BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang berakal budi, sehingga manusia

  mampu mengembangkan kemampuan yang spesisifik, yang menyangkut daya cipta, rasa maupun karsa. Dengan akal budinya, maka kemampuan bersuara bisa menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi serta juga menyebabkan manusia mampu berpikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut sebagai makhluk pemikir.

  Manusia adalah mahkluk yang memiliki akal dan tujuan dalam menjalani kehidupannya. Tujuan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, beberapa diantaranya yaitu dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tujuan ini dapat terwujud apabila manusia memiliki ilmu pengetahuan yang cukup di berbagai aspek dalam kehidupan. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan

   gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.

  Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Tujuan dari pendidikan sudah tercantum dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang serta untuk kemajuan

  

  peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Serta membantu terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke

  IV yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

  Untuk mencapai tujuan dari pendidikan tersebut, diperlukan penyelenggaraan pendidikan yang baik. Pendidikan haruslah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, serta diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem

   terbuka dan multimakna.

  Pengelolaan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan tanggung jawab pemerintah melalui menteri. Dimana pemerintah menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dan pemerintah daerah melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sementara penyelenggaraan Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan di lembaganya. 2 Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

  Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses perkembangan di masyarakat. Karena Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan tertinggi, setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh Perguruan

   Tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.

  Satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi adalah Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi tersebut berdasarkan penyelenggaranya terbagi atas dua, yaitu Perguruan Tinggi negeri dan Perguruan Tinggi swasta.

  Perguruan Tinggi negeri merupakan Perguruan Tinggi yang didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan Perguruan Tinggi swasta adalah Perguruan Tinggi yang didirikan oleh masyarakat.

  Salah satu bentuk badan penyelenggara Perguruan Tinggi yang lazim ditemukan di masyarakat adalah berbentuk badan hukum Yayasan. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak

  

  mempunnyai anggota. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan memperoleh pengesahan dari kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  Sebagai badan penyelenggara Perguruan Tinggi, Yayasan terbagi dalam organ – organ Yayasan yang terdiri dari tiga organ yaitu: 4 Pasal 1 Butir 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang

  Pendidikan Tinggi 5 Pasal 1 butir 1 Undang Undang Republik Indonesia No 16 tahun 2001 tentang Yayasan

  1. Pembina Yayasan adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas yang terdiri dari orang perseorangan yang merupakan pendiri Yayasan dan atau mereka yang berdasarkan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi

   untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

2. Pengurus Yayasan adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan

  Yayasan yang diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam anggaran dasar Yayasan, dan pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang

   merugikan Yayasan.

  3. Pengawas Yayasan adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Pengawas Yayasan diangkat dan sewaktu waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar, serta dapat memberhentikan pengurus Yayasan untuk sementara dengan mengemukakan alasan-alasan pemberhentian dan melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan pembina yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk seterusnya atau

   pemberhentiannya dibatalkan.

  Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan berarti sangat bergantung terhadap organ – organ Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan.

  Hal ini berarti organ – organ Yayasan adalah pihak yang dapat menyelenggarakan pendidikan tersebut. Terutama pengurus Yayasan yang memiliki peran sangat dominan dalam melaksanakan kegiatan Yayasan, dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan.

  Berbagai masalah timbul dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, baik itu permasalahan non akademis sampai permasalahan akademis.

  Permasalahan yang timbul disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya keadaan sosial di masyarakat, pengaruh negatif dari media ataupun konflik internal dari penyelenggara pendidikan yang berdampak terhadap para siswanya. Dalam beberapa tahun terakhir sering terdengar di media bahwa terjadi permasalahan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, dimana kasus yang terjadi banyak Perguruan Tinggi swasta yang dinyatakan illegal. Contohnya adalah kasus PTS Universitas Generasi Muda (UGM) Medan dan Universitas of

