Perspektif asas diskresi dalam kehidupan (1)

“Mencintai kebebasan berarti cinta kepada orang lain, mencintai kekuasaan berarti
cinta kepada diri sendiri” -William Hazlitt

Frasa diskresi sudah seharusnya melekat erat dalam dunia perpolitikan Indonesia
yang seringkali berbicara mengenai dikuasai dan menguasai. Sebagai yang menganut
sistem demokrasi, maka kewenangan pejabat untuk melakukan tindakan demi
kepentingan umum haruslah dilakukan. Istilah diskresi akrab di kalangan hukum
perdata karena mendukung penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya.
Menurut Gayus T. Lumbuun, diskresi merupakan kebijakan dari pejabat negara dari
pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah
kebijakan yang melanggar Undang-Undang, dengan tiga syarah: demi kepentingan
umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya dan tidak melanggar. Diskresi
hukum tentunya harus sesuai penggunaannya oleh pejabat yang berwenang sehingga
tujuan yang di capai pun tidak mengorbankan kepentingan orang banyak dan merebut
paksa hak warga negara lainnya1.
Dalam dunia hukum, telah dikenal terlebih dahulu asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada.” Hal ini jelas membuktikan kedudukan diskresi sebagai pelengkap asas
legalitas dikarenakan ketika negara akan menerapkan suatu peraturan, maka harus
ada peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu. Secara hukum, perbuatan melawan

hukum yang telah diatur oleh UU merupakan suatu tindakan pelanggaran hukum,
tetapi bagi pelaku yang menggunakan asas diskresi, selama digunakan untuk
kemashlahatan bersama, maka menjadi suatu yang di legalkan. Menjadi sebuah hal
yang utopis apabila kita ingin semua tingkah laku hidup manusia tercatat rapih dalam
setiap Undang-Undang, maka dari itu diskresi dapat menjawab permasalahan ini
1 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54b538f5f35f5/arti--tujuan--lingkup-dan-contoh-diskresi di akses pada hari Kamis, 18 Mei 2017

dengan melanggengkan wewenang pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi
dan kewajiban yang dibebankan kepadanya2.
Berbicara lingkup tataran kampus, frasa diskresi mungkin masih menjadi hal yang
tabu bagi sebagian mahasiswa. Bahkan, bila pejabat yang berwenang di kampus
melakukan tindakan diskresi tentu akan memunculkan berbagai macam polemik yang
berkembang di mahasiswa akibat minimnya pengetahuan akan maksud dan tujuan
dari diskresi tersebut. Karena mahasiswa merupakan agent of change dan iron stock
maka istilah ini harus dikuasai karena sangat berkaitan erat dengan kegiatan
mahasiswa ataupun lembaga eksekutif dan legistlatif mahasiswa. Sosialisasi
pengetahuan mengenai diskresi juga harus di propagandakan agar seluruh mahasiswa
dapat tercerdaskan sehingga amanah Tri Dharma perguruan tinggi nomer satu yaitu
pendidikan dapat tercapai.
Sebagai penggerak utama lembaga kemahasiswaan, pengetahuan mengenai diskresi

harus dikuasai oleh mahasiswa. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwasannya
hal-hal terdekat mengenai kebijakan dan wewenang seringkali menjadi hal yang tabu
dan menjadi aib tersendiri apabila dilanggar demi mencapai tujuan yang lebih besar.
Contoh kasus seperti peminjaman fasilitas. Ya, seringkali birokrasi di UNPAD sangat
sulit disetujui sehingga apabila telah mendapatkan izin, tentu itu merupakan suatu
pekerjaan yang luar biasa. Namun sayangnya, secara mendadak fasilitas yang ingin
kita pinjam untuk kegiatan rapat organisasi akan digunakan oleh rektorat untuk
kegiatan ‘sosialisasi Pilkada masyarakat Jatinangor’. Tentu karena ini menyangkut
masalah umum maka mahasiswa harus mengalah dan segera mencari tempat lain. Ini
bukan merupakan suatu pelanggaran, karena Rektorat menggunakan hak nya untuk
mendiskresi keputusan mahasiswa. Maka dari itu, mahasiswa harus berbesar hati dan
bersifat bijak, sehingga untuk kasus yang sederhana ini kita dapat mengambil point

