Fungsi Dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Suku Tionghoa Di Kota Sibolga 印尼北苏门答腊实武牙(SIBOLGA)的舞狮文化意义、作用分析

(1)

FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI BAGI MASYARAKAT SUKU TIONGHOA DI KOTA SIBOLGA

印尼北苏门答腊实武牙(SIBOLGA)的舞狮文化意义、作用分析

SKRIPSI SARJANA DISUSUN OLEH :

JUAN IVAR FLOBERT CHRISTIAN SITUMORANG

090710025

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa melimpahkan berkat karunia yang tak terhingga sehingga skripsi yang berjudul “Fungsi dan Makna Pertunjukan Barongsai di Kota Sibolga” ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara ( FIB USU ).

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. selaku Ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.

3. Ibu Dra.Nur Cahaya Bangun, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.


(3)

4. Bapak Drs. Muhammad Takari,M.Hum., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Cao Xia, MA laoshi selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Junita Ginting, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Dosen dan Staf Sastra Cina FIB USU yang telah banyak membantu dan memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Komunitas Barongsai di Kota Sibolga yang bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Bapak Mestika Nauli,S.E., selaku narasumber penulis dan membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10.Teristimewa untuk kedua orang tercinta, Bapak Sahat Situmorang,S.E. dan Ibu Ros Sitinjak, serta saudara-saudariku dimanapun berada. Terima kasih untuk dukungan doa,kasih sayang, serta dukungan moral dan materil yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Sahabat-sahabat yang sangat saya kasihi : Junita, Yaser, Alfian, Roy, Eirene, Anne, Fenny, Monika, Jun, Mayra, serta sahabat-sahabat


(4)

yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih untuk dukungan serta doa-doa kalian.

12.Teman-teman satu stambuk 2009 Sastra Cina FIB USU, Ikatan Mahasiswa Sastra Cina (HUASHAN), serta para senior dan adik-adik di Sastra Cina USU.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan, baik dari segi isi maupun bahasanya. Untuk itu penulis mengaharpkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2013


(5)

ABSTRACT

The title of this thesis is "Function and Meaning Performing chinese lion dance in tribal communities in Sibolga." Sibolga Chinese community do not understand the function and meaning of lion dance performances. This thesis is focused on functions such as the lion dance entertainment, symbolic representation, emotional disclosure, expression tionghoa cosmology. This thesis also focused on the meaning of meaning lion dance like color, meaning costumes, musical meaning, meaning lion emotions and ethical meaning.

Key words: Function lion, meaning lion, and the Chinese community in Sibolga.


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……… i

Abstract ………...iv

BAB I PENDAHULUAN……….………..…...1

1.1. Latar Belakang ………...………..………...1

1.2. Batasan Masalah ……….……….…….…………7

1.3. Rumusan Masalah……….….…...7

1.4. Tujuan Penelitian……….………...7

1.5. Manfaat Penelitian………….………...8

1.5.1 Manfaat teoritis ………8

1.5.2 Manfaat Praktis ………8

1.6. Konsep, Landasan Teori dan Tinjauan Pustaka………..…...9

1.6.1. Konsep………...………...……....……..…...9

1.6.1.1 Kebudayaan ………..9

1.6.1.2 Barongsai…….……….…... …...11

1.6.1.3 Pertunjukan ……….14

1.6.1.4 Masyarakat Tionghoa ……… 15

1.6.1.5 Kota Sibolga ……….. 17

1.6.2. Landasan Teori………..………. 18

1.6.2.1 Fungsionalisme Kebudayaan………..19

1.6.2.2 Teori Fungsionalisme………..19

1.6.2.3Teori Semiotik ………....21

1.6.3 Tinjauan Pustaka ………22

BAB II METODE PENELITIAN.………...22

2.1 Data dan Sumber Data ……….………...…...26

2.2 Teknik Pengumpulan Data ……….……26

2.2.1 Studi Kepustakaan (Library Research)…...26

2.2.2 Studi Lapangan (Field Research)………..……….….27

2.3 Teknik Analisis Data ……….27

BAB III GAMBARAN UMUM PERTUNJUKAN BARONGSAI..29

3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga……….29

3.2 Asal Usul Barongsai ……… 30


(7)

BAB IV FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI.. 38

4.1 Fungsi Barongsai ………. 39

4.1.1 Representasi Simbolis ……….. 41

4.1.2 Sebagai Hiburan ………... 41

4.1.3 Pengungkapan Emosional ……… 42

4.1.4 Ekspresi Kosmologi Tionghoa ………. 43

4.2 Makna Barongsai ……….. 45

4.2.1 Makna Warna ……….. 45

4.2.2 Makna Kostum Barongsai ……….. 51

4.2.3 Makna Pertunjukan Musik ………. 56

4.2.4 Makna Emosi Utama Barongsai ……….58

4.2.5 Makna Etika dalam pertunjukan Barongsai ………61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 63

5.1 Kesimpulan ………..63

5.2 Saran ………64


(8)

ABSTRACT

The title of this thesis is "Function and Meaning Performing chinese lion dance in tribal communities in Sibolga." Sibolga Chinese community do not understand the function and meaning of lion dance performances. This thesis is focused on functions such as the lion dance entertainment, symbolic representation, emotional disclosure, expression tionghoa cosmology. This thesis also focused on the meaning of meaning lion dance like color, meaning costumes, musical meaning, meaning lion emotions and ethical meaning.

Key words: Function lion, meaning lion, and the Chinese community in Sibolga.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya secara harfiah berasal dari bahasa latin yaitu colere yang memiliki arti bercocok-tanam (cultivation) atau disebut juga mengerjakan tanah, mengelolah, memelihara lading (Poerwanto, 2005:51). Selain itu budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia ( Koentjaraningrat, 1982:9).

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, di mana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1987:98), “Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”. Selanjutnya dikatakan Koentjaraningrat (1996:81), “…..bahwa setiap unsur kebudayaan universal tersebut tentu juga terdapat dalam ketiga wujud kebudayaan, yakni gagasan, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisik”.

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke


(10)

generasi. Menurut Taylor (1897), Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Jacobs dan Stern (1897), Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial. Koentjaraningrat juga berpendapat bahwa Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Setiap negara memiliki kebudayaan, misalnya Indonesia yang dikenal dengan kebudayaan timur. Kebudayaan timur adalah masyarakat masih memegang teguh adat istiadat, walaupun adat istiadat saat ini mulai semakin pudar dan berubah, dikarenakan masuknya kebudayaan barat ke


(11)

Indonesia. Selain itu kebudayaan timur dominan saling bergotong royong, kebersamaan menjadi hal yang paling utama.

Di Indonesia terdapat beranekaragam kebudayaan, setiap kebudayaan menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa tertentu. Kemajemukan kebudayaan itu sendiri tentu melahirkan orientasi yang majemuk. Oleh kerena itu, salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sumber nilai yang menjadi objek orientasi (Bangun, 1981:12). Masyarakat Tionghoa juga kaya akan kebudayaan, mereka selalu melestarikan kebudayaan yang diturunkan dari leluhur mereka yang terdahulu, misalnya kebudayaan tentang tarian barongsai.

Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Tionghoa. Menurut Hanggoro (2006) dalam jurnalnya Barongsai itu sendiri masuk ke Indonesia pada abad ke-17 Masehi ketika orang-orang dari Cina Selatan, bermigrasi ke Indonesia. Di Indonesia dalam perkembangan tarian barongsai pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan orde lama sampai orde baru. Semenjak tanggal 6 Desember 1967 Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat Tionghoa tidak lagi secara bebas merayakan Imlek dengan pertunjukkan barongsai. Koran-koran beraksara mandarin dilarang tampil dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Tionghoa pun ditutup. Bahkan pembatasan dan pelarangan terhadap etnis Tionghoa sampai pada hal yang bersifat pribadi, yaitu mengenai nama. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia.


(12)

Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan dan mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak terbuka, masyarakat Tionghoa masih melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian barongsai masih selalu dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.

Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tidak hanya kaum muda etnis Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi kaum muda pribumi juga ikut serta dalam memainkan pertunjukan barongsai. Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dipertunjukan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedung Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29 sampai 30 bulan Juni menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlek), barongsai dari keenam perguruan di Semarang dipentaskan.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (akrab dipanggil Gus Dur) merupakan pintu gerbang kebebasan masyarakat tionghoa di Indonesia. Almarhum Gus Dur adalah mantan Presiden Republik Indonesia (RI) yang memimpin bangsa ini antara tahun 1999 sampai dengan 2002. Walaupun pemerintahan Gus Dur berlangsung cepat,


(13)

sosok Gus Dur bukanlah nama baru bagi sejarah kehidupan masyarakat tionghoa di Indonesia.

Pada saat pemerintahan Gus Dur dikeluarkan aturan yang menetapkan Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia. Pemeluk agama Konghucu sejajar dengan umat Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha dalam mendapatkan pelayanan publik di wilayah Negara Republik Indonesia (NKRI). Sejak saat itu pula WNI keturunan etnis Tionghoa dibebaskan menampilkan atraksi barongsai di depan umum.

