Klenteng Kwan Sing Bio Serta Pengaruh Serta Pengaruhnya Terhadap Keberaragamaan Warga Tionghoa Kota Tuban

(1)

KLENTENG KWAN SING BIO SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP KEBERAGAMAAN WARGA

TIONGHOA KOTA TUBAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam.

Oleh :

Abdul Qodir

NIM :103032127675

Pembimbing :

Prof. Dr. Ihsan Tanggok.

NIP :150273476

PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008


(2)

KLENTENG KWAN SING BIO SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP KEBERAGAMAAN WARGA

TIONGHOA KOTA TUBAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam.

Oleh :

Abdul Qodir NIM : 103032127675

PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009


(3)

Abstraksi

Sebuah tempat ibadah tidaklah dapat berperan sebagaimana manusianya, karena sebuah tempat hanyalah sebuah bangunan yang dibuat oleh manusia. Akan tetapi, dengan adanya tempat itu tentunya seseorang akan merasakan sesuatu dari sebuah bangunan tersebut. Walau bagaimanapun sebuah bangunan mempunyai pengaruh lingkungan sekitar. Pengetahuan keagamaan serta nilai-nilainya dapat menjadi sebuah kecenderungan sikap beragama.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana klenteng Kwan Sing Bio dapat memberi motivasi keberagamaan para penganut Tri Dharma untuk lebih meningkatkan keberagamaan umat Tri Dharma. Dalam hal ini pihak pengurus mendatangkan para pendeta dari Tri Dharma dalam setiap minggu sekali guna memberi pencerahan terhadap umat Tri Dharma. Penelitian ini dilakukan di Tuban Jawa Timur.

Kota Tuban dikenal dengan sebutan kota Tuak, yaitu semacam minuman memabukkan yang terbuat dari sari pohon ental (semacam kelapa), yang di olah secara khusus sehingga berubah menjadi minuman memabukkan. Selain itu nama Tuban dalam catatan sejarah pernah kedatangan orang-orang dari luar negeri, seperti Cina. Kedatangan mereka ini nampaknya meninggalkan sejarah tersendiri misalnya, sebuah tempat peribadatan yang hingga sekarang masih berdiri kokoh yaitu klenteng Kwan Sing Bio yang berada tepat di depan lautan lepas.

Klenteng Kwan Sing Bio dengan menggunakan patung kepiting di pintu gerbangnya sebagai salah satu tempat peribadatan umat Tri Dharma selain Tju Ling Kiong, sangat ramai dikunjungi para penganut ajaran Tri Dharma. Kedatangannya selain untuk beribadah terkadang juga hanya berwisata bagi pengunjung yang bukan penganut ajaran Tri Dharma. Akan tetapi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh kelnteng Kwan Sing Bio terhadap keberagamaan umatnya dalam segi kepercayaan, peribadatan, sosial, dan pengetahuannya.


(4)

Pengurus klenteng seminggu sekalai berusaha mendatangkan agamawan dari masing-masing ajaran Tri Dharma (Tao, Khonghucu, dan Budha) dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman keagamaan. Selain itu klenteng Tri Dharma (tiga ajaran) ini membuktikan bahwa selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal.


(5)

Surat Pernyataan

yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Abdul Qodir Nim : 103021277675 Jurusan : Perbandingan Agama Dengan ini menyatakan.

1. Skripsi ini adalah hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana Strata I (S I) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya / jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatulah Jakarta.

Jakarta, 28, Maret 2009


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur itulah yang kiranya dapat kuucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta anugarahnya yang tak terhingga. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam perkuliahan. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan terhadap Rosulullah SAW, Amiin. Kata itulah yang mampu kuucapkan tatkala penulis menyelesaikan skripsi ini, meski dengan kondisi apa adanya dan bahkan mungkin jauh dari kesempurnaan, namanya juga manusia.

Kegundahan yang selama ini terasa begitu berat, ahirnya terasa hilang dengan perlahan seiring dengan terselesaikannya skripsi ini, meski dengan langkah yang gontai dan terkatung-katung. Dalam penyelasaian skripsi ini, tentu tak lepas dari dukungan dari orang-orang di sekitar penulis yang telah rela meluangkan waktu untuk penulis, sehingga tiada kata yang pantas untuk diucapkan kecuali rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Terlepas dari semua bentuk dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, berkat bantuan dari berbagai pihak, yang tak dapat dinilai dengan materi. Rasa terima kasih itulah yang dapat penulis ucapkan diantaranya:

Bapak Dr. Amin Nurdin, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, sekjur dan kajur perbandingan agama.


(7)

Bapak dan Ibu Dosen yang pernah menurunkan ilmunya sehingga dapat memberi pencerahan kepada Penulis.

Kepada bapak Nurdin Iskandar, Handjono Tanzah, bapak Fredy dan segenap pengurus Klenteng Kwan Sing Bio serta para jama'ah yang telah dengan kerelaannya memberi informasi yang berharga kepada penulis.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih yang dalam kepada Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok yang dengan sabar dan ketulusannya membimbing saya dalam penyusunan karya tulis ini.

Kedua orang tua penulis, H. Masruhin dan Hj. St Zubaidah yang dengan ketulusan kasih dan sayangnya serta iringan doanya yang mengantar penulis dalam melapangkan jalan tuk meraih cita-cita menuju masa depan yang cerah. Saudara-saudara penulis yang tak bosan dan tak henti-hentinya selalu memberikan motivasi dan bantuannya dalam segala hal.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan sumbangsihnya kepada Penulis hingga selesainya skripsi ini. Semoga semua kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT amiin.

Penulis amat menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini yang perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.


(8)

Abdul Qodir

Klenteng Kwan Sing Bio Serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Keberagamaan Masyarakat Tionghoa

Kota Tuban Jawa Timur

Hal Kata Pengantar ... I

Daftar Isi ... III

Bab I. Pendahuluan.

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. ... 4

C. Tinjauan Pustaka. ... 4

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 6

E. Metodologi penelitian. ... 6

F. Sistematika Penulisan. ... 8

Bab II Landasan Teori A. Pengertian Klenteng. ... 10

B. Sejarah klenteng di Indonesia. ... 15

C. Fungsi Klenteng. ... 23

D. Aktivitas keagamaan dalam klenteng di Indonesia. ... 25


(9)

A. Letak geografis. ... 28

B. Letak Klenteng Kwan Sing Bio. ... 35

C. Kondisi keberadaan masyarakat Tionghoa. ... 36

D. Secara umum kondisi wilayah Tuban ... 39

Bab IV Klenteng Kwan Sing Bio serta Pengaruhnya Terhadap Warga Tionghoa A. Sejarah berdirinya klenteng Kwan Sing Bio ... 42

B. Nilai-nilai Religiusitas Klenteng Kwan Sing Bio ... 43

C. Keberagamaan warga Tionghoa Dalam klenteng Kwan Sing Bio ... 51

Bab V. Penutup A. Kesimpulan ... 61 B. Lampiran ...


(10)

BAB I

Latar Belakang Masalah

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia sebagaimana yang kita ketahui terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan budaya. Keanekaragaman ini menandakan, bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang plural, dan masing-masing dari mereka berupaya dan berusaha untuk mengembangkannya melalui berbagai bidang baik sosial, pendidikan dan berbagai bidang guna membangun sebuah negara yang harmonis, humanis dan pluralis. Fakta pluralitas juga humanis dapat dilihat dengan kepedulian sosial keagamaan yang tinggi, di antaranya dengan dibangunnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, klenteng, vihara dan lain-lain. Pada dasarnya semua agama selalu mengajarkan hal-hal kebaikan pada semua umatnya, serta saling toleransi terhadap sesama umat manusia tidak terkecuali. Dalam hubungan kemanusiaan, semua agama mengenal ajaran kasih sayang sesama manusia dalam konteks Hablun Minannas.

Dalam setiap agama, kita akan mendapatkan berbagai macam ajaran dan doktrin mengenai agama tersebut. Dalam konsep kerukunan umat beragama tentunya doktrin keagamaan tersebut harus dihilangkan dan menyesuaikan konteksnya, tanpa bermaksud untuk menghilangkan doktrin ajaran agama. Bagaimanapun juga doktrin tersebut adalah sebagai bukti keimanan pemeluk agama masing-masing, dan


(11)

bagaimanapun juga istilah kerukunan umat beragama adalah untuk menghilangkan rasa saling curiga dan menimbulkan rasa tentram terhadap sesama umat manusia.

Dalam berbagai tempat peribadatan orang Tionghoa tentunya kita akan menemui ciri dan kekhasan masing-masing, baik itu dalam segi bangunan, simbol, tempat atau bahkan sesuatu (Dewa atau yang dianggap sebagai yang dituakan) yang diagungkan. Karena antara klenteng yang satu dengan yang lain pengagungan dewa tidak ada yang sama1, begitu pula mengenai berbagai patung-patung yang terdapat dalam klenteng. Nama klenteng pada masa pemerintahan Orde Baru sempat dihilangkan dan harus diganti dengan nama wihara, hal itu dikarenakan pemerintah melakukan diskriminasi terhadap warga Tionghoa, bahkan jika mereka ingin melaksanakan perayaan yang berbau etnis Tiongoa, pemerintah tidak memperbolehkanya, seperti Cap Gomeh, Imlek dan lain-lain2.

Meskipun istilah Klenteng hanya terdapat di Indonesia, namun klenteng adalah sebagai sarana pemersatu dan kebersamaan warga keturunan Tionghoa. Meski mereka (orang Tionghoa) berbeda agama dan keyakinan, namun warga keturunan dapat bersama dan rukun. Seharusnya ini dapat dijadikan contoh oleh banyak orang tentang bagaimana cara untuk hidup rukun damai meski berbeda agama. Bukankah Indonesia sendiri mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Hal ini yang harusnya disadari oleh

1

Karena dalam klenteng kerapkali berkenaan dengan dewa dewi yang di agungkan di dalamnya misalnya klenteng Kwan Sing Bio dewa yang di agungkan adalah Kwan Sing Tee Koen sedangkan Klenteng sedangkan klenteng Tjoe Ling Kiong dewa yang diagungkan adalah Thian Sang Seng Bo, yang terletak di depan alun-alun Tuban.

2

Untuk pembahasan lebih lanjut tentang diskriminasi keturunan Tionghoa baca Leo Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa. Jakarta, LP3ES : 2002. h. 16


(12)

semua kalangan, bahwa perbedaan bukan berarti bahwa kita tidak mengenal satu dengan yang lain. Sebagaimana di dalam klenteng akan banyak kita temui tentang berbagai patung yang disembah oleh penganut agama masing-masing akan tetapi mereka tetap menghormati dan menjaga kekhusu’an ibadah penganut agama lain tanpa mengusiknya.

