Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan

(1)

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU ANAK AUTIS DI YAYASAN TALI KASIH MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh : ESTHER SILABAN

100902030

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAK DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama: Esther Silaban

NIM : 100902030

ABSTRAK

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan

Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perilaku, perilaku anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya seperti bahasa yang tidak efektif, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, tidak peka terhadap lingkungan, emosi yang tidak stabil, agresif dan tantrum atau mengamuk tidak pada tempatnya. Perilaku anak autis ini dapat ditangani dengan terapi perilaku yang dikenal dengan metode ABA (Aplied Behavior Analyst). Orang tua adalah orang yang paling efektif dalam menerapkan terapi ini pada anak, karena orang tua adalah orang yang paling dekat pada anak. Untuk itu pola asuh orang tua yang tepat sangat dibutuhkan untuk penyembuhan perilaku anak autis, sehingga perilaku anak tersebut menjadi perilaku yang dapat diterima di masyarakat. Pola asuh dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu perilaku demokrasi, permisif dan otoriter.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian ekspalanatif. Responden dari penelitian ini adalah orang tua dari anak-anak autis yang menjalani terapi di Yayasan Tali Kasih Medan dengan jumlah 20 orang. Instrument analisis data yang digunakan kuesioner, wawancara dan observasi yang kemudian di analisis melalui tabulasi data yang tertuang dalam tabel data tunggal.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan, namun pengaruhnya sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dengan interpretasi tabel koefisien korelasi Product Moment terhadap hasil perhitungan koefisien korelasi observasi sebesar r = 0,26 yang terletak antara 0,20 – 0,30, yang diartiakn korelasinya positif signifikan sangat rendah. Sehingga hipotesisis nihil Ho ditolak, dan Ha diterima.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMEN OF SOCIAL WELFARE

Nama : Esther Silaban NIM: 100902030

ABSTRACT

Influence of The Parent’s Parenting For Autistic Child’s Behavior in Yayasan Tali Kasih Medan

Child with autism are children who have behavioral disorders, autistic child's behavior is not like any other normal child as a language that is not effective, can not communicate well, are not environmentally sensitive, emotionally unstable, aggressive and raging tantrums or misplaced. The behavior of child with autism can be treated with behavioral therapy known as ABA method (Analyst Behavior Analyst). Parents are the most effective in applying this therapy in child, because the parents are the people who are closest to the child. To the parents’ parenting is needed for proper healing of autistic children’s behavior, so that the child’s behavior becomes acceptable behavior in society. Parenting categorized into 3 types, namely democratic behavior, permissive and authoritarian.

This research uses research methods explanative. The responden in this study were parents with child of autism in Yayasan Tali Kasih Medan. Instrument of data analysis used were questionnaires, interviews, observation for child of autism in that yayasan and tabulation data containeiden a single data table.

The result showed the influence Parenting of the Parents for behavioral child of autism in that Yayasan Tali Kasih Medan, but the influence very weak. It can be seen with the interpretation of the Product Moment correlation coefisient table of the calculated correlation coefficient observased for r = 0,26 which lies between 0,20 – 0,39 which means a significant positive correlation is very weak or low. So that the nihil hypothesis Ho is rejected and Ha accepted.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan saya, Tuhan Yesus kristus, karena kasih dan berkatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semestinya. Sebab penulis sebagai manusia biasa hanya bisa berusaha dan yang terutama hanya bisa berpengharapan pada Dia. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah dari penulis, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul : Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan.

. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang ikut serta memberikan kontribusi baik berupa bimbingan, saran dan komentar yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Selaku Ketua Jurusan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu

Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Bengkel Ginting M.Si selaku dosen pembimbing penulis

4. Kepada seluruh dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan staf pengajar di Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan materi kuliah selama penulis mengikuti perkuliahan.

5. Secara khusus penulis persembahkan kepada orang tua, orang yang paling

penulis kasihi dan hormati ayahanda Badu Panangar Silaban dan ibunda Ledi Pangaribuan, buat semua doa, pengorbanan dan dukungannya yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini dan sampai akhir hidupnya nanti.


(5)

Terkhusus buat mama yang sangat berjuang untuk kami anak-anaknya ini, semoga mama semakin bijaksana dan kuat serta semakin bersukascita di dalam Tuhan.

6. Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada abang-abang, kakak dan

adik-adik penulis yang tidak henti-hentinya memberi dukungan kepada penulis, baik dukungan doa maupun dukungan moril. Kepada bang Ivy Christanto Silaban, SS dan kak Friska Simanjuntak, S.PAK; bang Johnslow Silaban, SH; kak Elen White Silaban S.pd; Sunrise Silaban; dan Young Elisabeth Silaban. Terima kasih buat semuanya, penulis yakin kita semua akan menjadi anak-anak yang membanggakan orang tua, bangsa dan negara, dan terutama untuk kemuliaan Tuhan. Kita akan menjadi satu keluarga yang sukses dan bahagia, serta menjadi berkat bagi orang lain.

7. Untuk seluruh keluarga penulis, baik dari keluarga dari pihak mama ataupun

keluarga dari pihak papa, terima kasih buat doa dan dukungannya.

8. Untuk oppung Ny. Ir. JK Pangaribuan br. Sianipar beserta keluarga, penulis

mengucapkan terima kasih banyak buat dukungan-dukungan serta saran yang membangun yang diberikan kepada penulis. Semoga kedepannya kalian tetap menjadi saluran berkat bagi sesama untuk kemuliaan Tuhan.

9. Buat kelompok kecik ‘Abigail’, (Denti Monica Hutahaean, Esther Silaban,

Grace M. S Hutagalung, Megawati Sitinjak, dan Sartika br. Karo). Terima kasih ya buat doa dan penguatan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kita menjadi the next Abigail, menjadi perempuan yang cantik, kuat dan bijaksana di dalam Tuhan.

10.Buat teman-teman staambuk 2010 yang menjadi teman seperjuangan selam


(6)

Riada, Intan, Sintong, Silva, Erlince, Foniah, Erwin, Juwita, Pera, Dimas, Dwi, Ayu Maya, Wenni dan yulizar, yang telah berjuang mulai dari awal untuk tugas akhir ini. Buat teman-teman IKS 2010 yang lain, seperti Debora, Umi, Feri, Prima, Liberson, Ardi, Leo, Desi Hutajulu, Rahma serta teman-teman yang lain, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih semuanya. Tetap semangat ya.

11.Kepada Ibu Sari selaku pihak administrasi yang telah mengizinkan penulis

melakukan penelitian di Yayasan Tali Kasih Medan, begitu juga kepada responden yang telah meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner yang diberikan penulis untuk membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat semuanya, semoga Tuhan membalas jasa-jasa kalian.

