BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Prinsip First to File Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing Di Pengadilan (Studi Kasus tentang Gugatan Pencabutan Hak Merek “TOAST BOX” oleh BreadTalk Pte.Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN.Niaga/Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perdagangan global membuktikan bahwa terjadinya

  perdagangan Internasional secara cepat dan menyeluruh telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Arus globalisasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin meningkat, bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.

  Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan perlindungan, apalagi negara–negara menyadari perdagangan merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan ekonomi negara. Dengan demikian sektor perdagangan harus diberi peran bilamana perekonomian negara ingin maju.

  Dalam era perdagangan bebas, arus masuknya barang dari luar negeri ke wilayah pabean Indonesia tidak dapat dihindari. Oleh karena banyaknya barang yang menggunakan merek dagang asing yang beredar di Indonesia maka merek dagang

  1

  asing harus dapat diidentifikasi. Pendaftaran dari sebuah merek yang digunakan untuk mengidentifikasi barang-barang dan jasa yang diproduksi atau didistribusi oleh sebuah perusahaan tertentu dengan memberikan hak kepada perusahaan tersebut untuk mengunakan secara eksklusif merek dan perusahaan tersebut memiliki hak 1 Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang , (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal.3.

  

1 untuk mencegah penggunaan merek yang tidak sah. Membangun hubungan antara produk dan usaha menciptakan reputasi yang bernilai atau “nama baik” (good will),

  2 dan ini merupakan dasar dari kebanyakan perdagangan internasional.

  Diberlakukannya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual

  Property Right

  ) pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya cipta yang menyangkut Hak Cipta, Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, Merek, Paten, Desain Industri, Perlindungan Rahasia Dagang, Indikasi Geografis, Perlindungan Variates Tanaman dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang- undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) masih saja terjadi.

  Ada dua alasan mengapa HKI perlu dilindungi oleh hukum. Pertama, alasan non ekonomis dan kedua alasan ekonomis. Alasan yang bersifat non ekonomis menyatakan bahwa perlindungan hukum akan memacu mereka yang menghasilkan karya-karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini

2 Tim Lindsey, Eddy damian, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, 2002), hal. 132.

  3

  akan meningkatkan “self actualization” pada diri manusia. Bagi masyarakat hal ini akan berguna untuk meningkatkan perkembangan kehidupan mereka, sedangkan alasan yang bersifat ekonomis adalah dengan melindungi mereka yang melahirkan karya intelektual tersebut, berarti yang melahirkan karya tersebut mendapatkan keuntungan materiil dari karya-karyanya. Di lain pihak melindungi mereka dari adanya peniruan, pembajakan, penjiplakan maupun perbuatan curang lainnya yang dilakukan oleh orang lain atas karya-karya mereka yang berhak.

  Hak atas Kekayaan Intelektual mencakup karya-karya yang dihasilkan oleh manusia yang terdiri dari karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sehingga dapat dibagi menjadi: Hak Cipta, Merek, Paten, Perlindungan Variates Tanaman, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

  Pengaturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu peraturan perundang– undangan telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundang – undangan dibidang HKI

  4

  berfungsi sebagai a tool of social engineering yaitu sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

  3 Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, (Bandung: PT.

  Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 23. 4 Retnowulan Sutanto, Perjanjian menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.35.

  Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukkan berbagai gejala persaingan yang cukup berat, ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas barang- barang produk nasional yang rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini sering kali bukan hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memegang peranan yang amat penting di dalam mencegah terjadinya persaingan tidak sehat, begitu pentingnya peran suatu merek dapat dilihat seperti yang ditegaskan Saidin bahwa:

  “Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli. Benda materiilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah

  5 yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril”.

  Pengaturan Merek di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (disebut pula Undang-Undang Merek 1961) dengan pertimbangan agar khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu merek

  6

  yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik. Seiring 5 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 329-330. 6 C.S. T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 145.

  berjalannya waktu, Pengaturan Merek di Indonesia telah mengalami perubahan. Oleh karena Perlindungan hukum bagi merek terkenal belum di atur di dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC-

  02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang mirip Terkenal Milik Orang lain atau Badan lain.

  Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki

  7

  daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dari pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk membedakan barang-barang yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu

  8 memberi kesan pada saat seseorang melihat merek tersebut.

  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 membedakan merek menjadi 3 (tiga), yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah tanda yang digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan barang- barang sejenis lainnya, merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya, sedangkan Merek 7 8 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU Nomor 15 Tahun 2001, Pasal 1 butir(1).

  Suyud Margono, Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2002), hal. 27. kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Lihat Pasal 1 angka 2,3, dan 4 Undang-Undang No.15 tahun 2001).

  Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 agar suatu merek memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta mendapatkan perlindungan

  9 hukum dari negara.

  Suatu merek dapat diterima pendaftarannya jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai merek, yang tidak dapat didaftarkan bilamana mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda;

  c. telah menjadi milik umum atau;

  d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

9 Indirani Waudan, Tinjauan Yuridis Mengenai Peniruan Merek, (Salatiga: FH-UKSW, 2006), 25.

  Selain itu suatu permintaan pendaftaran juga ditolak jika mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang tidak sejenis (pasal 6 ayat 1 dan 2). Sedangkan pengertian suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan

  10 bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

  Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif (first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif, sama dengan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 19 Tahun 1992, dan UU No. 14 Tahun 1997. Hal ini merupakan perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif (UU No. 21 Tahun 1961).

  Dalam sistem deklaratif, titik berat diletakkan pada pemakai pertama (first to

  use

  ). Siapa yang memakai pertama suatu merek, dialah yang dianggap berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran dipandang hanya memberikan suatu prasangka menurut hukum, dugaan hukum bahwa orang pertama mendaftar adalah si pemakai pertama dengan konskuensi dia adalah pemilik merek tersebut, sampai ada pembuktian sebaliknya. Dalam sistem pendaftaran deklaratif, 10 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Penjelasan Pasal 6 ayat(1) huruf (a). pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk mendaftarakan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftar merek,

  11 adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan.

  Menurut Saidin, dalam sistem deklaratif orang yang berhak atas merek bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya, tetapi haruslah orang yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut. Orang- orang yang sungguh-sungguh memakai dan menggunakan merek tersebut tidak dapat dihentikan pemakaiannya oleh orang lain dengan begitu saja, meskipun orang yang disebut terakhir ini mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi. Sehingga kelemahan dari sistem deklaratif ini adalah, tidak adanya jaminan kepastian

  12 hukum.

  Pada sistem konstitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal mutlak, karena merek yang tidak di daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistem pendaftaran

  13

  konstitutif, prinsip penerimaan merek adalah first to file , artinya siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya dengan tidak mempersoalkan apakah si pendaftar benar-benar menggunakan merek tersebut untuk kepentingan usahanya. Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftaran pertama, misalnya muncul pendaftar lain yang sebenarnya berkepentingan langsung dengan merek tersebut, sebab pendaftar inilah yang secara riil menggunakan barang

  11 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I, Himpunan Keputusan Merek Dagang , (Bandung: PT. Alumni, 1997), hal. 33. 12 13 Saidin, Op.cit, hal. 337-338.

  Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bogor: Biro Oktroi Rooseno, 2000), hal. 1. tersebut. Hal-hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran konstitutif.

  Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada hak- hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Penggunaan merek milik orang lain banyak dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa ijin pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek dagang asing.

  Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Merek, perlindungan terhadap merek dagang asing didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek dagang asing atau terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga untuk ini, permintaan pendaftaran merek terkenal milik orang lain harus ditolak atau dibatalkan.

  Asas umum yang berlaku dalam rangka perlindungan HKI pada hakikatnya adalah asas teritorial. Namun, dengan adanya Perjanjian TRIPS, berkembang satu rezim hukum internasional tentang HKI meskipun tanpa bermaksud mengesampingkan rezim hukum yang telah lebih dahulu ada yaitu hukum nasional.

