknya, Sekolah Rendah
Pribumi, dengan murid berjumlah 162.000 Muslim, hanya mendapatkan subsidi
sebanyak f. 1.399.000.
Pendirian sekolah pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda hanya untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik untuk dipekerjakan di perkebunan dan
pertambangan, serta proyek penjajahan lainnya. Apabila kebutuhan tenaga kerja
terpenuhi, sekolah ditutup. Jadi, pendirian sekolah tersebut bukan untuk
mencerdaskan anak Pribumi. Di bawah tantangan sistem pendidikan yang seperti
ini, Persyarikatan Muhammadiyah menjawabnya dengan mendirikan sekolah yang
serupa tapi tidak sama kurikulumnya. Di mana perbedaannya adalah terdapat mata
pelajaran

Al-Quran

dalam

sekolah

yang

didirikan

oleh

Persyarikatan

Muhammadiyah.

Universitas Sumatera Utara

Pendirian sekolah Muhammadiyah pada saat itu mengikuti sistem sekolah
yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain adanya Sekkolah Desa
atau Sekolah Rendah Angka Dua (Tweede Klasse) atau Sekolah Boemipoetra
(Inlandsche School), sudah mulai didirikan Sekolah Rendah Kelas Satu, yang
disebut Hol landsch Indische School (HIS) pada 1914 M.
Sekolah ini disebut pula Sekolah Boemi Poetra-Belanda, khusus untuk
anak bangsawan, pegawai Belanda, dan tokoh-tokoh terkemuka. Lama studinya
tujuh tahun. Anak rakyat jelata tidak mungkin masuk ke sekolah ini. Dari fakta
sejarah sekolah ini, terbaca diskriminasi politik etis di bidang pendidikan
penjajah.
Oleh karena itu HIS Muhammadiyah disebut HIS met de Quran. HIS yang
demikian ini merupakan upaya Persyarikatan Muhammadiyah mengimbangi
sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial belanda. Akan tetapi,
pada masa penjajahan Persyarikatan Muhammadiyah tidak mungkin mendirikan
perguruan tinggi. Baru pada 27 Rajab 1363 H/8 Juli 1945 pada masa pendudukan
Balatentara Dai Nippon, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Sekolah
Tinggi Islam (STI) DI Jakarta dengan Rektor Kahar Moezakkir.
Karena Persyarikatan Muhammadiyah lebih fokus pada upaya pengadaan
tenaga guru, didirikanlah Kweekschool. Dengan tersedianya tenaga guru, maka
diperbanyaklah

pendirian

sekolah-sekolah

Muhammadiyah.

Pilihan

yang

demikian ini, disebabkan karena mayoritas Pribumi saat itu, umumnya buta huruf
latin. Latar belakang yang demikian ini pula yang membuat Persyarikatan
Muhammadiyah lebih cenderung mendirikan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah. Akan tetapi, hal itu tidak berarti Persyarikatan

Universitas Sumatera Utara

Muhammadiyah tidak membangun Pesantren dan sekolah Agama. Keduanya tetap
menjadi bagian dari pengembangan sistem pendidikan dalam menjawab tantangan
zamannya (Suryanegara, 2010:440-443).
Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sekolah rakyat, yang diberi
nama Madrasha Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang menggabungkan dua sistem
pendidikan, yaitu sistem pesantern dan pendidikan barat. Sistem pendidikan yang
disebut terakhir ini masih asing khususnya mata pelajaran yang diajarkan, yaitu
pengetahuan umum (Syaifullah, dalam Sudarno dkk, 2010:63-64)
Hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu organisasi
kemasyarakatan

yang

sangat

berpengaruh

di

Indonesia.

Persyarikatan

Muhammadiyah memiliki kader dan simpatisan yang tersebar luas di seluruh
tanah air. Persyarikatan Muhammadiyah memperluas pengaruhnya dalam
berbagai aspek, baik dalam agama, sosial dan pendidikan.
Dalam aspek keagamaan Persyarikatan Muhammadiyah memiliki gerakan
khusus tentang Amar Ma’ruf nahi munkar sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Dalam aspek sosial Persyarikatan Muhammadiyah memiliki amal usaha berupa
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dimotori oleh para kader Persyarikatan
Muhammadiyah. Dan dalam hal pendidikan sudah sangat jelas Persyarikatan
Muhammadiyah sangat banyak berperan.
Sejak zaman kolonial hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah terus
menjalankan perannya dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan
didirikannya 4.623 Taman Kanak-kanak, 2.604 Sekolah Dasar, 1.772 SMP, 1.143
SMA/sederajat,

67

Pondok

(www.muhammadiyah.or.id/

Pesantren,

dan

172

Perguruan

content-8-det-amal-usaha.html).

