Rekognisi Atas Pemenuhan Hak Beragama Be

Rekognisi Atas Pemenuhan Hak Beragama-Berkeyakinan di Indonesia
Oleh: Rian Adhivira Prabowo1
Perdebatan mengenai perihal keagamaan telah lama menjadi masalah yang lebih tua usianya
dibandingkan republik ini sendiri. Penentuan dasar negara dalam rapat BPUPKI, awal mula
Pancasila, diwarnai dengan perdebatan mengenai ketentuan 7 kata, antara Soekarno, Hatta,
dkk dengan perwakilan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo maupun Wahid Hasyim, yang
berakhir dengan dihapuskanya ketentuan 7 kata melalui lobi Hatta kepada Hadikusumo.
Kemudian pada saat jatuhnya rezim otoritarian Soeharto, amandemen konstitusi dilakukan
dengan berhati-hati, yang bertujuan agar tidak membawa serta isu agama masuk dalam
perubahan amandemen. Dikhawatirkan, apabila isu agama masuk, maka akan mengulang
perdebatan awal pada tahun 1945.2 Apa yang diungkapkan disini mempengaruhi bagaimana
pengaturan hukum positif tentangnya, yang akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini.
Pengaturan Agama Oleh Negara
Sebelum melangkah lebih jauh, pertama-tama yang harus dijelaskan lebih dahulu adalah;
apakah hak beragama/berkeyakinan itu perlu untuk diatur secara khusus dalam konstitusi?
Bukankah hak religiusitas itu sesungguhnya telah termaktub dalam hak berekspresi yang
sifatnya lebih luas? Jawabanya bisa bersifat pragmatis dibandingkan dengan pertimbangan
filosofis. Betul bahwa hak ekspresi individual adalah satu hal, namun pada kenyataanya,
dalam hal religiusitas, seseorang dapat menempatkanya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan hak yang lain. Hal ini berkaitan pula dengan dua wajah dari agama. Pada satu sisi
agama diyakini mempromosikan perdamaian dan cinta kasih, namun sebagai sesuatu yang

paling benar bagi para penganutnya, agama sekaligus pula membawa pula misi pencerahan
pada yang lain, untuk menyelamatkan jiwa dari yang oleh para penganutnya dianggap sesat
dan dirundungi gelap.3 Darisini dapat dilihat, bahwa dalam pola umum yang terjadi, agama
juga memiliki potensi kekerasan, sebagaimana pula ideologi maupun negara itu sendiri,
dalam konteks mempertahankan kebenaran bagi penganutnya. Konflik yang muncul, menurut
Cross, pertama-tama adalah antara satu keyakinan yang dominan terhadap yang lain, dan pola
lain, dimana non-religius otokrats terhadap golongan religius. 4 Selain itu, pengaturan
mengenai kebebasan atas religiositas dapat pula dipahami sebagai perlindungan kepada
golongan non-agama dari ekspansi tuntutan agama yang dominan. 5 Pencantuman atas hak
1

Pegiat di Satjipto Rahardjo Institute, Paper ini diperuntukkan untuk diskusi yang diadakan di Fakultas Ilmu
Budaya Unversitas Diponegoro Semarang, 30 April 2016. Segala pertanyaan maupun kritik dapat diarahkan
melalui surel: rianadhivira@gmail.com. Paper ini diunggah dengan beberapa perubahan.
2
Lihat Denny Indrayana. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, An Evaluation of Constitution-Making in
Transition. Kompas Book Publishing. Jakarta. 2008
3
Frank B. Cross. Constitutions and Religious Freedom. Cambridge University Press. New York. 2015
4

