Uji Toksisitas Akut Oral Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa L.) Terhadap Mencit (Mus musculus) Chapter III V
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan
penelitian yaitu pengujian toksisitas akut secara oral terhadap mencit, pengamatan
gejala toksik, berat badan, kematian, pemeriksaan makropatologi, berat organ
relatif serta histopatologi hati dan ginjal mencit. Data hasil penelitian dianalisis
secara statistik dengan metode one way analysis of variance (ANOVA)
dilanjutkan dengan uji post hoc tukey menggunakan statistical product and
service solution (SPSS) versi 17.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
(Bomex), neraca analitik (AND), mortir dan stamfer, pipet tetes, oral sonde,
seperangkat alat bedah (Wella Spencer), penangas air (Griffin), neraca hewan
(Presica), spuit 1 ml (Terumo), kertas saring dan mikroskop cahaya (Boeco
Germany). Alat untuk pembuatan preparat histopatologi adalah mikrotom, vakum,
inkubator, cetakan, kaca objek dan kaca penutup.
3.1.2 Bahan-bahan
Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun srikaya
(Annona squamosa L.). Bahan kimia yang digunakan adalah akuades, etanol
teknis, Na-CMC (natrium carboxy methyl cellulose), buffer formalin 10%. Bahan
yang
digunakan
untuk
membuat
preparat
histopatologi
adalah
larutan
23
Universitas Sumatera Utara
hematoxylin, larutan eosin, etanol 70%, etanol 80%, etanol 90%, etanol absolut,
xylol, paraffin cair, cairan perekat (DPX).
3.2 Hewan Penelitian
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus)
betina yang sehat dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak
hamil, sebanyak 20 ekor dengan berat badan 20 – 30 g. Mencit diaklimatisasi
terlebih dahulu selama 14 hari di dalam kandang, diberi makan pelet dan minum
air suling.
3.3 Tahap Penelitian
3.3.1 Penyiapan ekstrak etanol daun srikaya (EEDS)
Ekstrak etanol daun srikaya (EEDS) diperoleh dari penelitian sebelumnya
yang berjudul uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun srikaya (Annona
squamosa L.) dengan metode DPPH sebagai hepatoprotektor terhadap tikus jantan
yang diinduksi parasetamol (Utami dan Adelina, 2016). Pembuatan ekstrak
dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol teknis. Sebanyak
500 g serbuk simplisia daun srikaya dimasukkan kedalam bejana tertutup, cairan
penyari dituangi sampai semua simplisia terendam, biarkan sekurang-kurangnya
selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil
tiap kali ditekan hati-hati, tuangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai
menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup
perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml
per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari hingga di atas simplisia
24
Universitas Sumatera Utara
masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam.
Perkolasi dihentikan jika perkolat yang keluar telah jernih (Ditjen POM, 1979).
Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary
evaporator) sampai sebagian besar pelarutnya menguap, dan dilanjutkan proses
penguapan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kental.
3.3.2 Pembuatan suspensi Na-CMC 0,5 %
Sebanyak 0,5 g Na-CMC dimasukkan ke dalam lumpang yang telah berisi
akuades panas sebanyak 1 ml, dibiarkan selama 15 menit sehingga mengembang,
digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diencerkan dengan akuades,
dimasukkan ke dalam wadah, cukupkan dengan akuades hingga 100 ml.
3.3.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun srikaya (EEDS)
Pengujian menggunakan 4 variasi dosis yakni dosis 5, 50, 300, 2000 dan
5000 mg/kg bb. Ditimbang EEDS sebanyak 5, 50, 300, 2000 dan 5000 mg.
Masing-masing dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi NaCMC 0,5 % b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen hingga 10
ml.
3.3.4 Pengujian efek toksik
Pengujian toksisitas dilakukan berdasarkan pada Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang
pedoman uji toksisitas nonklinik secara in vivo menggunakan metode fixed dose.
3.3.4.1 Penyiapan hewan uji
Hewan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) betina berumur 3
bulan dengan berat badan 20 – 30 g sebanyak 5 ekor di uji pendahuluan yang
dibagi dalam 5 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 1 ekor dan
25
Universitas Sumatera Utara
15 ekor di uji utama yang dibagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing
kelompok terdiri dari 5 ekor.
3.3.4.2 Uji pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk
uji utama. Uji pendahuluan menggunakan 5 ekor mencit yang masing-masing
mencit diberikan EEDS dengan dosis yang berbeda. Mencit dipuasakan selama 34 jam, air minum boleh diberikan. Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan
diberikan kontrol Na-CMC [0,5%] 50 mg/kg bb dan EEDS dalam dosis tunggal
menggunakan sonde dengan masing-masing dosis 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg bb.
Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 1-2 jam.
Gejala toksik dan kematian, diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya
diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi, perubahan
kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta tingkah laku berupa jalan
mundur dan jalan dengan perut. Pengamatan berat badan mencit dilakukan dengan
menimbang berat badan mencit 7 kali selama 14 hari.
Tabel 3.1 Perlakuan uji pendahuluan
Mencit
Perlakuan
1
Na-CMC 0,5%
2
EEDS 5 mg/kg bb
3
EEDS 50 mg/kg bb
4
EEDS 300 mg/kg bb
5
EEDS 2000 mg/kg bb
26
Universitas Sumatera Utara
3.3.4.3 Uji utama
Uji utama terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok uji dosis 2000 dan
5000 mg/kg bb (sesuai dengan uji pendahuluan) yang masing-masing kelompok
terdiri dari lima ekor mencit. Mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh
diberikan. Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan kelompok kontrol diberikan
Na-CMC [0,5%] 50 mg/kg bb. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan
kembali setelah 1-2 jam. Sedangkan kelompok uji diberikan EEDS dalam dosis
tunggal dengan menggunakan sonde dengan dosis 2000 mg/kg bb. Setelah
diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 1-2 jam. Gejala toksik
dan kematian, diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati setiap
hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi, perubahan kulit, bulu
dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas serta tingkah laku berupa jalan mundur
dan jalan dengan perut. Dua hari berikutnya pengujian toksisitas ekstrak
dilanjutkan pada kelompok uji dosis 5000 mg/kg bb dengan perlakuan sebelum
dan sesudah pemberian ekstrak sama seperti kelompok uji sebelumnya. Pengujian
ini dilakukan karena selama dua hari setelah pemberian ekstrak pada kelompok uji
2000 mg/kg bb tidak menunjukkan adanya gejala toksik maupun kematian.
Pengamatan berat badan mencit dilakukan dengan menimbang berat badan mencit
7 kali selama 14 hari.
Tabel 3.2 Perlakuan uji utama
Kelompok
Perlakuan
I
Na-CMC 0,5%
II
EEDS 2000 mg/kg bb
III
EEDS 5000 mg/kg bb
Keterangan
Kelompok kontrol
Kelompok uji
27
Universitas Sumatera Utara
3.3.4.4 Makropatologi organ hati dan ginjal
Organ hati, ginjal kanan dan kiri diamati secara visual yaitu mengamati
warna, bentuk permukaan dan konsistensi organ. Perubahan warna menjadi salah
satu parameter terjadinya efek toksik yang bertujuan mendapatkan informasi
mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ sasaran dan efek terhadap
organ tersebut (Lu,1995).
3.3.4.5 Penimbangan organ hati dan ginjal
Organ hati dan ginjal dicuci dengan natrium klorida, dikeringkan terlebih
dahulu dengan kertas penyerap, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat
organ absolut, sedangkan yang dianalisis adalah berat organ relatif, yaitu berat
organ absolut dibagi berat badan.
3.3.4.6 Histopatologi hati dan ginjal
Organ hati dan ginjal hewan percobaan diambil dan dimasukkan ke dalam
larutan buffer formalin 10%. Lalu dibuat preparat dan diwarnai dengan
hekmatosilin dan eosin dan dilihat di bawah mikroskop. Prosedur pembuatan
preparat histopatologi dilakukan berdasarkan prosedur kerja yang diterapkan di
laboratorium patologi anatomi Rumah Sakit Murni Teguh.
Prosedur pembuatan preparat histopatologi:
a.
