Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria Nasional

  Aspek Negara Hukum Kesejahteraan

6 Dalam Politik Hukum Agraria Nasional Upik Hamidah

  Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Unila

  Pendahuluan

  Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang kemudian menjadi landasan dasar yang meletakkan politik hukum agraria nasional. Penjabaran Pasal 33 ayat (3) tersebut dielaborasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok 1 Agraria (UUPA) yang juga merupakan bagian dari politik hukum agraria nasional. Secara garis besar, perkembangan politik hukum agraria nasional dapat diklasifikasikan menjadi dua fase, yaitu sebelum berlakunya UUPA dan sesudah berlakunya UUPA. Sebelum berlakunya UUPA hukum agraria lama bersifat dualistis, sedangkan setelah berlakunya UUPA hukum agraria disatukan dalam sebuah pengaturan yang sifatnya unifikasi dan memunculkan hak menguasai dari negara.

  Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kata ‘dikuasai’ dalam pasal ini bukanlah berarti ‘dimiliki’, akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, sebelumnya disebut sebagai Badan Penguasa pada tingkatan tertinggi untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi dan lain-lainnya itu (dengan perkataan lain, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi dan lain-lainnya itu).

  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (Segala sesuatu itu tentunya termasuk juga kekayaan alam 2 yang terkandung didalamnya). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa negara memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur perihal hukum agraria nasional. Politik hukum agraria nasional akan berkaitan erat dengan hak menguasai negara atas bumi, air dan ruang angkasa, yang pada akhirnya juga akan bertautan dengan konsepsi 1 negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang tercantum

  

Hal ini dapat dilihat terutama pada Pasal 1 dan Pasal 2. Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang isinya:

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dalam wilayah Republik Indonesia. Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi air

2 dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

  

Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung, dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi dan dasar dari semua tindakan pemerintahan, termasuk juga dibidang agraria.

  Konsepsi negara hukum yang telah berkembang secara dinamis sesuai perkembangan pemikiran dibidang hukum dan kenegaraan, membawa entitas negara hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan negara hukum kesejahteraan. Kesejahteraan menjadi tujuan dari konsepsi negara hukum, sehingga hukum menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut. Politik hukum agraria nasional seharusnya juga selaras dengan cita negara hukum untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

  Politik Hukum Agraria Nasional

  Secara etimologis, istilah politik hukum berasal dari istilah Belanda, yaitu

  

rechtspolitiek. Dari istilah ini ada dua suku kata yaitu rechts yang berarti hukum, dan

  hukum sendiri berasal dari bahasa arab hukm kata jamak dari ahkam, yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman dan sebagainya. Dalam kamus bahasa belanda kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan. Dari pemahaman etimologis ini dapat dikatan bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum. Kebijakan sendiri dalam kamus Besar bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjakan kepemimpinan, dan cara bertindak. Bila dikaitkan dengan pengertian ini maka politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara 3 bertindak dalam bidang hukum. 4 Menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan 5 hukum, dan penegakannya sendiri. Sedangkan Mahfud MD, menyatakan politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang meliputi: Pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dari pengertian diatas maka politik hukum mencakup proses pembuatan hukum kedepan (ius constituendum) dan pelaksanaan hukum yang telah ada (ius constitutum).

  Bertalian dengan konsep di atas, politik hukum agraria nasional yang dilandaskan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian dielaborasi dalam UUPA memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pada konteks politik hukum pelaksanaan hukum yang telah ada (ius constitutum), politik hukum agraria 3 terutama sekali dilakukan berdasarkan koridor UUPA.

  

Armen Yasir, Makalah Bahan Kuliah Politik Hukum, Magister Hukum Universitas Lampung,

4 2010. hlm. 1.

  

Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008. hlm. 26.

  Politik hukum agraria di Indonesia sebagai bagian dari politik hukum ditujukan menyesuaikan hukum agraria yang berlaku, dengan kebaikan norma hukum yang umum. Dengan maksud agar dalam pelaksanaan hukum agraria di Indonesia dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat yang sangat beraneka ragam kebiasaan, adat istiadatnya. Arah dari politik hukum agraria nasional dipetakan dalam UUPA yang mengatur hubungan manusia dengan tanah sebagai 6 berikut:

  1. Mengakui adanya hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa diwilayah Indonesia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UUPA) 2. Menyediakan tanah untuk keperluan ibadah dan keperluan suci lainnya sebagai rasa syukur dan terima kasih bangsa Indonesia kepada Tuhan