2 http://www.negarahukum.com/hukum/freies-ermessen.html di akses pada hari
Kamis, 18 Mei 2017

penting pencerdasan akan diskresi oleh pejabat berwenang merupakan hal yang legal
dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menghormatinya.
Dalam dunia legislasi, diskresi juga lekat kaitannya dengan hak imunitas. Dalam
kondisi ideal, jika seseorang melakukan pelanggaran ataupun kejahatan tentunya akan

diseret ke pengadilan. Tetapi, ada suatu kondisi dimana bila seseorang menabrak
koridor hukum (tetapi masih dalam batas-batas norma kewajaran) maka pelaku tidak
akan dikenai tindak pidana dikarenakan mempunyai hak imunitas perlindungan
hukum bagi pejabat yang berwenang. Hak imunitas semakin memperkuat asas
diskresi dimana pelaku tidak akan dituntut hukum karena ia hanya menjalankan
tugasnya untuk kepentingan orang banyak. Menurut Muchsan, seandainya ada
pengaturan mengenai pengertian untuk kepentingan orang banyak maka unsur-unsur
tersebut secara teoritis yaitu:
1. Berbentuk proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh negara.
2. Penggunaannya atau pelaksanaannya oleh negara.
3. Dalam penggunaannya harus bersifat non profit oriendted atau tidak
berorientasi mencari keuntungan melainkan pelayanan yang prima terhadap
kepentingan masyarakat.
Sehingga di dalam penyusunan suatu kebijakan, dibutuhkan sebuah kajian yang
mendalam guna menganalisis berbagai macam situasi yang akan di hadapi nantinya.
Negara kita sejak dahulu menata rapih sistem pemerintahan melalui hukum tata
negara, dimana semua keputusan pemerintah haruslah melalui mekanisme yang sudah
diatur oleh UU sehingga menjadi hal yang fundamental apabila kita menyoroti
praktek sistem pembuatan kebijakan di Indonesia. Tetapi kenyataannya, walaupun
pejabat negara memiliki superioritas asas diskresi namun di kemudian hari timbul

berbagai kendala teknis yang terjadi di lapangan sehingga menimbulkan
permasalahan:

1. Apabila terus-menerus dilakukan, akan terjadi perbuatan pemerintah yang
sewenang-wenang.
2. Apabila pemerintah takut menggunakannya, maka tujuan pembangunan
nasional akan sulit dilakukan.
Sehingga diperlukan suatu rekayasa hukum untuk menanggulangi permasalahan ini.
masih menurut Muchsan, ada 4 hal yang menjadi pembatas terhadap penggunaan asas
diskresi yaitu:
1. Apabila terjadi kekosongan hukum.
2. Apabila ada kebebasan penafsiran.
3. Apabila ada delegasi Undang-Undang.
4. Demi memenuhi kepentingan umum (public interest).
Dengan adanya asas diskresi ini banyak pejabat pemerintahan yang
dengan mudah melaksanakan tugasnya sehingga perubahan yang
signifikan pun dapat terjadi baik di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional. Sehingga, terlepas dari berbagai polemik yang menghinggapi
munculnya keistimewaan ini, diskresi telah mampu menjawab usaha
untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia yang telah tercantum dalam

pembukaan UUD 1945 yaitu dengan melindungi segenap tumpah darah
indonesia,

memajukan

kesejahteraan

umum

dan

kehidupan sosial negara kesatuan Republik Indonesia.

mencerdaskan

DAFTAR PUSTAKA
1. Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1997.
2. Marbun, SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII
Press, Yogyakarta, 2001.

3. Muchsan, 1981. Beberapa catatan penting hukum administrasi negara dan
peradilan administrasi negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta.