BAB I PENDAHULUAN - Gaya Kepemimpinan Camat Dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi Studi Tentang Pembuatan Surat Keterangan Tanah pada Kantor Camat Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan kemampuan yang dimiliki

  seseorang untuk membina, membimbing, mengarahkan dan menggerakkan orang lain agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemimpin perlu melakukan serangkaian kegiatan diantaranya mengarahkan orang-orang yang terlibat dalam organisasi yang dipimpinnya. Dengan kata lain, tercapai atau tidak tujuan organisasi sangat tergantung pada pimpinannya.

  Disisi yang lain, seorang pemimpin dalam sebuah organisasi pasti juga memerlukan dan mengharapkan sejumlah pegawai yang cakap dan terampil dibidang pekerjaannya, sebagai orang yang membantunya melaksanakan tugas- tugas yang menjadi beban kerja unit masing-masing. Dalam arti seorang pemimpin menginginkan sejumlah pegawai yang efektif dalam melakukan pekerjaannya guna memudahkan tercapainya tujuan organisasi .

  Suatu organisasi pada dasarnya adalah suatu bentuk kerja sama antar dua orang atau lebih. Baik yang disebut organisasi ataupun kelompok, tujuannya adalah untuk mencapai sesuatu. Jika sesuatu yang ingin dicapai itu betul-betul dapat diraih, maka tujuannya efektif. Efektivitas adalah ukuran sejauh mana tujuan dapat dicapai. Efektivitas adalah suatu kontinum yang merentang dari efektif, kurang efektif, sedang-sedang, sangat kurang,sampai tidak efektif. (Sigit, 2003:2)

    Efektivitas merupakan unsur pokok aktivitas organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Bila dilihat dari aspek segi keberhasilan pencapaian tujuan, maka efektivitas adalah memfokuskan pada tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi. Selanjutnya ditinjau dari aspek ketepatan waktu, maka efektivitas adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang telah dialokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan.

  Salah satu fungsi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani.

  Tuntutan masyarakat pada saat ini menghendaki birokrasi lebih profesional, netral dan menjadi abdi negara masyarakat dengan mengutamakan pada pelayanan umum dan pemberdayaan masyarakat. Kurangnya pelayanan yang diberikan aparat pemerintah, berdasarkan pendapat Darwin (1996) disebabkan masih adanya inefisiensi pada tubuh birokrasi itu sendiri yang ditandai dengan adanya beberapa kecenderungan. Kecenderungan tersebut antara lain:

  1. Tingginya tingkat birokrasi, terutama jika dilihat dari pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur birokrasi

2. Berkembangnya red-tape dalam pelayanan publik

   

3. Rendahnya kualitas atau profesionalisme aparatur pemerintah 4.

  Masih meluasnya berbagai macam praktek maladministrasi di kalangan aparatur pemerintah. ( http://www.scribd.com/doc/29392472/Ma

  kalah-Birokrasi-Pelayanan-Publik )

  Dalam rangka penataan pemerintahan daerah sekaligus untuk memperbaiki kondisi birokrasi dan kualitas pelayanan, pemerintah telah menerapkan pemberlakuan undang-undang otonomi daerah. Terakhir adalah revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Struktur pemerintahan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Di daerah-daerah dibentuk lembaga-lembaga perangkat daerah yang sesuai dengan semangat otonomi daerah. Otonomi daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi pemerintah kepada masyarakat, sehingga terciptanya birokrasi yang efektif dan efisien serta dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang ditanggung masyarakat.

  Otonomi daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi pemerintah kepada masyarakat, sehingga terciptanya birokrasi yang efektif dan efisien serta dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang ditanggung masyarakat.

  Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menjadi paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir.