9 Sumatera , dimana Perguruan Tinggi swasta tersebut dinyatakan illegal karena

  dituduh tidak memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan, namun tetap membuka penerimaan mahasiswa dan tetap memberikan ijazah kepada mahasiswanya. 8 9 Ibid, Hal. 19

Medan Bisnis Daily, Dua PTS Dilaporkan Kopertis Ke Kepolisian, diakses dari:

  Permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi tidak dapat dipisahkan dengan undang undang yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional dan Pendidikan Tinggi. Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur mengenai ketentuan pidana dari penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dalam Pasal 71 dimana Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dan juga mengenai ketentuan pidana tentang pemberian ijazah tanpa hak yaitu Pasal 67 ayat (1) dimana Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sementara Undang – undang no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai penyelenggara Pendidikan Tinggi yang terdapat di dalam Pasal 42 ayat (4) dimana penyelenggara Pendidikan Tinggi harus memiliki hak untuk memberikan ijazah, dan apabila melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

  

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  Salah satu kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang juga menjadi sorotan di masyarakat adalah kasus penyelenggaraan pendidikan oleh Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang disebabkan oleh konflik internal Yayasan sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan legalitas dan izin operasional pendidikan. Permasalahan ini berujung ke permasalahan pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan dimana Mahkamah Agung RI melalui putusan No: NO 275 K/PID.SUS/2012 akhirnya menjatuhkan pidana terhadap pengurus Yayasan UISU yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, dimana dalam putusan tersebut, yang dijatuhkan pidana adalah pengurus Yayasan, dalam hal ini ketua Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara. Hal ini perlu dikaji lebih dalam karena dalam Kasus Yayasan UISU tersebut yang menjadi penyebab permasalahan izin penyelenggaraan pendidikan tersebut dikarenakan adaya konflik internal dari Pengurus Yayasan.

  Izin penyelenggaraan pendidikan merupakan hal yang esensial dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas, karena apabila suatu universitas tidak memiliki izin penyelenggaraan, pihak yang paling dirugikan adalah mahasiswa serta alumni lulusan universitas tersebut. Ijazah yang dikeluarkan oleh Universitas yang tidak memiliki izin dianggap tidak sah dan tidak berlaku, dan gelar akademik yang diperoleh tidak dapat digunakan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kepentingan mahasiswa kedepannya karena akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.

  Berdasarkan latar belakang diatas serta berbagai permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan, terutama masalah tentang pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin serta tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin tersebut perlu diteliti lebih dalam, karena berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan dunia pendidikan di Indonesia.

  B. Perumusan Masalah

  Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

  1. Bagaimana kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin?

  3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/2012 ?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah:

  1. Untuk mengetahui kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.

  2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

  3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012. Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

  1. Secara Teoritis.

  Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

  2. Secara Praktis a.

  Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.

  b.

  Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah waawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

D. Keaslian Penelitian

  Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No 275 k/pid.sus/2012 Tentang Yayasan UISU)”. Pembahasan pada skripsi ini dititikberatkan untuk melihat aspek pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan tanpa izin di Perguruan Tinggi.

  Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Jurnal Mahupiki), belum ada judul yang membahas mengenai dengan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP.

  Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu Pasal dalam KUHP, yang dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

  

strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab

  Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah dalam bahasa lain yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan

   merupakan “subyek” tindak pidana.

  Didalam peraturan perUndang – undangan di Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini

  

  merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.

  Demikian dengan apa yang didefinisikan oleh simons dan van hamel. Simons mengatakan strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan

  

  oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang – undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan

   kesalahan.

  Dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana di Negara – Negara civil

  

law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun

  demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perUndang – undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tindak pidana berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama – tama suatu tindak pidana berisi

  11 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT.Eresco, 2000), Hal. 55 12 Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan , ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), Hal. 26 13 S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia danPpenerapannya, ( Jakarta: larangan terhadap kelakuan – kelakuan tertentu. Tindak pidana berisi rumusan

   tentang akibat – akibat yang terlarang untuk diwujudkan .

2. Pertanggungjawaban Pidana

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang

  

  pembunuhan, perampokan, dsb) . Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi

  

  pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana . Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

  Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai factor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Setiap sistem hukum modern mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Baik di Negara – Negara civil law maupun common

  

law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negative. Hal ini

15 Chairul Huda, Op.Cit, Hal. 31

  berarti, dalam hukum pidana di Indonesia, sebagaimana sistem civil law lainnya, Undang – undang justru merumuskan keadaan – keadaan yang dapat

  

  menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan – keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana, yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara –negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (General Defence) ataupun alasan umum peniadaan

  

  pertanggungjawaban (general excusing liability) Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki ‘defence’, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Untuk menghindari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika

   melakukan tindak pidana.

  Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus 18 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), Hal. 260 dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah: a.

  Melakukan perbuatan pidana b.

  Mampu bertanggung jawab c. Dengan sengaja atau kealpaan d.

  Tidak adanya alasan pemaaf 3.

   Penyelenggaraan Pendidikan

  Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi pelaksanaan jalur, jenjang, dan jenis Pendidikan Tinggi oleh Menteri untuk

   mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

  Penyelenggaraan pendidikan merupakan sistem pelaksanaan pendidikian baik dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat/ swasta. Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah Penyelenggaraan pendidikan tanpa izin merupakan salah satu tindak pidana di bidang pendidikan. tujuan pendidikan pada hakekatnya memiliki orientasi yang sangat mulia, namun di sisi lain bahwa dalam pelaksanaan pendidikan sering terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap norma – norma hukum atau kaidah – kaidah hukum yang ada. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah-kaidah normatif pendidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

   pendidikan.

  Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa tindak pidana pendidikan adalah suatu sikap tindak yang : a.

  Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di dalamnya b.

  Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya c. Baik disengaja maupun tidak disengaja d.

  Pelakunya dapat siapa saja , baik ia itu seorang pengajar baik di dalam ataupun di luar lembaga pendidikan formal, ataupun seorang murid, ataupun pihak orang tua/wali murid ataupun mungkin juga orang lain lagi yang sikap tindaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung mendatangkan pengaruh yang buruk pula terhadap kelangsungan suatu pendidikan, baikpendidikan tersebut bersifat formal maupun nonformal e.

  Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah di atur maupun yang belum di atur secara yuridis dalam peraturanperaturan hukum yang

  

  berlaku

4. Badan Hukum Yayasan

  Yayasan merupakan salah satu badan hukum yang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di 22 A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan Suatu Ttinjauan Filosofis-Edukatif, bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai

  

  anggota. Dalam pelaksanaannya Yayasan terdiri dari tiga organ Yayasan yaitu:

1. Pembina

  Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang – undang

  

  ini atau anggaran dasar, kewenangan Pembina Yayasan meliputi : a.

  Keputusan mengenai perubahan anggaran dasar b.

  Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas c.

  Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan anggaran dasar d.

  Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.

  Anggota Pembina diangkat dari orang – perseorangan yang adalah pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Pembina mempunyai semua kewenangan yang tidak diserahkan, baik kepada pengurus maupun pengawas oleh Undang –

  

undang ataupun anggaran dasar.

  24 25 Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 2

  Pasal 28 ayat (2) Undang – undang RI no 16 tahun 2001 tentang Yayasan Jo. Undang –

undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang undang No 16 tahun 2001 tentang

  Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh penguus atau pengawas. Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas. Selanjutnya, anggota Pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota organ suatu badan usaha yang didirikan Yayasan bersangkutan atau badan usaha di

   mana Yayasan bersangkutan menanamkan modalnya.

2. Pengurus

  Peranan pengurus sangat dominan pada suatu organisasi. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.

  Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengawas. Larangan perangkapan jabatan dimaksud untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggungjawab antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan

   kepentingan Yayasan atau pihak lain.

  Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengurus harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam anggaran dasar Yayasan. Pengurus dapat diganti setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir jika dinilai oleh Pembina melakukan tindakan yang merugikan

  

  jabatan. Susunan pengurus Yayasan terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara.

  Pengurus Yayasan, sesuai dengan asas persona standi in judicio, mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan. Jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan, anggaran dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan Yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit. Selanjutnya pengurus Yayasan juga dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, organ Yayasan, dan karyawan Yayasan, kecuali bila perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya tujuan Yayasan. Pengurus yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam mengurusi suatu Yayasan, selama lima tahun sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat

   menjadi pengurus Yayasan manapun.

3. Pengawas

  Pengawas merupakan organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengurus Yayasan. Wewenang, tugas dan tanggung jawab pengawas Yayasan diatur dalam anggaran dasar Yayasan itu sendiri. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau pengurus. Pengawas diangkat dan sewaktu – waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.

  Pengawas dapat memberhentikan pengurus untuk sementara dengan mengemukakan alasan alasan pemberhentian dan melaporkan dalam jangka waktu yang ditetapkan kepada Pembina dan Pembina yang akan menentukan apakah pengurus diberhentikan untuk

   seterusnya atau justru pemberhentian dibatalkan.

  Pengawas diangkat oleh Pembina untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Pembina wajib memberitahukan secara tertulis perihal penggantian ini kepada menteri hukum dan hak asasi manusia, dan kepada instansi terkait.

  Penggantian pengawas harus sesuai dengan anggaran dasar.

  Pengawas dalam melakukan tugasnya harus berdasarkan ”duty of

  

skill and care” , yaitu harus berdasarkan kecakapan dan kehati – hatian

  yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengawas. Oleh karena itu, bila kepailitan terjadi karena kesalahan dan atau kelalaian, seperti juga pada pengurus, setiap anggota pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut, kecuali anggota yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaian anggota tersebut. Anggota pengawas yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu paling lama lima tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat

   menjadi pengawas Yayasan manapun.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, metode penelitian diperlukan agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan – peraturan mengenai pertanggungjawaban pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs

   internet, Koran dan sebagainya .

  Penggunaan metode hukum normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normative seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perUndang – undangan

32 Ibid, Hal. 20

  atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang

   dianggap pantas.

  2. Pendekatan Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perUndang – undangan yang ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin.

  3. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang dipergunakan adalah menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan objek atau masalah tanpa maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan

   rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi objek kajian.

  4. Sumber Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan data sekunder yang terdiri atas: 1.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Seperti berbagai peraturan perundang undangan yang 34 meliputi Undang – undang, peraturan pemerintah, dll.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 118

  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku – buku, dan pendapat para ahli hukum.

  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)

  5. Teknik Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku, literatur, peraturan perundang-undangan dan artikel yang selanjutnya dicatat relevansinya dalam rangka memecahkan masalah.

  6. Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.

  Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder berupa dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

G. Sistematika Penulisan

  Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap sub – sub bab, agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut:

  BAB I: Pendahuluan, sub bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang , Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika penulisan.

  BAB II: Pembahasan mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan hukum positif di Indonesia, yang dimulai dengan bagaimana tugas dan wewenang dari pengurus Yayasan sebagai organ Yayasan, kemudian mengenai kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.

  BAB III: Pembahasan mengenai pengaturan ketentuan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yaitu ditinjau dari Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan dari undang undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

  BAB IV: Pembahasan mengenai aspek pertanggungjawaban pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan MA no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 yang dimulai dari pembahasan secara umum mengenai Yayasan UISU sebagai penyelenggara pendidikan, kemudian dilanjutkan pembahasan putusan mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/ 2012 dimulai dari kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, putusan, serta analisis putusan tersebut.

  BAB V: Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab – bab sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian skripsi ini dilengkapi dengan saran – saran.

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)

2 54 126

Pertanggungjawaban Pidana oleh Pengurus Yayasan terhadap Penyalahgunaan Dana Kekayaan Yayasan

1 48 2

Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004

0 24 158

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

BAB I PENDAHULUAN - Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20