Peran Media Massa dalam Penghapusan Peke

Peran Media Massa dalam Penghapusan Pekerja Anak
di Sektor Pertanian Indonesia
Melati Suma Paramita
1306406606
Melatisparamita@gmail.com

International Labour Organization memperkirakan lebih dari 1,5 juta anak Indonesia bekerja di
perkebunan yang tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan
wilayah timur Bali, yang merupakan provinsi penghasil 90% tembakau di Indonesia. Human
Rights Watch merilis fakta bahwa sebanyak 132 anak berusia 8-17 tahun yang dilaporkan bekerja
di pertanian tembakau pada sepanjang tahun 2014 hingga 2015 lalu. Anak-anak ini dieksploitasi
oleh industri secara ilegal, hingga kesehatannya terancam. Paparan nikotin, racun pestisida, dan
cuaca panas ekstrim membuat anak-anak ini terserang keracunan nikotin akut. Isu anak yang
belum menjadi perhatian publik Indonesia dan media massa arus utama turut dipertanyakan,
melihat peran media sebaai agen yang dapat mengadvokasi. Tulisan ini akan menjelasan kasus
mengenai ekspoitasi anak di perkebunan tembakau, intensitas pemberitaan, dan bagaimana media
melakukan framing terhadap isu-isu anak.Tulisan akan memaparkan peran yang dapat dilakukan
media untuk memberantas pekerja anak. Perspektif yang digunakan dalam membahas mengenai
kasus anak, menggunakan perspektif hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan
Anak Nomor 23 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kata kunci: pekerja anak, industri tembakau, eksploitasi, pemberitaan media massa.

Keywords: child labour, tobacco industry, exploitation, coverage in mass media.

1

Masalah Pekerja Anak di Indonesia
Selama periode 2014-2015, International Labour Organization (ILO)1 merilis data
mengenai jumlah pekerja anak di Indonesia. Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar
58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari
jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3% merupakan pekerja anak. Dari jumlah
keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8% bersekolah, 24,3 juta atau 41,2%
terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7 juta atau 11,4% tergolong sebagai tidak bersekolah, tidak
membantu di rumah, dan tidak bekerja.
ILO juga melaporkan bahwa sekitar 50% pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per
minggu dan 25% sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak bekerja 25,7 jam per minggu,
sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7% dari
anak yang bekerja itu bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu.
Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga,
serta terlibat dalam bidang pekerjaan dalam industri jasa, manufaktur, dan pertanian.
Data-data di atas menunjukkan bahwa terdapat isu mengenai pekerja anak yang belum
menjadi perhatian public Indonesia. Jika ditelusuri ke masalah yang lebih besar, isu-isu hak anak

bahkan belum menjadi perhatian media massa arus utama. Melihat tingginya angka kasus pekerja
anak di Indonesia, jurnal ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana media melaporkan isu-isu
yang berkaitan dengan hak anak. Kasus yang menjadi perhatian dalam jurnal ini adalah pekerja
anak di industri pertanian, lebih spesifik temuan baru oleh Human Rights Watch pada bulan Mei
2016 bahwa terdapat ratusan anak-anak yang terancam kehidupan dan kesehatannya karena secara
intensif bekerja di pertanian tembakau. Penjelasan kasus mengenai ekspoitasi anak dan analisa
bagaimana media melakukan framing terhadap isu-isu anak akan dielaborasi lebih lanjut di jurnal
ini. Jurnal ini juga memaparkan peran-peran yang dapat dilakukan media untuk memberantas
pekerja anak. Perspektif yang digunakan dalam membahas mengenai kasus anak, menggunakan
perspektif hukum yang sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak2,
seorang anak didefinisikan sebagai individu yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

2

masih dalam kandungan. Berdasarkan Undang-Undang ini pula, semua pihak baik pemerintah,
orang tua, keluarga, maupun masyarakat turut wajib memberikan perlindungan kepada anak dari
segala tindakan yang akan merugikan anak. Namun di Indonesia, peran negara terhadap
perlindungan anak masih terbilang minim. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang turut
menimpa anak-anak, seperti kekerasan, penyakit, gizi buruk, putus sekolah, hingga isu yang

