Buku dalam Perspektif Katolik Perjalanan
BUKU DALAM PERSPEKTIF KATOLIK:
PERJALANAN BUKU DAN SISI GELAPNYA
(PART 1)
Umat Katolik sering disebut Gereja yang Berziarah, karena kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan
karenanya kita harus mengarahkan seluruh hidup kita untuk menggapai kebahagiaan kekal di Surga. Namun,
kita juga merupakan Gereja Militan (Gereja yang Berjuang), karena dalam pendakian kita menuju bukit Allah,
akan selalu ada kekuatan jahat, gaya gravitasi yang selalu berusaha menarik kita ke bawah, menjauhi Allah dan
berusaha menawan kita dalam Neraka.
Proses pendakian menuju bukit Allah ini merupakan simbol yang menggambarkan panggilan setiap orang
Katolik, yakni berusaha untuk menjadi kudus. Ada banyak hal yang dapat menjadi teman perjalanan kita
menuju kekudusan, namun saat ini saya ingin membahas salah satu teman dekat kita yang mungkin sering
dilupakan atau diabaikan, yakni buku. Secara khusus, yang saya maksud adalah buku-buku rohani yang
bernafaskan iman Katolik.
Saya akan membagi tulisan ini menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, saya hendak memberikan sketsa
historis tentang bagaimana terbentuknya sebuah buku sepanjang sejarah. Saya tidak bermaksud untuk
membahas secara komprehensif (pembaca yang berminat mendalami topik tersebut akan diberikan referensi
untuk mempelajarinya sendiri), namun hanya akan menjelaskannya secara umum dari perspektif Katolik.
Pada bagian kedua, akan dibahas tentang apa itu bacaan rohani dan mengapa umat Katolik memerlukan
bacaan rohani. Akan dibahas juga manfaat dari membaca buku rohani dengan mengambil beberapa contoh
dari orang Kudus. Lalu saya juga akan menyinggung secara singkat berbagai genre buku rohani, serta
memberikan beberapa buku yang dapat digunakan sebagai bacaan rohani seumur hidup.
Perkembangan Tradisi Lisan menjadi Tulisan
“Iman timbul dari pendengaran”, demikian perkataan St.
Paulus. Pada jaman umat Kristen perdana, mereka belum
memiliki Kitab Suci seperti yang dimiliki oleh kita
sekarang. Yesus tidak pernah menuliskan pengajarannya,
bahkan tidak pernah meminta para murid untuk
menuliskannya. Yesus memberikan pengajarannya
melalui perkataan dan perbuatan-Nya.
Begitu pula halnya dengan para rasul, yang mewartakan
ajarannya secara lisan. Pewartaan mereka inilah yang
kemudian berperan sebagai “jala” yang menarik banyak
orang untuk bertobat dan mengikuti Kristus. Apa yang
diwartakan secara lisan ini kemudian dituliskan pada
jemaat di wilayah tertentu saja. Misalnya, surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, hanya dibaca dan
diwartakan bagi orang Kristen di Roma saja. Kitab Suci sendiri baru dikanonkan secara kolektif menjadi satu
buku yang terdiri dari berbagai buku pada abad ke-4 oleh otoritas Gereja.
Penyalinan Manuskrip: Usaha Merawat Memori
Sekalipun sudah terlihat adanya upaya untuk menuliskan
perkataan lisan menjadi tulisan, namun tidak semua orang
memiliki akses terhadap tulisan-tulisan tersebut. Praktek
menyalin manuskrip untuk disimpan dalam perpustakaan dapat
dilacak sampai ke tradisi di biara-biara monastik di Timur
(Mesir, Yunani) maupun di Barat. Contohnya ialah aturan St.
Benediktus (Rule of St. Benedict), yang secara eksplisit
mengatakan bahwa para rahibnya harus memiliki akses terhadap
buku-buku selama dua jam setiap harinya untuk membaca buku.
Untuk memperoleh buku dalam jumlah besar, maka satu-satunya
cara ialah hanya dengan menyalinnya, karena pada masa itu
belum ditemukan mesin cetak. Proses penyalinan juga dilakukan
menggunakan manuskrip (Manuskrip merupakan buku yang
ditulis tangan di atas material yang fleksibel. Salah satu bentuk
manuskrip ialah perkamen, sebuah bahan yang terbuat dari kulit
hewan seperti domba atau kambing) dan bukan kertas seperti
yang kita gunakan sekarang.
Proses penulisan atau penyalinan ini dikerjakan oleh para rahib monastik di biara mereka. Mereka bekerja
dalam ruang khusus yang disebut skriptorium (secara harafiah berarti tempat untuk menulis), yang lokasinya
dekat dengan perpustakaan biara tersebut. Berbagai manuskrip yang disalin biasanya terdiri dari Kitab Suci,
tulisan Bapa Gereja, komentar terhadap ayat-ayat Kitab Suci, riwayat hidup orang kudus, sejarah gereja, bukubuku liturgi dst termasuk juga buku-buku yang ditulis oleh kaum pagan dan filsuf.
