Uji Kualitas Imbangan Limbah Industri Ikan Nila dengan Ikan Pora-pora (Mystacoleucus padangensis) Sebagai Pakan Ternak

TINJAUAN PUSTAKA Ikan Di Danau Toba

  Danau toba adalah perairan yang banyak dimanfaatkan oleh beberapa sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan dan juga sumber air minum bagi masyarakat kawasan Danau Toba. Secara geografis Danau Toba terletak di antara 98 - 99 Bujur Timur dan 2 - 3 Lintang Utara dan terletak pada ketinggian 995 meter (Dinas Perikanan, 1993). Luas permukaan danau ini lebih kurang 1.100 km persegi, dengan total volume air sekitar 1.258 kilometer kubik, merupakan danau paling luas di Indonesia (Barus, 2007).

  Komunitas ikan di perairan Danau Toba terdiri dari 14 jenis, yang sebagian besar merupakan jenis ekonomis penting. Ikan Batak (Neolissochilus sp) merupakan merupakan salah satu jenis ikan asli Danau Toba yang populasinya mulai langka (kurang dari 5%). Menurut masyarakat setempat, menurunnya populasi ikan Batak disebabkan oleh adanya introduksi ikan Mas dan Mujair. Di samping itu perkembang biakan ikan Batak yang relatif lambat juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan langkanya ikan Batak (Kartamiharja, 1987).

  Jenis ikan yang hidup di perairan Danau Toba selain ikan batak (Neolissochilus sp) juga terdapat ikan hasil introduksi antara lain: ikan Mas (Cyprinus caprio), Mujair (Tilapia mossambica), Nila (Oreochromis sp), Pora- pora (Mystacoleucus padangensis), Nilem/Paetan (Osteochillus sp), Gabus/Haruting (Ophaiocephallus), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Sepat (trichogaster sp) dan ikan Buncit (Rasbora sp), (Bapedalda-SU & LP-ITB, 2001).

  Sebagai danau paling luas di Indonesia Danau Toba menghasilkan 20 - 40 ton ikan pora-pora per hari (Dinas Pertanian, 2011). Hasil tangkapan nelayan di

  5 sekitar pesisir Danau Toba tersebut seringkali mengalami over produksi sehingga harga menjadi sangat rendah tidak sesuai dengan usaha nelayan tradisional untuk usaha penangkapan. Hal ini menimbulkan kerugian yang besar bagi nelayan tradisional dengan sumber pendapatan yang menurun karena harga rendah.

  Potensi Ikan Pora-pora dan Limbah Pengolahan Ikan Nila Potensi Ikan Pora-Pora

  Ikan pora-pora (Mystacoleucus padangensis) adalah salah satu ikan air tawar yang hidup diperairan Danau Toba. Ikan ini ditabur oleh mantan presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada 6 Juni 2004 di Parapat. Ikan ini berasal dari Danau Singkarak, Sumatera Barat. Klasifikasi ikan Pora-pora secra zoologis adalah sebagai berikut (Kartamihardja dan Sarnita, 2008) : Kingdom : Animalia, Kelas : Actinopterygii, Ordo : Cypriniformes, Famili :

  

Cyprinidae , Sub Famili : Cyprininae, Genus : Mystacoleucus, Species :

Mystacoleucus padangensis.

  Ciri-cirinya berwarna hitam, bersisik putih dan halus, panjang total 7,5 cm, panjang kepala 1,4 cm, panjang badan 5,4 cm, panjang ekor 1,5 cm, tinggi badan 1,2 cm, perut membundar, sirip punggung berjari - jari keras bertulang dan terletak dimuka atau bertepatan dengan sisi perut. Sirip punggung dengan 7 jari lemah bercabang (Siagian, 2009).

  Ikan pora-pora merupakan ikan yang memiliki kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran yang paling tinggi dibandingkan dengan ikan lainnya. Kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran

  2

  tertinggi yakni 0,116 per m dan merupakan ikan dengan frekuensi kehadiran tertinggi hingga 100% (Siagian, 2009). Hal ini disebabkan kondisi perairan yang mendukung bagi perkembangan ikan pora-pora (Mystacoleucus padangensis) di Danau Toba. Dominasi ikan pora-pora juga disebabkan ikan ini cepat beranak pinak dalam jumlah yang banyak sekali bereproduksi, sehingga mengalahkan ikan-ikan lainnya.