seringkali menjadi rantai tersembunyi yakni eksploitasi anak di bawah umur. Ekspoitasi berarti
pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan. Contohnya pekerja anak di bawah umur.
Menurut panduan yang dipublikasikan International Trade Union Confrederation atau
ITUC (2008)3, pekerja anak atau child labour didefinisikan sebagai pekerjaan yang merenggut
masa kanak-kanak, potensi diri, dan martabar anak. Pekerjaan yang dilakukan anak di bawah umur
juga membahayakan perkembangan fisik dan mental anak. Pekerja anak juga mengacu pada
pekerjaan yang menggangu jadwal sekolah anak, menghalangi kesempatan anak untuk
mendapatkan pendidikan, mewajibkan anak untuk meninggalkan sekolah, mengharuskan anak
untuk menggabungkan kehadiran di sekolah dengan waktu pekerjaan tag terlalu panjang dan berat.
ITUC kerap menuliskan bahwa bentuk tertentu dari sebuah pekerjaan untuk anak dapat tergolong
menjadi pekerja anak, juga dipertimbangkan bedasarkan usia anak, jenis pekerjaan, jam kerja,
tujuan individu, dan kondisi tempat bekerja. Kebijakan di berbagai negara mengenai pekerja anak
sangat bervariasi.
Secara hukum internasional pun pemerintah wajib memastikan anak-anak dilindungi dari
beragam bentuk terburuk mempekerjakan anak. Hal ini termasuk pekerjaan berbahaya, yang
didefinisikan sebagai pekerjaan yang, karena sifat atau keadaannya, dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi
internasional mengenai buruh anak, termasuk Konvensi International Labour Organization (ILO)
tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, usia minumun anak untuk bekerja, dan
tentang hak-hak anak. Khusus untuk Konvensi ILO mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk

untuk anak, setiap negara harus mencegah anak-anak terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak, dan menyediakan organisasi yang bergerak untuk membebaskan anak-anak
yang sudah terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk.

3

Indonesia memiliki undang-undang dan aturan tegas tentang pekerja anak, sejalan dengan
standar internasional dan telah menerapkan sejumlah program sosial untuk pekerja anak. Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan4, usia minimal anak
untuk bekerja adalah 15 tahun, dan anak berumur 13-15 tahun hanya boleh melakukan pekerjaan
ringan sepanjang tidak berbahaya dan tidak mengganggu waktu sekolah. Anak di bawah 18 tahun
dilarang melakukan pekerjaan berbahaya, termasuk bekerja di lingkungan dengan zat kimia
berbahaya. Namun, celah antara kerangka hukum dan undang-undang, ditamban lagi lemahnya
penegakan hukum dan peraturan soal pekerja anak, telah menempatkan anak dalam risiko.
Pemerintah masih belum menegakkan Undang-Undang yang berlaku dalam sektor-sektor negara
di skala kecil.
Beberapa bentuk terburuk pekerja anak, terjadi dalam banyak sektor-sektor negara, yakni
pekerjaan domestik, prostitusi, perbudakan, jasa ekonomi informal, pekerjaan di pertambangan,
pekerjaan di sector industri, hingga ranah yang paling banyak mempergunakan pekerja anak yaitu
sector agrikultur atau pertanian (ITUC, 2008)5. Pekerjaan domestic menjadi ranah yang seakanakan biasa. Biasanya melibatkan anak-anak perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga.

Prostitusi menjadi pekerjaan anak yang paling buruk, karena dapat menimbulkan berbagai
penyakit seksual yang menular. Perbudakan sering terjadi di wilayah pedalaman, yang terkait pula
dengan isu opresi terhadap etnis minoritas.
Kemudian, anak-anak yang bekerja di sektor ekonomi informal paling mudah untuk
ditemukan, karena banyak anak yang bekerja di jalan dan ruang-ruang publik. Contohnya menjual
koran hingga pekerjaan memungut sampah. Terdapat pula pertambangan-pertambangan kecil yang
seringkali memperkerjakan anak. Anak-anak di pertambangan bekerja dengan jam kerja yang
sangat panjang, tanpa alat-alat proteksi dan pelatihan khusus. Seringkali anak-anak di
pertambangan ditemukan memiliki penyakit yang menimpa kondisi fisik mereka. Pekerjaan di
sektor industri juga dapat berupa pekerjaan yang bersifat legal maupun illegal, seperti pekerjaan
bersih-bersih. Terakhir adalah pekerja anak di sektor pertanian, yang jumlahnya paling banyak.
Anak-anak di sektor pertanian biasanya ditemukan bekerja di lahan-lahan milik keluarganya.
Mengenai peraturan di sektor pertanian, Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi tahun 2003 telah merinci daftar tugas tertentu untuk pekerja anak di bawah usia 18
4

tahun. Daftar ini secara eksplisit melarang anak-anak bekerja di lingkungan dengan zat kimia
berbahaya. Berdasarkan ketentuan ini, pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan zat
kimia berbahaya, dalam bentuk apapun, harus dilarang. Tetapi temuan Human Rights Watch
menyatakan bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang bekerja di industri tembakau. Anakanak ini terpapar nikotin dan pestisida secara intensif setiap harinya.

