Kajian Fungsi Dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa Di Medan

(1)

KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI PENGHORMATAN LELUHUR DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

SKRIPSI

Oleh

RENY SYAFRIDA

080710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI PENGHORMATAN LELUHUR DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu

syarat Ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina

Oleh:

RENY SYAFRIDA

080710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang fungsi dan makna penghormatan leluhur oleh masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Untuk mengkaji fungsi dan makna digunakan teori semiotik (Barthes). Untuk menganalisis fungsi penghormatan leluhur dalam konteks tersebut digunakan teori fungsionalismenya Malinowski dan Radcliffe-Brown. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan berdasar kepada penelitian lapangan, wawancara, observasi, pengamatan terlibat (participant observer), dan menggunakan informan kunci yang dipandang menguasai penghormatan leluhur. Temuan saintifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: makna (a) adanya kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini serta pengetahuan kaum muda Tionghoa yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahaminya secara mendalam. Fungsi (b) Secara keseluruhan upacara religi ini mempunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama.


(4)

ABSTRACT

This thesis aims to analyze of form, meaning, and function of ancestor worship in Tionghoa Medan City culture. To analyze form and meaning of ancestor worship I use semiotic theory (Barthes). Then, to analyze ancestor worship functions in context, I use functionalism theory both from Malinowski and Radcliffe-Brown. I use research method and technique qualitative, based on filed work, interview, observation, participant observer, and choose key informants who know very much about Tionghoa Ancestor worship. The scientific conclussions are: (a) meaning of the tendency shifting religious values in young people today. Knowledge of Chinese young people who still maintain ancestral ashes is less. They are no longer paying attention in particular to honor ancestors. Ceremonies of respect they do without knowing it and understand it in depth. (b) Overall the functions it has a religious ceremony intensify social functions and promote solidarity among the members of a family or clan who reminds them that they actually are relatives who came from a common ancestor. Key words: meaning, function, Chinesse


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wataala atas segala limpah karunia-Nya, atas selesainya penulis belajar secara formal di Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Selepas itu selawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, yang telah menuntun penulis dengan Islam dan iman, semoga syafaat beliau kelak penulis dapatkan di yaumil jaza’.

Tujuan tulisan dalam bentuk skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di departemen Sastra Cina FIB USU Medan. Skripsi ini berjudul Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Sistem Kepercaayaan Masyarakat Tionghoa di Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya tercinta, yaitu Ayahanda Bapak Syafri Darwis dan Ibunda Dahlinar (Almh). Keduanya telah bersusah payah membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan saya sampai jenjang yang lebih tinggi, khususnya di tingkat strata satu ini. Semua yang ayah dan ibu berikan tidak mampu saya balas dengan apapun. Hanya skripsi inilah yang bisa saya berikan sebagai tanggung jawab anak kepada orang tuanya. Tidak


(6)

lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada kakak saya tersayang, Rina Evianty Spd.M.hum yang selama ini secara penuh memberikan dukungan, doa, semangat dan nasehat agar tidak pernah menyerah dalam penyusunan skripsi ini.

Secara akademis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya, USU, yaitu Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan segenap jajarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen Sastra Cina FIB USU, Dr. T.Thyrhaya Zein,M.A dan Sekretaris Departemen Sastra Cina FIB USU, Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si.

Kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D , yang merupakan Dosen Pembimbing I yang sudah banyak membantu saya dalam hal apapun dan lain-lainnya. Juga terima kasih kepada Chen Laoshi, yang juga banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi Cina ini. Kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A , yang juga banyak membantu dalam memberikan masukan-masukan sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua dosen dan jajarannya di Sastra Cina atas segala ilmu yang telah diberikan selama ini.

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabatku yaitu: Ely ’anak Bagan jaya’ Sovita, Yoan ‘Minqing’ Silviana, Taufik ‘Bulgoso’ Putra, yang selama penulisan ini selalu memberikan


(7)

penulis semangat. Canda dan tawa yang kalian berikan merupakan penyemangat dalam penyelesaian skripsi. Buat “Jack” yang turut serta menemani penulis, menghantarkan kesana kemari, walau hujan, panas, badai namun tetap setia mendampingi. Buat AR.KOST yang menjadi tempat yang sangat teduh dan mendatangkan berbagai inspirasi dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu dapat menjadi sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Sastra Cina.

Oleh sebab itu, kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun, demi perbaikan skripsi ini.

Medan, 30 JULI 2012 Penulis,

Reny Syafrida NIM 080710003


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 8

1.3 Tujuan 9

1.4 Manfaat 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP , LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1 Kajian Pustaka 11 2.1.1 Konsep 11 2.1.1.1 Penghormatan Leluhur 11 2.1.1.2 Kepercayaan 13 2.1.1.3 Masyarakat Tionghoa 13 2.1.2 Landasan Teori 16 2.1.2.1 Teori Fungsionalisme 16 2.1.2.2 Teori Semiotik 16 2.1.3 Tinjauan Pustaka 18 2.1.3.1 Penelitian Terdahulu 18 BAB III METODE PENELITIAN 20 3.1 Metode Penelitian Kualitatif 20

3.2 Teknik Pengumpulan Data 23

3.2.1 Wawancara 24

3.2.2 Observasi 24

3.2.3 Studi Kepustakaan 25

3.3 Data dan Sumber Data 25

3.4 Teknik analisis Data 26

3.4.1 Lokasi Penelitian 27

4.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 38

4.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan 38

4.5.2 Bahasa 42

4.5.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa 42

BAB V FUNGSI, MAKNA, DAN DESKRIPSI UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA TERMASUK DIKOTA MEDAN 45

5.1 Latar Belakang Pemikiran Penghormatan Leluhur 52

5.1.1 Konsep Supranatural 45


(9)