Selain itu klenteng dapat juga digunakan sebagai sarana dan tempat berbagai kegiatan, baik tradisi agama maupun kebudayaan bagi warga Tionghoa. Ibadah adalah sebagai institusi publik dan merupakan fokus peribadatan suatu komunitas, dengan begitu pengaruh tempat peribadatan akan menyebar luas kepada seluruh umat. Seseorang yang melakukan peribadatan secara individu adalah sebagai sebuah konsekuensi dari kenyataan bahwa ia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah komunitas sosial, organisasi, yang tradisinya disimbolisasikan dan dirayakan dalam ritus-ritus, ibadah dan kepercayaan kolektif.3 Selain itu tentunya sebuah tempat ibadah akan dapat memberi kontribusi terhadap masyarakat sekitar baik dari segi sosial maupun moral, karena bagaimanapun juga akan membawa dampak tersendiri terhadap para penganut dan anggotanya.

Masyarakat awam umumnya hanya tahu, bahwa klenteng adalah tempat ibadah orang-orang Tionghoa, dan terkadang yang mereka tahu bahwa klenteng adalah tempat persembahyangan orang-orang Tionghoa yang menyembah patung

3

. Azumardi Azra (ed) Agama Dalam Keragaman Etnik Di Indonesia. Jakarta. Litbang Depag RI 1998. h.xv


(13)

dewa-dewa. Tanpa mengetahui bahwa dalam klenteng tersebut terdapat tiga ajaran agama atau Tri Dharma

Tata letak klenteng tentunya mempunyai maksud dan tujuan, begitu juga dengan segala pernak perniknya, bangunan dengan ciri khas membubung ke atas dengan dua ekor naga di atasnya, baik di klenteng itu sendiri maupun di pintu gerbangnya.

Klenteng Kwan Sing Bio adalah sebuah klenteng yang terbesar di wilayah Jawa Timur dengan fasilitas bangunan megah di dalamnya. Hal ini memungkinkan untuk menampung pengunjung yang datang dalam acara keagamaan maupun yang lain ke tempat ini.

Di Tuban, kota yang terkenal dengan sebutan kota Tuak (Tuak adalah semacam minuman yang memabukkan), terdapat bangunan Klenteng yang berada di depan pantai dengan jarak sekitar 10 meter tanpa adanya penghalang, seolah memberi kesan sangat istimewa. Selain itu patung kepiting raksasa yang terdapat di atas pintu gerbang ini dianggap sebagai keunikan tersendiri sehingga orang akan merasa aneh jika melihat kenyataan tersebut, karena patung tersebut hanya dapat ditemukan di klenteng Kwan Sing Bio Tuban. Sedangkan arti dari simbol tersebut adalah bahwa setiap pelajar yang masuk ke dalam klenteng tersebut lalu bersembahyang, maka cita-citanya akan terkabulkan dan menjadi orang sukses.

Dari sinilah penulis mengambil tema "Pengaruh Klenteng Kwan Sing Bio Terhadap Keberagamaan Warga Tionghoa". Guna mengetahui bagaimana


(14)

kontribusi pihak Klenteng Kwan Sing Bio terhadap keberagamaan anggotanya (umat Tri Dharma), khususnya warga Tionghoa.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasannya pada Klenteng Kwan Sing Bio serta pengaruhnya terhadap warga Tionghoa Tuban Jawa Timur yang terletak di depan lautan. Warga Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang berada di lingkungan klenteng Kwan Sing Bio.

Adapun masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kiprah klenteng Kwan Sing Bio terhadap keberagamaan warga Tionghoa kota Tuban.

2. Apa saja unsur-unsur klenteng Kwan Sing Bio

3. Kenapa mereka lebih sering mengunjungi klenteng Kwan Sing Bio.

C. Tinjauan Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah untuk digunakan sebagai pijakan dalam penulisan dalam mencari data-data yang penulis perlukan seperti data dari berbagai perpustakaan, catatan artikel dan lain-lain sebagaimana yang peneliti perlukan dan kemudian dijadikan sebagai referensi atau bahan rujukan, baik primer maupun sekunder guna untuk keperluan dan penyesuaian data yang peneliti peroleh dari lapangan, dan di antara data yang penulis dapat yaitu :


(15)

Hasil penelitian dari fakultas UI depok pada jurusan sastra Asia prodi sastra Cina. Dalam penelitian ini yang dibahas adalah upacara Sembahyang Rebutan di klenteng Kwan Sing Bio Tuban, tahun 1997. Penelitian ini membahas mengenai sistem upacara, tata upacara sembahyang rebutan, persiapannya, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara sembahyang rebutan.

Buku-buku yang membahas mengenai klenteng yaitu dengan judul Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta dan Banten karya dari Yoest tahun 2008, buku ini banyak membahas mengenai sejarah, keunikan bentuk bangunan, serta Shen (roh suci) yang dipuja dalam Klenteng, Vihara, dan Lithang, buku ini di terbitkan oleh PT Bhuana Ilmu Populer. Januari 2008

Buku kedua yaitu, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. seri gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta.4 Buku ini banyak menguraikan sejarah keberadaan orang Tionghoa di Batavia dan sejarah berdirinya klenteng yang berada di Jakarta sejak abad 17 hingga kemerdekaan 1945. Buku karya Cl, Salmon D. Lombad ini di terbitkan oleh: Yayasan Cipta Loka Caraka 2003, edisi kedua.

Dari hasil karya yang penulis sebut di atas tidak sedikitpun menyinggung mengenai bagaimana pengaruh klenteng sebagai sebuah tempat ibadah terhadap keberagamaan warga Tionghoa. Sedangkan tema yang penulis bahas adalah pengaruh klenteng terhadap tingkat keberagamaan warga Tionghoa, dan fokus bahasannya

4

. Buku yang berjumlah tiga jilid dan membahas tiga tempat ibadah yaitu, Masjid-Masjid Tertua di Jakarta, Gereja-gereja Tua di Jakarta, yang di tulis oleh A. Heuken. Sedangkan untuk Bangunan klenteng Tua, di tulis oleh C.I. Salmon. D Lombard.


(16)

adalah keberagamaan warga Tionghoa di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban Jawa Timur.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran secara obyekrif mengenai klenteng Kwan Sing Bio di kota Tuban yang meliputi.:

1. Apa yang dilakukan klenteng Kwan Sing Bio terhadap anggotanya.

2. Faktor apa yang membuat warga Tionghoa sering melakukan persembahyangan di klenteng Kwan Sing Bio.

Sedangkan yang menjadi objek penelitiannya adalah bagaimana klenteng sebagai teks keagamaan dan masyarakat pemeluk agama Tri Dharma.

E.Metodologi Penelitian.

Metode adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji suatu topik penelitian dan cara bagaimana kita mendapat sesuatu yang kita tuju dengan kerangka yang telah tersistem, baik dalam bidang keilmuan maupun yang lain. Penelitian ini menggunakan interaksionis simbolik,5 dengan menggunakan pendekatan psikologis untuk menganalisa, sebagaimana pendapat Glok dalam buku Psikologi Agama, bahwa

5

Interaksionis simbolik adalah bagaimana suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Lebih jelasnya lihat Dr. Deddy Mulyana, M.A., metode Penelitian Kualitatif , PT. Rosda Karya. Bandung, 2002.hal. 68.


(17)

untuk melihat tingkat religiusitas dapat di lihat dengan beberapa dimensi yaitu, Ritual, keyakinan, intelektual (pengetahuan), pengalaman (penghayatan) dan konsekuensi6.

Data yang diperoleh kemudian dipaparkan secara detil, guna menjelaskan mengenai apakah klenteng memberi pengaruh terhadap keberagamaan, sedangkan untuk mendapatkan data dalam penelitin ini, penulis malakukan library Risearch (studi kepustakaan) dan (Field Resarch) studi lapangan.

1. Penelusuran lewat library Research ( kepustakaan)

Penulis malakukan pencarian data yang ada kaitannya dengan apa yang penulis bahas dari berbagai perpustakaan, di antaranya perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu dan Budaya UI Depok, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan daerah kota Tuban maupun perpustakaan lain.

2. Penelitian lapangan ( field researsh)

Guna mendapatkan data dalam penulis skripsi ini penulis melakukan wawancara dengan nara sumber secara langsung dintaranya dengan:

• Nurdin Iskandar Pengurus klenteng Kwan Sing Bio bapak.

6

Jalaludin Rahmat, Psikologi Agama, ( Raja Grafindo Persada. 2004), cet, ke 8, hal 43-47.


(18)

• Handjono Tanzah selaku ketua satu, hal ini untuk mendapatkan informasi mengenai sejarah klenteng Kwan Sing Bio.

• Pengunjung klenteng Kwan Sing Bio.

Mengobservasi atau mengamati dengan cara mendatangi langsung tempat penelitian. Hal ini untuk mendapatkan sumber langsung, tujuanya agar dapat secara langsung mengetahui dan mengamati kegiatan persembahyangannya. Dokumentasi serta wawancara dengan responden ataupun umat di luar klenteng. Hal ini menurut Soerjono Soekanto disebut dengan metode kualitatif, yaitu suatu metode yang mengutamakan bahan yang sukar diukur dengan angka-angka atau ukuran lain yang bersifat eksak.7

Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati, pendekatan diarahkan secara holistik (utuh).8

F. Sistematika Penulisan

Dalam rangka penulisan hasil penelitian ini, guna untuk lebih memudahkan pembahasan, maka penulis akan membagi beberapa bab. Adapun pembahasannya yang akan di uraikan adalah meliputi beberapa bab, yaitu :

7

Suryono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2000. hal.48

8

Lexy. J. Mulung , M.A. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung, P.T. Remaja Rosda Karya). 2007. hal. 4.


(19)

Bab I : Membahas tentang latarbelakang masalah yang mana penulis menguraikan secara singkat apa yang akan penulis bahas yang di lanjutkan dengan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

bab II : Landasan Teori yang berisikan mengenai pengertian klenteng, sejarah Klenteng di Indonesia, fungsi klenteng, dan aktivitas dalam klenteng di Indonesia.

Bab III : Dalam bab ini penulis membahas mengenai gambaran umum mengenai kota Tuban, letak geografisnya, Sejarah Klenteng Kwan Sing Bio, kondisi keberadaan masyarakat Tionghoa, latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Bab IV : Menjelaskan hasil dari penelitiian yang meliputi sejarah klenteng Kwan Sing Bio, ekspresi keagamaan dalam klenteng Kwan Sing Bio

Bab V :Penutup

Sebagai bab penutup dari penulisan pada bab-bab sebelumnya dan kemudian menerangkan bagiaman kesimpulanya dan saran-saran.


(20)

Klenteng Kwan Sing Bio Serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Keberagamaan Masyarakat Tionghoa

Kota Tuban Jawa Timur

Hal Kata Pengantar ... I

Daftar Isi ... III Bab I. Pendahuluan.

