SISTEM BUDAYA INDONESIA SISTEM BUDAYA IN

0

SISTEM BUDAYA INDONESIA
Editor: Dr. H. Junus Malalatoa

Oleh:
Yudha Andana Prawira

SISTEM BUDAYA INDONESIA

A. Identitas Buku
Judul

: Sistem Budaya Indonesia

Penyunting

: Dr. M. Junus Melalatoa

Penerbit


: PT. Pamator, Jakarta

Tahun terbit : 1997
ISBN

: 979-95194-0-3

Jumlah halaman: huruf iv, angka 262 halaman
Ukuran Kertas : B5 (eksklusif)

B. Deskripsi buku
a. Jenis

: bungai rampai makalah penelitian budaya

nusantara
b. Kontributor penulis:

M. Junus Mellatoa, Robertus R.


Suhartono, Sri Murni, Mahmud Tang, Noerid Haloei
Radam, Amri Marzali, Meutia F. Swasono, dan Hilarius
S. Taryanto.
c. Judul-judul makalah
Buku ini terdiri atas 15 (lima belas) bab, dengan
rincian sebagai berikut:
a) Rujukan Studi Indonesia
b) Silimo: Produk Peradaban Tua di Irian
c) Fordata: Budaya Seputar Dunia Wanita
d) Kebudayaan Sumba dalam Tenun Ikat
e) Kebudayaan Bali: Arsitektur Umah

1

f) Kebudayaan Bugis: Menegakkan Siri’
g) Aspek Religi dalam Sistem Perladangan orang Bukit
h) Kebudayaan Kenyah di Long Merah
i) Kebudayaan Sunda: Kasus Cikalong Kulon
j) Kebudayaan Betawi: Kasus Kampung Bojong
k) Kebudayaan Mentawai: Konsepsi Tata Ruang

l) Budaya Malu: Sistem Budaya Gayo
m) Kebudayaan Aceh: Adat dan Agama
n) Perjalanan Budaya Transmisgran
o) Muatan “Kebudayaan Daerah” di Indonesia
C. Deskripsi umum
Buku ini terdiri dari 13 bab, bab 1 membahasa teori
analisis kebudayaan, sementara 12 bab lainnya merupakan
laporan pengamatan dari kontributor penulis dari berbagai
daerah di wilayah Nusantara.
wilayah Papua.

Mulai wilayah Aceh hingga

Laporan penelitian kebudayaan dalam buku

ini memang merupakan laporan lama (sekitar tahun 1990-an),
namun sebagian besar mungkin masih hampir sama kondisinya
dengan masa kini. Walaupun, bisa juga sudah sangat berubah.
Kumpulan hasil laporan penelitian disunting oleh Dr.
M,


Junus

Melalatoa,

seorang

dosen

Ilmu

Budaya

dari

Universitas Indonesia.
Dari ketiga belas bab yang terdapat dalam buku ini,
penulis hanya memberikan ulasan pada tiga bab saja. Pertama
untuk bab awal tentang Rujukan Studi Indonesia, bab II
tentang Silimo, produk peradaban tertua di Irian, dan hasil

laporan

pada

bab

IX

tentang

Kebudayaan

Sunda,

kasus

Cikalong Kulon.
Bab pertama penulis rangkum karena merupakan fondasi
untuk memahami buku ini adalah dengan pemahaman teori-teori
yang berkenaan dengan penelitian kebudayaan serta nilainilai budaya pada kebudayaan Indonesia. Dengan membaca bab

ini, akan memudahkan memahami bab-bab berikutnya.

2

Bab

kedua

penulis

ulas,

karena

dari

segi

isi,


mencerminkan budaya paling tua di Indonesia yang masih bisa
dilacak dan ditelaah. Kebudayaan di Papua ini merupakan
sisa peradan prasejarah atau jaman neomezolitikum (zaman
batu). Namun sampai abad XX masih memiliki subjek yang
masih hidup. Dapat disebut sebagai fosil kebudayaan zaman
batu yang masih hidup.
Sementara

bab

IX

tentang

kebudayaan

Sunda

Kasus


Cikalong Kulon, penulis ulas juga, karena kebudayaan ini
yang paling dengan kehidupan penulis. Sehingga, penulis
dapat berempati pada kehidupan di Cikalong Kulon ini.