Meskipun demikian, keberadaan perpustakaan yang menyimpan banyak manuskrip sempat dihancurkan oleh
invasi kaum Barbar, namun tidak semua perpustakaan berhasil dilenyapkan. Melalui kerja keras para rahiblah,
maka teks-teks kuno warisan masa lalu masih terpelihara dan dapat diselamatkan.
Para rahib tidak sekedar menyalin sebuah teks atau naskah, namun mereka juga memberikan hiasan berwarnawarni berupa gambar visual yang membuat sebuah manuskrip menjadi sangat indah. Biasanya hiasan tersebut
dapat berupa tanaman, bunga, atau adegan suatu peristiwa, yang ditempatkan di awal suatu tulisan, di tepi
halaman, atau pada satu huruf di awal paragraf.
Manuskrip yang memiliki hiasan visual tersebut sering disebut dengan illuminated manuscript. Proses untuk
menciptakan sebuah naskah yang sangat indah ini tentu membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak
sedikit, bahkan hal tersebut dapat membahayakan kesehatan para rahib yang bertugas menyalin sebuah
naskah. Bayangkan saja, seandainya apa yang mereka salin merupakan Kitab Suci, tentunya proses penyalinan
dan pemberian hiasan visual yang sangat indah dan detail tersebut tentu memerlukan sebuah ketelitian,
kesabaran, dan tenaga yang cukup besar. Berikut ini beberapa contohilluminated manuscript lainnya:
Menjelang abad 12-13, proses penyalinan buku juga dilakukan di universitas yang dikerjakan oleh orang awam
(yang juga berprofesi sebagai penjual buku) dan tidak lagi didominasi oleh para rahib monastik. Melalui
pekerjaan menyalin manuskrip ini mereka juga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sebelum ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada abad ke-15, maka illuminated
manuscript (sederhananya kita sebut saja buku) merupakan benda yang langka dan mahal, sehingga tidak
dapat dimiliki oleh semua orang. Namun kemudahan yang diberikan oleh mesin cetak membuat proses
penyalinan dan penyebaran buku pun menjadi mudah. Buku, yang pada awalnya hanya berjumlah sedikit dan
disimpan dalam beberapa perpustakaan, kini dapat dicetak dalam jumlah besar serta dapat diakses oleh
semakin banyak orang. Proses penyalinan atau penulisan buku pun tidak lagi terbatas pada pekerjaan rahib
saja.
Penyensoran Buku: Kemunculan Indeks Buku Terlarang
Buku memang mengandung segudang informasi yang dapat
membuka cakrawala pikiran dan memperkuat iman.
Namun, ada juga buku-buku yang ternyata mengandung
racun kesesatan dan karenanya membahayakan iman. Oleh
karena itulah, Gereja Katolik pernah mengeluarkan
Daftar/Indeks Buku Terlarang (Index Librorum
Prohibitom), yang isinya memuat katalog buku-buku yang
mengandung kesesatan, menghancurkan moral, menyerang
ajaran Gereja dan Paus, memuat materi yang bersifat
pornografi, dst. Buku-buku terlarang tersebut juga ada yang
dihancurkan dengan cara dibakar.
Indeks Buku Terlarang ini pertama kali dipromulgasikan
oleh Paus Paulus IV pada tahun 1559. Tujuan dari
dikeluarkannya Indeks tersebut ialah untuk melindungi iman dan moral umat Katolik dari berbagai kesesatan
dengan mencegah mereka membaca buku-buku berbau bidaah dan imoral. Karena saat itu Gereja juga
berhadapan dengan Reformasi Protestan, maka terdapat berbagai terjemahan Kitab Suci yang tidak akurat dan
karenanya dapat diartikan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Selain itu, tulisan para pendiri
Protestan yang menyerang Gereja Katolik pun juga dengan mudah dapat disebarluaskan.
Hal tersebut dapat kita lihat sebagai sesuatu yang baru, padahal
kalau kita melihat ke sejarah gereja yang awal, katakanlah saat
Konsili Nicea tahun 325 yang menegaskan ajaran tentang
Keallahan Yesus, perbuatan untuk menyatakan suatu tulisan
atau pernyataan sebagai kesesatan dan membakar buku-buku
yang membahayakan iman sebenarnya sudah dilakukan.
Namun, penerbitan sebuah Daftar Buku Terlarang serta upaya
untuk menyaring dan memeriksa buku secara sistematis baru
dilakukan pada waktu itu.
Seiring berjalannya waktu, maka tugas untuk memeriksa dan
melarang buku-buku yang beredar diserahkan kepada Sacred
Congregation of Index of Forbidden Books,yang terdiri dari para kardinal yang bertugas menjalankan fungsi
pemeriksaan dan pennyensoran konten buku-buku Katolik. Penyensoran dilakukan dalam dua cara, pertama
penyensoran terjadi sebelum buku diterbitkan. Kedua, penyensoran dilakukan dengan cara melarang bukubuku yang sudah diterbitkan.