Organ yang akan dibuat preparat direndam di dalam larutan dapar formalin
10% pada suhu kamar.
b.
Organ yang akan dibuat preparat dipotong.
c.
Untuk menghilangkan sisa formalin dilakukan pencucian dengan air
mengalir.
28
Universitas Sumatera Utara
d.
Dilakukan proses dehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut.
Kemudian dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xilen sebanyak
tiga kali selama 1 jam.
e.
Proses penanaman. Caranya: sampel direndam dalam campuran xilen dan
parafin cair pada suhu 60–70o C,
dengan perbandingan xilen : parafin
berturut-turut 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 2 jam.
f.
Dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin
dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 5-7
µm. Setelah memperoleh potongan yang bagus, potongan tersebut
ditempelkan pada kaca objek. Sayatan organ yang telah menempel pada
kaca objek segera diletakkan pada permukaan pemanas dengan suhu 56 58° C selama kurang lebih 10 detik, sehingga organ meregang dan
menempel pada kaca objek sambil diatur jangan sampai organ berkerut atau
melipat. Selanjutnya preparat disimpan dalam suhu kamar untuk dilakukan
pewarnaan.
g.
Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan hematoksilin-eosin. Pertama
sediaan direndam dengan larutan xilen untuk proses deparafinasi masingmasing selama 12 menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan
merendam preparat dalam etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut selama 5
menit, dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dengan larutan
hematoksilin selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir, dilakukan
pewarnaan dengan eosin. Kemudian, dicelupkan ke dalam etanol 70%, 80%,
90%, dan etanol absolut masing-masing selama 10 menit. Terakhir
29
Universitas Sumatera Utara
dimasukkan kedalam xilen selama 12 menit. Preparat diamati di bawah
mikroskop.
3.3.5 Analisis data
Pengamatan berat badan mencit dan berat organ relatif dianalisis dengan
menggunakan metode one way analysis of variance (ANOVA) dilanjutkan
dengan uji post hoc tukey menggunakan statistical product and service solution
(SPSS) versi 17.
30
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel uji yang digunakan pada penelitian adalah ekstrak etanol daun
srikaya (Annona squamosa L.). Uji toksisitas akut dilakukan karena beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa daun srikaya dapat digunakan sebagai
antidiabetes (Gupta, et al., 2005), antioksidan dan antibakteri (El-Chaghaby, et al.,
2014), hepatoprotektor (Raj, et al., 2009), antihiperlipidemia (Rofida, et al., 2015),
aktivitas sitotoksik (Meiningrum, 2012) dan pada penelitian Utami dan Adelina
(2016) menunjukan bahwa ekstrak etanol daun srikaya memiliki nilai IC50 sebesar
29,27 µg/ml yang merupakan kategori antioksidan sangat kuat serta efektif
sebagai hepatoprotektor. Berdasarkan penjelasan di atas, maka daun srikaya akan
memiliki manfaat yang besar bagi manusia. Sehingga uji toksisitas ini perlu
dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dari tumbuhan tersebut.
Pengujian toksisitas akut ekstrak etanol daun srikaya (EEDS), dilakukan
terhadap mencit betina berdasarkan pada “Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman
Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo” dengan menggunakan metode fixed
dose. Mencit betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah
melahirkan) dan tidak hamil. Hewan betina digunakan karena dalam pengujian
toksisitas akut menggunakan hewan jantan dan betina akan diperoleh hasil yang
sama. Ketika terdapat perbedaan respon yang diberikan antara jantan dan betina,
secara umum hewan betina lebih sensitif dibanding dengan jantan (Lipnick, et al.,
1995). Pada penelitian ini, dosis EEDS yang digunakan pada uji pendahuluan
31
Universitas Sumatera Utara
yaitu 5, 50, 300, 2000 mg/kg bb dan pada uji utama digunakan dosis 2000 dan
5000 mg/kg bb. Pengamatan dilakukan selama 14 hari baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, meliputi pengamatan gejala toksik, berat badan, kematian
hewan, serta pemeriksaan makropatologi dan histopatologi hati dan ginjal mencit.
4.1 Uji Pendahuluan
4.1.1 Hasil pengamatan gejala toksik
Pengamatan terhadap gejala toksik dilakukan pada setiap kelompok dan
dibandingkan dengan kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan
selanjutnya diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati
meliputi perubahan kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas serta
tingkah laku berupa jalan mundur dan jalan dengan perut. Tujuan dari uji
pendahuluan ini adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama (BPOM,
2014). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik uji pendahuluan
30 menit
4 jam
Pengamatan
K
P1 P2 P3 P4
K
P1 P2 P3 P4
24 jam
K
P1 P2 P3 P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
32
Universitas Sumatera Utara
30 menit
4 jam
24 jam
Pengamatan
K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
48 jam
Pengamatan
K
1 minggu
P1 P2 P3 P4
K
2 minggu
P1 P2 P3 P4
K
P1 P2 P3 P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P1= dosis 5 mg/kg bb; P2= dosis 50 mg/kg bb; P3= dosis
300 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada 4 jam pertama hewan
beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti hewan kontrol yang
tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian, tetap tidak
menunjukkan gejala toksik hingga sampai hari ke 14, hewan masih dalam keadaan
normal.
33
Universitas Sumatera Utara
4.1.2 Hasil pengamatan berat badan
Berat badan masing-masing hewan dimonitor pada saat sebelum diberikan
EEDS dan setelah diberikaan EEDS. Penimbangan berat badan dilakukan sebanyak 7
kali dalam 14 hari. Perubahan berat badan dianalisis menggunakan statistical
product and service solution (SPSS) versi 17. Hasil pengamatan berat badan dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil rata-rata berat badan uji pendahuluan
Rata-rata berat badan (g) ± SD
K
P1
30,014
29,600
p
P2
29,971
0,943
± 0,901
p
± 0,742
P3
p
30,114
1,000
± 1,055
P4
30,600
1,000
± 0,948
p
0,825
± 1,406
Keterangan: K= kontrol; P1= dosis 5 mg/kg bb; P2= dosis 50 mg/kg bb; P3= dosis
300 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; SD= standar deviasi; p=
signifikansi
Berdasarkan hasil analisis secara statistik rata–rata berat badan mencit
menggunakan uji one way anova pada Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan kenaikan atapun penurunan berat badan mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan pemberian EEDS yaitu
dengan tingkat p > 0,05.
Parameter yang merupakan indikator sensitif adalah berat badan dan gejala
toksik. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala toksik dan berat badan diukur
secara berkala. Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya
merupakan pertanda kondisi kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat
disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun
tanda toksik spesifik (OECD, 2000).
34
Universitas Sumatera Utara
4.1.3 Hasil pengamatan kematian hewan
Jumlah kematian hewan selama 14 hari pada uji pendahuluan dapat dilihat
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil pengamatan kematian uji pendahuluan
Mencit
Perlakuan
Jumlah kematian
1
Na-CMC 0,5%
0
2
EEDS 5 mg/kg bb
0
3
EEDS 50 mg/kg bb
0
4
EEDS 300 mg/kg bb
0
5
EEDS 2000 mg/kg bb
0
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dengan pemberian EEDS dosis
tunggal secara oral sampai dengan dosis 2000 mg/kg bb tidak menimbulkan kematian
pada mencit.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan di atas, baik dari hasil pengamatan
gejala toksik, berat badan dan juga kematian, menunjukkan bahwa hingga pada
dosis tertinggi yaitu 2000 mg/kg bb, hewan tidak mengalami kematian ataupun
menunjukkan gejala toksik, sehingga pada uji utama dosis awal yang digunakan
adalah dosis tertinggi dari uji pendahuluan yaitu dosis 2000 dan dilanjutkan
dengan dosis 5000 mg/kg bb.