  Menurut Kartamihardja, E.S. (2009), ada beberapa alasan mengapa ikan pora-pora/bilih hidup, tumbuh dan berkembang pesat di Danau Toba, yaitu karena: 1. Di danau toba tersedia makanan ikan pora-pora yang berupa plankton, detritus dan sisa pakan dari budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) yang cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh ikan lain, 2. Ikan pora- pora termasuk ikan benthopelogis, yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan permukaan air (pelagis). 3. Ikan pora-pora tidak berkompetisi makanan dan ruang dengan ikan lain di Danau Toba seperti ikan mujair, mas, Nila dan lainnya. 4. Tempat hidup ikan pora-pora 10 kali lebih luas dibanding di Danau Singkarak. 5. Tempat pemijahan ikan pora-pora yang berupa sungai yang masuk ke Danau Toba (191 sungai) 30 kali lebih banyak dari sungai yang masuk ke Danau Singkarak (6 sungai).

  Menurut Purnomo (2009), ikan pora-pora pada umumnya ditangkap di daerah sekitar muara-muara sungai, misalnya: sungai Sipiso-piso (Tongging), sungai Naborsahan (Ajibata), sungai Sisodang (Tomok), sungai Simangira dan sungai Silang (Bakara), sungai di Hatinggian (Balige) dan sungai di daerah Silalahi II. Sebelum ikan ini dipasarkan penyortiran dilakukan dengan kriteria tertentu. Ikan sortiran yang tidak dipasarkan dibuang namun sebagian masyarakat memberikannya pada ternak babi.

  Potensi Limbah Pengolahan Ikan Nila

  Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik.

  Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri. Bibit ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia.

  Klasifikasi ikan nila (Trewavas 1982 diacu dalam Suyanto 1994) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata, Sub-filum : Vertebrata, Kelas : Osteichtyes, Sub-kelas : Acanthopterigii, Ordo : Perchomorphi, Famili : Cichlidae, Genus : Oreochromis, Spesies : Oreochromis niloticus.

  Limbah merupakan suatu hasil samping yang kurang berharga bahkan merupakan suatu masalah di dalam suatu industri. Menurut Moeljanto (1979) limbah perikanan adalah ikan yang terbuang, tercecer dan sisa olahan yang pada suatu saat di tempat tertentu belum dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Jenis limbah dan hasil samping dapat dikelompokkan secara umum menjadi 4 kelompok (Moeljanto 1979) yaitu : 1. hasil samping pada penangkapan suatu spesies atau sumber daya misalnya ikan rucah pada penangkapan udang dan ikan cucut pada penangkapan tuna; 2. sisa pengolahan seperti bagian kepala, tulang, sisik, sirip, isi perut dan daging merah; 3. surplus dari tangkapan (glut); 4. sisa distribusi.

  Ikan-ikan yang terbuang (trash fish) maupun limbah industri pengolahan hasil perikanan (fish waste) dapat diolah menjadi sumber protein yang benilai ekonomis. Se1ain sebagai sumber protein dengan asam amino yang baik, limbah ikan juga merupakan sumber mineral dan vitamin. Tetapi perlu diketahui bahwa kandungan gizi limbah ikan ini berbeda, sesuai dengan jenis ikan yang diolah di industri perikanan, setelah proses pengolahan (produksi).

  Permintaan akan daging fillet Nila sangat tinggi. Tercatat ekspor fillet ikan Nila dalam bentuk beku Indonesia di pasar Amerika Serikat menduduki peringkat ke dua setelah Cina. Tahun 2004 ekspor fillet Nila mencapai 4.250 ton atau meningkat sebanyak 18,6 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3.583 ton . Disamping permintaan yang cenderung meningkat, budidaya ikan Nila di Indonesia juga dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2006 jumlah jumlah produksi perikanan budidaya Nila sebesar 169.390 ton, sedangkan pada tahun 2007 jumlah produksinya sebesar 195.000 ton meningkat sebesar 15,12 %. Menurut perkiraan DKP sementara, pada tahun 2008 jumlah produksi ikan Nila mencapai 233.000 ton dan pada tahun 2009 akan mencapai 337.000 ton (Ferinaldy, 2008).

