Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

(1)

POLA ASUH ORANG TUA ANAK KORBAN PERCERAIAN DAMPINGAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DAERAH

PROVINSI SUMATERA UTARA (KPAID-SU)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Disusun oleh : Erlince Situmorang

NIM : 100902041

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Erlince Situmorang

NIM : 100902041

ABSTRAK

POLA ASUH ORANG TUA ANAK KORBAN PERCERAIAN DAMPINGAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DAERAH SUMATERA UTARA (KPAID-SU)

Kasus perceraian saat ini bukan lagi sebagai aib yang besar tetapi seolah-olah dijadikan sebagai kebanggaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari angka perceraian di Indonesia merupakan hal yang menyedihkan. Ini jelas dari data yang datang dari masyarakat Sumatera Utara mengadu ke KPAID-SU bahwa tiap tahunnya angka perceraian terus meningkat. Sepanjang tahun 2012, KPAID-SU telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 191 kasus. Jumlah tersebut meningkat sekitar 15% di banding tahun 2011 yang mencapai 163 kasus. Kasus di KPAID-SU terbesar adalah masalah hak pengasuhan pada anak yang diperebutkan oleh kedua orang tua yang sedang dalam proses penceraian dan atau telah bercerai, angkanya sebanyak 54 kasus atau lebih dari 28,27%.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU). Metode penelitian ini menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan mengadakan kategorisasi dan selanjutnya dianalisis.

Data-data mengenai pola asuh orang tua anak korban perceraian dalam penelitian ini disamarkan demi kepentingan perlindungan anak. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa mengenai pola asuh orang tua anak korban harus tetap diperhatikan demi terpenuhinya hak-hak dasar anak sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.

Kata Kunci: Pola Asuh Orang Tua, Anak, Perceraian

     


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name : Erlince Situmorang

NIM : 100902041

ABSTRACT

PARENTING PARENTS DIVORCE CHILD VICTIMS OF CHILD PROTECTION COMMISSION ADJACENT REGION NORTH SUMATRA INDONESIA (KPAID-SU)

Cases of divorce today is no longer as great a disgrace but as if made as pride. Based on the data obtained from the divorce rate in Indonesia is a sad thing. It is clear from the data that comes from the people of North Sumatra complained to KPAID-SU that each year the divorce rate continues to rise. Throughout the year 2012, KPAID-SU had received complaints from the public as much as 191 cases. The amount is increased by approximately 15% from the year 2011 which reached 163 cases. Case in KPAID-SU is the biggest issue on child custody is contested by both parents who are in the process of divorce or have divorced, the figure was 54 cases or more than 28.27%.

A problem to be raised is "Parenting the Parent Child Victims of Divorce Adjacent Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU)". This study aims to determine how the Parent Parenting Children Victims of Divorce Adjacent Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU). Methods This study uses descriptive qualitative approach. This research was conducted in the Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU). Data was collected by in-depth interviews and field observations. Data retrieved later narrated by conducting qualitative categorization and further analyzed.

Data on parents' parenting children of divorce in this study camouflaged in the interests of child protection. Based on the data that has been collected and analyzed can be concluded that the pattern of parenting a child victim should still be considered for the sake of fulfilling the basic rights of children according to the Child Protection Act No. 23, 2002.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhanku Yesus Kristus atas berkat kasih karunia-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Doa yang dipanjatkan dengan hati

yang merendah kepada-Nya menjadikan hidup lebih berharga dan lebih terberkati.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Sangat di harapkan kritik dan saran guna untuk membangun kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa banyak sekali doa dan bantuan yang mengiringi penulis di dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua ku, Bapak Bidan Situmorang dan Mama Ruminta br LumbanBatu

penulis ucapkan atas motivasi, kasih sayang dan dukungannya yang telah penulis rasakan baik secara materi maupun do’a segala yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah hingga saat ini. Terima kasih juga penulis ucapkan khusus buat Mama segala perhatiannya, kesabaran dan semangatnya saat-saat penulis mulai merasakan lelah,

sehingga penulis dapat bangkit dan termotivasi kembali ketika mendengar akan kata-kata yang mu Ma. Semoga dengan apa yang kalian berikan kepada penulis, biarlah Tuhan Yesus yang selalu senantiasa memberikan rejeki, kesehatan, dan panjang umur. Tuhan

Yesus Memberkati. I love You.

2. Buat abang, kakak, dan adik yang ku kasihi, Binsar Tohap Situmorang, SP, Rismawati Aprita Situmorang, SS, dan Benny Situmorang yang sudah menjadi insipirasi saya


(5)

selama ini, dan atas semangat yang telah kalian berikan kepada saya dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Hairani Siregar, S.Sos., M.S.P. selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara juga selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini. Terima kasih banyak Ibu atas bimbingan dan pengetahuan yang Ibu berikan dalam penulisan skripsi ini. Banyak sekali masukan yang

Ibu berikan untuk memperbaiki penulisan dalam penelitian ini. Semoga ilmu pengetahuan yang Ibu berikan dapat menjadi bekal pembelajaran bagi saya kedepannya. 5. Terima kasih saya ucapkan kepada semua staff pengajar dan staff kepegawaian di

kampus FISIP USU yang telah memberikan banyak kesempatan untuk membantu saya

ketika mengalami kesulitan hingga menghantarkan saya sampai pada akhir penulisan studi ini.

6. Kepada Bapak Mhd. Zahrin Pilliang, selaku Ketua KPAID-SU (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara) saya ucapkan terima kasih yang telah

memberikan kesempatan buat saya untuk melakukan penelitian disana.

7. Buat Bang Muslim, selaku Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi serta selaku mentor saya selama penelitian yang telah bersedia untuk membantu penulis lewat diskusi terbuka tentang pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak. Buat kak devi

sirait juga yang telah memberikan kepada saya lewat masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Kak Elvi, Kak Nora, Bang Syarifuddin, Bang Madun, Farid,


(6)

dan Fitri terima kasih juga yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bergabung dalam keseharian kegiatan di KPAID-SU.

8. Buat Militia Christy (Yohanna, Juwita, Sintong, Fonny, Pera, dan Josua) makasih buat hari-hari kebersamaan yang kita lewati bersama selama 4 tahun ini, buat semangatnya,

kasih sayangnya, tertawa dan kesedihan yang membuat tali persaudaraan dan persahabatan kita semakin erat tak lekang oleh waktu. Kalian-kalian semua is the best lah, kalau istilahnya itu tak tergantikan, hehe. Semangat buat kita ya wee !!! Lopyupull. 9. Untuk semua teman-teman seperjuangan di Kessos 2010 makasih untuk semua

kebersamaan yang telah kita lalui bersama-sama selama di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial seperti halason, denti, ester, desi ginting, riada, pram, helen, dwi, kristin, primadola, grace, desi hutajulu, david, liberson dan lain-lain. Maap ya wee gak bisa disebutkan satu-satu nama kalian semua.

10.Untuk mereka-mereka yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini, Naposobulung HKBP SION, teman-teman SMA MARKUS, sahabat-sahabat lama ku seperti Rita, henny, frans, frengky, dan martinus.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Namun

demikian, skripsi ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Medan, Juli 2014 Hormat Saya,

Erlince Situmorang


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI……… viii

DAFTAR TABEL……… x

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………... .. 1

1.2Perumusan Masalah………... 9

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian………. 9

1.3.2 Manfaat Penelitian……… 9

1.4Sistematika Penulisan……… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Anak……… 11

2.1.1 Pengertian Pola Asuh Anak……… 11

2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh………... 13

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh… 17

2.2 Pengertian Anak……… 18

2.3 Perceraian…………..……….... 21

2.3.1 Pengertian Perceraian……… 21

2.3.2 Alasan dan Penyebab Terjadinya perceraian…... 22

2.3.3 Akibat Perceraian……… . 26

2.3.4 Dampak Perceraian Terhadap Anak………. 30

2.4 Kesejahteraan Anak………..………... 33

2.5 KPAID-SU…………..………... 36

2.6 Kerangka Pemikiran.……… 39


(8)

2.7.1 Definisi Konsep………. 41

2.7.2 Definisi Operasional……….. 42

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian……….. 44

3.2 Lokasi Penelitian……….. 44

3.3 Unit Analisis Informan……….. . 44

3.3.1 Unit Analisis……… 45

3.3.2 Informan………. . 45

3.3.2.1 Informan Kunci……….. 45

3.3.2.2 Informan Utama……….. 45

3.3.2.3 Informan Tambahan……… 46

3.4 Teknik Pengumpulan Data……….. 46

3.5 Teknik Analisis Data………. 46

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah KPAID-SU……….... 48

4.2 Visi dan Misi KPAID-SU……….... 49

4.2.1 Visi KPAID-SU………... 49

4.2.2 Misi KPAID-SU……….. 49

4.3 Struktur Organisasi……….………....… 50

4.4 Fasilitas KPAID-SU..………... 53

4.5 Proses Penanganan Kasus………... 56

BAB V ANALISIS MASALAH 5.1 Informan I………... 59

5.2 Informan II………. 67

5.3 Informan III……… 81

5.4 Informan Tambahan……….. 91

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan………... 94


(9)

6.2 Saran………. 94

DAFTAR PUSTAKA……….. ... 95

LAMPIRAN

                                       


(10)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Erlince Situmorang

NIM : 100902041

ABSTRAK

POLA ASUH ORANG TUA ANAK KORBAN PERCERAIAN DAMPINGAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DAERAH SUMATERA UTARA (KPAID-SU)

Kasus perceraian saat ini bukan lagi sebagai aib yang besar tetapi seolah-olah dijadikan sebagai kebanggaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari angka perceraian di Indonesia merupakan hal yang menyedihkan. Ini jelas dari data yang datang dari masyarakat Sumatera Utara mengadu ke KPAID-SU bahwa tiap tahunnya angka perceraian terus meningkat. Sepanjang tahun 2012, KPAID-SU telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 191 kasus. Jumlah tersebut meningkat sekitar 15% di banding tahun 2011 yang mencapai 163 kasus. Kasus di KPAID-SU terbesar adalah masalah hak pengasuhan pada anak yang diperebutkan oleh kedua orang tua yang sedang dalam proses penceraian dan atau telah bercerai, angkanya sebanyak 54 kasus atau lebih dari 28,27%.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU). Metode penelitian ini menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan mengadakan kategorisasi dan selanjutnya dianalisis.

