Hubungan Pemberian Suplemen Zat Besi dengan Peningkatan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Trimester III

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemoglobin

2.1.1. Definisi Hemoglobin

Sel darah merah berfungsi untuk mengangkut oksigen ke jaringan dan mengembalikan karbondioksida dari jaringan ke paru. Sel darah merah mengandung suatu protein yaitu hemoglobin. Hemoglobin berperan dalam proses pertukaran gas. Tiap molekul hemoglobin A (Hb A), hemoglobin dominan dalam darah setelah usia 3-6 bulan, terdiri dari empat rantai polipeptida, α2β2, masing-masing dengan gugus heme-nya. Berat molekul Hb A adalah 68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua macam hemoglobin lain dalam jumlah kecil yaitu: Hb F dan Hb A2 (Hoffbrand & Moss, 2013).

2.1.2. Fungsi Hemoglobin

Sel darah merah dalam darah arteri sistemik mengangkut oksigen dari paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa karbondioksida ke paru. Sel darah merah memiliki suatu protein yang berperan penting dalam mengikat serta membawa oksigendan karbondioksida. Protein tersebut adalah hemoglobin. Seiring molekul hemoglobin mengangkut dan melepas oksigen, setiap rantai globin pada molekul hemoglobin tersebut bergerak mendekati satu

sama lain. Kontak antara α1β1 dan α2β2 menstabilkan molekul tersebut. Rantai β bergeser pada saat kontak α1β1dan α2β2 selama oksigenasi dan deoksigenasi. Pada saat oksigen dilepaskan, rantai β ditarik terpisah, memungkinkan masuknya

metabolit 2,3-difosfogliserat yang menyebabkan penurunan afinitas molekul tersebut terhadap oksigen. Pertukaran oksigenterjadi antara saturasi 95% (darah arteri) dengan tekanan oksigen arteri rata-rata 95 mmHg dan saturasi 70% (darah vena) dengan tekanan oksigen vena rata-rata 40 mmHg (Hoffbrand & Moss, 2013).


(2)

2.1.3. Sintesis Hemoglobin

Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimiawi. Dua bahan awal sintesis heme adalah suksini-KoA dan glisin.

Produk reaksi penggabungan dua bahan tersebut adalah asam α-amino-β

-ketoadipat yang didekarboksilasi untuk membentuk α-aminolevulinat (ALA). Rangkaian reaksi ini dikatalis oleh ALA sintase. Sintesis ALA terjadi di mitokondria. Di sitosol, dua molekul ALA disatukan oleh enzim ALA dehidratase untuk membentuk dua molekul air dan satu porfobilinogen (PBG). Pembentukan tetrapirol siklik (suatu porfirin) terjadi melalui kondensasi empat molekul PBG. Keempat molekul ini memadat untuk membentuk hidroksimetilbilan (HMB) yang dikatalis oleh uroporfirinogen I sintase. HMB mengalami siklisasi secara spontan membentuk uroporfirinogen I atau diubah menjadi uroporfirinogen III oleh uroporfirinogen III sintase. Uroporfirinogen III diubah menjadi koproporfirinogen III oleh uroporfirinogen dekarboksilase. Koproporfirinogen III memasuki mitokondria, tempat senyawa ini diubah menjadi protoporfirinogen III yang kemudian menjadi protoporfirin III. Tahap terakhir sintesis heme adalah penggabungan besi ferro dengan protoporfirin yang dikatalis oleh ferokelatase (heme sintase).

Setiap molekul heme bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing gugus heme-nya kemudian dibentuk untuk menjadikan satu molekul hemoglobin (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

2.2. Anemia pada Kehamilan 2.2.1. Definisi

Definisi anemia pada kehamilan berdasarkan WHO (The World Health Organization) adalah kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dL atau hematokrit kurang dari 33% sepanjang masa kehamilan. Sedangkan definisi anemia pada kehamilan berdasarkan CDC (The US Centers for Disease Control and Prevention) adalah kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dL atau hematokrit kurang dari 33% pada trimester pertama atau trimester ketiga atau


(3)

kadar hemoglobin kurang dari 10,5 g/dL atau hematokrit kurang dari 32% pada trimester kedua (WHO, 2011; CDC, 1998).

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena proses pembentukan sel-sel darah merah terganggu akibat kekurangan kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah tidak akan mencukupi kebutuhan untuk membentuk sel-sel darah merah dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal. Keadaan ini yang disebut dengan anemia gizi besi. Menurut Evatt dalam Masrizal (2007), anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi transferrin, berkurangnya kadar ferritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia pada wanita usia subur akibat kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil (Masrizal, 2007).

2.2.2. Klasifikasi

Tabel 2.1 Klasifikasi anemia menurut WHO Wanita Tidak

Hamil (≥15 tahun)

Wanita Hamil

Tidak anemia ≥ 12 g/dL ≥ 11 g/dL

Anemia ringan 11-11,9 g/dL 10-10,9 g/dL

Anemia sedang 8-10,9 g/dL 7-9,9 g/dL

Anemia berat < 8 g/dL < 7 g/dL


(4)

Klasifikasi anemia pada ibu hamil menurut Prawirohardjo dalam Asyirah (2012) adalah:

1. Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Hal ini disebabkan karena kekurangan asupan zat besi dalam makanan, gangguan penyerapan, peningkatan kebutuhan zat besi, atau pengeluaran zat besi yang berlebihan akibat perdarahan. Ciri anemia defisiensi besi adalah ukuran sel darah merah lebih besar dari ukuran normal dan berwarna coklat akibat kekurangan ion Fe serta penurunan sintesis hemoglobin. Ketika simpanan zat besi habis, kadar hemoglobin akan menurun sehingga menimbulkan gejala klinis karena jumlah hemoglobin tidak cukup untuk mengangkut oksigen ke jaringan seluruh tubuh.