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tinjauan Pustaka. ... 5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 6

E. Metodologi penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 8

Bab II Landasan Teori A. Pengertian Klenteng. ... 10

B. Sejarah klenteng di Indonesia. ... 15

C. Fungsi Klenteng. ... 23


(21)

Bab III Gambaran umum Kota Tuban

A. Letak geografis. ... 27

B. Letak Klenteng Kwan Sing Bio ... 34

C. Kondisi keberadaan masyarakat Tionghoa. ... 35

D. Secara umum kondisi wilayah Tuban ... 37

Bab IV Klenteng Kwan Sing Bio serta Pengaruhnya Terhadap Warga Tionghoa A. Sejarah berdirinya klenteng Kwan Sing Bio ... 41

B. Nilai-nilai Religiusitas Klenteng Kwan Sing Bio ... 43

C. Keberagamaan ... 51

Bab V. Penutup Kesimpulan ... 61


(22)

BAB II Klenteng

A. Pengertian Klenteng

Pada dasarnya sebuah tempat peribadatan adalah sebuah tempat yang di anggap suci oleh pemeluknya serta yang melakukan ibadah di dalamnya. Bangunan-bangunan itu bisa berupa masjid yang dianggap suci bagi umat Islam. Sebagaimana pendapat Hough O'neil dalam Indonesian Heritage, menurutnya masjid dianggap suci dikarenakan yang mendirikan adalah orang-orang suci, yaitu wali sembilan (wali songo penyebar agama islam di Jawa) dan dianggap sebagai ilham atas keagamaan para wali di Demak9. Begitu pula dengan Klenteng dianggap suci bagi pemeluk Tri Dharma. Di dalamnya terdapat ritus-ritus upacara keagamaan. Menurut Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Antropologi disebutkan, dalam sistem religi terdapat tiga unsur yaitu keyakinan, upacara keagamaan, dan umat keagamaan. Sedangkan dalam sistem upacara terdapat empat aspek yaitu: tempat, waktu, benda peralatan, dan pelaku upacara.

9

Hough O'neil, Asitektur. Pen: Grolier Internasional. Edisi Bahasa Indonesia buku antar bangsa. 2002. hal 94-95


(23)

Tempat, yang dimaksud Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Antropologi adalah meliputi berbagai tempat, dimana upacara tersebut dilakukan yaitu: candi, pura, makam, masjid, gereja, kuil, dan sebagainya.10 Hal ini dikarenakan bahwa seseorang yang sembahyang akan selalu melakukan upacara persembahyangan dengan membawa sesajen setiap berkunjung dalam klenteng, dan upacara itu sendiri biasanya dilakukan di sebuah tempat. Sebuah bangunan yang digunakan untuk menyembah dan bersujud oleh penyembah dan yang di sembah yang seolah-olah mereka dapat berkomunikasi dengan langsung adalah tempat yang suci yang harus bersih dari segala kotoran.

Sedangkan Menurut Eliade, bahwa kehidupan itu sendiri berpusat pada seputar yang sakral, sebuah simbol kenaikan yang vertikal, yang menghubungkan langit dan bumi, yang sakral dengan profan. Dalam beberapa kebudayaan suku, rumah ibadah yang berada di tengah-tengah desa disanggah oleh empat tiang, yang menggambarkan empat arah utama sementara atap rumahnya menyimbulkan kolong langit, dan ruangan terbuka memungkinkan orang yang bersembahyang berdiri seolah sebagai tiang vertikal yang sakral dan secara langsung menghadap ke Dewa.11 Biasanya ketika menghadap ke Dewa, para pengunjung memberikan sesajian, dengan harapan agar do'anya dikabulkan oleh dewa yang dituju.

Sebenarnya jika kita melihat dari segi istilah, nama Klenteng bukanlah berasal dari negeri Cina ataupun bahasa Cina. Akan tetapi berasal dari sebuah kata

10

Koentjaraningrat.pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Rieneka Cipta. 1990. hal 377-378

11

Daniel L.Pas, Seven Theories of Religion. Dari Animisme E.B.Taylor, Materialisme Karl Mark hingga Antrologi Budaya C.Geertz. (Yogyakarta: Qalam.2002), hal.281-282


(24)

istilah saja dari suara teng-teng yang berasal dari bunyi suara sebuah kentongan dalam tempat peribadatan orang Tionghoa12 yang dipukul ketika orang-orang Tionghoa tersebut akan melakukan peribadatan. Secara umum di Indonesia Klenteng adalah sebagai tempat peribadatan orang-orang Tionghoa baik yang beragama Tri Dharma (Taoisme, Konfusianisme dan Budhisme) atau salah satu dari ketiga agama itu. Namun jika kita melihat dalam bahasa Indonesia Klenteng adalah rumah ibadah orang Cina yang beragama Tri Dharma, yang memuja roh leluhur13, serta mengandung unsur-unsur ajaran Budha (Budhisme), Lao Tce (Taoisme), dan Konghucu (Konfucius).14

Sementara ada pula versi yang menyebut bahwa Klenteng itu berasal dari kata Tempat ibadah Guan Yin Ting atau Tempat Ibadah Dewi Guan yin (Kwan Im) yang diyakini sebagai dewi welas asih, sehingga dewi welas asih lebih dekat dengan orang-orang yang dalam kesusahan, sebagaimana patungnya yang berada di Glodok Jakarta. Kata Tionghoa Yin-Ting ini disebut dalam kata Indonesia menjadi Klen-Teng, yang kini menjadi lazim bagi semua tempat ibadah orang Tionghoa di Indonesia.15

Orang Indonesia umumnya biasa menyebut segala sesuatu tersebut diidentikkan dengan sesuatu itu sendiri semisal burung pipit karena suaranya, kodok

12

Tionghoa yang dimaksud adalah warga keturunan Cina yang menganut ajaran Tri Dharma (yaitu mereka yang menganut salah satu dari tiga ajaran Taoisme, Kong Hu Cuisme dan Budhis).

13

Untuk tempat pemujaan roh para leluhur baisanya bagi mereka yang sibuk atau tidak sempat untuk melakukan sembahyang kepada nenek moyang mereka. Lalu mereka menitipkan abu leluhur mereka di rumah abu agar abu para leluhur mereka ada yang mengurus dan menyembahyanginya, bisa juga karena abu-abu tersebut sudah tidak ada yang mengurus

14

. Kamus besar bahasa Indonesia balai Pustaka, edisi kedua cet ke 4. 1995

15


(25)

ngorek, tokek, begitu pula dengan sebutan Klenteng karena adanya suara yang di timbulkan pada saat orang-orang yang melakukan peribadatan selalu membunyikan loncengan atau klintingan dan menimbulkan suara klonteng-klonteng dari sinilah kemudian orang-orang Indonesia menyebut tempat ibadah bagi orang-orang Tionghoa dengan nama Klenteng. Kenapa dinamakan Klenteng? karena suara yang yang berasal dari bunyi sebuah lonceng yang lebih besar dan kemudian menghasilkan suara yang berbunyi Klenteng ketika di pukul pada waktu melakukan sembahyang. Sebagaimana dikatakan oleh seorang pakar kebudayaan Tionghoa Oei Bie Ing bahwa; " suku kata Klenteng lebih cenderung berasal dari bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh suara lonceng yang dibunyikan pada waktu persembahyangan".16

Unsur bangunan orang Tionghoa baik itu Klenteng, rumah, pertokoan, biasanya selalu menggunakan atau mengikuti aturan-aturan yang ada dan berlaku di Cina. Bangunan Klenteng misalnya selalu diidentikkan dari segi hiasan atau pernak-perniknya, ukiran, tulisan bahkan dengan tata letak bangunan pondasi bangunan arah atau menghadapnya bangunan. umumnya Klenteng mempunyai ruangan depan yang berbentuk pagoda, apabila ruangannya mencukupi maka dapatlah dilakukan upacara di sini yang mana ruangan tersebut langsung menuju kearah ruangan suci utama atau dewa yang berpintu ganda dengan dilukiskan adanya patung penjaga kuil tradisional.17 Sinerginya bangunan dengan para penghuninya atau dapat di katakan bagaimana memanfaatkan alam dengan lingkungan yang biasa di sebut dengan istilah

16

. Yoest.Riwayat Klenteng , Wihara, Lithang di Jakarta dan Banten. Jakarta P.T Buana Ilmu Populer 2008. hal. 142

17


(26)

Fengshui, merupakan landasan utama dalam setiap membangun baik itu rumah, pertokoan, ataupun tempat peribadatan.

Warga Tuban pada umumnya menyebut tempat ibadah orang-orang Tionghoa dengan sebutan klenteng. Begitu juga dengan kebanyakan orang Indonesia yang biasa menyebut Klenteng sebagai tempat ibadah orang-orang Tionghoa.18 Klenteng adalah sebagai tempat peribadatan orang-orang Tionghoa Tri Dharma (Taoisme, Konfusianisme maupun Budhisme), karena kebanyakan mereka (orang-orang Tionghoa) memeluk dari salah satu dari ajaran Tri Dharma, sebab ajaran tersebut dapat dengan mudah diserap oleh mereka. Selain Klenteng ada sebutan lain untuk tempat ibadah orang-orang Tionghoa di Indonesia seperti Bio, Lithang, ataupun Vihara. Meskipun ketiga unsur kepercayaan itu dianut oleh sebagaian besar warga Tionghoa, akan tetapi dalam kenyataannya mereka tidak ada yang fanatik terhadap salah satu dari ketiganya tersebut, hal inilah yang menjadikan mereka saling menghargai satu sama lain tanpa ada yang merasa terganggu dengan pemeluk agama lain, meski berada dalam satu atap bangunan yaitu Klenteng .

Desain dari bangunan klenteng lebih banyak mengambil unsur dari Cina bagaian Utara, yang mana bangunan tersebut lebih banyak menggunakan hiasan atau pernak pernik daripada Cina selatan. Sebab Cina selatan lebih sedikit hiasannya (baik berupa lampu maupun ukiran-ukiran) dari pada Cina daerah Utara19.

18Arsitektur Abad

17-19. Jakarta, PT. Widyadara, 2002. h. 56

19

Indonesian Heritage, Arsitektur Bangunan tempat ibadah P.T Grolier International.INC hal.115


(27)

Pada umumnya sebuah klenteng selalu terlihat menonjolkan unsur bangunan dari negeri Cina, baik dari segi arsitektur maupun hiasannya seperti ukiran-ukiran, patung dua ekor naga di atas atap bangunan, lampu Lion, Hio, pagoda yang diperuntukkan membakar uang kertas, altar untuk sembahyang, patung dewa-dewa, dan Toa Pe Kong yang dipuja di tempat tersebut20. Menurut keyakinan dan tujuan dari klenteng didirikan, biasanya untuk memberi penghormatan terhadap dewa tertentu atau yang lainnya sebagaimana Klenteng Ho An Kiong di Surabaya dengan nama Ma Co Po21 yang disesuaikan dengan nama dewi yang disembah dalam Klenteng tersebut yaitu dewi Thian Siang Bio22.

B. Sejarah Klenteng di Indonesia

Sejarah Klenteng di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari para pendatang yang datang dari Cina dan kultur yang dapat membentuk karakter Tionghoa. Mereka mulanya datang hanya untuk urusan dagang, akan tetapi lama kelamaan di antara mereka banyak yang tinggal dan menetap, bahkan menikahi warga setempat untuk kemudian menjadi sebagai warga negara Indonesia. Tentunya tidak akan dilupakan adalah budaya dan kepercayaannya yang dari negeri leluhur mereka, maka didirikanlah sebuah tempat peribadatan untuk komunitas orang-orang Cina. Pada saat kedatangan Cina ke Indonesia daerah yang pertama kali didatangi oleh pedagang

20

Toa Pe Kong adalah arwah leluhur yang di tuakan dalam Klenteng daerah masing-masing sesuai dengan sejarah berdirinya Klenteng tersebut didirikan, atau yang di anggap sebagai bayangan roh yang di jadikan sesembahan di klenteng

21

Mah Tjo Po yang diartikan sebagai Ibu yang keramat adalah untuk sebutan dewi penyelamat bagi para pelaut, karena dalam sejarahnya ia pernah menyelamatkan saudaranya dan para pelaut yang sedang berlayar melalui mimpi-mimpinya. Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah Mah Tjo Po lihat dalam buku Hari Raya Tionghoa. Jakarta J.B. Wolters Groningan: 1954. h. 35-36

22


(28)

Cina adalah Palembang, sebab waktu itu pusat perdagangan masih dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya.23 Pada masa kerajaan Sriwijaya, Palembang merupakan sebuah kerajaan yang tangguh pada masanya dalam menjalankan roda perekonomian, sehingga para pendatang dari luar daerah bahkan Cina yang datang ke Indonesia adalah untuk urusan dagang. Meskipun hanya sebagai perantara antara pedagang Eropa dengan para petani atau penduduk pribumi yang mau menjual barang dagangan mereka dengan para pembeli yang datang dari luar daerah, namun sistem perantara inilah yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan Jawa untuk memperkaya diri mereka. Hingga pada saat kedatangan para kolonial Belanda yang lebih menonjolkan rasisnya yang ahirnya para etnis Tionghoa ini dipisahkan dari penduduk pribumi, hal ini digunakan agar lebih mudah memberi pengawasan dalam menjalankan bisnisnya24.

1. Nama Klenteng menurut pemeluknya

Kedatangan para pedagang dari negeri Cina ke Indonesia tentunya membawa serta unsur-unsur budaya, agama, dan kesenian yang secara otomatis akan beradaptasi serta menyatu dan menjadi bagian dari Indonesia. Kemudian dikenallah dalam masyarakat Cina dengan adanya tiga agama (Tri Dharma) yaitu Konghucuisme, Taoisme, dan Budhis yang ketiganya terkenal dengan sebutan Tri Dharma atau tiga ajaran. Selain hal itu mereka juga dapat dengan mudah menerima tiga ajaran tersebut, karena dianggap sesuai dengan kepribadian orang-orang Tionghoa. Hal itulah yang

23

Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Jakarta. Pustaka Popular Obor: 2007 h.109

24

Peter Crey, Orang Cina, Bandar tol, Candu dan Perang Jawa, perubahan persepsi tentang Cina 1755-1825, pen. Komunitas Bambu, 2008, hal.x


(29)

dapat membentuk orang-orang Cina meskipun ajaran Budha dan Tao pada dinasti Han (205-220 SM) Tidak menjadi ajaran agama resmi pemerintah Cina,25 selain itu orang-orang Tionghoa juga dikenal dengan penyembahan terhadap para arwah leluhurnya. Sedangkan untuk menghormati para leluhur mereka yang telah meninggal, dibuatlah sebuah tempat atau bangunan untuk penyembahan atau penghormatan terhadap para arwah leluhur. Tempat yang lebih umum dalam kalangan masyarakat Indonesian, meskipun itu adalah sebuah tempat yang dikhususkan untuk pemeluk keyakinan masing-masing umat, namun penyebutan tetap juga sama yaitu:

Bio atau miao26 (Klenteng ) Vihara (Klenteng ) Kiong (Klenteng ) Klenteng --- Klenteng

Klenteng adalah sebutan umum, sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori :27

25

Drs. P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994. h.19

26

Bio adalah nama lain dari tempat peribadatan orang-orang Tionghoa (Cina).

27

http://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng"Kategori: Klenteng | Budaya Tionghoa


(30)

a. Nama klenteng berdasarkan umat

1. Konghucu

a. Litang = Lithang

(

)

b. Ci =Ce

( )

c. Miao =Bio

( )

2. Taoisme:

a. Gong= Kong

( )

b. Guan = Kuan

( )

3. Buddhisme:

a. Si = Si

( )

b. An = En

( )

b. Klenteng berdasarkan fungsi

1. Fungsi ibadah. ( untuk melakukan persembahyangan dan pemujaan terhadap roh suci dan para dewa)

2. Fungsi sosial masyarakat. ( sebagai wadah bagi para penganut Tri Dharma yang ingin menyalurkan bantuan ataupun kegiatan sosial lainnya seperti membantu kaum Dhuafa').

3. Fungsi politik. (politik yang dimaksud adalah keorganisasian dalam sistem kepengurusan).

c. Klenteng berdasarkan pemilik

1. Milik kekaisaran (pejabat). 2. Milik masyarakat umum.


(31)

3. Milik pribadi.

Namun jika Klenteng dilihat menurut agama, maka akan kita dapati beberapa golongan (nama) mengenai istilah Klenteng yang bisa digunakan orang Tionghoa sedunia. Klenteng menurut orang Tionghoa yaitu :28

Bio atau Miao untuk Khong hucu = Klenteng Sie atau Si untuk Buddhis = Klenteng Kiong atau Gong untuk Taoism = Klenteng Koan atau Guan untuk biara Taoism = Klenteng

Adalagi nama yang umum digunakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang khususnya untuk Klenteng etnis Tionghoa, namun tidak demikian halnya diluar negeri, karena pada mulanya semua itu hanyalah sebuah tempat kecil yang digunakan untuk menyembah abu leluhur mereka masing-masing, baik itu suatu marga, suku, atau ras, namun seiring dengan perjalanan waktu akhirnya dibangunlah sebuah tempat yang diperuntukkan sebagai tempat persembahyangan. Dan kemudian dinamakan tempat ibadah Tri Dharma untuk etnis Tionghoa,29 Yoest berpendapat bahwa semua bangunan tempat peribadatan yang berarsitekturkan Tionghoa adalah Klenteng yang usianya sudah mencapai ratusan tahun.

28

Yoest.Riwayat Klenteng , Wihara, Lithang di Jakarta dan Banten. Jakarta P.t Buana Ilmu Populer 2008. hal. 142

29


(32)

Perbedaan klenteng Tri dharma dan klenteng satu umat.

Yang dimaksud dengan klenteng Tri Dharma adalah bahwa dalam tempat ini terdapat tiga ajaran keyakinan yaitu Tao, Konghucu, dan Budha yang mana dalam tempat ini akan terdapat tiga patung suci yang menjadi dewa utamanya. Sedangkan klenteng yang hanya untuk satu umat, menurut Niu Julan seorang budayawan yang banyak meneliti kebudayaan Cina dan karya-karya mengenai sastra Cina. menurut pendapatnya, kuil Tionghoa terbagi menjadi tiga golongan. Sedangkan yang dimaksud kuil di sini adalah klenteng yang pada umumnya disebut oleh orang Indonesia.30

Tiga golongan yang dimaksud adalah :

1. Golongan Buddhis, golongan Budhis yang dimaksud adalah Biara dimana tempat ini dewa pujaan utamanya adalah sang Buddha Gautama atau disebut Buddha Sakyamuni, disamping itu biasanya juga terdapat juga patung Dewi Kwan Im, tempat-tempat kegiatan Rohani keagamaan Buddha, Ruang para Bikhu dan Bikhuni dimana mereka menjalankan kehidupan sebagai orang yang mengabdikan diri untuk sang Budha Gautama, hal ini sebagaimana terdapat di Jakarta tepatnya di Ancol yang lebih dikenal dengan sebutan klenteng Budha (klenteng Nyai Ronggeng).

2. Golongan Taois, untuk umat Taois yang pada umumnya dewa utamanya adalah Lao Tze, karena dia dianggap sebagai penyebar ajaran Tao, disamping patung Lao Zte sebagai dewa utama tempat ini biasanya ditaruh pula patung dewa-dewa

30


(33)

yang lain seperti Liang Bao Tian Zun dan Tai Shang Lao Jun yang menjadi kepercayan orang-orang Tionghoa.

3. golongan yang ketiga menurut Niu Julan adalah sebagai tempat untuk memberi penghormatan dan sebagai pengingat jasa-jasa seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan untuk masyarakat banyak, atau orang yang menempuh kehidupan yang suci sehingga kehidupan itu patut untuk dijadikan suri tauladan yang baik.

Sedangkan tempat ibadah untuk umat Konghucu biasa disebut dengan Bio dan Lithang yang pada umumnya patung dewa utamanya adalah Kong Fu Tze atau Kongcu, sedangkan aktivitasnya adalah mengajarkan ajaran Konghucu dan kebaktian agama Khonghucu dan dalam lithang tidak terdapat campuran agama Buddha dan Tao31.

Sebagaimana pendapat Niu Julan pada klenteng golongan ketiga, bahwa sebagai tempat untuk memberi penghormatan dan sebagai pengingat jasa-jasa seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan untuk masyarakat umum. Hal ini dapat dilihat di beberapa klenteng yang ada baik itu di Jawa, luar Jawa, maupun di Jakarta, klenteng didirikan dan dinamai sesuai dengan dewa, kongco atau toapekong yang disembah dalam Klenteng tersebut, seperti di Semarang Klenteng Sam Po Kong didirikan dengan tujuan untuk menghormati laksamana Cheng Ho atau disebut dengan Sam Po Kong atau Sam Po Tay Ji. Konon beliau adalah sebagai seorang panglima dari Cina yang melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk melakukan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara Asia yang mendarat

31


(34)

didaerah itu, karena salah satu anggotanya yang sakit parah, sedangkan perjalananya yang ditempuh masih jauh maka, Cheng Ho meninggalkan anggotanya yang sakit tersebut, dengan ditemani sepuluh orang guna untuk merawat Dampu Awang anak buah Cheng Ho yang sakit tersebut, sedangkan Cheng Ho sendiri harus melanjutkan perjalanan yang masih jauh.

Di Jakarta, tepatnya Klenteng Ancol didirikan untuk memperingati Sam Po Soei Soe sang juru masak dari Cheng Ho yang menikah dengan seorang penari ronggeng di daerah tersebut ( klenteng ini dikenal juga dengan nama klenteng Nyai Ronggeng).32 Sam Po Soei Soe dianggap sebagai toapekong di tempat tersebut, maka dibangunlah sebuah tempat peribadatan untuk mengenang jasa-jasanya. Klenteng ini dalam setiap upacara tidak pernah ada dalam persembahannya daging babi dan pete, karena pada zaman dulu ketika ada seseorang yang melakukan peribadatan di tempat itu tiba-tiba altar tempat persembahan tersebut bergetar dan memorak-morandakan semua persembahan yang ada, baru kemudian setelah persembahannya tidak ada daging babi dan pete dalam tempatnya (altar) menjadi normal kembali, dan hingga kini Klenteng Sam Po Soei Soe tidak terdapat daging babi dalam setiap altar persembahan dalam persembahyangan33.