KAJIAN BUKU
A. Rujukan Studi Indonesia
a) Bab 1: Rujukan Studi Indonesia
 Dalam

bab

ini

dikemukakan
Indonesia.

tentang

Pertama


gambaran

diungkapkan

umum

kebudayaan

di

kebudayaan

di Indonesia telah menarik perhatian para

ahli sejak beberapa abad lalu. Karena itu,

bahwa

sejak abad


ke-16 hingga tahun 1970-an tidak kurang dari 80 buku
bibliografi dan katalog kebudayaan Indonesia, seperti
yang dirangkum Koentjaraningrat (1974) dan Wangania
(1974). Karya etnografi yang populer diantaranya karya
C. Snouck Hurgronje dan A.C. Kruyt.

 Berikutnya, membahas tentang pemahaman tentang sistem
kebudayaan.

Dalam

hal

ini

ada

dua

tafsir


tentang

budaya, yaitu arti sempit dan arti luas. Arti sempit
kebudayaan

bermakna

sekitar

wilayah

berkesenian.

Sementara arti luas bermakna sistem gagasan milik yang
dijadikan acuan bagi perilaku dalam kehidupan sosial
masyarakat yang bersangkutan.

3

Secara sederhana sistem budaya ini diskemakan sebagai
berikut:
 Sementara itu, untuk menyatakan kebudayaan Indonedia
merupakan

hal

yang

sangat

sulit

karena

masyarakat

Indonesia sangat beragam. Karena itu, Suparlan (1992)
menyebutkan ada tiga macam kebudayaan Indonesia, yaitu
o

kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945

o

kebudayaan suku-suku bangsa

o

kebudayaan umum lokal sebagai sebuah wadah untuk
lestarinya perbedaan identitas suku bangsa

 Simpulan menurut penulis mendefinisikan budaya sebagai
sistem ide atau sistem gagasan yang dapat dirinci lagi
pada unsur—unsur budaya yang lebih kecil. Selain itu,
juga menyebutkan bahwa kebudayaan bersifat tetap namun
cenderung berubah. Hal ini karenabersifat dinamis untuk
menyesuaikan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi.
Nilai-nilai

taqwa,

iman,

tertib,

disiplin,

tolong

menolong, ikhtiar, atau musyawarah masih relevan dalam
kaitan kebangsaan.

B. Bab 2: Silimo: Produk Peradaban Tua di Irian


Pengertian

yaitu

silimo,

wujud

arsitektur

berupa

kompleks pemukiman yang terdiri dari sejumlah unit
bangunan

dan

unsur-unsur

tersebut

mewujudkan

lingkungannya.

suatu

pola.

Pola

Kompleks

ini

lahir

dilandasi pengetahuan budaya sebagai hasil pengalaman


masyarakat dalam rentang sejarah kehidupan mereka.
Lokasi

penelitian

adalah

daerah

kecamatan

Kurulu

Kabupaten Jayawijaya. Tepatnya daerah lembah baliem.
Masyarakat yang tinggal dikenal dengan sebutan suku
Dani.

Konon

masyarakay

Dani

tinggal

di

tempat

tersebut sejak 24.000 tahun SM (Koentjaraningrat,
1993).

4



Populasi

penduduk

sekaligus

penutur

bahasa

Dani

berjumlah sekitar 200 ribu orang (pada tahun 1950an). Namun pada tahun 1983, berjumlah sekitar 317.000


jiwa.
Mata

pencaharian

utama

adalah

bercocok

ladang. Tanaman utama adalah hipere atau

tanam

di

ubi jalar.