2. Anemia hemolitik

Penyebab anemia hemolitik adalah penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari proses pembentukannya. Penghancuran sel darah merah secara normal terjadi setelah jangka hidup rata-rata 120 hari pada saat sel dikeluarkan di ekstravaskular oleh makrofage sistem retikuloendotel di sumsum tulang, hati, dan limpa. Metabolisme sel darah merah akan rusak secara perlahan. Pada anemia hemolitik, penghancuran sel darah merah lebih cepat sehingga kemungkinan untuk mengalami anemia menjadi besar. Wanita dengan anemia hemolitik sulit untuk hamil, tetapi jika hamil anemianya akan bertambah berat.

3. Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik adalah sekelompok anemia dengan eritroblas yang besar akibat gangguan maturasi inti sel yang disebut dengan megaloblas. Gangguan maturasi inti sel disebabkan oleh sintesis DNA yang tidak sempurna. Anemia megaloblas disebabkan oleh defisiensi B12, asam folat, gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat, gangguan


(5)

sintesis DNA akibat defisiensi enzim kongenital dan didapat setelah pemberian obat sitostatik tertentu. Pada kehamilan, kebutuhan asam folat meningkat lima sampai sepuluh kali lipat karena transfer folat dari ibu ke janin. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan menghambat proses absorpsi folat. Karena itu, defisiensi asam folat merupakan penyebab utama anemia megaloblastik pada kehamilan.

4. Anemia hipoplastik

Anemia hipoplastik terjadi karena sumsum tulang tidak mampu membuat sel-sel darah baru. Penyebab anemia hipoplastik hingga kini belum diketahui dengan pasti, kecuali yang disebabkan oleh sepsis, sinar rontgen, racun, dan obat-obatan.

2.2.3. Etiologi

Defisiensi zat besi bisa disebabkan oleh beberapa hal yaitu kehilangan darah kronik melalui uterus, saluran cerna (ulkus peptikum, varises esophagus, gastrektomi parsial, mengkonsumsi aspirin, karsinoma lambung, caecum, kolon, atau rectum, cacing tambang), dan penyebab lainnya yang jarang terjadi (hematuria, hemoglobinuria, hemosiderosis paru, perdarahan yang ditimbulkan sendiri). Penyebab lainnya adalah kebutuhan zat besi meningkat pada prematuritas, pertumbuhan, kehamilan dan terapi eritropoietin. Selain itu, malabsoprsi dan kurang mengkonsumsi makanan mengandung zat besi juga berperan dalam terjadinya defisiensi zat besi (Hoffbrand & Moss, 2013).

Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu: hipervolemia yang menyebabkan terjadinya pengenceran darah, pertambahan volume plasma yang tidak sebanding dengan pertambahan darah, kurang konsumsi zat besi yang terdapat pada makanan, kebutuhan zat besi yang meningkat saat kehamilan, dan gangguan pencernaan serta absorpsi dari zat besi (Susiloningtyas, 2012).


(6)

2.2.4. Faktor Risiko

Faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan terjadinya anemia defisiensi zat besi pada kehamilan menurut Susiloningtyas (2012) dan Lee & Okam (2011), antara lain:

1. Umur ibu <20 tahun dan >35 tahun 2. Perdarahan akut

3. Pendidikan rendah 4. Pekerja berat

5. Konsumsi tablet tambah darah <90 butir

6. Makan <3 kali dan kurang mengandung zat besi

7. Defisiensi mikronutrient seperti vitamin A, vitamin C, zinc, dan

copper.

8. Antasida

9. Bariatric surgery

2.2.5. Patofisiologi

Kehamilan merupakan suatu kondisi yang menimbulkan banyak perubahan anatomi dan fisiologi pada tubuh ibu. Salah satu perubahan fisiologi yang terjadi adalah perubahan pada sistem hematologis. Ketika hamil kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan produksi eritropoietin. Hal tersebut menyebabkan volume plasma akan bertambah (hipervolemia) dan sel darah merah meningkat. Tetapi, peningkatan volume plasma tidak sebanding dengan peningkatan jumlah sel darah merah sehingga kadar hemoglobin ibu akan menurun akibat hemodilusi. Trimester pertama volume darah mulai meningkat, pada minggu ke-12 volume akan bertambah sebesar 15 persen. Trimester kedua akan terjadi pertambahan volume darah yang sangat cepat dan akan melambat selama trimester ketiga lalu mendatar selama beberapa minggu terakhir kehamilan. Setelah 32 sampai 34 minggu kehamilan, peningkatan volume darah sekitar 40-45 persen. Peningkatan volume darah selama kehamilan memiliki beberapa fungsi, yaitu:


(7)

1. Memenuhi kebutuhan metabolik uterus yang membesar dengan sistem vaskuler yang mengalami hipertrofi hebat.

2. Menyediakan nutrisi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan plasenta dan janin.

3. Melindungi ibu dan janin terhadap efek buruk gangguan aliran balik vena pada posisi telentang dan berdiri.

4. Melindungi ibu terhadap efek buruk kehilangan darah selama proses persalinan.

Penyebab utama anemia pada kehamilan adalah ekspansi volume plasma. Volume plasma yang terekspansi akan menurunkan kadar hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Namun, jumlah absolut hemoglobin atau sel darah merah dalam sirkulasi tidak menurun ( Abdulmuthalib, 2009; Cunningham et al, 2013).