Data-data mengenai pola asuh orang tua anak korban perceraian dalam penelitian ini disamarkan demi kepentingan perlindungan anak. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa mengenai pola asuh orang tua anak korban harus tetap diperhatikan demi terpenuhinya hak-hak dasar anak sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.

Kata Kunci: Pola Asuh Orang Tua, Anak, Perceraian

     


(11)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name : Erlince Situmorang

NIM : 100902041

ABSTRACT

PARENTING PARENTS DIVORCE CHILD VICTIMS OF CHILD PROTECTION COMMISSION ADJACENT REGION NORTH SUMATRA INDONESIA (KPAID-SU)

Cases of divorce today is no longer as great a disgrace but as if made as pride. Based on the data obtained from the divorce rate in Indonesia is a sad thing. It is clear from the data that comes from the people of North Sumatra complained to KPAID-SU that each year the divorce rate continues to rise. Throughout the year 2012, KPAID-SU had received complaints from the public as much as 191 cases. The amount is increased by approximately 15% from the year 2011 which reached 163 cases. Case in KPAID-SU is the biggest issue on child custody is contested by both parents who are in the process of divorce or have divorced, the figure was 54 cases or more than 28.27%.

A problem to be raised is "Parenting the Parent Child Victims of Divorce Adjacent Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU)". This study aims to determine how the Parent Parenting Children Victims of Divorce Adjacent Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU). Methods This study uses descriptive qualitative approach. This research was conducted in the Indonesian Child Protection Commission of North Sumatra (KPAID-SU). Data was collected by in-depth interviews and field observations. Data retrieved later narrated by conducting qualitative categorization and further analyzed.

Data on parents' parenting children of divorce in this study camouflaged in the interests of child protection. Based on the data that has been collected and analyzed can be concluded that the pattern of parenting a child victim should still be considered for the sake of fulfilling the basic rights of children according to the Child Protection Act No. 23, 2002.


(12)

 

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia menyakini bahwa

semua yang diciptakan olehNya senantiasa berpasang-pasangan. Keadaan ini dapat dilihat dari apa yang ada di muka bumi. Sebagai contoh diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, siang dan malam, langit dan bumi, negatif dan positif, terang dan gelap. Bahwa ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa yang paling sempurna di muka bumi yaitu manusia, juga diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi kodratnya manusia itu sebagai kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa yang saling mendekati, mencintai dan saling mengasihi. Sifat manusia yang memiliki nilai lebih daripada ciptaan Tuhan yang lainnya, diberi karunia untuk dapat

berkembang biak menjadi lebih banyak dengan dinamakan sebagai ikatan Perkawinan (Malik, 2009:4).

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi persyaratan serta tidak melanggar larangan dan

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua dan paling pertama kali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala. Berbeda dengan aturan-aturan hukum yang ada di lembaga negara yang lainnya. Perkawinan itu suatu lembaga yang dimana hubungan antar dua jenis

manusia yang berlainan yang begitu penting dan senantiasa untuk hidup bersama. Pengertian tentang perkawinan mempunyai asas-asas yang memperkuat ikatan perkawinan dengan prinsip-prinsip seperti tujuan perkawinan itu sendiri yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang


(13)

Keluarga merupakan hubungan dari sebuah perkawinan yang terjalin. Setiap ikatan perkawinan yang telah dijalani, sepasang suami isteri sangat menginginkan adanya kehadiran buah hati yang menjadi bentuk tujuan utama dilaksanakannya sebuah perkawinan. Keturunan-keturunan itu akan membentuk sebuah keluarga kecil yang memiliki kebahagiaan di setiap

rumah tangga. Ketika sepasang suami isteri dikaruniai anak dari bentuk buah perkawinan, maka akan menjadi keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin. Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk memberikan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan

pemeliharaan anak.

Sejak era global yang semakin canggih, asas keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan, mulai pudar di tengah-tengah keluarga beriringan dengan bergesernya fungsi-fungsi pokok keluarga sehingga perkawinan kandas di tengah jalan. Fungsi pokok keluarga itu merupakan

fungsi yang sulit dan digantikan oleh orang lain, sedangkan fungsi sosial relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan. Sehingga dapat dilihat dari angka perceraian di Indonesia dianggap sebagai angka tertinggi di Asia-Pasifik. Sesuai data yang ada, rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Bahkan perceraian ini sudah

menjadi trend di tengah-tengah masyarakat luas. Jelas dengan apa yang kita lihat di berbagai alat komunikasi seperti televisi, koran, majalah ataupun internet banyak pasangan suami isteri yang memutuskan ikatan perkawinan mereka di Pengadilan Agama.

Nilai perkawinan pada zaman dahulu sangat tinggi. Ditandai dengan jarangnya terjadi

suatu perceraian. Perceraian yang dialami oleh pasangan suami isteri itu sebagai aib yang besar, tetapi sekarang seolah-olah perceraian itu dijadikan sebagai kebanggaan. Tidak ada yang memastikan dengan bercerai mereka mendapatkan hidup yang lebih baik. Misalnya dengan soal


(14)

anak, banyak pasangan suami isteri yang sudah bercerai berebut hak kuasa asuh. Sangat disayangkan anak yang menjadi korban atas perceraian yang dialami oleh kedua orangtuanya. Anak yang tidak tahu menahu apa yang terjadi di tengah keluarga mereka harus merasakan ketidakutuhan fungsi keluarga yang komplit.

Orangtua yang bercerai tidak memperhatikan dampak yang akan dialami oleh anak jika terjadi retaknya hubungan antara ibu dengan ayah nya yang sudah berpisah. Banyak fenomena-fenomena yang dialami oleh anak korban perceraian orangtuanya, salah satunya mengalami depresi berat yang membuat anak tersebut melakukan hal-hal yang tidak wajar. Banyak orangtua

mengalami kesulitan dalam memahami perilaku anak-anaknya yang terlihat tidak logis dan tidak sesuai dengan perasaan sehat ketika mereka memutuskan untuk bercerai. Saat anak-anak tidak berkembang secara terpisah dari anggota komunitas yang lain, seluruh perilakunya, ungkapan bahasanya, pola bermainnya hingga emosi dapat terganggu sejalan dengan waktu ketika ia

mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah berpisah. Karena yang terpenting buat anak adalah mempunyai keluarga yang utuh dan asli.

Dr Sudibyo Alimoeso MA, Deputi KSPK BKKBN mengatakan tingginya data perceraian di Indonesia menjadi perihal serius karena keluarga merupakan pendidikan pertama

yang meletakkan dasar-dasar kepribadian, etika, dan moral anak-anak. Diharapkan pada setiap orang yang ingin menikah sekarang harus menata ulang niat perkawinan yang dimiliki, yakni menjadikannya sebagai lahan ibadah kepada Tuhan dan sarana menjalani silaturahmi, atau saling memahami agar menjadi keluarga bahagia. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah

Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Dan tingginya angka perceraian di Indonesia


(15)

merupakan angka yang tertinggi se-Asia Pasifik. Data tersebut selanjutnya, juga memperlihatkan bahwa 70 persen perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan. Angka perceraian di Indonesia adalah hal yang menyedihkan. Betapa banyak anak yang kemudian harus menjalani takdir hidup tak bersama ayah dan ibunya secara utuh. Di

samping itu, tak sedikit menjadi korban perebutan kuasa asuh. Padahal, hal itu membuat dampak negatif secara psikis (http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967 diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul : 14.37 WIB).

Terdapat data dari Ditjen Badilag 2010, kasus perceraian dibagi menjadi beberapa aspek

yang menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu. Kemudian, ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi. Sedangkan perceraian karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga mencapai 91.841 perkara.

Tak hanya itu, Ditjen Badilag juga mengungkapkan, pemicu perceraian adalah masalah politik. Tercatat ada 334 kasus perkara perceraian yang dipicu masalah politik. Adapun secara geografis, perkara perceraian paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni 33.684 kasus, disusul Jawa Timur dengan 21.324 kasus. Di posisi ketiga adalah Jawa Tengah dengan 12.019 kasus. Namun, kalau terkait dengan pembagian harta atau anak, mediasi dari Pengadilan Agama cukup berhasil.