  Antara kedua rezim hukum tersebut sangat dibutuhkan suatu kerja sama. Rezim hukum internasional tentang HKI tidak mungkin efektif tanpa ditransformasi ke dalam hukum nasional. Sebaliknya, rezim hukum nasional tentang HKI juga harus mengindahkan kaidah-kaidah dalam rezim hukum internasional tentang HKI yang tujuannya untuk keseragaman pengaturan tentang HKI dalam rangka kebebasan lalu

  14 lintas barang, jasa dan modal secara internasional.

  Hal tersebut di atas pernah menjadi dasar putusan Hakim pada kasus pelanggaran merek dagang asing “TOAST BOX” Nomor: 02/Merek/2011/PN.

  Niaga/Medan, dimana merek dagang asing tersebut telah digunakan secara komersial di Singapura sejak tahun 2005 dan diperluas peredarannya ke negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan sebagai keseriusan Penggugat (BREAD TALK Pte,Ltd) untuk membuka outlet di Indonesia maka pada tanggal 24 April 2008 mendaftarkan merek TOAST BOX dan logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, sehingga Hakim memutuskan untuk membatalkan pendaftaran Merek TOAST BOX oleh Tergugat (Frangky Chandra) pada tanggal 16 Januari 2007 yang dianggap memiliki itikad tidak baik/buruk karena telah menjiplak/meniru merek

  TOAST BOX baik huruf, logo ataupun kata-kata.

  Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan undang-undang merek yang telah ada sebelumnya, memberikan penegasan bahwa apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan

  15 pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.

  Sedangkan untuk melaksanakan pembatalan suatu merek kewenangannya berada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak 14 Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca (Bandung: PT. Alumni, 2011), hal. 16.

  Perjanjian TRIPs 15 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek,, Op.cit, Pasal 68 ayat (3), Pasal 76 ayat (2).

  Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

  Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tidak melarang perdagangan barang yang menggunakan merek yang tidak terdaftar. Namun sesuai dengan prinsip perlindungan Merek yang bersifat Konstitutif yang dianut oleh Undang-undang No. 15 tahun 2001, merek dagang yang tidak terdaftar tersebut tidak mendapat perlindungan hukum.

  Perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat dalam era globalisasi ini, ikut pula mendorong meningkatnya merek dagang asing yang masuk ke Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan sengketa, sehingga diperlukan aturan hukum yang tegas dan efektif untuk memberikan kepastian hukum di dalam perlindungan atas merek dagang asing tersebut. Oleh karena itulah, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai permasalahan pengaturan hukum merek yang berlaku di Indonesia dan yang terdapat dalam perjanjian Internasional.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan Latar Belakang yang diuraikan di atas, maka dapat diambil beberapa permasalahan, antara lain sebagai berikut:

  1. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap merek dagang asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek?

  2. Bagaimana pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing dalam peradilan di Indonesia?

  3. Bagaimana Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di Indonesia?

  C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Merek dagang asing di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing di pengadilan.

  3. Untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di Indonesia.

  D. Manfaat Penelitian

  Hasil Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

  1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya di dalam perlindungan merek dagang asing di Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

  2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan kerangka acuan dalam penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau pemalsuan terhadap hak merek yang telah terdaftar dalam kaitannya dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakan dan dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada atau sedang dilakukan dilingkungan akademis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan khususnya pada Program Magister Kenotariatan, penelitian tentang: Pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing di Pengadilan (Studi Kasus tentang gugatan pencabutan hak merek “TOAST BOX” oleh BREADTALK Pte.Ltd. No. 02/Merek/2011/PN.

  Niaga/Medan) ”, belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Akan tetapi penelitian tentang permasalahan HKI, khususnya di bidang merek telah pernah ada dilakukan oleh:

  1. Erly Sulanjani, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU tahun 2003, dengan judul: “Penggunaan Merek Dagang Tidak Terdaftar Studi Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Tidak Didaftarkannya Merek Dagang Di Kawasan Industri Medan(KIM)” Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

  a. Faktor apa saja yang menjadi penyebab tidak didaftarkannya merek dagang oleh pengusaha di Kawasan Industri Medan (KIM)? b. Apakah keuntungan dan kerugian yang dialami oleh pengusaha yang memperdagangkan barang dengan merek tidak terdaftar?