5.2. Fungsi Penghormatan Leluhur 52

5.2.1 Kelangsungan Garis Keturunan 52

5.2.2 Fungsi Saling Ketergantungan Leluhur dan Keturunan 55 5.2.3 Fungsi Solidaritas Keluarga 57

5.3. Pelaksanaan Upacara Penghormatan Leluhur 58

5.3.1 Upacara Penghormatan Leluhur Secara Umum 58

5.3.2.Sembahyang Ce it Cap Go 58

5.3.2.1 Tempat Upacara 61

5.3.2.2 Peralatan Upacara 61

5.3.2.3 Jalannya Upacara 62

5.4. Sembahyang Tahun Baru 63

5.4.1 Tempat Upacara 64

5.4.2 Peralatan Upacara 64

5.4.3 Jalannya Upacara 65

5.4.4 Pelaku Upacara 67

5.5 Sembahyang Ceng Beng 67

5.6 Makna Penghormatan Leluhur 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 71

5.1 Kesimpulan 71

5.2 Saran 73

Daftar Pustaka 74

Buku dan artikel 74

Internet 74


(10)

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang fungsi dan makna penghormatan leluhur oleh masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Untuk mengkaji fungsi dan makna digunakan teori semiotik (Barthes). Untuk menganalisis fungsi penghormatan leluhur dalam konteks tersebut digunakan teori fungsionalismenya Malinowski dan Radcliffe-Brown. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan berdasar kepada penelitian lapangan, wawancara, observasi, pengamatan terlibat (participant observer), dan menggunakan informan kunci yang dipandang menguasai penghormatan leluhur. Temuan saintifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: makna (a) adanya kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini serta pengetahuan kaum muda Tionghoa yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahaminya secara mendalam. Fungsi (b) Secara keseluruhan upacara religi ini mempunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama.


(11)

ABSTRACT

This thesis aims to analyze of form, meaning, and function of ancestor worship in Tionghoa Medan City culture. To analyze form and meaning of ancestor worship I use semiotic theory (Barthes). Then, to analyze ancestor worship functions in context, I use functionalism theory both from Malinowski and Radcliffe-Brown. I use research method and technique qualitative, based on filed work, interview, observation, participant observer, and choose key informants who know very much about Tionghoa Ancestor worship. The scientific conclussions are: (a) meaning of the tendency shifting religious values in young people today. Knowledge of Chinese young people who still maintain ancestral ashes is less. They are no longer paying attention in particular to honor ancestors. Ceremonies of respect they do without knowing it and understand it in depth. (b) Overall the functions it has a religious ceremony intensify social functions and promote solidarity among the members of a family or clan who reminds them that they actually are relatives who came from a common ancestor. Key words: meaning, function, Chinesse


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal dari buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam culture, yang berasal dari kata colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, di mana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat kaya dengan beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang majemuk pula, karenaa salah satu fungsi


(13)

kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Bangun 1981:12).

Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Mereka selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu, masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.

Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia, termasuk masyarakat Tionghoa (Cina). dalam masyarakat Batak Toba penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang leluhur dipindahkan ke kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tulan. Hampir sama dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan


(14)

kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau.

Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengan cara upacara, juga menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu juga nama Tionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti. Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki dari Hasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang ibu yang bermarga Koto.

Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua. Dalam agama Islam misalnya diajarkan agar seorang anak menghormati ibunya. Ajaran ini sering menggunakan salah satu hadits Nabi Muhammad


(15)

yaitu bahwa surga di bawah telapak kaki ibu. Kemudian seorang wanita pun harus menghargai suaminya, bahwa surga seorang isteri terletak pada keridhaan dan keikhlasan seorang suami. Artinya pihak ayah dan ibu haruslah dihormati. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa.

Implementasi budaya khas Tionghoa adalah suatu konsekuensi logis, karena orang Tionghoa memposisikan diri sebagai etnik yang mempunyai budaya, kebiasaan dan tradisi sendiri. Apabila kita melihat suatu ekspresi kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan dan membedakan dengan jelas apakah itu ekspresi tradisi, agama, atau kepercayaan.

Dalam Bahasa Mandarin, kepercayaan disebut sebagai Xin Yang dan agama disebut sebagai Zong Jiau. Kepercayaan tradisional adalah Tri-Dharma yang merupakan gabungan antara Taoisme, Konfusianisme, dan Budhisme. Namun seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Tionghoa pun telah menganut berbagai agama lainnya seperti Islam yang banyak dianut di kawasan Provinsi Xinjiang republik Rakyat China (RRC). Begitu juga agama Kristen Protestan terutama Methodist dan Katholik, banyak dianut masyarakat Tionghoa di China, Hongkong, Makao, Taiwan (Formosa), dan juga perantauan China di Eropa dan Amerika.


(16)

Kepercayaan tradisional yakni hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan juga bagian dari budaya (sinkretisme budaya). Kepercayaan ini malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas-batas tertentu.

Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa.

Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas Alam Langit, Alam Bumi, dan Alam Baka.

Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Budha. Ini ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia tapi mereka lupa dengan kehidupan sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir


(17)

kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi. (www.wikipedia.com)

Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan leluhur yaitu penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Hal ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi titik tolak dan dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dulu daripada semua agama yang ada di Tiongkok.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka, namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat dapat pengecualian untuk berdomisili di Alam Langit. Alam langit, alam baka juga dipercaya mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang emas (kim cua) adalah diperuntukkan bagi dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukkan bagi roh manusia di alam baka. Uang perak juga


(18)

diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu).

