Uji Toksisitas Akut Oral Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa L.) Terhadap Mencit (Mus musculus)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
Tumbuhan Annona squamosa L. merupakan salah satu anggota famili
Annonaceae. Tumbuhan ini memiliki nama lokal delima bintang, serba bintang,
sarikaya, seraikaya (Sumatera); sarikaya, srikaya, serkaya, surikaya, srikawis,
sarkaja, serakaja, sirikaja (Jawa); serta nama asing custard-apple, sugar apple,
sweetsop (Amerika, Inggris); raamaphal, shariiphaa, sitaphal (India). Buah
tumbuhan Annona squamosa L. umumnya dikenal sebagai buah meja atau perisai
makanan dan juga sebagai tumbuhan yang memiliki berbagai aktivitas
farmakologi sehingga termasuk salah satu tumbuhan obat. Tumbuhan ini
merupakan perdu tegak, tinggi 2 sampai 3 m, berasal dari Antillen Belanda,
karena buahnya harum dan enak rasanya banyak ditanam di kebun-kebun
terutama di Jawa Timur dan Madura (Heyne, 1987).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan srikaya menurut Hebarium Medanense USU:
Kingdom

: Plantae


Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Magnoliales

Famili

: Annonaceae

Genus

: Annona


Spesies

: Annona squamosa L.

5
Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Kandungan kimia
Daun srikaya mengandung alkaloid, favonoid, triterpenoid/steroid, glikosida
dan tanin, serta mengandung antioksidan yang sangat kuat (Utami dan Adelina,
2016).
2.1.3 Khasiat tumbuhan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa daun srikaya dapat
digunakan sebagai antidiabetes (Gupta, et al., 2005), antioksidan dan antibakteri
(El-Chaghaby, et al., 2014), hepatoprotektor (Raj, et al., 2009), antihiperlipidemia
(Rofida, et al., 2015), aktivitas sitotoksik (Meiningrum, 2012) dan pada penelitian
Utami dan Adelina (2016) menunjukan bahwa ekstrak etanol daun srikaya
memiliki nilai IC50 sebesar 29,27 µg/ml yang merupakan kategori antioksidan
sangat kuat serta efektif sebagai hepatoprotektor.


2.2 Uji Toksisitas
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan
uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai
derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga
dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (BPOM, 2014).
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk
melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap
suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada manusia, namun dapat

6
Universitas Sumatera Utara

memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek
toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM, 2014).
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat
dipercaya adalah: pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara
pemberian sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan
prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan (BPOM,

2014).
2.2.1 Uji toksisitas akut oral
Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan
secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu
24 jam (BPOM, 2014).
Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat
dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per
kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan
kematian. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir
percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksik. Tujuan uji
toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya
setelah pemaparan suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal yang dapat
digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya,
memperoleh nilai LD50 suatu bahan/sediaan, serta penentuan penggolongan
bahan/sediaan dan pelabelan (BPOM, 2014). Penentuan LD50 merupakan tahap
awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan digunakan manusia dengan

7

Universitas Sumatera Utara

menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji
setelah pemberian dosis tunggal (Lu, 1994).
Hasil toksisitas akut dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari GHS
(Globally Harmonised Classification System for Chemical Substances and
Mixtures) yang tercantum dalam Thirteenth Addendum to the OECD Guidelines
for the Testing of Chemicals (2001), seperti pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kriteria penggolongan sediaan uji
Dosis
(mg/kg

Kematian

Kategori

bb)
5

≥ 2 dari 5 ekor mati


1

Bahaya

2

Bahaya

3

Bahaya

4

Peringatan

5

Peringatan


≥ 1 ekor menunjukkan gejala
5
toksisitas dan tidak ada kematian
50

≥ 2 dari 5 ekor mati
≥ 1 ekor dengan gejala toksisitas dan

50
tidak ada kematian
300

≥ 2 dari 4 ekor mati
≥ 1 ekor dengan gejala toksisitas dan

300
atau < 1 mati
2000


≥ 2 dari 5 ekor mati
≥ 1 ekor dengan gejala toksisitas dan
atau tidak ada kematian

2000
Tidak
Tidak ada gejala toksisitas

5
Terklasifikasi

8
Universitas Sumatera Utara

2.2.1.1 Penentuan LD50
Terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam menentukan LD50,
seperti metode Aritmatik Reed dan Muench, cara Thomson dan Weil, cara
Farmakope Indonesia III dan cara grafik (graphical calculation) Miller dan
Tainter. Selain metode-metode di atas, terdapat tiga metode alternatif lainnya
yaitu metode penetapan dosis (fixed dose method), metode kelas toksik akut