  Yang Maha Esa atas karunia yang telah dilimpahkannya. (Pasal 49 UUPA) 3. Mewajibkan kepada siapa saja yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah untuk memelihara. Menjaga kesuburannya, dan mencegah kerusakan tanah sebagai karunia tuhan. (Pasal 15 UUPA) 4. Menegaskan bahwa bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik rakyat Indonesia bersama (hak milik kolektif

  Indonesia) yang mengaturnya diserahkan pada negara (cq pemerintah) dengan hak menguasai, dengan tetap memberi tempat kepada hak milik (privat) perorangan dalam rangkuman dan dibatasi oleh hak menguasai dari negara. (Pasal 1,2,4 bagian I s/d bagian XI UUPA)

  5. Menegaskan bahwa hubungan hukum antara orang-orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa serta wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu tidak boleh menyebabkan penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dan memberi perlindungan kepada yang ekonomis lemah. (Pasal 11 UUPA) 6. Menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang merupakan karunia tuhan, mempunyai fungsi sosial, dalam arti penggunaan tanah yang dikuasai dengan hak apapun oleh perorangan maupun badan hukum secara langsung maupun tidak langsung harus bermanfaat bagi masyarakat. (Pasal 6 UUPA) 7. Menentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendafaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. (Pasal

  19 UUPA) 8. Menegaskan bahwa hak warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia (Pasal 9 ayat (1); Pasal 21 UUPA). Tetapi mengingat sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang bersifat universal, memberi kesempatan kepada orang asing untuk juga mempunyai hubungan hukum dengan tanah di Indonesia, sejauh hubungan hukum itu tidak merugikan bangsa dan negara (Pasal 5 UUPA).

  Prinsip yang ditegaskan disini adalah prinsip nasionalisme yang tidak sempit. Walaupun hanya waraga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, bukan warga negarapun diberi kesempatan mempunyai hubungan hukum dengan tanah di Indonesia dalam batas-batas tertentu.

  9. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah (Pasal 9 ayat (2) UUPA). Dalam hubungan ini, agar sebanyak mungkin warga negara Indonesia mempunyai tanah, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7, 17 UUPA). Sedang untuk mencegah adanya pemilik tanah absente, ditentukan bahwa setiap orang maupun badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertania, pada azasnya diwajibkan mengolah, mengusahakan sendiri tanah itu. (Pasal 10 UUPA)

  10. Menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari tanah untuk diri sendiri maupun keluarganya. (Pasal 9 ayat (2) UUPA) 11. Mengatur agar usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya. (Pasal 12 UUPA) 12. Mengatur agar usaha-usaha dalam lapangan agraria itu sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi setiap warga negara indonesia, derajad hidup yang sesuai dengan martabat manusia baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (Pasal 13 ayat (1) UUPA) 13. Mencegah usaha-usaha monopoli swasta dalam lapangan agraria dari organisasi maupun perorangan, sedang usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang. (Pasal 13 ayat (2), (3) UUPA)

  14. Berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan dalam usaha-usaha di lapangan agraria. (Pasal 13 ayat (4) UUPA)

  Berdasarkan ketentuan di atas, politik hukum agraris nasional terutama mengatur hubungan manusia/Bangsa Indonesia dengan tanah air Indonesia sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan ketentuan-ketentuan tersebut kemudian akan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang- undangan di bidang agraria.

  Dari konteks politik hukum yang mencakup proses pembuatan hukum kedepan (ius constituendum), dengan mendasarkan pada landasan politik hukum agraria nasional yang telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945, pembuatan hukum agraria nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan juga harus dilandaskan pada aspek-aspek tertentu agar sesuai dengan asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemene

  beginselen van behoorlijk regelgeving) dan juga cita hukum bangsa Indonesia.

  Pembentukan sebuah aturan yang baik haruslah didasarkan kepada aspek filosofis, sosiologis, yuridis, politis dan administratif dan keberlakuannya juga haruslah tercermin secara filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

  Keberlakuan Filosofis berarti, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai "staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan kebineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah 7 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberlakuan juridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan teorinya "Stuffenbau Theorie des Recht", (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann, (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalam pandangan W. Zevenbergen, dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang 8 bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power

  

theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma

  hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari 9 segi politik. Keberlakuan Sosiologis, keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama (principle of recognition) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan 10 berlaku baginya. Dengan mendasarkan pada beberapa landasan pembentukan yang diharapkan akan tercermin dalam bentuk keberlakuan sebagaimana telah dijelaskan di atas, tujuan dari politik hukum agraria nasional untuk memakmurkan/mensejahterakan rakyat sedapat mungkin dapat diwujudkan.