12.Buat semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih buat bantuan dan kerjasamanya.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun dan menambah kesempurnaan skripsi ini. Dengan harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatian dan kemaklumannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2014 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4 Sistematika Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orang Tua ... 12

2.2 Pola Asuh Orang Tua ... 12

2.2.1 Pengertian Pola Asuh ... 12

2.2.2 Dimensi Pola Asuh ... 14

2.2.3 Jenis-jenis Pola Asuh ... 16

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ...18

2.3 Perilaku ... 19

2.3.1 Pengertian Perilaku ... 19

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Aspek Perkembangan Perilaku ... 21

2.3.3 Pembentukan Perilaku ... 24


(8)

2.5 Autis ... 28

2.5.1 Pengertian Autis ... 28

2.5.2 Kriteria Autis ... 29

2.5.3 Faktor Penyebab Autis ... 33

2.5.4 Perilaku Anak Autis ... 34

2.5.5 Penanganan Pada Anak Autis ... 37

2.6 Kesejahteraan Anak ... 39

2.6.1 Kesejahteraan Anak Penyandang Cacat ... 40

2.7 Kerangka Pemikiran ... 41

2.8 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 44

2.8.1 Defenisi Konsep ... 44

2.8.2 Defenisi Operasional ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 48

3.2 Lokasi Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 48

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.5 Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV DESKRIPSI LOKASI 4.1 Visi dan Misi Yayasan Tali Kasih Medan ... 51

4.2 Rangkaian Terapi Pada Yayasan ... 51

4.3 Latar Belakang Yayasan ... 52

4.4 Model Pendidikan Terpadu Autisme di Yayasan ... 53


(9)

BAB V ANALISIS DATA

5.1 Analisa Tabel Tunggal ... 59 5.2 Analisa Kuantitatif ... 96 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 98 6.2 Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin Anak Autis ... 59

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak Autis ... 60

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama Anak Autis ... 61

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Orang

Tua Anak Autis ... 62

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 62

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 63

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Orang Tua

Anak Autis ... 64

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua

Mengajak anak Berinteraksi ... 65

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua

Memperkenalkan Anak Kepada Kawan-kawan Yang Lain ... 66

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua

Memberikan Pujian Terhadap Keakraban Anak ... 67

Tabel 5.11 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Memberikan

Pengarahan Kepada Anak ... 68

Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Memberikan

Imbalan Terhadap Kepatuhan Akan Disiplin ... 69

Tabel 5.13 Distribusi Responden Terhadap Kemauan Orang Tua

Menanyakan Alasan Anak ... 69


(11)

Untuk Meningkatkan Potensi Anak ... 70

Tabel 5.15 Distribusi Responden Terhadap Sikap Langsung Memarahi

Anak Ketika Anak Berbuat Salah ... 71

Tabel 5.16 Distribusi Responden Terhadap Pemberian Perintah

Kepada anak ... 72

Tabel 5.17 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Memarahi Anak Ketika

Anak Menolak Perintah ... 73

Tabel 5.18 Distribusi Responden Terhadap Penerapan Disiplin Dalam

Segala Hal Pada Anak ... 74

Tabel 5.19 Distribusi Responden Terhadap Pengawasan Yang Ketat

Kepada Anak ... 75

Tabel 5.20 Distribusi Responden Terhadap Pemberian Hukuman Kepada

Anak Jika Melanggar Aturan Dari Orang Tua ... 76

Tabel 5.21 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Membiarkan Anak

Bermain Sendiri ... 77

Tabel 5.22 Distribusi Responden Terhadap Sikap Mengabaikan Jika Anak

Menangis ... 78

Tabel 5.23 Distribusi Responden Terhadap Kebebasan Yang Diberikan

Terhadap Anak ... 79

Tabel 5.24 Distribusi Responden Terhadap Sikap Langsung Menuruti

Permintaan Anak ...80

Tabel 5.25 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Menuruti Keinginan

Anak Walaupun Hal Itu Salah ... 81

Tabel 5.26 Distribusi Responden Terhadap Waktu Yang Lebih Banyak


(12)

Dengan Anak Setiap Harinya ... 82

Tabel 5.27 Distriibusi Responden Terhadap Kuantitas Anak

Berkomunikasi dengan Orang Tua ... 83

Tabel 5.28 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Bermain

Sendiri ... 84

Tabel 5.29 Distribusi Responden Terhadap Sikap Ketidaktanggapan Anak

Jika Dia Dipanggil ... 85

Tabel 5.30 Distribusi Responden Terhadap Ketidakmauan Anak Berkomunikasi

Dengan Teman-temannya ... 86

Tabel 5.31 Distribusi Responden Terhadap Ketidakcocokan dan

Ketidakakraban Anak Dengan Teman-temannya ... 87

Tabel 5.32 Distribusi Responden Terhadap Ketidakmampuan Anak

Mengikuti Aturan Permainan ... 88

Tabel 5.33 Distribusi Reponden Terhadap Cara Anak Mengutarakan

Keinginannya Dengan Menangis ... 89

Tabel 5.34 Distribusi Responden Terhadap Respon Anak Yang Mengamuk

JIka Permintaanya Ditolak ... 90

Tabel 5.35 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Melukai

Dirinya Sendiri ... 91

Tabel 5.36 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Melukai

Orang-orang Yang Disekitarnya ... 92

Tabel 5.37 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Merusak


(13)

Tabel 5.38 Distribusi Responden Terhadap Penolakan Anak Akan

Hadiah ... 94

Tabel 5.39 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Meminta Hadiah


(14)

DAFTAR BAGAN

halaman Bagan 2.1 ... 44 Bagan 4.1 ... 58


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAK DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama: Esther Silaban

NIM : 100902030

ABSTRAK

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan

Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perilaku, perilaku anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya seperti bahasa yang tidak efektif, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, tidak peka terhadap lingkungan, emosi yang tidak stabil, agresif dan tantrum atau mengamuk tidak pada tempatnya. Perilaku anak autis ini dapat ditangani dengan terapi perilaku yang dikenal dengan metode ABA (Aplied Behavior Analyst). Orang tua adalah orang yang paling efektif dalam menerapkan terapi ini pada anak, karena orang tua adalah orang yang paling dekat pada anak. Untuk itu pola asuh orang tua yang tepat sangat dibutuhkan untuk penyembuhan perilaku anak autis, sehingga perilaku anak tersebut menjadi perilaku yang dapat diterima di masyarakat. Pola asuh dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu perilaku demokrasi, permisif dan otoriter.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian ekspalanatif. Responden dari penelitian ini adalah orang tua dari anak-anak autis yang menjalani terapi di Yayasan Tali Kasih Medan dengan jumlah 20 orang. Instrument analisis data yang digunakan kuesioner, wawancara dan observasi yang kemudian di analisis melalui tabulasi data yang tertuang dalam tabel data tunggal.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan, namun pengaruhnya sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dengan interpretasi tabel koefisien korelasi Product Moment terhadap hasil perhitungan koefisien korelasi observasi sebesar r = 0,26 yang terletak antara 0,20 – 0,30, yang diartiakn korelasinya positif signifikan sangat rendah. Sehingga hipotesisis nihil Ho ditolak, dan Ha diterima.


(16)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMEN OF SOCIAL WELFARE

Nama : Esther Silaban NIM: 100902030

ABSTRACT

Influence of The Parent’s Parenting For Autistic Child’s Behavior in Yayasan Tali Kasih Medan

Child with autism are children who have behavioral disorders, autistic child's behavior is not like any other normal child as a language that is not effective, can not communicate well, are not environmentally sensitive, emotionally unstable, aggressive and raging tantrums or misplaced. The behavior of child with autism can be treated with behavioral therapy known as ABA method (Analyst Behavior Analyst). Parents are the most effective in applying this therapy in child, because the parents are the people who are closest to the child. To the parents’ parenting is needed for proper healing of autistic children’s behavior, so that the child’s behavior becomes acceptable behavior in society. Parenting categorized into 3 types, namely democratic behavior, permissive and authoritarian.

This research uses research methods explanative. The responden in this study were parents with child of autism in Yayasan Tali Kasih Medan. Instrument of data analysis used were questionnaires, interviews, observation for child of autism in that yayasan and tabulation data containeiden a single data table.