Sebanyak 80% mediasi berhasil

(http://news.detik.com/read/2011/08/04/124446/1696402/10/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat?nd992203605) diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul : 14.37 WIB).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) merupakan lembaga negara yang berkonsentrasi terhadap permasalahan anak. KPAID-SU itu sendiri ada sejak tahun 2006 sampai sekarang yang berawal berdiam di Kantor Gubernur Sumatera Utara. Lembaga ini ada karena semakin maraknya kasus tentang anak, sehingga masyarakat tidak tahu


(16)

menahung harus kemana mereka mengadu ketika anak mereka tersangkut tentang apa yang dialami oleh anak mereka. Kemudian KPAID-SU menjadi dasar untuk memberikan jalan yang terbaik buat anak. Adapun langkah yang pertama dilakukan oleh KPAID-SU dalam menerima segala pengaduan masyarakat. Jika sepasang suami isteri yang sudah bercerai tidak mendapatkan

keputusan yang menurut mereka itu baik ketika di Pengadilan, maka salah satunya akan mengadukan ke lembaga ini untuk menemukan jalan yang terbaik untuk anak.

Masyarakat berharap KPAID-SU dapat menjadi penengah dalam permasalahan yang dialaminya. Dengan cara mediasi, akan mempermudah kedua pihak untuk menemukan hasil

yang maksimal. Dan jika mediasi terus mengalami kegagalan maka lembaga ini akan melakukan rekomendasi ke Pengadilan Agama untuk menjadi pertimbangan yang memperberat terlapor dalam menguasai hak kuasa asuh anak. Tetapi jika dalam mediasi tidak menemukan hasil atau buntu dalam penyelesaian masalah, akan dilakukannya surat kesepakatan yang menjadi

keputusan yang terbaik untuk anak. Jika itu dilanggar maka hak kuasa asuh yang dipegang oleh salah satu pihak akan di cabut dan diserahkan kepada pihak yang lain yang dapat mengasuh anak dengan baik.

Salah satu kasus yang di tangani oleh lembaga ini adalah perebutan hak kuasa asuh. Ini

jelas dari data yang datang dari masyarakat Sumatera Utara mengadu ke KPAID-SU bahwa tiap tahunnya angka perceraian terus meningkat. Sepanjang tahun 2012, KPAID-SU telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 191 kasus. Jumlah tersebut meningkat sekitar 15% di banding tahun 2011 yang mencapai 163 kasus. Berdasarkan data yang dihimpun Harian Sumut Pos, dari

191 kasus tersebut, terbesar adalah masalah hak pengasuhan pada anak yang diperebutkan oleh kedua orang tua yang sedang dalam proses penceraian dan atau telah bercerai, angkanya sebanyak 54 kasus atau lebih dari 28,27%. Terbesar kedua adalah kekerasan seksual yang terdiri


(17)

dari perkosaan 42 kasus dan pelecehan 10 kasus sehingga digabungkan mencapai 52 kasus atau lebih sekitar 27,23% dari total pengaduan masyarakat kepada KPAID-SU (www.sumutpos.com/tingkat-perceraian-tinggi diakses pada tanggal 19 Februari 2014 pukul:

10.00 WIB). Ketua KPAID-SU Zahrin Piliang, menjelaskan, keadaan ini memperlihatkan betapa

anak-anak semakin kehilangan kesempatan diasuh oleh kedua orangtuanya. Tentu hal ini sedikit banyaknya akan berpengaruh pada proses tumbuh-kembang anak, namun hanya 1-2 peristiwa perceraian bisa juga menjadi pemicu bagi sang anak untuk berkembang optimal, tetapi akan lebih optimal lagi jika kedua orangtuanya berkesempatan mengasuhnya secara bersama-sama.

Kasus perceraian yang lebih konkrit lagi dapat dilihat dari Pengadilan Agama yang ada di Kota Medan. Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa setiap tahunnya kasus perceraian tidak jauh beda dengan data yang berasal dari kabupaten/kelurahan

yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari tahun 2011 Kota Medan mencatat kasus perceraian berjumlah 1.900 kasus. Sementara tahun 2012 ada 2478 kasus perceraian. Jika dilihat sepanjang 2013, angka perceraian di Medan meningkat dengan 2785 perkara yang diterima. Dari 2785 kasus perceraian sepanjang tahun 2013, cerai talak atau perceraian karena permintaan suami sebanyak 594 kasus. Sedangkan cerai gugat atau perceraian karena permintaan istri

sebanyak 1804 kasus (www.hariansib.com/angka-perceraian-di-medan-meningkat diakses pada tanggal 5 Maret 2014 pukul: 15.00 WIB).

Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Medan, yang telah melaporkan data

perceraian tahun 2012 lalu yang berjumlah 12.000 perceraian pasangan suami-isteri. Jika diasumsikan setiap pasangan memiliki 2 (dua) orang anak maka jumlah anak yang diasuh orangtua sepihak berjumlah 24.000. Dalam hal ini yang paling menonjol melakukan perceraian terutama di Pengadilan Agama Medan adalah usia yang relatif muda. Angka perceraian di


(18)

Pengadilan Agama Medan pada awal tahun 2014 mengalami peningkatan. Pada Januari 2014, tercatat sebanyak 508 perkara, sementara bila dibandingkan dengan tahun 2013 angka perceraian hanya 477 perkara. Dari data perkara gugatan cerai, baik yang dilakukan pihak suami maupun istri mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun lalu. Jumlah tersebut, terbagi dari berbagai

kelompok masyarakat, mulai dari pegawai negeri sipil (PNS), masyarakat menengah ke bawah. Setiap kejadian pasti ada penyebabnya. Begitu juga dengan perceraian, tentu disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang paling mendominasi adalah faktor ekonomi, tidak ada tanggungjawab terhadap anak (penelantaran) dan faktor perselingkuhan. Data yang diperoleh PA

Medan, jumlah tersebut didominasi gugatan cerai dari pihak perempuan atau disebut cerai gugat yang mencapai 299 perkara selama bulan Januari 2014. Sedangkan cerai talak atau gugatan cerai yang diajukan dari pihak lelaki sebanyak 155 gugatan. Ketua Panitera Muda PA Medan, Jumrik,SH, mengatakan, kami akan terus berusaha menekan angka tersebut, dengan melakukan

sosialisasi, bekerja sama dengan Kemenag serta pemerintah daerah, baik kecamatan maupun kelurahan agar angka perceraian khususnya di Medan menurun. Sementara itu, Sekertaris PA Medan, Arwin SH, menyebutkan persidangan dalam sehari di PA Medan mencapai 50 - 70 kasus. Memang selama ini yang sidang di PA ada sekitar 50 hingga 70 kasus, apalagi kalau senin

bisa mencapai 70 yang sidang (http://www.medanbisnis.com/berita/metropolitan/harian/medan/bisnis/angka-perceraian-di-awal-tahun-2014-meningkat diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.00 wib).

Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda. Anak-anak yang ayah-ibunya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga


(19)

merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka. Bagi anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupannya di masa kini dan di masa depan.

Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah

membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.

Keputusan perceraian yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama, memberikan

alasan-alasan yang kuat ketika ingin menetapkan pengasuhan yang tepat untuk anak. Salah satu orang tua yang telah bercerai menginginkan agar anak-anak tersebut dapat diasuh sepenuhnya tanpa melihat keadaan dari sianak. Tidak sedikit perebutan hak kuasa asuh mengakibatkan perselisihan dalam mengasuh anak. Misalnya, pihak ibu memohon agar hak kuasa asuh bisa ia dapatkan,

tetapi Pengadilan tidak memberikan jawaban sesuai dengan keinginan si ibu sehingga ini yang akan menimbulkan anak jadi bingung saat orang tuanya berselisih untuk mengasuh anak. Tidak jarang juga, perceraian memberikan dampak terhadap anak untuk dapat merasakan kasih sayang yang utuh dari ayah/ibunya atau sebaliknya saat ayah/ibu ingin bertemu dengan anak

mendapatkan kesulitan untuk bisa berbicara kepada sianak. Ini dapat menyebabkan anak menjadi sulit untuk merasakan kehangatan pelukan dari ayah/ibunya.


(20)

Keadaan demikian bisa mempengaruhi psikologi anak baik secara sosial maupun kepribadiannya. Dengan perceraian yang dialami oleh orangtuanya perkembangan sosial anak akan terganggu, anak lebih sering murung, tertutup dan agresif. Anak menutup diri dari lingkungan sosial karena ia merasa malu, cepat tersinggung jika teman-temannya

mengolok-oloknya, dan merasa rendah diri dengan mempunyai keluarga yang kurang lengkap. Ini dapat berdampak ke emosional si anak. Karena dalam perceraian yang menjadi korban pertama yang merasakan adalah anak-anak. Jika perceraian merupakan yang terbaik dalam memecahkan permasalahan rumah tangga, janganlah anak yang sudah menjadi korban perceraian di tambah

lagi salah satu orang tuanya memberikan doktrin yang tidak baik tentang penyebab perceraian yang dialami. Ini yang dapat memperburuk keadaan dari si anak, karena anak akan membenci ayah atau ibunya yang menjadi penyebab utama keluarganya pecah.