4.2 Uji Utama
4.2.1 Hasil pengamatan gejala toksik
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi
kematian pada uji pendahuluan. Berdasarkan hasil uji pendahuluan maka dosis
35
Universitas Sumatera Utara
awal yang digunakan pada uji utama adalah dosis 2000 mg/kg bb. Pengujian tidak
diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan masih bertahan
hidup atau mati (BPOM, 2014). Hasil pengamatan gejala toksik dan kematian
pada dosis 2000 mg/kg bb dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil pengamatan gejala toksik uji utama dosis 2000 mg/kg bb
30 menit
4 jam
24 jam 48 jam 1 minggu 2 minggu
Pengamatan
K P4 K P4 K P4 K P4 K
P4
K P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
Pengamatan terhadap gejala toksik dilakukan pada setiap kelompok dan
dibandingkan dengan kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan
selanjutnya diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati
meliputi perubahan kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta
tingkah laku berupa jalan mundur dan jalan dengan perut.
Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dosis 2000 mg/kg bb pada 4
jam pertama hewan beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti
36
Universitas Sumatera Utara
hewan kontrol yang tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian,
tidak menunjukkan gejala toksik. Karena setelah 48 jam kelompok hewan dosis
2000 mg/kg bb tidak menunjukkan gejala toksik, maka pada hari tersebut
dilakukan pemberian ekstrak pada 5 ekor mencit lainnya dengan dosis 5000
mg/kg bb. Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil dalam uji utama,
yaitu menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau
melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah (BPOM, 2014).
Hasil pengamatan gejala toksik pada dosis 5000 mg/kg bb dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil pengamatan gejala toksik uji utama dosis 5000 mg/kg bb
30 menit 4 jam 24 jam 48 jam 1 minggu 2 minggu
Pengamatan
K
P5 K P5 K P5 K P5 K
P5
K
P5
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P5= dosis 5000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
37
Universitas Sumatera Utara
Pengamatan terhadap gejala toksik yang dilakukan pada kelompok hewan
dosis 5000 mg/kg bb sama dengan pengamatan pada kelompok hewan dosis 2000
mg/kg bb sebelumnya. Hasil pengamatan yang didapatkan dibandingkan dengan
kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati
setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi perubahan kulit,
bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta tingkah laku berupa jalan
mundur dan jalan dengan perut.
Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa dosis 5000 mg/kg bb pada 4
jam pertama hewan beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti
hewan kontrol yang tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian
tidak terdapat gejala toksik dan sampai hari ke 14 hewan masih dalam keadaan
normal.
Beberapa keadaan yang menunjukkan terjadinya gejala toksik pada hewan
uji bedasarkan Organisation for Economic Co-operation and Development
(2000),
yaitu : piloreksi yaitu bulu hewan terlihat keras atau tegang yang
merupakan tanda adanya ketidaknormalan; kulit memar/krepitus
yang terjadi
karena pendarahan subkutan atau terdapat udara di bawah kulit; terdapat
kemerahan disekitar mata, terdapat kotoran di daerah anogenital yang
menunjukkan hewan mungkin dalam sakit parah dan tidak nyaman; kelesuan atau
sikap tidak aktif, termasuk kelelahan, keengganan untuk bergerak. Hewan yang
sakit, mungkin akan mati jika disertai dengan hilangnya berat badan, dehidrasi
atau mata cekung; kejang menunjukkan otot-otot hewan dalam keadaan kaku atau
lembek. Hal ini berlangsung hanya selama beberapa detik atau mungkin lebih
lama. Jika kejang berlangsung selama lebih dari satu menit dan diulangi selama
38
Universitas Sumatera Utara
lebih dari 5 kali sehari, maka hewan harus dibunuh; tremor atau gemetar
menunjukkan otot berkedut atau gerakan kulit yang cepat; diare berupa feses yang
berair atau berdarah (disentri).
4.2.2 Hasil pengamatan berat badan
Berat badan masing-masing hewan dimonitor pada saat sebelum diberikan
ekstrak dan setelah diberikaan ekstrak. Penimbangan berat badan dilakukan sebanyak
7 kali dalam 14 hari. Perubahan berat badan dianalisis menggunakan statistical
product and service solution (SPSS) versi 17. Hasil pengamatan berat badan dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil rata-rata berat badan uji utama
Rata-rata berat badan (g) ± SD
K
P4
p
P5
p
28,911 ± 3,611
27,831 ± 2,554
0,260
28,486 ± 2,249
0,809
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb;
SD= standar deviasi; p= signifikansi
Berdasarkan hasil analisis secara statistik rata–rata berat badan mencit
menggunakan uji one way anova pada Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan kenaikan atapun penurunan berat badan mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan pemberian EEDS yaitu
dengan tingkat p > 0,05.
Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya merupakan
pertanda kondisi kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat disebabkan
oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun tanda toksik
spesifik (OECD, 2000).
39
Universitas Sumatera Utara
4.2.3 Hasil pengamatan kematian hewan
Jumlah kematian hewan selama 14 hari pada uji utama dapat dilihat pada
Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil pengamatan kematian uji utama
Kelompok
Perlakuan
Jumlah kematian
I
Na-CMC 0,5%
0
II
EEDS 2000 mg/kg bb
0
III
EEDS 5000 mg/kg bb
0
Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dengan pemberian EEDS
dosis tunggal secara oral sampai dengan dosis 5000 mg/kg bb tidak menimbulkan
kematian pada mencit. Kematian yaitu keadaan sekarat atau ketidakmampuan
untuk bertahan hidup, bahkan jika dirawat (OECD, 2000).
Berdasarkan hasil pengamatan pada uji utama menunjukkan bahwa pada
dosis 2000 mg/kg bb EEDS tidak menyebabkan kematian ataupun gejala toksik
terhadap mencit, dimana menurut kategori globally harmonized classification
system for chemical substances and mixtures (GHS) dosis tersebut termasuk
dalam kategori 5 atau tidak terklasifikasi. Hingga pada dosis 5000 mg/kg bb,
hewan uji masih dalam keadaan normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemberian EEDS secara oral dengan dosis ≤ 5000 mg/kg bb aman, namun tidak
dianjurkan karena sudah melewati batas pemberian dosis maksimal pada manusia.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa LD50 EEDS > 5000 mg/kg bb dan menurut
Hodge dan Sterner EEDS termasuk kedalam praktis tidak toksik.
40
Universitas Sumatera Utara
4.3 Hasil Pengamatan Makropatologi Organ Hati dan Ginjal
Pada hari ke 15 dilakukan pembedahan terhadap hewan uji untuk
mengamati organ hati dan ginjal mencit setelah diberikan EEDS dan
dibandingkan dengan hewan kontrol. Hal ini dilakukan untuk mengamati patologi
yang muncul pada organ hati dan ginjal ketika diamati secara makroskopis
ataupun mikroskopis akibat pemberian EEDS.
Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang
bertujuan mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan
dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995). Hasil
pengamatan makropatologi organ hati dan ginjal dapat dilihat pada Gambar 4.1
dan 4.2 serta Tabel 4.8 dan 3.9.
HK
HP4
HP5
Gambar 4.1 Makropatologi organ hati, HK= hati kontrol; HP4= hati dosis 2000
mg/kg bb; HP5= hati dosis 5000 mg/kg bb
Tabel 4.8 Hasil pengamatan makropatologi organ hati
Pengamatan
Kelompok
Warna
Permukaan
Konsistensi
Kontrol
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 2000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 5000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
41
Universitas Sumatera Utara
GS K
GS P4
GS P5
GD K
GD P4
GD P5
Gambar 4.2. Makropatologi organ ginjal, GSK= ginjal kiri kontrol; GSP4= ginjal
kiri dosis 2000 mg/kg bb; GSP5= ginjal kiri dosis 5000 mg/kg bb;
GDK= ginjal kanan kontrol; GDP4= ginjal kanan dosis 2000 mg/kg
bb; GDP5= ginjal kanan dosis 5000 mg/kg bb
Tabel 4.9 Hasil pengamatan makropatologi ginjal kiri dan kanan
Pengamatan
Kelompok
Warna
Permukaan
Konsistensi
Kontrol
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 2000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 5000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Pengamatan makropatologi organ hati dan ginjal mencit meliputi warna,
permukaan dan konsistensi (Anggraini, 2008). Berdasarkan hasil pengamatan
makropatologi organ pada Tabel 4.8 dan 4.9 di atas, tidak terlihat adanya
42
Universitas Sumatera Utara
perubahan warna, struktur permukaan ataupun konsistensi dari organ hati dan
ginjal pada semua kelompok uji. Pada kelompok dosis 2000 dan 5000 mg/kg bb,
organ hati dan ginjal terlihat memiliki warna merah kecoklatan, permukaan licin
dan konsistensi yang kenyal tidak terlihat perbedaan dengan kelompok kontrol.