Bangsa Tionghoa merupakan suatu bangsa yang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Mereka telah mengenal peradaban sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi. Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Hal-hal tersebut bahkan dapat kita lihat pada orang-orang Tionghoa yang telah menetap di Indonesia pada saat ini.

Jika kita mengunjungi rumah keluarga Tionghoa tradisional, diruang tamunya akan terlihat sebuah meja khusus yang diatasnya terletak berbagai jenis peralatan sembahyang serta foto-foto anggota keluarga yang telah meninggal. Dengan menyaksikan benda-benda tersebut akan langsung terpikir oleh kita betapa orang tua serta leluhur yang telah meninggal sangat dihormati dan dihargai oleh keluarga yang masih hidup. Religi tradisional yang merupakan salah satu unsur kebudayaan Tionghoa tetap dipegang hingga saat ini adalah penghormatan leluhur.

Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme di mana manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh


(19)

pancaindra manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek dari penghormatan dan penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban.

Penghormatan leluhur pada masyarakat etnik Tionghoa dilakukan berdasarkan beberapa tujuan yaitu:

(a) Kelestarian dengan masa lampau.

(b) Penghormatan terhadap kebijaksanaan orang-orang tua.

(c) Harapan akan berkat yang diberikan oleh orang-orang yang telah meninggal.

(d) Meredakan kesedihan, dengan cara merawat dan memelihara roh leluhur dengan memberikan sesajian dan doa bagi kebahagiaan mereka.

(e) Ketakutan akan kutukan roh jahat.

Prinsip dasar dari hal-hal tersebut diatas adalah:

(1) Roh atau jiwa dari orang yang telah meninggal tetap memperhatikan dan tetap mengasihi orang-orang yang masih hidup.

(2) Adanya rasa ketidaktentraman dan ketakutan akan orang yang telah meninggal, oleh karena itu mereka berusaha menentramkan roh-roh tersebut.


(20)

Praktik penghormatan leluhur di China kemungkinan besar sudah berlangsung sejak zaman Huang Di ( 皇 帝 ) dan terus mengalami perkembangan sampai sekarang. Penghormatan leluhur dilakukan dengan kepercayaan akan kelangsungan keluarga dan penghormatan terhadap orangtua yang sudah meninggal. Penghormatan leluhur ini merupakan salah satu kewajiban keluarga yang tidak dapat dipisahkan dari praktek pemberian sesaji, tata ibadah upacara dan doa yang dilakukan dihadapan papan tempat arwah leluhur atau shen wei (神 位)dirumah rumah, kelenteng dan di perkuburan.

Dilihat dari segi tata kehidupan moral dalam masyarakat Tionghoa, penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk manifestasi dari ‘bakti’ atau xiao (孝) , penghormatan bagi orang tua “xiao jing fu mu” ( 孝经父母) sebagai ajaran yang ditanamkan Konfusius. Menurut Konfusius, kewajiban dari seorang anak adalah menghormati orang tua, “ketika orangtua masih hidup layani mereka menurut tata cara kesopanan, ketika meninggal kuburkan mereka dengan tata cara kesopanan, dan berikan mereka upacara korban menurut tata cara kesopanan.” Dengan demikian konfusius menanamkan laku bakti anak terhadap orang tua secara terus menerus walaupun orang tua telah meninggal.

Kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang kehidupan setelah meninggal sangat kuat. Mereka percaya bahwa roh-roh ini membutuhkan


(21)

hal-hal yang sama sebagaimana manusia di dunia ini. Segala kebutuhan tersebut hanya bisa diperoleh dari sanak keluarga yang masih hidup.

Demikian sekilas tentang keberadaan penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa secara umum. Seperti difahami bahwa orang-orang Tionghoa negeri asalnya adalah Daratan Tiongkok, yang kini menjadi negara bangsa yang disebut Dengan Republik Rakyat China (RRC). Selain itu terdapat juga kawasan budaya Tionghoa seperti Hongkong, Makao, Taiwan, dan lainnya. Pada masa sekarang orang-orang Tionghoa juga melakukan migrasi ke seluruh dunia yang disebut sebagai diaspora China (Tionghoa). Termasuk juga keberadaan mereka di Indonesia, dan khususnya kota Medan seperti yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini.

Masyarakat Tionghoa di Kota Medan memiliki strategi dalam mempertahankan kebudayaannya, termasuk dalam upacara penghormatan leluhur mereka. Bagaimanapun sedikit banyaknya upacara ini mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kebudayaan di Kota Medan yang heterogen.

Sejauh penelitian penulis, perubahan tentang upacara penghormatan kepada leluhur di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan adalah sudah semakin berkurangnya pemahaman dan penghayatan nilai-nilai ini di kalangan generasi muda. Menurut penjelasan para informan, kegiatan upacara penghormatan kepada para leluhur hanya dipahami dan dihayati


(22)

nilai-nilainya oleh para generasi relatif tua saja. Tidak demikian yang terjadi dalam generasi mudanya.

Dari latar belakang di atas, untuk mengetahui lebih dalam penulis tertarik untuk memfokuskan tentang kebudayaan Tionghoa khususnya religi tradisional ini, yaitu penghormatan kepada leluhur. Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini: Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa di Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan penulis diatas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan masalah pada:

1. Bagaimana fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab oleh penjelasan-penjelasan seputar fungsi sosial dan budaya penghormatan leluhur dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medantropologi. Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya ini penulis menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan dalam disiplin antropologi dan sosiologi.


(23)

2. Apa saja makna (budaya) tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab dengan menguraikan makna-makna budaya yang terkandung di dalam upacara penghormatan kepada leluhur. Makna-makna yang akan penulis uraikan adalah mencakup Makna-makna perilaku budaya, makna benda dan peralatan upacara, makna waktu upcara, dan hal-hal sejenis.