The result showed the influence Parenting of the Parents for behavioral child of autism in that Yayasan Tali Kasih Medan, but the influence very weak. It can be seen with the interpretation of the Product Moment correlation coefisient table of the calculated correlation coefficient observased for r = 0,26 which lies between 0,20 – 0,39 which means a significant positive correlation is very weak or low. So that the nihil hypothesis Ho is rejected and Ha accepted.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Dalam setiap kehidupan manusia pasti memiliki keluarga, baik itu keluarga secara biologis maupun keluarga secara pergaulan dalam interaksi dan kehidupan bersosialisasi. Keluarga merupakan suatu kelompok terkecil dalam suatu tatanan kehidupan sosial, yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain.

Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barang-barang dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan. Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. (Hal-hal tersebut kini menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini ( Degenova, 2008).

Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sudah menjadi hal yang biasa dalam budaya Indonesia, jika dalam sebuah keluarga menginginkan kehadiran anak. Kehadiran anak sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga membawa pasangan yang sudah menikah tersebut secara otomatis mempunyai pertambahan tugas dan tanggung jawab, yakni tugas perkembangan sebagai orang tua.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi anak sehingga memberi pengaruh terbesar bagi perkembangan anak. Interaksi di dalam


(18)

keluarga sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak karena pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pola dan tingkah laku anak terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat. Keluarga terutama orang tua memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak

Orang tua adalah orang yang bertangggung jawab penuh dalam anak. Dalam arti sempit orang tua adalah bapak dan ibu. Tanggung jawab tersebut menyangkut semua aspek dalam kehidupan anak bukan hanya menyangkut pemenuhan nafkah anak secara fisik, namun menyangkut pemenuhan nafkah anak secara psikis.

Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak. Setiap orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya dengan anak-anaknya, memiliki cara yang berbeda-beda dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Dan baik buruknya hubungan serta cara mendidik dan mengasuh anak oleh orang tua tersebut akan mempengaruhi perkembangan sosial anak. Secara umum proses menjadi orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan pada anak.

Mengasuh anak berarti adanya sebuah proses yang menunjukkan suatu interaksi antara orang tua dan anak secara berkelanjutan. Dari proses ini dihasilkan suatu perubahan, baik perubahan pada orang tua maupun anak. Mengetahui seni mengasuh anak merupakan salah satu tantangan yang dihadapi orang tua. Kebanyakan orang tua belajar tentang seni dalam mengasuh anak melalui pengalamannya sendiri, dari hasil observasi dan ingatan mengenai bagaimana dahulu orang tua mereka mengasuh. Sehingga pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya kurang efektif karena setiap anak mempunyai sifat yang berbeda.

Seni mengasuh anak dapat disebut sebagai pola asuh orang tua dalam mengasuh anak. pola asuh yang merupakan pola interaksi antara anak dengan orang


(19)

tua meliputi tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa, 2002).

Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh orang tua ataupun pendidik dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak, dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini merupakan tanggung jawab primer. Bentuk pola asuh orang tua terhadap anak tersebut juga merupakan interaksi antara anak dengan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan, mendidik, membimbing dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Schocib, 2000 :15).

Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness dan dimensi

demandingness/control. Dimensi acceptance/resposiveness menggambarkan

bagaimana orang tua merespon anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan control perilaku dari orang tua kepada anak-anaknya.

Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive, kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan

pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang

mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya


(20)

dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya

pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control

yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting

merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/controldan

acceptence/responsiveyang rendah pula (Sigelmen, 2002).

Melalui pola asuh tersebut yang diberikan orang tua kepada anaknya, maka setiap orang tua tersebut pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap, mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Sekalipun anak tersebut anak yang berkebutuhan khusus atau anak yang abnormal.

Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, anak-anak yang dilahirkan tidak selalu normal. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal. Namun, sudah merupakan kodrat yang tidak dapat ditolak atau dihindari bahwa manusia itu diciptakan dengan berbagai macam bentuk manusia di dunia. Ada anak yang normal dan ada juga anak yang abnormal.

Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh kembangnya, salah satunya Autis. Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat yakni mereka yang memiliki orang tua dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan yang beragam.

Autis merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interaksi sosial),


(21)

gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003).

Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan di Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjdi pada 15.000 – 60.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan ini menyebutkan prevelensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang. Bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat. Dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis.

Fakta membuktikan, autis bukanlah sesuatu hal yang baru, dan ada di sekeliling kita. Sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang dapat menyajikan data autism pada anak di Indonesia. Bila diasumsikan dengan prevelensi autism pada anak di Hongkong, dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai 66.000.805 jiwa (BPS, 2010).

Meski belum ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah anak autisme di Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme bisa berada di kisaran 112 ribu jiwa. Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012 terjadi peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami autisme. Di Indonesia, pada 2010, jumlah penderita autisme diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen. Jumlah penderita autisme di Indonesia diperkirakan mengalami penambahan sekitar 500 orang setiap tahun. Saat


(22)

ini diprediksi jumlah penyandang mencapai tiga juta orang dengan perbandingan 6 di antara 10 ribu kelahiran (http://lintasfakta.com/2013/10/07/).

Di Indonesia yang berpenduduk sekitar 200 juta orang, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang autis namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2008). Penyebanya adalah karena laki-laki lebih banyak memproduksi testosteron, sementara perempuan lebih banyak memproduksi esterogen. Kedua hormon itu memiliki efek bertolak belakang terhadap suatu gen pengatur fungsi otak yang disebut retinoic acid-related orphan receptor-alpha atau RORA. Testosteron menghambat kerja RORA, sementara estrogen justru meningkatkan kinerjanya.

Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial. Kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak-anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya (Veskarisyanti, 2008).

Ketidaknormalan perkembangan neuro pada anak autis sangat mempengaruhi perilaku si anak tersebut, tentunya dengan perilaku anak yang abnormal juga. Perilaku merupakan setiap cara reaksi atau respon manusia, makhluk hidup terhadap manusia dan lingkungannya. Pada umumnya perilaku anak autis dikategorikan ke dalam dua jenis perilaku, yaitu berperilaku berlebihan (hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (hipoaktif).

Dari karakteristik anak autis yang demikian dapat diketaahui bahwa anak autis dapat mengganggu perkembangan anak, salah satunya di bidang perkembangan


(23)

perilaku anak. oleh karena itu tentu saja orang tua yang memiliki anak autis mempunyai cara dan pola asuh tersendiri dalam mengasuh dan membesarkan anaknya tersebut. Salah satu dari karakteristik anak autis itu adalah pola sikap yang tidak normal. Pola sikap ini sangat berkaitan dengan perilaku anak dalam kehidupannya. Dan hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua si anak penyandang autis.

Menurut Akmal Taher (dalam tribun news.com), Penanganan anak autis membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Fenomena ini merupakan perjalanan yang panjang, jadi orang tua seharusnya tidak berhenti pada ketidakmampuan anak. Namun perlu upaya untuk menggali bakat-bakat serta potensi yang dimiliki. Intervensi yang tepat bagi seorang anak yang telah terdiagnosis sebagai penyandang gangguan autis adalah terapi untuk masalah-masalah yang dialami. Misalnya, terapi wicara untuk masalah komunikasi, terapi perilaku untuk masalah afektif dan terapi okupasi untuk mengatasi permasalahan perkembangan motorik yang berpengaruh pada kemampuan komunikasi, perilaku dan kognitif. Karena itu, keberhasilan penanganan anak-anak penyandang autis tergantung dari pendekatan holistic yang meliputi diagnosa akurat, terapi dan pendidikan yang tepat, serta dukungan yang kuat dari keluarga terdekat, terutama orang tua dan semua sektor terkait.