Organ hati dan ginjal yang normal berwarna merah kecoklatan,
permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Warna merah kecoklatan
menunjukkan bahwa aliran darah pada organ hati dan ginjal dalam keadaan
normal. Ginjal diperfusi oleh sekitar 1200 ml darah permenit-suatu volume yang
sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5000 ml per menit) (Price, 2005).
Pengamatan pada organ hati dilakukan karena hati merupakan organ
terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini
terlibat dalam metabolisme zat makanan dan sebagian besar obat dan toksikan.
Sedangkan pengamatan organ ginjal dilakukan karena ginjal merupakan organ
yang memproduksi urin yang merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar
toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi,
mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus dan
mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya, ginjal adalah organ sasaran utama
dari efek toksik (Lu, 1995).
4.4 Hasil Berat Organ Relatif Hati dan Ginjal
Hasil berat organ relatif hati dan ginjal yang didata pada akhir perlakuan
ditunjukkan pada Tabel 4.10.
43
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.10 Hasil berat organ relatif per 100 g berat badan
Rata-rata berat organ relatif per 100 g ± SD
Organ
K
P4
p
P5
p
Hati
5,190 ± 0,944
5,763 ± 0,061
0,602
5,003 ± 0,759
0,943
Ginjal kanan
0,600 ± 0,070
0,570 ± 0,021
0,706
0,563 ± 0,021
0,603
Ginjal kiri
0,577 ± 0,136
0,593 ± 0,047
0,968
0,557 ± 0,021
0,954
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb;
SD= standar deviasi; p= signifikansi
Berdasarkan hasil berat organ relatif hati dan ginjal mencit pada Tabel 4.10
yang dianalisis secara statistik menggunakan uji one way anova menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ relatif hati dan ginjal mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok uji setelah pemberian EEDS dengan
tingkat signifikansi p = 0,435 (p > 0,05) untuk organ hati, p = 0,594 (p > 0,05)
untuk ginjal kanan dan p = 0,869 untuk ginjal kiri (p > 0,05), dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa pemberian EEDS dosis tunggal secara oral tidak
berpengaruh terhadap perbandingan berat organ hati, ginjal kiri dan ginjal kanan
dengan berat badan.
4.5 Hasil Pengamatan Histopatologi Hati dan Ginjal
Mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher kemudian dibedah untuk
diambil organ hati dan ginjalnya dan dibuat menjadi preparat histologi. Hasil
pengamatan histopatologi digunkana untuk menetukan derajat kerusakan sel-sel
hati dan ginjal akibat pemberian EEDS. Hasil pengamatan histopatologi hati dan
ginjal dapat dilihat pada Gambar 3.3 dan 3.4.
44
Universitas Sumatera Utara
K
a
b
c
P4
a
b
c
Gambar 4.3 Histopatologi hati (perbesaran 10 x 10)
45
Universitas Sumatera Utara
P5
a
d
c
Gambar 4.3 (lanjutan), a. vena sentralis normal; b. hepatosit normal; c. sinusoid
normal; d. hepatosit nekrosis; K= kontrol; P4= dosisi 2000 mg/kg
bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hati pada Gambar 4.3, pada
kelompok kontrol, vena sentralis merupakan sebuah pembuluh vena yang
dikelilingi oleh sel endothelium yang tersusun rapat dan terletak pada pusat
lobulus dengan hepatosit tersusun secara teratur ke arah vena sentralis. Hepatosit
memiliki sitoplasma yang masih utuh dengan nukleus yang bulat. Di sepanjang
hepatosit terdapat sinusoid tempat mengalirkan darah yang akan ditampung oleh
vena sentralis (Leeson, 1989). Pada kelompok dosis 2000 mg/kg bb, hasil
pengamatan menunjukkan keadaan yang tidak berbeda dengan kelompok kontrol.
Tidak terjadi degenerasi hidropik, nekrosis ataupun pelebaran sinusoid. Sehingga
dapat dikatakan bahwa jaringan hati kelompok 2000 mg/kg bb dalam keadaan
normal. Sedangkan pada kelompok 5000 mg/kg bb terlihat adanya indikasi
46
Universitas Sumatera Utara
kerusakan jaringan hati yang ditandai dengan terjadinya degenerasi hidropik dan
juga nekrosis hepatosit.
Degenerasi hidropik merupakan pertanda awal terjadinya kerusakan hati
akibat toksin dan kerusakan non fatal yang bersifat reversible dan sel dapat
normal kembali apabila penyebabnya dihilangkan (Winarsih, 2012). Pada inti sel
hepatosit, sel hati telah mengalami nekrosis setelah terjadinya degenerasi
hidropik,
yaitu
ditandai
dengan
pecahnya
membran
plasma
sehingga
menyebabkan inti sel keluar dan menumpuk kemudian berwarna kehitaman (inti
piknotik) yang dapat dilihat pada gambar. Nekrosis hati adalah kematian
hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif.
Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Nekrosis hati merupakan suatu
manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai
kapasistas pertumbuhan kembali yang luar biasa (Lu, 1995).
K
c
a
b
Gambar 4.4 Histopatologi ginjal (perbesaran 10 x 10)
47
Universitas Sumatera Utara
P4
c
a
b
P5
e
d
Gambar 4.4 (lanjutan), a. glomerulus normal; b. tubulus proksimal normal;
c.tubulus distal normal; d. pelebaran ruang Bowman; e. pelebaran
lumen tubulus; K= kontrol; P4 = dosis 2000 mg/kg bb ; P5 = dosis
5000 mg/kg bb
48
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi ginjal pada Gambar 4.4,
diperoleh bahwa kelompok kontrol dan dosis 2000 mg/kg bb memiliki jaringan
ginjal yang terlihat normal, tidak terjadi pelebaran ruang Bowman, pelebaran
lumen tubulus ataupun nekrosis. Sedangkan pada kelompok dosis 5000 mg/kg bb,
terlihat terjadi pelebaran ruang Bowman dan pelebaran lumen tubulus.
Pelebaran
ruang
Bowman
diakibatkan
atrofi
glomerulus,
yaitu
menurunnya ukuran jaringan yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah sel atau
berkurangnya ukuran sel yang mungkin terjadi karena lambatnya sirkulasi atau
terjadi kekurangan oksigen di jaringan (hipoksia) (Al-Tameemi, 2016). Kerusakan
ini menyebabkan terganggunya proses filtrasi darah. Jika kemampuan menyaring
darah berkurang, maka sel darah dan protein dapat keluar bersama urin atau malah
tertimbun pada tubulus karena dapat lolos pada proses filtrasi (Hasnisa, dkk.,
2014).
Ginjal merupakan organ yang memproduksi urin yang merupakan jalur
utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume
aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa
toksikan melalui sel tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya,
ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik (Lu, 1995).
49
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L.) tidak memiliki potensi
ketoksikan akut terhadap mencit.
5.2 Saran
a.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral ekstrak etanol daun srikaya dengan menggunakan mencit jantan.
b.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral ekstrak etanol daun srikaya dengan menggunakan metode lain, seperti
metode Farmakope Indonesia edisi III.
c.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral pada bagian tumbuhan srikaya yang lain, seperti kulit buah srikaya.
50
Universitas Sumatera Utara
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan
penelitian yaitu pengujian toksisitas akut secara oral terhadap mencit, pengamatan
gejala toksik, berat badan, kematian, pemeriksaan makropatologi, berat organ
relatif serta histopatologi hati dan ginjal mencit. Data hasil penelitian dianalisis
secara statistik dengan metode one way analysis of variance (ANOVA)
dilanjutkan dengan uji post hoc tukey menggunakan statistical product and
service solution (SPSS) versi 17.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
(Bomex), neraca analitik (AND), mortir dan stamfer, pipet tetes, oral sonde,
seperangkat alat bedah (Wella Spencer), penangas air (Griffin), neraca hewan
(Presica), spuit 1 ml (Terumo), kertas saring dan mikroskop cahaya (Boeco
Germany). Alat untuk pembuatan preparat histopatologi adalah mikrotom, vakum,
inkubator, cetakan, kaca objek dan kaca penutup.