Untuk memperkuat dua pokok masalah penelitian di atas, maka penulis juga akan mendeksripsikan bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur? Deskripsi ini akan berisi persiapan, pelaksanaan upacara, dan pasca pelaksanaan upacara. Ini penting untuk memberikan dimensi umum bagaimana pelaksanaan upacara penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ini diperlukan untuk dapat memahami lebih jauh apa yang melatarbelakangi upacara yang dilakukan seperti itu.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:


(24)

1. Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan kepada leluhur pada masyarakat Tionghoa.

2. Untuk mengetahui makna tradisi penghormatan kepada leluhur pada masyarakat Tionghoa.

Untuk menambah tujuan utama di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur. Juga untuk mengetahui nilai religius dan budaya yang terdapat pada tradisi penghormatan kepercayaan masyarakat Tionghoa.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum tentang upacara religi tradisional ini. Secara keilmuan, penelitian ini akan menyumbangkan data-data etnografis yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan metode teori terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa, termasuk di Program Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan mengungkap makna-makna sosiobudaya yang dapat dijadikan dasar dalam kebijakan pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Bagaimana pun dalam kegiatan yang penuh makna budaya ini juga mengandung filsafat hidup masyarakat Tionghoa. Penelitian ini juga akan


(25)

berguna dalam mengungkapkan sistem alam (kosmologi) dalam kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal hal lain

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.


(27)

2.1.1.1 Penghormatan Leluhur

Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi.

Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu.

Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa merupakan suatu sistem religi, oleh karena selain memiliki emosi keagamaan, juga memiliki unsur-unsur sistem keyakinan, yang memusatkan perhatian kepada konsep tentang roh-roh leluhur; sistem upacara keagamaan, suatu umat yang menganut religi tersebut.

Sistem upacara mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus yaitu: (1) tempat upacara keagamaan; (2) saat saat upacara keagamaan dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) pelaku


(28)

upacara. Keempat unsur upacara ini disusun oleh dua dimensi yaitu waktu (saat upacara) dan ruang (mencakup tempat, benda dan alat, serta pelaku) upacara.

Penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme dimana manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling manusia.

Kepercayaan terhadap roh leluhur dalam religi suku bangsa Tionghoa sudah sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua, yang kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada mahluk-mahluk halus lain seperti dewa dewa alam, roh nenek moyang, hantu dan lain-lain. Penghormatan leluhur dilakukan pada tempat tempat tertentu yaitu dirumah abu, kelenteng, vihara dan dirumah tempat tinggal keluarga serta kuburan-kuburan.

2.1.1.2 Kepercayaan

Kepercayaan dalam bahasa inggris dinamakan trust atau believe ini merupakan suatu bentuk nyata dalam kehidupan dimana menjadi bagian yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Sedangkan kepercayaan Tradisional adalah kepercayaan yang telah ada sejak dahulu dan menjadi


(29)

bagian dari hidup mereka dan secara turun temurun masih dijalankan dari generasi ke generasi.

Dalamkehidupan orang Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Tionghoa memang sangat toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu.

2.1.1.3 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu.


(30)

Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhinghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

2.1.2 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut:


(31)

2.1.2.1Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).


(32)

Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,


(33)

kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Dari teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh malinowski itu, penulis berasumsi bahwa tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa pastilah berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga sosiobudaya ini pastilah mati atau menjelma dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan sosiobudaya menghormati leluhur ini memainkan peran dalam konteks kesinambungan dan integrasi kebudayaan Tionghoa secara umum.

2.1.2.2 Teori Semiotik

Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam penghormatan leluhur dan pada masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik


(34)

semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.


(35)

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

2.1.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,2003:912).

2.1.3.1 Penelitian Terdahulu

Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): Suatu Tradisi dalam Keluarga Cina. Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan leluhur pada Suatu keluarga Etnik Tionghoa yang merupakan unit sosial dasar dimana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam pemeliharaan religi tradisional tersebut. Dalam penghormatan leluhur ini penulisnya juga menguraikan bahwa tradisi ini bukan hanya merupakan suatu kepercayaan


(36)

atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan turut berperan dalam kehidupan keluarga.

Dari uraian di atas, peneliti lebih mengarah pada aspek antropologi budaya. Dalam hal ini maksudnya penulis menekankan hasil pengamatan melalui ilmu-ilmu budaya, terutama pada pelaksanaan upacara dan peran penghormatan leluhur pada satu keluarga Tionghoa.

Tedy Jusuf (2000) dalam tulisannya yang berjudul Sekilas Budaya Tionghoa Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Isi buku ini merupakan sublimasi dari budaya berbagai subetnik Tionghoa, dan dicoba ditulis dalam kaidah-kaidah yang mungkin dapat disepakati. Selain itu buku ini dibuat untuk menginventarisasikan budaya Tionghoa Indonesia yang masih hidup dan masih terpelihara dalam masyarakat Tionghoa.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota Medan, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis fungsi dan makna tradisi penghormatan kepada leluhur dalam etnik Tionghoa melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.


(38)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari makna penghormatan leluhur dan pada masyarakat Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920an dan 1930an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan


(39)

dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin,. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung perspektif alamiah


(40)

atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik.

Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna penghormatan leluhur pada kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan ini, maka metode penelitian yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi, filsafat, dan budaya), juga ilmu-ilmu bantu lainnya.

Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang melatarbelakangi kegiatan penghormatan leluhur ini.


(41)

3.2Teknik Pengumpulan Data

Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengumpulkan data: Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi kepustakaan.

Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman sesuai wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha Ban. Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya Tionghoa.

Penulis juga menemui seorang pengurus rumah abu leluhur yang bernama Bapak Aweng yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sesuai dengan objek penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari Bapak Aweng ini.

Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Jln. Boulevard Utara No.8 Kompleks Cemara Asri Medan. Penulis bertemu dengan Bapak Hendra, salah seorang pengurus Vihara. Melalui wawancara dengan beliaulah memperoleh informasi tentang religi-religi tradisional masyarakat


(42)

Tionghoa. Bapak Hendra dengan senang hati menceritakan religi-religi tersebut, daan mereka sangat senang saat penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.

3.2.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah pada keluarga etnik Tionghoa, Rumah Abu, dan Vihara yang ada dikota Medan. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang penghormatan leluhur. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memiliki dan mengurus meja abu.


(43)

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara ini penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus kelenteng yang masih memelihara meja abu.

3.2.2 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap ritual penghormatan leluhur ini.


(44)

3.2.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.3Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara-upacara keagamaan budaya khas masyarakat Tionghoa di kota Medan. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:

Sumber Data Primer : A Shin


(45)

Alamat : Jln. Ir.H.Juanda Baru no 89 Medan

Sumber Data Primer : Bapak Aweng

Profesi : Pengurus Rumah Abu Alamat : Medan

Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data, yang memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalah yang diajukan dalam penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.

Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut. Sumber data sekunder: Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 106

Percetakan : Bhuana Ilmu Populer Jakarta

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia


(46)

3.4Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi penghormatan leluhur .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian ini.

3.4.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Medan khususnya di jalan Ir. H. Juanda Baru dan Jl. Boulevard Utara No.8 Komplek Vihara Cemara Asri Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena disini terdapat masyarakat Tionghoa yang masih melakukan tradisi


(47)

penghormatan leluhur, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa.


(48)

BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA MEDAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT TIONGHOA DUNIA

Pada Bab IV ini penulis akan mendeskripsikan gambaran umum masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam konteks masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, khususnya negeri asalnya Daratan Cina. Ini dilakukan dalam rangka mengungkapkan fenomena di balik perilaku sosiobudaya yaitu penghormatan leluhur. Adanya aktivitas budaya bagaimanapun haruslah didukung oleh ide-ide atau gagasan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.

Kerja keilmuan seperti ini adalah lazim digunakan dalam disiplin antropologi. Disiplin ini adalah mengkaji manusia dengan kebudayaannya yang mengandung unsur-unsur: agama, bahasa, teknologi, ekonomi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Dalam tulisan ini berarti bahwa mengkaji perilaku penghormatan kepada leluhur, tidak bisa dilepaskan bahkan harus dilihat secara holistic bersama-sama dengan unsur kebudayaan lainnya. Kerja seperti ini dalam antropologi lazim disebut sebagai studi etnografi.

Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi


(49)

adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Minangkabau misalnya, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Minangkabau Desa Sungai Puar, atau lebih besar sedikit, masyarakat Minangkabau Kabupaten Lima Puluh Koto, atau masyarakat Minangkabau Pasisie, atau Minangkabau rantau termasuk di Negeri Sembilan Malaysia, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. Jadi pendekatan etnografi melihat manusia dengan kebudayaan yang dihasilkannya secara meluas. Demikian pula yang penulis lakukan dalam studi ini.


(50)

4.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan etnik dan ras lainnya. Namun demikian, di kalangan masyarakat Tionghoa dan etnik-etnik di Indonesia juga setuju bahwa orang Tionghoa memiliki asal-usul tempat budayanya yang kemudian migrasi ke Indonesia beberapa abad yang lalu. Tempat asal atau wilayah budaya awal mereka adalah daratan Cina.

Secara umum Etnik Tionghoa di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara ekslusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Khan (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas.

Etnik Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat nonpribumi yang berimigrasi ke Indonesia. Selain prang Tionghoa, ada juga masyarakat Tamil, Sikh, Hindustan, Arab, dan Eropa, yang datang dengan berbagai kepentingan sosial ke Indonesia ini, baik dari masa sebelum Indonesia merdeka atau sesudahnya.

Etnik Tionghoa ini memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar baik dari Malaysia (Malaya) ataupun Dataran Cina. Mereka didatangkan ke Medan dan Sumatera Utara, karena tenaganya


(51)

dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda di abad ke-19. Seperti diketahui Sumatera Utara memiliki tembakau Deli yang dikelola oleh pengusaha Belanda yang diketuai oleh Jacobus Nienhuijs. Sebahagian orang Tionghoa ada yang beradaptasi dengan masyarakat setempat. Namun ada pula yang berperilaku eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi.

4.2 Latar Belakang Budaya Masyarakat Tionghoa

Budaya Tionghoa telah masuk ke Indonesia lebih dari seribu tahun yang lalu, melalui arus perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang Tionghoa yang berasal dari China Selatan. Orang-orang Tionghoa yang masuk mulai mendirikan pemukiman. Adat istiadat, agama, budaya masyarakat Tionghoa yang mereka bawa kemudian terserap ke dalam budaya dan kepercayaan penduduk asli.

Selain itu masyarakat Tionghoa melakukan akulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat Indonesia. Mereka berhasil dalam berbisnis serta mempertahankan identitas budayanya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka. Begitu juga tradisi menghormati leluhurnya, yang menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dengan sistem religi mereka.


(52)

4.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Tionghoa

Dalam proses interaksi sosial dan mempertahankan keberadaan diri dan keturunannya, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem kekerabatannya yang khas. Saat kehidupan etnik Tionghoa sudah menetap, mereka membentuk perkampungan yang mula-mula terdiri dari garis keturunan ayah. Mulai dari semua saudara laki ayah dengan anak laki-lakinya dan keluarga kakek dengan saudara laki-laki-lakinya. Hal ini yang kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekluargaan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batin melainkan keluarga luas yang viriolokal.