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis anemia defisiensi besi pada ibu hamil menurut Pavord et al (2012) dapat dilakukan dengan cara melihat gejala klinis dan melakukan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:

1. Gejala klinis:

Gejala klinis anemia defisiensi besi pada kehamilan tidak spesifik kecuali ibu mengalami anemia yang parah. Gejala yang paling sering adalah fatigue. Gejala lainnya adalah pucat, lemah, sakit kepala, palpitasi, pusing, dispnea, dan irritabel. Gejala pica jarang terlihat. Wanita hamil yang mengalami anemia defisiensi besi akan mengalami gangguan regulasi suhu sehingga merasa kedinginan.

2. Pemeriksaan laboratorium:

a. Darah lengkap, apusan darah dan indeks sel darah merah

Pemeriksaan darah lengkap saat kehamilan biasanya rutin dilakukan. Pada hasil pemeriksaan darah lengkap pada ibu hamil yang


(8)

mengalami anemia akan menunjukkan bahwa kadar hemoglobin, mean

cell volume (MCV), mean cell haemoglobin (MCH), dan mean cell

haemoglobin concentration (MCHC) akan menurun. Pada kasus

anemia defisiensi besi yang ringan, MCV bisa normal.

Apusan darah akan menunjukkan gambaran sel darah merah yang hipokromik mikrositik dengan karakteristik sel darah merah ‘pencill cells’.

b. Serum ferritin

Serum ferritin menjadi tidak normal ketika simpanan besi menurun dan tidak dipengaruhi oleh proses pencernaan zat besi. Pemeriksaan serum ferritin merupakan pemeriksaan terbaik untuk menilai defisiensi zat besi pada kehamilan. Pada awal kehamilan, wanita yang mempunyai ketersediaan zat besi adekuat, serum ferritin akan meningkat dan pada minggu ke 32 akan menurun sebanyak 50 persen dari konsentrasi serum ferritin sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh hemodilusi dan mobilisasi zat besi ketika hamil. Pada trimester ketiga, konsentrasi serum ferritin akan sedikit meningkat. Konsentrasi serum ferritin <15 µg/l pada ketiga trimester mengindikasikan bahwa sudah terjadi penurunan simpanan zat besi. Penatalaksanaan sebaiknya dilakukan ketika serum ferritin <30 µg/l karena merupakan tanda awal penurunan simpanan zat besi.

c. Serum besi (Fe) dan total iron binding capacity (TIBC)

Pemeriksaan serum Fe dan TIBC tidak dianjurkan karena kurang sensitif dan spesifik untuk menentukan anemia defisiensi zat besi. Konsentrasinya keduanya sangat dipengaruhi oleh proses pencernaan zat besi, diurnal rhythm, dan faktor lainnya seperti infeksi. Hasil pemeriksaan kadar besi serum menurun dan TIBC akan meningkat.


(9)

d. Zinc protoporphyrin (ZPP)

ZPP akan meningkat ketika ketersediaan zat besi menurun. ZPP menggambarkan ketersediaan zat besi untuk jaringan. Serum ini tidak dipengaruhi oleh dilusi plasma dan akan meningkat pada trimester ketiga. Pemeriksaan ini jarang dilakukan.

e. Soluble transferrin receptor (sTfR)

Pemeriksaan sTfR sensitif untuk mengukur ketersediaan zat besi jaringan dan bukan merupakan acute-phase reactant. Reseptor transferrin merupakan protein yang membawa zat besi ke sel. Pemeriksaan sTfR akurat untuk menilai defisiensi zat besi tetapi pemeriksaan ini mahal.

f. Reticulocyte haemoglobin content dan retikulosit

Defisiensi zat besi menyebabkan penurunan jumlah retikulosit dan konsentrasi retikulosit hemoglobin. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aktivitas eritropoiesis.

g. Bone marrow iron

Pemeriksaan zat besi pada sumsum tulang merupakan gold

standard untuk menilai jumlah simpanan zat besi. Hasil pemeriksaan

akan menunjukkan peningkatan aktivitas eritropoietik. Tes ini bersifat invasif jika dilakukan pada ibu hamil.

h. Terapi uji coba zat besi

Pemberian suplementasi zat besi berguna untuk diagnosis sekaligus teraupetik. Kadar ferritin sebaiknya diperiksa untuk memastikan apakah ibu hamil mengalami hemoglobinopati. Tetapi jika anemia mikrositik atau normositik maka diasumsikan bahwa penyebab anemia tersebut akibat defisiensi zat besi. Setelah pemberian zat besi selama dua minggu, kadar hemoglobin diperiksa kembali dan jika meningkat


(10)

maka dapat dipastikan bahwa anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi.