  2. Nomi Mutiaridha, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU tahun 2004, dengan judul: “Studi Komparatif Pendaftaran Merek Dagang di Indonesia Dan Malaysia” Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

  a. Bagaimana pengaturan merek dagang di Indonesia dan di Malaysia?

  b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap merek terdaftar di Indonesia dan Malaysia?

  3. Dwi Femi Nasution, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU tahun 2004, dengan judul: “Aspek Hukum Perjanjian Lisensi Merek Dagang” Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

  a. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi merek dagang? b. Bagaimanakah perlindungan lisensi merek dagang yang diberikan pemilik merek terhadap penerima lisensi merek dagang? c. Bagaimanakah tindakan pihak pemberi lisensi jika terjadi wanprestasi oleh pihak penerima lisensi?

  4. Made Diah Sekar Mayang Sari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana tahun 2010, dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual” Dengan permasalahan yang dibahas adalah: a. Bagaimana pengaturan merek terkenal dalam sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual?

  b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diperlukan terhadap merek terkenal di Indonesia?

  5. RR. Putri Ayu Priamsari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro tahun 2010, dengan judul: “Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomo 15 Tahun 2001 tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali)” Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

  a. Bagaimana penerapan itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan Merek berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ?

  b. Apakah dampak dari penerapan itikad baik terhadap pemilik Merek beritikad buruk ? Jika dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian- penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan demikian maka penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, salah satu arti teori adalah pendapat, cara-cara dan aturan-aturan

  16 untuk melakukan sesuatu.

  Menurut M. Solly Lubis bahwa: “Teori merupakan penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris

  17

  untuk dapat dinyatakan benar.” Snelbecker mendefinisikan teori yaitu sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan yang lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dengan

  18 penjelasan fenomena.

  Kerangka Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka

  19 berpikir dalam penulisan.

  Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan 16 permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. 17 Roony H. Semitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.

  M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 27. 18 Snelbecker dan Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hal. 34-35. 19 Ibid, hal. 80.

  20 Teori kepastian hukum dikemukakan oleh Roscoe Pound. Teori Kepastian

  Hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibenarkan atau dilakukan Negara terhadap individu. Kepastian Hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk

  21 kasus yang serupa yang telah diputuskan.

  Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang- 20 Undang itu sering terasa kejam, apabila dilaksanakan secara ketat, lex dura,

  Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Pranada Media Goup,2008), hal.158. 21 Ibid, hal. 159.

  sed tamen scripta

  (Undang-Undang itu kejam, tetapi memang demikian

  22 bunyinya).

  Dalam kaitannya dengan penelitian tesis ini yang meneliti mengenai Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek tentunya tidak terlepas dari unsur kepastian hukum. Hal yang dipertimbangkan cukup relevan dengan penelitian dalam tesis ini dikarenakan Pemilik Hak atas Merek Dagang Asing harus mendapatkan kepastian hukum untuk perlindungan terhadap Merek Dagang Asing yang mereka miliki.

  Menurut Robert M. Sherwood yang mendasari perlunya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual sesuai dengan teori :

  Reward Theory,

  a. berupa pengakuan terhadap karya itelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan suatu penghargaan sebagai imbalan atas upaya- upaya kreatif dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut.

  Recovery Theory,

  b. berupa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga 22 dalam proses menghasilkan suatu karya.

  Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Penghantar (Yogyakarta: Liberty, 1988) , hal. 136. c.

  Incentive Theory,

  berupa insentive yang diberikan kepada penemu/pencipta/pendesain untuk pengembangan keratifitas dan pengupayaan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.

  d.

  Risk Theory,

  berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang memungkinkan orang lain menemukan karya yang dihasilkan, atau memperbaikinya dan resiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara illegal.

  e.

  Economic Growth Stimulus Theory,

  perlindungan hak merupakan alat untuk pembangunan ekonomi.

  23

2. Konsepsi

  Konsepsi merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dua teori dengan observasi, antara abstraksi dan realitas.

24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi yang

  diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, disebut dengan operation/definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai.

25 Kerangka Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang

  lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk 23 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 44. 24 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34. 25 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), hal. 10. konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep merupakan suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.