  Sampai sekarang, baru ada beberapa perusahaan yang menggarap pasar ekspor ikan Nila, seperti PT Aquafarm Nusantara, PT Dharma Samudra Fishing Industries, PT Kelola Mina Laut, dan PT Bumi Agro Bahari Nusantara. Namun perusahaan yang mampu mengekspor Nila secara kontinu dengan volume besar baru Aquafarm. Untuk menghasilkan fillet siap ekspor, setiap hari Aquafarm mengolah 73 ton Nila yang masih hidup dan segar. Nila yang rata-rata berbobot 2 kg itu merupakan hasil budidaya di Danau Toba, setelah dipelihara selama 7,5 bulan. Selain daging, Aquafarm juga mengekspor kulit, sisik, dan dada. Kulit Nila dikirim ke Prancis dan Italia. Dua tahun silam sudah diekspor sebanyak 560 ton.

  Di sana, kulit dimanfaatkan sebagai bahan gelatin bermutu tinggi. Demikian juga dengan sisik. Setelah dibersihkan dan dikeringkan, diekspor ke Korea Selatan untuk bahan kosmetika (Dadang et al. 2007). Menurut Sianturi (2012) Aquafarm menyumbangkan 35.000 ton per tahunnya Tingginya jumlah ikan Nila yang diekspor akan menyebabkan limbah tulang yang dihasilkan juga tinggi.

  Pengolahan ikan-ikan yang terbuang dan limbah industri pengolahan hasil perikanan menjadi tepung ikan merupakan salah satu solusi mengurangi impor tepung ikan, karena menurut Badan Pusat statistik kenaikan rata-rata impor tepung ikan tahun 2007-2001 sekitar 4,47 dan pada tahun 2010-2011 sekitar 15,25. Tabel 1. Volume Tepung Ikan impor (Kg) dari tahun 2007-2011

  Tahun Volume Impor Tepung Ikan (Kg) 2007 5 5,684,977

  2008 6 8,274,003 2009 6 5,600,631 2010 5 5,067,819 2011 6 3,464,686 Sumber: BPS, 2012

  Tepung ikan

  Bahan makanan asal hewan memang dibutuhkan dan berpengaruh terhadap produksi, sesuai dengan peran asam amino itu sendiri. Di indonesia bahan makanan asal hewan sudah menjadi campuran ransum unggas sejak ayam ras pertama kali dikenalkan di Indonesia. Beberapa bahan makanan asal hewan yang diberikan untuk unggas salah satunya adalah tepung ikan (Rasyaf, 1990).

  Menurut Afrianto dan Liviawaty (2000) menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak sumber ikan murah, produksi ikan pada musim-musim tertentu berlimpah dan sebagian besar sisa hasil pengolahan ikan belum dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

  Tepung ikan untuk unggas bukan berarti ikan utuh dikeringkan lalu digiling. Sebagaimana dikemukakan bahwa bagian yang utama untuk konsumsi manusia dan untuk ternak diambil sisa pengolahan industri makanan untuk manusia. Oleh karena itu tepung ikan ini berasal dari berbagai ragam jenis varietas ikan sehingga beragam pula kandungan nutrisinya. Tetapi secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar antara 70% dan merupakan sumber lysine dan methionine yang baik dan asam amino yang selalu kurang dari bahan-bahan makanan ternak asal nabati. Kandungan protein tepung ikan lokal 50% hingga 58% dan cukup baik untuk unggas (Rasyaf, 1990).

  Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut ikan dan lain-lain). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering (Ilyas, 1982).

  Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku pembuatan pakan maupun ikan sebagai sumber protein. Saat ini diantara berbagai sumber protein lainnya tepung ikan merupakan sumber protein yang paling seimbang dan lebih baik. Menurut Moeljanto (1992) dan Sahwan (1999) pada saat ini tepung ikan merupkan bahan baku yang penting dalam pembuatan pakan karena dianggap sebagai sumber protein terbaik, mengingat kandungan asam amino esensialnya sangat menunjang. Namun harga persatuan beratnya relatif mahal.

  Berdasarkan sumbernya, ikan yang diolah menjadi tepung ikan dapat dibedakan atas 3 macam yaitu : (1) ikan yang memang khusus ditangkap untuk dijadikan tepung ikan, (2) hasil tangkapan sampingan dan (3) limbah dari industri pengalengan, pembekuan dan lain-lain (Clusac dan Ward, 1996).