2.2.7. Dampak Anemia pada Kehamilan dan Janin

Bahaya anemia pada kehamilan menurut Manuaba (2007) digolongkan menjadi:

A. Dampak anemia terhadap kehamilan 1. Dampak selama kehamilan:

a. Dapat terjadi abortus b. Persalinan premature

c. Hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim d. Mudah terjadi infeksi

e. Ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr %) f. Mola hidatidosa

g. Hiperemesis gravidarum h. Perdarahan antepartum i. Ketuban pecah dini

2. Dampak saat persalinan:

a. Gangguan his (kekuatan mengejan)

b. Kala pertama dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar

c. Kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi

d. Kala tiga dapat diikuti retensio plasenta dan perdarahan postpartum akibat atonia uteri

e. Perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri

3. Dampak selama masa nifas

a. Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan postpartum


(11)

b. Memudahkan infeksi puerperium c. Pengeluaran ASI berkurang

d. Dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan e. Anemia kala nifas

f. Mudah terjadi infeksi mamae

B. Dampak anemia terhadap janin

Walaupun janin mampu menyerap berbagai nutrisi dari ibunya, dengan adanya anemia kemampuan metabolisme tubuh akan berkurang sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim terganggu. Dampak anemia pada janin adalah:

a. Abortus

b. Kematian intrauteri

c. Persalinan prematuritas tinggi d. Berat badan lahir renda e. Kelahiran dengan anemia f. Dapat terjadi cacat bawaan

2.2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anemia dapat diberikan sesuai dengan derajat keparahan anemia pada ibu hamil yang dinilai berdasarkan kadar hemoglobin, terbagi menjadi 3 yaitu (Asyirah, 2012):

1. Anemia ringan

Penatalaksanaan yang diberikan pada ibu hamil dengan anemia ringan adalah kombinasi 60 mg/hari zat besi dan 500 mg asam folat peroral sekali dalam sehari.

2. Anemia sedang

Penatalaksanaan pada anemia sedang adalah preparat besi ferrous 600-1000 mg/hari seperti sulfat ferrosus atau glukonas ferrosus.


(12)

3. Anemia berat

Pemberian preparat parenteral yaitu ferum dextrim sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2x10 ml intramuskular. Transfusi darah pada kehamilan lanjut dapat diberikan walaupun sangat jarang dilakukan karena risiko transfusi bagi ibu dan janin.

2.2.9. Pencegahan

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia menurut Masrizal (2007) adalah:

1. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan. Konsumsi pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan dalam jumlah yang cukup. Sumber lainnya adalah telur, serelia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Sumber zat besi dari daging, ayam dan ikan lebih mudah diserap dibandingkan dengan sumber yang lainnya. Selain itu, konsumsi vitamin C yang bisa membantu proses penyerapan dari zat besi dan kurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti fitat, fosfat, tannin.

2. Suplementasi zat besi dapat memperbaiki status hemoglobin dalam waktu relatif singkat. Suplemen zat besi yang umum digunakan adalah ferrous sulfat.

3. Fortifikasi makanan dengan besi. Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis gizi kedalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan suatu kelompok masyarakat. Keuntungan fortifikasi adalah dapat dilakukan pada populasi yang besar dan relatif murah.

2.3. Zat Besi

2.3.1. Definisi Zat Besi

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia sebanyak 3-5 gram pada manusia dewasa (Almatsier, 2004). Besi diperlukan untuk proses pembentukan darah yaitu sintesis hemoglobin. Besi bebas terdapat dalam dua bentuk yaitu ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Konsentrasi oksigen


(13)

yang tinggi akan menyebabkan ferri terikat dengan hemoglobin. Ferro berperan dalam proses transport transmembran, deposisi dalam bentuk ferritin, dan sintesis heme. Dalam tubuh, besi diperlukan untuk pembentukan kompleks besi sulfur dan heme. Kompleks besi sulfur dibutuhkan oleh enzim yang berperan dalam metabolisme energi. Heme tersusun atas cincin porfirin dengan atom besi di sentral cincin yang berperan mengangkut oksigen pada hemoglobin dalam eritrosit dan mioglobin dalam otot (Susiloningtyas, 2012).

2.3.2. Metabolisme Besi

Besi banyak terdapat pada hemoprotein, seperti hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom. Penyerapan besi di duodenum proksimal diatur secara ketat karena tidak ada jalur fisiologis untuk mengeluarkan besi dari tubuh. Enterosit di duodenum proksimal berperan menyerap besi. Besi yang masuk dalam bentuk Fe3+ direduksi menjadi Fe2+ oleh ferrireduktase yang terdapat pada permukaan enterosit. Pemindahan besi dari permukaan apikal enterosit ke dalam sel tersebut dilakukan oleh divalent metal transporter (DMT1) (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

Hepcidin adalah polipeptida yang terdiri dari 25 asam amino yang dihasilkan oleh sel hati. Hepcidin merupakan pengatur hormonal utama homeostasis besi. Hepcidin menghambat pelepasan besi dari makrofage dan sel epitel usus melalui interaksinya dengan suatu pengangkut besi transmembran yaitu ferroportin. Kadar hepcidin yang meningkat menurunkan absorpsi besi dan pelepasan besi dari makrofage. Hemojuvelin yang terikat membran adalah ko-reseptor dengan protein morfogenetik tulang yang menstimulasi ekspresi hepcidin (Hoffbrand & Moss, 2013).

Setelah berada di dalam enterosit, besi dapat disimpan sebagai ferritin atau diangkut menembus membran basolateral diperantai oleh kerja protein lain yaitu ferroportin. Protein ini dapat berinteraksi dengan hephaestin yang memiliki aktivitas ferroksidase penting dalam membebaskan besi dari sel. Oleh karena itu, Fe2+ diubah kembali menjadi Fe3+, bentuk yang dapat diangkut oleh transferrin di dalam plasma. Transferrin adalah suatu glikoprotein dan disintesis di hati.