Ada sekitar 46 jenis hipere. Mereka juga mengenal
tanaman


lain

seperti

talas,

pisang,

tebu,

atau

tembakau.
Pola

perkampungan.

pemukiman

orang

Silimo

Dani

sebagai

dengan

pola

unit

terkecil

menyebar.

Satu

silimo dengan silimo lain dihubungkan dengan jalan
setapak. Dalam perkembangan terakhir silimo—silimo
tersebut berada di pinggir Trans-Irian yang dilalui
kendaraan roda dua dan roda empat. Selain itu juga,
sudah

terdapat

bangunan

lainnya

seperti

sekolah

(SD/SMP), puskesmas, rumah dokter, gereja, bahkan


penginapan.
Sistem kekerabatan. Kelompok kerabat terkecil adalah
keluarga inti. Satu keluarga inti umumnya poligami.
Seorang lelaki bisa memiliki 4-5 orang perempuan.
Kelompok kerabat yang lebih penting adalah keluarga
luas virilokal (virilokal extended family). Jumlah



satu silimo antara 15-60 orang.
Sistem religi. Orang Dani percaya pada kekuatan gaib,
roh leluhur, dan roh kerabat yang telah meninggal.
Roh tersebut dikenal dengan konsep atou.

Komunikasi

antara roh dan manusia yang hidup dilakukan dengan
upacara. Upacara yang dilakukan biasa untuk kegiatan
bercocokan tanam, perkawinan, penyembuhan, perang ,
atau kematian. Dalam rangka keselamatan dari roh
gaib, mereka percaya pada benda-benda yang memiliki
kekuatan

yang

disebut

dengan

kaneke

(bhs

sunda=

jimat), yang disimpan dalam lemari khusus dengan
sebutan pilamo.

5

Dalam setiap upacara ubi jalar dan babi harus selalu
ada


sebagai

persembahan

dalam

rangka

komunikasi

vertikal dengan leluhur (Jarona,1996). ru
Sistem Silimo. Merupakan unsur teknologi berdasarkan
tradisi masyarakat Dani yang berupa kompleks tempat
kediaman

yang

terdiri

dari

beberapa

unit

dan

perangkat lainnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:


Silimo Asal. Desa tertua adalah Watlangku yang saat
ini

merupakan

tempat

upacara

ada.

Watlangku

diyakini sebagai cikal bakal suku Dani.

ini

Ada tiga

silimo yang merupakan milik Klan Mabel, Klan Dabi,
dan Klan Logo.

Silimo ini terkesan angker dan tidak

sembarang orang maupun sembarang waktu bisa memasuki
wilayah tersebut.

Ketiga silimo itu pun diyakini

sebagai simbol dari Silimo Matahari, Silimo Bintang,
dan Silimo Bulan. Ketiganya merupakan lambang perang,


perdamaian, dan kemakmuran.
Pilamo.

Pilamo

adalah

rumah

lelaki

dalam

sistem

silimo yang berada segaris luarus dengan pintu masuk.
Atapnya berupa kubah atau silinder. Garis tengahnya
5-7 meter disangga dengan empat tiang besar. Lantai
tidak menapak pada tanah, namun berpa rumah panggung.
Di dalam pilamo ini terdapat sebuah lemari tempat
menyimpan

benda

pusaka.

Nama

lemarinya

adalah

hessik. Benda-benda pusaka berupa kapak batu, panah
batu, kalung dari kulit kerang, dan kantong kulit


(noken).
Ebe-ae, yaitu rumah perempuan, dari segi bentuk sama
dengan pilamo, hanya ukuran lebih kecil. Di lantai
bawah ada tungku untuk menghangatkan ruangan atau



membakar ubi.
Hunila dan Wamdabu. Hunila adalah dapur. Sementara
Wamdabu adalah kandang. Di dalam hunila terdapat

6

beberapa tungku untuk memasak yang jumlahnya sesuai


dengan jumlah isteri.
Okutlu,

di bagian tengah silimo terdapat okutlu.