Dalam sistem keluarga inti yang memegang peranan penting adalah sang ayah dan semua anak laki-lakinya. Saat ayah meninggal dunia, putra tertuanya yang akan menggantikan posisi sang ayah di dalam keluarganya. Jikalau anak laki-laki dari etnik Tionghoa menjadi anak angkat dari marga lain, maka hubungannya dengan garis keturunan ayahnya akan terputus. Si anak ini akan mengikuti garis keturunan ayah angkatnya. Dengan sistem seperti itu, maka kedekatan dengan kerabat ayah diutamakan, tetapi dalam perkembangannya kedekatan dengan kerabat ibu juga tidak memiliki batasan.


(53)

4.4 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia 4.4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia, sebahagian besarnya berasal dari kelompok etnik Han. Daerah budaya mereka ini adalah di daerah yang sekarang merupakan Provinsi Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman wilayahnya (Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik Han, yakni juga kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner, 1963:101). Sebahagian besar orang Tionghoa Indonesia, baik yang merupakan keturunan patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru, lahir di Cina daratan (Gernet, 1996:6).

Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam jumlah yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan maritim sambil berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di Indonesia. Keturunan suku Hokkien adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.

Selain itu ada juga suku Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Suku Tiochiu ini memilih bekerja


(54)

sebagai buruh perkebunan di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak terdapatnya bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97).

Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu, bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan Guangdong dan tidak mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97). Dikarenakan daerahnya yang sangat tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya alam di daerah asal mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka akibat desakan ekonomi. Gelombang migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850 hingga 1930 dan merupakan yang paling miskin di antara kelompok imigran Tionghoa. Meskipun pada awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, bangsa Hakka kemudian didapati bertumbuh dengan pesat di daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19 (Skinner, 1963:102).

Yang terakhir adalah suku bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa Hakka, orang-orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara. Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung diarahkan menuju daerah tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal sebagai pengrajin tradisional yang sangat terampil. Bangsa Kanton mendapatkan keuntungan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari bangsa Eropa ketika mereka di Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke Jawa di waktu yang sama


(55)

dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang berbeda. Di kota-kota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja mesin, dan memiliki usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton tersebar merata di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang jumlah orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka kemudian dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa (Skinner, 1963:102).

4.4.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia

Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika kedatangan bangsa Mongolia di bawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit (Reid, 2001:17). Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit (Reid, 2001: 20-21).


(56)

Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para pedagang-pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Mahmmud Cheng Ho (yang beragama Islam), yang mengepalai berbagai ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya (Ma, 2005: 113-124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa, namun kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah melebur ke dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796).

Dari tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan yang dilakukan, baik secara legal maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid, 1999: 52). Bangsa Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16 (Reid, 2001:33). Kegiatan perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima puluh kapal yang berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan itu, dimulai dari Jepang,


(57)

Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid, 1999: 52).

Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka menduduki kembali daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam mengambil alih Malaka dicatat dalam buku “The Malay Annals of Semarang and Cirebon” (Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang dengan orang Portugis (Borschberg, 2004:12).

4.4.3 Kedudukan Masyarakat Tionghoa di Masa Penjajahan Belanda Sejalan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-17, mayoritas masyarakat Tionghoa bermukim di sepanjang pantai timur Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak banyak dari mereka sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia (sekarang Jakarta) di pantai barat laut Jawa (Tan, 2005: 796).


(58)

Satu pelabuhan buatan dipilih oleh pemerintah Belanda sebagai markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di tahun 1609 oleh Jan Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan masyarakat Tionghoa dan India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini (Heidhues, 1999:152). Coen dan para gubernur jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut dan untuk tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala” (Phoa, 1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat masyarakat Tionghoa bermukim berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya 10.000 jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Walau begitu, pemerintah Belanda juga menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan Tionghoa dari mereka yang merupakan pribumi (Chang, 2010:2).

Mayoritas dari masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara telah memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan yang ditawarkan oleh pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka menjadi “petani pajak,” pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan


(59)

VOC, ditugaskan untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur kegiatan panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10).

Sesudah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang, pemerintah Belanda terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke Indonesia. Amoy yang merupakan pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan, dijadikan satu-satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta penumpang dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan keperluan akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula dekat Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan Tagliacozzo, 2009: 168).

Ketika VOC dinasionalisasikan oleh Pemerintah Belanda pada 31 Desember 1799, kebebasan yang sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa di bawah kerjasama dengan pihak koloni dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Salah satu bentuk penghapusan yang didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang selama ini diterapkan oleh etnik Tionghoa terhadap perdaganan garam (Phoa, 1992:11).

Satu proses sosial regulasi pada tahun 1816 memperkenalkan sebuah syarat bagi penduduk pribumi dan orang Tionghoa yang hendak melakukan


(60)

perjalanan di dalam wilayah pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih dahulu. Khusus bagi mereka yang kedapatan tidak membawa surat izin beresiko besar untuk ditangkap dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga memperkenalkan sebuah resolusi di tahun 1852 yang berisikan larangan bagi “orang Asia dari daerah yang tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup dalam lingkungan yang sama sebagai penduduk asli (Phoa, 1992:12).

Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) yang menghabiskan dana sangat banyak, pemerintah Belanda memperkenalkan sistem agraria dan budidaya pertanian baru yang memaksa para petani untuk “menghasilkan produksi sebagian dari lahan mereka dan mengembangkan tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.” Sistem tanam paksa memulihkan perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi mengakhiri sistem pajak tanah yang telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC.