(14)

Transferrin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferrin, khususnya eritroblast dalam sumsum tulang yang menggabungkan besi tersebut ke dalam hemoglobin. Transferrin kemudian kembali digunakan. Ketika sel darah merah dihancurkan dalam makrofage sistem retikuloendotel, besi dilepaskan dari hemoglobin dan masuk ke dalam plasma yang merupakan sumber sebagian besar besi dalam transferrin (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

Sebagian besi disimpan dalam makrofage sebagai ferritin dan hemosiderin, jumlahnya sangat bervariasi tergantung status besi dalam tubuh secara keseluruhan. Ferritin merupakan kompleks protein-besi yang larut dalam air. Ferirtin terbentuk dari suatu apoferritin. Apoferritin mengandung besi sampai dengan 20% beratnya. Tiap molekul apoferitin dapat mengikat sampai dengan 4.000-5.000 atom besi. Hemosiderin adalah kompleks protein-besi yang tidak larut dengan komposisi yang bervariasi, mengandung sekitar 37% besi berdasarkan berat. Hemosiderin berasal dari pencernaan parsial agregat molekul ferritin oleh lisosom. Besi dalam ferritin dan hemosiderin adalah dalam bentuk Fe3+ (Hoffbrand & Moss, 2013).

2.3.3. Fungsi Zat Besi

Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh yaitu: sebagai alat angkut oksigen di dalam tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan berperan dalam berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Sekitar 80% besi berada di dalam hemoglobin. Selebihnya terdapat di dalam mioglobin dan protein lainnya. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen: menerima, menyimpan, dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Produktivitas kerja menurun pada defisiensi besi disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim yang membutuhkan besi sebagai kofaktor yang terlibat dalam metabolisme energi dan menurunnya hemoglobin darah. Akibat metabolisme energi di dalam otot terganggu akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang menimbulkan rasa


(15)

lelah. Selain itu, besi juga berperan dalam kemampuan belajar, sistem kekebalan, dan sebagai pelarut obat-obatan tertentu (Almatsier, 2004).

Sekitar 70% zat besi yang terdapat dalam tubuh merupakan zat besi fungsional atau esensial dan 30% merupakan zat besi yang nonesensial. Zat besi esensial terdapat pada hemoglobin ± 66%, mioglobin 3%, enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer elektron (sitokromoksidase, suksinil dehydrogenase, dan xantin oksidase) sebanyak 5%, dan transferrin 0,1%. Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin sebanyak 25% dan pada parenkim jaringan sekitar 5%. Cadangan zat besi pada wanita hanya 200-400 mg sedangkan pria sekitar 1 gram (Dewoto & Wardhini, 2012).

2.3.4. Sumber Zat Besi

Makanan hewani seperti daging, ayam, dan ikan merupakan sumber zat besi yang baik. Sumber baik lainnya adalah telur, serelia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Selain jumlah besi, kualitas besi di dalam makanan (bioavailabilitas) juga perlu diperhatikan. Pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai bioavailabilitas tinggi, besi di dalam serelia dan kacang-kacangan mempunyai bioavailabilitas sedang, dan besi di dalam sayuran, seperti bayam, mempunyai bioavailabilitas rendah (Almatsier, 2004). Kandungan zat besi pada beberapa bahan makanan adalah:

Tabel 2.2 Kandungan besi pada bahan makanan, mg/100 gram

Bahan Makanan Kandungan Besi

Tempe 10,0

Udang 8,0

Kacang hijau 6,7

Hati sapi 6,6

Bayam 3,9

Sawi 2,9

Ayam 1,5


(16)

2.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absoprsi Zat Besi

Tabel 2.3 Absorpsi besi

Faktor yang mendukung absorpsi Faktor yang mengurangi absorpsi

Besi heme Besi anorganik

Bentuk ferro (Fe2+) Bentuk ferri (Fe3+)

Asam (HCl, vitamin C) Basa (antasida, sekresi pankreas) Zat-zat yang melarutkan (gula, asam

amino)

Zat-zat yang mengendapkan (phytates, fosfat, teh) Hepcidin serum menurun (pada

defisiensi besi)

Hepcidin serum meningkat (pada kelebihan besi)

Eritropoiesis inefektif Eritropoiesis menurun

Kehamilan Peradangan

Hemokromatosis herediter

Peningkatan ekspresi DMT-1 dalam eritrosit duodenum

Berkurangnya ekspresi DMT-1 dalam eritrosit duodenum Sumber: Hoffbrand & Moss, 2013

2.3.6. Kebutuhan Zat Besi pada Masa Kehamilan

Jumlah zat besi yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: umur, jenis kelamin (berhubungan dengan kehamilan dan laktasi pada wanita), dan jumlah darah dalam tubuh (hemoglobin) walaupun simpanan zat besi memegang peranan yang penting. Dalam keadaan normal, laki-laki dewasa membutuhkan asupan sebesar 10 mg/hari dan wanita sebesar 12 mg/hari. Sedangkan pada wanita hamil dibutuhkan tambahan asupan 5 mg/hari (Dewoto & Wardhini, 2012).

Kebutuhan zat besi selama masa kehamilan yaitu rata-rata 800 mg-1040 mg. Zat besi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan janin (±300 mg), pembentukan plasenta (±50-75 mg), meningkatkan massa hemoglobin maternal/sel darah merah (±500 mg), diekskresikan lewat usus, urin, dan kulit (±200 mg), dan ketika persalinan (±200 mg). Perhitungan makan 3 kali sehari atau


(17)

1000-2500 kalori akan menghasilkan sekitar 10-15 mg zat besi perhari, namun hanya 1-2 mg yang dapat diabsorpsi. Jika ibu hamil mengkonsumsi 60 mg zat besi, diharapkan 6-8 mg zat besi dapat diabsorpsi. Konsumsi selama 90 hari maka total zat besi yang diabsorpsi adalah sebesar 720 mg dan 180 mg dari konsumsi harian (Susiloningtyas, 2012).