  Estimasi kebutuhan tepung ikan untuk pakan ikan/udang sebesar 25% dari kebutuhan tepung ikan unggas. Dari estimasi tersebut maka kebutuhan tepung ikan pertahun untuk pakan ikan/udang diperkirakan 8000 ton dan total kebutuhan tepung ikan di Indonesia sebesar + 283.000 ton per tahun. Dari kebutuhan tepung ikan yang sangat besar tersebut ternyata 5-10 % baru dapat disuplai dari hasil produksi di Indonesia dan sisanya masih impor dan Amerika Latin, Eropa dan negara Asia termasuk Thailand (Budhi, 2002).

  Secara umum jenis-jenis yang tergolong bernilai ekonomis rendah biasanya disebabkan karena kesulitan dalam pengolahan, kurang dikenal oleh konsumen atau bermasalah dengan mutunya. Diperkirakan lebih dari 80% komunitas ikan demersal merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah.

  Selain dapat dipasarkan dalam bentuk segar, ikan-ikan bernilai ekonomis rendah dapat diolah menjadi berbagai produk seperti daging lumat (minced fish) tepung untuk bahan pangan maupun hidrolisat protein (Suparno dan Dwipongo, 1993).

  Teknologi Pengolahan Tepung Ikan

  Pengolahan tepung ikan dapat dilakukan dengan metode konvensional maupun metode sederhana (skala kecil). Pengolahan tepung ikan secara konvensional dilakukan secara mekanis dan tahap-tahap pengolahannya merupakan suatu rangkaian yang kontinu. Bahan mentah masuk kedalam unit pengolahan dan keluar sudah menjadi produk akhir (tepung ikan). Sistem pengolahan secara konvensional sudah banyak diterapkan oleh pabrik-pabrik tepung ikan. Tahap-tahap pengolahan tepung ikan secara konvensional berturut- turut pencincangan, penggilingan (milling), pengemasan dan penyimpanan (Indriyati et all,1990). Pengolahan tepung ikan secara sederhana hampir sama dengan pengolahan secara konvensional namun dengan peralatan yang lebih sederhana. Secara garis besar ada dua metode pengolahan tepung ikan skala kecil yaitu pengolahan dengan cara mekanis dan non mekanis. Pengoalahan dengan cara non mekanis ini sangat sederhana, baik cara maupun peralatan yang digunakan. Tahap pengolahannya adalah perebusan, pengepresan penghancuran dan pengeringan, penggilingan (Ilyas et all, 1985). Pengolahan secara mekanis yaitu sebagian peralatan digerakkan secara mekanis, namun tetap tidak menggunakan steam boiler dan sentrifuge . Ada dua tipe instalasi yang dapat digunakan dan pilihannya dapat disesuaikan dengan kadar lemak ikan yang akan diolah yaitu pengeringan langsung dan pengeringan tidak langsung. Prinsip dasar pengolahan tepung ikan yaitu pemasakan, pemisahan air dan minyak, pengeringan dan penggilingan.

  Pemasakan (rebus/kukus) merupakan tahap menentukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pemasakan harus tepat, sehingga seluruh bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan minyak dari cairan juga sukar (Moeljanto, 1982).

  Tujuan pemasakan agar terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan sehingga air dan minyak mudah dipress keluar.

  Selain itu pemasakan dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba penyebab pembusukan (Departemen Pertanian, 1987).

  Selama proses pengolahan, bahan makanan terpengaruh dalam banyak hal, termasuk perubahan protein, lemak, karbohidrat yang dapat menyebabkan perubahan baik positif maupun negatif terhadap kualitas dan status gizi (Dagerskoy, 1977). Menurut Windsor dan Barlow (1981) suhu pemasakan tepung ikan biasanya sekitar 95-100 C dengan waktu pemasakan sekitar 20 menit atau dapat dilakukan selama 15-30 menit pada suhu 97

  C. Sedangkan menurut Djazuli et all (1998) menyatakan bahwa pengolahan tepung ikan dengan pengukusan selama 30 menit menghasilkan tepung ikan 8,1% air, 55,3% Protein, 8% lemak dan 17,1% abu. Sementara waktu yang dibutuhkan untuk mengukus tergantung jenis ikan. Untuk ikan berkulit tipis seperti lemuru, layang dan tembang membutuhkan waktu antara 30-45 menit, sedangkan ikan berkulit tebal seperti beloso dan kurisi membutuhkan waktu 45-60 menit.