Gereja tidak semata-mata melarang dan menghukum penulis buku-buku yang bermasalah, namun ia juga
memberikan kesempatan bagi para penulis tersebut untuk membela bukunya dan berdiskusi dengan
anggotaSacred Congregation of Index. Terdapat kemungkinan untuk menerbitkan kembali buku yang
didiskusikan dalam edisi baru, bila ternyata antara Kongregasi Suci dan penulis sepakat untuk memberikan
koreksi atau tambahan pada edisi yang baru. Singkatnya, buku yang diterbitkan kembali haruslah buku yang
bebas dari kesalahan dan telah menjalani proses “pemurnian”. Tidak semua halaman pada buku yang terdapat
dalam Indeks mengandung kesesatan. Bisa jadi ada juga buku-buku yang secara umum tidak berbahaya,
namun mengandung kekeliruan teologis yang perlu dikoreksi.
Edisi terakhir dari Indeks Buku Terlarang dikeluarkan pada tahun 1948. Kemudian, Paus Paulus VI
menghapuskan penggunaan Indeks Buku Terlarang ini pada tanggal 14 Juni 1966. Hal ini dapat kita mengerti,
mengingat sekarang buku dapat dicetak dan diperjualbelikan dengan mudah, sehingga sangatlah tidak
mungkin untuk mengawasi dengan cermat berbagai buku-buku Katolik yang beredar di seluruh dunia.
Penyensoran Buku di Jaman Modern.
Meskipun demikian, bukan berarti fungsi pengawasan doktrinal dan moral tersebut berhenti secara total.
Ketika Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) menjabat sebagai Prefek Kongregasi
Ajaran Iman, ia mengeluarkan notifikasi mengenai buku yang diterbitkan beberapa penulis oleh Rm. Anthony
de Mello SJ, Leonardo Boff, John Sobrino SJ, dst, yang menjelaskan bahaya buku-buku ini bagi iman Katolik.
Bahkan, Kongregasi Ajaran Iman pun tidak ragu untuk melarang para teolog mengajar teologi di universitas.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam lingkup yang sangat terbatas, Gereja pun masih sangat
peduli untuk melindungi iman umat Katolik.
Pada tingkat lokal, sebenarnya fungsi pengawasan tersebut tetap ada. Orang Katolik tentu cukup familiar
dengan istilah nihil obstat dan imprimatur. Nihil obstat berarti bahwa dalam buku tersebut tidak terdapat halhal yang membahayakan iman dan moral, sedangkan imprimatur berarti bahwa sebuah buku memperoleh ijin
untuk dicetak. Dengan demikian, bila sebuah buku Katolik sudah memperoleh kedua hal tersebut, maka buku
tersebut layak dan aman untuk dibaca. Benarkah demikian?
Menurut pengamatan saya, kenyataannya tidaklah demikian. Saya pernah menemukan beberapa buku yang
digunakan sebagai buku pegangan katekumen, ternyata mengandung kesalahan yang sangat fatal dalam hal
ajaran iman, padahal buku tersebut sudah mendapat nihil obstat danimprimatur. Ini artinya umat Katolik
Indonesia dituntut untuk memperkaya diri dengan bacaan teologis yang bermutu dan setia terhadap
Magisterium, sehingga ia dapat membaca buku dengan kritis.
Penutup: Buku yang Membunuh atau Menyelamatkan
Berdasarkan tur sejarah buku yang kita lakukan, maka kita dapat melihat betapa buku sungguh dapat
berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Secara khusus, kita belajar dari sejarah bahwa terdapat bukubuku yang membahayakan iman dan moral, dan karenanya Gereja harus bertindak dengan tegas menangani
hal tersebut. Oleh karena itu, tepatlah bila St. Alphonsus Maria Liguori berkata demikian: Seperti buku-buku
yang buruk bila dibaca dapat memenuhi pikiran dengan gagasan yang beracun dan
duniawi, maka membaca buku-buku yang saleh dapat memenuhi pikiran dengan keinginan yang baik dan
pikiran yang suci.
Namun seperti apakah buku yang baik, yang mampu mengubah seseorang secara utuh dan karenanya menjadi
sarana untuk menyelamatkan manusia? Tunggu bagian kedua dari tulisan ini untuk mendapatkan jawabannya!
Referensi
Catholic Encyclopedia: Cencorship of Books
Catholic Encyclopedia: Illuminated Manuscript
Catholic Encyclopedia: Index of Forbidden Books
Catholic Encyclopedia: Theological Censures
Apendiks: Beragam Kategori Sensor Teologis
Penyensoran secara teologis merupakan upaya Gereja untuk menyaring dan memberikan stigma atau menilai
suatu tulisan atau pernyataan, apakah berbahaya bagi iman dan moral Katolik atau tidak. Hak untuk
melakukan sensor ini berasal dari perkataan St. Paulus, yang menyatakan anathema (yang berarti terkutuklah)
bagi mereka yang mewartakan Injil Kristus secara berbeda atau bertentangan dengan yang diwartakan para
rasul (bdk. Gal 1:8).