(acute toxic class method) dan prosedur peningkatan dan penurunan (up-anddown procedure). Ketiga metode alternatif tersebut adalah metode dari OECD
(The Organisation for Economic Co-operation and Development).
Penentuan LD50 berdasarkan OECD yang membahas tentang uji toksisitas
menjelaskan bahwa semua panduan dari OECD melibatkan pemberian dosis
tunggal dari sampel uji untuk hewan dewasa muda yang sehat secara oral.
Pengamatan dilakukan selama 14 hari setelah pemberian dosis tunggal dengan
pencatatan dan nekropsi dari semua hewan. Dosis dapat diberikan berdasarkan
pada volume konstan atau konsentrasi konstan tergantung pada kebutuhan. Setiap
hewan dipilih secara acak dan pada saat pemberian sampel uji, hewan harus
berumur antara 8-12 minggu dan beratnya harus dalam interval ± 20% dari berat
rata-rata semua hewan. Titik akhir untuk metode kelas toksik akut dan prosedur
peningkatan dan penurunan adalah angka kematian, sedangkan untuk prosedur
penetapan dosis titik akhirnya adalah pengamatan gejala toksisitas (OECD, 2001)
a.

Metode penetapan dosis (fixed dose method)
Uji pendahuluan dilakukan untuk memilih dosis awal yang tepat dan

meminimalkan jumlah hewan yang digunakan. Dosis yang digunakan adalah 5,
50, 300, atau 2000 mg/kg bb. Kelompok hewan dilakukan pemberian setiap


9
Universitas Sumatera Utara

tingkat dosis sampel secara bertahap, dengan dosis awal yang terpilih diharapkan
menghasilkan beberapa gejala toksik. Kelompok hewan selanjutnya diberikan
dosis yang lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada gejala toksisitas yang
timbul, sampai tujuan yang diharapkan tercapai, yaitu identifikasi dosis yang
menimbulkan efek toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1 kematian, atau tidak
tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya kematian pada dosis
yang lebih rendah. Setiap kelompok dalam satu tingkat dosis terdiri dari 1 hewan
dewasa muda pada uji pendahuluan dan 5 hewan dewasa muda pada uji utama
dari satu jenis kelamin. Hewan diamati secara individu pada tiap-tiap tingkatan
dosis (OECD, 2001).
b.

Metode kelas toksik akut (acute toxic class method)
Dosis yang digunakan pada metode kelas toksik akut adalah 5, 50, 300,

atau 2000 mg/kg bb. Pemberian sampel uji pada tiap kelompok hewan dilakukan

secara bertahap, dengan dosis awal yang terpilih diharapkan menghasilkan
kematian pada beberapa hewan uji. Kelompok hewan selanjutnya diberikan dosis
yang lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada kematian, sampai tujuan
dicapai, yaitu klasifikasi zat uji bedasarkan identifkasi dosis yang menyebabkan
kematian, kecuali bila tidak ada efek pada dosis tertinggi. Pengujian ini
menggunakan 3 hewan dari satu jenis kelamin dalam tiap kelompok.
c.

Peningkatan dan penurunan (up-and-down procedure)
Metode peningkatan dan penurunan terdiri dari 2 macam cara pengujian

yaitu uji batasan dan uji utama. Uji batasan digunakan ketika diketahui bahwa zat
uji yang akan diujikan memiliki tingkat toksisitas yang rendah. Sedangkan ketika

10
Universitas Sumatera Utara

terdapat sedikit atau tidak ada informasi tentang toksisitas zat uji tersebut atau jika
diduga tosik, maka digunkan uji utama (Mansuroh, 2013).
Panduan ini juga merupakan prosedur yang bertahap, tetapi menggunakan
hewan tunggal, dengan hewan pertama diberikan dosis dibawah estimasi dari
LD50. Jika hewan yang digunakan tersebut mati, maka dilakukan uji utama, tetapi
jika hewan tersebut hidup maka digunkan empat hewan lainnya dan diberikan
dosis yang sama (OECD, 2001).
Tabel 2.2 Prinsip penentuan LD50 metode alternatif
Metode penetapan
Metode kelas

Peningkatan dan

dosis (fixed dose

toksik akut (acute

penurunan (up-and-

method)

toxic class

down procedure)

method)
Metode

Dosis tunggal diberikan secara oral pada tikus atau mencit
dengan satu jenis kelamin (biasanya betina), pengamatan gejala
toksik, bobot, kematian selama 14 hari dan nekropsi.