Menurut Harian Bukan Sekedar Berita (2010), Awal mula terbentuknya tarian barongsai sendiri dimulai saat pemerintahan Dinasti Nan Bei pada tahun 420-589 Masehi. Zhong Que, seorang panglima perang saat itu, berinisiatif membuat tiruan boneka singa. Boneka singa itu ditarikan guna mengusir pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Fan Yan. Raja ini ingin menyerang Raja Son Wen . Melihat rajanya yang kewalahan menghadapi serangan, Zhong Que pun berinisiatif membuat boneka singa dan menampilkan nya di depan pasukan gajah untuk menakut-nakuti gajah-gajah itu. Rencananya pun berhasil, mereka menang dalam peperangan. Sejak saat itulah, tarian barongsai mulai dikenal dan menjadi sebuah legenda yang diwariskan secara turun temurun. Lambat laun, barongsai pun menjadi sebuah kebudayaan yang harus dilestarikan.

Barongsai di Kota Sibolga juga merupakan pertunjukan yang sangat diminati masyarakat suku Tionghoa dan juga masyarakat pribumi. Di Kota


(14)

Sibolga, Pertunjukan barongsai sudah bisa disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya pada acara ritual keagamaan, barongsai juga tampil di acara-acara pernikahan, peresmian rumah baru, dan sebagainya. Namun, masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga belum memahami fungsi dan makna barongsai yang sesungguhnya. Mereka menganggap pertunjukan barongsai hanyalah pertunjukan hiburan biasa. Pertunjukan barongsai memilki berbagai fungsi yaitu mampu membawa keberuntungan, menolak bala dan sebagainya.

Penulis mengambil lokasi di Kota Sibolga dikarenakan Kota Sibolga merupakan daerah asal penulis dan juga dikarenakan penulis tertarik atas pertunjukan Barongsai setiap ditampilkan di acara-acara besar seperti Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (Dirgahayu R.I) ataupun hari besar lainnya di Kota Sibolga. Masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga bukan tidak memahami makna dan fungsi pertunjukan barongsai itu sendiri, tetapi mereka sudah lupa makna dan fungsi sebenarnya dari pertunjukan barongsai. Hal itulah yang membuat penulis melakukan penelitian di Kota Sibolga, supaya untuk generasi berikutnya pertunjukan barongsai tidak dipandang sebagai pertunjukan hiburan semata.

Untuk mengetahui lebih dalam, penulis berniat untuk melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada fungsi dan makna pertunjukan barongsai yang disajikan dalam budaya masyarakat Tionghoa.


(15)

Dalam latar belakang diatas, maka penulis tertarik membuat penelitian ini ke dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul “ Fungsi dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Suku Tionghoa di Kota Sibolga ”.

1.2 Batasan Masalah

Luasnya ruang lingkup tentang barongsai, maka penulis membatasi masalah pada fungsi dan makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Suku Tionghoa di Kota Sibolga.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Apakah fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga ?

2. Apakah makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga ?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:


(16)

1. Untuk mengetahui fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga.

2. Untuk mengetahui makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis disebut sebagai manfaat akademis, yakni manfaat yang dapat membantu untuk lebih memahami suatu konsep atau teori dalam suatu displin ilmu. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan para pembaca tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat Praktis merupakan manfaat yang bersifat terapan dan dapat digunakan untuk keperluan praktis, misalnya memecahkan suatu masalah, membuat keputusan, memperbaiki suatu program yang sedang berjalan. Dalam manfaat praktis, peneliti juga bersifat praktis, langsung pada persoalan dan spesifik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya, pada fungsi dan makna barongsai khususnya.


(17)

1.6 Konsep, Landasan Teori, dan Tinjauan Pustaka

Penjelasan dalam hal ini yang terdiri dari konsep, landasan teori dan tinjauan pustaka tentang Fungsi dan Makna tarian barongsai pada perayaan atau upacara budaya masyarakat Tionghoa.

1.6.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari kesalahan yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

1.6.1.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan


(18)

berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu:

(1) Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan.

(2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan .

(3) Normatif , yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.

(4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian dirikepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup.

(5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu system yang berpola dan teratur,

(6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (Nababan, 1984:49) .

Sementara itu Tylor (1871) mengatakan, “Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”.

Manusia pada hakikatnya selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik dari segi fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis dan ekonomis. Dari perbedaan itulah muncul interdependensi


(19)

yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya sehingga membuat manusia itu ingin selalu hidup berdampingan dengan orang lain. Hal inilah yang menimbulkan tata cara, perilaku dan pola hidup yang dalam waktu lama akan menjadi kebiasaan bersama (common habbit). Kemudian dari kebiasaan tersebut terciptalah suatu kebudayaan.

1.6.1.2 Barongsai

Barongsai adalah kesenian tradisional etnis tionghoa yang telah menjadi kesenian nasional dan bahkan internasional. Indonesia termasuk negara yang diperhitungkan pada setiap perlombaan barongsai tingkat internasional, karena atraksi barongsainya selalu mengundang decak kagum para penonton.

Barongsai juga merupakan tarian tradisional Cina dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi.

Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad ke-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan ini di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai berhenti pada tahun 1965 setelah Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan


(20)

tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta. Pesatnya perkembangan barongsai di Indonesia tidak hanya menjadikan kesenian asal negara tirai bambu ini sebagai hiburan, tapi telah didirikan induk organisasi resmi tingkat nasional, yakni Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN), pada 2006.

Seorang bijak pada masa Tiongkok kuno mengatakan bahwa bila ingin hiburan, maka bersenang-senanglah tetapi usahakanlah agar jangan sendirian, tetapi bersama-sama orang lain. Bermain barongsai jelas merupakan suatu hiburan, tetapi tak mungkin dilakukan sendirian. Permainannya juga dilakukan bersama-sama dan butuh kerja sama yang baik. Bila ada seorang pemain yang kurang bisa mengimbangi akan mempengaruhi gerakan orang lain. Jadi barongsai memadukan kebersamaan antar pemain dan juga hiburan bagi semua orang tionghoa dan kaum keturunannya di seluruh dunia. Barongsai sendiri berasal dari kata Barong dan Sai. Keunggulan sebuah barongsai jika bisa memainkan atraksi dengan tingkat kesulitan tinggi, keserasian gerak barong dari kerja sama antara pemain di kepala dan ekor, serta keserasian antara gerak barong dan musik pengiring.


(21)

Secara umum mungkin memang terdapat hubungan antara kata Barong yang ada di pulau Bali. Keduanya mempunyai perwujudan dan kemiripan. Kesimpulannya bahwa Barong berasal dari bahasa Indonesia dan kata Sai dalam bahasa Tionghoa dialek Fujian(Hokkian) berarti Singa.

Dalam bahasa Tionghoa Nasional atau Guoyu atau Mandarin, Barongsai disebut Wu Shi (tari Singa). Legenda Barongsai juga terdiri dari beberapa versi. Pertunjukan aliran apapun dari Barongsai senantiasa menampilkan adegan barongsai mengejar bola warna merah.

Penampilan pertunjukan Barongsai biasanya dilakukan pada akhir penutupan tahun baru Imlek, yaitu tanggal 15 dan 1 menurut penanggalan Tionghoa tradisional penanggalan candra sangkala. Di klenteng-klenteng, kuil, maupun vihara dikunjungi umatnya berpuja bakti dan merayakan festival Cap Go Meh. Pada festival ini ditampilkan berbagai pertunjukan kesenian dan salah satunya kesenian barongsai. Semarak bunyi petasan juga menambah meriah suasana. Atraksi barongsai di tengah suasana Cap Go Meh sangat meriah dibandingkan saat suasana lain. Atraksi barongsai keliling desa biasanya diiringi dengan keahlian para pemain. Di hampir setiap pintu rumah, barongsai datang memberi hormat dan tuan rumah menyambutnya. Biasanya tuan rumah sering memberi ang pau (amplop merah berisi uang) sebagai tanda terima kasih atas kunjungannya.

Barongsai juga merupakan makhluk Adi Kodrati yang dapat memberi kemakmuran dan kebahagiaan. Namun seiring perkembangan zaman yang begitu pesat, atrasi barongsai banyak yang dimodifikasi. Ada


(22)

dua jenis barongsai dari wilayah selatan, yakni barongsai "Pusan" yang mulutnya menyerupai mulut bebek serta barongsai "Teksan" yang mulutnya menyerupai mulut kucing. Sedangkan, barongsai dari wilayah utara, hanya satu jenis yakni "Tekingsan", yang di seluruh tubuhnya dipenuhi bulu.

Gambar 1.1 Gambar 1.2

Gambar Pertunjukan Barongsai

1.6.1.3 Pertunjukan

R.Schechner dalam Sal Murgianto (1995: 161) mengungkapkan bahwa pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah pertunjukan memilki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan meliputi: (1) persiapan bagi pemain maupun penonton, (2) pementasan, (3) aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah pertunjukan selesai. Singer dalam Sal Murgianto (1995:165) menjelaskan bahwa setiap pertunjukan memilki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) awal dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain,


(23)

(5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa barongsai memenuhi setiap syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

Pertunjukan barongsai dimainkan oleh dua orang pemain pada saat perayaan hari-hari besar masyarakat Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Ketika ditampilkan, pertunjukan barongsai diyakini dapat membawa keberuntungan dan menolak semua bala dan hawa kejahatan.

1.6.1.4 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, di mana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Kontjaraningrat, 1985:60).