II. Ciri khas Klenteng

32

Prof. Kong Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Jakarta : Pustaka Populer Obor edisi ke 3. 2007. hal.176

33

Wawancara dengan Jurianto seorang juru kunci makam Dampu Awang yang bertugas di klenteng Sam Po Soei Soe Ancol Jakarta utara, pada 25 April 2008


(35)

Secara umum Klenteng memiliki ruangan depan yang berbentuk pagoda yang digunakan untuk membakar dupa, kemudian dilanjutkan menuju ruang berikutnya dan pada akhirnya menuju ruangan suci yang setiap pintu biasanya terdapat lukisan atau patung sebagai istilah malaikat penjaga pintu kuil tradisional. Ciri umum lain dapat kita temui bahwa dalam setiap klenteng terdapat ruangan suci yaitu: 34

1. Altar utama dengan patung dewa utama kuil yang terkadang diapit oleh para pendamping.

2. Meja altar yang terletak didepan altar utama tempat persembahan diletakkan.

3. Lampu yang terus menyala, lampu ini ada dua yaitu listrik dan lampu minyak.35

4. Altar tambahan dengan dewa-dewa pembantu.

5. Wadah yang berisi pasir tempat batang dupa ditancapkan oleh orang yang bersembahyang. Dupa dimaksudkan untuk memberitahukan kehadiran para pemuja dan pengundang terhadap dewa-dewa untuk mendengarkan do’a-do’a mereka.

6. Tiang pengapit altar beragam hias ular naga, makhluk mitos ini digambarkan sedang memuntahkan mutiara ke dalam altar.

34

James J.Fox, dalam Agama dan Upacara pen: Indonesian Heritage vol:9 hal.57

35

Konon jika ada orang yang beramal maka disarankan untuk menambah minyak pada lampu tersebut, agar jalan kehidupanya manjadi lebih terang, usahanya tetap lancara dan sebainya.


(36)

Dari gambaran yang dipaparkan tersebut dapat dilihat bahwa Klenteng hampir secara keseluruhan mengambil unsur arsitektur segi bangunan yang tidak jauh dari negeri Cina, yang kemudian dikombinasikan dengan unsur kebudayaan lokal dengan tujuan agar dengan mudah diterima oleh masyarakat lokal. Tujuan dibangunya Klenteng di Indonesia pada mulanya diperuntukkan kepada para nelayan, tukang besi, dan petani. Akan tetapi dalam perkembangannya karena semakin banyaknya warga yang ikut sembahyang akhirnya klenteng dipergunakan untuk kalangan umum yang ingin melakukan persembahyangan di tempat tersebut.

C. Fungsi Klenteng

Mengacu pada pendapat M.E. Spiro, yang mengatakan bahwa fungsi adalah sebagai suatu hubungan guna antara suatu hal dengan sesuatu yang tertentu.36 Dari hasil hubungan inilah kemudian menghasilkan suatu manfaat tersendiri yang ahirnya dinamai sebagai fungsi.

Setiap organisasi, lembaga, atau kelompok sekalipun tentunya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing. Seperti masjid yang dianggap suci oleh orang-orang muslim, digunakan pula untuk melakukan peribadatan seperti, shalat lima waktu, sholat jum’at dan kegiatan keagamaan maupun sosial lainnya. Gereja, digunakan atau difungsikan oleh jemaatnya untuk melakukan ibadat oleh para jemaatnya, sebagaimana pada hari minggu dan hari-hari kebesaran umat Kristen

36


(37)

lainnya, seperti peraayaan peringatan jumat agung yang jatuh pada tanggal 22 maret 2008 di semua gereja di Indonesia. Pura untuk persembahyangan bagi umat Hindu dan hari-hari besar keagamaan Hindu lainnya. Dan demikian halnya dengan sebuah Klenteng, sebagai sebuah tempat peribadatan orang Tionghoa, Klenteng juga mempunyai maksud dan tujuan yang tidak jauh berbeda dengan yang lainnya yaitu Klenteng :

a Sebagai tempat peribadatan agar umatnya dapat melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan dengan khusuk dan tenang.

b Di samping sebagai tempat yang amat sakral dan suci bagi pemeluknya klenteng adalah sebagai tempat untuk melakukan sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, para dewa, arwah leluhur, sehingga tidak seorang pun dapat melakukan hal-hal atau perbuatan yang tidak baik dan tidak bermoral saat mengunjungi Klenteng .

c Tempat kebaktian kepada para Nabi dan Para Suci yang berlandaskan tata cara upacara dengan landasan rituil bercorak khas Confusianis.37 d Tempat untuk bertemunya seorang pemuja dengan yang dipuja.

Di antara beberapa fungsi tersebut di atas, pada mulanya di Tiongkok klenteng digunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan maupun sosial. Pada waktu itu, klenteng digunakan oleh warga untuk melakukan musyawarah

37

Murtiko, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang, dan Tempat Ibadah Tri Dharma Se-Jawa (Empeh Wong Kam Fu, 1980). Hal. 100


(38)

guna pembangunan irigasi sawah atau acara keagamaan dan berbagai kegiatan yang akan dilakukan, seperti akan diadakannya upacara perayaan atau akan mengadakan kegiatan sosial keagamaan. Jika dalam klenteng itu terdapat seseorang yang berdoa dan meminta sesuatu, lalu terkabulkan permintaan orang tersebut, maka klenteng difungsikan sebagai tempat untuk meminta. Bahkan, meminta perlindungan kepada salah satu dewa pelindung, seperti dewa pelindung laut yang biasa dilakukan oleh para pelaut, mereka akan memuja dewa penguasa laut agar diberi keselamatan ketika mereka di lautan atau sedang berlayar, baik itu berupa mara bahaya keganasan ombak maupun angin laut yang mengancam jiwa mereka, bahkan pemujaan pada dewa-dewa pemberi keselamatan dan pemberi keberuntungan agar mereka selamat di dunia ini maupun di akhirat nanti.

D. Keberagamaan

Keberagamaan38 tidak terlepas dari sikap seseorang dalam beragama, karena sikap itu sendiri merupakan suatu rangkaian yang terdapat pada seseorang dengan berbagai faktor, seperti lingkungan dan kepribadian seseorang. Kita akan mempunyai sikap jika kita sudah mempunyai persepsi dan penilaian seseorang terhadap suatu obyek.

38

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan, bahwa hal itu berkaitan dengan segala bentuk peribadatan. Lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal


(39)

Persembahyangan atau ibadah para pemeluk agama masing-masing, dilakukan oleh setiap orang dengan mengikuti keyakinan yang dianut oleh masing-masing umat sesuai dengan keyakinannya.

Sebagaimana tempat peribadatan agama lain, semua aktivitas baik keagamaan maupun kegiatan sosial keagamaan yang lain dapat dilakukan di dalam tempat tersebut. Akan tetapi dalam masyarakat Tionghoa tidak diperbolehkan untuk ditiru atau dimanfaatkan ketika mereka perlu, seorang pejabat agama biasanya hanya berlaku sebagai pelaksana saja pada tugas tertentu, dan dia tidak diperbolehkan melakukan tugas yang tidak menjadi kewajibannya. Meskipun di dalam satu bangunan klenteng terdapat berbagai umat agama atau keyakinan yang saling berdampingan beberapa kelompok, akan tetapi kelompok tertentu menginginkan bahwa dalam upacara tertentu, misalnya upacara kematian agar dilaksanakan oleh seorang pendeta Tao,39karena mereka beranggapan bahwa pendeta Tao lah yang pantas memimpin upacara ini. Keinginan yang demikian adalah sebagai sesuatu yang wajar dan berarti masih menempatkan tugas dan kewajiban tokoh agama masing-masing sesuai dengan fungsinya.

Kegiatan yang bersifat rohani atau sembahyang terhadap dewa-dewa kadang tidak harus dilakukan secara bersama-sama dengan orang banyak, karena hal itu hanya bersifat pribadi yang berhubungan antara yang disembah dengan penyembahnya. Kalaupun ada itu biasanya berbarengan dengan hari-hari besar umat beragama tersebut. Sedangkan kegiatan yang bersifat rutinitas tentunya harus

39


(40)

mengikuti jadwal yang diberlakukan atau pada tanggal dan bulan tertentu sesuai dengan apa yang sudah biasa dan menjadi adat orang-orang etnis Tionghoa, misal upacara Imlek40, Cap Gomeh, ziarah kubur atau lebih umum dengan sebutan Ceng Beng.

Selain hari-hari yang dianggap suci, untuk melaksanakan sembahyang ada pula acara-acara yang sifatnya pribadi yang hanya menghubungkan antara umat dengan Tuhannya dan dapat dilakukan kapan saja tanpa menunggu pada waktu-waktu tertentu. Artinya mereka bisa datang kapan saja setiap saat atau bahkan tiap hari karena tidak ada larangan bagi warga ataupun umat untuk melakukan persembahyangan terhadap sesuatau yang di yakininya. Menurut, ibu Dewi salah satu umat anggota klenteng Kwan Sing Bio ibadah bagi dirinya adalah hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya41.

40

Imlek adalah tahun baru Cina, biasanya mereka saling berkunjung ke sanak keluarga, dan di tahun baru inilah biasanya para orang tua membagi-bagi angpao yang berarti bungkusan merah, di dalamnya biasanya terdapat sejumlah mata uang.

Cap Go Meh yaitu perayaan barongsai dengan simbol naga yang dianggap sebagai binatang yang berjasa.

Tsing Bing yaitu upacara sembahyang di kuburan dengan memberikan persembahan-persembahan yang diletakkan di atas kuburan.

41


(41)

Bab III

Gambaran umum kota Tuban

A.Letak geografis kota Tuban

Tuban adalah sebagai wilayah yang bervariatif hal ini dimulai dengan daerah dataran genangan air pantai, genaganan aliran sungai, bengawan Solo, dan perbukitan gunung kapur, selain itu Tuban termasuk daerah yang beriklim tropis. Wilayah perbukitan di Tuban dengan curah hujan yang rendah inilah yang membuat daerah ini sulit untuk mengembangkan sektor pertanian sehingga untuk wilayah perbukitan atau yang juga termasuk tanah berkapur dengan tingkat kesuburan yang rendah.42

Tuban provinsi Jawa Timur adalah termasuk wilayah pada jalur pantura (pantai utara Jawa) antar Surabaya-Jakarta, wilayah Tuban sendiri berada pada posisi koordinat batas wilayah antara :

Sebelah utara : Laut Jawa

Sebelah Timur : kabupaten Lamongan Sebelah Selatan : Kabupaten Bojonegoro

Sebelah Barat : Kabupaten Rembang dan Blora (Jawa Tengah) Jarak antara Tuban dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Timur Sekitar 103 km atau jarak tempuh satu hingga dua jam. Secara administratif Tuban di bagi menjadi 20

42


(42)

kecamatan dengan 328 desa atau kelurahan, dengan luas wilayah sekitar 183.994.562 hektare untuk wilayah lautan seluas 22.608 km.43

Jalur pantura yang terletak di kota Tuban, dan yang menghubungkan antara pulau Jawa dengan ibu kota Jakarta mempunyai sejarah tersendiri tentang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia, di mana kota Tuban dulunya adalah termasuk salah satu pelabuhan yang seringkali di singgahi oleh para pedagang khususnya pedagang dari Tionghoa, di samping itu kota Tuban yang terletak di pantai utara Jawa Timur itu telah mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Tuban mulai dikenal dalam sumber-sumber tertulis yang dimulai pada masa Hindu Buddha pada masa kerajaan Majapahit dan Ranggalawe sebagai adipati Tuban yang ke dua pada waktu itu, hingga sampai pada perkembangan Islam di Jawa44. Datangnya Islam di Tuban dapat diindikasikan dengan adanya salah satu makam wali songo di kota tersebut, yaitu makam Sunan Bonang yang terletak di dekat alun-alun dan beberapa catatan sejarah lainya seperti penemuan-penemuan bukti tertulis berupa prasasti yang dikenal dengan sebutan kambangputih yang di duga berasal dari tahun 1052 M, prasasti kedua berupa prasasti malenga 45.

Kota Tuban sebagai salah satu daerah yang didatangi oleh pedagang dari berbagai negara termasuk bangsa Tionghoa sebelum kedatangan bangsa-bangsa penjajah, dengan ditemukan prasasti-prasasti dan alun-alun yang menjadi identitas kota dibeberapa daerah di Jawa Timur. Sebagai salah satu bukti sejarah, bahwa kota

43

Selayang pandang kabupaten Tuban.

44

Edi Sedyawati dkk, h 2

45


(43)

Tuban telah ada sejak zaman kerajaan majapahit dan Ranggalawe sebagai adipatinya sebelum akhirnya diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Mataram. Peran alun-alun sebagai identitas kota Tuban sangatlah penting dalam pembentukan tata ruang kota, karena hal ini dapat di gambarkan dengan adanya pengaruh kerajaan Hindu dengan adanya alun-alun serta kantor bupatinya, pengaruh perdagangan Asia dilihat dengan adanya bangunan Klenteng, pasar, dan kampung pecinan.46 Dulunya kampung ini terletak di dekat alun-alun, serta adanya pengaruh kedatangan Islam dapat dilihat dengan keberadaanya makam Sunan Bonang, bangunan masjid agung Kota Tuban, serta kantor birokrasi yang semuanya berada di sekitar alun-alun Tuban.

1. Struktur Perkotaan Dalam kota Tuban.

Kota adalah dapat dipandang sebagai pusat terjadinya sebuah urbanisasai dan modernisasi, karena kota dianggap sebagai sebuah tempat yang sangat cepat untuk menyerap sebuah perubahan-perubahan yang terjadi, di samping itu kota adalah sebagai pusat yang menstimulasai serta yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang disyaratkan untuk tinggal landas ke tempat yang lebih luas, karena ciri umum kota adalah penduduknya mayoritas berpenghasilan non Agraris47.

Sedangkan menurut Bintarto dalam buku Sosiologi Kota Untuk Arsitek 2007. kota adalah suatu sistem jaringan antara kehidupan manusia dan tingkat kepadatan

46

Istilah pecianan saat ini sudah tidak ada lagi, karena sudah membaurnya warga pribumi dan non pribumi atau keturunan Cina.

47


(44)

penduduk serta kehidupan yang heterogen dengan berbagai coraknya yang ditandai dengan kehidupan yang materialilstis,48 atau dapat juga diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan sebagai unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala pemusatan penduduk yang semakin besar dengan corak penduduk yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah yang berada di belakangnya atau pinggiran. Hal inilah yang dapat membuat masyarakat di tuntut untuk berpikir secara kreatif guna untuk mendapatkan kesibukan yang dapat menghasilakan uang. Kehidupan di perkotaan tentunya berbeda dengan kehidupan di pedesaan yang biasanya cukup hanya dengan mendengar radio, menonton televisi, dan jika menginginkan untuk berbelanja kadang mereka harus berjalan jauh atau meski naik kendaraan umum pun tidak banyak terfasilitasi dengan adanya kendaraan tersebut. Berbeda dengan di perkotaan, seseorang akan dengan sangat mudah mendapatkan suatu hiburan tempat perbelanjan, gedung bioskop dan akses kendaraan umum yang begitu banyak dan mudah.

Unsur-unsur perkotaan yang membentuk dalam pembangunan identitas perkotaan dalam kota Tuban sejak abad 19 hingga sekarang di antaranya yaitu,49

1. Alun-alun yang letaknya berada di tengah-tengah kota dan sebagai ruang luar utama kota dan sekaligus sebagai ciri khas kota Tuban dan beberapa kota di Jawa Timur.

48

Drs. Paulus Hariano, M.T. , Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2007. h.14

49

http://puslit.petra.ac.id~puslit/journals, Samuel Hartono, Dimensi Teknik Arsitektur Vol 3.no.1.Desember 2005. hal. 136


(45)

2. Bangunan pusat administrasi pemerintahan atau kantor Bupati, biasanya kantor-kantor Bupati pantai utara dihadapkan ke laut ( yang terletak di sebelah selatan alun-alun ).

3. Bangunan pusat administrasi pemerintahan atau kantor bupati, biasanya kantor-kantor bupati pantai utara dihadapkan ke laut ( yang terletak di sebelah selatan alun-alun ).

4. Pusat perpolitikan.

5. Tempat pusat perdagangan atau pasar yang tidak jauh dari pusat kota tersebut. 6. Daerah pecinan yang letaknya berada di sebelah utara alun-alun dengan di

tandai sebuah tempat ibadah atau Klenteng Tjoe Liong Kiong. Yang berada di Jl,Panglima Sudirman 104 Tuban.

Beberapa hal tersebut dapat dikatakan sebagai pembentuk identitas di kota Tuban. Karena tempat-tempat tersebut mempunyai sejarah tersendiri terhadap awal mula bagi terbentuknya kota Tuban. Sebuah kota tanpa adanya bukti sejarah, maka kita tidak akan tahu bagaimana asal usul terbentuknya kota tersebut, sehingga menjadi sebuah perkotaan. Sebagaimana Boom50 yang menjorok ke dalam (arah pantai) tempat ini letaknya tak jauh dari alun-alun dan berjarak kurang lebih hanya

50

Nama Boom adalah tempat yang menjorok ke arah lautan agar mempermudah kapal-kapal untuk membuang sauhnya dan menyandarkan kapal-kapal tersebut. letak boom yang dulunya adalah sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal para saudagar dari Tionghoa dan bangsa-bangsa lain, namun seiring perjalanan waktu tempat tersebut mengalami pendangkalan hingga akhirnya tongkang atau kapal-kapal besar tidak dapat berlabuh di tempat tersebut, dan sebagai antisipasi maka para saudagar yang datang dari luar negara asing pun mengambil langkah untuk memindahkan tempat pelabuhan ke daerah lain, dan hal itu tinggal kenangan.


(46)

50-an meter saja. Tempat ini dulunya adalah sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal para saudagar dari berbagai bangsa, namun sekarang kondisinya amat mengenaskan karena terkikis oleh ombak laut.

2. Sejarah kota Tuban

Dalam catatan berita Cina yang ditulis oleh Chau Ju kua mengenai negeri-negeri yang mengirimkan duta serta dengan membawa barang-barang baik itu sebagai upeti atau sebagai hadiah kepada raja Cina sudah terjadi sejak abad ke 5. Termasuk Indonesia sendiri yang seringkali mengirimkan utusan ke negeri Cina dengan membawa rempah-rempah dan barang-barang lain, seperti gading gajah, binatang langka, dan hasil bumi. Sumber berita Cina yang ditulis oleh Chao Ju kua tentang negera-negara yang mengirimkan dutanya bersamaan dengan barang bawaan masing-masing. Negeri Indonesia yang mulai menjalin hubungan dengan negeri Cina terjadi pada masa dinasti Tang pada tahun 1004-1022. di situ dikatakan, bahwa kerajaan Sriwijaya mengirimkan utusan dengan sejumlah barang bawaan sebagai hadiah untuk raja negeri Cina.51

3. Pemberian nama Tuban

51

Yusmaini Eriawati, Distribusi Barang Melalui Asia Yang Berlatar Politis dalam Berkala Arkeologi, Edisi Khusus ( Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta. 1994 ) hal. 156


(47)

berdasarkan legenda-legenda.52 1. Metu Banyu

Istilah potongan kata bahasa Jawa yaitu metu banyu (me tu ban yu) yang artinya keluar airnya. Pada waktu itu sesuai dengan petunjuk yang didapat Raden Dandang Wacana untuk membuka hutan Papringan untuk dijadikan sebuah negara dan pada waktu pembukaan hutan itulah muncul sumber air yang amat sejuk sehingga dengan spontanitas Raden Ariyo Dandang Wacana mengatakan Tuban (metu banyu) dan akhirnya beliau menamakannya Tuban

Raden Ariyo Dandang Wacana adalah putra dari Raden Ariyo Dandang Miring (sekitar tahun 1052) yang suka melakukan semedi atau tapa brata. Dalam tapa brata itu, beliau mendapat ilham (wangsit) bahwa tidak perbolehkan melanjutkan pemerintahan ayahandanya yang menjadi penguasa di daerah Gumenggeng

(sekarang Gumeng kecamatan Rengel). Pesan dalam wasiatnya yaitu, jika ingin cita-citanya yang mulia dan luhur terlaksana maka, ia harus membuka hutan papringan. Dan setelah ayahandanya wafat beliau melaksanakan wasiat tersebut dengan membuka hutan papringan yang membentang dari perbukitan hingga daerah pantai utara pulau Jawa. Ahirnya daerah tersebut di beri nama Tuban, karena terdapat sumber mata airnya dan kemudian beliau adalah sebagai bupati yang pertama di kota tersebut.

52


(48)

2. Watu Tiban.

Watu Tiban adalah sebuah batu milik kerajaan majapahit, yang pada waktu itu membawa semua harta kekayaanya ke Demak dan salah satunya adalah pusaka kerajaan yang berbentuk batu (lingga yoni) yang mana batu tersebut terjatuh di suatu tempat dan kemudian nama tempat jatuhnya batu pusaka tersebut dinamakan Tuban, dengan demikian nama Tuban berasal dari kata Wa (tu) Ti (ban).

3. Tubo

Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Tuban berasal dari kata Tubo yaitu sebuah tanaman yang dapat digunakan untuk membuat racun, hal ini dapat ditemui di sebelah barata kota Tuban yang barnama Jenu dimana antara Tubo dan Jenu mempunyai kesamaan arti, sedangklan Jenu sendiri adalah daerah pesisir yang mayoritas penduduknya nelayan yang sering menggunakan racun untuk menagkap ikan.

Dalam catatan sejarah Tuban adalah sebagai salah satu kota yang sering disinggahi oleh para pedagang atau para saudagar kaya yang hanya sekedar ingin singgah untuk menukar atau jual beli barang dagangan mereka. Tuban adalah sebagai daerah pesisir pantai yang sering di singgahi oleh para pendatang termasuk para pedagang dari Tionghoa. Kebanyakan mereka adalah pada waktu itu datang sebagai pedagang dan sebagai perantara, antara penduduk dengan orang-orang asing (pedagang Asia). Barang yang dicari oleh orang barat antara lain rempah-rempah ataupun hasil bumi yang banyak dicari oleh orang-orang barat termasuk juga


(49)

Belanda, yang menjajah Indonesia, selama berabad-abad hanya demi memperkaya diri dan memperbudak rakyat Indonesia.