3.1.2 Bahan-bahan
Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun srikaya
(Annona squamosa L.). Bahan kimia yang digunakan adalah akuades, etanol
teknis, Na-CMC (natrium carboxy methyl cellulose), buffer formalin 10%. Bahan
yang
digunakan
untuk
membuat
preparat
histopatologi
adalah
larutan
23
Universitas Sumatera Utara
hematoxylin, larutan eosin, etanol 70%, etanol 80%, etanol 90%, etanol absolut,
xylol, paraffin cair, cairan perekat (DPX).
3.2 Hewan Penelitian
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus)
betina yang sehat dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak
hamil, sebanyak 20 ekor dengan berat badan 20 – 30 g. Mencit diaklimatisasi
terlebih dahulu selama 14 hari di dalam kandang, diberi makan pelet dan minum
air suling.
3.3 Tahap Penelitian
3.3.1 Penyiapan ekstrak etanol daun srikaya (EEDS)
Ekstrak etanol daun srikaya (EEDS) diperoleh dari penelitian sebelumnya
yang berjudul uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun srikaya (Annona
squamosa L.) dengan metode DPPH sebagai hepatoprotektor terhadap tikus jantan
yang diinduksi parasetamol (Utami dan Adelina, 2016). Pembuatan ekstrak
dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol teknis. Sebanyak
500 g serbuk simplisia daun srikaya dimasukkan kedalam bejana tertutup, cairan
penyari dituangi sampai semua simplisia terendam, biarkan sekurang-kurangnya
selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil
tiap kali ditekan hati-hati, tuangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai
menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup
perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml
per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari hingga di atas simplisia
24
Universitas Sumatera Utara
masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam.
Perkolasi dihentikan jika perkolat yang keluar telah jernih (Ditjen POM, 1979).
Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary
evaporator) sampai sebagian besar pelarutnya menguap, dan dilanjutkan proses
penguapan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kental.
3.3.2 Pembuatan suspensi Na-CMC 0,5 %
Sebanyak 0,5 g Na-CMC dimasukkan ke dalam lumpang yang telah berisi
akuades panas sebanyak 1 ml, dibiarkan selama 15 menit sehingga mengembang,
digerus hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diencerkan dengan akuades,
dimasukkan ke dalam wadah, cukupkan dengan akuades hingga 100 ml.
3.3.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun srikaya (EEDS)
Pengujian menggunakan 4 variasi dosis yakni dosis 5, 50, 300, 2000 dan
5000 mg/kg bb. Ditimbang EEDS sebanyak 5, 50, 300, 2000 dan 5000 mg.
Masing-masing dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi NaCMC 0,5 % b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen hingga 10
ml.
3.3.4 Pengujian efek toksik
Pengujian toksisitas dilakukan berdasarkan pada Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang
pedoman uji toksisitas nonklinik secara in vivo menggunakan metode fixed dose.
3.3.4.1 Penyiapan hewan uji
Hewan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) betina berumur 3
bulan dengan berat badan 20 – 30 g sebanyak 5 ekor di uji pendahuluan yang
dibagi dalam 5 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 1 ekor dan
25
Universitas Sumatera Utara
15 ekor di uji utama yang dibagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing
kelompok terdiri dari 5 ekor.
3.3.4.2 Uji pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk
uji utama. Uji pendahuluan menggunakan 5 ekor mencit yang masing-masing
mencit diberikan EEDS dengan dosis yang berbeda. Mencit dipuasakan selama 34 jam, air minum boleh diberikan. Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan
diberikan kontrol Na-CMC [0,5%] 50 mg/kg bb dan EEDS dalam dosis tunggal
menggunakan sonde dengan masing-masing dosis 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg bb.
Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 1-2 jam.
Gejala toksik dan kematian, diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya
diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi, perubahan
kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta tingkah laku berupa jalan
mundur dan jalan dengan perut. Pengamatan berat badan mencit dilakukan dengan
menimbang berat badan mencit 7 kali selama 14 hari.
Tabel 3.1 Perlakuan uji pendahuluan
Mencit
Perlakuan
1
Na-CMC 0,5%
2
EEDS 5 mg/kg bb
3
EEDS 50 mg/kg bb
4
EEDS 300 mg/kg bb
5
EEDS 2000 mg/kg bb
26
Universitas Sumatera Utara
3.3.4.3 Uji utama
Uji utama terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok uji dosis 2000 dan
5000 mg/kg bb (sesuai dengan uji pendahuluan) yang masing-masing kelompok
terdiri dari lima ekor mencit. Mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh
diberikan. Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan kelompok kontrol diberikan
Na-CMC [0,5%] 50 mg/kg bb. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan
kembali setelah 1-2 jam. Sedangkan kelompok uji diberikan EEDS dalam dosis
tunggal dengan menggunakan sonde dengan dosis 2000 mg/kg bb. Setelah
diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 1-2 jam. Gejala toksik
dan kematian, diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati setiap
hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi, perubahan kulit, bulu
dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas serta tingkah laku berupa jalan mundur
dan jalan dengan perut. Dua hari berikutnya pengujian toksisitas ekstrak
dilanjutkan pada kelompok uji dosis 5000 mg/kg bb dengan perlakuan sebelum
dan sesudah pemberian ekstrak sama seperti kelompok uji sebelumnya. Pengujian
ini dilakukan karena selama dua hari setelah pemberian ekstrak pada kelompok uji
2000 mg/kg bb tidak menunjukkan adanya gejala toksik maupun kematian.
Pengamatan berat badan mencit dilakukan dengan menimbang berat badan mencit
7 kali selama 14 hari.
Tabel 3.2 Perlakuan uji utama
Kelompok
Perlakuan
I
Na-CMC 0,5%
II
EEDS 2000 mg/kg bb
III
EEDS 5000 mg/kg bb
Keterangan
Kelompok kontrol
Kelompok uji
27
Universitas Sumatera Utara
3.3.4.4 Makropatologi organ hati dan ginjal
Organ hati, ginjal kanan dan kiri diamati secara visual yaitu mengamati
warna, bentuk permukaan dan konsistensi organ. Perubahan warna menjadi salah
satu parameter terjadinya efek toksik yang bertujuan mendapatkan informasi
mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ sasaran dan efek terhadap
organ tersebut (Lu,1995).
3.3.4.5 Penimbangan organ hati dan ginjal
Organ hati dan ginjal dicuci dengan natrium klorida, dikeringkan terlebih
dahulu dengan kertas penyerap, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat
organ absolut, sedangkan yang dianalisis adalah berat organ relatif, yaitu berat
organ absolut dibagi berat badan.
3.3.4.6 Histopatologi hati dan ginjal
Organ hati dan ginjal hewan percobaan diambil dan dimasukkan ke dalam
larutan buffer formalin 10%. Lalu dibuat preparat dan diwarnai dengan
hekmatosilin dan eosin dan dilihat di bawah mikroskop. Prosedur pembuatan
preparat histopatologi dilakukan berdasarkan prosedur kerja yang diterapkan di
laboratorium patologi anatomi Rumah Sakit Murni Teguh.
Prosedur pembuatan preparat histopatologi:
a.
Organ yang akan dibuat preparat direndam di dalam larutan dapar formalin
10% pada suhu kamar.
b.
Organ yang akan dibuat preparat dipotong.
c.
Untuk menghilangkan sisa formalin dilakukan pencucian dengan air
mengalir.
28
Universitas Sumatera Utara
d.
Dilakukan proses dehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut.
Kemudian dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xilen sebanyak
tiga kali selama 1 jam.
e.
Proses penanaman. Caranya: sampel direndam dalam campuran xilen dan
parafin cair pada suhu 60–70o C,
dengan perbandingan xilen : parafin
berturut-turut 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 2 jam.
f.
Dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin
dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 5-7
µm. Setelah memperoleh potongan yang bagus, potongan tersebut
ditempelkan pada kaca objek. Sayatan organ yang telah menempel pada
kaca objek segera diletakkan pada permukaan pemanas dengan suhu 56 58° C selama kurang lebih 10 detik, sehingga organ meregang dan
menempel pada kaca objek sambil diatur jangan sampai organ berkerut atau
melipat. Selanjutnya preparat disimpan dalam suhu kamar untuk dilakukan
pewarnaan.
g.
Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan hematoksilin-eosin. Pertama
sediaan direndam dengan larutan xilen untuk proses deparafinasi masingmasing selama 12 menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan
merendam preparat dalam etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut selama 5
menit, dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dengan larutan
hematoksilin selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir, dilakukan
pewarnaan dengan eosin. Kemudian, dicelupkan ke dalam etanol 70%, 80%,
90%, dan etanol absolut masing-masing selama 10 menit. Terakhir
29
Universitas Sumatera Utara
dimasukkan kedalam xilen selama 12 menit. Preparat diamati di bawah
mikroskop.
3.3.5 Analisis data
Pengamatan berat badan mencit dan berat organ relatif dianalisis dengan
menggunakan metode one way analysis of variance (ANOVA) dilanjutkan
dengan uji post hoc tukey menggunakan statistical product and service solution
(SPSS) versi 17.
30
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel uji yang digunakan pada penelitian adalah ekstrak etanol daun
srikaya (Annona squamosa L.). Uji toksisitas akut dilakukan karena beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa daun srikaya dapat digunakan sebagai
antidiabetes (Gupta, et al., 2005), antioksidan dan antibakteri (El-Chaghaby, et al.,
2014), hepatoprotektor (Raj, et al., 2009), antihiperlipidemia (Rofida, et al., 2015),
aktivitas sitotoksik (Meiningrum, 2012) dan pada penelitian Utami dan Adelina
(2016) menunjukan bahwa ekstrak etanol daun srikaya memiliki nilai IC50 sebesar
29,27 µg/ml yang merupakan kategori antioksidan sangat kuat serta efektif
sebagai hepatoprotektor. Berdasarkan penjelasan di atas, maka daun srikaya akan
memiliki manfaat yang besar bagi manusia. Sehingga uji toksisitas ini perlu
dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dari tumbuhan tersebut.
Pengujian toksisitas akut ekstrak etanol daun srikaya (EEDS), dilakukan
terhadap mencit betina berdasarkan pada “Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman
Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo” dengan menggunakan metode fixed
dose. Mencit betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah
melahirkan) dan tidak hamil. Hewan betina digunakan karena dalam pengujian
toksisitas akut menggunakan hewan jantan dan betina akan diperoleh hasil yang
sama. Ketika terdapat perbedaan respon yang diberikan antara jantan dan betina,
secara umum hewan betina lebih sensitif dibanding dengan jantan (Lipnick, et al.,
1995). Pada penelitian ini, dosis EEDS yang digunakan pada uji pendahuluan
31
Universitas Sumatera Utara
yaitu 5, 50, 300, 2000 mg/kg bb dan pada uji utama digunakan dosis 2000 dan
5000 mg/kg bb. Pengamatan dilakukan selama 14 hari baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, meliputi pengamatan gejala toksik, berat badan, kematian
hewan, serta pemeriksaan makropatologi dan histopatologi hati dan ginjal mencit.
4.1 Uji Pendahuluan
4.1.1 Hasil pengamatan gejala toksik
Pengamatan terhadap gejala toksik dilakukan pada setiap kelompok dan
dibandingkan dengan kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan
selanjutnya diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati
meliputi perubahan kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas serta
tingkah laku berupa jalan mundur dan jalan dengan perut. Tujuan dari uji
pendahuluan ini adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama (BPOM,
2014). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik uji pendahuluan
30 menit
4 jam
Pengamatan
K
P1 P2 P3 P4
K
P1 P2 P3 P4
24 jam
K
P1 P2 P3 P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
32
Universitas Sumatera Utara
30 menit
4 jam
24 jam
Pengamatan
K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4 K P1 P2 P3 P4
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
48 jam
Pengamatan
K
1 minggu
P1 P2 P3 P4
K
2 minggu
P1 P2 P3 P4
K
P1 P2 P3 P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P1= dosis 5 mg/kg bb; P2= dosis 50 mg/kg bb; P3= dosis
300 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada 4 jam pertama hewan
beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti hewan kontrol yang
tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian, tetap tidak
menunjukkan gejala toksik hingga sampai hari ke 14, hewan masih dalam keadaan
normal.
33
Universitas Sumatera Utara
4.1.2 Hasil pengamatan berat badan
Berat badan masing-masing hewan dimonitor pada saat sebelum diberikan
EEDS dan setelah diberikaan EEDS. Penimbangan berat badan dilakukan sebanyak 7
kali dalam 14 hari. Perubahan berat badan dianalisis menggunakan statistical
product and service solution (SPSS) versi 17. Hasil pengamatan berat badan dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil rata-rata berat badan uji pendahuluan
Rata-rata berat badan (g) ± SD
K
P1
30,014
29,600
p
P2
29,971
0,943
± 0,901
p
± 0,742
P3
p
30,114
1,000
± 1,055
P4
30,600
1,000
± 0,948
p
0,825
± 1,406
Keterangan: K= kontrol; P1= dosis 5 mg/kg bb; P2= dosis 50 mg/kg bb; P3= dosis
300 mg/kg bb; P4= dosis 2000 mg/kg bb; SD= standar deviasi; p=
signifikansi
Berdasarkan hasil analisis secara statistik rata–rata berat badan mencit
menggunakan uji one way anova pada Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan kenaikan atapun penurunan berat badan mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan pemberian EEDS yaitu
dengan tingkat p > 0,05.
Parameter yang merupakan indikator sensitif adalah berat badan dan gejala
toksik. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala toksik dan berat badan diukur
secara berkala. Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya
merupakan pertanda kondisi kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat
disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun
tanda toksik spesifik (OECD, 2000).
34
Universitas Sumatera Utara
4.1.3 Hasil pengamatan kematian hewan
Jumlah kematian hewan selama 14 hari pada uji pendahuluan dapat dilihat
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil pengamatan kematian uji pendahuluan
Mencit
Perlakuan
Jumlah kematian
1
Na-CMC 0,5%
0
2
EEDS 5 mg/kg bb
0
3
EEDS 50 mg/kg bb
0
4
EEDS 300 mg/kg bb
0
5
EEDS 2000 mg/kg bb
0
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dengan pemberian EEDS dosis
tunggal secara oral sampai dengan dosis 2000 mg/kg bb tidak menimbulkan kematian
pada mencit.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan di atas, baik dari hasil pengamatan
gejala toksik, berat badan dan juga kematian, menunjukkan bahwa hingga pada
dosis tertinggi yaitu 2000 mg/kg bb, hewan tidak mengalami kematian ataupun
menunjukkan gejala toksik, sehingga pada uji utama dosis awal yang digunakan
adalah dosis tertinggi dari uji pendahuluan yaitu dosis 2000 dan dilanjutkan
dengan dosis 5000 mg/kg bb.
4.2 Uji Utama
4.2.1 Hasil pengamatan gejala toksik
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi
kematian pada uji pendahuluan. Berdasarkan hasil uji pendahuluan maka dosis
35
Universitas Sumatera Utara
awal yang digunakan pada uji utama adalah dosis 2000 mg/kg bb. Pengujian tidak
diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan masih bertahan
hidup atau mati (BPOM, 2014). Hasil pengamatan gejala toksik dan kematian
pada dosis 2000 mg/kg bb dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil pengamatan gejala toksik uji utama dosis 2000 mg/kg bb
30 menit
4 jam
24 jam 48 jam 1 minggu 2 minggu
Pengamatan
K P4 K P4 K P4 K P4 K
P4
K P4
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
Pengamatan terhadap gejala toksik dilakukan pada setiap kelompok dan
dibandingkan dengan kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan
selanjutnya diamati setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati
meliputi perubahan kulit, bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta
tingkah laku berupa jalan mundur dan jalan dengan perut.
Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dosis 2000 mg/kg bb pada 4
jam pertama hewan beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti
36
Universitas Sumatera Utara
hewan kontrol yang tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian,
tidak menunjukkan gejala toksik. Karena setelah 48 jam kelompok hewan dosis
2000 mg/kg bb tidak menunjukkan gejala toksik, maka pada hari tersebut
dilakukan pemberian ekstrak pada 5 ekor mencit lainnya dengan dosis 5000
mg/kg bb. Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil dalam uji utama,
yaitu menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau
melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah (BPOM, 2014).
Hasil pengamatan gejala toksik pada dosis 5000 mg/kg bb dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil pengamatan gejala toksik uji utama dosis 5000 mg/kg bb
30 menit 4 jam 24 jam 48 jam 1 minggu 2 minggu
Pengamatan
K
P5 K P5 K P5 K P5 K
P5
K
P5
Gemetar
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Diare
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kejang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Lemas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mata
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Kulit dan Bulu
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Jalan Perut
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Jalan Mundur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: K= kontrol; P5= dosis 5000 mg/kg bb; N= normal ; (-) = tidak
terjadi; (+) = terjadi
37
Universitas Sumatera Utara
Pengamatan terhadap gejala toksik yang dilakukan pada kelompok hewan
dosis 5000 mg/kg bb sama dengan pengamatan pada kelompok hewan dosis 2000
mg/kg bb sebelumnya. Hasil pengamatan yang didapatkan dibandingkan dengan
kontrol. Hewan diamati setiap 30 menit selama 4 jam dan selanjutnya diamati
setiap hari selama 14 hari. Gejala toksik yang diamati meliputi perubahan kulit,
bulu dan mata, gemetar, kejang, diare, lemas, serta tingkah laku berupa jalan
mundur dan jalan dengan perut.
Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa dosis 5000 mg/kg bb pada 4
jam pertama hewan beraktivitas normal dan tidak terjadi gejala toksik seperti
hewan kontrol yang tidak diberikan EEDS. Setelah 24 jam dan 48 jam pengujian
tidak terdapat gejala toksik dan sampai hari ke 14 hewan masih dalam keadaan
normal.
Beberapa keadaan yang menunjukkan terjadinya gejala toksik pada hewan
uji bedasarkan Organisation for Economic Co-operation and Development
(2000),
yaitu : piloreksi yaitu bulu hewan terlihat keras atau tegang yang
merupakan tanda adanya ketidaknormalan; kulit memar/krepitus
yang terjadi
karena pendarahan subkutan atau terdapat udara di bawah kulit; terdapat
kemerahan disekitar mata, terdapat kotoran di daerah anogenital yang
menunjukkan hewan mungkin dalam sakit parah dan tidak nyaman; kelesuan atau
sikap tidak aktif, termasuk kelelahan, keengganan untuk bergerak. Hewan yang
sakit, mungkin akan mati jika disertai dengan hilangnya berat badan, dehidrasi
atau mata cekung; kejang menunjukkan otot-otot hewan dalam keadaan kaku atau
lembek. Hal ini berlangsung hanya selama beberapa detik atau mungkin lebih
lama. Jika kejang berlangsung selama lebih dari satu menit dan diulangi selama
38
Universitas Sumatera Utara
lebih dari 5 kali sehari, maka hewan harus dibunuh; tremor atau gemetar
menunjukkan otot berkedut atau gerakan kulit yang cepat; diare berupa feses yang
berair atau berdarah (disentri).
4.2.2 Hasil pengamatan berat badan
Berat badan masing-masing hewan dimonitor pada saat sebelum diberikan
ekstrak dan setelah diberikaan ekstrak. Penimbangan berat badan dilakukan sebanyak
7 kali dalam 14 hari. Perubahan berat badan dianalisis menggunakan statistical
product and service solution (SPSS) versi 17. Hasil pengamatan berat badan dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil rata-rata berat badan uji utama
Rata-rata berat badan (g) ± SD
K
P4
p
P5
p
28,911 ± 3,611
27,831 ± 2,554
0,260
28,486 ± 2,249
0,809
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb;
SD= standar deviasi; p= signifikansi
Berdasarkan hasil analisis secara statistik rata–rata berat badan mencit
menggunakan uji one way anova pada Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan kenaikan atapun penurunan berat badan mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan pemberian EEDS yaitu
dengan tingkat p > 0,05.
Penurunan berat badan yang cepat dan bermakna biasanya merupakan
pertanda kondisi kesehatan yang buruk. Penurunan berat badan dapat disebabkan
oleh kurangnya konsumsi makanan dan minuman, penyakit ataupun tanda toksik
spesifik (OECD, 2000).
39
Universitas Sumatera Utara
4.2.3 Hasil pengamatan kematian hewan
Jumlah kematian hewan selama 14 hari pada uji utama dapat dilihat pada
Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil pengamatan kematian uji utama
Kelompok
Perlakuan
Jumlah kematian
I
Na-CMC 0,5%
0
II
EEDS 2000 mg/kg bb
0
III
EEDS 5000 mg/kg bb
0
Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dengan pemberian EEDS
dosis tunggal secara oral sampai dengan dosis 5000 mg/kg bb tidak menimbulkan
kematian pada mencit. Kematian yaitu keadaan sekarat atau ketidakmampuan
untuk bertahan hidup, bahkan jika dirawat (OECD, 2000).
Berdasarkan hasil pengamatan pada uji utama menunjukkan bahwa pada
dosis 2000 mg/kg bb EEDS tidak menyebabkan kematian ataupun gejala toksik
terhadap mencit, dimana menurut kategori globally harmonized classification
system for chemical substances and mixtures (GHS) dosis tersebut termasuk
dalam kategori 5 atau tidak terklasifikasi. Hingga pada dosis 5000 mg/kg bb,
hewan uji masih dalam keadaan normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemberian EEDS secara oral dengan dosis ≤ 5000 mg/kg bb aman, namun tidak
dianjurkan karena sudah melewati batas pemberian dosis maksimal pada manusia.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa LD50 EEDS > 5000 mg/kg bb dan menurut
Hodge dan Sterner EEDS termasuk kedalam praktis tidak toksik.
40
Universitas Sumatera Utara
4.3 Hasil Pengamatan Makropatologi Organ Hati dan Ginjal
Pada hari ke 15 dilakukan pembedahan terhadap hewan uji untuk
mengamati organ hati dan ginjal mencit setelah diberikan EEDS dan
dibandingkan dengan hewan kontrol. Hal ini dilakukan untuk mengamati patologi
yang muncul pada organ hati dan ginjal ketika diamati secara makroskopis
ataupun mikroskopis akibat pemberian EEDS.
Perubahan warna menjadi salah satu parameter terjadinya efek toksik yang
bertujuan mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan
dengan organ sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995). Hasil
pengamatan makropatologi organ hati dan ginjal dapat dilihat pada Gambar 4.1
dan 4.2 serta Tabel 4.8 dan 3.9.
HK
HP4
HP5
Gambar 4.1 Makropatologi organ hati, HK= hati kontrol; HP4= hati dosis 2000
mg/kg bb; HP5= hati dosis 5000 mg/kg bb
Tabel 4.8 Hasil pengamatan makropatologi organ hati
Pengamatan
Kelompok
Warna
Permukaan
Konsistensi
Kontrol
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 2000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 5000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
41
Universitas Sumatera Utara
GS K
GS P4
GS P5
GD K
GD P4
GD P5
Gambar 4.2. Makropatologi organ ginjal, GSK= ginjal kiri kontrol; GSP4= ginjal
kiri dosis 2000 mg/kg bb; GSP5= ginjal kiri dosis 5000 mg/kg bb;
GDK= ginjal kanan kontrol; GDP4= ginjal kanan dosis 2000 mg/kg
bb; GDP5= ginjal kanan dosis 5000 mg/kg bb
Tabel 4.9 Hasil pengamatan makropatologi ginjal kiri dan kanan
Pengamatan
Kelompok
Warna
Permukaan
Konsistensi
Kontrol
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 2000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Dosis 5000 mg/kg bb
Merah Kecoklatan
Licin
Kenyal
Pengamatan makropatologi organ hati dan ginjal mencit meliputi warna,
permukaan dan konsistensi (Anggraini, 2008). Berdasarkan hasil pengamatan
makropatologi organ pada Tabel 4.8 dan 4.9 di atas, tidak terlihat adanya
42
Universitas Sumatera Utara
perubahan warna, struktur permukaan ataupun konsistensi dari organ hati dan
ginjal pada semua kelompok uji. Pada kelompok dosis 2000 dan 5000 mg/kg bb,
organ hati dan ginjal terlihat memiliki warna merah kecoklatan, permukaan licin
dan konsistensi yang kenyal tidak terlihat perbedaan dengan kelompok kontrol.