Ibid hlm 7
5
Ibid hlm 25 dalam artian bahwa golongan non-agama itu sendiri termaktub sebagai bagian dari hak atas
religiositas itu sendiri. Cross mencontohkan mengenai kasus yang terjadi di Amerika. Sementara untuk di
Indonesia, hal itu masih dapat dipertanyakan. Misalnya stigma atheis yang diberikan pada golongan komunis
yang menjadi dalil kekerasan dari ormas yang menggunakan simbol agama. Akan tetapi terdapat pula
beberapa pembacaan yang serupa dengan yang dicontohkan diatas, misalkan orang yang tidak memilki agama
sekalipun tetap memiliki hak hidup, sebagaimana diungkapkan oleh Buya Syafii Maarif. Untuk pendapat Buya

kebebasan beragama/berkeyakinan ini juga menimbulkan masalah lain, ketika berbenturan
dengan jenis hak-hak yang lain, yang biasanya diatasi melalui supremasi hukum negara yang
membatasi pengaturan internal agama. Supremasi negara ini juga dalam beberapa
kesempatan bersifat problematis, karena klaim dari posisi negara yang lebih superior juga
berpotensi melahirkan kebijakan diskriminatif, terutama kepada golongan minoritas.
Uniknya, agama dalam Indonesia Pasca-Soeharto, agaknya tidak dapat dilepaskan pula dari
kebangkitan politik identitas. Dengan kata lain, jatuhnya Soeharto bersamaan dengan ideologi
tunggalnya menyisakan pula kontradiksi, diperluasnya katup kebebasan pada satu sisi, dan
merebaknya politik identitas yang dibarengi dengan aksi kekerasan yang merupakan ekspansi
dari agama itu sendiri. Perihal terakhir itu, tidak diulas dalam tulisan ini.
Tentang Permasalahan Hak Beragama/Berkeyakinan: Kejahatan yang Legal?

Soal pengaturan dari agama dan negara terdapat beberapa klasifikasi. Pertama adalah opresi
secara langsung, sebagaimana dipraktikan oleh Nazi terhadap Yahudi. Kedua, adopsi hukum
negara dari aturan agama baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga, Regulasi Religius
yang berarti monitoring negara atas segenap agama maupun kepercayaan dengan
meregistrasikanya secara administratif. Keempat, favoritisme negara terhadap suatu
agama/kepercayaan tertentu, dalam bentuk bantuan keuangan, maupun penggunaan ritus
agama sebagai bagian dari ruang ke-publik-anya, seperti gereja atau masjid negara. 6
Beberapa klasifikasi tersebut dapat dipergunakan untuk meneropong posisi agama dan hukum
negara, hal ini erat berkaitan dengan masyarakat rentan yang telah ditampilkan dalam film
pendek dari yayasan Satunama.
Di Indonesia, pengaturan mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan dapat dilacak pada
UUD 1945 sebagai landasan konstitusi negara. Meskipun dalam praktiknya seringkali
disimpangi, namun konstitusi tetaplah penting, dalam artianya yang minimal, lebih baik
untuk hidup dalam satu kesepakatan dibandingkan dengan tidak ada samasekali yang lebih
rawan kondisi konflik.7 Ketentuan UUD 1945 mengenai agama yang tertuang dalam pasal 29
ayat 1 dan ayat 2, yang tidak mengalami perubahan adalah hasil dari kompromi tarik menarik
dalam hal hubungan agama dan negara itu.8 Hasil kompromi itu, melalui penghapusan tujuh
kata dipandang sebagai kekalahan golongan Islam dari golongan nasionalis dan Islam
moderat, meski perubahan susunan sila dan ketentuan Pasal 29 UUD kerap pula
dipergunakan sebagai dalil politik dari golongan Islam.

Pada amandemen kedua, kebebasan berkeyakinan dicantumkan dalam perluasan pasal 28,
yang sering disebut sebagai bill of rights punya Indonesia, yaitu pada Pasal 28E ayat 1 dan
ayat 2. Sebagaimana telah diutarakan diatas, kebebasan beragama bersinggungan dan
berbenturan dengan hak yang lain. Singgunganya antara lain terdapat pada Pasal 28 D ayat 1,
ayat 2, ayat 3, Pasal 28 E ayat 3, Pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 I ayat 2, ayat 3 dan khusus untuk
tersebut dapat diakses di http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/08/22/160932/buya-syafii-atheisberhak-hidup-asal
6
Ibid 34-57
7
Meski harus dicatat pula bahwa untuk sebagian kondisi, mengingat agama adalah kebenaran finalitas bagi
penganutnya, lebih baik tidak bersepakat sama sekali.
8
Op Cit. Denny Indrayana...