Perilaku orang tua saat terjadinya pertemuan dengan anak pun perlu diperhatikan, karena

bisa saja anak yang dahulunya dekat dengan orang tuanya bisa berbeda dengan memiliki sifat yang kurang baik. Misalnya tidak ingin dibelikan sesuatu atau setiap berjalan memegang tangan dan lain-lain. Disini peran orang tua ditunjukkan kepada anak, dengan membujuk atau berbicara secara pelan-pelan anak akan mengikuti apa yang diperintahkan orang tua kepada anak.

Menciptakan keakraban dan keharmonisan hubungan, menjaga komunikasi dan membantunya jika mengalami kesulitan itu dapat meluluhkan sifat anak yang keras.

Latar belakang yang telah dipaparkan diatas, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam dan mengetahui bagaimana pola pengasuhan anak korban perceraian ketika

orang tua telah bercerai sehingga peneliti ingin mengetahui dampak perceraian terhadap pola pengasuhan anak. Adapun judul penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara”.


(21)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut “Bagaimana pola asuh anak dampingan

Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara yang dijalankan oleh orang tua yang telah bercerai?”

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola asuh anak dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara yang dijalankan oleh orang tua yang telah bercerai.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Secara akademis, dapat memperkaya refrensi dalam rangka pemgembangan konsep, teori-teori penulisan dan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kesejahteraan sosial khususnya.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta dan semua pihak yang bergerak di bidang pemerhati anak.

1.4 Sistematika Penulisan

Memudahkan untuk memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika penulisan skripsi ini meliputi :


(22)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, tehnik pengumpulan data, serta tehnik analisis data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang turut memperkarya karya ilmiah.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh Anak

2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Keluarga yang utuh adalah impian setiap anak dalam menjalani kehidupannya. Keluarga tetap merupakan bagian yang paling penting dari jaringan sosial bagi anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting dalam

bersosialisasi. Tetapi ketika keluarga mengalami pecah akibat perceraian, maka yang dibutuhkan dalam mengembalikan kepercayaan anak terhadap orang tua ialah pengaruh sikap orang tua pada hubungan keluarga. Pada dasarnya hubungan orang tua terhadap anak akan menjadikan perilaku anak menjadi positif. Begitu juga dalam mengasuh anak, sikap orang tua di tuntut agar anak

dapat memiliki hubungan yang baik terhadap lingkungannya (Hurlock, 2009:202-205).

Pengasuhan anak adalah sebuah interaksi yang terjadi antara pengasuh (orangtua, orang dewasa) dengan anak-anak yang diasuh. Pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pengasuh . Menurut Abrahi (1998) pengasuh

anak menjadi sangat penting dalam perkembangan anak karena melalui proses pengasuhan itulah anak tumbuh dan berkembang menjadi sebuah sosok individu dengan seperangkat karakteristik sejalan dengan yang ia terima selama proses pengasuhan berlangsung (Okvina.wordpress.com).

Apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri sedang mereka mempunyai anak kecil,

maka ibu yang berhak dari ayah untuk mengasuh anak tersebut selama tidak terdapat halangan. Peningkatan perhatian masyarakat banyak terdapat masalah kehidupan keluarga dan pengasuhan anak menunjukkan kecemasan orang banyak terhadap permasalahan perilaku anak yang semakin


(24)

meluas. Jarang sekali generasi orang dewasa menunjukkan kesungguhan perhatian yang disertai keprihatinan yang mendalam terhadap generasi muda (Singgih, 2011:18 ).

Perceraian yang terjadi ditengah-tengah keluarga membuat sebagian anak menjadi kehilangan peran sesungguhnya dari orangtua laki-laki maupun perempuan. Walaupun salah

satunya dapat memberikan peran ganda terhadap anak demi perkembangan psikologisnya. Tetapi tidak sedikit dampak yang dialami oleh anak ketika salah satu orangtua biologisnya untuk bertemu mengalami kesulitan. Terkadang anak menjadi seperti barang hidup yang bisa dipindah-pindahkan demi dapat bertemu dan berkumpul bersama sang buah hati.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kekuasaan orangtua bersifat tunggal, tidak dapat dihapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik, maka kewajiban pengasuhan anak oleh orang tuanya tidak terdapat masalah. Pengasuhan yang dilakukan oleh suami isteri yang telah bercerai, dapat secara bersama-sama dan saling membantu

serta dengan penuh kasih sayang melaksanakan kewajiban mengasuh anak mereka. Ketika berlangsungnya suatu perkawinan, anak merupakan hal yang yang dinanti-nantikan oleh orangtua dalam memberikan kebahagiaan di dalam keluarga. Tetapi jika suatu saat timbul masalah tentang siapa yang paling berhak mengasuh anak pasca perceraian, maka orang tua,

dapat memohon kepada Pengadilan agar hak kuasa asuh jatuh di salah satu pihak.

Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang paling menonjol atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola asuh orang tua tersebut seperti dalam mendisiplinkan anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dan mengajarkan keterampilan hidup, dan mengelola

emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur kesan anak tentang pola perlakuan orang tua terhadapnya. Kesan yang mendalam dari seorang


(25)

anak mengenai bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunarti, 2004:93).

Anak adalah penerus keturunan dan tumpuan harapan dari orang tuanya agar anak menjadi sukses di kemudian hari. Sehingga, ketika anak mengalami suatu kondisi yang tidak

nyaman karena perceraian maka harus tetap diusahakan agar hak pengasuhan dan pembinaan anak pasca perceraian orang tua harus berada di tangan orang yang paling tepat dan dapat melakukan pengasuhan yang terbaik bagi anak. Tidak ada kriteria khusus tentang umur seorang anak yang berada di bawah pengasuhan ibunya atau bapaknya. Hanya saja pada umumnya

anak-anak yang masih sangat kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang ibunya akan diserahkan kepada ibunya. Untuk hal ini dapat disebut didalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 25 Juni 1974, Nomor 906 K/Sip/1973 yang berbunyi: “Kepentingan si anaklah yang harus dipergunakan selaku patokan untuk menentukan siapa dari orang tuanya yang

diserahkan pengasuhan si anak.”

Ada beberapa hal untuk menentukan siapa yang paling tepat di antara ayah dan ibu dalam mendapatkan hak asuh, seperti tidak hanya dengan mempertimbangkan kemampuan finansial, tetapi harus dengan mempertimbangkan sifat, perilaku dan kebiasaan, keadaan jasmani dan

rohani serta spiritual. Selain itu juga dapat melihat kesalahan siapa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian. Harus selalu disadari bahwa penetapan pihak yang melakukan pengasuhan anak pasca perceraian bukanlah suatu kompetisi untuk mencari pemenang di antara ayah dan ibu. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi dan monitoring atas pengasuhan yang dilakukan oleh pihak

yang telah ditentukan tersebut.


(26)

Menurut Balson ada 2 dimensi secara garis besar dalam pengasuhan anak yang membentuk empat bentuk dasar pengasuhan yaitu saling memberi dan saling menerima. Memberi dalam artian mendukung anak dan responsif terhadap pemenuhan kebutuhan, keinginan dan harapan anak. Sementara menerima dalam artian menuntut adanya kedisiplinan

dari anak untuk mengikuti segala bentuk aturan dan batasan yang diberikan/ditentukan orang tua.

Balson membagikan 4 bentuk pola asuh dari dimensi arahan atau disiplin di dalam

keluarga, yaitu pola asuh authoritarian (otoritatif), pola asuh authoritative (demokratis), pola asuh permisif (serba membolehkan), dan pola asuh cuek (penelantar).

a) Pola asuh otoritatif

Pola ini merupakan pola pengasuhan yang memberikan banyak hal tetapi menuntut banyak hal pula dari si anak. Pola pengasuhan ini merupakan pola pengasuhan yang didasarkan kepada tuntutan dan nilai-nilai yang bersifat absolute. Orang tua dengan pengasuhan ini sangat sensitif dengan apa yang diperintahkan tidak menghiraukan dan tidak menghormati perintah orang tua. Hal ini dapat menyebabkan sianak akan kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu

untuk mengambil keputusan serta cenderung sulit untuk mempercayai orang-orang disekitarnya. Adapun ciri-ciri dari pengasuhan otoritatif ini seperti cenderung akan menetapkan peraturan dan tata tertib yang kaku dan dibuat hanya sepihak orang tua, memperlakukan anak dengan kasar, komunikasi dengan anak serta anggota keluarga yang bersifat searah, menjaga

jarak dengan anak dan tidak adanya keramahan dalam keluarga. Sehingga anak-anak tidak mampu dalam proses pemupukan/pembentukan pengekspresian dan kepercayaan diri si anak dalam lingkungan keluarga.