Berupa halaman yang luas. Di tengahnya terdapat pohon


besar dan lubang untuk memasak pada upacara adat.
Penghuni silimo, umumnya masih dalam kerabat dekat,
baik keluarga inti maupun keluatrga luas yang masih
bersifat patrilineal dalam satu klan.

Namun dalam

beberapa silimo ada juga yang dihuni oleh keluarga
dari klan berbeda. Hal ini dinamakan konfederasi.



Penutup.
Masyarakat Dani adalah masyarakat yang lama terkurung
dalam isolasi alam dan komunikasi. Hubungan dengan
dunia

luar

teknologi

relatif
dan

peruabhan.

masuh

peralatan

Salah

satu

baru.
tidak

yang

Selama
mengalami

tidak

berubah

isolasi
banyak
adalah

silimo, sebagai suatu bentuk teknologi perlindungan/
rumah.
Silimo menggambarkan tingkat kemampuan teknologi dan
peralatan yang mereka miliki. Bentuk dan struktur
bangunan

silimo

merupakan

tanggapan

aktif

mereka

terhadap lingkungan alam yang berhawa dingin dan
angin kencang, juga binatang buas.
Harapan atas keselamatan ditunjang sistem keyakinan
dengan

dibantu

benda

pusaka.

Selain

itu,

muatan

sistem keyakinan juga melekat pada tiga silimo asal
di

Watlangku

menyangkut

konflik,

perdamaian,

dan

kesuburan. Konflik tidak terlepas dari budaya perang.
Konflik juga sebagai perwujudan kontrol sosial, agar
satu pihak tidak ditindas pihak lain.
ini

akan

menghasilkan

keseimbangan

rasakan setelah selesai konflik.

Dengan sistem
yang

mereka

Upaya pemerintah

untuk mengubah sistem silimo yang dianggap sebagai

7

rumah

tidak

sehat

karena

tidak

berjendela

dan

ventilasi, nampaknya gagal karena orang Dani lebih
kuat pada keyakinan di lingkungannya.

C. Bab 8:Kebudayaan Sunda: Kasus Cikalong Kulon
 Pendahuluan:

Dalam tulisan ini aspek yang digambarkan adalah nilai
kebudayaan, sistem kekerabatan, sistem perkawinan,
rumah tangga, sosialisasi, pendidikan, kepercayaan
keagamaan dan afiliasi politik.

 Lokasi, lingkungan alam, dan penduduk
Kecamatan

Cikalong

Kulon

adalah

kecamatan

paling

utara di kabupaten Cianjur. Luasnya 166,25 kilometer
persegi. Jumlah penduduk 66.216 jiwa (1986). Mata
pencaharian utama 73-77% adalah bidang pertanian.
Sejarah lokal meyakini bahwa Cikalong Kulon merupakan
asal mula kerajaan Cianjur yang didirikan Raden Aria
Wiratanu

pada

sekitar

bernama Cibalagung.

tahun

1600an.

Kerajaannya

Aria Wiratanu meninggal pada

tahun 1633 dan dimakamkan di desa Cijagang. Saat ini
dikenal dengan sebutan makam Dalem Cikundul. Setelah
meninggal, digantikan Raden Aria Wiratanu Datar Kedua
(1633-1690). Pada masa ini pusat kerajaan di Pusat
Kerajaan Cibalagung dipindahkan dari Cikalong Kulon
ke Cianjur.

 Identitas Kultural
Orang Cikalong Kulon mengidentifikasi diri sebagai
orang

Sunda.

Secara

lebih

khusus

mereka

mengaku

sebagai orang Sunda Cianjur. Orang “Sunda Cianjur”
dipandang lebih halus tutur bahasanya dan memiliki
satu jenis kesenian yang juga “halus” yaitu tembang
Cianjuran.