2.3.7. Suplementasi Zat Besi

Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui feses, urine, dan kulit. Kehilangan zat besi pada laki-laki dewasa 0,9 mg dan wanita dewasa 0,8 mg. kebutuhan zat besi pada ibu hamil berbeda setiap trimester, trimester I naik 0,8 mg/hari dan menjadi 6,3 mg/hari pada trimester III. Pada trimester II dan III zat besi tidak dapat dipenuhi dari makanan saja walaupun makanan yang dimakan cukup baik kualitas dan bioavailabilitas tinggi. Zat besi harus disuplai dari sumber lain agar kebutuhan ketika masa kehamilan tercukupi (Susiloningtyas, 2012). Pemberian zat besi disesuaikan dengan usia kehamilan atau kebutuhan zat besi tiap trimester, yaitu:

1. Trimester I : kebutuhan zat besi ±1 mg/hari ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah.

2. Trimester II : kebutuhan zat besi ±5 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan janin 115 mg.

3. Trimester III : kebutuhan zat besi 5 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan janin 223 mg.

Indikasi pemberian sediaan zat besi adalah pencegahan dan pengobatan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi paling sering disebabkan oleh kehilangan darah dan pada wanita hamil serta masa pertumbuhan ketika kebutuhan akan zat besi meningkat (Dewoto & Wardhini, 2012).

Besi dalam bentuk ferro paling mudah diabsorpsi maka preparat besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk garam ferro seperti: ferro sulfat, ferro glukonat, dan ferro fumarat. Tidak terdapat perbedaan absorpsi di antara ketiga obat tersebut. Jika ada, mungkin disebabkan oleh perbedaan kelarutan pada asam lambung. Dosis dan jumlah elemen besi yang terdapat di sediaan adalah:


(18)

Tabel 2.4 Jenis preparat besi oral

Preparat Tablet Elemen besi tiap tablet

Ferro sulfat 325 mg 65 mg

Ferro glukonat 325 mg 36 mg

Ferro fumarat 200 mg 66 mg

Ferro fumarat 325 mg 106 mg

Sumber: Dewoto & Wardhini, 2012

Selain sediaan oral, terdapat juga sediaan parenteral yang digunakan jika pemberian oral tidak memungkinkan misalnya pada pasien yang intoleran terhadap sediaan oral atau pemberian oral tidak memberikan respon teraupetik. Sediaan parenteral adalah iron-dextran mengandung 50 mg zat besi setiap mL (larutan 5%) untuk pemberian secara IM dan IV. Respon teraupetik pemberian secara IM tidak lebih cepat dibandingkan dengan pemberian oral. Dosis total yang diberikan berdasarkan beratnya anemia, yaitu 250 mg zat besi untuk setiap gram kekurangan hemoglobin. Sedangkan pemberian secara IV, dosis permulaan tidak melebihi 25 mg dan diikuti dengan peningkatan bertahan selama 2-3 hari sampai tercapai dosis 100 mg/hari. Obat diberikan secara perlahan dengan menyuntikkan 25-50 mg/menit. Preparat suntikan lainnya yaitu iron-sucrose dan iron sodium

gluconate (Dewoto & Wardhini, 2012).

Di Indonesia, pemberian suplemen zat besi sudah rutin dilakukan melalui pelayanan antenatal untuk ibu hamil. Suplemen zat besi yang diberikan mengandung 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan (Susiloningtyas, 2012). Kementerian Kesehatan (2010) menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya. Ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi satu tablet tambah darah perhari selama kehamilan dan masa nifas.


(19)

2.3.8. Efek Samping Pemberian Suplementasi Zat Besi

Efek samping yang sering timbul berupa intoleransi terhadap sediaan oral. Hal ini bergantung pada jumlah zat besi yang dapat larut dan yang diabsorpsi setiap pemberian. Gejala yang ditimbulkan adalah mual, nyeri lambung, konstipasi, diare, dan kolik. Gangguan ini bersifat ringan dan bisa dikurangi dengan pengurangan dosis atau pemberian sesudah makan walaupun absorpsi akan berkurang. Perubahan warna feses menjadi berwarna hitam.

Pemberian zat besi secara IM dapat menyebabkan reaksi lokal pada tempat suntikan yaitu berupa rasa sakit, warna coklat, dan peradangan lokal dengan pembesaran kelenjar inguinal. Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemberian IM. Selain itu, reaksi sistemik bisa juga terjadi dalam waktu 10 menit setelah pemberian. Reaksi yang muncul adalah sakit kepala, nyeri otot dan sendi, hemolysis, takikardi, flushing, berkeringat, mual, muntah, bronkospasme, hipotensi, pusing, dan kolaps sirkulasi. Reaksi yang timbul dalam 30 menit-24 jam adalah sinkop, demam, menggigil, ra sh, urtikaria, nyeri dada, perasaan sakit seluruh badan, dan enselofatia. Reaksi sistemik lebih sering terjadi pada pemberian IV, demikian pula syok atau henti jantung (Dewoto & Wardhini, 2012).