Masyarakat juga merupakan sistem hubungan sosial (sosial relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan memproleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam suatu keadaan tertentu.

Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhinghuo dalam mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di


(24)

Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (bahasa Indonesia : Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu piyin : hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Adat istiadat ini merupakan suatu bentuk penggambaran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di masyarakat. Sartini (2006) mengatakan bahwa “...dunia simbolis manusia dapat terungkap melalui bahasa, mitos, seni,dan religi atau agama”.


(25)

1.6.1.5 Kota Sibolga

Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42′ – 1 46′ LU dan 98 44′ – 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara sungai-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik.

Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan 16 kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan. Umumnya di kota Sibolga sendiri terdiri dari berbagai etnik selain dari etnik Batak. Masih ada beberapa etnik lain yang sejak lama mendiami Kota Sibolga diantara nya etnik Nias, Minang, Aceh, Bugis, Melayu, serta etnis Tionghoa dan Jawa. Pemerintah Kota Sibolga sendiri pada saat ini memiliki motto/semboyan : Negeri Berbilang Kaum.


(26)

Sumber : http//sumut.bps.go.id/sibolga

Gambar 2.Peta Kota Sibolga

1.6.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan. Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang diuraikan berikut.


(27)

1.6.2.1 Fungsionalisme Kebudayaan

Untuk melihat makna dan fungsi “Tarian Barongsai” pada perayaan upacara budaya masyarakat Tionghoa penulis menggunakan teori Fungsionalisme Kebudayaan. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi- institusi seperti: negara, agama, keluarga, dan aliran.

1.6.2.2 Teori Fungsionalisme

Teori Fungsionalisme dalam ilmu Antropologi Budaya mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putra bangsawan Polandia. Ia mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a funcitionaly theory of culture.

Malinowski dalam Ihroni (2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan,


(28)

setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional dan dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan bahawa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga.

Dalam hal itu Malinowski dalam Koentjaraningrat (1987:167) membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi, yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat. Tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial ataupun unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu system sosial tertentu. Contohnya: unsur


(29)

kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.

Melalui Teori Fungsionalisme ini, penulis akan menjelaskan secara detail fungsi dari pertunjukan barongsai. Dengan Teori Fungsionalisme maka akan diketahui fungsi pertunjukan barongsai yaitu sebagai representasi simbolis, sebagai hiburan, pengungkapan emosional dan ekspresi kosmologi Tionghoa.

1.6.2.3 Teori Semiotik

Dalam membahas makna pertunjukkan barongsai bagi masyarakat Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori Semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari kata Yunani, yaitu Semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua menjelaskan pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64)


(30)

Barthes dalam Kusumarini (2006) menjelaskan ” Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti”. Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Melalui Teori Semiotik ini, penulis akan menjelaskan secara detail makna pertunjukan barongsai. Dengan Teori Semiotik ini penulis akan mengetahui makna warna, makna kostum barongsai, makna pertunjukan musik, makna emosi utama barongsai dan makna etika dalam pertunjukan barongsai. Semuanya itu akan dijelaskan melalui Teori ini.

1.6.3 Tinjauan Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1198) menyatakan tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:912) pustaka adalah kitab-kitab; buku.

Hanggoro, (2006) dalam jurnalnya: Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai bagi Masyarakat Etnis Cina di Semarang. Jurnal ini menjelaskan


(31)

bahwa barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di semarang yang dibawa oleh para saudagar Cina. Bentuk pertunjukkan barongsai terbagi kedalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan barongsai, dan penutup. Fungsi pertunjukan barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan, dan fungsi politik. Makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis. Jurnal ini menjadi bahan acuan penulis untuk memahami fungsi dan makna pertunjukan barongsai.

Harahap, dalam artikel Kompas (2008) : Barongsai, Kesenian Tradisi yang Mendunia. Artikel ini menjelaskan tentang jenis-jenis barongsai, yaitu dari wilayah Selatan yakni barongsai “Pusan” serta barongsai “Teksan”. Sedangkan dari wilayah Barat hanya satu jenis yakni “Tekingsan”. Serta merta artikel ini juga menjelaskan tentang jumlah pemain dalam memainkan kesenian Barongsai. Dengan mempelajari artikel ini, penulis merasa terbantu untuk mendapatkan gambaran umum tentang barongsai. Namun demikian, artikel tersebut lebih berfokus pada jenis-jenis barongsai.

Indriani, dalam artikel Berita Satu (2012) : Barongsai, Usir Aura Buruk dan Pembawa Keberuntungan. Artikel ini menjelaskan tentang filosofi dari kesenian barongsai. Artikel ini juga menjelaskan bahwa kehadiran barongsai dapat membawa keberuntungan dan mengusir aura-aura buruk. Artikel ini juga sangat membantu untuk peneliatian penulis mengenai fungsi dan makna pertunjukan barongsai.


(32)

BAB II

METODE PENELITIAN

Menurut Djajasudarma (1993:3), metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksankan penelitian (dalam menggunakan data). Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Fungsi dan Makna Pertunjukan Barongsai Bagi Masyarakat Tionghoa di Kota Sibolga adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variable-variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.

Sedangkan menurut Hadari dan Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.


(33)

Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan dengan penamaan kualitatif. Deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah itu sendiri (Fatimah, 1993:16).

Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, wawancara, catatan, lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, dsb. Data digambarkan sesuai dengan hakikatnya (ciri kriteria ilmiah tertentu), berdasarkan pemerolehan (pengalaman gramatika) kaidah kebahasaan tertentu sebagai hasil studi pustaka pada awal penelitian (tahap studi pustaka sebelum penelitian dimulai). Hal tersebut hendaknya disusun dengan teliti bagian demi bagian dengan pertimbangan ilmiah (Fatimah, 1993 :17)

Secara deskriptif peneliti dapat memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilihan data yang dilakukan pada tahap pemilihan data setelah data terkumpul. Dengan demikian, penelitian akan selalu mempertimbangkan data dari segi watak itu sendiri, dan hubungannya engan data lainnya secara keseluruhan. Peneliti tidak berpandangan bahwa sesuatu itu memang demikian adanya, akan tetapi harus diberikan berdasarkan pertimbangan ilmiah yang digunakannya sebagai pisau (alat) kajiannya (Fatimah, 1993:17).


(34)

Penelitian kualitatif adalah adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari fungsi dan makna pertunjukan barongsai bagi masyarakat Tionghoa.

2.1 Data dan Sumber Data

Data diperoleh melalui buku-buku, majalah, jurnal, artikel-artikel di surat kabar. Yang kemudian akan dipilah-pilah untuk dibagi kan. Selain itu, sumber data yang akan penulis peroleh dalam penelitian ini yaitu dari narasumber melalui wawancara.

2.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

2.2.1 Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang berkaitan dengan judul yang dibahas.


(35)

2.2.2 Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dapat dilakukan dengan metode :

(i) wawancara : Wawancara (interview) merupakan tanya jawab terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

(ii) Observasi : Observasi yaitu pengamatan terhadap penelitian yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

2.3 Teknik Analisis Data

Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagal landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji kebenarannya secara empirik, antara lain melalui analisis data (Abdurrahman, 2005:104)

Teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Teknik Analisa Data Kualitatif. Proses analisa data dimulai dengan mencari teori-teori, konsep-konsep generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan itu. Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar penelitian coba-coba. Untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang disebutkan diatas, orang harus melakukan penelaahan kepustakaan. Pada umumnya lebih dari lima puluh persen kegiatan dalam seluruh proses penelitian itu adalah membaca. Karena itu, sumber bacaan


(36)

merupakan bagian penunjang penelitian yang esensial (Abdurrahman, 2005:17).

Data yang terkumpul lalu diolah, kemudian dengan diskusi. Penulis berusaha melakukan perincian atau pengkhususan dengan induksi peneliti melakukan pemanduan dan pembuatan generalisasi dan akhirnya semua bahan itu dimasukkan kedalam suatu sistem berupa kesimpulan teoritis yang akan menjadi landasan bagi penyususn hipotesis penelitian. Didalam kesimpulan teoritis, peneliti harus mengidentifikasikan hal-hal atau faktor-faktor utama yang akan diteliti dalam penelitiannya. Permulaan ini penting karena di situlah letak mutu sistem pemikiran teoritis peneliti. Setelah itu data diinterpretasikan secara logis dan analitis (Abdurrahman, 2005:19).

Berbagai sumber yang dipakai yaitu dari buku-buku, majalah, jurnal, artikel-artikel di surat kabar,dan hasil wawancara. Selanjutnya, membuat rangkuman dan pernyataan-pernyataan dari sumber data dan disusun dalam satuan-satuan. Setelah itu data diinterpretasikan secara logis dan analitis.


(37)

BAB III

GAMBARAN UMUM PERTUNJUKAN BARONGSAI

3.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Kota Sibolga sangat sulit ditentukan. Akan tetapi menurut sejarah, dalam konteks Sumatera Utara (masa itu Sumatera Timur) terdapat orang Cina yang pertama diangkat oleh Belanda sebagai mayor di Tanah Deli, dia adalah Tjong Yong Hian. Selang beberapa tahun kemudian yang kedua muncul Tjong A Fie yang diangkat sebagai mayor menggantikan Tjong Yong Hian. Kemudian Tjong A Fie inilah yang menjadi taipan pertama di Sumatera.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan Pancasila. Sejak saat itu, masyarakat Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera hingga akhirnya ke Kota Sibolga.

Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di Kota Sibolga kian bertambah. Berdasarkan sensus yang diadakan oleh biro pusat statistik Kota Sibolga untuk laporan tahun 2009, penduduk etnik Tionghoa berjumlah 3000 jiwa dari total penduduk Kota Sibolga sebesar 96.341 jiwa.

Dengan demikian keberadaan etnik Tionghoa di Kota Sibolga tidak dapat dilepaskan dengan keberadaannya di Sumatera Utara. Membicarakan etnik Tionghoa di Sibolga berarti harus melacak keberadaannya yang


(38)

dimulai dari masa-masa Tjong Yong Hian dan kemudian Tjong A Fie. Ini terjadi ketika dibukanya tembakau Deli di penghujung abad ke-19 di Sumatera Timur. Mereka datang ke Sumatera Timur awalnya sebagai buruh-buruh di perkebunan.

3.2 Asal Usul Barongsai

Banyak cerita yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan asal mula Barongsai di masyarakat Tionghoa. Tidak hanya satu versi yang menceritakannya. Penulis akan menguraikan beberapa versi asal-usul Barongsai yang penulis peroleh dari media massa dan dari masyarakat etnik Tionghoa itu sendiri.

Versi pertama yang berkembang di kalangan etnik Tionghoa adalah cerita tentang seorang utusan asing dari barat atau lebih tepatnya dari Kerajaan Partia diutus untuk menjalin hubungan perdagangan yang bersahabat dengan Cina pada masa Dinasti Han. Ia disambut dengan jamuan besar-besaran dan hiburan. Bagian dari hiburan yang ditampilkan adalah tarian yang menampilkan para penari yang memakai berbagai macam kostum hewan. Utusan tersebut kemudian tidak melihat adanya sosok singa di antara kostum-kostum yang dipakai oleh penari. Melalui hasil penelusurannya, ia mendapati fakta bahwa bangsa Cina sama sekali belum pernah melihat singa sebelumnya. Sang utusan kemudian menjelaskan pada anggota dewan kekaisaran bahwa di negaranya singa dianggap sebagai raja hewan. Waktupun berselang, sang utusan kembali dan membawa singa yang


(39)

dikirim oleh Raja Partia sebagai bagian dari penghormatan kepada kaisar (hadiah yang dianggap langka dan eksotis dianggap sebagai penghargaan tertinggi oleh dewan kekaisaran) dan dengan demikian berhasil menjalin hubungan kerjasama yang baik. Sejak saat itu sosok singa diyakini sebagai simbol keberuntungan karena membawa pembaharuan perdamaian, kebahagiaan, dan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa.

Diyakini bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa Cina sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang menirukan penampilan singa dan gerakannya. Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan ke dalam cerita pertunjukan tersebut.

Versi kedua adalah diyakini bahwa seekor singa ditugaskan oleh Kaisar Langit untuk menjaga bunga keabadian. Namun sang singa tergoda dan akhirnya memakan bunga tersebut. Ketika Kaisar Langit mengetahui perihal ini, ia marah besar, karena ini bukanlah kecerobohan pertama yang pernah dilakukan oleh sang singa. Kemudian kaisar memerintahkan untuk memotong tanduknya (sumber hidupnya) dan mengusirnya dari langit. Dewi Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa kasihan kepada singa (sang singa, meskipun tanduknya telah dipotong, tidak mati karena telah memakan bunga keabadian). Dewi Guan Yin mengikat kembali tanduknya ke kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang singa merasa sangat bersyukur dan menyesali tindakan cerobohnya


(40)

kemudian berjanji untuk melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, jika kita melihat singa Barongsai dari dekat, dapat dilihat adanya pita merah yang melilit pada tanduknya.

Versi ketiga adalah suatu saat di masa lalu, ada seorang kaisar yang memelihara berbagai macam hewan eksotis. Di antara koleksi hewan-hewan itu, favoritnya adalah singa. Hingga pada suatu hari, singa itu jatuh sakit dan mati tidak lama setelahnya. Dengan kematian singa peliharaan favoritnya, kaisar memutuskan turun dari singgasananya dan jatuh dalam kesedihan yang mendalam hingga kemudian ia sendiri jatuh sakit. Cemas, para pejabat kekaisaran bingung harus melakukan apa karena tidak ada cara yang berhasil untuk mengembalikan keceriaan sang kaisar. Akhirnya, seorang anggota kekaisaran mengambil mayat singa dan membuat kostum dari kulitnya. Dua pemuda yang memiliki badan lentur dan atletis kemudian dilatih untuk menirukan gerakan singa. Berselang beberapa hari kemudian singa itu diserahkan kepada kaisar. Melihat singa kesayangannya, kaisar segera memperoleh kesenangannya kembali. Pada waktu kejadian itu tersebar ke publik, mereka pun membuat tiruan kostum singa dan menirukan gerakannya serta menambah unsur musik dan tarian ke dalam pertunjukannya.

Dari wawancara penulis dengan Mestika Nauli selaku sekretaris komunitas Barongsai di Kota Sibolga, diketahui bahwa masuknya kesenian Barongsai di Kota Sibolga tepatnya di tahun 2008. Awalnya sulit diterima oleh masyarakat pribumi di Kota Sibolga. Kini, pertunjukan Barongsai di Kota Sibolga merupakan kesenian yang paling ditunggu-tunggu


(41)

penampilannya oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi. Pertunjukan Barongsai mampu menyatukan berbagai etnik di Kota Sibolga.

3.3 Jenis Barongsai

Pada Umumnya Barongsai memiliki dua jenis yang terkenal, yaitu Tarian Singa Selatan dan Tarian Singa Utara. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Untuk barongsai dari selatan lebih mengutamakan penampilan kuda-kuda saja, tidak menitikberatkan pada unsur akrobatik. Sementara barongsai dari utara lebih banyak menonjolkan unsur akrobatik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tarian singa selatan dan tarian singa utara serta perbedaan dari keduanya.

1. Singa Selatan.

Jenis singa selatan merupakan jenis yang paling populer. Dua singa yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah Singa Fat San/Fo Shan (佛

山) dan Singa Hok San/He Shan (鹤山), dinamakan demikian berdasarkan daerah keduanya diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi jenis singa yang lain, namun dikarenakan kebanyakan orang Tionghoa bermigrasi dari Provinsi Guangdong maka hanya kedua jenis inilah yang dikenal di luar Cina. Kedua jenis singa ini biasa ditampilkan oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan fakta bahwa singa adalah simbol keagungan.


(42)

Pada awal kemunculannya di negara Cina, tarian Barongsai ditampilkan oleh para aktor dan penari lokal ataupun rombongan opera keliling. Tarian Singa Selatan ditampilkan untuk tujuan memberikan berkah sejalan juga untuk kepentingan hiburan, suatu ketika di zaman dinasti Ching ditampilkan oleh para pemberontak untuk mengumpulkan dana serta menjadi untuk menelurkan informasi rahasia di antara mereka.

Bagian kepala Singa Selatan cenderung berat, satu kostum barongsai lengkap beratnya bervariasi antara 14-16 kilogram tergantung pada jumlah ornamen-ornamen serta dekorasi-dekorasi yang dikenakan. Kostum Singa Selatan tidak sepenuhnya menutupi badan pemainnya (tidak seperti Singa Utara) dan bagian badan/ekor berukuran panjang dan terbuat dari kain yang warnanya bervariasi. Singa Selatan ini ditampilkan tidak hanya ditujukan untuk kepentingan agama, namun juga untuk keperluan pelatihan ilmu bela diri. Berat kostum singa ini akan membantu memperkuat bagian tubuh dan atas mereka. Dapat dikatakan melalui gerakan-gerakan singa ini bagaikan pelatihan aerobik menggunakan beban.

Biasanya bingkai kepala Singa Selatan terbuat dari rotan dan anyaman bambu kemudian akan dilapisi berkali-kali hingga tebal dengan kain kasa. Langkah ini akan diulang berkali-kali, kemudian kepala Barongsai akan diberi cat dasar sebelum kemudian ditambah lagi varian warna serta simbol-simbol yang memiliki makna-makna tertentu di atas cat dasar tersebut. Setelah itu, ditambahkan berbagai ornamen di atas kepalanya seperti cermin. Bagian-bagian yang dapat digerakkan seperti kelopak mata, telinga, dan mulut dimaksudkan untuk memberi kesan hidup dan nyata bagi


(43)

sosok singa. Kedua matanya terbuat dari kayu dengan sebuah lubang di tengahnya yang dilapisi kaca atau plastik. Pada praktik modern, bola lampu mini yang digerakkan oleh baterai dipasang pada kedua mata untuk memberikan tampilan nyata.

Di masa sekarang, bagian kepala singa sudah menjadi sangat ringan. Desain singa yang baru juga telah menggunakan bentuk ekor yang pendek. Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada desain dan bahan Barongsai ini dinilai sangat penting seiring semakin populernya kompetisi dan perlombaan pertunjukan Barongsai. Salah satu gerakan yang sering dinilai dapat menambah poin besar adalah jika para pemain Barongsai dapat melakukan atraksi berdiri dan menari di atas tiang-tiang yang tinggi (dikenal dengan jong), tentu akan sangat memudahkan pergerakan dan atraksi mereka jika massa tubuh Barongsai yang dimainkan tidak berat seperti massa tubuh Barongsai yang lama. Hampir semua para pemain Barongsai modern memakai celana yang satu tipe dan satu jenis dengan badan atau ekor singa.