Orang Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa yang ada disitu diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus dilindungi dan dilestarikan bagi penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang kemudian diperkenalkan sebagai tindakan sementara, namun sebagian besar etnik Tionghoa memilih untuk


(61)

menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya kontrak dan akhirnya menjadi penghuni liar (Phoa, 1992:13) Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide, yakni “Politik Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian menjadikan etnik Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Di bawah kebijakan baru ini pemerintah kolonial meningkatkan pembatasan pada kegiatan perekonomian etnik Tionghoa (Heidhues, 2001:179).

Di Kalimantan bagian barat, masyarakat Tionghoa mendirikan pemukiman pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal, termasuk membentuk republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat konflik dengan pemerintah Belanda yang baru dan dipandang sebagai sesuatu yang “tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan untuk kepentingan pengembangan kawasan ini (Phoa, 1992:14).

Kepulauan Bangka Belitung (Bangka Biliton) juga menjadi contoh dari pemukiman utama etnik Tionghoa di daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik Tionghoa yang tinggal di pulau itu di tahun 1851, namun di tahun 1915 jumlah populasinya meningkat pesat menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan tembakau menjadi mata pencaharian utama dan berkembang pada masa itu. Para kuli didatangkan ke wilayah ini sesudah


(62)

akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa dari daerah Negeri-Negeri Selat1 karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada saat itu (Phoa, 1992:16).

4.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 4.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan

Dalam bukunya yang bertajuk The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛 涯 勝 覽), Ma Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur) dapat dicapai dari Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur laut ada laut, sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao K’un, Ma Huan menceritakan bahwa kota Haru terletak di Delitua (Fatima, 1991).

Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar),

1

Negeri-negeri Selat (Straits Settlements) adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun 1926. Negeri-Negeri Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan Britania (Inggris). Kini semua negara-negera merdeka bekas jajahan Inggris membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran Inggris. Di dalamnya termasuklah Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan, Selandia Baru, Kanada, dan


(63)

kota Cina―saat itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut (Fatima, 1991).

Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak perkebunan di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar berprofesi sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda, dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian, Tjong A Fie diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian (Fatima, 1991:67).

Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada tahun 1980-an daerah ini dikenal


(64)

sebagai daerah yang miskin dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis menemukan wilayah Deli dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat itulah wilayah Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang Tionghoa yang tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera, khususnya Deli.

Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh, serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti berubah menjadi pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis usaha mereka demi meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus bertahan hingga kini.

Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian bertambah, bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini gambaran penduduk Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala1 adalah sebagai berikut.


(65)

Tabel 1:

Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000

Kecamatan Pria Wanita

Medan Tuntungan 77 58

Medan Johor 4.958 4.757

Medan Amplas 368 355

Medan Denai 3.011 2.957

Medan Area 14.877 15.369

Medan Kota 12.245 12.988

Medan Maimun 4.402 4.484

Medan Polonia 3.269 3.343

Medan Baru 572 588

Medan Selayang 519 465

Medan Sunggal 6.110 5.920

Medan Helvetia 1.388 1.286

Medan Petisah 8.502 8.814

Medan Barat 9.198 9.717

Medan Timur 9.885 10.309

Medan Perjuangan 6.146 6.379

Medan Tembung 5.600 5.386

Medan Deli 3.470 3.193

Medan Labuhan 2.603 2.520

Medan Marelan 1.713 1.545

Medan Kota Belawan 1.792 1.701

Jumlah 100.705 102.134

4.5.2 Bahasa

Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien, Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min


(66)

Nan (termasuk didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Lewis, 2005: 391).

Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara lokal dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan karya sastra “peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam varian dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam bahasa Melayu dan Indonesia.

Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa kemudian mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah kemerdekaan (Kahin, 1991:61). Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa dianggap memainkan sebuah “peranan penting” dalam perkembangan bahasa Indonesia modern (Kahin, 1991:65).


(67)

4.5.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di tahun 1977 berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ie Collective (“The Chinese of Jakarta: Temples and Collective Life”) adalah satu-satunya studi yang membahas kehidupan beragama orang Tionghoa di Indonesia (Coppel, 2002: 256). Kementerian Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenalnya.

Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30). Perpindahan agama dari “agama tradisional Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada generasi muda. Tidak jarang didapati di dalam sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah memeluk Kristen, namun orangtua mereka masih memeluk agama tradisional (Kahin, 1991:122).

Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi agama Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon


(1)

第三章、

棉兰华人祭祀祖先的要素

3.1祭祀的时间

棉兰华人祭祀祖先是一般是在春节、先人的生辰和死忌的时候。他们会一 家团聚,祭祀祖先以后进行聚餐,他们用这个仪式来“记住”已逝的祖先,使 他们不被后人遗忘。

3.2祭祀的地点

棉兰华人的祖先祭祀一直以来就存在,祖先祭祀一般是一个特定的位置 上,一般是在家庭,寺院,庙宇和住宅房屋的某一个被人们认为是吉利的地方 等。

3.3 祭祀的方式

棉兰华人祭祀祖先是人类最古老的宗教形式,他们相信鬼神的存在,以 及神、祖先和其他精神的众生。棉兰华人的家人去世以后,他们一般选择火化 的形式,把火化的骨灰带回家里,并把骨灰放在家里摆放祖先灵位的地方,每 年特定的日子对先人进行祭祀。

3.4 祭祀的流程

祭祀仪式中最重要的四个方面是:(1)宗教仪式,(2)执行宗教仪式 时的时间,(3)对象和祭祀的工具,(4)仪式的参与者、时间(在仪式上) 和空间(包括地点,对象和工具,以及肇事者)。


(2)