Pengamatan
Diamati
gejala toksik
Tingkatan

5

hewan

dosis

setiap

pada 3

hewan

tingkatan setiap

pada Dimulai dari perkiraan

tingkatan LD50 dengan jumlah

dosis (5, 50, 300, dosis (5, 50, 300, kematian antara 2-3
2000 (5000) mg 2000 (5000) mg
/kg bb) berdasar- /kg bb
kan uji pendahuluan

11
Universitas Sumatera Utara

Metode penetapan

Metode kelas

Peningkatan dan

dosis (fixed dose

toksik akut (acute

penurunan (up-and-

method)

toxic class

down procedure)

method)
Tujuan

Identifikasi dosis Identifikasi
yang

menyebab- yang

kan gejala toksik kan
terhadap

dosis Identifikasi dosis yang

menyebab- menyebabkan kematikematian an terhadap hewan uji

hewan terhadap hewan uji

uji
Hasil

Perkiraan LD50
Tanda-tanda toksisitas akut
Organ target

(Mansuroh, 2013)
2.2.2 Uji toksisitas subkronis oral
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral
adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90
hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversible. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor

12
Universitas Sumatera Utara

mortis (kaku) segera diotopsi, dan organ serta jaringan diamati secara
makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua
hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara
makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (BPOM, 2014).
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
(No Observed Adverse Effect Level/NOAEL); dan mempelajari adanya efek
kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (BPOM, 2014).
2.2.3 Uji toksisitas kronis oral
Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas
subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan (BPOM,
2014).
Sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji selama tidak kurang dari 12 bulan. Selama waktu
pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya
toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum
melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi, organ dan jaringan diamati
secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji,
semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara

13
Universitas Sumatera Utara

makropatologi pada setiap organ maupun jaringan, serta dilakukan pemeriksaan
hematologi, biokimia klinis, histopatologi (BPOM, 2014).
Tujuan dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek
toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang,
untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL).
Uji toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh
informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi,
biokimia klinis dan histopatologi (BPOM, 2014).
2.2.4 Uji teratogenisitas
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi
adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian sediaan uji selama masa
pembentukan organ fetus (masa organogenesis). Informasi tersebut meliputi
abnormalitas bagian luar fetus (morfologi), jaringan lunak serta kerangka fetus.
Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji dalam beberapa tingkat
dosis pada beberapa kelompok hewan bunting selama paling sedikit masa
organogenesis dari kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu hari sebelum
waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap
fetus.

2.3 Hewan Uji
Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus
dipertimbangkan berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang
serupa dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan
sewaktu dilakukan percobaan. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang

14
Universitas Sumatera Utara

memenuhi persyaratan tersebut di atas, sehingga paling banyak digunakan pada
uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis
kelamin, usia serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda
dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kriteria hewan uji
No
Jenis hewan

Bobot minimal

Rentang umur

1

Mencit

20 g

6 – 8 minggu

2

Tikus

120 g

6 – 8 minggu

3

Marmut

250 g

4 – 5 minggu

4

Kelinci

1800 g

8 – 9 minggu

Hewan

yang

paling

sering

digunakan

adalah

mencit

dengan

mempertimbangkan faktor ukuran, kemudahan perawatan, harga dan hasil yang
cukup konsisten dan relevan (Jacobson, et al., 2004). Taksonomi dari mencit
yaitu:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub filum

: Vertebrata

Kelas

: Mamalia

Ordo

: Rodentia

Familia

: Muridae

Genus

: Mus

Spesies

: Mus musculus

(Sumber : Schwiebert, 2007)

15
Universitas Sumatera Utara

2.4 Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat
kompleks. Berat rata-rata sekitar 1,5 kg atau 2,5% dari berat badan pada orang
dewasa normal (Price, 1997). Hati terletak pada kavum abdominalis region
hipokondrium bagian kanan, terbagi menjadi 3 lobus yaitu lobus kanan (terbesar),
kiri dan kaudal (terkecil). Hati mendapat darah dari dua sumber, yaitu: darah arteri
berasal dari arteri hepatika kanan dan kiri yang merupakan percabangan dari
pleksus koliaka dan darah vena berasal dari vena porta hepatika yang berasal dari
sebagian besar traktus digestivus, mulai dari gater sampai rektum dan limpa
(Underwood, 2009). Hati tersusun oleh:
a.