Menurut Beato Henry Newman, Magisterium Gereja memang bertindak dengan dua cara, pertama dengan
pernyataan yang menyatakan kebenaran secara langsung, kedua melalui pengutukan kekeliruan. Hak untuk
melakukan hal tersebut ada pada Gereja, dan dapat diungkapkan dengan berbagai cara, entah melalui paus,
konsili, kongregasi romawi, universitas, komisi khusus bahkan uskup.
Berikut ini adalah beberapa kategori yang digunakan Gereja dalam member label suatu tulisan atau pernyataan
(secara lengkap bisa dibaca di Ensiklopedia Katolik: Theological Censures). Terkadang, belum tentu sebuah
buku selalu diberi kategori misalnya sesat atau keliru, bisa saja hanya beberapa pernyataan dalam buku
tersebut yang diberikan kategori. Namun saya tidak akan membahas semuanya, hanya memberikan sedikit
contohnya saja. Secara umum, suatu tulisan yang membahayakan iman dapat dibagi dalam tiga kategori
berdasarkan tingkat yang paling berat hingga ringan:
(1) Hæretica (heresi atau bidaah atau sesat), erronea (keliru atau salah), hæresi proxima (mendekati bidaah
atau heresi), errori proxima (mendekati keliru), dst.
Sebuah proposisi atau pernyataan diberi label haeretica bila ia menentang dogma Gereja yang infalibel secara
langsung; kategori erronea diberikan pada sebuah proposisi yang bertentangan dengan suatu kesimpulan
teologis yang ditarik dari artikel iman atau akal budi. Suatu pernyataan diberi katgori haeresi proxima bila
oposisi pernyatan tersebut terhadap dogma tidaklah jelas atau kurang pasti, karena bisa saja terdapat suatu
pernyataan yang secara jelas tidak dapat disebut sesat atau keliru; sedangkan kategori errori
proxima diberikan bila suatu pernyataan itu bertentangan dengan opini umum yang dianut oleh mayoritas
teolog.
(2) Ambigua (ambigu atau bermakna ganda), captiosa (bermakna luas), male sonans (terdengar jahat),piarum
aurium (ofensif bila didengar orang-orang saleh – offensive to pious ears), dst.
Sebuah pernyataan diberi kategori ambigua bila penyusunan kata-katanya menimbulkan dua arti atau lebih, di
mana salah satu artinya dapat bertentangan dengan ajaran iman; kategori captiosadiberikan pada pernyataan
yang menggunakan kata-kata yang baik dan dapat diterima, dengan tujuan mengungkapkan sebuah keberatan
terhadap ajaran iman. Kategori male sonans diberikan pada pernyataan yang kata-kata yang improper (kurang
pantas) digunakan untuk mengungkapkan kebenaran iman yang diterima umat Katolik; sedangkan
kategori piarum aurium diberikan pada pernyataan yang walaupun maknanya secara terbuka tidak
bertentangan dengan iman, namun tetap ada kesan bahwa ada sesuatu yang salah atau kurang layak dalam
pernyataan tersebut.
(3) Subsannativa religionis (mengolok-olok agama), decolorativa canodris ecclesiae (memperburuk
keindahan Gereja), subersiva hierarchiae (bersifat memberontak terhadap hirarki), eversiva
regnorum(bersifat menghancurkan pemerintahan gerejawi), scandelosa, perniciosa, periculosa in
moribus(bersifat skandal, merusak secara terselubung, berbahaya bagi moral), blasphema, idolatra,
superstisiosa, magica (bersifat menghujat, mengarah pada penyembahan berhala, tahayul, sihir), arrogans,
acerba (arogan, kasar), etc.
Kategori di atas diarahkan pada pernyataan yang menyerang agama, kekudusan gereja, kesatuan pemerintahan
gerejawi dan hirarki, masyarakat sipil, moral secara umum, kebajikan agama, sikap lembut (meekness) secara
Kristiani, dan secara khusus kerendahan hati.
Bila kita perhatikan, ada begitu banyak kategori yang sangat spesifik berbicara tentang hal yang
membahayakan iman. Menurut saya, apa yang dapat kita pelajari dari banyaknya kategori sensor teologis ialah
ini: bahwa kesesatan atau kekeliruan itu memiliki berbagai bentuk, yang sekilas dapat terlihat sebagai sesuatu
yang baik dan benar, padahal di dalamnya terdapat racun yang berbahaya. Oleh karena itu, sungguh layak dan
sepantasnya bila dalam membaca buku-buku Katolik, kita pun juga bersikap kritis terhadap kontennya.