Kedua unsur budaya halus ini

semula

8

berkembang di pusat kerajaan Cianjur di kalangan
menak.
Bahasa Sunda Cianjur (menurut Ekajati,1984) umumnya
sama dengan bahasa Sunda umumnya di wilayah jawa
barat. Namun bahasa Sunda Cianjur ini yang dijadikan
standar dalam pembelajaran bahasa Sunda di sekolah.
Dalam bahasa Sunda Cianjur ini, tuturan pilihan kata,
struktur kalimat, dan lagu bahasa disesuaikan dengan
sosial sang penutur. Karena itu, ada tiga tingkatan
bahasa (undak usuk basa) dalam bahasa Sunda lemes,
sedeng, dan kasar (Glicken,1987).

Sementara itu,

tembang Cianjuran, merupakan lagu yang panjang berupa
pantun yang saat menlantunkannya diiringi kecapi dan
suling.
Meskipun orang Cikalong Kulon mengaku sebagai orang
Sunda Cianjur, namun orang Cianjur yang tinggal di
sekitar

kota

Cianjur

menganggap

Cikalong

sebagai

daerah pinggiran. Istilah pinggiran ini tidak hanya
secara

geografis,

namun

juga

dalam

sistem

kulturalnya, sebagai daerah terbelakang, agak kasar,
dan kurang makmur. Dan menganggap bahwa kehalusan
kultur Sunda Cianjur tidak terwakili oleh masyarakat
dan budaya orang Cikalong Kulon.
Orang Cikalong Kulon sendiri hanya komunitas yang
terdapat di sekitar kota kecamatan yang dianggap
maju,

padahal

sebagian

besar

desa

dan

penduduk

terdapat lebih pinggir lagi di pegunungan-pegunungan
yang

sukar

dicapai

kendaraan

umum.

Desadesa

di

pegunungan oleh orang “kota” cikalong disebut sebagai
pinggiran juga.
Dalam

tulisan

ini,

lebih

banyak

menyoroti

orang

Cikalong Kulon yang pinggiran dari pinggiran. Bukan
seluruh

orang

keseluruhan.
Temuan-temuan

Sunda

maupun

Sunda

Cianjur

secara

9

 Pelapisan Sosial
Orang Cikalong Kulon sangat menghormati orang yang
lebih

tua,

penghormatan

ini

perilaku maupun bertutur.

diungkapkan

dalam

Misalnya, jika berjalan

dengan orang yang lebih tua, maka akan mengikuti
bukan sejajar.
masih

Sampai saat ini (1997) senioritas

merupakan

kriteria

penting

dalam

struktur

sosial.
Sistem kekerabatan
Kelompok kekerabatan di luar keluarga batih tidak
memiliki

peran

yang

terlalu

penting.

Pembinaan

praktik hubungan solidaritas dalam kehidupan seharihari hanya terlihat di dalam keluarga batih, misalnya
antara

anak

dan

orang

tua

sangat

kental.

Namun

sayangnya di Cikalong Kulon keluarga batih sangat
lemah

sosialisasinya.

Cikalong
kedua,

Kulon
baik

Karena

mengenal
ke

itu,

kerabat

atas,

ke

orang

sampai

bawah,

Sunda

generasi

maupun

ke

samping/kolateral. Hanya orang Sunda kalangan menak
yang memerhatikan hubungan kekerabatan sampai ketujuh
turunan.
Sistem Perkawinan
Dalam

mencari

relatif

jodoh,

liberal.

orang

Sunda

Walaupun

Cikalong

keputusan

Kulon

mengenai

perkawinan tetap menjadi keputusan seluruh anggota
keluarga. Hubungan muda-mudi pun sangat kendur dalam
arti

tidak

memiliki

terlalu

kemungkinan

banyak
yang

pantangan,

besar

untuk

sehingga
terjadinya

hubungan badan sebelum menikah.
Bila satu pasangan sudah saling kenal dan saling
merasa cocok, sang jejaka akan melapor pada orang
tuanya. Orang tua jejaka akan mencari pihak ketiga
untuk

menghubungi

pihak

mojang.