  26 Kerangka

  Konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

  27 Untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama

  tentang makna dan definisi konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dijabarkan penjelasan dan pengertian tentang konsep-konsep tersebut sebagai berikut:

  1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

  2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

  3. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the Protection

  of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization

  untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di 26 Satjipto Raharjo I, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 37. 27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) , hal. 7.

  negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.

  4. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin

  28 kepada pihak lain untuk menggunakannya.

  5. Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan, serta merupakan badan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, yang salah satu kewenangannya untuk memeriksa masalah- masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti sengketa merek, paten,

  29 desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

  6. Perlindungan Merek adalah kekuatan hukum yang melindungi suatu merek 28 yang terdiri dari tiga standar perlindungan yang berlaku umum terhadap suatu 29 Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Pasal 3.

  (Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.) Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1999. kemungkinan yang membingungkan diantara merek, suatu persamaan atau penambahan dari merek-merek dan persaingan curang merek.

  30

  7. Merek Terkenal (Famous mark) adalah merek yang menjadi simbol kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.

  31 G. Metode Penelitian

  1. Sifat Penelitian

  Penelitian yang dilakukan terkait dengan pembahasan mengenai perlindungan hukum atas merek dagang asing di Indonesia, merupakan penelitian yuridis normatif, karena objek dalam penelitian ini adalah norma-norma hukum tertulis.

  2. Sumber Data

  Data dalam Penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Pengumpulan data sekunder dengan menelaah bahan kepustakaan tersebut, meliputi:

  a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat, terdiri dari bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide) seperti: 30 H. D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan

  Indonesia dan Amerika Serikat (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 22. 31 Ibid, hal. 22.

  peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi (hukum kebiasaan), yurisprudensi, putusan-putusan pengadilan, dan lainnya.

  Sedangkan dalam Penelitian ini bahan hukum primer antara lain: Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Peraturan Perundang- undangan lainnya yang berkaitan dengan merek, Putusan Pengadilan Niaga dalam perkara penyelesaian sengketa gugatan pembatalan merek.

  b. Badan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa bahan pustaka yang meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

  c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut penelitian ini, situs-situs internet juga menjadi sumber bahan bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang relevan terhadap penulisan tesis ini.

3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data

  Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum

  32

  primer, sekunder, tersier yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta putusan-putusan Pengadilan Niaga, serta sumber hukum lain yang berkaitan dengan materi penelitian.

  Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Studi dokumen atau dapat juga dikatakan sebagai studi literatur/ riset pustaka, apa yang menurut Soejono Soekanto dalam bukunya sebagai “..any

  technique for making inferences by objectively and systematically identifying specifed

  33 characteristics of massages”.

4. Analisis Data

  Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

  34

  dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data. Analisis data menurut Patton adalah “sebuah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya

  35 ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar”.

  Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang 32 33 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika , 1996), hal. 14.

  M. Hafidullah, Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code Piranti Lunak Komputer (Yogyakarta: Laporan Penelitian Lembaga Kajian Hukum Teknologi, 2005), hal. 4. 34 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 103. 35 Ibid, hal. 103. menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang telah diinventarisir.

5. Penarikan Kesimpulan

  Pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkret, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yakni pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang bersifat khusus.

Dokumen yang terkait

Prinsip National Treatment Hak Kekayaan Intelektual Dalam Pelanggaran Merek Asing Menurut Hukum Internasional

4 86 124

Pelaksanaan Prinsip First to File Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing Di Pengadilan (Studi Kasus tentang Gugatan Pencabutan Hak Merek “TOAST BOX” oleh BreadTalk Pte.Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN.Niaga/Medan)

11 168 126

Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan)

1 33 187

Tinjauan Yuridis Penerapan Prinsip Iktikad Baik Dalam Sengketa Merek (Studi Kasus Di Pengadilan Niaga Medan)

1 34 190

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Perlindungan Merek Asing Terhadap Tindakan Pendaftaran Secara Itikad Tidak Baik (Studi Putusan No. 108/PK/PDT.SUS/2011)

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

0 1 74

BAB I PENDAHULUAN - Prinsip National Treatment Hak Kekayaan Intelektual Dalam Pelanggaran Merek Asing Menurut Hukum Internasional

0 1 29