PERJALANAN BUKU DAN SISI GELAPNYA
(PART 1)
Umat Katolik sering disebut Gereja yang Berziarah, karena kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan
karenanya kita harus mengarahkan seluruh hidup kita untuk menggapai kebahagiaan kekal di Surga. Namun,
kita juga merupakan Gereja Militan (Gereja yang Berjuang), karena dalam pendakian kita menuju bukit Allah,
akan selalu ada kekuatan jahat, gaya gravitasi yang selalu berusaha menarik kita ke bawah, menjauhi Allah dan
berusaha menawan kita dalam Neraka.
Proses pendakian menuju bukit Allah ini merupakan simbol yang menggambarkan panggilan setiap orang
Katolik, yakni berusaha untuk menjadi kudus. Ada banyak hal yang dapat menjadi teman perjalanan kita
menuju kekudusan, namun saat ini saya ingin membahas salah satu teman dekat kita yang mungkin sering
dilupakan atau diabaikan, yakni buku. Secara khusus, yang saya maksud adalah buku-buku rohani yang
bernafaskan iman Katolik.
Saya akan membagi tulisan ini menjadi dua bagian. Pada bagian pertama, saya hendak memberikan sketsa
historis tentang bagaimana terbentuknya sebuah buku sepanjang sejarah. Saya tidak bermaksud untuk
membahas secara komprehensif (pembaca yang berminat mendalami topik tersebut akan diberikan referensi
untuk mempelajarinya sendiri), namun hanya akan menjelaskannya secara umum dari perspektif Katolik.
Pada bagian kedua, akan dibahas tentang apa itu bacaan rohani dan mengapa umat Katolik memerlukan
bacaan rohani. Akan dibahas juga manfaat dari membaca buku rohani dengan mengambil beberapa contoh
dari orang Kudus. Lalu saya juga akan menyinggung secara singkat berbagai genre buku rohani, serta
memberikan beberapa buku yang dapat digunakan sebagai bacaan rohani seumur hidup.
Perkembangan Tradisi Lisan menjadi Tulisan
“Iman timbul dari pendengaran”, demikian perkataan St.
Paulus. Pada jaman umat Kristen perdana, mereka belum
memiliki Kitab Suci seperti yang dimiliki oleh kita
sekarang. Yesus tidak pernah menuliskan pengajarannya,
bahkan tidak pernah meminta para murid untuk
menuliskannya. Yesus memberikan pengajarannya
melalui perkataan dan perbuatan-Nya.
Begitu pula halnya dengan para rasul, yang mewartakan
ajarannya secara lisan. Pewartaan mereka inilah yang
kemudian berperan sebagai “jala” yang menarik banyak
orang untuk bertobat dan mengikuti Kristus. Apa yang
diwartakan secara lisan ini kemudian dituliskan pada
jemaat di wilayah tertentu saja. Misalnya, surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, hanya dibaca dan
diwartakan bagi orang Kristen di Roma saja. Kitab Suci sendiri baru dikanonkan secara kolektif menjadi satu
buku yang terdiri dari berbagai buku pada abad ke-4 oleh otoritas Gereja.
Penyalinan Manuskrip: Usaha Merawat Memori
Sekalipun sudah terlihat adanya upaya untuk menuliskan
perkataan lisan menjadi tulisan, namun tidak semua orang
memiliki akses terhadap tulisan-tulisan tersebut. Praktek
menyalin manuskrip untuk disimpan dalam perpustakaan dapat
dilacak sampai ke tradisi di biara-biara monastik di Timur
(Mesir, Yunani) maupun di Barat. Contohnya ialah aturan St.
Benediktus (Rule of St. Benedict), yang secara eksplisit
mengatakan bahwa para rahibnya harus memiliki akses terhadap
buku-buku selama dua jam setiap harinya untuk membaca buku.
Untuk memperoleh buku dalam jumlah besar, maka satu-satunya
cara ialah hanya dengan menyalinnya, karena pada masa itu
belum ditemukan mesin cetak. Proses penyalinan juga dilakukan
menggunakan manuskrip (Manuskrip merupakan buku yang
ditulis tangan di atas material yang fleksibel. Salah satu bentuk
manuskrip ialah perkamen, sebuah bahan yang terbuat dari kulit
hewan seperti domba atau kambing) dan bukan kertas seperti
yang kita gunakan sekarang.
Proses penulisan atau penyalinan ini dikerjakan oleh para rahib monastik di biara mereka. Mereka bekerja
dalam ruang khusus yang disebut skriptorium (secara harafiah berarti tempat untuk menulis), yang lokasinya
dekat dengan perpustakaan biara tersebut. Berbagai manuskrip yang disalin biasanya terdiri dari Kitab Suci,
tulisan Bapa Gereja, komentar terhadap ayat-ayat Kitab Suci, riwayat hidup orang kudus, sejarah gereja, bukubuku liturgi dst termasuk juga buku-buku yang ditulis oleh kaum pagan dan filsuf.