Hepatosit
Sebagian besar hati tersusun oleh hepatosit (sel parenkim hati). Hepatosit
bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini
terletak di antara sinusoid vaskuler, tempat mengalirnya darah arteri hepatika
dan vena porta (Lu, 1995).

b.

Sinusoid
Sinusoid merupakan tempat mengalirnya darah arteri hepatika dan vena porta.
Aliran darah yang melalui sinusoid dipisahkan dari hepatosit oleh penyekat
tipis yang renggang (terdiri atas sel endotel dan sel fagosit kupffer) dan
rongga Disse. Hepatosit tidak memiliki membran basalis yang utuh dalam
rongga Disse, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran molekul secara
bebas pada membran hepatosit. Darah mengalir melalui sinusoid menuju
cabang-cabang vena hepatika (vena sentralis atau venula hepatika terminalis)
(Underwood, 1999).

16
Universitas Sumatera Utara

c.

Vena sentralis
Vena sentralis terletak di tengah-tengah lobulus dan merupakan cabang
terkecil dari vena hapatika. Vena sentralis bermuara ke dalam vena sublobular
yang lebih besar, kemudian bersatu membentuk vena “pengumpul” yang
merupakan cabang dari vena hepatika. Vena hepatika bermuara langsung ke
vena kava inferior. Sinusoid biasanya mengalir ke dalam vena sentralis,
walaupun sebagian kecil mungkin bermuara langsung ke dalam vena
sublobular (Leeson, 1989).

d.

Kandung Empedu
Kandung empedu adalah organ kecil berongga yang melekat pada permukaan
bawah hati. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir
melalui kanalikuli dan disimpan di dalam kandung empedu (Underwood,
1999).

2.4.1 Fungsi hati
Hati memiliki fungsi yang banyak dan kompleks yang penting untuk
mempertahankan hidup, yaitu:
a.

Fungsi pembentukan dan sekresi empedu
Fungsi pembentukan dan sekresi empedu merupakan fungsi utama hati.
Saluran empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu
menyimpan dan mengeluarkan empedu ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati
mengsekresikan sekitar satu liter empedu setiap hari. Garam empedu penting
untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus.

17
Universitas Sumatera Utara

b.

Fungsi metabolik
Hati berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah amonia menjadi urea
untuk dikeluarkan melalui ginjal.

c.

Fungsi pertahanan tubuh
Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan fungsi perlindungan. Fungsi
detoksifikasi dilakukan oleh enzim-enzim hati yang melakukan oksidasi,
reduksi, hidrolisis, dan konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan
mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi
perlindungan dilakukan oleh sel kuppfer yang terdapat di dinding sinusoid
yang

dapat

meningkatkan

aktivitas

fagositosis

makrofag

dengan

menghasilkan imunoglobulin. Selain itu hati juga menghasilkan antibodi
tertentu yang timbul pada berbagai kelainan hati.
d.

Fungsi vaskuler hati
Pada orang dewasa, jumlah aliran darah ke hati diperkirakan mencapai 1500
cc tiap menit. Hati berfungsi sebagai penampung dan bekerja sebagai filter
karena letaknya antara usus dan sirkulasi umum (Price, 1997).

2.4.2 Jenis kerusakan hati
Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai
organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti
diuraikan di bawah ini (Lu, 1995):
a.

Perlemakan hati (steatosis)
Steatosis atau perlemakan hati yaitu jika hati mengandung berat lipid lebih
dari 5%, sehingga terjadi lesi yang bersifat akut maupun kronis.

18
Universitas Sumatera Utara

b.

Kolestasis
Kolestasis bersifat akut dan lebih jarang ditemukan dibandingkan steatosis
dan nekrosis. Contoh penyebabnya yaitu klorpromazin dan eritromisin
laktobionat.

c.

Karsinogenesis
Karsinoma hepatoseluler adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum
pada hati. Contoh penyebab karsinogenesis seperti vinil klorida, aflaktosin,
dan dioksin.

d.

Nekrosis
Nekrosis adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,
pertengahan, perifer) atau masif, dan biasanya nekrosis merupakan kerusakan
akut. Beberapa zat kimia telah dilaporkan dan terbukti sebagai penyebab
nekrosis hati. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang
berbahaya, tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas yang
luar biasa untuk pertumbuhan kembali.

e.

Sirosis
Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar
hati. Pada sebagian besar kasus, sirosis disebabkan nekrosis sel tunggal
karena kurangnya mekanisme perbaikan sehingga terjadi fibroblastik dan
pembentukan jaringan parut. Penyebab sirosis yang paling penting adalah
penggunaan kronis alkohol.

f.

Hepatitis yang mirip hepatitis virus
Obat-obat tertentu mengakibatkan sindroma klinis yang tidak dapat
dibedakan dari hepatitis virus. Contoh haloten, fenitoin, dan iproniazid.

19
Universitas Sumatera Utara

2.5 Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berperan mengatur keseimbangan cairan tubuh
serta mengekskresi kelebihannya sebagai urin. Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200
ml darah permenit, suatu volume yang sama dengan 20% sampai 25% curah
jantung (5000 ml) (Price, 2005). Struktur yang menonjol dalam ginjal adalah
nefron, kira-kira berjumlah 1,3 x 106. Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan
serangkaian tubulus. Glomerulus didarahi oleh sistem kapiler bertekanan tinggi
yang menghasilkan ultrafiltrat dari plasma. Filtrat yang terkumpul dalam kapsul
Bowman mengalir melalui tubulus proksimal, ansa Henle, dan tubulus distal, dan
kemudian mengalir melewati kumpulan tubulus ke dalam piala ginjal dan dibuang
sebagai urin (Lu, 1995).
2.5.1 Fungsi ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah (lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan zat
terlarut dan air secara selektif . Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus diikuti dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air
dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan
air diekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpul urin (Price,
2005).
a.

Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubahubah ekskresi air; mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan
mengubah-ubah ekskresi Na; mempertahankan konsentrasi plasma masingmasing elektrolit individu dalam rentang normal; mempertahankan pH

20
Universitas Sumatera Utara

plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk
kembali HCO3- ; mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme
protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin); bekerja sebagai jalur
ekskretori untuk sebagian besar obat.
b.

Fungsi nonekskresi
Menyintesis dan mengaktifkan hormon: renin penting dalam pengaturan
tekanan darah; eritopoetin merangsang produksi sel darah merah oleh
sumsum belakang; 1,25-dihidroksivitamin D3 hidroksilasi akhir vitamin D3
menjadi bentuk yang paling kuat; prostaglandin sebagian besar adalah
vasodilator, bekerja secara lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik
ginjal; degradasi hormon polipeptida; insulin, glukagon, parathormon,
prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan hormon gastrointestinal (gastrin,
polipeptidaintestinal vasoaktif) (Price, 2005).

2.5.2 Nefrotoksikan dan tempat kerja
Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan.
Beratnya efek yang ditimbulkan beragam, mulai dari satu perubahan biokimia
atau lebih, sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan
kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total.
a.

Glomerulus
Antibiotik puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap
protein seperti albumin. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perubahan
dalam muatan listrik membran dasar glomerulus. Sebaliknya, antibiotik
aminoglikosida, seperti gentamisin dan kanamisn, mengurangi filtrasi
glomerulus, selain mempengaruhi tubulus ginjal. Menurut Sherwood (2011),

21
Universitas Sumatera Utara

Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang
bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos.
Pada disfungsi glomerulus, bahan-bahan asing tiba di tubulus dalam kadar
yang abnormal melalui ruang Bowman. Pelebaran ruang Bowman
diakibatkan atrofi glomerulus, yaitu menurunnya ukuran jaringan yang
disebabkan oleh berkurangnya jumlah sel atau berkurangnya ukuran sel yang
mungkin terjadi karena lambatnya sirkulasi atau terjadi kekurangan oksigen
di jaringan (hipoksia) (Al-Tameemi, 2016). Kerusakan ini menyebabkan
terganggunya proses filtrasi darah. Jika kemampuan menyaring darah
berkurang, maka sel darah dan protein dapat keluar bersama urin atau malah
tertimbun pada tubulus karena dapat lolos pada proses filtrasi (Hasnisa, dkk.,
2014).
b.

Tubulus proksimal
Proses absorpsi dan sekresi aktif terjadi di tubulus proksimal, sehingga kadar
toksikan pada tubulus proksimal lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-450
pada

tubulus

proksimal

lebih

tinggi

untuk

mendetoksifikasi

atau

mengaktifkan toksikan, dengan demikian tubulus proksimal merupakan
sasaran efek toksik (Lu, 1995). Epitelium tubulus proksimal merupakan
bagian yang paling sering terserang iskemia atau rusak akibat toksin, karena
kerusakan yang terjadi akibat laju metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008).
Secara mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus proksimal berupa
degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti,
2008).

22
Universitas Sumatera Utara