Tuban yang dulunya masih di bawah kerajaan majapahit, adalah kota pesisir yang sering dijadikan sebagai pelabuhan kapal saudagar kaya dan para pedagang serta pelayaran ekspedisi Cina yang amat terkenal pada sekitar abad ke 15 dan16. Ekspedisi yang terkenal yaitu panglima Ceng Ho seorang tokoh legendaris dari negeri Cina yang berlayar ke berbagai daerah sambil menyebarkan agama islam yang ia anut. Meski banyak di antara para pembantunya yang tidak beragama Islam, dalam perkembangan selanjutnya kota Tuban mulai bertambah ramai dikunjungi oleh para pedagang. yang mana pada zaman kerajaan Sriwijaya, banyak menguasai perdagangan rempah-rempah, dan meskipun orang-orang Tionghoa hanya sebagai perantara dari petani ke pedagang yang datang dari Eropa dan Negara-negara lain (seperti Belanda dan Arab), meski demikian peran warga Tionghoa tidak dapat dilupakan, sebab keberadaanya adalah sebagai bukti sejarah bahwa Tuban sebagai daerah yang tidak pernah membeda-bedakan suku, ras, maupun agama.

B. Letak Klenteng Kwan Sing Bio

Keberadaan Klenteng yang menggunakan simbol kepiting pada pintu gerbangnya adalah salah satu ciri khas yang tidak di temui pada beberapa klenteng di Indonesia, bahkan di Asia ujar Hanjono Tanjah salah satu pengurus yang menjabat sebagai ketua 1 satu di klenteng Kwan Sing Bio. "Patung kepiting yang terdapat di


(50)

pintu gerbang utama ini adalah satu-satunya patung yang ada di Indonesia bahkan di Asia,"53 gerbang yang berupa patung ini dipugar pada tahun 1970. Selain itu Klenteng ini dapat dengan mudah dijangkau oleh kendaraan umum maupun pribadi. Letak yang amat strategis, inilah yang membuat Klenteng Kwan Sing Bio mudah untuk di jangkau, yaitu terletak di jalur pantura antara kota Semarang menuju Surabaya ataupun arah sebaliknya, melalui jalur pantura. Klenteng Kwan Sing Bio berada tepat di depan lautan dengan patung yang berbentuk binatang laut yaitu seekor kepiting yang berada di atas pintu gerbang utama. Dengan demikian akan terlihat sangat jelas karena keberadaanya tidak terhalang oleh satupun bangunan, rutenya pun juga mudah, karena simbol kepiting itu hanya terdapat di Tuban saja, tepatnya berada di Jl.R.E. Martadinata No.1. tak jauh dari pusat perkotaan atau sekitar 500 meter ke arah barat dari alun-alun kota Tuban atau kurang lebih 500 meter ke arah timur dari terminal.

C. Kondisi Keberadaan Masyarakat Tionghoa di Tuban

Peperangan yang terjadi di negeri Cina pada masa pemerintahan dinasti Ching yang membuat rakyat Cina pergi merantau keluar negeri mereka untuk mencari ketenangan karena mereka menganggap bahwa negara mereka sudah tidak nyaman lagi untuk mereka sehingga mereka harus pergi merantau.54

53

Wawancara pribadi dengan Hanjono Tanzah,

54

Yuni Sulistiyorini. Upacara Sembahyang Rebutan di Tempat Ibadah Tri Dharma Tuban. Fak. Sastra UI. 1996. hal.11


(51)

Kedatangan warga Tionghoa di sepanjang pantai utara pada awalnya hanya mencari uang, dan dengan memasuki wilayah berbagai bidang perdagangan.55 Tuban di mulai sejak terjadinya peperangan di Tiongkok sehingga mereka banyak yang keluar dari negerinya untuk mencari keamanan diri. Umumnya mereka menjalani profesi sebagai pedagang pada waktu itu, dengan melakukan berbagai bidang termasuk sebagai penyalur antara para petani dengan para pedagang atau makelar barang dagangan dengan hasil bumi dari penduduk pribumi yang hendak ditukar dengan barang lain atau dijual.

Keberadaan warga Tionghoa di kota Tuban tidak dapat di identifikasikan dari data kependudukan karena mereka sudah membaur dengan warga setempat sejak dahulu kala. Hal ini dapat di lihat dengan nama-nama yang dipakai oleh mereka yaitu dengan dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia, meskipun tidak dipungkiri masih menggunakan nama dengan bahasa Tionghoa. Meski demikian mereka tidak begitu mempedulikannya karena bagi mereka di mana mereka berada, maka di situlah ia akan berusaha untuk agar dapat di terima dan selain itu merka hanyalah secara kebetulan menjadi keturunan dari orang-orang Cina .

Membaurnya keturunan Tionghoa dengan masyarakat setempat adalah bukti bahwa di kota Tuban tidak ada diskriminasi antarwarga baik itu warga keturunan maupun non-keturunan, karena kalau dahulu di kenal dengan adanya kampung pecinan (dulu letaknya di wilayah yang berdekatan dengan Klenteng Tjoe Liong Kiong. Yang berada di Jl,Panglima Sudirman 104 Tuban) ataupun kampung Arab

55


(52)

(kampung tersebut letaknya berdekatan dengan makam sunan Bonang ). Akan tetapi nama-nama tempat itu sekarang sudah tidak ditemukan lagi istilah-istilah sebutan kampung Arab maupun Pecianan tersebut, karena semuanya sudah menyatu dan menjadi satu, sehingga tidak ada lagi nama-nama kampung tersebut, meskipun ada tetapi tidak seperti zaman dulu lagi.

Perdagangan yang berada di Jawa kuno ternyata sudah cukup meluas. Hal ini dapat di lihat dengan adanya data-data dan prasasti-prasasti atau bukti artefaktual yang dapat membantu untuk mengungkapkan hubungan perdagangan, yaitu berupa mata uang Cina, meski hal ini masih memungkinkan adanya beberapa kelemahan dan kelebihan di antaranya :56

1. Banyaknya mata uang yang ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia.

2. Peredaran mata uang logam dapat memberi kemudahan untuk memperoleh data dan satu kesamaan asal tahun dan instriksi yang tertulis.

3. Masa berlaku mata uang logam kadang melewati masa berkuasanya sang penguasa yang mencetak.

4. Terjadinya kemungkinan antara kehadiran masyarakat pencetaknya dengan mata uangnya lebih dahulu hadir masyarakatnya, sedang mata uang baru hadir sekian tahun kemudian.

56

Yuniarso K Adi dalam "Berkala Arkeologi, Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia kuna (edisi Khusus)", Pen: Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. 1994. Hal. 173-175


(53)

Kajian inskripsi mata uang logam, adalah sebagai upaya untuk dapat membantu memberikan kontribusi sejarah dalam pemberian data analisa mengenai sejarah hubungan perdagangan antara Cina dengan Indonesia, karena selama ini data yang diperoleh untuk mengungkapkan hubungan dagang antara Cina dan Indonesia hanya berupa data dan berita-berita Cina.57

Pada awalnya mereka (orang-orang Tionghoa) yang datang hanya kaum laki-laki saja, namun pada perkembangan selanjutnya mereka membawa serta keluarga bagi yang kembali lagi ke Cina. Namun bagi mereka yang tidak kembali lagi, mereka lebih memilih untuk tinggal dan menetap serta menikahi perempuan lokal dan kemudian mempunyai keturunan yang ahirnya anak cucunya tadi menjadi warga keturunan Tionghoa

D. Secara umum Kondisi wilayah Tuban

Wilayah kabupaten Tuban memang berada di daerah yang Tropis dan berbukit akan Tetapi hal ini menjadi sebuah hikmah tersendiri karena di balik itu terdapat banyak wisata, baik itu berbentuk Goa ataupun yang lain. Di samping itu daerah kabupaten Tuban dalam bidang perekonomian mempunyai beberapa potensi diantaranya :

57

Yuniarso K Adi dalam "Berkala Arkeologi, Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia kuna (edisi Khusus)", Pen: Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. 1994. Hal.175


(54)

a. Bidang pertanian58

Dalam bidang pertanian tanaman yang dapat dikembangkan :

1. Tanaman padi, tidak semua daerah yang dapat ditanami padi karena Tuban termasuk daerah yang banyak terdapat perbukitan kapur sedangkan wilayah yang dapat ditanami padi hanya terdapat di lokasi yang berdekatan dengan bengawan solo sebagaimana di kecamatan Rengel, Soko, dan Widang akan tetapi untuk daerah-daerah tertentu yang dapat ditanami padi dengan mengandalkan curah hujan dan sumber mata air.

2. Jagung, kacang tanah, dan kedelai jenis tanaman ini tidak banyak dikembangkan di wilayah yang berada di dataran rendah, sebagaiamana daerah yang dekat aliran bengawan Solo, akan tanaman jenis ini banyak di tanam oleh petani ketika musim penghujanya turun di daerah pegunungan, sedangkan untuk musim kemarau berada di daerah yang mengandalkan sumber mata air.

3. Perdagangan/pasar.

b. Bidang pariwisata

Potensi wisata yang dapat di kembangkan yaitu :

I. Wisata agama

a. Makam Sunan Bonang yang terletak di pusat kota. b. Klenteng Kwan Sing Bio terletak di pusat kota.

58


(55)

c. Makam sunan maulana Ibrahim Asmoro Qondi Terletak di kecamatan palang.

d. Makam Sunan Bejagung Kidul berada di kecamatan Semanding e. Makam Sunan Bejagung lor berada di kecamatan Semanding

II. Wisata alam meliputi

a. Goa Akbar yang terletak di desa kedungombo kecamatan semanding. Tepatnya di bawah pasar baru kota Tuban, daya tariknya yaitu berupa ruangan-ruangan besar yang dihubungkan dengan lorong-lorong yang indah hingga mencapai 1200 m dengan aliran sungai bawah tanah serta bermacam ikan hias yang indah.

b. Goa Ngerong terletak di kecamatan Rengel dengan pesonanya berupa aliran sungai yang mengalir dari dalam serta banyaknya ikan-ikan di dalamnya dan ribuan kelelawar yang menggelantung di atasnya.

c. Pantai Boom yang terletak di kelurahan Kutorejo kecamatan Tuban tepatnya sebelah utara alun-alun kota Tuban.

d. Air terjun Nglirip yang terletak di desa Tingkis kematan Singgahan.

c. Sumber Daya Alam

Sumber Daya Alam yang masih dapat dikembangkan hingga sekarang antara lain:


(56)

Kecamatan Soko, di desa Rahayu

Kecamatan Senori, di desa Wonosari dan Banyurip

d. Bidang Industri :

Selain beberapa potensi di atas kabupaten Tuban juga menjadi pusat industri. Industri yang sedang berkembang hingga sekarang yaitu :

1. Pabrik semen ( PT Semen Gresik) yang terletak di kecamatan Kerek. 2. Pabrik Kapur (gamping) terletak di kecamatan Plumpang, Rengel, soko. 3. Batik kerek (batik gedok) yang terletak di kecamatan Kerek.

Data kependudukan

Tabel penduduk berdasarkan kecamatan59 Jenis kelamin

No

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Kenduruan 13.588 13.428 27.014

2 Bangilan 21.859 22.284 44.143

3 Senori 19.883 20.154 40.037

4 Singgahan 20.191 19.950 40.141

5 Montong 25.896 25.615 51.511

6 Parengan 26.095 26.437 52.532

7 Soko 39.706 40.096 79.802

8 Rengel 28.471 28.754 57.225

9 Grabagan 18.435 18.248 36.683

10 Plumpang 35.813 36.331 72.144

11 Widang 23.771 24.988 48.759

12 Palang 35.848 36.933 72.781

13 Semanding 45.408 46.758 92.166

59

Data didapat dari kantor Badan Statistik kabupaten Tuban, data ini yang telah dikumpulkan oleh pihak terkait dari tahun 2003 s/d 2007.