Alasan dibalik hal ini disebabkan karena pemerintah Indonesia belum secara efektif
melaksanakan Undang-Undang terkait dengan pekerja anak di sektor pertanian skala kecil.
Kementerian yang mengurus bidang tenaga kerja sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan Undang-Undang terkait pekerja anak, pada dasarnya memiliki pengawas atau
pemantau buruh di berbagai sektor Indonesia. Namun, jumlah belum mencukupi untuk secara
efektif memantau kinerja buruh di negara yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa ini. Kasus
pekerja anak di industri pertanian tembakau, contohnya, kerap menjadi rantai yang tidak terputus
sejak dulu karena pada dasarnya, pengawasan buruh hanya dilakukan di industri pertanian skala
besar, bukan di sektor pertanian skala kecil tempat anak-anak dipekerjakan.

Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau Indonesia
Kasus pekerja anak Indonesia di pertanian tembakau, menjadi rantai yang tidak pernah
terputus sejak dulu karena daftar pekerjaan berbahaya yang dilarang bagi anak-anak Indonesia
secara hukum, faktanya tidak menyebut secara spesifik larangan untuk anak bekerja menangani
tembakau. Padahal, melalui berbagai buktu yang ada, penelitian dari segi hukum dan kesehatan
telah secara tegas menyatakan bahwa setiap pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan
tembakau dalam bentuk apapun merupakan pekerjaan dengan zat kimia berbahaya, dan harus
dilarang untuk semua anak.
ILO memperkirakan lebih dari 1,5 juta anak Indonesia bekerja di perkebunan, termasuk
tembakau, karet, dan kelapa sawit. Pekerja anak ini tersebar di beberapa wilayah Indonesia yang

memghasilkan komoditas pertanian dan perkebunan. Terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan wilayah timur Bali, yang merupakan provinsi penghasil hampr
90 persen tembakau di Indonesia. Komoditas tembakau dari Indonesia ini kemudian dijual ke
5

perusahaan multinasional yang memproduksi rokok dan diisap orang-orang di Amerika Serikat,
Eropa, Jepang, dan Tiongkok. Sebanyak tujuh perusahaan multinasional berkepentingan terhadap
produksi tembakau Indonesia. Tujuh perusahaan itu adalah Altria Group Inc, British American
Tobacco (BAT) Plc, China National Tobacco Corp, Imperial Merek Plc, Japan Tobacco Inc, Philip
Morris International Inc, dan Reynolds Amerika Inc. BAT memproduksi rokok merek Dunhill,
Lucky Strike, dan Pall Mall. Philip Morris memproduksi Marlboro, Parliament, dan Virginia
Slims. Perusahaan tersebut memiliki saham dan mengontrol perusahaan rokok di Indonesia, yakni
PT Bentoel Internasional Investama dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna.
Kasus yang sangat miris ditemukan tepat pada tanggal 25 Mei 2016 lalu. Human Rights
Watch (HRW), melalui laporan sebanyak 130 halaman berjudul “Panen dengan Darah Kami:
Bahaya Pekerja Anak dalam Perkebunan Tembakau di Indonesia”6, merilis fakta bahwa isu pekerja
anak di Indonesia masih butuh perhatian lebih. Dilansir dari laporan tersebut, Indonesia merupakan
produsen tembakau terbesar kelima di dunia, dengan jumlah lebih dari 500.000 pertanian
tembakau. Walaupun disebutkan secara tegas dalam hukum Indonesia maupun hukum
internasional mengenai pelarangan bagi anak di bawah umur 18 tahun melakukan pekerjaan

berbahaya, ribuan anak dalam kondisi penuh risiko di pertanian tembakau di Indonesia. Anak-anak
ini terpapar nikotin, pestisida beracun, serta cuaca yang panas esktrim. Pekerjaan ini berdampak
langgeng bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka. Pengolahan tembakau dari proses penanaman,
perawatan, panen, hingga pengeringan, merupakan pekerjaan berbahaya untuk anak-anak karena
unsur nikotin yang terkandung pada tanaman tembakau.
Sejumlah perusahaan Indonesia dan perusahaan tembakau multinasional terbesar di dunia
seperti Samporna dan Djarum, membeli tembakau yang ditanam di Indonesia dan
menggunakannya untuk menghasilkan produk tembakau yang dijual ke pasar dalam negeri dan
luar negeri. Sejumlah perusahaan rokok multinasional terbesar di dunia telah mengakui ada risiko
untuk anak-anak yang terlibat dalam tugas-tugas tertentu di pertanian tembakau. Menurut laporan
HRW pula, perusahaan-perusahaan ini melarang anak di bawah umur 18 tahun melakukan
beberapa tugas paling berbahaya di ladang tembakau yang jadi rantai pemasok mereka, seperti
memanen atau menyemprot pestisida. Tetapi perusahaan yang bersangkutan belum memilik
prosedur untuk memastikan bahwa tembakau yang terserap dalam rantai pasokan mereka bukanlah
hasil dari produksi yang melibatkan pekerja anak.
6