Hal

Tinggi
ini

Universitas Sumatera Utara

membuktikan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah terhadap pembangunan
masyarakat melalui pendidikan.
Ditengah perkembangan globalisasi Muhammadiyah mampu beradaptasi
mengikuti perkembangan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Abdullah dalam
Khozin (2005:2) tampak dalam pengorganisasian gerakannya yang lebih
sistematis dan efektif. Amal usaha Muhammadiyah yang secara garis besar dapat
dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu: agama, sosial, dan pendidikan dikelola
dengan cara-cara yang menurut ukuran ruang dan waktunya tergolong modern.
Secara laten Persyarikatan Muhammadiyah melakukan proses pengaderan
melalui

lembaga

pendidikan.

Dalam

masyarakat

sendiri

para

kader

Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Di
dalam lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat beberapa organisasi
yang di isi oleh para pelajar Muhammadiyah, seperti Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ikatan Pelajar Muhammadiyah
diisi oleh para pelajar SMA Muhammadiyah sebagai ekstrakulikuler. Peneliti
sendiri ingin melihat bagai mana pengaruh Persyarikatan Muhammadiyah
terhadap masyarakat melalui lembaga pendidikan yang secara laten merupakan
salah satu proses pengaderan sejak usia dini oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
Latar belakang sejarah dan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah ini
lah yang memperkuat landasan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap
“Model Pendidikan Muhammadiyah dalam Pembentukan Karakter Siswa”
untuk melihat seperti apa karakter masyarakat yang dibentuk oleh Persyarikatan
Muhammadiyah melalui lembaga pendidikan.

Universitas Sumatera Utara

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mencoba menarik suatu
permasalahan. Maka hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:


Bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga Pendidikan
Muhammadiyah

terhadap

pembetukan

karakter

siswa

SMA

Muhammadiyah.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan keinginan peneliti dalam
suatu penelitian (Bungin, 2008:75). Maka tujuan penelitian yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:


Untuk mengetahui bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga
Pendidikan Muhammadiyah terhadap pembetukan karakter siswa SMA
Muhammadiyah 2 Medan.

1.4. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan haruslah memiliki manfaat yang jelas,
baik manfaat secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dilakukannya
penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi, pemahaman, sosialisasi nilai-nilai yang ditemukan dalam hasil

Universitas Sumatera Utara

penelitian, menjadi model perbandingan dalam aspek kelembagaan pendidikan,
serta sumbangan bagi mahasiswa hingga dapat menambah wawasan ilmiah. Selain
itu juga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang sisiologi pendidikan.
1.4.2. Mafaat Praktis
a. Bagi penulis, penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah. selain itu
penelitian ini juga dapat memperkaya wawasan peneliti dalam bidang
sosiologi pendidikan.
b. Bagi masyarakat, Muhammadiyah itu sendiri, maupun pemerintah yang
berkewajiban

sebagai

penyelenggara

pendidikan,

penelitian

ini

diharapkan menjadi model yang dapat diterapkan dengan model lembaga
pendidikan sejenis.
1.5. Defenisi Konsep
Untuk memperjelas maksud dan pengertian mengenai konsep yang
digunakan dalam penelitian ini maka peneliti membatasi konsep-konsep yang
digunakan.pemberian batasan konsep ini diperlukan untuk menuntun peneliti
dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan seerta dalam
menginterpretasikan hasil penelitian (Sanafiah Faisal 1998: 107). Adapun
pendefenisian konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Model pendidikan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah
sistem yang dibangun oleh Yayasan Pendidikan Muhammadiyah 2 Medan
untuk membentuk karakter siswa SMA Muhammadiyah melalui
pendidikan khusus (Pasal 33 ayat 2 Qa’idah Pendidikan Dasar dan

Universitas Sumatera Utara

Menengah Muhammadiyah) dan disiplin yang dibangun dalam Yayasan
Pendidikan Muhammadiyah.
b. Sosialisasi nilai kemuhammadiyahan adalah bagai mana bentuk dan pola
interaksi yang dibangun dalam Lembaga Pendidikan Muhammadiyah
dalam menginternalisasikan nilai-nilai kemuhammadiyahan terhadap
siswa.
c. Yang dimaksud dengan Yayasan Pendidikan Muahammadiyah dalam
penelitian ini adalah SMA Muahammadiyah 2 Medan.
d. Karakter dalam hal ini adalah, kepribadian yang dibentuk oleh SMA
Muhammadiyah 2 Medan yang sesuai dengan model terapan program
yang dilaksanakan oleh sekolah terhadap siswa.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

1 20 74

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 17 77

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 8

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 2

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 6

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi Mahasiswa (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 2

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 10

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 2

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 6

Pengaruh Sistem Uang Kuliah Tunggal Terhadap Partisipasi Berorganisasi (Studi Kasus Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 13