Ternyata baik pada kondisi anak normal maupun anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak dengan gangguan Autis, keterlibatan orang tua serta pemberian pola asuh yang tepat memberikan pengaruh besar pada keberhasilan tumbuh kembang anak. Sangat penting bagi orang tua mampu memberi pengasuhan yang tepat pada anak, khususnya anak dengan gangguan Autis agar dapat membantu anak bertumbuh kembang dengan lebih baik.

Autis pada anak bukan aib bagi keluarga, ia hanya satu dari begitu banyak kelainan bawaan anak, baik yang diketahui saat anak dilahirkan atau di kemudian


(24)

hari. Anak autis tetap seorang anak yang membutuhkan cinta kasih, perhatian, disiplin, bimbingan, dan pengarahan. Karena ia milik masa depan. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengantar anaknya ke masa depan yang lebih baik.

Namun, kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan Autis. Mereka menganggapnya sebagai bencana akibat kesalahan masa lalu orang tua. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Khusus pada para ibu yang memiliki anak dengan gangguan Autis perasaan bersalah dan merasa tidak adil lebih mereka rasakan. Rasa bersalah sangat besar tersebut tentu saja bisa melumpuhkan semangatnya untuk mengatasi masalah pada anaknya.

Masalah pada anak autis yang paling tampak adalah masalah perilaku. Anak autis memiliki perilaku khas dan cenderung aneh jika dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya. Masing-masing anak autis memiliki perilaku aneh yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Salah satu terapi penting bagi anak autis adalah terapi perilaku (behavior therapy). Terapi ini akan memberikan hasil yang lebih baik jika dipadukan dengan terapi lainnya, seperti terapi wicara, terapi okupasi dan pendidikan khusus. Terapi perilaku ini bertujuan untuk mengurangi perilaku aneh yang tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat (Sunar, Dwi 2007: 233-240).

Sementara perilaku anak terbentuk dan berkembang melalui proses komunikasi dari keluarga terutama dari orang tua. Pembentukan perilaku anak tidak terjadi dengan sendirinya, pembentukan perilaku tersebut senantiasa berlangsung dari


(25)

interaksi manusia, dalam hal ini interaksi dari manusia tersebut di dapatkan anak adalah orang tua karena orang tua adalah tempat interaksi yang paling dekat dan tepat. Di dalam komunikasi dan interaksi dari orang tua tersebut, orang tua perlu menerapkan pola asuh kepada anak untuk dapat membentuk perilaku anak menuju masa depannya.

Yayasan Tali Kasih merupakan salah satu tempat pusat terapi untuk anak-anak autis yang ada di kota Medan dan merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat untuk anak berkebutuhan khusus yang pertama di Medan. Selain menjadi pusat terapi, Yayasan ini juga sebagai wadah bagi anak-anak autis untuk mendapat pendidikan, seperti membaca dan menulis. Sehingga Yayasan Tali Kasih Medan ini merupakan Sekolah sekaligus untuk terapi anak autis.

Orang tua anak-anak autis yang diterapi di yayasan ini ikut serta menemani anaknya tersebut. Orang tua anak memang mempercayakan anaknya kepada yayasan tersebut untuk diterapi dan dididik, sekaligus sebagai tempat penitipan anak mereka. Namun para orang tua tetap meluangkan waktunya untuk ikut serta dalam mendampingi dan mengasuh anaknya di yayasan tersebut.

Dari latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku

Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan ?”


(26)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pola asuh orang tua dalam membentuk perilaku anak autis yang ada di Yayasan Ananda Karsa Mandiri Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat praktis : penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta

memberikan konstribusi bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini mengenai jenis pola asuh orang tua yang tepat kepada anaknya, terutama kepada anak dishabilitas, seperti anak autis.

b. Manfaat teoritis : penelitian ini berguna untuk menambah konsep-konsep dan

teori keilmuan mengenai pembentukan perilaku anak autis dan tentang pola asuh orang tua menuju kesejahteraan sosial anak.


(27)

1.4Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, dan kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian tentang sejarah geographis dan gambaran umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

BAB V: ANALISIS DATA

Bab ini berisikan mengenai uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya

BAB VI: PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang bermanfaat


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orang tua

Orang tua atau ibu dan ayah merupakan bagian dari keluarga inti. Orang tua dalam keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak (Gunarsa dan Gunarsa, 1993 : 26).

Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung atau ayah dan/ibu tiriatau ayah dan/atau ibu angkat.

2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pola berarti cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sistem. Selanjutnya kata asuh atau mengasuh artinya menjaga (merawat dan membimbing anak). Mengasuh juga mengandung pengertian membimbing yang meliputi membantu dan melatih supaya dapat berdiri.

Pengasuhan menurut (Schochib,2000: 15) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di sini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.


(29)

Pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda dengan keluarga lainnya. Hal ini tergantung dari pandangan pada diri tiap orang tua (Gunarsa, 2002: 86).

Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku orang tua yang paling menonjol atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola orang tua dalam mendisiplinkan anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dalam mengajarkan keterampilan hidup, dan dalam mengelola emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur kesan anak tentang pola perlakuan orang tua terhadapnya. Kesan yang mendalam dari seorang anak mengenai bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunar, Dwiti, Euis, 2004: 93).

Pada hakekatnya pengasuhan merupakan arahan kepada anak agar memiliki keterampilan hidup. Dalam padanan kata lain pengertian arahan sama dengan pengertian disiplin, yaitu bagaimana cara orang dewasa (orang tua, guru, atau masyarakat) mengajarkan tingkah laku moral kepada anak yang dapat diterima kelompoknya. Disiplin berkaitan dengan cara untuk mengoreksi, memperbaiki, mengajarkan seorang anak tinglah laku yang baik tanpa merusak harga diri anak.


(30)

Arahan dan bimbingan yang baik membantu anak untuk dapat mengontrol dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab, dan membantu anak dalam membuat pilihan yang bijkasana. Disiplin berperan besar dalam perkembangan anak karena dapat memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan kepastian tingkah laku. Anak mendapatkan rasa aman karena mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Disiplin memungkinkan anak melakukan hal yang diterima lingkungannya, dan oleh karena itu mendapatkan penghargaan atau pujian. Penghargaan dan pujian merupakan kebutuhan mendasar bagi seorang individu untuk tumbuh kembang dengan sehat. Disiplin juga membantu anak dalam keputusan mengendalikan tingkah lakunya, serta membantu anak dalam mengembangkan hati nurani, sehingga peka dengan nilai kebenaran.

2.2.2 Dimensi Pola Asuh

Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk

dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness;

menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni;

1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-anaknya, 2) sensitif terhadap emosi anak,

3) memperhatikan kesejahteraan anak,

4) bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama,

5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan sering tersenyum, memberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka. Mereka juga


(31)

membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana

standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;

1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,

2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua,

3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan,

4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak.

5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua.

Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak-anak


(32)

mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

2.2.3 Jenis-jenis Pola Asuh

1. Pola Asuh Demokratis

Gaya pengasuh dicirikan beberapa kondisi dimana orangtua senantiasa mengontrol perilaku anak, namaun control tersebut dilakukan dengan fleksibel atau tidak kaku. Orang tua meminta anak untuk menunjukkan prestasi- prestasi tertentu. Permintaan tersebut di dasari pengetahuan bahwa prestasi tersebut sesuai dengan tingkat perkembangan umurnya. Orangtua memperlakukan anak dengan hangat, membangun rasa percaya diri, dan anak diperlakukan secara unik. Orangtua berkemunikasi dalam banyak hal dengan anak. Kemampuan orang tua dalam mengetahui kebutuhan anak serta kemampuan mendengarkan aspirasi anak menjadi cirri gaya pengasuhan ini. Nilai kepatuhan anak terhadap otoritas orangtu tetap mendapat perhatian, walaupun bukan menuntut kepatuhan yang total.

Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis akan mengembangkan percaya diri, kontrl emosi yang baik, selalu ingin tahu, menggali hal- hal yang dapat memperluas wawasan dan kematangan pribadinya. Anak mampu menemukan arah dan tujuan dari tugas- tugas perkembangannya. Anak mengembangkan sikap bertanggung jawab dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri.


(33)

2. Pola asuh Otoriter

Gaya pengasuhan ini menenpatkan orangtua sebagai pusat dan pengendali utama dan pemegang kendali. Orangtua melakukan control yang ketat terhadap anak yang didasarkan kepada nilai- nilai yang dipercayai absolute kebenarannya. Sikap dan perilaku anak dikontrol dan dievaluasi dengan menggunakan nilai yang absolute juga. Nili kepatuhan menjadi dominan dan sangat penting bagi orangtua, dan dijadikan sebagai indicator keberhasilan pengasuh yang dilaksanakan orang tua. Demikian halnya dengan nilai otoritas orangtua. Orangtua sangat sensi jika anak dinilai tidak menghiraukan atau bahkan tidak menghormati orangtua lagi.

Anak yang dibesarkan dengan pengasuhan otoriter akan mengembangkan sikap sebagai pengekor, selalu tergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan, dan tidak memiliki kemandirian pribadi. Anak sulit untuk menangkap makna dan hakikat dari setiap fenomena hidup, kurang fokus terhadap aktifitas yang

dikerjakan, dan seringkali kehilangan arah yang dituju (amless ). Anak tidak memiliki

rasa percaya diri yang tinggi, dipenuhi ketakutan berbuat salah, dan cenderung sulit mempercayai orang- orang yang disekitarnya. Akumulasi dari karakteristik negative tersebut menyebabkan anak memiliki kecenderungan untuk agresif dan mempunyai tingkah lau yang menyimpang.

3. Pola Asuh Permisif

Sesuai dengan namanya, gaya pengasuhan permisif (serba membolehkan ) dicirikan oleh perilaku orangrua yang senantiasa menyetuji keinginan anak. Orangtua bukan hanya senantiasa melibatkan anak dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, tapi juga menjadikan pilihan anak sebagai kebijakan keluarga. Anak menjadi sumber pengambilan keputusan berbagai hal dalam keluarga. Hal tersebut bahkan berlaku untuk hal- hal dimana anak belum waktunya untuk terlibat.orang tua


(34)

kurang melakukan evaluasi dan control terhapa perilaku anak. Disisi lain orang tua tidak menuntut atau meminta anak untuk menunjukkan prestasi yang seharusnya ditunjukkan sesuai usia perkembangannya.

Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif akan tumbuh menjadi ank yang control dirinya rendah, kurang bertanggung jawab, tidak terampil dalam mengatasi masalah, dan tidak frustasi. Anak kurang mengembangkan keinginantahuan apalagi memenuhi keinginantahuan yang ada. Anak cenderung impulsive dan agresif, sehingga bermasalah dalam pergaulan sosialnya. Rendahnya keterampilan emosi sosial menyebabkan kepercayaan diri rendah. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif menunjukkan tidak matangnya (mature ) tingkat perkembangan sesuai usianya.

Jika pengasuhan dimensi arahan dikombinasikan dengan gaya pengasuhan

dimenasi kehangatan ( The Warmth Dimension), Baumrind menambahkan satu lagi

gaya pengasuhan yaitu gaya pengabaian dan penolakan. Kombinasi antara kontrol orang tua dengan perlakuan hangat orang tua dapat digambarkan sebagai berikut :

1) Gaya pengasuhan demokratis : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan tinggi.

2) Gaya pengasuhan permisif : memiliki kontrol rendah tapi kehangatan tinggi

3) Gaya pengasuhan otoriter : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan renda

4) Gaya pengsuhan penolakan : baik kontrol maupun kehangatan rendah (Sunarti,

Euis, 2004: 117).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh.

Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:


(35)

Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

2. Kebudayaan

Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.

3. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.

2.3 Perilaku

2.3.1 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respons manusia, makhluk hidup terhadap manusia. Perilaku adalah aksi, reaksi, terhadap perangsangan dari lingkungan. Melihat dan memperhatikan perilaku orang maka akan terlihat macam-macam. Perilaku yang over bisa dibagi lagi dalam :

a. Perilaku yang disadari, dilakukan dengan kesadaran penuh, tergantung dari aksi dalam otak besar.

b. Perilaku Reflektoris, gerakan refleks yang dalam tahap pertama berkaitan dengan sum-sum tulang belakang belum disadari. Kemudian tingkah laku refleks disadari, bila kesan sudah sampai ke pusat persyarafan.


(36)

c. Perilaku di luar pengaruh kehendak, tidak disadari dan berpusat pada sumsum penyambung atau gerakan otot karena kepekaan otot.

Perilaku yang tidak mudah terlihat, terselubungi :

a. Kognisi : penyadaran melalui proses penginderaan terhadap rangsang dan interpretasinya. Perilaku meliputi segala hal berupa reaksi terhadap rangsang, menyadarinya dan memberi arti atau belajar dan mengingat arti yang dipelajari. b. Emosi : perasaan, suasana di dalam diri yang dimunculkan oleh penyadaran

terhadap isi perangsangan.

c. Konasi : pemikiran, pengambilan keputusan untuk memilih sesuatu bentuk perilaku.

d. Penginderaan : meliputi penyampaian atau mengantar pesan ( rangsangan ). (Gunarsa, 2000:4)

Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil maupun besar, yang dapat dilihat, di dengar dan dirasakan (oleh indra perasa di kulit, dan bukan yang dirasakan di hati) oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi berupa gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju , sengaja ataupun tidak sengaja dan berguna atuapun tidak berguna. Semua perilaku individu pasti di dahului oleh suatu penyebab atau antecedent, baik eksternal maupun internal. Penyebab eksternal dapat diperoleh dari individu lain atau lingkungan sekitarnya. Penyebab internal dapat berasal sikap atau attitude, dan emosi yang didasari oleh watak dan kepribadian seseorang. Setiap perilaku juga akan memberikan suatu akibat atau konsekuen, baik bagi individu itu sendiri, orang lain ataupun pada lingkungannya. (Handojo, Y, 2003 : 11).


(37)

Karakteristik Perilaku :

a. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya.

b. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi, durasi, dan intensitas.

c. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang yang terlibat dalam perilaku tersebut.

d. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau social e. Perilaku dipengaruhi lingkungan

f. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak.

2.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku dan Aspek Perkembangan Perilaku Perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, dan juga dapat mempengaruhi lingkungan. Demikian pula, lingkungan dapat mempengaruhi individu. Secara garis besar, perilaku manusia diakibatkan oleh :

a. Genetika

b. Sikap, adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu c. Norma sosial, adalah pengaruhh tekanan social

d. Kontrol perilaku pribadi, adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.


(38)

Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Berikut adalah aspek perkembangan perilaku ( Syamsudin, 2003 ) ; 1. Perkembangan perilaku kognitif

Secara kualitatif perkembangan perilaku kognitif diungkapkan oleh Piaget, sebagai berikut :

a. Tahap Sensori-Motor (0-2)

Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical

intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak.

Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda

apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah

kemampuan object permanenceanak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.

b. Tahap Pra Operasional (2 – 7)

Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object

permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya

suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk


(39)

dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.

c. Tahap konkret-operasional (7-11)

Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut sistem of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

d. Tahap formal-operasional (11 - dewasa)

Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :

1)Kapasitas menggunakan hipotesis

Kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

2)Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak

Kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.

2. Perkembangan Perilaku Afektif

Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu :

(1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus)


(40)

(3) pola sambutan. Yang mungkin dirubah dan dipengaruhi adalah variabel yang kesatu (stimus) dan yang ketiga (respons), sedangkan variabel yang kedua merupakan yang tidak mungkin dirubah karena terjadinya pada individu secara mekanis. Terdapat dua dimensi emosional yang sangat penting untuk dipahami yaitu:

a. senang – tidak senang (suka-tidak suka); b. intensitasnya (kuat-lemah).

3. Perkembangan Perilaku Psikomotorik

Perkembangan psikomotorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara

neuronmuscular system(sistem syaraf dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif,

konatif).

Dua prinsip utama dalam perkembangan psikomotorik, yaitu : bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan dari yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik dan terkoordinasikan (finely coordinated movements).

2.3.3 Pembentukan perilaku

Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

c. Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi


(41)

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Pembentukan perilaku dapat diamati dari luar melalui 3 hal, yaitu :

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah :

a) Faktor interernal, yaitu faktor dari diri sendiri, misalnya intelegensia,

minat dan kondisi fisik.

b) Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar diri, misalnya keluarga,

masyarakat dan sarana

c) Faktor pendekaatan belajar, yaitu faktor upaya belajar misalnya

strategi dan upaya dalam pembelajaran

2. Sikap ( attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang dari stimulus atau objek. Allport menjelaskan sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

a) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap objek

b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek

c) Kecenderungan untuk betinndak (tend to be have)

3. Praktik (tindakan)

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas


(42)

dan faktor dukungan (support). Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :

a) Persepsi. Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama

b) Respon terpimpin. Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar

dan dengan sesuai contoh adalah indikator praktik tingkat kedua

c) Mekanisme. Apabila seseorang telah melakukan tindakan secara

otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat ketiga

d) Adopsi : adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. (Handojo. Y, 2003).

2.4 Pengertian Anak

Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 2000) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.

Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam


(43)

Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Huraerah, 2006:31)

Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Hal ini dipertegas dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.

Batasan umur seseorang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang RI. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; memberi batasan

yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun;

2. Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; pasal 1

ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.”

3. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1


(44)

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO

tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

5. Undang-Undang RI. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1,

angka (5), menyebutkan bahwa: ”Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

6. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,

dan DPRD; Usia Pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.

7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai

pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam pasal 330 yang berbunyi: “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.

2.5 Autis

2.5.1 Pengertian Autis

Autis berasala dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. dalam kamus psikologi umum (1982), autis berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri, dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri (Chaplin, 1997:17).


(45)

Pada awalnya istilah autis diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleur memakai autis ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autis pada penderita skizofrenia dengan penyandang autis infantile. Pada skizofrenia, autis disebabkan dampak area gangguan jiwa yang di dalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autis infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam criteria gangguan pervasif dengan kehidupan autistic yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM IV, 1995).

Autis atau autis infantile (Early Infantile Autis) pertama kali dikemukakan

oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autis digunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Cirri yang menonjol pada Sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).

2.5.2 Kriteria Autis

Pada dasarnya gangguan autis tergolong dalam gangguan perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan

perkembangan pervasive (Pervasive Development Disorder) menurut DSM IV


(46)

perkembangan pervasive disebut oleh para orang tua atau masyarakat sebagai autis. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasive meski sama-sama ditandai denga gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuann interaksi sosial, komunikasi serta munculnya streotipe, namun terdapat beberapa perbedaan

antar golongan seperti, gannguan Autistik Infantile (Infantile Autis), Sindrom Rett

(Rett’s Syndrome), Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhood Disintegrative

Disorder), Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskariyanti, 2008: 15-16). 1. Autistik Infantile

Ciri yang menonjol pada autis ini antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Gangguan autis ini lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5:1. Gannguan autis abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran.

Kriteria Autistik Infantile, yaitu :

1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua gejala-gejala di bawah ini :

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak

mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya

c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

d. Kurangnya hubungan emosional yang timbale balik

2. kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi, dengan gejala-gejala


(47)

a.bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang b.bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi c.sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang

d.cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru. 3. pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang

4. cara bermain yang simbolik dan imajinatif 5. hiperaktif dan hipoaktif

3. Sindrom Rett

Sindrom Rett adalah gangguan neurologis (syaraf). Awalnya perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan berkurang. Ciri autis muncul, komunikasi dan sosialisasi dan perilaku streotipe kadang disertai ganggguan motorik.

Kriteria Syndrom rett, yaitu :

1. Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan (jarang sekali

pada anak laki-laki)

2. Menimbulkan retardasi mental yang berat

3. Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa

4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan di depan

seperti memeras/bertepuk tangan yang terus menerus)

5. Deficit neurologik lainnya.

4. Gangguan Disintegrasi Anak

Gannguan disintegrasi anak merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilam yang telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Gangguan ini biasa muncul pada


(48)

anak laki-laki. Perkembangan normal anak terjadi hanya pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiliki seperti pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta minat dan aktifitas yang sempit.

Kriteria gangguan disintegrasi anak :

1. Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya

2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2-10 tahun yang meliputi fungsi

bahasa, sosialisasi, kognitif dan kemampuannya dalam keterampilan sehari-hari.

5. Sindrom Asperger

Gangguan Asperger adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasive. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku yang streotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip dengan autis infantile dalam hal interaksi sosial yang kurang.

Kriteria Sindrom Aperger yaitu :

1. Biasanya didiagnosis sat usia ≥ 6 tahun

2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang

3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat missal

ekspresi wajah

4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan

yang berbeda dari dirinya.


(49)

Pada umumnya anak penderita autis bisa juga dilihat dari perilaku, stimulasi diri, suasana, dan pikiran (Handojo, 2003: 17).

1. Perilaku : berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan

(hipoaktif).

2. Stimulasi Diri : adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan gerakan

yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala dan berputar-putar.

3. Suasana : tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak

penderita autis emosi

4. Pikiran : adanya suatu preokupasi yang sangat tebatas pada suatu pola pikiran,

seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.

2.5.3 Faktor Penyebab Autis

Tidak seperti penyakit lain yang mudah diketahui, autis belum diketahui pasti penyebabnya. Pada autis tidak jelas adanya kuman, parasit, protozoa, maupun virus sebagai penyebab munculnya gejala-gejala.

Gejala autis biasanya muncul saat umur 1,5 – 2 tahun. Ketika anak bisa saja berkembang normal, tetapi kemudian perkembangannya berhenti dan mereka mengalami kemunduran. Banyak faktor yang diduga sebagai pemicu munculnya gejala autis. Berikut beberapa dugaan penyebab autis dan diagnosis medisnya :

1. Gangguan susunan saraf pusat

Ditemukan adanya kelainan pada susunan saraf pusat pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Pada anak autis terdapat pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak. Akibatnya, produksi serotonin kurang yang menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu


(50)

juga ditemukan ada kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

2. Gangguan pada metabolisme

Ada hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala autis. Suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan pencernaan.