Meskipun demikian, keberadaan perpustakaan yang menyimpan banyak manuskrip sempat dihancurkan oleh
invasi kaum Barbar, namun tidak semua perpustakaan berhasil dilenyapkan. Melalui kerja keras para rahiblah,
maka teks-teks kuno warisan masa lalu masih terpelihara dan dapat diselamatkan.
Para rahib tidak sekedar menyalin sebuah teks atau naskah, namun mereka juga memberikan hiasan berwarnawarni berupa gambar visual yang membuat sebuah manuskrip menjadi sangat indah. Biasanya hiasan tersebut
dapat berupa tanaman, bunga, atau adegan suatu peristiwa, yang ditempatkan di awal suatu tulisan, di tepi
halaman, atau pada satu huruf di awal paragraf.
Manuskrip yang memiliki hiasan visual tersebut sering disebut dengan illuminated manuscript. Proses untuk
menciptakan sebuah naskah yang sangat indah ini tentu membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak
sedikit, bahkan hal tersebut dapat membahayakan kesehatan para rahib yang bertugas menyalin sebuah
naskah. Bayangkan saja, seandainya apa yang mereka salin merupakan Kitab Suci, tentunya proses penyalinan
dan pemberian hiasan visual yang sangat indah dan detail tersebut tentu memerlukan sebuah ketelitian,
kesabaran, dan tenaga yang cukup besar. Berikut ini beberapa contohilluminated manuscript lainnya:
Menjelang abad 12-13, proses penyalinan buku juga dilakukan di universitas yang dikerjakan oleh orang awam
(yang juga berprofesi sebagai penjual buku) dan tidak lagi didominasi oleh para rahib monastik. Melalui
pekerjaan menyalin manuskrip ini mereka juga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sebelum ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada abad ke-15, maka illuminated
manuscript (sederhananya kita sebut saja buku) merupakan benda yang langka dan mahal, sehingga tidak
dapat dimiliki oleh semua orang. Namun kemudahan yang diberikan oleh mesin cetak membuat proses
penyalinan dan penyebaran buku pun menjadi mudah. Buku, yang pada awalnya hanya berjumlah sedikit dan
disimpan dalam beberapa perpustakaan, kini dapat dicetak dalam jumlah besar serta dapat diakses oleh
semakin banyak orang. Proses penyalinan atau penulisan buku pun tidak lagi terbatas pada pekerjaan rahib
saja.
Penyensoran Buku: Kemunculan Indeks Buku Terlarang
Buku memang mengandung segudang informasi yang dapat
membuka cakrawala pikiran dan memperkuat iman.
Namun, ada juga buku-buku yang ternyata mengandung
racun kesesatan dan karenanya membahayakan iman. Oleh
karena itulah, Gereja Katolik pernah mengeluarkan
Daftar/Indeks Buku Terlarang (Index Librorum
Prohibitom), yang isinya memuat katalog buku-buku yang
mengandung kesesatan, menghancurkan moral, menyerang
ajaran Gereja dan Paus, memuat materi yang bersifat
pornografi, dst. Buku-buku terlarang tersebut juga ada yang
dihancurkan dengan cara dibakar.
Indeks Buku Terlarang ini pertama kali dipromulgasikan
oleh Paus Paulus IV pada tahun 1559. Tujuan dari
dikeluarkannya Indeks tersebut ialah untuk melindungi iman dan moral umat Katolik dari berbagai kesesatan
dengan mencegah mereka membaca buku-buku berbau bidaah dan imoral. Karena saat itu Gereja juga
berhadapan dengan Reformasi Protestan, maka terdapat berbagai terjemahan Kitab Suci yang tidak akurat dan
karenanya dapat diartikan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Selain itu, tulisan para pendiri
Protestan yang menyerang Gereja Katolik pun juga dengan mudah dapat disebarluaskan.
Hal tersebut dapat kita lihat sebagai sesuatu yang baru, padahal
kalau kita melihat ke sejarah gereja yang awal, katakanlah saat
Konsili Nicea tahun 325 yang menegaskan ajaran tentang
Keallahan Yesus, perbuatan untuk menyatakan suatu tulisan
atau pernyataan sebagai kesesatan dan membakar buku-buku
yang membahayakan iman sebenarnya sudah dilakukan.
Namun, penerbitan sebuah Daftar Buku Terlarang serta upaya
untuk menyaring dan memeriksa buku secara sistematis baru
dilakukan pada waktu itu.
Seiring berjalannya waktu, maka tugas untuk memeriksa dan
melarang buku-buku yang beredar diserahkan kepada Sacred
Congregation of Index of Forbidden Books,yang terdiri dari para kardinal yang bertugas menjalankan fungsi
pemeriksaan dan pennyensoran konten buku-buku Katolik. Penyensoran dilakukan dalam dua cara, pertama
penyensoran terjadi sebelum buku diterbitkan. Kedua, penyensoran dilakukan dengan cara melarang bukubuku yang sudah diterbitkan.