第四章、

思想背景祭祀祖先研究

在中国最古老的宗教,以及其他农业社区侧重于对祖先的崇敬,部队的性 质和肥力。在当时文明的开始,这个世界是充满力量,这体现在动物和植物的 生命本身,天上水,在出生,成长,疾病和死亡的过程。据说,世界是不是只 有那些仍然活着的人组成,但也这些人已经死亡的精神,谁维持生命之源,并 保持食品和增长的生育能力。谁死的人仍然被认为是积极的。他们发现,他们 的批准,以植物和动物的生育和成功的狩猎和战争。空间为他们提供了一个神 圣的地方的尊重,谁赋予为每一个家庭的幸福和繁荣。

祭祀祖先研究相信鬼神存在的相应分支。祭祀祖先有一个基本的假设,人 类可以直接沟通与这些人已经死亡的精神。最初的概念是公认的灵魂在周朝人 体是两个人的生活居住。死亡是灵魂从身体分离。灵魂生活会慢慢死去。灵魂 的个性,但是,可以是自由的,只要生活,因为人们记住它,并保持它提供的 产品或产品挨饿。在周代,这个想法是安排和形成祭奠祖先到目前的形式。

众所周知,中华人相信,在一个至高无上的力量称为天或神。田在精神的 世界层次结构中占据最高位置。此外,世界是由两个互补的力量,阴和阳。英 代表女性,黑暗,寒冷,潮湿,柔软,被动。虽然杨代表的阳刚之气,光,热, 干旱,暴力和其他活动。所有的自然奇观,是这些力量的相互作用的结果是不 变的相互作用。

4.1对祖先的纪念和尊重

祭祀祖先的意义是为了纪念祖先,让后辈记住自己的祖先;此外祭祀的祖 先也是表示对祖先的一种尊重,希望通过祭祀让祖先在另一个世界得到幸福和 安宁的生活。

在华人家庭的生活,父亲和儿子之间的关系中占有重要的地方。 在印尼 华人中,一个人的职责主要是家长。一个男孩的父母和他的祖先也不能停下来 牺牲。一个孩子谁不局限于时间专门父母仍然独居,但通过时,他们已经死亡。 奉献给孩子的父母和祖先的态度继续在兴建祠堂或每个家庭的家,一个礼拜的 地方,为他们祈祷祖先的骨灰表的形式实现。

4.2传承的连续性

印尼棉兰华人家庭作为一个整体或单独做的事情,请他们的祖先的精神。 中国家庭接受父系血统,或称为父系。传承是非常重要的,他们维持家庭。因 此,男孩是非常重要的,继续沿袭。父亲和儿子之间的关系是最重要的其他亲 属关系之间的关系。


(3)

家庭的主要职能之一是做对祭祀祖先。祭祀祖先视为奉献给孩子的父母和 祖先的化身。祭祀祖先的存在导致了一个额外的推动力,有一个男孩的父母开 展仪式和仪式祖先崇拜,以及保护和拯救生命不朽的父母和他们的祖父母。因 此,有一些事情,导致一个人不孝顺,尤其是,如果有人没有雄性后代。在印 尼棉兰华人,男孩有其他的功能是接替他的父亲照顾祖先的骨灰。因此,所有 的行动和开展的活动始终是在与祖先联系。

4.3家庭团结

除了仪式的功能,他的祖先致敬,也有社会功能,可以说社会职能是比其 他功能更为重要。维护祖先的骨灰也做,以维持家庭生活的团结和同宗。这是 由整个家庭参加祭祖仪式,每年至少一次最重要的是盛宴春节。家庭居住在城 市或居住试图回家母公司的其他国家。如果父母双方都死了,他们参观了二哥 仍持有表观察合掌他的父母和祖先的骨灰。这将导致家庭成员之间的关系,粘 接和团结,保持紧密联系在一起。

互助团结和家庭内发生,因为他们的血液流淌在他们身体的意识。这种意 识也加强了维修,间接帮助他们保持彼此之间的整个家庭和熟悉自己祖先的骨 灰。


(4)

第五章、结语

棉兰华人祭祀祖先有文化的意义, 的意义是一体化的家人和亲戚。棉兰华 人祭祀祖先相信在自然世界和来世或未来,他或她的祖先居住的地方。从观测 中,研究人员看到了今天宗教价值观在年轻人转移的趋势。知识,年轻的华人 的孩子,谁仍保持祖先的骨灰是少。他们不再支付特别注意缉私祖先。仪式的 缉私,他们在不知情的情况下,在深入了解它。他们所做的一切是基于父母从 小教导和执行,也欣赏和尊重他们的父母的习惯。


(5)

参考文献

[1] Laya Pirevia Maengkom.一个中国家庭的传统[论文],1987

[2] Teddy Jusuf. 《中国文化》, (M). PT Bhuana Ilmu Komputer ,2000

[5]www.baidu.cn

[3] Smith, 中国宗教, 1968

[4] De Groot, 中国的宗教系统, 1901

[5] Leo Suryadinata, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.


(6)

致 谢

非常感谢陈舒舒老师、喻雪玲老师在我大学的最后学习阶段——毕业设计 阶段给自己的指导,从最初的定题,到资料收集,到写作、修改,到论文定稿, 她们给了我耐心的指导和无私的帮助。为了指导我们的毕业论文,她们放弃了 自己的休息时间,她们的这种无私奉献的敬业精神令人钦佩,在此我向她们表 示我诚挚的谢意。同时,感谢我的家庭给我很大的鼓励和所有同学在这四年来 给自己的指导和帮助,是他们教会了我专业知识,教会了我如何学习,教会了 我如何做人。正是由于他们,我才能在各方面取得显著的进步,在此向他们表 示我由衷的谢意。