  Pengepresan dilakukan dengan menggunakan tekanan sehingga terjadi pemisahan antara padatan dan cairan (air dan minyak). Pada pengepresan diperkirakan akan menurunkan kadar air menjadi 50 % dan kadar minyak 4-5%. Pada industri kecil/rumah tangga pengepresan dilakukan dengan cara dinjak-injak. Hal tersebut dapat mengakibatkan tepung ikan menjadi kotor dan pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah diserang serangga, jamur karena kadar air dan lemak masih tinggi. Warna dan bau akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan cepat turun.

  Bahan padatan yang didapat kemudian dikeringkan. Pada indutri tepung ikan skala besar pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara langsung dan tidak langsung. Pengeringan langsung dilakukan dengan cara preess

  cake kedalam ruangan yang dialiri udara panas 500

  C. Keuntungan cara ini adalah cepat, namun panas yang berlebihan akan merusak kandungan nutrisi bila tidak dikontrol dengan baik. Cara pengeringan tidak langsung dengan memanaskan bahan yang dipress (pada conveyor) dalam silinder yang diselimuti uap panas, pengeringan dilakukan sampai kadar air mencapai 6-9% sedangkan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar matahari.

  Bahan yang telah dikeringkan selanjutnya digiling dan ditepungkan dengan alat penepung dan dilakukan pengepakan ke dalam kantung plastik.

  Selama penggudangan dan distribusi mungkin terjadi proses oksidasi minyak (lemak) yang dapat berakibat terjadi ketengikan dan perubahan warna. Untuk mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan misalnya ethoxyginin anatar 200- 1000 mg/kg tepung ikan.

  Pengeringan

  Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Pengeringan dapat diartikan sebagai usaha memindahkan atau mengurangi air dari suatu bahan pangan. Kebanyakan pengeringan dilakukan dengan proses penguapan air yang terkandung dalam makanan, dan untuk melakukannya maka panas latent penguapan harus tersedia. Terdapat dua faktor pengendali proses yang penting ikut serta dalam unit operasi pengeringan, yaitu: 1. Transfer panas untuk menyediakan kebutuhan panas latent penguapan. 2. Aliran air atau gerakan air dan uap air melalui bahan pangan yang kemudian mengalir melalui bahan pangan yang kemudian keluar mengakibatkan pemisahan air dari bahan pangan. (Earle,1983)

  Perubahan mutu bahan pangan selama pengeringan dapat secra fisik, kimia maupun gizinya. Menurut Okos et al., (1992) perubahan kimia meliputi reaksi browning, oksidasi lipid, penurunan warna. Perubahn fisik meliputi rehidrasi, shrinkage (penyusutan berat volume bahan), penurunan solubilitas, perubahan tekstur, penurunan atau kehilangan aroma. Perubahan nilai gizi meliputi kehilangan vitamin, penurunan protein dan ketahanan mikroba.

  Nilai biologis suatu bahan pangan kering tergantung pada metode pengeringan. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu tingggi dapat mengakibatkan protein menjadi kurang berguna. Perlakuan suhu rendah terhadap protein dapat menaikan daya cerna protein dibandingkan bahan aslinya (Desrosier, 1988).

  Metode Pengeringan Pengeringan matahari

  Metode pengeringan ini dengan menggunakan sinar matahari secara langsung sebagai energi panas. Pengeringan dengan metode ini memerlukan tempat pengeringan yang luas, waktu pengeringan yang lama dan waktu pengeringan bahan yang dikeringkan tergantung pada cuaca. Pada kondisi optimum energi surya atau matahari yang mencapai permukaan bumi besarnya 6-

  2

  8 KW-jam/m /hari untuk daerah sekitar khatulistiwa. Sekitar 30% radiasi yang mencapai atmosfir dipantulkan kembali keangkasa, 47% diserap menjadi panas oleh atmosfir, tanah dan air tetapi sebagian besar energi yang diserap ini dipantulkan lagi keatmosfir (Stout, 1979). Dari jumlah energi yang tersedia diperkirakan bahwa potensi yang jatuh di wilayah Indonesia besarnya 0,5 x 106 kJ/m2 x 1,9 x 1012 m2 = 0,9 x 10 18 kJ/ tahun (Kamaruddin, 1991).