golongan masyarakat rentan, dimana kepercayaan adat adalah salah satunya, berhubungan
dengan affirmative action dalam Pasal 28 H ayat 2. Pada lain pihak, benturan sekaligus
bentuk dari posisi negara yang lebih tinggi dari hak-hak itu tercantum dengan Pasal 28 I ayat
5 dan Pasal 28 J ayat 2. Benturan sebagaimana dimaksud terakhir ini bermasalah karena pada
akhirya memiliki corak yang lebih kuat dibandingkan jaminan hak itu sendiri.
Dikatakan lebih kuat karena dalam ketentuan konstitusi tersebut menyiratkan bahwa untuk

hak-hak tersebut dapat berlaku, maka harus dibatasi dengan peraturan yang berlaku.
Pertanyaanya, peraturan apa yang membatasi hak hak tersebut agar dapat berlangsung secara
penuh? Meski supremasi hukum negara itu perlu,9 namun dalam konteks yang sama pula,
supremasi tersebut juga memiliki potensi diskriminatif, persis dari pembatasan yang
disebutkan itu tadi.
Salah satu bentuk dari pembatasan tersebut adalah UU No. 1/PNPS/1965. Peraturan tersebut
lahir dari perseteruan antara golongan muslim dan kelompok spiritual yang pada pokoknya
memberikan otoritas pada lima agama yang dianggap resmi untuk menentukan status
penyimpangan dari agamanya.10 Secara eksplisit penjelasan Pasal 1 UU a quo menyatakan
bahwa: Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Cu (Confucius). Sementara dalam penjelasan umum pada poin
kedua menyatakan mengenai makin banyaknya aliran/organisasi kebatinan/kepercayaan yang
menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama, yang berarti dapat dibaca pula peraturan
ini melawankan antara agama dan non-agama yang disertai dengan ancaman pidana. Dengan
kata lain, UU a quo ini adalah asal muasal daripada praktik diskriminasi agama-agama diluar
enam agama, persis melalui distingsi antara agama dan kepercayaan, yang kemudian distingsi
ini dipergunakan dalam peraturan-peraturan lain.
Dekade 1970an ditandai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 70/1978 tentang
Pedoman Penyiaran Agama yang berisikan ketentuan mengenai penyebaran agama dan
Keputusan Menteri Agama Nomor 77/1978 tentang Bantuan Keagamaan di Indonesia dan

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 1/1979 tentang Tatacara
Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di
Indonesia yang dituding condong untuk membatasi bantuan luar negeri kepada kegiatan
misionaris nasrani dibawah Kemenag yang berada dalam kontrol golongan Islam. Dua
9

Pembatasan terhadap kebebasan beragama, mengacu pada ODIHR sebagai berikut:
a. Diatur melalui hukum
b. Pembatasan dengan tujuan keamanan publik, kesehatan atau moral, atau HAM fundamental dan
kebebasan dari yang lain
c. Pembatasan tersebut memang dibutuhkan dan ditujukan sebagaimana mestinya secara proporsional
d. Pembatasan tidak dilakukan dengan tujuan diskriminatif
Lihat dalam Guidelines on the Legal Personality of Religious or Belief Communities. OSCE/ODIHR. Warsawa
Poland. 2014. Hlm 10-13
10
Pada masa sebelumnya, perdebatan meningkat diantara golongan muslim dan golongan kiri, sekaligus
golongan muslim dengan penganut kepercayaan. Pada masa Soeharto, belasan aliran kepercayaan dinyatakan
dilarang, dan pada saat bersamaan Orba menolak untuk melakukan rehabilitasi Masyumi. Lihat dalam Robert
W. Heffner. The Study of Religious Freedom in Indonesia. The Review of Faith & International Affairs, Vol 11:2.
2013 lihat juga Myengkyo Seo. Defining in Indonesia: toward neither an Islamic nor a secular state. Citizenship