  Dalam tulisannya, Purbokusumo (2005) menengarai masih tetap berjalannya praktek buruk terhadap jalannya birokrasi pada saat desentralisasi atau otonomi daerah. Ia menyimpulkan bahwa apapun bentuk desentralisasi, pelayanan di sektor publik yang dilakukan oleh birokrasi publik tetap buruk. Kecendrungan sentralisasi menjadikan pelayanan administrasi birokrasi berbelit-belit, korup di

    tingkat pusat pemerintahan dan boros. Sementara ketika desentralisasi dilakukan secara radikal seperti di era reformasi, pelayanan birokrasi publik juga tidak semakin baik; korupsi menyebar dan merajalela ke daerah (baik oleh eksekutif maupun legislatif), beban semakin berat dengan variasi pajak dan retribusi daerah yang bertumbuk dan tumpang tindih, serta pelayanan administrasi birokrasi tetap berbelit-belit. Disamping pendapat di atas, Wursanto (2003) menyatakan bahwa apabila birokrasi itu baik maka segala urusan dapat berjalan dan diselesaikan dengan baik. Akan tetapi dalam prakteknya banyak hal dan urusan tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan sehingga menimbulkan kemacetan dan hambatan. ( http://www.scribd.com/doc/29392472/Makalah-Birokrasi-Pelayanan-

  Publik )

  Selama ini pandangan negatif selalu dilekatkan pada birokrasi organisasi publik. Pada umumnya masyarakat beranggapan pelayanan publik terutama jika berkaitan dengan prosedur administrasi sangat berbelit-belit, memakan waktu lama dan mengeluarkan biaya tinggi. Dengan kata lain bahwa pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan publik yakni cepat, mudah dan murah. Dengan demikian maka pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk menciptakan sebuah model pelayanan publik yang lebih bekualitas untuk memberikan pelayanan yang lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah secara adil kepada segenap warga masyarakat atau negara.

  Otonomi daerah yang seharusnya memudahkan proses administrasi yang diperlukan masyarakat untuk pengurusan surat dan berkas lainnya seakan belum mampu memberi jawaban. Otonomi daerah hanya mampu memangkas tahapan proses administrasi yang akan dilakukan oleh masyarakat, jika pada awalnya

    pengurusan administrasi dititikberatkan kepada pemerintahan pusat, maka saat ini telah terjadi pemangkasan tahapan proses. Pemangkasan tahapan ini juga ternyata belum mampu untuk menjauhkan birokrasi dari proses administrasi yang berbelit- belit, hal ini dikarenakan dalam lingkup yang kecil masih diperlukannya tahapan yang melibatkan beberapa sub unit kerja dalam birokrasi atau yang sering kita dengar dengan meja tugas dalam birokrasi. Pembagian sub unit kerja tersebut mengarah pada ketidak profesioanlisme pegawai, karena pegawai lebih cendrung berorientasi pada hasil sub unit kerja daripada hasil organisasi.

  Otonomi daerah juga berdampak pada besarnya tanggung jawab kepala daerah, kepala daerah sebagai pemimpin memiliki tanggung jawab dalam terwujudnya pelayanan publik yang baik. Karena pemimpin memiliki wewenang untuk mengarahkan bawahnya untuk suatu pekerjaan.

  Keterlibatan birokrasi dalam pengurusan administrasi melibatkan banyak hal dalam masyarakat, salah satu pengurusan administrasi yang sering menimbulkan banyak kasus dalam masyarakat adalah Surat Keterangan Tanah. Banyak kasus yang terjadi, baik seperti sengketa tanah hingga perebutan tanah antara warga, semua karena ketidakjelasan SKT yang di miliki masyarakat, ketidakjelasan SKT ini juga dapat diakibatkan kecenderungan ketidakinginan masyarakat berurusan dengan birokrasi dalam proses pembuatan SKT yang dinilai terlalu berbelit-belit.

  Penulis mendapatkan beberapa contoh permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakjelasan SKT, dan merupakan penegasan bahwa pentingnya pengurusan SKT oleh pihak kecamatan melalui beberapa petikan wawancara dengan Bapak Camat Kecamatan Silimakuta Lamat Ludin Purba, yaitu :

   

    “.. Kesadaran masyarakat dalam melindungi hak kepemilikan atas tanah/ lahan masih kurang. Pada tahun 2011 kami dari pihak kecamatan pernah membuat semacam program sosialisasi pengurusan SKT kepada masyarakat, namun tidak sampai 10% masyarakat yang akhirnya ikut mengurus SKT tersebut. Sikap seperti ini dapat menimbulkan bahaya laten seperti terjadinya sengketa lahan. Memang selama ini belum pernah terjadi sengketa kepemilikan tanah di daerah ini, tapi melihat minimnya masyarakat yang memiliki SKT dan minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya SKT, sengketa tersebut dapat terjadi sewaktu- waktu”. (wawancara Camat Kecamatan Silimakuta, 02 Juli 2013)

  Secara proses administrasi, pembuatan SKT saat ini melibatkan masyarakat, lurah dan yang paling dominan adalah pemerintahan kecamatan.

  Dengan kata lain peran dari pemimpin kecamatan sangat penting untuk terciptanya proses pembuatan SKT yang tidak berbelit-belit. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang peran pemimpin dalam proses pembuatan surat keterangan tanah. Oleh karena itu peneliti mengangkat ke dalam sebuah penelitian yang berjudul “Gaya

  

Kepemimpinan Camat dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi (Studi

tentang Pembuatan Surat Keterangan Tanah pada Kantor Camat

Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun)”.

  I.2 Perumusan Masalah

  Dari latar belakang diatas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa yang menjadi perumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana Gaya

  

Kepemimpinan Camat dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi ( Studi

Tentang Pembuatan Surat Keterangan Tanah di Kecamatan Silimakuta

Kabupaten Simalungun)”.

  I.3 Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah jelas mempunyai tujuan yang ingin dicapai, dalam hal ini penulis merumuskan tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis gaya kepemimpinan camat dalam meningkatkan kinerja birokrasi di Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun.

  I.4 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a.

  Secara Subjektif, sebagai suatu sarana melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian teori dan aplikasinya yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.

  b.

  Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik secara umum dan Ilmu Administrasi Negara secara khusus dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.

  c.

  Secara Praktis, bagi Pemerintahan Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, penelitian ini diharapkan dapat mampu memberikan sumbangsih pemikiran, informasi dan saran.

  I.5 Kerangka teori

  Teori merupakan seperangkat preposisi yang menggambarkan suatu gejala yang terjadi. Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman berfikir yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. (Suyanto, 2005:34)

  Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

  I.5.1 Pemimpin

  Suatu Negara memiliki masyarakat yang harus mendapatkan kepastian dalam pelayanan, yang kita namakan pelayanan publik, apalagi Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia. Dengan keharusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, hingga untuk menciptakan adanya keteraturan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, maka kehadiran seorang pemimpin menjadi sangat penting.

  Untuk lebih memahami pengertian pemimpin, berikut adalah pengertian pemimpin, Kartini Kartono memberi pengertian pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. (Kartini, 2010:33)

  Pemimpin dalam suatu organisasi memiliki wewenang tersendiri terhadap bawahannya, seperti apa yang dikemukakan Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, yang berpendapat bahwa pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Dalam pengertian yang lebih nasional, dalam Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah : a.

  Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.

  b.

  Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang yang dibimbingnya.

  c.

  Tut Wuri Handayani: Pemimpin harus mampu mendorong orang- orang yang diasuhnya agar berani berjalan didepan dan sanggup bertanggungjawab. ( http : // emperordeva. com / about / makalah

  • – tentang - kepemimpinan / , diakses pada 25 Agustus 2012, 22.45

  WIB)

  Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat peneliti simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.

  I.5.2 Kepemimpinan

  Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi.

  Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya.

  Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Untuk lebih memahami tentang kepemimpinan, berikut adalah beberapa pengertian dari kepemimpinan : Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya. Sementara menurut Prof. Dr Mar'at, kepemimpinan juga merupakan suatu seni untuk memunculkan kerelaan dan ketundukan, kepemimpinan sebagai penggunaan terarah berpengaruh, dan sebagai satu instrumen untuk membentuk kelompok, sesuai dengan kemauan pemimpin.

  (Kartini Kartono, 2010:88) Dapat disimpulkan yang menjadi pengertian dari kepemimpinan adalah perilaku yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat digunakan menjadi seni dalam mempengaruhi sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan organisasi.

  I.5.3 Gaya Kepemimpinan

  Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu. Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu.

  Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berarti telah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

  Dari berbagai studi tentang kepemimpinan, diketahui ada beberapa gaya kepemimpinan yang paling umum dikenal, yaitu :

1. Gaya dan Tipe Kepemimpinan Otoriter

  Kepemimpinan otoriter, mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahan terlebih dahulu. Pemimpin bergaya dan bertipe otoriter selalu berdiri jauh dari anggota kelompoknya, dan ia senantiasa memiliki kekuatan absolut dan tunggal, pada kondisi dan situasi yang sikap dan prinsipnya kaku. Penonjolan diri yang berlebihan sebagai simbol keberadaan organisasi, hingga cenderung bersikap bahwa dirinya dan organisasi adalah identik. Dalam menentukan dan menerapkan disiplin organisasi begitu keras dan menjalankannya dengan sikap kaku, pemimpin bergaya dan bertipe ini juga tidak dapat dikritik, bawahannya juga tidak mendapat kesempatan untuk memberikan saran maupun pendapat. Apabila pimpinan ini sudah mengambil keputusan, biasanya keputusan itu berbentuk perintah dan bawahannya hanya melaksanakannya saja.

  2. Gaya dan Tipe Paternalistik Gaya dan tipe kepemimpinan paternalistik merupakan kepemimpinan yang bersifat kebapakan, namun bukan tipe ideal dan bukan tipe yang didambakan. Seorang pemimipin paternalistik, senang menonjolkan keberadaan dirinya sebagai simbol organisasi dan memperlakukan bawahannya sebagai orang-orang yang belum dewasa. Ia tidak akan mendorong kemandirian bawahannya karena tidak ingin berbuat kesalahan. Terkait dengan itu, maka pemimpin paternalistik akan bersifat terlalu melindungi, itikadnya memang baik, tetapi prakteknya akan negatif. Karena ia tidak akan mendorong para bawahannya untuk mengambil resiko disebabkan takut akan timbul dampak negatif pada organisasi. Dalam mengambil keputusan, pemimpin paternalistik menjadi pusat pengambil keputusan, dimana pelimpahan wewenang untuk mengambil keputusan pada tingkat yang lebih rendah dalam organisasi tidak akan terjadi.

  3. Gaya dan Tipe Kepemimpinan Leissez Faire Gaya dan tipe kepemimpinan ini adalah gaya dan tipe kepemimpinan yang “aneh”. Dimana seseorang dikatakan pemimpin, namun pada praktisnya tidak memimpin. Ini dapat dilihat dari gaya kepemimpinan yang santai, karena berangkat dari pandangan bahwa organisasi tidak memiliki masalah yang serius, dan kalau pun ada selalu dapat diketemukan penyelesaiannya. Ia juga tidak senang mengambil resiko dan lebih cenderung pada mempertahankan status quo. Seorang pemimpin yang bergaya dan bertipe ini senang melimpahkan wewenang kepada bawahannya dan lebih menyenangi situasi bahwa para bawahanlah yang mengambil keputusan, dan keberadaannya dalam organisasi lebih bersifat suportif.

4. Gaya dan Tipe Kepemimpinan Kharismatik

  Gaya dan tipe kepemimpinan kharismatik memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya. Terlepas dari apakah dia berfungsi sebagai pemimpin formal atau informal, ia memiliki daya tarik yang kuat bagi orang lain, sehingga orang lain itu bersedia mengikutnya tanpa selalu bisa menjelaskan apa penyebab kesediaan itu. Para pakar belum sepakat tentang faktor-faktor yang menjadi “magnit” tersebut.

  Latar belakang biografikal, pendidikan, kekayaan dan penampilan mungkin ikut berperan, akan tetapi mungkin juga tidak. Karena ketidakmampuan para ahli mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang dominan, akhirnya hanya ditekankan bahwa seorang pemimpin yang kharismatik memiliki “kekuatan supranatural” yang tidak dimiliki orang lain.

5. Gaya dan Tipe Kepemimpinan Demokratis

  Gaya dan tipe kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efektif kepada para bawahannya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahannya, dengan penekanan rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik. Ia rela dan mau melimpahkan wewenang pengambilan keputusan kepada bawahannya sedemikian rupa tanpa kehilangan kendali organisasionalnya, dan tetap bertanggung jawab atas tindakan para bawahannya. Pemimpin demokratis bersifat mendidik dan membina, dalam hal bawahannya berbuat kesalahan dan tidak serta merta bersifat menghukum atau mengambil tindakan punitive. ( http://emperordeva.com/about/makalah-tentang-kepemimpinan/,

  diakses pada 25 Agustus 2012, 22.45 WIB)

  Dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan.

  Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang – orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.

  Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah satunya yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4 gaya dari sebuah kepemimpinan.Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara seorang pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu bawahannya. Keempat gaya tersebut adalah: 1.

  Directing Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.

2. Coaching

  Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.

  3. Supporting Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik – teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan pemimpin.

  4. Delegating

  Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri. ( http://emperordeva.com/about/makalah-tentang-kepemimpinan/ ,

  diakses pada 25 Agustus 2012, 22.45 WIB)

  Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang – orang yang dipimpinnya.

  Setelah mengetahui berbagai gaya dan tipe kepemimpinan, maka pertanyaan yang timbul adalah : Gaya kepemimpinan manakah yang lebih baik? Untuk menjawab pertanyaan itu memang sulit, karena tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik dan dominan untuk semua situasi. Ada kalanya seorang pemimpin akan bergaya otoriter dalam situasi tertentu walaupun ia sebenarnya adalah pemimpin bergaya demokratis. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tujuan, pengikut (bawahan), organisasi dan situasi yang ada sehingga tidak ada gaya kepemimpinan yang mutlak baik atau buruk. Oleh karena itu, dalam rangka mempersoalkan gaya-gaya kepemimpinan, hendaknya jangan beranggapan bahwa seorang pemimpin harus tetap konsisten untuk mempertahankan gaya kepemimpinan dalam segala situasi. Hal ini justru akan memperburuk keadaan organisasi yang dipimpinnya. Tetapi sebaliknya, harus bersifat fleksibel, yakni menyesuaikan gayanya dengan situasi yang ada, kondisi dan individu dalam organisasi.

  I.5.4 Kinerja Birokrasi

  I.5.4.1 Kinerja

  Kinerja berasal dari kata-kata job performance dan disebut juga actual

  

performance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah dicapai

  oleh seorangkaryawan. Kinerja menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti “suatu yang dicapai” atau prestasi yang dicapai atau diperlihatkan sehingga kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kinerja oleh individu perusahaan. Menurut Simamora (2003: 45) kinerja adalah ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Dari pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa kinerja adalah kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya yang diperoleh selama periode waktu tertentu dan meliputi elemen-elemen seperti kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, kehadiran dan kemampuan bekerja sama.

I.5.4.2 Birokrasi

  Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi. Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan. (Thoha, 2003)

  Dalam masyarakat, istilah birokrasi dimaknai secara diametral (yaitu bertentangan satu sama lain) yaitu:

  1. Secara positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif ini maka tujuan suatu organisasi lebih mudah tercapai.

2. Secara negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh,

  mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (infleksibility) dan kemandegan struktural (struktural static), tatacara yang berlebihan dan penyimpangan sasaran, sifat pengabaian dan menutup diri pada perbedaan pendapat. Birokrasi seperti ini menurut Marx bersifat parasitik dan eksploitatif. ( http: kebebasandalamberinformasi.org/

  2010/10/26/kinerjabirokrasipelayananpublik/ diakses pada 10 oktober

  2013)

  Weber memandang birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. (Sarundajang, 2003)

  Dari berbagai pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa birokrasi sesungguhnya dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik kedalam maupun keluar. Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas.

I.5.4.3 Efisiensi, efektivitas dan kesehatan organisasi birokrasi

  Kinerja birokrasi merupakan ukuran dari usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerja pada periode tertentu dalam suatu sistem kerja sebuah organisasi. Ukuran kinerja birokrasi, bukan hanya kinerja perorangan (personal

  

perfomance ) atau suatu unit, tetapi juga yang diukur adalah kinerja organisasi

  (social perfomance). Ada dua aspek penting dalam pengukuran kinerja,yaitu aspek efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan seberapa jauh sasaran telah dapat dicapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding dengan usaha, biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkan.

  Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Dengan perkataan lain efektivitas adalah hasil guna yang dicapai oleh organisasi untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Jadi, makna efektivitas memiliki konsep yang lebih luas dari pada konsep efisiensi. Efektivitas dapat berkaitan dengan variabel internal dan juga berkaitan dengan variabel eksternal organisasi. Sedangkan efisiensi hanya berkaitan dengan proses internal organisasi, yaitu perbandingan yang rasional atau terbaik antara Input dengan Output.

  Efisiensi berkaitan dengan pencapaian Output. Sedangkan Output diakibatkan dari Input. Dengan demikian efisiensi adalah perbandingan terbaik antara hasil Output yang diperoleh dan kegiatan yang dilakukan serta sumber- sumber atau input yang dipergunakan dalam sumber-sumber tersebut tercakup tenaga kerja, biaya, material, alat-alat kerja, waktu dan sebagainya.

  Kondisi kesehatan organisasi, dilihat dari sudut pandang sasaran output merupakan proses, bukan hasil atau kinerja yang dihasilkan oleh organisasi.

  Akan tetapi dari sasaran sistem, adalah merupakan output dari proses itu sendiri. Dengan kata lain organisasi yang sehat merupakan output dari sasaran sistem, dimana organisasi mampu menciptakan suasana yang harmonis antara semua unsur yang terlibat dalam proses organisasi.

  Kinerja organisasi yang sehat menurut Martani dicirikan oleh tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat, loyalitas dan kerjasama yang sangat dinamis, saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, tingginya otonomi dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan, tumbuhnya komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi dan organisasi memiliki sistem imbalan yang merangsang setiap individu / kelompok berprestasi.

I.5.5 Gaya Kepemimpinan Camat Dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi

  Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, hingga tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan gaya kepemimpinannya.

  Kepemimpinan pada dasarnya mempunyai pokok pengertian sebagai sifat, kemampuan, proses, dan atau konsep yang dimiliki oleh seseorang sedemikian rupa sehingga ia diikuti, dipatuhi, dihormati orang lain dengan penuh keikhlasan melakukan perbuatan atau kegiatan yang dikehendaki pemimpin tersebut.

  Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh pemimpin. Hal ini dapat dilihat bagaimana seorang pemimpin dalam bersikap dan bertindak. Cara bersikap dan bertindak dapat terlihat dari cara melakukan suatu pekerjaan. Suatu ungkapan mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan. Hal ini merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pimpinan dalam suatu instansi pemerintahan khususnya, pada posisi yang terpenting. Dimana dalam hal ini pemimpin tersebut adalah seorang Camat, yang bertugas membawahi para pegawainya yang ada pada Kantor Camat Silimakuta Kabupaten Simalungun.