Hal

ini

sebagai

lamaran tidak resmi. Jika lamaran tidak resmi sudah
disetujui, maka akan dilanjutkan pada lamaran resmi

10

yang akan dilakukan orang tua jejaka bersama pihak
ketiga sebelumnya kepada pihak mojang. Sebagai tanda
lamaran

diterima,

pihak

jejaka

memberikan

panyangcang/pajanten.
Beberapa hari menjelang hari pernikahan, pihak jejaka
akan

memberikan

berupa

cacandakan

pakaian

maupun

atau

uang.

seserahan,

baik

Pernikahan

resmi

dilakukan di depan amil baik di kantor desa maupun
rumah

mojang.

Setelah

Perkawinan

upacara

dilakuan

perkawinan

secara

barulah

Islam.

dilakukan

selamatan.
Namun sayangnya, angka perceraian juga cukup tinggi,
baik yang dilakukan secara formal maupun yang tidak
tercatat. Bahkan di kampung Cijambe Hilir, hampir
separuh lekaki pernah mengalami perceraian dengan
isteri sebelumnya. Mereka beralasan ringan saja, tak
jodoh. Kemungkinan tinggi angka perceraian ini karena
usia pernikahan yang relatif muda, yaitu 14-16 tahun
(pada

tahun

relatif

1990-an).

stabil

adalah

Pasangan
mereka

pernikahan

yang

telah

yang

berusia

diatas 40 tahunan. Salah satu alasan pernikahan di
usia

muda

adalah

adanya

anggapan

buruk

terhadap

perawan jomblo. Menurut mereka, kawin dahulu lebih
baik, apapun kondisinya setelah menikah. Bahkan ada
satu pepatah “kawin ayeuna, isuk pepegatan” masih
lebih bagus daripada jomblo terus (Ekajati,1984).
Setelah menikah, suami bertanggung jawab terutama
terhadap

ekonomi

keluarga.

Sementara

isteri

bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Di cikalong
Kulon, isteri juga membantu pekerjaan suami (yang
mayoritas bertani), misalnya menanam, menyiangi, atau
menuai

padi.

ngajak

ka

Bahkan

liang

ada

cocopet

ngawaro ka caroge”.

pepatah,
oge,

“najan

manehna

manehna

kudu

daek

Pepatah lainnya, adalah isteri

ideal adalah isteri dulang tinande.

11

Namun kini kondisinya sudah berbeda,
budaya

rumah

ditinggalkan.

tangga

seperti

nilai-nilai

di

atas

mulai

Kini isteri-isteri Sunda lebih banyak

mendapat kebebasan dan kehaormatan dari suaminya.
Isteri lebih berani menolak keinginan suami. Namun
konflik ini seringkali diakhir dengan perceraian.
Sosialisasi dan pendidikan
Anak-anak Sunda Cikalong Kulon dididik secara liberal
dengan

tujuan

lingkungan

mencapai

sosial.

keselarasan

Namun

hidup

sayangnya,

dengan

orang

tua

cenderung terlalu memanjakan anak-anaknya. Anak-anak
kurang dibiasakan dengan tantangan hidup yang keras.
Akibatnya

ketika

menghadapi
sebelum

dewasa,

kehidupan.

berupaya

sering

Seringkali

maksimal,

kali

kesulitan

juga

sehingga

mengalah
terkesan

kasieunan.
Menurut data BPS tahun 1985, kkondisi pendidikan juga
tidak

menggembirakan.

Kebanyakan

keluarga

yang

terdidik adalah keluarga guru dan pegawai pemerintah.
Namun

demikian,

untuk

pendidikan

keagamaan

agak

bagus. Masjid dan langgar banyak didirikan. Majelis
taklim banyak diselenggarakan di desadesa.
sistem

pendidikan

pesantren

yang

Islam

sudah

memiliki tempat yang

tradisioonal

lama

dikenal

Juga
melalui

masyarakat,

agak bagus. Lulusan pesantren

maupun para kiai, memiliki pengaruh yang signifikan
di masyarakat.

Scara umum dalam aspek keagamaan

orang Cikalong Kulon seperti kebanyakan orang Sunda
jawa

barat

umumnya,

yang

menurut

Jackson

sebagai Islam Otrodoks dan Islam Nominal.