Studies, Vol 16:8. 2012. Hlm 1045-1058

pengaturan terakhir itu pada intinya mengharuskan persetujuan dari kemenag untuk
melakukan kontrol atas bantuan dari asing. Paling mencolok dari dekade ini adalah UU No.
1/1974, meskipun berkesan minimal dan menggantikan pengaturan mengenai perkawinan
sejauh diatur di dalamnya,11 pengakuan mengenai kepercayaan diatur dala Pasal 2 ayat (1)
dan (2). Jadi sejauh dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya
dan dicatatkan, maka status perkawinan adalah sah, yang berarti dalam konteks ideal dari
pengaturan a quo, pernikahan adat juga sah sejauh dicatatkan. Tapi bukan berarti masalah
selesai karena yang boleh dicatatkan adalah yang terdaftar.
Pasca reformasi, meski terlambat, Indonesia meratifikasi kovenan sipil dan politik dalam UU
12/2005 yang di dalamnya mengatur pula ketentuan mengenai kebebasan beragama sebagai
bagian dari golongan hak yang tidak dapat ditunda pemenuhanya (non-derrogable rights).
Sebelumnya pengaturan yang serupa mengenai HAM yang cukup luas diatur dalam UU
39/1999 termasuk di dalamnya hak berkeyakinan dalam pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), juga
jenis hak-hak lain yang merupakan turunan dari pasal 28 UUD. Meski dengan kemajuan yang
cukup berarti, juga dengan adanya pengaturan UU 39/1999 sebagai UU payung beserta
ratifikasi kovenan sipol, klausula dibatasi oleh UU, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
masih berkesan lebih kuat. Akan tetapi, merebak dan bertambah luasnya ketersediaan
pengaturan mengenai HAM yang terdapat dalam ratifikasi sipol maupun UU 39/1999 harus

diterapkan dengan cara baca yang sama dengan pembacaan hak-hak di Konstitusi, bahwa
hak-hak tersebut hanya dan baru dapat berlaku dalam pembatasan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang. Sialnya, tidak ada kejelasan mengenai pembatasan macam apa yang
diperbolehkan oleh ketentuan sapu jagat dari Pasal 73 UU a quo, sebagaimana pula Pasal 28
huruf J ayat 2, atau singkatnya, tidak ada pembatasan tentang pembatasan. Hal ini
menyebabkan Negara bisa saja sewaktu-waktu menciptakan hukum yang melanggar prinsipprinsip hak yang diutarakan oleh aturan-aturan penjamin hak, sehingga membuat diskriminasi
maupun pembedaan perlakuan itu menjadi sah adanya. Penindasan yang legal.
Untuk menunjukan dampak korosif dari campur tangan Negara terhadap hak religius, Film
dari Yayasan Satunama dengan tepat menunjukan contoh-contoh yang tepat. Pada bagian
pertama, film ini menceritakan tentang masyarakat Sedulur Sikep, Samin,yang dahulu
diinisiasi oleh Mbah Samin Surosentiko, yang turut berjuang melawan pemerintahan kolonial
Belanda, dimana ironisnya, masyarakat masih belum diakui secara penuh. Kini, perkawinan
adat Sikep tidak diakui oleh pemerintah dan anak-anak yang lahir dicatatkan sebagai anak
luar kawin, yang tentunya sangat menyakitkan bagi masyarakat Sedulur Sikep. Bagian kedua
tentang agama Parmalim Medan, agama purba Batak. Masyarakat mengeluhkan tentang strip
kosong di KTP, juga ketidaksingkronan dengan Adminduk, dan warga yang menghadapi
urusan administrasi beberapa diantaranya justru diminta untuk memilih enam agama saja.
Salah satu tokoh Parmalin mengatakan bahwa peraturan yang ada hanya untuk pemeluk
agama, sedangkan Parmalin dianggap sebagai kepercayaan. Bagian ketiga tentang
11


Dikatakan minimal karena hanya mengakui kepercayaan pada tingkat syarat sah-nya saja. Sedangkan untuk
pembagian waris (kecuali waris Islam), harta bersama, kedudukan laki-laki kepala keluarga, dan lain sebagainya
bersifat mengatasi dari pengaturan lain, meski dalam konteks keperdataan seseorang dapat memilih hukum
yang dianut olehnya.