  Sedangkan kinerja birokrasi dapat dilihat dari efektivitas kerja pegawai kantor camat Kecamatan Silimakuta. Efektivitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan tepat waktu yang telah ditetapkan, dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini juga berkaitan dengan kuantitas dan kualitas kerja yang dihasilkan. Artinya yaitu seberapa banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan, dan apakah sesuai dengan mutu yang telah ditargetkan atau tidak.

  Tercapainya tujuan organisasi diharapkan tercapai pula tujuan individu para bawahan. Suatu organisasi akan berhasil mencapai tujuan dan sasarannya apabila semua komponen organisasi berupaya menampilkan kinerja yang optimal termasuk peningkatan efektivitas kerjanya masing-masing. Seorang pegawai akan efektif dalam melakukan pekerjaan apabila terdapat keyakinan dalam dirinya bahwa sebagai keinginan, kebutuhan, harapan dan tujuannya dapat tercapai.

  Dalam hal ini dapat dilihat bahwa peran dan tugas seorang Camat pada pemerintahan Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun adalah berusaha untuk mempengaruhi para pegawainya dengan cara memotivasi dan komunikasi untuk terus bekerja secara efektif sesuai dengan waktu dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, efektif tidaknya pekerjaan yang dilakukan para pegawai, tergantung bagaimana cara atau gaya seorang camat dalam memimpin.

  Atau apa-apa saja kegiatan yang perlu dilakukan agar semua pegawai mau dan rela mengikuti semua keinginan camat tersebut demi mencapai tujuan organisasi.

I.6 Defenisi Konsep

  Menurut Singarimbun ( 2006: 33), konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variable yang diteliti. Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka defenisi konsep yang dikemukakan penulis adalah: 1.

  Gaya kepemimpinan camat dalam meningkatkan kinerja birokrasi adalah cara seorang pemimpin bersikap, berkomuinikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.

  2. Kinerja Birokrasi adalah ukuran dari usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerja pada periode tertentu dalam suatu sistem kerja sebuah organisasi.

  3. Pembuatan Surat Keterangan Tanah yaitu bagaimana urutan pelaksanaaan dalam pelaksanaan awal hingga akhir pembuatan Surat Keterangan Tanah.

I.7 Sistematika Penulisan

  BAB I : Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan

  masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep dan sistematika penulisan.

  BAB II : Metode Penelitian Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian,

  populasi, dan sample penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

  BAB III : Deskripsi Lokasi Penelitian Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karateristik lokasi penelitian. BAB IV : Penyajian Data Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari

  lapangan dan dokumentasi yang akan dianaklisis, serta memuat pembahasan atau interprestasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya.

Dokumen yang terkait

Kinerja Pelayanan Publik Dalam Pembuatan Surat Miskin dan Surat Ahli Waris Studi Pada Kantor Camat Medan Kota

13 111 93

Gaya Kepemimpinan Camat Dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi Studi Tentang Pembuatan Surat Keterangan Tanah pada Kantor Camat Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun)

3 134 167

Peranan Kepemimpinan Terhadap Peningkatan Kinerja Birokrasi (Studi Kasus Pada Kantor Camat Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang)

0 57 58

Peranan Kepemimpinan Terhadap Peningkatan Kinerja Birokrasi (Studi Pada Kantor Camat Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang)

24 163 58

Peranan Kepemimpinan Camat Dalam Meningkatkan Akhlak Pegawai Pada Kantor Camat Rimba Melintang Kabupaten Rokan Hilir

0 9 94

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Camat Teluk Nibung Kota TanjungBalai

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Hubungan Kepemimpinan Camat Dengan Etika Kerja Pegawai Di Kantor Camat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Fungsi Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Pegawai Pada Kantor Camat Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 35

Kinerja Pelayanan Publik Dalam Pembuatan Surat Miskin dan Surat Ahli Waris Studi Pada Kantor Camat Medan Kota

0 0 13

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN - Gaya Kepemimpinan Camat Dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi Studi Tentang Pembuatan Surat Keterangan Tanah pada Kantor Camat Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun)

0 1 64