  Aspek Negara Hukum Kesejahteraan Dalam Politik Hukum Agraria Nasional

  Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum 8 muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah 9 ibid, hlm. 242.

  ibid, hlm. 242-243. atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), 11 konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.

  Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep Negara hukum sesudah masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, hal ini 12 sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli. Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John Lock,

  

Montesqiue dan sebagainya masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu

  yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke- 19, yaitu dengan munculnya konsep Rechsstaat yang dikembangkan oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Contiental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. 13 Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah: 1.

  Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan; dan 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule of

  

Law) yang dikembangkan oleh A.V Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum

Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law sebagai berikut.

  1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);

  2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.

  3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh 14 Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.

  Dalam perkembangannya konsep negara hukum tersebut kemudian 15 mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat di antaranya:”

  1. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat; 2.

  Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;

  3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 4.

  Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar- benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif; 6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; 7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

  Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas 11 bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan 17 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 2.

  

S.F Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII 13 Press, 2001 hlm. 4 14 Ibid., hlm. 3 20 Ibid., hlm. 4

H.R. Ridwan, unsur-unsur diambil dan dipadukan dari Sri Sumantri, Bunga Rampai Hukum

Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni,1992), hlm.29-30, lihat juga Abdul Hakim Garuda

.Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YBLHI, Jakarta, 1988, hlm 12-14, Frans Magnis Suseno, pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum 16 antara lain Peraturan Perundang-Undangan. Asas legalitas ini juga berlaku bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pemerintahan di bidang agraria. Dalam melakukan tindakan pemerintahan harus dilandaskan pada aturan perundang- undangan yang berlaku.

  Telah menjadi suatu komitmen yang bersifat nasional bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum kesejahteraan. Ini berarti bahwa Negara Indonesia dalam melaksanakan aktivitas kehidupan kenegaraan, disamping harus berlandaskan kepada hukum yang berlaku, juga sedapat mungkin harus mampu meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dalam berbagai sektor/bidang kehidupan sosial.

  Dengan demikian, sebagai negara hukum kesejahteraan, Negara Republik Indonesia tidak hanya berperan dan berfungsi sebagai layaknya penjaga malam atau polisi lalu lintas saja, melainkan ia juga harus mampu untuk berperan secara aktif positif, melalui alat-alat perlengkapan yang ada untuk meningkatkan taraf hidup warga negara guna mewujudkan tatanan kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman tenteram serta tertib guna mewujudkan masyarakat yang adil dan 17 makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  Berdasarkan uraian di atas, negara hukum kesejahteraan yang bertujuan memberikan kesejahteraan dalam segala bidang pada rakyatnya selaras dengan politik hukum agraria nasional yang juga bertujuan untuk mensejahterakan rakyat melalui pengaturan pengelolaan agraria sebagai karunia Tuhan untuk seluruh rakyat Indonesia.

  Simpulan

  Landasan politik hukum agraria nasional yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang isinya menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dan kemudian dielaborasi kembali dalam UUPA, sesuai dengan konsep negara hukum kesejahteraan yang ada di Indonesia, karena tujuan dari penguasaan negara tersebut dilakukan sepenuhnya untuk kesejahteraan/kemakmuran rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan dari eksistensi negara hukum kesejahteraan yang juga untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

  

Daftar Pustaka

16 Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

  

Modul Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Legal Drafting),

17 Jakarta: Depdagri-LAN, 2007, hlm 11.

  

Hestu Cipto Handoyo, Aspek-Aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Handoyo, Hestu Cipto. Aspek-Aspek Hukum Administrasi Negara Dalam Penataan Ruang, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1995. Mahfud, M. MD, Politik Hukum di Indonesia, , LP3ES: Jakarta, 1998. Modul Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Legal Drafting), Jakarta: Depdagri-LAN. 2007. Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Yogyakarta, Liberty, 1997. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Ruchiyat, Eddy. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung: Alumni, 1992. S.F Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001. Soimin, Soedharyo. Status Hak dan Pengadaan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. Syaukani, Imam dan Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008. Yasir, Armen, Makalah Bahan Kuliah Politik Hukum, Magister Hukum Universitas Lampung, 2010.

  Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

  Agraria. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).