Gambar 3.1


(44)

2. Singa Utara

Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan bentuk anjing pug Peking. Hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu kala, sosok singa yang sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat oleh bangsa Cina pada saat itu kecuali orang-orang yang tinggal dalam lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu menggunakan sosok pug Peking mungkin dikarenakan anjing jenis ini sering disebut sebagai anjing singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing ini kemungkinan karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang menjaga gerbang istana dengan anjing pug. Jenis anjing pug ini diyakini telah lama eksistensinya di negeri Cina, seperti ditemukannya gambar anjing dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang hingga Dinasti Han. Fakta lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina, menyatakan bahwa pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing, kontes ini dimenangkan oleh pemilik yang dapat mengembangbiakkan anjingnya menyerupai figur singa.

Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan untuk tujuan hiburan saja dan tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini memiliki versi jantan dan betina, yang dibedakan melalui warna pita yang dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk jantan dan warna biru atau hijau untuk betina. Dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Singa Utara, banyak juga ditemukan gerakan-gerakan anjing pug. Yang menjadikan Singa Utara ini menarik adalah gerakan-gerakan yang ditampilkan, yakni gerakan akrobatik menggunakan meja, kursi, bola raksasa, papan jungkat-jungkit, dan kawat.


(45)

Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang. Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk memberikan kesan bulu dan rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning ini tidak hanya menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan simbol warna Kekaisaran, karena pada awal mula kemunculannya pertunjukan Singa Utara hanya ditampilkan di kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara awalnya terbuat dari kayu, namun kemudian digantikan oleh bahan yang lebih ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian dilapisi dengan kertas.


(46)

BAB IV

FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN BARONGSAI

Memahami seni pertunjukan barongsai berarti juga memahami kebudayaan Tionghoa. Kemungkinan besar tidak ada kebudayaan Tionghoa lainnya yang mengandung berbagai macam aspek budaya dalam beberapa bentuk seperti pertunjukan barongsai. Banyak yang bertanya-tanya darimana asal barongsai (tarian singa), diyakini bukanlah berasal dari Cina. Kenyataannya adalah bahwa pada awalnya singa tersebut hanyalah hadiah langka yang diberikan kepada kaisar untuk mengamankan hak-hak serikat. Seiring berjalannya waktu, keanehan dan kelangkaan yang didapati pada singa tersebut, ditambah dengan pengenalan akan ajaran agama Buddha, dan status sang singa sebagai penjaga dan pelindung agama, menjadikan posisi sang singa perlahan terangkat menjadi mahluk yang membawa keberuntungan. Sampai sekarang, sosok singa berkembang menjadi ikon tradisi masyarakat Tionghoa. Dengan demikian, seni Barongsai dapat memberikan identias kebudayaan yang kuat kepada kebudayaan Cina secara umum.

Tarian barongsai sering disalahartikan sebagai tarian naga (liong). Padahal pembedanya cukup jelas, tarian naga biasanya dimainkan oleh sepuluh orang (satu orang memegang mutiara yang terpisah dari badan naga), sedangkan dalam tarian Barongsai penarinya hanyalah dua orang.


(47)

4.3Fungsi Barongsai

Pertunjukan Barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan gerakan tari, meskipun sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri ataupun akrobatik. Pada pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi Barongsai dalam perspektif tari.

Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dalam kehidupan manusia. Gerak ini tidak hanya terdapat dalam denyutan-denyutan di seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan Tari (Martin, 1933).

Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan Barongsai merupakan jenis tarian tradisonal. Disebut sebagai tari tradisional karena barongsai telah mengalami perjalanan sejarah yang lama dan selalu bertumpu pada pola-pola yang sudah ada.

Jika dilihat berdasarkan fungsinya, maka pada mulanya barongsai dikelompokkan ke dalam jenis tarian upacara yang bersifat sakral dan magis, meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang, barongsai dapat dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan sebagai hiburan.

Beberapa alasan yang mendukung pengelompokkan tarian barongsai sebagai tarian upacara adalah:

1. Gerakan tarinya yang imitatif. Pertunjukan barongsai menirukan gerakan seekor singa.


(48)

2. Penghayatan tari terbatas pada lingkungan adat dan tradisi masyarakat Tionghoa.

3. Barongsai memiliki fungsi sebagai sosok pengusir roh-roh jahat dan kesialan, dan barongsai diyakini juga sebagai utusan para dewa untuk melindungi umat manusia.

4. Iringan musik maupun instrumennya sangat sederhana, terdengar monoton.

Sifat sakral atau religius pertunjukan barongsai dapat dilacak pada fungsi aslinya sebagai upacara ritual pembersihan roh jahat dan penolak bala. Sifat ini dapat dilihat juga melalui penciptaan awal kostum barongsai yang memiliki filosofi dan nilai seni tinggi menurut tradisi masyarakat Tionghoa.

Pergeseran makna terjadi di masa kini ketika Barongsai ini mulai dipertunjukan dalm hal hiburan dan tontonan umum. Bahkan pertunjukan Barongsai kini juga sudah mulai dipentaskan untuk kepentingan lomba. Penonton yang menyaksikan pertunjukan Barongsai tidak hanya dari kalangan masyarakat Tionghoa saja, namun dapat disaksikan oleh siapa saja. Pertunjukan Barongsai juga dapat mengisi acara hiburan, perayaan hari kemerdekaan, peresmian gedung. Meskipun untuk tujuan hiburan, pertunjukan Barongsai masih tetap berakar pada filosofi dan keyakinan untuk menolak segala bala dan nasib buruk.


(49)

4.3.1 Representasi Simbolis

Topeng dan kostum Barongsai mengandung simbol-simbol berdasarkan filosofi dan sejarah masyarakat Tionghoa. Dalam setiap pertunjukan, setiap topeng dan kostum Barongsai harus memiliki tiap symbol yang ada, karena simbol-simbol ini memiliki peran krusial dan harus dipatuhi bila Barongsai ditampilkan dalam konteks pertunjukan tradisional.

4.3.2 Sebagai Hiburan

Barongsai sebagai salah satu ungkapan ekspresi budaya, yang pembuatannya berasal dari ide-ide dan gagasan masyarakat Cina sejak zaman dahulu, dan keseluruhan hasil dari ide-ide dan gagasan tersebut, telah tertuang ke dalam bentuk seni, yaitu seni pertunjukan Barongsai. Pernyataan diatas didukung oleh Kluckhohn dalam Suparlan (1984:77) bahwa kebudayaan itu diciptakan, ditransmisikan oleh manusia dari generasi ke generasi.

Barongsai berkembang sifatnya menjadi tontonan hiburan. Setiap masyarakat, baik masyarakat Tionghoa maupun di luar masyarakat Tionghoa diharapkan mampu mendapatkan kesenangan ketika menonton Barongsai serta musik pengiringnya ditampilkan. Bahkan sekarang pun kesenian Barongsai sudah banyak yang dilombakan, untuk menambah kesan menghibur pada sifatnya.

Dengan bangkitnya seni pertunjukan Barongsai, membawa kebahagiaan baru pada masyarakat Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Sibolga. Seni pertunjukan Barongsai kini bebas untuk


(50)

mengekspresikan kembali, setelah selama 32 tahun dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagai seni warisan budaya leluhur, biasanya masyarakat Tionghoa melaksanakannya pada acara hari raya Imlek. Karena pada saat itu, memiliki arti yang sangat penting dan mendalam untuk mempengaruhi struktur kehidupan mereka.

4.3.3 Pengungkapan Emosional

Dalam pertunjukan Barongsai, terdapat delapan emosi utama (Baht Ying). Penonton yang menyaksikan pertunjukan diharapkan mampu menangkap maksud dari setiap pergerakan yang dilakukan Barongsai. Oleh karena itu, setiap gerakan yang dimainkan oleh pemain Barongsai tidaklah sama dari awal hingga akhir, namun berbeda-beda tiap fasenya. Pengungkapan emosi Barongsai di sini dapat dikatakan meniru ekspresi manusia, dimana ada emosi takut, senang, marah, mabuk, dan lain sebagainya.


(51)

Gambar 4.2 : Ekspresi barongsai tidur

4.3.4 Ekspresi Kosmologi Tionghoa

Kosmologi adalah pengetahuan yang meneliti asal usul, struktur, hubungan ruang-waktu dalam alam semesta. Dalam metafisika menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:736).

Kosmos dalam bahasa Yunani berarti dunia jagat raya, Logos berarti ilmu tentang. Pandangan bahwa semesta alam sebagai keseluruhan yang teratur. Dalam teologi Katolik Timur dihubungkan dengan keindahan penciptaan, bertentangan dengan buruknya chaos (O‘Collins, Gerald SJ. et al. 1996:166).

Dalam kosmologi masyarakat tradisional, terdapat keyakinan semua benda langit memiliki pengaruh bagi kehidupan manusia sesuai tanggal dan waktu kelahiran yang bersangkutan. Masyarakat Tionghoa memiliki suatu konsepsi yang khas, dimana cara berpikir mereka selalu mengembalikan


(52)

kehidupan pada hakekat keharmonisan antara kehidupan langit (alam gaib) dan kehidupan bumi (alam nyata). Alam semesta merupakan akibat reinkarnasi dari kekuatan alam. Menurut dasar berpikir orang Cina, fenomena alam itu dapat dibagi dalam dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang, sehingga manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan alam semesta ( Hidajat, 1977 : 23-24 ).

Barongsai dapat dijadikan medium yang menghubungkan manusia diantara alam nyata dengan alam gaib. Barongsai terdiri dari serangkaian gerakan tubuh yang memiliki ruangan secara ekspresif. Barongsai merupakan tarian ritual yang bersifat sakral dan sering kali dilakukan pada waktu yang sangat khusus seperti Imlek dan upacara khusus mengusir setan.

Pertunjukan Barongsai dapat dibagi dalam dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang. Salah satu contohnya, pemain inti dari pertunjukan seni barongsai harus berjumlah dua orang dan tidak boleh lebih dari dua orang. Bila salah satu dari pemain inti tidak ada, maka barongsai itu tidak dapat melakukan pertunjukan. Pemain inti barongsai merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Mereka adalah 2 aspek yang mempunyai kekuatan yang sama. Itulah sebabnya barongsai dapat di klasifikasikan dalam unsur Yin dan Yang. Pendapat diatas didukung oleh pernyataan Cooper (1981:4), bahwa Yin dan Yang merupakan sesuatu bagian kehidupan yang tidak dapat di pisahkan. Mereka adalah 2 aspek yang mempunyai kekuatan yang sama.


(53)

4.4 Makna Barongsai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia makna merupakan arti, atau maksud (Deli, 2000:329). Oleh karena itu, bagi masyarakat Tionghoa barongsai itu memiliki makna atau arti yang sangat penting.

4.4.1 Makna Warna

Pada awal penciptaannya, seniman yang menciptakan Barongsai Selatan terinspirasi dari novel “Romansa Tiga Kerajaan”. “Romansa Tiga Kerajaan” mengambil setting waktu ketika runtuhnya kejayaan Dinasti Han. Tiga lelaki kemudian mengucapkan sumpah persaudaraan di taman persik untuk sama-sama mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Adalah yang tertua bernama Lau Pei (Liu Bei), merupakan keturunan bangsa Han, dia juga sosok yang menemukan Kerajaan Shu dan menjadi penguasa pertamanya. Saudara yang kedua bernama Kwan Yu (Guan Yu). Yang terakhir bernama Jeung Fei (Zhang Fei). Kemungkinan besar mengapa warna kostum Barongsai didasari pada ketiga karakter ini dikarenakan sebagian besar etnik Tionghoa percaya bahwa mereka adalah keturunan bangsa Han, sehingga ketika menciptakan suatu bentuk kesenian pun haruslah berdasarkan latar belakang sejarah mereka. Warna-warna dari Barongsai Selatan ini didasari pertama kali berdasarkan ketiga karakter mereka.

Karakter pertama yang menginspirai warna Barongsai adalah Lau Pei (Liu Bei – 劉備), digambarkan dengan warna dasar kuning/emas di wajahnya. Secara simbolis, warna ini mewakili beberapa hal. Pertama merupakan warna kulitnya, kedua menggambarkan kebijaksanaannya, dan


(54)

yang ketiga adalah karena warna kuning (atau warna dari Kekaisaran seperti yang sudah diketahui di Cina) hanya diperuntukkan bagi Kaisar. Pada bagian wajah terdapat janggut putih panjang yang menggambarkan kebijaksanaan dan kedudukan yang lebih tinggi. Kadang-kadang ditampilkan juga sebuah ao yu atau jambul elang di tempat tanduk bambu berada. Ekornya berwarna-warni yang melambangkan lima elemen dalam tradisi Tionghoa. Pada ikatan lehernya terdapat tiga koin, masing-masing mewakili kebijaksanaan, kebajikan, dan keberanian (智, 仁, 勇 – zhi, ren, dan yong). Bagi masyarakat Tionghoa jenis singa ini disebut sebagai Singa Pembawa Keberuntungan (Rui Shih).

Gambar 5.1 : Singa Kuning/Emas

Kedua adalah Kwan Yu (Guan Yu – 關羽), dikenal memiliki wajah kemerahan (diceritakan wajah merah Guan Yu didapat ketika dia berusaha melindungi seorang gadis dari gangguan penjahat lokal. Ayahnya, seorang


(55)

pejabat korupsi, berusaha membalas dendam padanya dengan cara menjebaknya dalam sebuah kuil kemudian membakarnya hidup-hidup). Warna dasar merah juga dicampur dengan warna hitam melambangkan kebajikan, kesetiaan, dan keberanian Jenderal Guan. Singa jenis kedua ini menggunakan apa yang disebut dengan mata burung phoenix. Pada ikatan lehernya terdapat dua koin, mewakili kebijaksanaan an keberanian. Janggutnya panjang dan hitam, seperti Jenderal Guan yang dikenal sebagai Bangsawan dengan Janggut Indah. Ekornya berwarna merah dengan hiasan berwarna hitam. Singa jenis ini dikenal sebagai Singa Bangun (Xing Shi).

Yang ketiga adalah Jeung Fei (Zhang Fei – 張 飛), singa ini memiliki wajah hitam karena dikatakan bahwa Jenderal Jeung memiliki warna kulit muka yang gelap. Warna hitam juga melambangkan jiwa muda, lugas, dan bersifat memberontak yang merupaka ciri-ciri Zhang Fei. Singa jenis ini juga memiliki ciri janggut hitam yang pendek dan tebal, kedua mata berwarna merah, tekinganya menyerupai bentuk kembang kol, dan taring. Semua ciri-ciri ini ditambahkan untuk memberi kesan mengancam pada singa. Ekornya diwarnai dengan warna hitam dan putih dengan lonceng menghiasi tubuhnya, fungsi lonceng ini untuk memberi peringatan, kira-kira sama dengan fungsi derik pada ular derik. Selain itu, lonceng juga dipercaya memiliki kekuatan pada dunia spiritual. Pada ikatan lehernya terdapat satu koin yang melambangkan keberanian. Tanduk yang dipakai pada singa ini adalah tanduk besi, hal ini didasari pada fakta bahwa singa ini merupakan Singa Petarung (Dou Shi) karena sifat Jenderal Zhang yang senang bertarung.


(56)

Gambar : Singa Hitam

Gambar 5.2 : Singa Hitam

Kemudian tiga jenis Singa ditambahkan pada jenis singa-singa Barongsai. Yang pertama adalah Jiu Wan (Zhao Yun – 趙雲) atau Jiu Ji Lung (Zhau Zi Long – 子龍). Singa ini memiliki buntut berwarna hijau dengan janggut dan bulu berwarna hitam serta sebuah tanduk besi. Zhao sering disebut sebagai saudara keempat. Cerita yang berkembang menyebutkan ketika pasukan Lau Pei dikalahkan dan kotanya dirampas oleh musuh, mereka dipaksa untuk keluar dari kotanya. Di tengah kekacauan, Lau Pei terpisah dari keluarganya. Ketika mendengar kabar ini, Jiu Wan pergi ke daerah kekuasaan musuh dan berhasil menemukan dan menyelamatkan bayi laki-laki Lau Pei dengan cara menerobos jutaan orang pasukan tentara musuh. Singa hijau ini dikenal sebagai Singa Heroik/Perwira (Ying Xiong shi).


(57)

Gambar 5.3 : Singa Merah dan Singa Hijau

Yang terakhir adalah singa dengan warna dasar putih yang dikenal sebagai Ma Chiu (Ma Chao – 馬超); Ma Chiu dilambangkan dengan warna ini dikarenakan dia selalu menggunakan kain putih yang digulungkan di lengannya ketika bertarung melawan Kaisar Negeri Wei, Chao Chao (Cao Cao), kain putih ini berfungsi sebagai pengingat dukanya atas ayah dan adiknya yang dibunuh oleh Chao Chao. Hal ini dikarenakan karena Chou Chou yang baru diangkat sebagai Perdana Menteri yang baru mengetahui rencana mereka untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Han dengan cara merebut kekuasaan darinya. Kemudian dalam peperangan Ma Chiu memiliki sepasukan tentara berjumlahkan 20.000 yang keseluruhannya menggunakan pakaian putih ketika melawan Chao Chao. Berdasarkan cerita


(58)

inilah singa putih sering disebut sebagai “Singa Pemakaman”, sementara yang lain menyebutnya sebagai “Singa Berbakti”.

Gambar 5.4 : Singa Putih

Satu-satunya warna lain yang juga digunakan pada singa ini adalah hitam. Pita putih dililitkan di daerah sekitar tanduk untuk melambangkan kain putih yang digunakan oleh Ma Chiu. Singa jenis ini hampir tidak pernah dipertontonkan untuk kepentingan umum kecuali untuk pemakaman seorang Sifu (guru), petinggi-petinggi penting kelompok pertunjukan Barongsai (presiden), dan bahkan dalam beberapa kasus Barongsai ini juga ikut dibakar untuk dapat menemani jiwanya di akhirat. Namun seiring perkembangannya mengikuti konteks hiburan, dalam pertunjukan Barongsai, jenis Singa Putih acapkali ditampilkan.