(1)

Transferrin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferrin, khususnya eritroblast dalam sumsum tulang yang menggabungkan besi tersebut ke dalam hemoglobin. Transferrin kemudian kembali digunakan. Ketika sel darah merah dihancurkan dalam makrofage sistem retikuloendotel, besi dilepaskan dari hemoglobin dan masuk ke dalam plasma yang merupakan sumber sebagian besar besi dalam transferrin (Murray, Granner, & Rodwell, 2009).

Sebagian besi disimpan dalam makrofage sebagai ferritin dan hemosiderin, jumlahnya sangat bervariasi tergantung status besi dalam tubuh secara keseluruhan. Ferritin merupakan kompleks protein-besi yang larut dalam air. Ferirtin terbentuk dari suatu apoferritin. Apoferritin mengandung besi sampai dengan 20% beratnya. Tiap molekul apoferitin dapat mengikat sampai dengan 4.000-5.000 atom besi. Hemosiderin adalah kompleks protein-besi yang tidak larut dengan komposisi yang bervariasi, mengandung sekitar 37% besi berdasarkan berat. Hemosiderin berasal dari pencernaan parsial agregat molekul ferritin oleh lisosom. Besi dalam ferritin dan hemosiderin adalah dalam bentuk Fe3+ (Hoffbrand & Moss, 2013).

2.3.3. Fungsi Zat Besi

Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh yaitu: sebagai alat angkut oksigen di dalam tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan berperan dalam berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Sekitar 80% besi berada di dalam hemoglobin. Selebihnya terdapat di dalam mioglobin dan protein lainnya. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen: menerima, menyimpan, dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Produktivitas kerja menurun pada defisiensi besi disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim yang membutuhkan besi sebagai kofaktor yang terlibat dalam metabolisme energi dan menurunnya hemoglobin darah. Akibat metabolisme energi di dalam otot terganggu akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang menimbulkan rasa


(2)

lelah. Selain itu, besi juga berperan dalam kemampuan belajar, sistem kekebalan, dan sebagai pelarut obat-obatan tertentu (Almatsier, 2004).

Sekitar 70% zat besi yang terdapat dalam tubuh merupakan zat besi fungsional atau esensial dan 30% merupakan zat besi yang nonesensial. Zat besi esensial terdapat pada hemoglobin ± 66%, mioglobin 3%, enzim tertentu yang berfungsi dalam transfer elektron (sitokromoksidase, suksinil dehydrogenase, dan xantin oksidase) sebanyak 5%, dan transferrin 0,1%. Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin sebanyak 25% dan pada parenkim jaringan sekitar 5%. Cadangan zat besi pada wanita hanya 200-400 mg sedangkan pria sekitar 1 gram (Dewoto & Wardhini, 2012).

2.3.4. Sumber Zat Besi

Makanan hewani seperti daging, ayam, dan ikan merupakan sumber zat besi yang baik. Sumber baik lainnya adalah telur, serelia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Selain jumlah besi, kualitas besi di dalam makanan (bioavailabilitas) juga perlu diperhatikan. Pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai bioavailabilitas tinggi, besi di dalam serelia dan kacang-kacangan mempunyai bioavailabilitas sedang, dan besi di dalam sayuran, seperti bayam, mempunyai bioavailabilitas rendah (Almatsier, 2004). Kandungan zat besi pada beberapa bahan makanan adalah:

Tabel 2.2 Kandungan besi pada bahan makanan, mg/100 gram

Bahan Makanan Kandungan Besi

Tempe 10,0

Udang 8,0

Kacang hijau 6,7

Hati sapi 6,6

Bayam 3,9

Sawi 2,9

Ayam 1,5


(3)

2.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absoprsi Zat Besi

Tabel 2.3 Absorpsi besi

Faktor yang mendukung absorpsi Faktor yang mengurangi absorpsi

Besi heme Besi anorganik

Bentuk ferro (Fe2+) Bentuk ferri (Fe3+)

Asam (HCl, vitamin C) Basa (antasida, sekresi pankreas) Zat-zat yang melarutkan (gula, asam

amino)

Zat-zat yang mengendapkan (phytates, fosfat, teh) Hepcidin serum menurun (pada

defisiensi besi)

Hepcidin serum meningkat (pada kelebihan besi)

Eritropoiesis inefektif Eritropoiesis menurun

Kehamilan Peradangan

Hemokromatosis herediter

Peningkatan ekspresi DMT-1 dalam eritrosit duodenum

Berkurangnya ekspresi DMT-1 dalam eritrosit duodenum Sumber: Hoffbrand & Moss, 2013

2.3.6. Kebutuhan Zat Besi pada Masa Kehamilan

Jumlah zat besi yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: umur, jenis kelamin (berhubungan dengan kehamilan dan laktasi pada wanita), dan jumlah darah dalam tubuh (hemoglobin) walaupun simpanan zat besi memegang peranan yang penting. Dalam keadaan normal, laki-laki dewasa membutuhkan asupan sebesar 10 mg/hari dan wanita sebesar 12 mg/hari. Sedangkan pada wanita hamil dibutuhkan tambahan asupan 5 mg/hari (Dewoto & Wardhini, 2012).

Kebutuhan zat besi selama masa kehamilan yaitu rata-rata 800 mg-1040 mg. Zat besi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan janin (±300 mg), pembentukan plasenta (±50-75 mg), meningkatkan massa hemoglobin maternal/sel darah merah (±500 mg), diekskresikan lewat usus, urin, dan kulit (±200 mg), dan ketika persalinan (±200 mg). Perhitungan makan 3 kali sehari atau


(4)

1000-2500 kalori akan menghasilkan sekitar 10-15 mg zat besi perhari, namun hanya 1-2 mg yang dapat diabsorpsi. Jika ibu hamil mengkonsumsi 60 mg zat besi, diharapkan 6-8 mg zat besi dapat diabsorpsi. Konsumsi selama 90 hari maka total zat besi yang diabsorpsi adalah sebesar 720 mg dan 180 mg dari konsumsi harian (Susiloningtyas, 2012).