Human Rights Watch mewawancarai 227 orang, termasuk sebanyak 132 anak berusia 8
hingga 17 tahun yang dilaporkan bekerja di pertanian tembakau pada tahun 2014 hingga 2015 lalu.
Turut diwancarai, sebanyak 88 masyarakat setempat yakni orangtua dari pekerja-pekerja anak,

petani tembakau, pembeli dan penjual daun tembakau, pemilik gudang, kepala desa, petugas
kesehatan, dan perwakilan organisasi nonpemerintah.
Sebagian besar anak-anak yang diwawancarai mengaku bahwa mereka mulai bekerja di
pertanian tembakau sebelum usia 15 tahun. Tiga perempat dari anak-anak tersebut sudah bekerja
di pertanian tembakau pada usia 12 tahun. Anak-anak ini bekerja sepanjang musim, dari
penanaman hingga panen dan proses pengeringan. Mereka bekerja di sebidang lahan sempit yang
diolah oleh keluarga maupun tetangga mereka. Beberapa anak dinyatakan oleh HRW, tidak
menerima upah dengan alasan membantu keluarga. Beberapa anak menerima upah yang sangat
sedikit.
Menurut Grey J. Mang’anda (2012)7, salah satu penyebab utama dari maraknya pekerja
anak di industri pertanian yaitu kemiskinan. Standar hidup di pedalaman sangat rendah bagi
keluarga perani. Sehingga mempekerjakan anak merupakan solusi untuk membantu keluarga.
Melalui laporan HRW, Bank Dunia melaporkan bahwa sebanyak 14,2% penduduk pedesaan di
Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut hampir dua kali lipat dari angka
kemiskinan di perkotaan.
Selain kemiskinan, faktor lain yang turut menyebabkan pekerja anak di sektor pertanian
adalah kekurangan bahan pangan, tingginya biaya pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan di
daerah terpencil, jumlah anak-anak yang yatim piatu, permintaan tenaga kerja yang di bayar murah
oleh industri tembakau, lemahnya sistem hukum, dan peran gender tradisional (Mang’anda,
2012)8.


Implikasi Bahaya Keracunan Nikotin pada Pekerja Anak
Meski tak semua pekerjaan berbahaya untuk anak-anak, ILO menganggap sektor pertanian
sebagai salah satu dari tiga sektor paling berbahaya terkait kematian yang berhubungan dengan
7

pekerjaan, kecelakaan non-fatal, dan penyakit akibat kerja. HRW dalam laporannya menemukan
banyak bukti bahwa anak yang bekerja di pertanian tembakau di Indonesia memiliki masalah
kesehatan yang lebih tinggi. Sebab, sehari-hari merekaa terpapar nikotin, racun pestisida, dan
cuaca panas ekstrim. Anak-anak yang diwawancarai menjelaskan gejala yang mereka alami saat
bekerja di pertanian tembakau. Gejala ini berkaitan dengan keracunan nikotin akut. Gejala lain
yang dilaporkan HRW berupa masalah pernapasan, kondisi kulit, dan iritasi mata saat bekerja di
ladang tembakau.
Dalam jangka pendek, penyerapan nikotin melalui kulit dapat menyebabkan keracunan
nikotin akut, atau yang disebut dengan istilah green tobacco sickness. Gejala paling umum dari
keracunan akut akibat nikotin adalah mual, muntah, sakit kepala, dan pusing. Walaupun belum ada
penelitian soal efek jangka panjang dari penyerapan nikotin melalui kulit, HRW menyebutkan
bahwa penelitian kesehatan mengenai aktivitas merokok menunjukkan bahwa pemaparan nikotin
dapat berdampak negatif pada perkembangan otak. Paparan nikotin berkaitan dengan gangguan
perasaan atau mood, dan masalah memori, atensi, kontrol impuls, dan kognisi.