Gereja tidak semata-mata melarang dan menghukum penulis buku-buku yang bermasalah, namun ia juga
memberikan kesempatan bagi para penulis tersebut untuk membela bukunya dan berdiskusi dengan
anggotaSacred Congregation of Index. Terdapat kemungkinan untuk menerbitkan kembali buku yang
didiskusikan dalam edisi baru, bila ternyata antara Kongregasi Suci dan penulis sepakat untuk memberikan
koreksi atau tambahan pada edisi yang baru. Singkatnya, buku yang diterbitkan kembali haruslah buku yang
bebas dari kesalahan dan telah menjalani proses “pemurnian”. Tidak semua halaman pada buku yang terdapat
dalam Indeks mengandung kesesatan. Bisa jadi ada juga buku-buku yang secara umum tidak berbahaya,
namun mengandung kekeliruan teologis yang perlu dikoreksi.
Edisi terakhir dari Indeks Buku Terlarang dikeluarkan pada tahun 1948. Kemudian, Paus Paulus VI
menghapuskan penggunaan Indeks Buku Terlarang ini pada tanggal 14 Juni 1966. Hal ini dapat kita mengerti,
mengingat sekarang buku dapat dicetak dan diperjualbelikan dengan mudah, sehingga sangatlah tidak
mungkin untuk mengawasi dengan cermat berbagai buku-buku Katolik yang beredar di seluruh dunia.
Penyensoran Buku di Jaman Modern.
Meskipun demikian, bukan berarti fungsi pengawasan doktrinal dan moral tersebut berhenti secara total.
Ketika Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) menjabat sebagai Prefek Kongregasi
Ajaran Iman, ia mengeluarkan notifikasi mengenai buku yang diterbitkan beberapa penulis oleh Rm. Anthony
de Mello SJ, Leonardo Boff, John Sobrino SJ, dst, yang menjelaskan bahaya buku-buku ini bagi iman Katolik.
Bahkan, Kongregasi Ajaran Iman pun tidak ragu untuk melarang para teolog mengajar teologi di universitas.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam lingkup yang sangat terbatas, Gereja pun masih sangat
peduli untuk melindungi iman umat Katolik.
Pada tingkat lokal, sebenarnya fungsi pengawasan tersebut tetap ada. Orang Katolik tentu cukup familiar
dengan istilah nihil obstat dan imprimatur. Nihil obstat berarti bahwa dalam buku tersebut tidak terdapat halhal yang membahayakan iman dan moral, sedangkan imprimatur berarti bahwa sebuah buku memperoleh ijin
untuk dicetak. Dengan demikian, bila sebuah buku Katolik sudah memperoleh kedua hal tersebut, maka buku
tersebut layak dan aman untuk dibaca. Benarkah demikian?
Menurut pengamatan saya, kenyataannya tidaklah demikian. Saya pernah menemukan beberapa buku yang
digunakan sebagai buku pegangan katekumen, ternyata mengandung kesalahan yang sangat fatal dalam hal
ajaran iman, padahal buku tersebut sudah mendapat nihil obstat danimprimatur. Ini artinya umat Katolik
Indonesia dituntut untuk memperkaya diri dengan bacaan teologis yang bermutu dan setia terhadap
Magisterium, sehingga ia dapat membaca buku dengan kritis.
Penutup: Buku yang Membunuh atau Menyelamatkan
Berdasarkan tur sejarah buku yang kita lakukan, maka kita dapat melihat betapa buku sungguh dapat
berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Secara khusus, kita belajar dari sejarah bahwa terdapat bukubuku yang membahayakan iman dan moral, dan karenanya Gereja harus bertindak dengan tegas menangani
hal tersebut. Oleh karena itu, tepatlah bila St. Alphonsus Maria Liguori berkata demikian: Seperti buku-buku
yang buruk bila dibaca dapat memenuhi pikiran dengan gagasan yang beracun dan
duniawi, maka membaca buku-buku yang saleh dapat memenuhi pikiran dengan keinginan yang baik dan
pikiran yang suci.
Namun seperti apakah buku yang baik, yang mampu mengubah seseorang secara utuh dan karenanya menjadi
sarana untuk menyelamatkan manusia? Tunggu bagian kedua dari tulisan ini untuk mendapatkan jawabannya!
Referensi
Catholic Encyclopedia: Cencorship of Books
Catholic Encyclopedia: Illuminated Manuscript
Catholic Encyclopedia: Index of Forbidden Books
Catholic Encyclopedia: Theological Censures
Apendiks: Beragam Kategori Sensor Teologis
Penyensoran secara teologis merupakan upaya Gereja untuk menyaring dan memberikan stigma atau menilai
suatu tulisan atau pernyataan, apakah berbahaya bagi iman dan moral Katolik atau tidak. Hak untuk
melakukan sensor ini berasal dari perkataan St. Paulus, yang menyatakan anathema (yang berarti terkutuklah)
bagi mereka yang mewartakan Injil Kristus secara berbeda atau bertentangan dengan yang diwartakan para
rasul (bdk. Gal 1:8).