2.3.7. Suplementasi Zat Besi

Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui feses, urine, dan kulit. Kehilangan zat besi pada laki-laki dewasa 0,9 mg dan wanita dewasa 0,8 mg. kebutuhan zat besi pada ibu hamil berbeda setiap trimester, trimester I naik 0,8 mg/hari dan menjadi 6,3 mg/hari pada trimester III. Pada trimester II dan III zat besi tidak dapat dipenuhi dari makanan saja walaupun makanan yang dimakan cukup baik kualitas dan bioavailabilitas tinggi. Zat besi harus disuplai dari sumber lain agar kebutuhan ketika masa kehamilan tercukupi (Susiloningtyas, 2012). Pemberian zat besi disesuaikan dengan usia kehamilan atau kebutuhan zat besi tiap trimester, yaitu:

1. Trimester I : kebutuhan zat besi ±1 mg/hari ditambah 30-40 mg untuk kebutuhan janin dan sel darah merah.

2. Trimester II : kebutuhan zat besi ±5 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 300 mg dan janin 115 mg.

3. Trimester III : kebutuhan zat besi 5 mg/hari ditambah kebutuhan sel darah merah 150 mg dan janin 223 mg.

Indikasi pemberian sediaan zat besi adalah pencegahan dan pengobatan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi paling sering disebabkan oleh kehilangan darah dan pada wanita hamil serta masa pertumbuhan ketika kebutuhan akan zat besi meningkat (Dewoto & Wardhini, 2012).

Besi dalam bentuk ferro paling mudah diabsorpsi maka preparat besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk garam ferro seperti: ferro sulfat, ferro glukonat, dan ferro fumarat. Tidak terdapat perbedaan absorpsi di antara ketiga obat tersebut. Jika ada, mungkin disebabkan oleh perbedaan kelarutan pada asam lambung. Dosis dan jumlah elemen besi yang terdapat di sediaan adalah:


(5)

Tabel 2.4 Jenis preparat besi oral

Preparat Tablet Elemen besi tiap tablet

Ferro sulfat 325 mg 65 mg

Ferro glukonat 325 mg 36 mg

Ferro fumarat 200 mg 66 mg

Ferro fumarat 325 mg 106 mg

Sumber: Dewoto & Wardhini, 2012

Selain sediaan oral, terdapat juga sediaan parenteral yang digunakan jika pemberian oral tidak memungkinkan misalnya pada pasien yang intoleran terhadap sediaan oral atau pemberian oral tidak memberikan respon teraupetik. Sediaan parenteral adalah iron-dextran mengandung 50 mg zat besi setiap mL (larutan 5%) untuk pemberian secara IM dan IV. Respon teraupetik pemberian secara IM tidak lebih cepat dibandingkan dengan pemberian oral. Dosis total yang diberikan berdasarkan beratnya anemia, yaitu 250 mg zat besi untuk setiap gram kekurangan hemoglobin. Sedangkan pemberian secara IV, dosis permulaan tidak melebihi 25 mg dan diikuti dengan peningkatan bertahan selama 2-3 hari sampai tercapai dosis 100 mg/hari. Obat diberikan secara perlahan dengan menyuntikkan 25-50 mg/menit. Preparat suntikan lainnya yaitu iron-sucrose dan iron sodium

gluconate (Dewoto & Wardhini, 2012).

Di Indonesia, pemberian suplemen zat besi sudah rutin dilakukan melalui pelayanan antenatal untuk ibu hamil. Suplemen zat besi yang diberikan mengandung 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan (Susiloningtyas, 2012). Kementerian Kesehatan (2010) menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya. Ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi satu tablet tambah darah perhari selama kehamilan dan masa nifas.


(6)

2.3.8. Efek Samping Pemberian Suplementasi Zat Besi

Efek samping yang sering timbul berupa intoleransi terhadap sediaan oral. Hal ini bergantung pada jumlah zat besi yang dapat larut dan yang diabsorpsi setiap pemberian. Gejala yang ditimbulkan adalah mual, nyeri lambung, konstipasi, diare, dan kolik. Gangguan ini bersifat ringan dan bisa dikurangi dengan pengurangan dosis atau pemberian sesudah makan walaupun absorpsi akan berkurang. Perubahan warna feses menjadi berwarna hitam.

Pemberian zat besi secara IM dapat menyebabkan reaksi lokal pada tempat suntikan yaitu berupa rasa sakit, warna coklat, dan peradangan lokal dengan pembesaran kelenjar inguinal. Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemberian IM. Selain itu, reaksi sistemik bisa juga terjadi dalam waktu 10 menit setelah pemberian. Reaksi yang muncul adalah sakit kepala, nyeri otot dan sendi, hemolysis, takikardi, flushing, berkeringat, mual, muntah, bronkospasme, hipotensi, pusing, dan kolaps sirkulasi. Reaksi yang timbul dalam 30 menit-24 jam adalah sinkop, demam, menggigil, ra sh, urtikaria, nyeri dada, perasaan sakit seluruh badan, dan enselofatia. Reaksi sistemik lebih sering terjadi pada pemberian IV, demikian pula syok atau henti jantung (Dewoto & Wardhini, 2012).