(27)

Pola pengasuhan ini lebih memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola pengasuhan ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua dengan tipe ini akan lebih bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang

melampaui kemampuan anak, dan akan menghargai hak-hak anak seperti pendidikan, mendapatkan kasih sayang dan kebutuhan dasarnya. Orang tua yang mendidik anak dengan pola pengasuhan ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

c) Pola asuh permisif

Pola pengasuhan permisif ini sangat bertolakbelakang sekali dengan pola pengasuhan otoritatif (authoritarian). Dalam pola pengasuhan permisif, anak diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun yang dia inginkan dimana orang tua cenderung untuk

mendukung tindakan si anak serta memanjakannya secara berlebihan. Orang tua dengan pola pengasuhan ini cenderung takut menasehati anak jika melakukan kesalahan sehingga membentuk anak menjadi pribadi yang manja, tidak disiplin, malas dan egois.

d) Pola asuh cuek (penelantar)

Pola pengasuhan ini mempunyai indikator bahwasanya orang tua cenderung kurang memberikan perhatian kepada anaknya, sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan menganggap anak sebagai beban dalam hidupnya. Pola pengasuhan ini lebih mengarahkan kepada tidak mempedulikan anak sama sekali, dimana orangtua sudah pada taraf apatis terhadap tanggung

jawabnya sebagai orangtua. Pola pengasuhan orangtua pada anak akan sangat menentukan bentuk kepribadian si anak. Namun, ada masa dimana lingkungan pergaulan anak akan sangat mempengaruhi diri si anak secara signifikan. Pada saat itulah pengawasan terhadap lingkungan


(28)

pergaulan anak dan pendekatan pada anak secara intensif serta bersahabat sangatlah diperlukan agar anak tetap bisa terbuka pada orang tua dan tidak terbawa arus pergaulan terutama dalam hal penyalahgunaan narkoba. Adanya keterbukaan dan hubungan yang lebih bersifat bersahabat antara anak dan orangtua akan memudahkan bagi orangtua untuk dapat berkomunikasi dengan

anak terutama pada anak usia remaja muda secara terbuka.

Orangtua yang telah telah berpisah secara putusan pengadilan memberikan dampak yang negatif ketika menjalani pengasuhan terhadap anak. Tidak sedikit orang tua tunggal dalam mengasuh anaknya dengan cara menganggap bahwa anak-anaknya belum mampu untuk

menyelesaikan masalah dengan sendiri. Sehingga orang tua tunggal memperlakukan anaknya dengan keinginannya agar mereka tidak mengalami seperti orang tuanya. Ada beberapa kesalahan orang tua tunggal di keluarga yang telah bercerai dalam cara mengasuh anak. Kesalahan itu salah satunya adalah menganggap masa anak-anak sebagai sebuah jembatan semua

orang melewatinya dengan perilaku buruk mereka merupakan gejala yang akan segera lenyap ketika mereka telah dewasa dan menganggap anak yang semakin dewasa sebagai ancaman yang harus diselesaikan melalui pengendalian dan dominasi yang makin kuat sekaligus memperlihatkan bahwa mereka oang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.

Orang tua tunggal yang sudah bercerai dalam memberikan pola pengasuhan yang salah untuk mengasuh anak-anaknya, Balson menyebutkan ada beberapa pola pengasuhan yang salah di terapkan orang tua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, seperti:

1. Pola Pengasuhan Permisif

Membiasakan anak dengan pola ini bertindak tanpa kendali orang tua. Orang tua yang terlalu permisif bertindak menghindari konflik ketika mereka merasa tak berdaya untuk mempengaruhi anak mereka. Akibatnya, mereka membiarkan perbuatan-perbuatan yang salah di


(29)

kalangan anak-anak. Sehingga anak menafsirkan bahwa pola pengasuhan permisif ini memiliki sikap yang cenderung memanjakan anak sehingga orang tuanya merupakan undangan terbuka untuk berbuat menurut keinginan mereka.

2. Pola Pengasuhan Otokratik

Sikap orang tua yang permisif merupakan metode mengasuh anak yang tidak efektif untuk membina anak, karena sikap orang tua yang keras akan merusaknya. Pendekatan yang keras/kejam didukung dengan anggapan bahwa orang tua harus bertanggung jawab penuh

terhadap perilaku anak-anaknya, dan menjadi orang tua yang efektif menjadi jaminan untuk berperilaku baik. Jika orang tua berusaha memaksakan anak-anak agar berbuat dengan cara mereka, maka anak akan memberikan reaksi yang sesuai dengan keinginan mereka. Peningkatan usaha orang tua untuk mengendalikan anak mereka dengan cara yang keras hanya akan

mengundang timbulnya daya menentang dan pembangkangan dari anak-anaknya (Balson, 1999:24).

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Menurut Darling (1999) dalam bukunya berjudul Pareting Style and Corelates

mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi pola asuh dalam keluarga, yaitu: 1. Jenis kelamin anak

Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua bersikap lebih ketat kepada anak perempuan dan

memberi kebebasan yang lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar akan diberikan kepada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.


(30)

2. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu budaya. 3. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah keatas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cenderung authoritarian.

2.2 Pengertian Anak

Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara

seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Buah dari perkawinan dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang

merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu juga sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut

buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa

mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.

Anak bukan orang dewasa yang berukuran kecil. Anak itu sendiri mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Dilihat dari sisi perkembangan jiwanya, pertumbuhan


(31)

fisik atau sosial, sifat-sifatnya, maupun tabiat-tabiatan dari seorang anak sangat jelas perbedaan yang terdapat dari dalam diri anak-anak. Sama halnya dalam memperlakukan anak, tidak sama dengan memperlakukan orang dewasa. Kebutuhan anak jauh lebih banyak daripada kebutuhan orang dewasa. Anak memerlukan ayah atau ibu yang dapat memahami pola pikirnya dan segala

kebutuhannya. Karena anak bukan hanya sekedar diberi makan atau minum melainkan anak merupakan sosok yang perlu diperhatikan segala perkembangannya

(Nadesul, 1999:1-2).

Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang

berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut:

1. Masa pra-lahir : dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir

2. Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu 3. Masa Bayi : dua minggu-satu tahun

4. Masa anak terdiri dari beberapa tahap yaitu : a.masa anak-anak awal : 1 tahun-6 bulan

b. Anak-anak lahir : 6 tahun-12/13 tahun c.Masa remaja : 12/13 tahun-21 tahun d. Masa dewasa : 21 tahun-40 tahun e.Masa tengah baya : 40 tahun-60 tahun


(32)

Terhadap anak itu sendiri terdapat berbagai pengertian dan pemahaman tentang anak, yang mana masing-masing dapat dilihat dari sudut pandang hukum yang antara lain adalah sebagai berikut:

a. Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai Anak adalah individu

yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

c. Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan bahwa yang dikatakan sebagai Anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun.

d. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

e. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 6 ayat 2 (dua) yang

memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun.

f.Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 5 (lima) disebutkan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)


(33)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tesebut adalah demi kepentingan.

g. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak pasal 1 ayat 1 (satu) disebutkan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

2.3 Perceraian

2.3.1 Pengertian Perceraian

Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Kemudian kata perceraian mengandung arti perpisahan dan perihal bercerai (antara suami isteri) atau sebagai suatu perpecahan yang

mengakibatkan hubungan suami isteri berpisah. Perihal bercerai atau perpecahan yang terjadi antara suami isteri didalam suatu keluarga. Perceraian juga dapat memicu terpisahnya keintensan antara anak dengan orangtua yang sudah bercerai sehingga hubungan keduanya tidak serat dulu (Syaifuddin., dkk, 2013:15,18).

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti

berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri dan atas putusan Pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan, dimana pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang

berlaku. Istilah perceraian dilihat secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami isteri sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memberikan pengertian akan perceraian.


(34)

Ajaran agama apapun tidak menganjurkan untuk melakukan perceraian di tengah-tengah keluarga. Namun, dalam kenyataan ada beberapa alasan yang dijadikan sebagai bukti kuat untuk melakukan perceraian tersebut. Perceraian ini tidak pantas untuk dijadikan pilihan utama dalam menyikapi ketidakharmonisan suatu perkawinan. Putusnya suatu ikatan dalam hubungan suami

isteri berarti putusnya hubungan hukum perkawinan, sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami dan isteri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga. Namun, putusnya perkawinan tersebut tidak membuat putusnya hubungan silahturahmi. Antara mantan suami isteri yang telah mempunyai anak-anak selama berumah tangga memerlukan

hubungan yang terjalin dalam urusan anak demi perkembangan psikis dengan berjalannya waktu (Syaifuddin., dkk, 2013:18).