3. Peradangan dinding usus

Pada sejumlah anak penderita gangguan autis pada umumnya memiliki pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus. Diduga peradangan tersebut disebabkan virus.

4. Faktor genetika

Hal yang paling umum gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Ada beberapa gen yang terkait dengan autis. Namun gejala autis baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autis tidak muncul meski anak membawa gen autis, jadi perlu faktor pemicu lain.

5. Keracunan logam berat

Belakangan ini banyak beredar makanan ringan dan mainan anak yang mengandung bahan logam berat. kandungan logam berat ini diduga sebagai penyebab kerusakan otak pada banyak anak autis dengan ditemukannya kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Hal ini bisa saja terjadi karena sekresi logam berat dari tubuh terganngu secara genetik. Kemungkinan lain anak autis bisa disebabkan keracunan merkuri. Namun keracunan merkuri pada anak-anak autis masih dapat ditanggulangi dengan melakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka). (Sunar, Dwi, 2007: 228).


(51)

2.5.4 Perilaku Anak Autis

Anak yang mengalami gangguan autis mempunyai perilaku yang berbeda dari perilaku normal. Anak autis ini bisa berperilaku yang berlebihan atau perilaku yang berkekurangan, sampai ke tingkat yang rendah atau tidak ada perilaku.

Seorang anak bisa saja mengamuk (tantrum) karena frekuensi dan intesitasnya berlebihan. Perilaku mengamuk bisa saja terjadi karena hal-hal kecil, misalnya meminta anak berjalan atau duduk tenang, atau antri di loket. Biasanya ia menstimulus diri dengan menjerit, menendang, mencakar, menggigit, atau melukai dirinya sendiri, sehingga mengganggu orang lain juga mengganggu proses belajar.

Anak autis yang memiliki perilaku yang berkekurangan biasanya cenderung memiliki gangguan bicara. Ada anak autis yang berbicara nonverbal, sedikit suara, sedikit kata-kata, dan ada pula yang membeo (ekolalia cepat) atau yang mengulangi perkataan setelah pembicaraan berlangsung sudah lama (ekolalia lambat).

Banyak perilaku-perilaku aneh lainnya yang tidak sebagaimana mestinya, ada yang anak yang saat diajak bicara tidak menanggapi sama sekali padahal dia tidak mempunyai gangguan pendengaran, karena suatu saat dia dapat merespon normal. Terkadang anak juga sering menunjukkan emosi yang tidak stabil, dan ada juga yang hampir tidak menunjukkan perilaku emosional.,

Perilaku autis digolongkan dalam dua jenis , yaitu :

1. perilaku yang eksesif (berlebihan)

Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk), di sini sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse).

2. perilaku yang defisit (berkekurangan). Sedangkan perilaku defisit ditandai

dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat.


(52)

Tata laksana perilaku diarahkan untuk menekan kelainan perilaku ini baik yang eksesif maupun yang defisit, dan sekaligus menggantikannya dengan perilaku yang dapat diterima masyarakat umum (mainstream).

Adapun indikator pada perilaku autis pada anak-anak adalah sebagai berikut :

A. Bahasa / komunikasi

Selain ekspresi wajah yang datar, anak autis juga tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara, bicara sedikit atau tak ada dan tidak mengerti arti kata dan berkomunikasi dengan intonasi/ritme vocal yang aneh.

B. Hubungan dengan orang

Biasanya anak autis kurang mempunyai motivasi, bukan hanya sering menarik diri dan asyik sendiri, tetapi memiliki kecenderungan tidak ingin memperluas lingkup perhatian mereka. Tak responsif, tak ada senyum sosial, tidak berkomunikasi dengan mata, tidak menggunakan permainan giliran. Mereka umumnya belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung, yang jenisnya sangat individual. Namun, respon ini berbeda untuk setiap anak autis.

C. Hubungan dengan lingkungan

Sangat selektif dalam menerima rangsangan, sehingga kemampuan menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat terbatas. Bermain repetitif (diulang-ulang), marah-marah atau tak menghendaki perubahan, berkembangnya rutinitas yang kaku, memperhatikan ketertarikan dan tak fleksibel.


(53)

D. Respon terhadap rangsangan indera / sensoris

Sering menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merangsang diri sendiri, misalnya bertepuk tangan, duduk memandangi langit, mengepak-ngepakkan tangan, atau memandangi jari jemari. Semua kegiatan ini tidak produktif, sehingga tidak menambah wawasan baru.

E. Kesenjangan perkembangan perilaku

Perkembangan perilaku yang dialami anak autis tidak seimbang, seperti kemampuan yang sangat baik atau sangat terlambat, ketrampilan di luar urutan normal, tapi tak mengerti ari, lancer membeo tapi sulit berbicara dari diri sendiri dan lain sebagainya. (Handojo, Y, 2003 :24).

Perilaku tidak wajar pada anak autis terdiri dari :

a. Stimulasi Diri, terjadi bila anak terlalu banyak sendiri atau tidak berada dalam

b. keadaan interaktif dengan orang lain.

c. Mild Disruptive Behavior (MDB), timbul bila anak mencoba menolak atau

menawar instruksi. Selain itu MDB juga timbul akibat frustasi dan imbalan yang tidak efektif.

d. Tantrum atau Mengamuk, timbul akibat MDB yang berlangsung terus pada

anak. Anak bisa mengamuk pada orang lain (agresif) dan pada diri sendiri (self-abuse).

2.5.5 Penanganan Pada Anak autis

Anak autis mempunyai peluang untuk menjadi anak yang normal, oleh karenanya orang tua perlu bersikap optimis dan melakukan tindakan sedini mungkin. Orang tua dapat melakukan penanganan tersebut dengan melakukan terapi dengan tepat bagi anak. adapun jenis-jenis terapi tersbut adalah :


(54)

1. Terapi perilaku

Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk anak penyandang autis. Mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini terdiri dari :

a. Terapi okupasi

Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autis juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Terapi okupasi ini untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya.

b. Terapi wicara, yaitu terapi untuk membantu anak dalam berbicara dan

berbahasa.

c. Sosialisasi

Sosialisasi ini bertujuan untuk menghilangkan perilakku yang tidak wajar secara umum dengan memberikan pengenalan konsep atau kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif. Dalam terapi ini anak harus ditemani secara interaktif, dan memberikan imbalan yang efektif.

2. Terapi biomedik

Terapi yang dimaskud terapi ini adalah dengan pemberian obat, vitamin, mineral, food supplements kepada anak dengan dosis dan jenis yang pas.

Disamping jenis terapi yang dilakukan, ada cara mengatasi perilaku tidak wajar pada anak autis. Berikut adalah beberap cara mengatasi perilaku tidak wajar yang sudah terjadi :


(55)

Memberikan imbalan dengan efektif. Sebab salah satu penyebab dari timbulnya perilaku buruk adalah kurang efektifnya imbalan yang diberikan atau mungkin anak sudah bosan.

2. Metoda Extinction

Mencueki anak dalam melakukan perilakunya tersebut. Namun bila anak tetap berperilaku yang tidak wajar tersebut, anak diberi penegasan seperti larangan dengan volume suara yang cukup keras.

3. Metoda “Time Out”

Pemberian hukuman pada anak dengan menggunakan aturan-aturan pada waktu yang sudah ditentukan. Sehingga bila anak dapat memenuhi aturan tersebut, anak akan dibebaskan.