  Pengeringan dengan cara menjemur dibawah sinar matahari mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pengeringan buatan karena penjemuran mudah dilakukan dan murah serta sinar matahari mampu menembus kedalam sel secara merata (Taib et al., 1988). Penjemuran adalah penurunan kadar air suatu bahan untuk memperoleh tingkat kadar air yang seimbang dengan kelembaban nisbi atmosfer.

  Pengeringan Rak

  Pengering rak yang disebut juga pengering kabinet termasuk alat pengering tipe curah dengan pemanasan langsung. Bentuk alat pengering ini adalah persegi dan didalamnya berisi rak-rak yang digunakan sebagai tempat produk yang dikeringkan. Sistem pengeringan disebut juga “ tray dryer” karena menggunakan talam atau rak penampung sebagai penyangga bahan yang akan dikeringkan dengan udara panas dalam ruang tertutup. Pengeringan ini terdiri dari struktur rangka dimana dinding, atap dan alas diisolasi untuk mencegah kehilangan panas, dilengkapi dengan kipas angin internal untuk menggerakkan medium pengering biasanya udara melalui sistem pemanas dan mendistribusikannya secara merata melalui satu atau beberapa rak berisi bahan yang dikeringkan dalam ruang pengering (Taib, et al., 1988).

  Mutu tepung ikan

  Mutu tepung ikan meliputi kandungan kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Standar Nasional Indonesia membagi tepung ikan menjadi 3 tingkatan mutu dan standar ini merupakan acuan industri pakan untuk menetukan harga.

  Tabel 2. Spesifikasi persyaratan Mutu Tepung Ikan

  Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III Kimia : a.

  10

  12

  12 air (%) maks b.

  65

  55

  45 Prot. kasar (%) min

  c. 1,5 2,5

  3 Serat Kasar (%) maks d.

  20

  25

  30 Abu (%) maks e.

  8

  10

  12 Lemak (%) maks

  f. 2,5 - 5,0 2,5 – 6,0 2,5 - 7,0 Ca (%)

  g. 1,6 – 3,2 1,6 – 4,0 1,6 – 4,7 P (%) h.

  2

  3

  4 NaCl (%) maks

  Mikrobiologi :

  Salmonella (pada 25 gr Negatif Negatif Negatif sampel)

  Organoleptik:

  Nilai minimum

  7

  6

  6 Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 1996 Semakin menurun mutu bahan mentah semakin rendah kadar protein dan abu tepung ikan yang dihasilkan sedangkan kadar air cendrung meningkat (Saleh et al., 1989) Menurut Supardan (1998) kandungan protein pada tepung ikan yang disyarakat untuk bahan pakan berbeda untuk masing-masing ternak.

  Tepung ikan untuk bahan baku pakan ternak harus mengandung protein diatas 40%. Tepung ikan untuk ikan pada umumnya masih memungkinkan dibawah 40% bahkan untuk jenis ikan tertentu dapat digunakan sebagai pakan sederhana.

  Penelitian yang dilakukan Saleh (1990) menunjukan bahwa tepung ikan yang diolah dari ikan segar mempunyai kandungan asam amino threonin, asam glutamat, glisin, histidin, lisin, valin, methionin dan arginin yang lebih tinggi daripada yang diolah dari ikan yang kurang segar. Penelitian ini menunjukkan bahwa tepung ikan dengan pengepresan memberikan warna yang lebih baik dan berkadar lemak rendah serta berdaya awet kurang lebih 2 bulan sedangkan ikan tanpa pengepresan daya awetnya hanya dua minggu.

  Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak (Ilyas, 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

  Berdasarkan The International Association of Fish Meal Manufacture (Donald et all, 1981) menyatakan bahwa kualitas tepung ikan dapat dibagi menjadi empat golongan, sebagai berikut : 1). Kandungan protein tinggi yaitu mengandung protein lebih dari 680 g/kg dan kurang dari 90 g minyak/kg, 2.) Kandungan protein regular yaitu kandungan minyak rendah yaitu 640-679 g protein/kg dan kandungan minyak 60 g/kg, 3). Protein standar yaitu kandungan protein 600-639 g/kg.