2.3.2 Alasan dan Penyebab Perceraian

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh National Fatherhood dengan menanyakan orang-orang, alasan paling umum yang menjadi penyebab dari pernikahan mereka tidak bisa dipertahankan adalah :

a) Karena kurangnya komitmen

Ikatan perkawinan sangat perlu dijaga. Menjaga komitmen yang telah ditetapkan

bersama merupakan salah satu kunci dari berhasilnya suatu pernikahan. Disaat satu pihak tidak bisa menjaga komitmen yang telah disepakati bersama maka akan mengakibatkan terjadinya perpisahan.

b) Terlalu banyak pertengkaran

Membina rumah tangga dalam ikatan perkawinan, tidak terlepas dari kerikil-kerikil pertengkaran. Survey yang dilakukan dapat menyatakan bahwa pertengkaran sering juga mengakibatkan pertengkaran. Sering bertengkar dan tidak ada yang mau mengalah tidak


(35)

akan menemukan titik temu dan solusi yang baik. Dalam membina hubungan yang sehat, diperlukan komunikasi yang baik antar kedua belah pihak. Pertengkaran akan membuat kedua belah pihak menjadi capek dan lelah dalam melanjutkan hubungan pernikahan. c) Perselingkuhan

Menjalani sebuah ikatan tidak ada orang yang suka diduakan. Sama halnya dalam satu hubungan terlebih lagi dalam pernikahan. Hal ini akan berdampak buruk pada hubungan berdua. Tidak mengherankan bila perselingkuhan memainkan peran penting dalam perceraian.

d) Menikah terlalu dini

Usia yang matang merupakan syarat terpenting dalam memulai perkawinan. Usia ideal untuk melakukan suatu pernikahan adalah di usia 19 tahun keatas, karena dalam usia ini tidak lagi dikatakan sebagai anak-anak melainkan dewasa dini. Sehingga seseorang itu

dapat bertanggungjawab dengan apa yang ia lakukan dan psikologi emosionalnya sudah terkendali. Dengan usia terlalu dini dapat dikatakan sebagai faktor dalam bubarnya perkawinan. Menurut Centers for Disease Control dan pencegahan, hampir setengah dari perkawinan remaja gagal dalam lima belas tahun pertama. Jumlah itu turun menjadi 35

persen untuk pasangan yang menikah di usia pertengahan dua puluhan. e) Tidak sesuai dengan harapan

Konflik dalam berumah tangga yang terjadi membuat pasangan suami isteri jatuh dalam masalah. Banyak pasangan yang tidak mengantisipasi berbagai konflik yang dapat

muncul dalam perkawinan. Terkadang kehidupan dalam perkawinan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka dan inilah yang tidak bisa diterima dengan baik. Harapan yang tidak realistis akhirnya mengakibatkan perceraian mereka.


(36)

f) Ketidakseimbangan ataupun ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang melakukan perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun dapat termasuk dalam ketidaksetaraan. Apabila hal ini tidak bisa dengan segera ditemukan solusinya, maka hubungan bisa berada dalam bahaya.

g) Kurangnya persiapan

Zaman yang semakin modern banyak anak-anak muda sekarang yang sudah melakukan suatu perkawinan. Mereka menganggap bahwa dengan melakukan perkawinan dengan usia dini tanpa memikirkan kedepannya, bisa lebih menikmati masa mudanya

dengan pasangan hidupnya. Padahal dengan kurangnya persiapan dapat menyebabkan sebagian yang sebelum melakukan perkawinan sebaiknya harus dipersiapkan dahulu dengan matang-matang karena dengan kurangnya persiapan tidak bisa hanya dikelompokkan dari segi materi saja. Persiapan mental dan pikiran pun perlu dilakukan

ketika memutuskan ingin menikah. Kesiapan diri untuk menerima pasangan apa pun kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sangatlah penting.

h) Adanya kekerasan dalam rumah tangga

Faktor perceraian yang dialami oleh sebahagian pasangan suami isteri, mempunyai

beberapa alasan. Salah satu alasannya dalam rumah tangga adalah terjadi kekerasan. Dapat dipastikan ini menjadi sumber pemicu perceraian. Yang paling penting adalah untuk memastikan bahwa kita dalam keadaan aman sebelum menyatakan ingin berpisah atau ingin melakukan perceraian (http://www. IndoTopInfo.com/H:\Alasan Umum Penyebab

Perceraian.htm diakses pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2014, pukul 14.30).

Melakukan suatu perceraian harus ada beberapa alasan yang kuat, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Undang-undang Perkawinan


(37)

mempersulit terjadinya perceraian dengan menetapkan syarat-syarat dan harus dilakukan didepan persidangan. Bukan sedikit pasangan suami isteri memberikan alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya perceraian menurut pasal 39 ayat 2 (dua) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah :

1. Salah satu pihak melakukan perzinahan, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan terhadap pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai

maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan karena perceraian harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan baik-baik (Latief, 1999:108).

Tingginya angka perceraian berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Medan tahun 2012 yang mencapai hingga angka 12.000, maka timbul berbagai pertanyaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) tentang apa yang menjadi pasangan suami-isteri dalam rumah tangga bercerai terutama pada pasangan muda? Faktor-faktor penyebab perceraian di Pengadilan Agama Medan, dari Januari sampai dengan 27 November 2013 sebagai berikut :


(38)

Tabel 2.1

No Penyebab Perceraian Jumlah Perkara

1. Poligami Tidak Sehat 2 Perkara

2. Krisis Akhlak 25 Perkara

3. Cemburu 1 Perkara

4. Kawin Paksa 3 Perkara

5. Ekonomi 99 Perkara

6. Tidak Ada Tanggungjawab 395 Perkara

7. Kawin di Bawah Umur 4 Perkara

8. Kekejaman Jasmani 210 Perkara

9. Kekejaman Mental 81 Perkara

11. Cacat Biologis 1 Perkara

12. Politis 7 Perkara

13. Gangguan Pihak Ketiga 164 Perkara

14. Tidak ada Keharmonisan 297 Perkara

Jumlah Total 1289 Perkara

Sumber : Data Sekunder Pengadilan Tinggi Agama Medan

2.3.3 Akibat-akibat Perceraian

Secara pengertian ilmu psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup

bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, dalam Shochib, 2003:17). Pada umumnya keluarga mempunyai ciri-ciri kelompok primer yang cukup penting dalam menjalani keluarga, antara lain :

a) Mempunyai hubungan yang lebih intim, yang mengarah pada keintensan anatara orangtua dengan anak.

b) Kooperatif

c) Face to face


(39)

Terjalinnya keluarga sebagai suatu organisasi yang mempunyai arti mendalam dari organisasi-organisasi yang lain. Terlihat dari sistem jaringan interaksi yang bersifat hubungan interpersonal. Hubungan ini memungkinkan akan memberikan keharmonisan ditengah-tengah keluarga antara ayah, ibu dan anak atau sebaliknya. Sangat bahagia jika suatu keluarga itu saling

bekerjasama dengan baik demi mempertahankan suatu hubungan dan untuk membuat pernikahan berhasil. Tidak hanya dibutuhkan kerja sama saja tetapi juga membutuhkan penyesuaian, saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling mencintai. Jika semua itu sudah tidak ada lagi maka bisa saja orang memilih untuk bercerai.

Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan menghasilkan arahan, bimbingan dan bantuan orangtua yang diberikan kepada anak akan menyatu dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari

upaya yang dilakukan. Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga dengan ketidakadaan ayah atau ibu di rumah tetap dirasakan kehadirannya secara psikologis

(Khairuddin, 2007:48).

Usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orangtua. Tetapi dengan terjadinya perceraian ditengah-tengah keluarga yang utuh dapat menyebabkan terganggunya beberapa fungsi keluarga. Beberapa fungsi keluarga


(40)

a) Fungsi Ekonomis

Keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, yang dimana anggota keluarga mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya. Fungsi ini dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan

penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang.

b) Fungsi Sosial

Keluarga memberikan prestasi dan status kepada anggota-anggotanya. Ini dilakukan agar

dapat membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

c) Fungsi Edukatif

Memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Fungsi ini dilakukan agar dapat menjadi pegangan hidup pada anak kelak ketika sudah beranjak dewasa dengan pendidikan dasar. d) Fungsi Protektif

Keluarga melindungi anggota-anggonya dari berbagai ancaman fisik, ekonomis dan psikososial yang bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik,

sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman. e) Fungsi Religius

Pengalaman keagamaan dalam keluarga perlu di terapkan kepada anak-anak dalam

keluarga. Pengalaman keagamaan merupakan dasar pengetahuan. Fungsi ini diberikan kepada anak dan bertujuan dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk


(41)

menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.

f) Fungsi Rekreatif

Keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotanya. Fungsi ini dilakukan agar anggota

keluarga dapat lebih meluangkan waktunya untuk bermain, bercengkrama, dan berlibur bersama dengan keluarga.

g) Fungsi Afektif

Keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan. Fungsi diberikan dalam

bentuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta memberikan perhatian di antara anggota keluarga. Melahirkan keturunan merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga.

Ikatan yang mempertalikan suami dan isteri dalam perkawinan kadangkala rapuh dan

bahkan putus sehingga terjadi perpisahan atau bahkan perceraian. Dengan terjadinya perceraian maka dengan sendirinya fungsi keluarga mengalami gangguan dan pihak bercerai maupun anak-anak harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru. Dengan demikian peningkatan angka perceraian dalam masyarakat pun membawa peningkatan gaya hidup khas keluarga bercerai,

seperti hidup sendiri menjanda atau menduda, adanya anak yang harus hidup dengan salah satu orangtua saja, dan bahkan terpisah dengan saudara kandung lain (Sunarto, 2000: 64).

Terjadinya perceraian memberikan dampak terhadap perubahan fungsi keluarga tersebut. Secara historis keluarga telah menghilangkan berbagai fungsi-fungsi karakteristik yang telah

melayani anggota keluarganya dan masyarakat. Anak yang berada di keluarga yang kurang utuh mencoba untuk merasakan kembali masa-masa indah saat bersama dengan kedua orangtuanya


(42)

sehingga orangtua harus senantiasa memahami keinginan anak-anak walaupun dalam kondisi yang berbeda.