(57)

14 Tuban 39.728 42.635 82.363

15 Jenu 23.111 23.971 47.082

16 Merakurak 25.783 26.771 52.554

17 Kerek 32.952 33.882 66.774

18 Tambakboyo 19.283 19.390 38.673

19 Jatirogo 27.496 27.441 54.937

20 Bancar 27.678 28.352 56.030

Jumlah / total 2007 550.995 562.356 1.113.351

Jumlah / total 2006 546.632 557.905 1.104.538

Jumlah / total 2005 539.660 556.135 1.095.795

Jumlah / total 2004 535.655 548.728 1.084.383

Jumlah / total 2003 530.117 546.086 1.076.203


(58)

(59)

Data kependudukan di kelurahan Karangsari kecamatan Tuban berdasarkan monografi kelurahan tahun 2007 sangat variatif. Sebagaimana halnya jumlah keagamaan di daerah lainnya, agama Islam menempati penduduk yang maoritas di kelurahan Karangsari, Islam 3.499 orang, Kristen protestan 30 orang, Katholik 38 orang, hindu 0, Budha 28 orang termasuk pemeluk agama Tao dan Khonghucu, dan penganut kepercayaan 0.

Berikut adalah tabel jumlah pemeluk keagamaan di kleurahan Karangsari, Tuban, Tabel I

No Pemeluk agama Jumlah

1 Islam 3.499

2 Kriten (protestan) 30

3 Katolik 38

4 Hindu -

5 Budha 28

6 Penganut kepercayaan -

Sedangkan sarana peribadatan desa Karangsari yang dominan dan banyak di pergunakan oleh masyarakat setempat adalah Musholla. Hal ini dilihat dari segi mayoritas pemeluk agama yang ada.


(60)

Tabel II

No Sarana peribadatan Jumlah

1 Masjid 1

2 Musholla 10

3 Gereja -

4 Klenteng 1

5 Pura -


(61)

BAB IV

Pembahasan hasil penelitian

A. Sejarah klenteng Kwan Sing Bio

Tragedi yang memilukan bagi warga Tionghoa di Batavia pada tanggal 9 Oktober 1740, yang memaksa warga Tionghoa untuk pergi mencari tempat yang lebih aman dari pembantaian kaum penjajah Belanda. Di mana kaum kolonial Belanda melakukan pembantaian habis-habisan terhadap warga Tionghoa yang berjumlah sekitar 10.000 jiwa. Mereka membunuh tanpa mengenal ampun dan kebiadabannya tidak pandang bulu, karena semua warga Tionghoa dibunuh, mulai usia balita sampai usia lanjut. Bahkan, warga Tionghoa yang sakit pun tak luput dari kebiadaban Belanda, baik laki-laki maupun perempuan.60 Pada waktu terjadi pembantaian warga Tionghoa di Batavia yang mayatnya banyak dibuang ke lautan, sehingga warga Tionghoa yang berada di wilayah barat ( Cirebon, Semarang dan sebagainya) termasuk warga Tionghoa yang di Tambakbayan (sekarang menjadi Tambakboyo) terpaksa mengungsi ke arah timur61.

Di antara pengungsi yang berasal dari Tambakboyo, ada seorang warga keturunan yang mempunyai tempat peribadatan. Tempat ibadah ini dibawa pula dalam pengungsian kearah timur dengan menggunakan perahu. Perahu-perahu pengangkut tempat ibadah ini terdampar di pantai Tuban, akibat terkena angin putar

60

Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta dan Banten, (Jakarta. 2008) Hal:45.

61

Wawancara dengan Nurdin Iskandar sekretaris dalam kepengurusan di klenteng Kwan Sing Bio Tuban.


(62)

yang sering terjadi di wilayah pantai tersebut, sehingga para kemudi perahu bingung dan dalam kebingungan itu, salah satu dari mereka kemudian berinisiatif melakukan ritual dengan menggunakan Pue62, untuk mengetahui apa kongco63 dari tempat ibadah yang dimuat ini mau di tempatkan di sini atau tidak. Dari sinilah kemudian didirikan klenteng KwanSing Bio.

Klenteng Kwan Sing Bio, dahulunya hanyalah sebuah tempat peribadatan kecil milik seorang saudagar kaya keturunan Tionghoa yang berasal dari desa Tambakboyo. Pada mulanya tempat ibadah ini dinamakan klenteng Tambakbayan sebab ia di bawa dari Tambakboyo, seiring dengan perjalanan waktu kemudian dinamakanlah klenteng Kwan Sing Bio, karena klenteng ini menghadap ke arah lautan Kwan Sing Bio sendiri artinya adalah tempat ibadah yang menghadap ke laut, yang sekarang menjadi sebuah bangunan megah di kota Tuban hingga sekarang.64 Menurut Nurdin Iskandar sekretaris umum klenteng, nama Kwan Sing Bio dimaksudkan untuk menunjukan bahwa Toapekongnya bernama Kwan Sing Tee koen, sehingga dinamakan Kwan Sing Bio.

Pada perkembangan selanjutnya, secara bertahap klenteng Kwan Sing Bio mengalami renovasi tambahan bangunan gedung, seperti ruang para pendeta, ruang administrasi, ruang untuk siraman rohani agama Taoism, Konfusianisme dan Budhisme serta gedung yang sekiranya diperlukan sepeti gedung penginapan tiga

62

Pue yaitu batang bamboo (bonggolnya) yang dibelah menjadi dua bagian.

63

Kongco yaitu sebuah patung yang dianggap sebagai manifestasi roh yang di tuakan di dalam klenteng.

64


(63)

lantai, ruang aula dan lapangan parkir, dapur umum, kios yang diperuntukkan bagi umat Tri Dharma yang kurang mampu. Ke depan jika telah terkumpul dana, maka akan segera dibangun sebuah pagoda. Ujar Handjono Tanzah selaku ketua II di klenteng Kwan Sing Bio65.

Klenteng yang berdiri pada tahun 1725 ini mempunyai luas klenteng ini sekitar 3 s/d 4 hektar meter persegi. Diantaranya sebagai sarana/ fasilitas bagi para pengunjung yang ingin melakukan ibadah, atau tamu jauh yang ingin menginap, biasanya ketika ulang tahunnya dari Kongco klenteng ini karena banyaknya tamu yang datang.

B. Nilai-Nilai Religiusitas Klenteng Kwan Sing Bio

Nilai religius akan terasa ketika umat Tri Dharma yang hendak sembahyang memasuki altar utama dalam klenteng Kwan Sing Bio, bagi umat Tri Dharma yang hendak bersembahyang ketika memasuki altar utama harus menyembah pada Tuhan alam semesta terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada para dewa dan Shen ( roh suci ) yang berada dalam klenteng Kwan Sing Bio.

Kedatangan para pengunjung ke klenteng Kwan Sing Bio, baik laki-laki maupun perempuan, usia anak-anak hingga usia dewasa, tak jarang pula pengunjung dari luar daerah penjuru negeri ini yang datang hanya sekedar menikmati keindahan bangunan budaya bangsa. Mayoritas mereka yang datang adalah untuk melakukan peribadatan dan berdoa agar apa yang diinginkanya terkabulkan.66 Bagi pengunjung

65

Wawancara dengan Handjono Tanzah pada 5 mei 2008

66

Wawancara dengan bapak Fredi salah satu pengurus bidang keagamaan dalam klenteng Kwan Sing Bio pada 5 juni 2008.


(64)

yang memanjatkan do'a dihadapan dewa utama atau Kongco Kwan Sing Tee koen, dengan mengocok lidi pue67 yang telah diberi angka-angka, sambil mengucapkan keinginannya dalam hati. Ritual ini telah menjadi keyakinan warga Tionghoa yang terbentuk sejak lama. Umat Tri Dharma berpendapat bahwa aura patung dari kongco Kwan Sing Tee Koen68 dapat memberi berkah kehidupan bagi mereka yang meyakininya.

Nuansa mistis begitu terasa di ruangan Khusus dalam klenteng, dimana patung dewa utama atau kongconya ditempatkan. Dalam ruangan tersebut suasananya begitu hening seoalah tanpa suara. Pengunjung yang meminta sesuatu kepada sang dewa utama, dengan tujuan terkabul permintaannya, seperti perlindungan dari mara bahaya, jodoh, pekerjaan dan lain-lain. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Johan, Sarjono dan Wijayanto, mereka datang bersembahyang ke klenteng Kwan Sing Bio untuk meminta (berdo'a ) agar dalam pekerjaanya jabatanya segera dinaikkan.69

Sepintas patung-patung yang terletak dalam klenteng Kwan Sing Bio hanyalah sebuah benda mati yang tidak berarti, namun hal itu tidaklah demikian bagi warga Tionghoa. Patung-patung yang berada tersebut adalah sebagai manifestasi dari para dewa dan Shen ( roh suci ) yang menempati klenteng Kwan Sing Bio. Karena, dengan demikian warga Tionghoa yang melakukan ibadah di klenteng Kwan Sing

67

Lidi Pue yaitu terbuat dari bamboo yang di belah, bentuknya hampir mirip dengan tusuk sate yang di taruh dalam tempat semacam botol terbuka yang terbuat dari bambu.

68

Kongco Kwan Sing Tee Koen adalah nama dari dewa yang dianggap sebagai penunggu klenteng tersebut.

69

Mereka adalah pengunjung yang datang dari kota Bojonegoro, kota yang terletak di sebelah barat dari wilayah Tuban.Wawancara dilakukan pada tanggal 25 mei 2008.


(1)

Tempat penginapan untuk para tamu Klenteng ketika hendak bermalam di klenteng, ini disediakan secara gratis oleh pihak Klenteng tanpa di pungut biaya sedikitpun

Dapur umum yang disediakan untuk para tamu dan pengurus yang ingin makan (makanan disediakan secara cuma-cuma)


(2)

Tampak pengunjung ketika melakukan sembahyang kepada malaikat penjaga pintu, dan sedikit terlihat punggung seorang jaamat yang sedang memberi sumbangan ke pengurus klenteng.


(3)

Penulis photo bersama dengan bapak Nurdin Iskandar selaku sekretaris umum klenteng Kwan Sing Bio.


(4)

(5)

Sumber dari ruang pengurus Klenteng Wakil Sekretaris Sekretaris Ketua Umum Wakil Ketua umum Ketua 11 Bendahara

Agama Bendahara Wakil

Dana Usaha Prasarana

& Kendaraa

Personalia Perlengkapan

Konsumsi & Peranan Wanita Pemuda, Olah Raga dan Gedung Ketua 1


(6)

Sekretaris membidangi :85 A. Humas.

B. Pelayanan Umat. C. Rukun Kematian

Sekretaris membidangi :86 C. Humas.

D. Pelayanan Umat. E. Rukun Kematian.

86