masyarakat Marapu, menyesalkan bahwa anak-anak mereka pergi bersekolah kemudian
berpindah agama, yang membuat agama Marapu terancam punah. Guru di sekolah dasar
meminta untuk menunjukan surat baptis. Masyarakat menghendaki agar di sekolah, dapat
diajarkan mengenai agama Marapu. Bagian kelima tentang Ugamo Bangso Batak, agama asli
dari masyarakat Batak. Ketika hendak melamar pekerjaan, masyarakat mengalami kesulitan
karena tidak terdapat ketentuan administrative tentang agama kepercayaan. Bagian enam
tentang masyarakat Bayan. Mereka menghadapi stigma sebagai orang syirik, karena ritual
yang dianggap berbeda dari agama Islam. Pernah suatu kali situs-situs adat dibakar dan harus
menjalankan ritual secara sembunyi-sembunyi. Bagian ketujuh megenai Paguyuban Eklasing
Budi Murka, karena peristiwa G30S, penganut aliran turut dituduh sebagai Atheis, sehingga
mereka diharuskan untuk memilih salah satu agama. Meski telah ada surat edaran, namun
warga masih merasa ketakutan kalau-kalau akan menimbulkan konflik, celaan, atau
gangguan. Bagian terakhir tentang masyarakat Sapta Darma di Brebes. Pada suatu
kesempatan, warga tidak diijinkan untuk menggunakan pemakaman umum karena merupakan

pengikut Sapta Darma.
Tampak jelas dengan pola pengaturan diatas, regulasi religius dan terutama favoritisme
agama, yaitu enam agama terutama Islam. Pada praktiknya, masalah yang terdapat dalam
tabel tersebut tidaklah semudah yang diutarakan, bahkan ketika hukum positif telah
memberikan jaminan, implementasi dari aparat yang menegakkanya adalah hal yang lain,
begitupula dengan ketentuan pidana yang lebih mudah diterapkan pada penisataan terhadap
enam agama yang mengancam agama-agama/kepercayaan minoritas. Pada kesimpulanya,
pola supervisi negara terhadap agama di Indonesia masih menjadi masalah sejauh distingsi
antara agama dan kepercayaan masih dipergunakan terutama dalam rezim administrasi.
Soal masalah distingsi agama dan kepercayaan, itu kembali muncul pada UU 23/2006
Tentang Administrasi Kependudukan. Konsekuensinya, penghayat kepercayaan atau yang
agamanya belum diakui, dapat dikosongkan kolomnya. Hal yang sama dapat ditemukan pula
pada UU 24/2013 sebagai UU Perubahan. Akibatnya, pada satu sisi, bagi penghayat agama
kepercayaan yang belum diakui oleh negara tetap dilayani, namun pada sisi lain, apakah
kepercayaan yang belum diakui itu pada dirinya turut menentukan sah tidaknya perkawinan
yang bertumpu pada agama dan kepercayaan subyek hukumnya? Karena hanya apabila
agama kepercayaan itu diakui, ketentuan Pasal 81 dalam PP 37/2007 berlaku.12
Tidak diakuinya suatu agama kepercayaan dengan demikian memiliki akibat hukum berupa
tidak dapat diberlakukan pencatatan. Namun menurut saya, yang lebih menyakitkan adalah
tidak diakuinya agama sebagai bagian dari identitas yang diyakininya yang dimana

12

Pasal 81 PP 27/2007:
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan.
(2)Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan
oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan
Penghayat Kepercayaan.
(3)Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian
yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.