(59)

Oleh karena itu kelima jenis singa ini sering dikenal sebagai “Lima Jenderal Macan Shu”, dan kelimanya juga disebut sebagai perwakilan dari lima warna oleh kelima elemen.

4.4.2 Makna Kostum Barongsai 1. Tanduk Pada Kepala Singa

Tonjolan pada kepala Singa disebut dengan Jaio Chi (角髻); Jiao berarti tanduk dan Chi berarti kepala. Ada peribahasa Tionghoa yang bunyinya “Tou Jiao Cheng Yung”, berarti “Tanduk Pada Kepalamu Memberikan Penampilan yang Istimewa”. Ungkapan ‘tanduk’ disini tidak dimaksudkan sebagai arti harafiah, namun dimaksudkan sebagai gaya rambut atau penutup kepala yang digunakan di atas kepala orang-orang Tionghoa di masa sebelum datangnya Bangsa Manchu untuk menaklukkan Cina. Sementara ketika masa pemerintahan Manchu, orang-orang disana dipaksa untuk mennguncir rambut mereka, dan bagi yang menolak untuk memakainya kepala mereka akan dipenggal. Beberapa orang bertanya-tanya mengapa singa Barongsai memiliki sebuah tanduk di atas kepalanya. Hal ini diduga bermula di awal pemerintahan Dinasti Tang, patung-patung singa pada saat itu digambarkan memiliki semacam tonjolan di kepalanya, dan banyak orang yang menganggap tonjolan itu sebagai tanduk. Kemudian dipercayai bahwa tanduk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan simbol dari kekuatan supranatural.


(60)

Di awal kedatangannya singa merupakan sebuah hadiah yang langka dari negara lain untuk diberikan kepada pemerintah Cina. Setelah itu gagasan sosok singa sebagai hewan suci mulai diterapkan seiring dengan pengenalan agama Buddha dimana sosok singa dianggap sebagai penjaga dari agama Buddha. Dari gambarannya kita dapat menentukan jenisnya, jika memiliki taring yang panjang, maka disebut sebagai seekor hewan karnivora, jika memiliki tanduk yang lancip, merupakan seekor hewan yang memakan tumbuhan (herbivora). Hal yang aneh adalah banyak hewan-hewan yang dianggap membawa kebaikan bagi bangsa Tionghoa memiliki taring panjang dan tanduk lancip, dipercaya bahwa orang-orang di zaman dahulu dalam hal menunjukkan keistimewaan status hewan-hewan mulia itu, memberikan gambaran kepada hewan-hewan mulia memiliki tanduk lancip dan taring panjang, alasannya adalah untuk menggambarkan bahwa hewan-hewan mulia ini memiliki kekuatan dari hewan karnivora dan sifat mulia dari karakter hewan herbivora yang tidak haus darah. Hal ini sejalan dengan tradisi agama Buddha yang pendiri serta para biksunya merupakan vegetarian.

Dua jenis tanduk yang paling dikenal terdapat pada Singa Selatan adalah batang bambu di puncak kepala dengan ujung yang runcing (dinamakan begitu karena penampilan fisiknya dan biasanya dijumpai pada kepala Singa Fat San). Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan (biasanya dijumpai namun tidak terbatas pada kepala Singa Hok San). Dalam masyarakat Tionghoa, bambu merupakan simbol dari panjang umur dan keberanian di tengah-tengah kesulitan serta


(61)

kesopanan. Batang bambu disini merupakan representasi dari jiwa muda serta langkah-langkah yang sigap dari para prajurit muda, sedangkan tanduk yang menyerupai kepalan tangan menggambarkan tanduk singa tua yang telah menjadi tumpul karena telah melewati banyak waktunya dalam medan pertempuran.

Seiring berjalan waktu tanduk ini kemudian dicat dengan warna hitam. Warna hitam dikenal sebagai warna langit dalam Yi Jing (Kitab Perubahan). Ungkapan yang menyebutkan “langit dan bumi adalah hal yang misterius dan hitam (gelap)” berakar dari perasaan orang-orang zaman dahulu ketika melihat langit utara menunjukkan warna hitam misterius untuk periode waktu yang lama. Mereka mengira bahwa Bintang Utara adalah tempat Tian Di (Kaisar Langit) bertakhta. Oleh karena itu, warna hitam dianggap sebagai raja dari semua warna dalam tradisi kuno Tionghoa. Warna hitam juga merupakan satu-satunya warna yang diagungkan dalam kebudayaan Tionghoa. Dalam diagram Taiji masyarakat Tionghoa, hitam dan putih digunakan untuk melambangkan kesatuan dari Yin dan Yang.


(62)

Gambar 6.2 : Tanduk Batang Bambu

2. Bunga Pita Merah

Warna merah bagi masyarakat Tionghoa dianggap sebagai simbol pembawa keberuntungan. Warna merah merupakan warna yang mewakili matahari (melambangkan kekuatan) yang warnanya sama dengan warna api (yang digunakan untuk melawan hewan buas). Selain itu, warna merah juga dianggap memancarkan perasaan kehangatan dan kebahagiaan. Kemudian, warna merah juga adalah metafora dari warna darah, darah sendiri merupakan kekuatan hidup yang mendorong semua kehidupan. Dalam bahasa Tionghoa untuk kata-kata “besar” ( 宏 ) dan “luas” ( 洪 ) pengucapannya mirip dengan kata merah (红), oleh karena itu setiap hal yang mengandung warna merah memiliki kekuatan yang besar.

Sebagai tambahan, kata “pita” dalam bahasa Tionghoa adalah dai ( 带) yang juga memilki arti lain yakni “membawa”. Karakter huruf Tionghoa

lainnya yang memiliki pengucapan yang sama yakni “generasi” (代). Ketika sebuah pita terlihat mengikat dua atau lebih benda-benda yang membawa kebaikan, makna yang tersirat tentang pita merah ini adalah “membawa (sifat-sifat baik seperti nasib baik, keberuntungan) kepada tiap generasi”.


(63)

Gambar 7 : Bunga Pita Merah

3. Cermin

Pada kostum Barongsai tepatnya didahi terdapat sebuah piringan besi yang melambangkan Cermin Pencerahan Nirwana. Cermin berbentuk bulat ini dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah pencerahan dan kebijaksanaan yang abadi. Cermin diletakkan di atas kepala singa karena dalam kebudayaan Tionghoa cermin melambangkan dengan apa yang disebut dengan “mata ketiga”, “mata Buddha”, “mata kahyangan”, “mata batin”, atau “mata dewa”. Dalam kebudayaan kuno agama Buddha dan Hindu, cermin ini menjadi simbol dari bentuk pencerahan dan disebut juga sebagai “mata kebijaksanaan”. Diyakini ketika seseorang mengasah mata batin mereka, maka mereka juga membangun intuisi mereka serta membangun kemampuan untuk menggunakan indra subjektif mereka.

Cermin berbentuk bulat dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah pencerahan dan kebijaksanaan yang abadi. Cermin ini dimaksudkan untuk menyerap tiga sumber cahaya, yakni matahari, bulan, dan bintang. Namun, cermin ini tidak hanya digunakan


(64)

untuk hanya menerima ketiga sumber cahaya ini untuk meningkatkan kekuatan, namun juga dapat melepaskan kekuatan baik dari cahaya-cahaya ini untuk menyingkap, menangkal, menekan, dan menghilangkan sifat-sifat jahat. Diyakini pada saat roh-roh jahat melihat bayangan mereka di cermin itu akan kekejian mereka sendiri. Hal ini sama ibaratnya ketika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang salah, kemudian melihat bayangan dirinya sendiri di cermin lalu tidak dapat menghadapainya karena dia melihat sikap jahat dan buruk yang terpancar ke luar.

Gambar 8 : Cermin pada dahi Barongsai

4.4.3 Makna Pertunjukan Musik

Alat musik yang mengiringi pertunjukan Barongsai terbagi kedalam delapan kategori. Alat musik tersebut termasuk dalam kategori besi, kayu, dan kulit, yakni gong dan simbal (besi), anak genta (kulit), dan tambur/gendang (kulit). Namun demikian, pada saat sekarang penggunaan


(65)

anak genta telah lama diganti fungsinya dengan efek suara yang ditimbulkan dari pukulan stik pemukul pada lingkaran sisi gendang. Kedua sisi gendang maupun stik pemukul gendang terbuat dari bahan kayu, sehingga menghasilkan bunyi yang sama seperti yang dihasilkan oleh anak genta.

Jumlah pemain musik pada pertunjukan Barongsai berjumlah enam orang. Pemukul gendang terdiri dari satu orang, pemukul gong satu orang, kemudian pemain simbal terdiri dari 2 sampai 4 orang. Pemain musik ini juga tidak boleh bertukar posisi, karena pemukul gendang sudah harus mendalami bagaimana musik yang dimainkannya untuk memanggil dewa, jadi kalau bertukar posisi misalnya dengan pemain gong, maka pemain gong itu harus mempelajari nada musik gendang untuk memanggil dewa. Hal itu memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang besar. Demikian juga dengan pemain simbal tidak dapat bertukar posisi dengan pemain musik yang lainnya, karena pemain simbal ini sudah mempunyai cara dan pengetahuan tersendiri dalam memainkan musik tersebut.