Ketidakutuhan yang terjadi di dalam keluarga, maka salah satu dari orangtua harus dapat menjadi sosok yang dapat memerankan dua fungsi dalam keluarga yang telah hilang akibat

perceraian. Sangat disayangkan jika anak akan kehilangan peran salah satu orang tua yang tidak berada di kehidupan sosialnya karena dapat membahayakan perkembangan anak di kemudian hari. Keretakan dalam suatu perkawinan mengakibatkan keluarga utuh yang semestinya didiami oleh adanya ayah, ibu dan anggota kandung menjadi terpisah. Tetapi dengan terjadinya

perceraian yang dialami sebuah keluarga, akan mengubah menjadi keluarga yang berorang tua tunggal.

Adapun sifat-sifat yang harus di perankan oleh salah satu orang tua yang mengalami perceraian, yakni :

1. Sifat Kebapakan

Sifat ini di perankan oleh seorang Ibu dalam mengasuh anak yang kehilangan peran bapak di dalam keluarga. Dalam hal seorang Ibu harus dapat memberikan perlindungan kepada anak, seperti mengawasi, melindungi dan memberikan penghargaan jika anak mendapat prestasi.

2. Sifat ke-ibu-an

Sifat ini di perankan oleh seorang Bapak yang mempunyai hak dalam mengasuh anak. Didalam sifat ini, seorang Bapak harus dapat mengimbangi apa yang biasanya dilakukan oleh

seorang Ibu kepada anak. Seperti mendidik anak, merawat, memelihara, menyanyangi serta berusaha menjadi seseorang yang dapat peka terhadap perasaan anak.


(43)

Sifat kebapak-ibuan ini biasanya di temukan pada salah satu wali yang mendapat kepercayaan untuk mengasuh anak dan biasanya ini anak-anak berada di Yayasan atau Panti Asuhan yang memiliki Ibu atau kakak pengasuh. Sifat ini akan membantu si anak dalam proses perkembangan psikologis dan sosial daripada sianak (Shochib, 2003:17-18).

2.3.4 Dampak Perceraian Terhadap Anak

Apapun alasannya, tidak ada perceraian yang ideal dialami oleh pasangan suami isteri. Begitu juga dengan harapan anak yang tidak menginginkan adanya perpisahan antara kedua orangtuanya. Jika saja orang tua bersedia mencari penasihat sebelum bercerai, bukannya setelah

bercerai sebagian masalah tentang anak-anak praktis akan tertangani. Anak-anak tidak mempunyai pikiran bahwa orang tuanya akan bercerai, walaupun mereka sering menyaksikan pertengkaran. Mereka akan terkejut, marah, merasa bersalah dan bingung jika diberitahukan

bahwa orang tuanya akan bercerai (Balson, 1999:18).

Perceraian pasti membawa dampak negatif yang dapat mengganggu psikologis pada tumbuh kembang anak. Perceraian tak hanya mengakibatkan penurunan prestasi belajar anak melainkan juga menyebabkan anak mengalami kesulitan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru sehingga menimbulkan pemberontakan dalam skala kecil dan besar yang diwujudkan dalam

perilaku anak dalam lingkungan sekolah maupun rumah. Adapun dampak perceraian terhadap anak dilihat dari perspektif Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : a. Anak akan merasa terbuang dan tidak diperhatikan

Jika Ibu dan Ayah berpisah atau bersiap-siap untuk berpisah, maka biasanya anak akan

disergap rasa takut kehilangan salah satu dari orangtuanya. Anak akan berpikir bahwa ia akan menjadi seorang yang sendiri di dunia ini.


(44)

Tak hanya dari orangtuanya tapi juga dari keluarga besar lainnya yang membuat sianak akan merasa kurang diperhatikan dari sebelum kedua orangtuanya berpisah. Sebab dalam pikiran anak akan terbentuk pola pikir yang mengarah bahwa jika kedua orangtuanya bercerai maka ia juga akan kehilangan sebahagian dari keluarga besar lainnya.

c. Merasa bersalah

Banyak anak korban perceraian yang menganggap bahwa salah satu penyebab perceraian orangtuanya adalah karena kesalahannya. Misalnya, karena sianak malas belajar, nakal, dan suka berbohong jadi ayah dan ibu bercerai.

d. Anak akan berubah menjadi tidak kooperatif

Biasanya ditandai dengan kenakalan-kenakalan yang tidak wajar seperti merusak barang, anak menjadi pemberang dan mudah tersinggung. Anak-anak yang menjadi korban perceraian dari orangtuanya, dapat juga menimbulkan anak tidak peduli dengan keadaan

sekelilingnya, karena ia merasa cemburu dengan teman-teman sebaya atau anak-anak yang lainnya yang masih mempunyai keluarga lengkap.

e. Anak terlihat depresi dan selalu menyendiri

Tanda yang paling terlihat dari dampak ini adalah anak jadi sulit makan, sering

membicarakan hal-hal yang menyedihkan bahkan cenderung melakukan hal-hal yang membahayakan dan selalu memikirkan orangtuanya yang bercerai.

f. Pemberontakan terhadap ajaran agama

Pemberontakan disini dimaksudkan bahwa anak akan melakukan perlawanan terhadap

ajaran agama yang ia yakini, sekan-akan Tuhan tidak melindungi keluarganya dari malapetaka tersebut sehingga anak mengalami penurunan terhadap kegiatan kerohaniannya.


(45)

Saat ini baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sering kita lihat, dengar dan baca dari media elektronik dan media cetak anak-anak yang dianiaya, ditelantarkan bahkan dibunuh hak-haknya oleh orangtuanya sendiri maupun oleh kerasnya kehidupan. Hak asasi mereka seakan-akan tidak ada lagi dan tercabut begitu saja oleh orang-orang yang kurang

bertanggungjawab. Sebagaimana halnya dengan orang dewasa, anak-anak juga memiliki hak. Hak-hak untuk anak-anak ini diakui dalam Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak tanpa membedakan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal-usul keturunan maupun bahasa

memiliki 4 hak dasar yaitu : a. Hak Atas Kelangsungan Hidup

Termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat kehidupan yang layak, dan pelayanan kesehatan. Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak

dan perawatan kesehatan yang baik bila anak jatuh sakit. b. Hak Untuk Berkembang

Termasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka

berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus. c. Hak Partisipasi

Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Jadi,

seharusnya orang-orang dewasa khususnya orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak karena bisa jadi pemaksaan kehendak dapat mengakibatkan beban psikologis terhadap diri anak.


(46)

d. Hak Perlindungan

Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana maupun dalam hal lainnya. Contoh eksploitasi yang paling sering kita lihat adalah mempekerjakan anak-anak di bawah

umur.Untuk itu ada baiknya para orangtua, lembaga-lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang terkait dengan anak mengevaluasi kembali, apakah semua hak-hak asasi anak telah dipenuhi/terpenuhi.

Dari hak-hak anak tersebut di atas, saat ini sudah banyak anak-anak yang tidak terpenuhi

haknya, dan anak-anak tersebut kehilangan masa-masa yang mana dapat menunjang tumbuh kembang anak.

2.4 Kesejahteraan Anak

Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan sejahtera adalah ketika hak-hak dan kewajiban anak terpenuhi. Didalam pasal 13 ayat 1 (satu) dikatakan “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan Diskriminasi, Eksploitasi, Penelantaran, Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,

Ketidakadilan, dan Perlakuan yang salah”.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 9 bahwa “Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2, ditentukan bahwa “anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum kawin:, junto 1 a “Kesejahteraan Anak adalah suatu tata cara kehidupan dan penghidupan anak


(47)

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.

Prof Dr. Singgih D Gunarsa menyatakan bahwa ”anak membutuhkan orang lain bagi perkembangannya dan orang lain yang paling pertama dan utama bertanggungjawab adalah

oarangtuanya sendiri”, orangtualah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak. Pendapat tersebut memperkuat pernyataan tentang hak-hak anak dan ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak seperti tercantum dalam Bab III megenai tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan

anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Menurut Undang-Uundang Perkawinan sangat jelas hak dan kewajiban orangtua terhadap anak demi kesejahteraan anak. Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap anak antara lain :

1. Tentang usia belum dewasa bagi seorang anak

Setiap anak yang belum dikatakan dewasa berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Misalnya anak tersebut ingin melangsungkan perkawinan, maka anak tersebut harus mendapat ijin dari kedua orang tuanya

karena anak yang dibawah umur masih dalam pengawasan orang tua. 2. Kewajiban dan kekuasaan orangtua

Pada Pasal 45 ayat 1 dikatakan bahwa “Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya”. Menurut Prof.H.R.Sardjono, memelihara disini

berarti member nafkah hidup bagi sang anak, baik berupa sandang maupun pangan. Mendidik artinya member pendidikan kepada anak seperti menyekolahkan anak dengan membiayai sekolah anak (Malik, 2009:78). Pendapat tersebut semakin memperkuatkan


(48)

pernyataan pada Undang-Undang Perlindungan Anak pada Bab IV yang mengenai tentang kewajiban dan hak orangtua.