(1980)

12

PANDANGAN TERHADAP BUKU SISTEM KEBUDAYAAN
INDONESIA
A. Metode Penelitian dalam Buku
Buku ini disusun berdasarkan tulisan beberapa peneliti
dalam bidang kebudayaan dan antropologi, yang dikumpulkan
dan disunting oleh Dr. M. Junus Melalatoa. Para peneliti
dalam

buku

ini

tentu

sudah

menyandarkan

metodologi

pengumpulan data berdasarkan prosedur yang sesuai kriteria
dan kaidah penelitian etnik yang berkembang saat itu. Tentu
saja jika dibandingkan dengan penelitian saat ini ada
beberapa bagian yang berbeda.
Hasil penelitian yang disampaikan sangat bermanfaat
bagi

pengembangan

khazanah

pengetahuan

pemerhati

perkembangan budaya Indonesia. Namun demikian dalam buku
ini ada beberapa hal yang perlu dicermati lebih mendalam,
antara lain terutama berkenaan dengan waktu penelitian.
Penelitian
dilakukan

terhadap

sekitar

tahun

masyarakat
1990-an.

Cikalong

Dengan

Wetan

demikian

ini
yang

menjadi sumber data tentu sudah berbeda dengan kondisi saat
ini. Baik sumber data berupa manusia maupun lingkungan.

B. Keragaman dan Temuan Gagasan
a. Sistem pelaspisan sosial, pada saat dilakukan penelitian
diungkapkan

bahwa

orang

Cikalong

Kulon

sangat

menghormati orang yang lebih tua, sehingga jika berjalan
dengan orang yang lebih tua, selalu beriringan yang
lebih tua di depan (1997)
b. Sistem kekerabatan, nampaknya kekerabatan hanya terjadi
di keluarga batih. Jika digambarkan jika kekerabatan ke
atas atau ke bawah, hanya sebatas dua generasi. Demikian
pula kekerabatan secara horisontal, paling jauh sebatas
saudara sepupu. Hal ini nampaknya berlaku hampir di
semua wilayah Sunda, bukan hanya di Cikalong Kulon.

13

c. Sistem perkawinan,

umumnya liberal dalam arti pengaruh

keluarga dalam penentuan mempelai sebatas menyetujui
atau merestui bukan menunjuk calon mempelai. Namun ada
dampak buruknya dari moderatnya orang tua, karena sudah
tidak tumbuh lagi pantangan-pantangan, akibatnya banyak
pemuda-pemudi yang berhubungan badan sebelum menikah.
Namun temuan menarik dari penelitian ini yang jika
dipandang dari satu sudut pandang menjadi dua hal yang
bertolak belakang.
Misalnya, peneliti menyatakan bahwa setelah menikah,
suami bertanggung jawab keberlangsungan keluarga baik
finansial

maupun

materi

lainnya.

Sementara

bertanggung jawab mengurus rumah tangga.

isteri

Sehingga ada

pepatah “najan manehna ngajak ka liang cocopet oge,
manehna kudu daek ngawaro/ngilu ka caroge”.

Hal ini

sangat bagus tentunya.
Namun yang menjadi terkesan bertolak belakang menurut
data

pemerintah

desa

maupun

KUA,

ternyata

angka

perceraian juga cukup tinggi. Terutama untuk pasangan
yang masih relatif muda. Pasangan yang relatif stabil
bertahan adalah yang berusia di atas 40. Dengan demikian
sepertinya terjadi kontradiksi pernyataan.

C. Saran
Setelah membaca dan menelaah seluruh bab dalam buku
ini, pandangan penulis adalah bahwa mengingat penelitian
yang dilaporkan dalam buku ini terjadi sekitar tahun 1990an, sehingga nampaknya dengan kondisi saat ini sudah jauh
berbesa. Namun hal ini juga sangat baik untuk melakukan
penelitian ulang di wilayah yang telah diteliti secara
mendalam oleh peneliti sebelumnya.
Wallahu alam bi sowab.
Amin.