Usia para pemain biasanya ditetapkan oleh pelatih barongsai tersebut. Usia para pemain inti dan pemain musik 12 tahun ke atas, karena usia 12 tahun ke atas lebih mudah di latih gerakan yang berhubungan dengan barongsai. Khusus untuk pemain inti bagian belakang, berat badannya harus lebih berat dari pemain inti bagian depan.

Suara gendang melambangkan suara singa atau raungan singa yang mewakili suasana hati dan emosinya. Pemain gendang mengatur bunyi yang pas untuk singa, namun apabila dimainkan dalam kelompok yang telah


(66)

terlatih, pemain gendang tidak perlu diberi komando, karena sudah dapat mengikuti langkah dan pergerakan penari barongsai.

Dalam setiap pertunjukan barongsai, musik yang dihasilkan tidak asal sembarangan. Semua ritme yang dihasilkan memiliki pola atau ketukan yang digunakan dalam pertunjukan. Contohya dalam memainkan tempo yang cepat, pemain mengarahkan Barongsai dalam suasana bahwa dia dalam keadaan bersemangat, tempo yang cepat dengan suara pukulan-pukulan yang kuat, menandakan bahwa singa sedang marah. Jika pemain musik memainkan tempo yang lambat dan suara pukulan lembut, menandakan bahwa singa sedang behati-hati dan berpikir, tempo lambat dan suara pelan serta sesekali ketukan irama yang tersentak-sentak menandakan bahwa singa sedang sedih.

Dalam pertunjukan Barongsai yang dimainkan di Kota Sibolga, simbal dimainkan oleh empat orang yang masing-masing memainkan sepasang simbal. Simbal terbuat dari bahan metal.

4.4.4 Makna Emosi Utama Barongsai

Pada pertunjukan barongsai terdapat delapan emosi singa yang ditampilkan. Namun, karena seiring perkembangan maka emosi barongsai pun ditambah cakupannya menjadi luas. Emosi yang awalnya delapan, kemudian dibagi lagi ke dalam beberapa kelompok, namun Delapan Emosi Utama Singa dibawah ini adalah yang umumnya dipakai oleh tim kesenian Barongsai, begitu juga oleh tim Barongsai di Kota Sibolga.


(67)

1. Xi ( 喜 ): senang, suka, cinta, menikmati hal-hal yang menggembirakan.

2. Nu (怒): marah 3. Jing (驚): takut

4. Le (樂): senang, puas, bangga, bahagia

5. Yi (疑): curiga, ragu, bertanya-tanya, waspada 6. Zui (醉): mabuk

7. Shui (睡): tidur

8. Xing (醒): waspada, bangun, terkejut Tambahan:

Ai (哀): sedih

Sīwéi (思维): berpikir

(欲): menginginkan, hasrat

Dēngshān (登山):naik gunung

Xiàshān (下山): turun gunung

Delapan emosi utama Barongsai menunjukkan perasaannya:

1. Senang/bahagia : mulut terbuka, langkah dan gerakannya mirip

dengan seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah yang diinginkannya disaat hari ulang tahunnya. Ekor bergerak-gerak seperti seekor anjing yang gembira melihat tuannya.

2. Marah : mulut ditutup, kepala diangkat tinggi, melangkah dengan


(1)

4.1.4

舞狮的运动意义

1。快乐/不快乐:张开嘴,步骤和动作类似于一个小男孩,谁想要得

到的礼物时,他的生日。很高兴看到他的主人像狗尾巴抽动。

2。愤怒:闭上嘴,头高举,大步快速,稳步,摇头上下高速。比尔德

保持腿部运动(有时被误解清洗胡子)。

3。恐惧:舞狮机构颤抖。有些群体往往太快扭动他的舞狮表演,而不

是吓坏了,狮子实际上看起来像狗一样喘气。

4。警惕可疑/ /想:狮子看看一个对象或情况,看着她从上到下左到

右的慢动作和警报,而播放的音乐是柔,缓,慢,重复。

5。醉:像人类一样的脚,摇摇晃晃然后跌倒醉时,以及舞狮。一个醉

汉一样,狮子会尝试爬起来,但随后再次下跌。他的眼睛是玻和重量, 开幕和闭幕之间,看起来很别扭。玩过同样的嘴的动作与眼球运动。

6。床:滚动鼓声,舞者几乎坐的位置,同时把他的头向左侧和右侧输

入,眼皮慢慢地闭上并反复开,终于等到了他的眼睛完全关闭。

7。震惊/吃惊:狮子喜欢找水喝,当他看到了自己的东西,那就是在

视图中可见的反射或阴影演奏,舞狮眨眼及后跳,然后又眨了眨眼。

8。悲:在葬礼上显示的主要情感。狮子会移动速度非常慢,带着沉重

的心,走了一步,两步,站的时间间隔,然后采取的又一步骤。在运 行时,然后闭上了眼睛半封闭,并不断重复。狮子会看起来好像深吸 一口气,然后呼气,犹如彼为叹息与严重性。这些情绪不会被显示旨


(2)

4.2

舞狮的作用

4.2.1

作为娱乐

狮舞作为文化表达的表情,生产当中来的想法和中国人自古以 来的想法,整体的思想结果的想法已经被体现在艺术的形式,即艺术 的舞狮表演。狮子演变成一大看点的娱乐性质。每一个社会,无论是 中国社会和中国社会之外,应该是在看舞狮以及显示伴奏音乐时能获 得快感。即使是现在很多艺术舞狮是兵家必争之地,娱乐性质给人的 印象。

4.2.2

作为一个仪式中国人

1。舞蹈动作模仿。狮子舞狮表演模仿一个。

2。舞蹈升值是有限的环境法律和中国社会的传统。

3。狮子作为辟邪驱避数字和坏运气,有一个功能被认为是神的 使者,以保护人类和舞狮。

4。音乐和乐器很简单,单调的声音。

神圣或宗教性质的舞狮表演,可以上溯到其原有的功能,作为 一种仪式,清洗辟邪驱蚊增援。也可以查看这些属性通过创建舞狮服 装开始在中国社会的传统与高雅艺术的理念和价值观。


(3)

宇宙学是一门科学,研究的起源,结构,时空关系的宇宙。在

调查形而上学的宇宙作为一个统一系统(印尼大词典,2008:736)。

中国人有一个独特的概念,这意味着他们总是想着恢复和谐生活的本 质,生活的天空和地球生命(现实世界的)(超自然)之间。轮回的 宇宙是自然力量的结果。据的基本思想的中国人,一种自然现象,可 分为两个分类,即阴阳,所以人们应该能够调整到宇宙。

舞狮子可以用作超自然人类现实之间的连接介质。舞狮包括了 一系列的身体运动有意味深长的房间。舞狮是在一个非常特殊的时刻, 比如中国农历新年和一个特殊的赶鬼仪式的舞蹈仪式是神圣的,经常 做。

4.2.4

表示精神

在舞狮表演中,有八个主要的情绪。观众观看了演出,预计捕 捉到每一个动作的意图进行舞狮。因此,任何的运动,所扮演舞狮是 不一样的球员从开始到结束,但它是在每个阶段不同。狮子情绪的表 露,可以模仿人类的表情说,有恐惧,快乐,愤怒,和醉酒的情感。


(4)

愤怒的舞狮

舞狮睡觉


(5)

作者得出结论,本研究建议。舞狮表演在中国社会中的功能是 娱乐表演,但仍植根于传统的价值理念,这是运气不好拒绝增援,他 们相信舞狮表演是能够带来好运。此外,相关的功能和意义的舞狮表 演,如果古代国王和寺院有限的听众表现。但现在舞狮表演已经受到 广大市民的见证,无论是中国和非中国。在后一种情况的变化,现已 成为娱乐节目的性质,但将保留宗教价值的根源。


(6)

今年我的论文写完了。写论文的时候, 我得到了很多困难与障 碍。但是老师和朋友们总是给我很大的帮助。因此,我想对我中文指 导曹老师表示我的感谢,辛苦您了。谢谢您百忙的时间还要帮修改我

的论文, 常常鼓励我,让自己更努力了写论文及沈老师已经给我精神

和嘱咐。谢谢我亲爱的家人、妈妈, 爸爸、因为你们已经鼓励了我,

劝告我和给我物质援助。对我的朋友们,谢谢你们!你们是我的好同 学在四年间。我们一起通过了悲喜。

这篇论文,我觉得不完整,很多缺点。因此,我希望得到您的


Dokumen yang terkait

Pergeseran Makna Upacara Ulang Tahun Kelahiran Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 棉兰华人生日文化分析 (Mian lan huaren shengri wenhua fenxi)

4 115 90

Fungsi Dan Makna Arak Putih Dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Di Medan 中国白酒文化对棉兰华裔的作用、意义分析 (Zhōngguó Báijiǔ Wénhuà Duì Mián Lán Huáyì De Zuòyòng, Yìyì Fēnxī)

4 145 90

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 1 14

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 0 1

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 0 7

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 0 9

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū) Chapter III VI

0 3 54

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 2 3

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA FENG SHUI BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA MEDAN 印尼棉兰华裔对风水的理解和意义分析研究 (Yìnní Mián Lán Huáyì Duì Fēngshuǐ De Lǐjiě Hé Yìyì Fēnxī Yánjiū)

0 1 22

PERTUNJUKAN BARONGSAI DALAM ETNIS TIONGHOA DI KOTA PADANG

0 0 17