4. Hugging

Cara ini dengan melakukan pemaksaan pada anak. Dimana anak akan dipeluk dengan keadaan terkunci. Bila anak berhenti maka anak akan diberikan pujian. (Handojo : 76)

2.6 Kesejahteraan Anak

Kewajiban negara dalam memberikan hak-hak anak tertuang pada Konvensi Hak-hak Anak yang telah ratifikasi oleh pemerintah Indonesia yaitu:

1. Menghormati dan menjamin hak-hak anak

2. Mempertimbangkan kepentingan utama anak

3. Menjamin adanya perlindungan anak

4. Menghormati hak anak dan mempertahankan identitasnya

5. Jaminan anak tidak dipisahkan dengan orang tuanya


(56)

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam undang-undang No.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak. Dasar ini dari undang-undang yang mengacu kepada pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan: fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apabila ketentuan Pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekuen, maka kehidupan fakir miskin anak terlantar akan terjamin.

Usaha kesejahetraan anak adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang ditunjukkan umtuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka1 huruf b PP No.2 Tahun 1988). Adapun usaha- usaha itu meliputi: pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi. Pelaksananya adalah pemerintah atau masyarakat baik didalam maupun diluar panti (Pasal 11 ayat 3 PP No.2 Tahun 1988). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, binbingan, bantuan dan pengawas terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan masyarakat (Prinst, 1997: 83).

2.6.1 Kesejahteraan Anak Penyandang Cacat

Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masysarakat Indonesia lainnya. Peranan penyandang cacat memerlukan sarana dan upaya yang memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada akhirnya menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.

Undang-Undang RI No. 43 tahun 1998 menyatakan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu,


(57)

rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak yang terdiri dari :

1. Penyandang cacat fisik

2. Penyandang cacat mental

3. Penyandang cacat fisik dan mental.

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat melalui kesamaan, rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaaan taraf kesejahteraan sosial. Maka untuk mencapai kemandirian itu pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Sesuai dengan Undang-undang RI No. 43 pasal 30 persyaratan jabatn dan penyandang cacat dengan memperhatikan factor :

1) Jenis dan derajat kecacatan

2) Pendidikan

3) Ketrampilan/keahlian

4) Informasi yang tersedia

5) Jenis dan bidang usaha

2.7 Kerangka Pemikiran

Keluarga merupakan suatu kelompok terkecil dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Keluarga sebagai kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain. Keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga menjadi


(58)

kebanggan tersendiri bagi orang tua, namun kelahiran anak tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Sebab ada anak yang lahir secara normal, dan ada juga yang abnormal seperti autis.

Salah satu karakteristik anak autis adalah keterlambatan anak dalam perkembangan baik dalam komunikasi, interaksi serta kognitif. Hal ini sangat berkaitan dengan perilaku anak, yang menjadikan pola perilaku anak terbatas. Perilaku anak tersebut dapat diamati dari luar melalui 3 hal, yaitu :

a. Pengetahuan

b. Sikap

c. Tindakan atau practice

Perilaku anak yang normal secara umum berbeda dengan perilaku anak autis. Perilaku tersebut dapat dibedakan melalui :

1. Bahasa/komunikasi

2. Hubungan dengan orang

3. Hubungan dengan lingkungan

4. Respon terhadap rangsangan indera/sensoris

5. Kesenjangan perkembangan perilaku

Secara garis besar perilaku anak autis dikelompokkan menjadi dua jenis perilaku, yaitu perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan).

1. perilaku yang eksesif (berlebihan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah :

a. hiperaktif

b. tantrum (mengamuk), di sini sering terjadi anak mengamuk pada orang lain


(1)

3. Apakah anda pernah memberikan pujian kepada anak anda ketika ia bisa kompak dengan kawan-kawannya ?

a. Sering

b. Kadang-kadang c. Tidak Pernah

4. Apakah anda memberikan pengarahan/mengajarkan anak anda tentang perbuatan yang baik untuk dilakukannya?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak perrnah

5. Apakah anda memberikan pujian jika anak anda melakukan atau menjalankan disiplin/aturan yang anda lakukan?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

6. Apakah anda memberikan support/dorongan untuk meningkatkan potensi atau kemampuan yang anak anda miliki?

a. Selalu

b. Kadamg-kadang c. Tidak pernah


(2)

2. Pola Asuh Otoriter

7. ketika anak anda berbuat kesalahan, apakah anda langsung langsung memarahi anak anda?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

8. Apakah anda sering memberikan perintah kepada anak anda? a. Sering

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

9. Jika anda mau memberikan perintah atau mau menyuruh, apakah anda menuruhnya dengan tegas dan keras?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

10.Apakah anda menerapkan kedisiplinan dalam segala hal pada anak anda? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

11.Apakah anda selalu mengawasi setiap hal yang dilakukan anak anda? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

12.Apakah anda memberikan hukuman kepada anak anda jika dia melanggar kedisiplinan yang anda terapkan tersebut?


(3)

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 3. Pola Asuh Permisif

13.Pernahkah anda membiarkan anak anda bermain ataupun berdiam diri dengan sendirian?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

14.Jika anak anda menangis, apakah anda membiarkan dia menangis sampai dia diam dengan sendirinya ?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

15.Apakah anda memberikan kebebasan pada anak anda untuk melakukan apapun?

a. Ya

b. Kadang-kadang c. Tidak

16.Ketika anak anda meminta sesuatu kepada anak anda, apakah anda langsung memberikan permintaan anak tersebut?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah


(4)

17.Apakah anda menuruti permintaan/keinginan anak anda tersebut walaupun menurut anda hal itu adalah hal yang salah atau kurang baik?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

18.Apakah waktu anda lebih banyak untuk kesibukan pribadi atau pekerjaan anda sendiri daripada waktu untuk membimbing anak anda setiap harinya?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

B. Perilaku Anak

19.Apakah anak anda melakukan komunikasi kepada anda setiap harinya? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

20.Jika anak anda sedang bermain apakah anak anda bermain sendiri ? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

21.Jika anda memanggil dan menayakan sesuatu kepada anak anda, apakah ia pernah tidak menanggapi atau mengabaikan suara panggilan tersebut?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah


(5)

22.Ketika anak anda bersama dengan kawan-kawannya atau berada dekat dengan anak-anak yang lain, apakah anak anda tidak mau melakukan komunikasi atau dengan kawan-kawannya tersebut ?

a. Sering b. Jarang c. Tidak pernah

23.Ketika anak anda bersama dengan kawan-kawannya, apakah anak anda pernah berantam karena ketidakcocokan anak dengan kawan-kawannya tersebut? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

24.Jika anak anda mengikuti suatu permainan yang mempunyai aturan main, apakah anak anda pernah tidak mampu mengikuti permainan tersebut sesuai dengan peraturannya?

a. Sering

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

25.Jika anak anda ingin meminta sesuatu, pernahkah anak anda menangis untuk mengutarakan keinginannya pada anda?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

26.Pernahkah respon anak mengamuk jika anda menolak permintaanya tersebut? a. Sering


(6)

c. Tidak pernah

27.Apakah anak anda pernah melukai dirinya sendiri jika ia marah? a. Tidak pernah

b. Kadang-kadang c. Selalu

28.Apakah anak anda pernah melukai orang-orang disekitarnya jika ia marah? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

29.Apakah anak anda sering merusak barang-barang yang ada disekitarnya? a. Sering

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

30.Apakah anak anda pernah menolak hadiah yang anda berikan kepada dia? a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

31.Apakah anak anda pernah membuat suatu permintaan dan mengiginkan hadiah sendiri sebagai imbalan kepada dia?

a. Selalu

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah