Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI
YANG SAH
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)
OLEH
117005066/ ILMU HUKUM ZAID ALFAUZA MARPAUNG
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Assalamu a’laikum Wr.Wb.Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH” (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012). Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Magister Hukum (S.2) pada sekolah Pasca sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam penulisan tesis ini penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik yang bersifat material maupun spritual, sehingga Tesis ini dapat diselesaikan secara sederhana. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan hormat penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K). dan Pembantu Rektor, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, S.H., M.Hum. yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
(3)
Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. yang senantiasa memberikan dorongan dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menggali ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh dosen-dosen dan staf-staf civitas Akademis Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak menyalurkan ilmunya dan juga meluangkan waktu untuk mahasiswanya. Semoga Allah SWT melipat gandakan pahalanya, Amin ya Robbal alamin.
Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan sangat arif dan bijaksana, sehingga menjadi pengalaman tersendiri yang tentunya sulit untuk dilupakan. Demikian pula kepada Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. dan Ibunda Dr. Utary Maharany Barus S.H., M.Hum. selaku anggota Komisi Pembimbing, disela-sela kesibukannya masih bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat berharga hingga rampungnya penulisan Tesis ini. Semoga kiranya Allah SWT melipat gandakan pahalanya, Amin ya Robbal alamin.
Rasa terima kasih juga disampaikan secara tulus kepada Ibunda Dr. Idha Aprilyana, S.H., M.Hum. dan Ibunda Dr. Marlina, SH., M.Hum. yang telah berkenan melakukan pengujian Tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang konstruktif serta memperkaya isi materi Tesis ini.
Teristimewa dengan segala kerendahan hati dan hormat penulis
(4)
Ibrahim Marpaung dan Ibunda tercinta Hj. Zuraida, S.Pd yang dengan ikhlas dalam mengasuh, menjadi guru bagi kehidupan saya. Doa, dorongan dan dukungan positif yang diberikan hingga saat ini telah membantu penulis dalam melalui kehidupan suka maupun duka. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak saya, dr. Rabitha Ibda dan Qurrota A’yuni, S.H serta abang-abang ipar saya Kompol. Hendra Gunawan Simatupang, S.H., dan Muhammad Syafii Hutabarat, S.STP., yang penulis sayangi. Semangat, nasehat dan motivasi yang diberikan sangat membantu terselesaikannya Tesis ini. Tidak luput pula, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan/sahabat-sahabat tercinta di Program Pasca sarjana Ilmu Hukum angkatan 2011/2012, khususnya buat saudara Muhammad Yusuf Siregar, S.Hi., M.H., saudara Zainal Abidin Pakpahan, S.H., M.H., saudari Risna Oktavianti, S.H., M.H. serta teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Begitu juga ucapan terima kasih kepada rekan-rekan kantor, terutama senior abangda Tri Purnowidodo, S.H., abangda Bahren Samosir, S.H., yang telah banyak membimbing untuk penyelesaian Tesis ini.
Akhirul kalam, Tesis ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, untuk itu pada kesempatan ini penulis memohon maaf. Dan penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat dan pelajaran berharga bagi semua pihak sehingga dapat menjadi amal jariyah dihadapan Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
Medan, 25 Desember 2013 Penulis
(5)
PROFIL HIDUP (Curiculum Vitae)
Nama : Zaid Alfauza Marpaung
Tempat/Tgl Lahir : Kisaran, 24 Agustus 1988
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jl. Syech Ismail II No. 26 Kelurahan Teladan,
Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
No Telp : 085262637278.
Social Media : alfauzamarpaung@rocketmail.com.
Riwayat Pendidikan :1. SD Negeri 1 Kota Kisaran Barat, Kabupaten
Asahan, Lulus Tahun 2000.
2. MTs.S Al-Washliyah II Kota Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, Lulus Tahun 2003.
3. SMA Negeri 2 Kota Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, Lulus Tahun 2006.
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan Sumatera Utara Tahun 2006-2011.
(6)
ABSTRACT
Criminal Responsibility is the continuation of reproach objective of the offenses and subjective to a person eligible to be sent to jail for his actions. Criminal Rensponsibility lead to comprehension basically bear the punishment of the perpetrators of criminal acts. Elements of criminal responsibility among others unlawful act, error, delibérate, responsable abilities.
Arranged in polygamous marriage law No 1 of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 on The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic law for the adherents of the religión of Islam. Polygamous marriages that do not meet the requirements as specified by law No 1of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 in The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic, one of them without the consent of the lawful wife (Study of The Supreme Court Decisión No 330K./Pid/2012) a criminal offensed. Criminal sanctions stipilated in Article 45 letter a Goverment Regulation No 9 of 1975 on The Implementation of the law of Marriage which is the crime of administration and also subject to the providions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code which is a crime against civil position.
This study was conducted to determine the criminal responsibility of the polygamous marriage without the consent of the legitimate wife (Study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012). Type of research is the study of normative. This study uses data collection methods legal literature. Data analysis was done qualitatively, making it easier to analyze the problems which will be discussed later , interpret and draw conclusions.
Based of the result obtained can be concluded consideration of the judge to criminal liability study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012 polygamous marriage without the consent of the legitimate wife. The judge believes the defendant meets the criminal elements set forth in the provisions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code and the defendant has meet the elements of criminal responsibility is unlawful act, error, delibérate, responsable abilities. The judges impose conditional sentencing the defendant for 1 year
Key Word: Criminal Responsibility, Polygamous marriage without the consent of the legitimate wife.
(7)
ABSTRAK
Pertanggungjawaban Pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah kepada pemahaman menanggung akibat pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Unsur-unsur dari pertangunggjawaban pidana antara lain perbuatan melawan hukum, kesalahan, kesengajaan, dan kemampuan bertanggungjawab.
Perkawinan poligami diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi penganut agama Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, salah satunya mengenai tanpa adanya persetujuan dari istri yang sah sebagaimana studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 merupakan tindak pidana. Sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, yang merupakan tindak pidana administrasi dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP yang merupakan kejahatan terhadap kedudukan perdata .
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah (studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian Normatif. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah hakim berkeyakinan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP dan perbuatan terdakwa telah memenuhi elemen-elemen dari pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, sehingga hakim menjatuhkan pemidanaan bersyarat kepada terdakwa selama 1 tahun.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Perkawinan Poligami tanpa Persetujuan Istri yang Sah.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..……….. 1
B. Perumusan Masalah……….. 13
C. Tujuan Penelitian………... 13
D. Manfaat Penelitian……...………... 14
E. Keaslian Penelitian ……….…... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi…………...………... 15
1. Kerangka Teori……….…... 15
2. Kerangka Konsep ………...………... 22
G. Metode Penelitian ………...……… 24
1. Jenis Penelitian ………..…... 25
2. Sumber Bahan Hukum ………... 26
3. Teknik Pengumpulan Data ………. 27
4. Analisis Data ………... 28
BABII KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH. A. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ………... 31
1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……… 31
2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam……... 36
B. Kedudukan Sanksi Pidana………... 42
1. Sanksi Pidana Administrasi………... 49
2. Sanksi Pidana Menurut KUHP………... 58
(9)
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BERDASARKAN STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 330K/PID/2012 MENGENAI PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH.
A. Posisi Kasus……….. 67
1. Kronologis……… 67
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum……….. 69
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum………... 71
4. Pertimbangan Hakim………... 76
5. Putusan Hakim……….. 83
B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Studi Putusan No. 330K/Pid/2012………... 88
1. Analisis Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Konsep Pertanggungjawaban Pidana……… 88
a. Perbuatan Melawan Hukum………... 89
b. Kesalahan……… 90
c. Kesengajaan……….... 93
d. Kemampuan Bertanggungjawab………... 96
2. Analisis Pertimbangan Hakim……….. 98
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan……… 109
B. Saran………... 110
(10)
ABSTRACT
Criminal Responsibility is the continuation of reproach objective of the offenses and subjective to a person eligible to be sent to jail for his actions. Criminal Rensponsibility lead to comprehension basically bear the punishment of the perpetrators of criminal acts. Elements of criminal responsibility among others unlawful act, error, delibérate, responsable abilities.
Arranged in polygamous marriage law No 1 of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 on The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic law for the adherents of the religión of Islam. Polygamous marriages that do not meet the requirements as specified by law No 1of 1974 concerning Marriage, Goverment Regulation No 9 of 1975 in The implementation of the law of Marriage and Compilation of Islamic, one of them without the consent of the lawful wife (Study of The Supreme Court Decisión No 330K./Pid/2012) a criminal offensed. Criminal sanctions stipilated in Article 45 letter a Goverment Regulation No 9 of 1975 on The Implementation of the law of Marriage which is the crime of administration and also subject to the providions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code which is a crime against civil position.
This study was conducted to determine the criminal responsibility of the polygamous marriage without the consent of the legitimate wife (Study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012). Type of research is the study of normative. This study uses data collection methods legal literature. Data analysis was done qualitatively, making it easier to analyze the problems which will be discussed later , interpret and draw conclusions.
Based of the result obtained can be concluded consideration of the judge to criminal liability study of The Supreme Court Decision No 330K/Pid/2012 polygamous marriage without the consent of the legitimate wife. The judge believes the defendant meets the criminal elements set forth in the provisions of Article 279 paragraph 1 of The Criminal Code and the defendant has meet the elements of criminal responsibility is unlawful act, error, delibérate, responsable abilities. The judges impose conditional sentencing the defendant for 1 year
Key Word: Criminal Responsibility, Polygamous marriage without the consent of the legitimate wife.
(11)
ABSTRAK
Pertanggungjawaban Pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah kepada pemahaman menanggung akibat pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Unsur-unsur dari pertangunggjawaban pidana antara lain perbuatan melawan hukum, kesalahan, kesengajaan, dan kemampuan bertanggungjawab.
Perkawinan poligami diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bagi penganut agama Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, salah satunya mengenai tanpa adanya persetujuan dari istri yang sah sebagaimana studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 merupakan tindak pidana. Sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 45 huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, yang merupakan tindak pidana administrasi dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP yang merupakan kejahatan terhadap kedudukan perdata .
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah (studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian Normatif. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan. Analisis data yang dilakukan secara kualitatif, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah hakim berkeyakinan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 279 ayat 1 KUHP dan perbuatan terdakwa telah memenuhi elemen-elemen dari pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, sehingga hakim menjatuhkan pemidanaan bersyarat kepada terdakwa selama 1 tahun.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Perkawinan Poligami tanpa Persetujuan Istri yang Sah.
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang.
Hukum dan budaya dalam perkawinan yang berlaku di masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu hidup. Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan agama membutuhkan suatu aturan yang merupakan realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang yang bersifat nasional dan sesuai dengan falsafah pancasila. Konstitusi menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.1
Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri yang senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.2
1
Lihat Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28B ayat 1Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945
Sahnya suatu perkawinan selain harus menurut hukum agamanya, juga harus menurut kepercayaan dari agama yang dianut oleh calon mempelai bersangkutan. Negara berusaha untuk mengatur perkawinan dengan
2
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 1, Bab I, Mengenai Dasar Perkawinan, L.N R.I Tahun 1974, Nomor 1
(13)
suatu Undang-undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum dibidang hukum perkawinan.3
Sebelumnya mengenai hukum perkawinan diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling Op Gemeng de Huwelijken S.1898 No 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Perkawinan. Namun setelah diberlakukan Undang-undang Perkawinan maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan sebelumnya tidak diberlakukan lagi.
4
Adanya Undang-undang Perkawinan berarti terciptalah kepastian hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan. Unifikasi hukum perkawinan nasional, menjadikan masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka suku, golongan dan agama tersebut tunduk pada satu hukum perkawinan yang berdasarkan Undang-undang perkawinan yang sah, sehingga menciptakan keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling), sebagai
perbuatan hukum mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu
3
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 1
4
Lihat Pasal 66 Undang-undang Perkawinan.
5
(14)
perbuatan hukum di tentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-undang tersebut.6 Perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang bukan mahramnya dalam waktu yang lama.7
Esensinya perkawinan dilangsungkan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan, kekal dan abadi sebagaimana didefinisikan Pasal 1 Undang-undang perkawinan.
8
Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri, perkataan lain dapat disebut sebagai hubungan formal. Hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tetapi ikatan itu harus ada karena tanpa ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Seyogyanya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Taraf permulaan untuk mengadakan Sampai seberapa jauh kekekalan dan keabadian rumah tangga suatu perkawinan akan bergantung pada kuatnya ikatan lahir batin antara suami isteri. Semakin kuat ikatan lahir batin suami isteri menunjukkan semakin besar iman mereka pada Tuhan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir ataupun ikatan batin saja, melainkan harus kedua-duanya.
6
Ibid, hal. 20.
7
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2001), hal. 374.
8
Pasal 1 Undang-undang Perkawinan. Berbunyi: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
(15)
perkawinan, ikatan batin diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Seterusnya ikatan batin akan merupakan inti ikatan lahir. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan pondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.9
Pada prinsipnya Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami,10
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki
seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
tetapi memberikan pengecualian kepada suami untuk berpoligami dengan pembatasan-pembatasan yang cukup berat berupa pemenuhan dan syarat tertentu serta izin dari pengadilan, seperti yang disyaratkan oleh Undang-undang Perkawinan. Sebagaimana dipertegas dalam Pasal 3 Undang-undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Perkawinan harus mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami. Pasal 4 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:
9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980 ), hal
15.
10
Monogami adalah suatu Asas dalam Undang-undang Perkawinan. dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seseorang boleh beristri lebih dari seorang.
(16)
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Menurut Undang-undang Perkawinan, hanya berdasarkan alasan-alasan sebagaimana terdapat pada Pasal 4 ayat 2 (dua) itulah seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang Perkawinan ditegaskan pula bahwa:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 (satu) huruf a Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
(17)
apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai poligami bagi pemeluk agama Islam terdapat juga dalam Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, diatur dalam Bab IX Pasal 55 sampai dengan Pasal 59. Isi pasal-pasal ini bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Ketentuan-ketentuan tersebut bertalian dengan persyaratan, pembatasan dan tatacara pengajuan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama.
Persyaratan dan pembatasan yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak melakukan poligami adalah sebagai berikut:11
1. Batasan istri yang dikawini dalam waktu yang sama hanya sampai empat
orang istri.
2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Syarat adil ini merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi. Jika tidak mungkin dipenuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari seorang.
3. Suami harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi
Pasal 4 ayat 2 (dua) dan Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan dilakukan menurut tata cara pada Bab VIII PP No 9 tahun
11
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Hecca Mitra
(18)
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Apabila perkawinan dengan istri kedua dan seterusnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, maka perkawinan-perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Apabila istri tidak menyetujui suaminya melakukan poligami, maka
Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin poligami setelah mendengar dan memeriksa istri tersebut di persidangan dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan beristeri lebih dari satu orang harus mempunyai izin dari Pengadilan Agama dan memenuhi syarat lain yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang No 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”. Selanjutnya Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam antara lain dibidang perkawinan”.
Sarlito Wirawan Sarmono dan kawan-kawan menyatakan bahwa, bahtera perkawinan tidak selamanya dapat mengarungi samudera kehidupan dengan tenang
(19)
dan lancar, setelah keluarga terbentuk, berbagai masalah bisa timbul dalam kehidupan keluarga yang pada gilirannya dapat menjadi benih yang mengancam kehidupan perkawinan yang berakibat keretakan ataupun perceraian.12
Oleh karena itu, putusnya hubungan perkawinan karena perceraian tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan didahului oleh keadaan keretakan dalam membina mahligai rumah tangga yang menjurus kepada ketidakharmonisan dan keserasian dalam bekeluarga. Keserasian antara pasangan suami isteri merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan perkawinan, yaitu memperoleh keturunan dan ketentraman serta mewujudkan kemaslahatan bersama, bila keserasian itu tidak terjadi dan sudah tidak bisa lagi menyatukan dua watak yang berbeda, maka tidak ada lagi kemaslahatan dalam perkawinan.
Suami atau istri cenderung menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada orang lain, bila ini terjadi maka tujuan perkawinan, sudah tidak mungkin dapat dicapai lagi, sehingga perceraian mengandung kebaikan, kemuliaan, kesantunan dan rahmat.13 Ketika dalam suatu kehidupan perkawinan diisi dengan banyak kebohongan dan tidak adanya rasa kebersamaan, kasih sayang dan harga menghargai maka akan terciptalah suatu ketidakharmonisan yang bisa mengakibatkan banyak hal, baik itu pertengkaran, perceraian dan bahkan poligami.14
12
Sarlito Wirawan Sarmono, Dkk, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Rumah
Keluarga, (Jakarta : Pustaka Antara, 1996) hal. 12
13
Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Rahman Albukhari, Keagungan dan Kemudahan
Syariat Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia,1999) hal. 104
14
(20)
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).15 Elbert Hubbard, seorang
penulis Amerika Serikat16 menyatakan poligami adalah sebuah usaha untuk
mendapatkan lebih banyak dari yang semestinya diberikan oleh kehidupan. Poligami adalah tradisi yang telah lama berlaku sebelum Islam datang, dan berkembang disemua wilayah, pada suatu saat ketika perempuan dianggap sebagai spesies khusus antara manusia dan hewan.17
Poligami merupakan perkara yang telah lama sekali, namun tidak diketahui adanya aturan yang jelas, kecuali dalam syari’at Islam. Praktik poligami bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam saja, namun poligami merupakan sejarah seluruh ummat manusia. Agama-agama besar di dunia memang beragam dalam memandang masalah poligami. Pada masyarakat Hindu zaman dulu misalnya, telah terjadi praktik poligami maupun poliandri.
18
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, apabila seorang suami hendak beristri lebih dari satu orang maka harus mengajukan permohonan ke pengadilan dan adanya persetujuan dari istri yang sah, Undang-undang Perkawinan tidak melarang tetapi membatasi seorang suami untuk sulit beristri lebih satu, salah satu syaratnya adalah persetujuan dari istrinya, apabila perkawinan poligami tidak memenuhi syarat-syarat ketentuan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan, maka terdapat kedudukan sanksi pidana.
15
http://bsi-actions.indonesianforum.net/t60-pengertian-poligami, diunduh tanggal 27
Februari 2013, jam 17.30 WIB
16
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami?(Yogyakarta: Pustaka Marwa,
2007) hal.13.
17
Ibid, hal 13
18
(21)
Setiap orang yang melakukan perkawinan poligami tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan merupakan tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pidana Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan ketentuan Pasal 279 KUHP. Ketika perkawinan menjadi tindak pidana, maka ada beberapa orang yang menjadi pelaku perbuatan tersebut, yaitu suami (laki-laki) dan istri (perempuan). Fenomena poligami tanpa persetujuan istri yang sah merupakan salah satu bentuk permasalahan yang cukup banyak terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Umumya poligami dilakukan diluar prosedur oleh suami dikarenakan sulitnya untuk berpoligami berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Poligami dinilai banyak mudharatnya ketimbang kemashlahatannya. Stigma negatif yang melekat terhadap poligami dikarenakan isteri merasa kecewa, sakit hati, sulitnya berlaku adil sehingga mengakibatkan rumah tangga berantakan.19
Sebagaimana contoh berdasarkan putusan Mahkamah Agung
No.330K/Pid/2012 mengenai perkara perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah dilakukan oleh IF yang sebelumnya telah menikah sah dengan NR pada tanggal 13 februari 1997 di dusun IV Desa Pasar Bengkel Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai dan telah memiliki 2 (dua) orang anak dari hasil perkawinan berdasarkan kutipan akte nikah No.917/51/II/1997 tanggal 24 Februari 1997.
19
Abdurrahman Husein, Hitam Putih Poligami, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
(22)
Kemudian pada hari jum’at tanggal 08 juli 2008, IF menikah lagi dengan WN tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari istri pertama NR, tanpa adanya izin pengadilan. Selanjutnya yang menikahkan diri IF dengan WN adalah P yang merupakan orang tua kandung dari WN, karena permintaan keduanya dan tidak dicatatkan di kantor urusan agama. Pada bulan agustus 2008, IF mengurus buku nikah di kabupaten karo melalui seorang yang bernama J, yang saat ini tidak diketahui alamatnya. Akibat dari perbuatannya tersebut, IF dihukum karena melakukan tindak pidana Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP.
Putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 tersebut di atas merupakan perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang melakukan perkawinan secara tidak sah atau suatu perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sehingga pelaku dihukum dengan dakwaan ketentuan Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP.
Ketentuan Pasal 279 KUHP ayat (1) berbunyi “Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:
1. Barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinan nya yang
sudah ada menjadi halangan yang sah baginya kawin lagi.
2. Barangsiapa yang kawin,sedang diketahuinya bahwa perkawinan yang sudah
ada dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain itu akan kawin lagi.20
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.21
20
R.Soesilo, KUH Pidana, (Bogor: Politia,1994), hal 203
(23)
sifatnya, perbuatan-perbuataan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.22
Menurut Soedarto, hakikatnya fungsi hukum pidana secara umum yaitu mengatur hidup kemasyarakatan, atau menyelenggarakan tata hidup dalam masyarakat. Sedangkan khusus melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan, kehormatan, harta benda, dan kemerdekaan) dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih kejam bila dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Perkataan lain sebagai alat kontrol sosial fungsi hukum pidana sifatnya subsidiair.23 Artinya hukum pidana hendaknya dilaksanakan manakala usaha-usaha lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat mengatasi dan memadai.24
Fungsi hukum pidana yang bersifat subsidair juga sering disebut dengan
istilah Ultimum remedium (obat terakhir), yaitu sebagai obat akan dipergunakan
manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak efektif dipergunakan. Idealnya sepanjang pergaulan hidup masyarakat, masih efektif diatur dengan menggunakan
21
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam hukum Pidana, Pidato
Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1955. Mengatakan “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan hukum pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut,
dinamakan perbuatan pidana, Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
(Jakarta:Aksara Baru, 1983), hal. 13.
22
Ibid,hal 13
23
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang:UMM Press, 2009) hal. 25
24
(24)
hukum lain diluar hukum pidana, maka semestinya tidak perlu menggunakan hukum pidana.25
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami tanpa
persetujuan istri yang sah?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap pertanggungjawaban
pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latarbelakang dan perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan sanksi pidana terhadap perkawinan poligami
tanpa persetujuan istri yang sah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim terhadap
pertanggungjawaban pidana berdasarkan studi putusan Mahkamah Agung No.330 k/pid/2012 mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah.
25
(25)
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, masing-masing sebagai berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih,
dan kontribusi serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan, khususnya yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum terhadap pertanggungjawaban pidana dalam perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan referensi bagi aparat penegak hukum (law of enforcement) yakni polisi, jaksa, hakim dan juga masyarakat untuk mengetahui, memeriksa, mengadili dan memutus perkara terkait permasalahan perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah.
E.Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan pascasarjana Ilmu hukum Universitas Sumatera Utara, terdapat penelitian yang berjudul “Perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami ditinjau dari UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam (Studi kasus di Kab. Aceh besar), Imam Jauhari, Nim 982105014”. Namun penelitian menyangkut judul mengenai “Pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah ( studi putusan Mahkamah Agung No. 330
(26)
K/pid/2012) belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi
bahan perbandingan, pegangan teoritis.26 Kerangka teori merupakan landasan
berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat
pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.27
Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.28
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori Pertanggungjawaban Pidana.
26
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80
27
Hadari Nawawi,”Metode Penelitian Bidang Sosial , (Yogyakarta:Universitas Gajah mada
Press,2003), hal. 39-40
28
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum normatif
(27)
pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada
abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of
Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word
“liability” for the situation whereby one exact legally and otheris legally subjected to the exaction”.29
Bertitik tolak pada rumusan tentang pertanggungjawaban (liability)
diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.
Kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, atau sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.30
29
Romli Atmasasmita, “Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: Yayasan
LBH, 1989), hal.79
30
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana( Tinjauan
Terhadap Pasal 44 KUHP), dalam buku Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
(28)
Menilik uraian di atas, jelas bahwa soal pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah kesalahan (schuld). Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas, Sudarto menyatakan hal yang sama bahwa:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau berifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan ( an objective breach of a penal
provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.31
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, disini berlaku asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” (Keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau
nulla poene sine culpa). “Schuld” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan.
Kesalahan (schuld) yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang
melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela.32
31
Sudarto, Hukum Pidana 1, (Semarang: Bahan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, 1988) hal.
85
Roeslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi
32
(29)
kemasyarakatan, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian.33
Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechtelijke gedraging). Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum di dalam perumusan hukum positif, disitu berarti
mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en wederrechteleijkeheid) dan
kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).34
Perbuatan pidana, Pertanggunganjawaban, dan Pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Sistem aturan-aturan ini dapat bersifat luas dan aneka macam (hukum perdata, hukum pidana, aturan moral dan sebagainya). Kesamaan dari ketiga-tiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti oleh setiap kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi perbuatan pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.35
33
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru), hal. 77
34
Ibid hal. 79
35
Roeslan Saleh, “Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana”, (Jakarta: Ghalia,
(30)
Mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.36
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Hal itulah yang mendasari konsepsi liability menurut Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan tentang pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau tidak bersifat kausal, melainkan menurut hukum.
Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.
Jadi, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.37
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana, tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
36
Ibid, hal. 35
37
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). Lihat juga
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Lokakarya Masalah Pembaharuan
Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Buku I, BPHN Departeman Kehakiman, Jakarta, 13-15 Desember
(31)
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana itu, ada
dua aliran yang selama ini dianut, yaitu aliran indeterminisme dan aliran
determinisme. Kedua aliran tersebut membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan.
Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga
tidak ada pemidanaan. Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan,
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, yaitu perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut.
Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
(32)
perbuatannya.38
Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan
kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan
pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat
dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa
tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang padahal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana.
Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap
perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban
masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai buah hasil dari kesalahan oleh sipembuat”.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah. Terhadap perkawinan poligami yang
38
(33)
tidak memenuhi prosedur, persyaratan, dan batasan-batasan yang ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan berlaku, maka bagi pelaku tersebut perbuatannya dinilai telah melanggar hukum, sehingga patut dicela untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Sebagaimana putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012 terhadap pelaku perkawinan poligami tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan tindak pidana Pasal 279 KUHP.
2. Kerangka konsep
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk
keperluan analitis.39 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi
atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.40
Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori dalam suatu penelitian. Konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut sebagai definisi operasional. Definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Bertitik tolak dari
39
Satjipto Raharjo, KonsepIlmu Hukum, (Bandung: Citra Adithya Bakti, 1996), hal. 397
40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(34)
kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai definisi operasional, yaitu antara lain:
a. Pertanggungjawaban Pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif terhadap tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut.41
b. Kedudukan Sanksi Pidana dimaksudkan adalah sebagai alat pemaksa berupa
pidana yang dipergunakan oleh penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap norma hukum yang telah ditetapkan.
c. Perkawinan Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami
mengawini lebih dari satu isteri pada waktu yang sama.42
d. Tanpa persetujuan Istri yang sah dimaksudkan adalah tidak adanya izin yang diberikan oleh isteri pertama untuk melakukan perkawinan (pernikahan) kembali.
e. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.43
f. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
41
Lihat Pasal 36 Rancangan KUHP bagian kedua mengenai Pertanggungjawaban Pidana, tahun 2006
42
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum,
2004), hal. 43
43
Lihat Pasal 1 angka 6 butir b tentang Ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(35)
dalam Undang- undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.44
g. Hakim adalah Pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.45
h. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri.46
G.Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah, selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran. Dilaksanakan penelitian untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar
44
Lihat Pasal 1 angka 7 tentang Ketentua Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
45
Lihat pasal 1 angka 9 tentang Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
46
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
(36)
suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang
harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.47
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori-teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa social atau peristiwa hukum tertentu.
48
Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum
tertentu dengan jalan menganalisisnya.49 Adapun metode penelitian yang
dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau
47
Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2005), hal. 9
48
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 105
49
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
(37)
ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.50
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, maka bahan yang dipergunakan dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:
a. Undang-undang Dasar 1945.
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d. Undang-undang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
e. Undang-undang No 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan.
g. Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
h. Putusan Mahkamah Agung No.330K/Pid/2012.
50
(38)
i. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari:
a. Buku-buku.
b. Jurnal-jurnal. c. Majalah-majalah. d. Artikel-artikel.
e. Dan berbagai tulisan lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: Kamus Hukum, Ensiklopedia, Majalah dan Jurnal Ilmiah.51
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan bahan hukum kepustakaan( library research).52
51
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Grafitti Press, 1990) , hal 14
52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal
112-113.Studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya: a) mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang digunakan. b) sebagai sumber data sekunder, c) mengetahui historis dan perspektif
(39)
Studi kepustakaan digunakan terutama untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, dokumen resmi, publikasai dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh bahan hukum.53 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.54
Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep dan bahan hukum yang merupakan modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada bahan hukum yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan bahan hukum yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan lainnya. Penarikan kesimpulan dilakukan
dari permasalahan penelitiannya, d) mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan, e) memperkaya ide-ide baru, dan f) mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut.
53
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data,mengorganisasikan kedalam suatu pola,kategori dan satuan uraian dasar.Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari
hubungan diantara dimensi uraian.dalam Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280
54
(40)
dengan menggunakan logika berpikir deduktif-induktif yakni dilakukan dengan teori yang dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian.55
Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No.330 K/Pid/2012). Kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan hukum penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang
kedudukan hukum pidana terhadap perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap kedudukan hukum pidana dalam perkawinan poligami tanpa persetujuan isteri yang sah).
c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka peikiran diarahkan kepada aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif, sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.
55
(41)
BAB II
KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH
A.Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)56 bagi penganut agama Islam.
Walaupun pada dasarnya asas57 yang melekat dalam Undang-undang perkawinan
tersebut merupakan asas monogami.58 Namun menurut Yahya Harahap asas
hukum59 dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas
monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.60
56
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma’) ulama dari berbagai
“golongan”melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai
hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia,
(Malang: Bayumedia, 2003) , hal. 32
57
Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu “asasun” yang berarti pondasi.
Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 52
58
Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. (pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1996), hal. 184
59
The Liang Gie berpendapat bahwa yang dimaksud asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara- cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan oleh serangkain perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
(42)
Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang.
Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa61
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
:
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus
Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengedepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), hal. 34
60
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal. 25-26
61
Lebih Lanjut Lihat Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(43)
mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang. Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.62
Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.63
Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5
62
Lebih Lanjut Lihat Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
63
(44)
ayat 1 (satu) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan.
Perkawinan oleh seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami). Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan”. Selanjutnya Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga menyebutkan alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk kawin lagi. Secara lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang
PelaksanaanUndang-undang Perkawinan menyatakan:64
“Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi ialah: a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup,
istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan;
64
Lebih lanjut lihat Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(45)
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaa Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan Pasal
41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.65
Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa:
“Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.66
Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkann bahwa:
“Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”.67
65
Lebih Lanjut Lihat Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
66
Lebih Lanjut Lihat Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
67
Lebih lanjut lihat pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
(46)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa seorang suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami), haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum didalam ketentuan pasal-pasal tersebut.
2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam
Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami bagi pemeluk agama Islam. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam memuat syarat substansial berpoligami yang melekat pada seorang suami, yakni terpenuhinya keadilan sebagimana yang telah ditetapkan. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.68
Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk
68
Lebih Lanjut Lihat Pasal 55 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
(47)
berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selanjutnya Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam juga mengemukakan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:69
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada Ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami, karena di Indonesia adalah negara
hukum (rechstaat) sehingga segala urusan hubungan manusia, maka
pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang.
Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan kewajibannya. Hal tersebut juga pada hakikatnya haruslah mendapat izin dari Pengadilan Agama. Sebagaimana Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dan seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
69
Lebih Lanjut Lihat Pasal 56 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul Rahmat Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang: Bayumedia, 2003.
Abdussalam, R, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, Jakarta: Restu Agung, 2006.
Abidin Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Schema (Bagan) dan Synopsis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Ablisar Madiasa, Pemidanaan, Gugurnya Penuntutan dan Menjalani Pidana, Medan: Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2005.
---, Hukuman Cambuk sebagai Alternatif Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Medan: USU Press, 2010. Bemmelen van J.M, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material Bagian Umum,
Bandung: Binacipta, 1987.
Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1988. Chazawi Adami, Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Daliyo, J.B, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Prennahlindo, 2001.
Djubaedah, Neng, dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005.
Dirjosiworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983.
Farid Abidin Zainal, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. Hamdan.M, Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Alasan Penghapus Pidana,
Medan: USU Press, 2008.
Hamzah, Andi, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, ---, dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di
Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983. ---, KUHP&KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta,2006.
Harahap M.Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 1975. ---, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka
(2)
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994.
Husein, Abdurrahman, Hitam Putih Poligami, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007.
Kartanegara Satochid, Pidana Bagian 1, Jakarta: PT Citra Aditya Bhakti, 2000. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Mss, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum, 1997.
Lamintang P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.
Makarim Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Jogyakarta: Liberty, 2005.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 2008. ---, Kitab Undang-undang Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Moelong, J, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhammad, Abu Abdillah bin Abdul Rahman Albukhari, Keagungan dan Kemudahan Syariat Islam, Bandung, Penerbit Pustaka Setia,1999. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
Muladi, Lembaga Pidana Masyarakat, Bandung:Alumni, 1985.
---, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
---, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.
---, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: The Habibie Center, 2002.
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2004.
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
(3)
Nawawi Arief, Barda, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2003.
---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987. Prakoso Djoko, Upaya Hukum yang Diatur di dalam KUHAP, Jakarta: Aksara
Persada Indonesia,1987.
Prasetyo Teguh, Kriminalisasi Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2007. Priyatno Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Bandung: Cv. Utomo, 2004.
Prodjohamidjojo Martiman, Putusan Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia,1983. Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas Pidana di Indonesia, Bandung: PT Eresco, 1989. ---, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2003.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Adithya Bakti, 1996.
Rahman, Abdur, Ilmu Hukum, Teori dan Ilmu Perundang-undangan, bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.
Ramulyo Mohd Idris, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Ronny Hanintijo, Soemitro Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
S.Suriasumantri, Jujun, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Saleh Roeslan, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
---, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Saleh, Wantjik, K, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1976.
Santoso Agus Muhari, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002.
Sianturi S.R, Asas-asas Pidana Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992. Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta: Akademi Pressindo, 1985.
(4)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
---, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1994.
Soetami Siti, Hukum Administrasi Negara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1993.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 1995. Sudarto, Hukum Pidana I, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
---, Kapita Selekta Hukum, Bandung: Alumni, 1986.
Sunggono, Bambang Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010. Syahar, Saidus Undang Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya Ditinjau
Dari Segi Hukum Islam, Bandung: Alumni, 1981.
Tatapangarsa, Humaidi, Hakekat Poligami Dalam Islam, Surabaya: Usaha Nasional, 2001.
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang: UMM Press, 2009.
Triwulan, Titik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2007.
Utrecht. E, Hukum Pidana Jilid I, Jakarta: Universitas, 1960. ---, Hukum Pidana Jilid II, Jakarta: Universitas, 1960.
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003.
Wirawan Sarmono, Sarlito, dkk, Apa dan Bagaimana Mengatasi Problema Rumah Keluarga, Jakarta : Pustaka Antara, 1996.
W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.
Yunus, Mahmud Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 2008.
MAKALAH
Kalo Syafruddin, Hukum Acara Pidana Teori dan Praktek, Disampaikan Pada Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat, yang diselenggarakan oleh
(5)
Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Medan Kerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, 2007.
Kartanegara Satochid, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955.
Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam 17 Januari 2004.
---, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990
Peraturan Perundang- undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dokumen
Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor 330K/Pid/2012. Putusan Pengadilan Tinggi Registrasi Nomor 15/Pid/2011/PT-MDN. Putusan Pengadilan Negeri Registrasi Nomor 1412/Pid.B/2010/PN-LP.
Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor…. Tahun 2006, Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Petunjuk Ketua Mahkamah Agung mengenai Penetapan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, No. MA/Pemb/0156/77, tanggal 25 Februari 1977.
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan , tertanggal 22 Nopember 1993.
(6)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Internet