religiusitas itu lebih besar dari dirinya sendiri. Jalan lain adalah, daripada Negara mengurusu
perihal yang bersifat magis dan amat personal ini, bukankah lebih baik apabila Negara
melepaskan dirinya dari permasalahan agama, yang dengan demikian, agama-agama yang
ada tidak perlu mencatatkan dirinya, melainkan sudah secara otomatis terakui sebagai
warganegara yang setara dan memiliki hak-hak yang sama. Tugas Negara, dengan demikian,
adalah semata-mata sebagai tukang catat sensus. Melalui perspektif ini, apabila seseorang
berhadapan dengan urusan administrasi, Negara harus melihatnya sebagai anggota dari
warganegara, dan bukan melakukan distingsi antara agama dan kepercayaan.
Sebagai pembanding, Pemerintahan Kanada baru-baru ini secara formil mengajukan
permintaan maaf terhadap suku Indian, dimana anak-anak warga asli Indian diambil dari
keluarganya, dipaksa untuk mengikuti sekolah dan ditempatkan tersebar di Kanada, serta
dilarang untuk menggunakan bahasa atau mengekspresikan kebudayaan. Pada tahun 2015,
pemerintahan Kanada telah membentuk tim KKR dan mengakui bahwa kebijakan pada masa
itu, negara telah melakukan apa yang disebut sebagai Genosida Budaya.13 Pola yang muncul
adalah agama beserta warga pendatang melakukan ekspansi fisik maupun kebudayaan, dan
kemudian berlanjut dalam bentuk-bentuk kebijakan maupun praktik diskriminatif. Di
Indonesia, kesadaran tentang hal tersebut masih jauh kiranya. Agama-kepercayaan lokal kian
terdesak karena tidak memiliki akses dan diperburuk dengan keberpihakan Negara terhadap
enam agama, sebagaimana ditampakan dalam Film Yayasan Satunama, bukankah hal itu juga
satu bentuk genosida budaya dibawah rezim tirani mayoritas atas nama Negara hukum dan
demokrasi? Lebih jauh lagi, apabila nanti memang kelak akan nada pembatasan atas
pembatasan dengan diakuinya hak-hak masyarakat penghayat, akankah secara otomatis turut
menjamin pula keamanan dan kenyamanan warga penghayat dari misi-misi dakwah maupun
stigma sebagai orang kafir dan atheis dari agama mayoritas?
Pertanyaan lainya, apabila hendak konsisten dengan pembacaan mengenai kebebasan
berkeyakinan sebagai suatu hak, dalam konteks pengaturan yang diskriminatif, bahkan
apabila bertentangan dengan peraturan tertulis sekalipun, tetap memiliki dimensi dari HAM,
yaitu sebagai ketentuan hukum yang berlaku (rule of law sebagai bagian dari prinsip human
rights). Disini, konteksnya bukan lagi pemenuhan hak, melainkan rekognisi atas hak itu
sendiri.
Catatan: Agama Adat/Lokal dan Ekspansi Pasar
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan agama kepercayaan adat hanya dari satu segi saja,
yaitu hukum semata. Topik yang ada dalam tulisan ini pun, lebih kepada konflik yang bersifat
langsung, baik praktik/kebijakan diskriminatif maupun kekerasan. Sementara, pada
kenyataanya terdapat pula satu ancaman yang nyata dan halus sifatnya, yaitu agama dari
dimensi ekonomi. Misalkan, apakah masih relevan membicarakan agama adat/lokal,
sedangkan di lain pihak, struktur ekonomi produksi, yang merupakan determinan utama dari
13

Honouring the Truth, Reconciling for the Future, Summary of the Final Report of the Truth and Reconciliation
Commission of Canada. The Truth and Reconciliation Commission of Canada. 2015 lihat juga John Reyhner &
Navin Kumar Singh. Cultural Genocide in Australia, Canada, New Zealand, and the United States: The
Destruction and Transformation of Indigineous Cultures. Indigenous Policy Journal Vol XXI No . 4 Winter 2010.

agama adat/lokal itu sendiri kian terancam melalui ekspansi pasar. Agama adat yang
bertumpu pada kelestarian hutan misalnya, sementara kebebasan beragama terus
dikampanyekan, apakah relevan apabila hutan yang menjadi naungan kearifan dan nilai
religiusnya telah habis pohonya oleh ekspansi pasar? Bagaimana seseorang dapat melakukan
pemujaan terhadap dewi kesuburan, sementara tanahnya telah dicemari limbah pabrik yang
bekerja atas nama kemajuan? Bagaimana seseorang menghayati kuasa dari sang laut,
sementara ikan tangkapanya telah rusak ekosistemnya oleh kapal-kapal besar? Argumen ini,
merupakan hal yang tidak tercakup dalam tulisan ini dan menarik kiranya apabila dielaborasi
lebih jauh.