3. Kewajiban anak terhadap orangtua

Kewajiban anak sudah sepantasnya untuk menghormati dan menaati kehendak orangtua

mereka. Segala yang ditaati oleh sianak tidaklah semua kehendak orangtua saja melainkan segala kehendak yang baik.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 (dalam Soerjono Soekanto. 1992:127) yang mengatur kesejahteraan anak Pasal 2, menyebutkan hak-hak anak sebagai berikut :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang di dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang secara wajar. 2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya

sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik

dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau

menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

2.5 KPAID-SU (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara)

Beberapa tahun terakhir ini, tindak kekerasan, pemaksaan, eksploitasi bahkan

perdagangan anak semakin banyak terjadi. Tindakan tersebut dilakukan oleh perorangan atau kelompok sindikat dengan berbagai modus operandi seperti tindak pidana penjualan bayi/ balita,


(49)

penculikan anak, perkosaan/ sodomi anak, tenaga kerja anak dan sebagainya. Praktek penjualan bayi sering dilakukan dengan dalih adopsi.

Kondisi ekonomi keluarga yang miskin, tidak harmonis, pengangguran ikut pula menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Harapan orangtua yang terlalu

tinggi dalam mendidik anak serta tanpa melihat potensi tumbuh kembang anak, minat dan bakat dan keinginan anak dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak. Di sisi lain perlindungan terhadap anak semakin bervariasi dan beragam bentuk dan tempatnya, mulai dari lingkungan rumah tangga, yayasan/ panti asuhan, pondok pesantren, lembaga swdaya

masyarakat (LSM), yayasan pemerintah dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman tidak diketahuinya kasus-kasus tersebut di tengah-tengah masyarakat, karena tidak tersedianya sarana dan informasi yang mudah di akses kemana mereka memberikan pengaduan atau rujukan atas kasus yang dialami. Pada sisi lain tidak semua aparat

penegak hukum (Kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara/ advokat) mengerti tentang ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Ada ketentuan-ketentuan hukum tersebut yang belum dilakukan sinkronisasi dan hormonisasi oleh masyarakat karena apabila masyarakat mengadukan permasalahan kekerasan terhadap anak kepada pihak kepolisian dapat

menimbulkan citra buruk dalam keluarga.

Sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa setiap daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID). Pembentukan KPAID bukan merupakan

kewajiban atau keharusan tetapi merupakan kebutuhan daerah masing-masing. Karena itu, KPAID-SU merupakan refleksi dari kedudukan KPAI seperti tercantum pada pasal 9 ayat (1) Keppres No. 77 tahun 2003 tentang KPAI berbunyi ” Apabila dipandang perlu dalam menunjang


(1)

2. Informan I (pertama) diasuh oleh Ayahnya. Selama dalam pengasuhannya, pengasuh menerapkan tipe pola asuh yang bersifat demokrasi. Hal ini ditunjukkan dari perlakuan pengasuh yang dominan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk dapat bertemu dengan Ibunya.

3. Sesuai dengan hasil wawancara sebelumnya, informan II (kedua) ini diasuh oleh Ibu kandungnya. Dimana selama dalam pengasuhannya, pengasuh menerapkan tipe pola asuh yang bersifat demokrasi. Hal ini ditunjukkan dari perlakuan pengasuh cenderung memberikan kebebasan kepada anaknya untuk dapat bertemu dengan sang ayah.

4. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada informan III (ketiga) ini selama dalam pengasuhannya menerapkan tipe pola asuh yang bersifat demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan perlakuan pengasuh yang dominan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk dapat bertemu dengan Ibunya.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan melalui hasil penelitian, maka dapat di tarik saran-saran sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada semua pihak yang terkait dengan masalah anak seperti keluarga, pemerintah atau instansi-instansi sosial khususnya lembaga pemerhati permasalahan anak, dan masyarakat Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk lebih konsen dalam mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak. Ini dilakukan agar setiap pihak dapat lebih memperhatikan tumbuh dan kembang anak secara optimal dengan memberikan jaminan sosial dalam upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak terhadap pemenuhan hak-hak dasar anak.


(2)

2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU) sebagai lembaga negara yang konsen dalam menyikapi setiap permasalahan anak Indonesia sangat diharapkan agar dapat lebih menyuarakan dan mempertahankan hak-hak anak korban perceraian maupun tidak, agar setiap anak lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat ataupun pemerintah. KPAID-SU juga seharusnya dapat memberikan penyuluhan kepada para orang tua yang telah bercerai agar dapat memperhatikan kembali hak-hak anak sesuai kaidah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ini dilakukan agar para orang tua bisa lebih mengerti akan hak-hak anak tersebut walaupun keadaan sudah bercerai. Kerja sama yang dilakukan oleh Sakti Pekerja Sosial juga sangat membantu pihak KPAID-SU dalam upaya pendampingan yang dilakukan di Pengadilan, Kepolisian, ataupun di Lembaga Permasyarakatan. Kerjasama ini diharapkan agar dapat membantu anak-anak dalam menghadapi permasalahan agar tetap semangat dan yakin bahwa ini bukanlah sebagai cobaan yang berat. Jadi, dengan kata lain bahwa setiap lapisan masyarakat agar dapat melindungi semua anak baik yang menjadi korban perceraian atau tidak agar anak dapat meneruskan cita-cita bangsa Indonesia kedepannya.

3. Diharapkan kepada orang tua yang telah bercerai dan telah memiliki anak berusahalah untuk tetap terlibat dalam kehidupan anak. Yakinkan pada anak bahwasanya ayah atau ibu akan tetap menjadi orang tuanya yang akan berubah menjadi orang tua yang lebih baik. Termasuk akan selalu tetap setia dalam memberinya kasih sayang, nasehat, memberi rasa nyaman dan tetap memikirkan tentang masa depan anak. Tetapi jika orang tua yang memiliki hubungan yang kurang efektif dalam memberikan rasa sayangnya, maka diharapkan kepada orang tua berkonflik akan selalu menfasilitasikan kondisi yang kondusif, sehingga anak tidak merasa terganggu dengan keinginan ibu atau ayahnya yang mengingkan untuk dapat bertemu dengan anak. Setiap


(3)

pengasuh yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama, diharapkan tidak memberikan pernyataan-pernyataan yang negatif kepada salah satu orang tuanya supaya anak tersebut dapat mengetahui orang tuanya yang melahirkan dan membesarkan dia (anak) seperti yang tertulis di Pasal 7 ayat 1 (satu) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

Balson, Maurice. 1999. Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Hurlock, Elizabeth. 2009. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: PT. Erlangga Khairuddin, Drs. 2007. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: PT. Liberty

Latief, Djamil, HM. 1999. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indo Malik, Rusdi. 2009. Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT. Univ. Trisakti Moeloeng, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya Nadesul, Handrawan, Dr. 1999. Cara Sehat Mengasuh Anak. Jakarta: PT Puspa Swara

Shochib, Mohammad, Dr. 2003. Pola Asuh Orang Tua Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: PT. Grasindo Monoratama Singgih, Dra. 2011. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. Gunung Mulia


(4)

pengasuh yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama, diharapkan tidak memberikan pernyataan-pernyataan yang negatif kepada salah satu orang tuanya supaya anak tersebut dapat mengetahui orang tuanya yang melahirkan dan membesarkan dia (anak) seperti yang tertulis di Pasal 7 ayat 1 (satu) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

Balson, Maurice. 1999. Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Hurlock, Elizabeth. 2009. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: PT. Erlangga Khairuddin, Drs. 2007. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: PT. Liberty

Latief, Djamil, HM. 1999. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indo Malik, Rusdi. 2009. Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT. Univ. Trisakti Moeloeng, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya Nadesul, Handrawan, Dr. 1999. Cara Sehat Mengasuh Anak. Jakarta: PT Puspa Swara

Shochib, Mohammad, Dr. 2003. Pola Asuh Orang Tua Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: PT. Grasindo Monoratama Singgih, Dra. 2011. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT. Gunung Mulia


(5)

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama

Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga Remaja dan Anak. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi. Jakarta:Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Sunarti, Euis. 2004. Mengasuh Dengan Tantangan Yang Menyenangkan. Jakarta: PT. Elex Media

Syaifuddin, Muhammad, Dr., dkk. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: PT. Sinar Grafika

Sumber lain:

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak Dari Majalah, Artikel, Kamus, dan lain-lain:

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 30/HUK/2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Sosial Republik Indonesia

Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1989

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1998

Darling, N. 1999. Parenting Style and Its Corelates. (online)

http://www.athealth.com/practitioner/ceduc/parentingstyles.htm Diakses pada tanggal 28 April 2014 pukul: 20.00 wib.

http://news.detik.com/read/2011/08/04/124446/1696402/10/tingkat-perceraian-di-indonesia-meningkat?nd992203605 


(6)

http://www.medanbisnis.com/berita/metropolitan/harian/medan/bisnis/angka-perceraian-di-awal-tahun-2014-meningkat

http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/08/17/mrnkhr-wamenag-angka-perceraian-masih-tinggi

http://www. IndoTopInfo.com/H:\Alasan Umum Penyebab Perceraian.htm http://waspada.co.id/tingkat-perceraian-di-medan-meningkat.htm

www.hariansumutpos.com www.SumutInfo.com Okvina.wordpress.com

KamusBesarBahasaIndonesia (KBBI) Online