Organ hati dan ginjal yang normal berwarna merah kecoklatan,
permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Warna merah kecoklatan
menunjukkan bahwa aliran darah pada organ hati dan ginjal dalam keadaan
normal. Ginjal diperfusi oleh sekitar 1200 ml darah permenit-suatu volume yang
sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5000 ml per menit) (Price, 2005).
Pengamatan pada organ hati dilakukan karena hati merupakan organ
terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini
terlibat dalam metabolisme zat makanan dan sebagian besar obat dan toksikan.
Sedangkan pengamatan organ ginjal dilakukan karena ginjal merupakan organ
yang memproduksi urin yang merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar
toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi,
mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus dan
mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya, ginjal adalah organ sasaran utama
dari efek toksik (Lu, 1995).
4.4 Hasil Berat Organ Relatif Hati dan Ginjal
Hasil berat organ relatif hati dan ginjal yang didata pada akhir perlakuan
ditunjukkan pada Tabel 4.10.
43
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.10 Hasil berat organ relatif per 100 g berat badan
Rata-rata berat organ relatif per 100 g ± SD
Organ
K
P4
p
P5
p
Hati
5,190 ± 0,944
5,763 ± 0,061
0,602
5,003 ± 0,759
0,943
Ginjal kanan
0,600 ± 0,070
0,570 ± 0,021
0,706
0,563 ± 0,021
0,603
Ginjal kiri
0,577 ± 0,136
0,593 ± 0,047
0,968
0,557 ± 0,021
0,954
Keterangan: K= kontrol; P4= dosis 2000 mg/kg bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb;
SD= standar deviasi; p= signifikansi
Berdasarkan hasil berat organ relatif hati dan ginjal mencit pada Tabel 4.10
yang dianalisis secara statistik menggunakan uji one way anova menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan berat organ relatif hati dan ginjal mencit
antara kelompok kontrol dan kelompok uji setelah pemberian EEDS dengan
tingkat signifikansi p = 0,435 (p > 0,05) untuk organ hati, p = 0,594 (p > 0,05)
untuk ginjal kanan dan p = 0,869 untuk ginjal kiri (p > 0,05), dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa pemberian EEDS dosis tunggal secara oral tidak
berpengaruh terhadap perbandingan berat organ hati, ginjal kiri dan ginjal kanan
dengan berat badan.
4.5 Hasil Pengamatan Histopatologi Hati dan Ginjal
Mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher kemudian dibedah untuk
diambil organ hati dan ginjalnya dan dibuat menjadi preparat histologi. Hasil
pengamatan histopatologi digunkana untuk menetukan derajat kerusakan sel-sel
hati dan ginjal akibat pemberian EEDS. Hasil pengamatan histopatologi hati dan
ginjal dapat dilihat pada Gambar 3.3 dan 3.4.
44
Universitas Sumatera Utara
K
a
b
c
P4
a
b
c
Gambar 4.3 Histopatologi hati (perbesaran 10 x 10)
45
Universitas Sumatera Utara
P5
a
d
c
Gambar 4.3 (lanjutan), a. vena sentralis normal; b. hepatosit normal; c. sinusoid
normal; d. hepatosit nekrosis; K= kontrol; P4= dosisi 2000 mg/kg
bb; P5= dosis 5000 mg/kg bb
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hati pada Gambar 4.3, pada
kelompok kontrol, vena sentralis merupakan sebuah pembuluh vena yang
dikelilingi oleh sel endothelium yang tersusun rapat dan terletak pada pusat
lobulus dengan hepatosit tersusun secara teratur ke arah vena sentralis. Hepatosit
memiliki sitoplasma yang masih utuh dengan nukleus yang bulat. Di sepanjang
hepatosit terdapat sinusoid tempat mengalirkan darah yang akan ditampung oleh
vena sentralis (Leeson, 1989). Pada kelompok dosis 2000 mg/kg bb, hasil
pengamatan menunjukkan keadaan yang tidak berbeda dengan kelompok kontrol.
Tidak terjadi degenerasi hidropik, nekrosis ataupun pelebaran sinusoid. Sehingga
dapat dikatakan bahwa jaringan hati kelompok 2000 mg/kg bb dalam keadaan
normal. Sedangkan pada kelompok 5000 mg/kg bb terlihat adanya indikasi
46
Universitas Sumatera Utara
kerusakan jaringan hati yang ditandai dengan terjadinya degenerasi hidropik dan
juga nekrosis hepatosit.
Degenerasi hidropik merupakan pertanda awal terjadinya kerusakan hati
akibat toksin dan kerusakan non fatal yang bersifat reversible dan sel dapat
normal kembali apabila penyebabnya dihilangkan (Winarsih, 2012). Pada inti sel
hepatosit, sel hati telah mengalami nekrosis setelah terjadinya degenerasi
hidropik,
yaitu
ditandai
dengan
pecahnya
membran
plasma
sehingga
menyebabkan inti sel keluar dan menumpuk kemudian berwarna kehitaman (inti
piknotik) yang dapat dilihat pada gambar. Nekrosis hati adalah kematian
hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif.
Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Nekrosis hati merupakan suatu
manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai
kapasistas pertumbuhan kembali yang luar biasa (Lu, 1995).
K
c
a
b
Gambar 4.4 Histopatologi ginjal (perbesaran 10 x 10)
47
Universitas Sumatera Utara
P4
c
a
b
P5
e
d
Gambar 4.4 (lanjutan), a. glomerulus normal; b. tubulus proksimal normal;
c.tubulus distal normal; d. pelebaran ruang Bowman; e. pelebaran
lumen tubulus; K= kontrol; P4 = dosis 2000 mg/kg bb ; P5 = dosis
5000 mg/kg bb
48
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi ginjal pada Gambar 4.4,
diperoleh bahwa kelompok kontrol dan dosis 2000 mg/kg bb memiliki jaringan
ginjal yang terlihat normal, tidak terjadi pelebaran ruang Bowman, pelebaran
lumen tubulus ataupun nekrosis. Sedangkan pada kelompok dosis 5000 mg/kg bb,
terlihat terjadi pelebaran ruang Bowman dan pelebaran lumen tubulus.
Pelebaran
ruang
Bowman
diakibatkan
atrofi
glomerulus,
yaitu
menurunnya ukuran jaringan yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah sel atau
berkurangnya ukuran sel yang mungkin terjadi karena lambatnya sirkulasi atau
terjadi kekurangan oksigen di jaringan (hipoksia) (Al-Tameemi, 2016). Kerusakan
ini menyebabkan terganggunya proses filtrasi darah. Jika kemampuan menyaring
darah berkurang, maka sel darah dan protein dapat keluar bersama urin atau malah
tertimbun pada tubulus karena dapat lolos pada proses filtrasi (Hasnisa, dkk.,
2014).
Ginjal merupakan organ yang memproduksi urin yang merupakan jalur
utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume
aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa
toksikan melalui sel tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya,
ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik (Lu, 1995).
49
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L.) tidak memiliki potensi
ketoksikan akut terhadap mencit.
5.2 Saran
a.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral ekstrak etanol daun srikaya dengan menggunakan mencit jantan.
b.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral ekstrak etanol daun srikaya dengan menggunakan metode lain, seperti
metode Farmakope Indonesia edisi III.
c.
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas akut
oral pada bagian tumbuhan srikaya yang lain, seperti kulit buah srikaya.
50
Universitas Sumatera Utara