Menurut Beato Henry Newman, Magisterium Gereja memang bertindak dengan dua cara, pertama dengan
pernyataan yang menyatakan kebenaran secara langsung, kedua melalui pengutukan kekeliruan. Hak untuk
melakukan hal tersebut ada pada Gereja, dan dapat diungkapkan dengan berbagai cara, entah melalui paus,
konsili, kongregasi romawi, universitas, komisi khusus bahkan uskup.
Berikut ini adalah beberapa kategori yang digunakan Gereja dalam member label suatu tulisan atau pernyataan
(secara lengkap bisa dibaca di Ensiklopedia Katolik: Theological Censures). Terkadang, belum tentu sebuah
buku selalu diberi kategori misalnya sesat atau keliru, bisa saja hanya beberapa pernyataan dalam buku
tersebut yang diberikan kategori. Namun saya tidak akan membahas semuanya, hanya memberikan sedikit
contohnya saja. Secara umum, suatu tulisan yang membahayakan iman dapat dibagi dalam tiga kategori
berdasarkan tingkat yang paling berat hingga ringan:
(1) Hæretica (heresi atau bidaah atau sesat), erronea (keliru atau salah), hæresi proxima (mendekati bidaah
atau heresi), errori proxima (mendekati keliru), dst.
Sebuah proposisi atau pernyataan diberi label haeretica bila ia menentang dogma Gereja yang infalibel secara
langsung; kategori erronea diberikan pada sebuah proposisi yang bertentangan dengan suatu kesimpulan
teologis yang ditarik dari artikel iman atau akal budi. Suatu pernyataan diberi katgori haeresi proxima bila
oposisi pernyatan tersebut terhadap dogma tidaklah jelas atau kurang pasti, karena bisa saja terdapat suatu
pernyataan yang secara jelas tidak dapat disebut sesat atau keliru; sedangkan kategori errori
proxima diberikan bila suatu pernyataan itu bertentangan dengan opini umum yang dianut oleh mayoritas
teolog.
(2) Ambigua (ambigu atau bermakna ganda), captiosa (bermakna luas), male sonans (terdengar jahat),piarum
aurium (ofensif bila didengar orang-orang saleh – offensive to pious ears), dst.
Sebuah pernyataan diberi kategori ambigua bila penyusunan kata-katanya menimbulkan dua arti atau lebih, di
mana salah satu artinya dapat bertentangan dengan ajaran iman; kategori captiosadiberikan pada pernyataan
yang menggunakan kata-kata yang baik dan dapat diterima, dengan tujuan mengungkapkan sebuah keberatan
terhadap ajaran iman. Kategori male sonans diberikan pada pernyataan yang kata-kata yang improper (kurang
pantas) digunakan untuk mengungkapkan kebenaran iman yang diterima umat Katolik; sedangkan
kategori piarum aurium diberikan pada pernyataan yang walaupun maknanya secara terbuka tidak
bertentangan dengan iman, namun tetap ada kesan bahwa ada sesuatu yang salah atau kurang layak dalam
pernyataan tersebut.
(3) Subsannativa religionis (mengolok-olok agama), decolorativa canodris ecclesiae (memperburuk
keindahan Gereja), subersiva hierarchiae (bersifat memberontak terhadap hirarki), eversiva
regnorum(bersifat menghancurkan pemerintahan gerejawi), scandelosa, perniciosa, periculosa in
moribus(bersifat skandal, merusak secara terselubung, berbahaya bagi moral), blasphema, idolatra,
superstisiosa, magica (bersifat menghujat, mengarah pada penyembahan berhala, tahayul, sihir), arrogans,
acerba (arogan, kasar), etc.
Kategori di atas diarahkan pada pernyataan yang menyerang agama, kekudusan gereja, kesatuan pemerintahan
gerejawi dan hirarki, masyarakat sipil, moral secara umum, kebajikan agama, sikap lembut (meekness) secara
Kristiani, dan secara khusus kerendahan hati.
Bila kita perhatikan, ada begitu banyak kategori yang sangat spesifik berbicara tentang hal yang
membahayakan iman. Menurut saya, apa yang dapat kita pelajari dari banyaknya kategori sensor teologis ialah
ini: bahwa kesesatan atau kekeliruan itu memiliki berbagai bentuk, yang sekilas dapat terlihat sebagai sesuatu
yang baik dan benar, padahal di dalamnya terdapat racun yang berbahaya. Oleh karena itu, sungguh layak dan
sepantasnya bila dalam membaca buku-buku Katolik, kita pun juga bersikap kritis terhadap kontennya.