HRW menuliskan dalam laporannya bahwa sejumlah anak dilaporkan jatuh sakit setelah
bekerja di dekat bahan kimia yang dipakai di pertanian tembakau. Anak-anak sangat rentan
terhadap efek buruk paparan racun selama otak dan tubuh mereka masih dalam masa pertumbuhan.
Paparan pestisida telah dikaitkan dengan efek kesehatan kronis jangka panjang termasuk masalah
pernapasan, kanker, depresi, defisit neurologis, dan masalah kesehatan reproduksi.
HRW turut menuliskan pengakuan anak-anak yang mengatakan bahwa mereka telah
menerima pendidikan atau pelatihan tentang risiko kesehatan untuk bekerja di pertanian tembakau.
Namun, saat bekerja anak-anak ini tidak menggunakan alat pelindung saat berhadapan dengan
bahan kimia. Banyak anak-anak menggambarkan bekerja saat cuaca sangat panas di pertanian
tembakau. Implikasinya, beberapa anak mengalami pingsan dan sakit kepala saat bekerja di
ladang. Anak-anak ini juga mengalami dehidrasi karena cuaca yang sangat panas, mengaku sangat
kelelahan, dan mengaku menggunakan benda-benda tajam saat bekerja.

8

Eksploitasi Anak di Sektor Agrikultur Indonesia
Secara umum, eksploitasi berarti pendayagunaan dan pemanfaatan untuk kentingan
sendiri. Eksploitasi dilatarbelakangi keinginan keuntungan yang besar sehingga membuat pihak
kepitalis produksi membayar rendah pekerja. Lebih lanjut secara spesifik, eksploitasi anak
menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan oleh keluarga ataupun masyarakat (Umam, 2014)9. Pihak yang melakukan ekspoitasi,
memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan
fisik, psikologis, dan status sosialnya. Kecenderungan eksploitasi terhadap anak boleh jadi
berkaitan dengan ranah eksternal makro yang saling mempengaruhi keterdesakan dan atau
marginalitas kelompok anak-anak baik secara sosial maupun secara psikologis.
Menurut Krisnawati (2005)10, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 melalui pasal 13
menyatakan bahwa setiap anak yang atas dasar pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,
penganiayaan, ketidak adilan, dan perlakuan salah lainnya. Lebih lanjut, setiap anak juga berhak
memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa
bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan. Pada dasarnya, hal yang harus dieliminasi dari
eksploitasi anak di sektor agrikultur maupun sector-sektor lain yang mengeksploitasi anak, adalah
pekerjaan yang mengambil masa kanak-kanak mereka, menggangu sekolah, memaksa mereka
melakukan pekerjaan seiring dengan menjalankan sekolah, serta mengacam kesehatan dan
kehidupan sang anak.

Politik-Ekonomi Media Massa
Isu anak memang mendapatkan perhatian besar di pemberitaan media arus utama akhirakhir ini, tetapi hanya sebatas isu-isu kekerasan dan kejahatan yang menimpa anak. Bahkan,
masalah yang dipublikasikan HRW mengenai pekerja anak di sektor pertanian tembakau

9

Indonesia, mendapatkan atensi yang tergolong sangat minim. Isu kekerasan terhadap anak yang
mulai mendapat perhatian di media, berawal dari kasus pembunuhan Angeline tahun 2015 lalu,
kasus pedofilia yang dilakukan figur publik Saipul Jamil yang menimpa DS, hingga kasus terbaru
yang kerap membuat Indonesia di cap darurat kekerasan seksual, yakni kasus pemerkosaan dan
pembunuhan seorang anak perempuan berusia 14 tahun berinisial Y. Isu ini pun di komodifikasi
dan dilaporkan secara sensasional, tanpa secara focus mengedepankan solusi sebagai cara
pemenuhan hak-hak anak.
Di satu sisi, media massa yang menjalankan perannya sebagai pemberi informasi dan
pengawas berhasil mengangkat kasus-kasus kekerasan terhadap anak dari ranah bisu ke ruang
publik. Tetapi menjadi miris ketika masih banyak pemberitaan yang dipublikasikan
memperlihatkan bagaimana media tidak memiliki pemahaman dan sensitivitas terhadap gender,
isu inklusif, serta bagaimana memposisikan anak dalam berita. Lebih lanjut, terfokus hanya pada
tren pemberitaan mengenai kasus kekerasan terhadap anak, media di Indonesia menyampingkan
isu-isu anak yang tidak kalah penting. Contohnya isu pernikahan anak usia dini, kesehatan anak,
hingga isu yang seringkali menjadi rantai tersembunyi yaitu eksploitasi anak.
Arianto (2011)11 dalam jurnalnya mengemukakan bahwa konsep ekonomi politik
dipengaruhi oleh pemikiran Marxis tentang ekonomi, yang membahas sebuah proses dan cara basis
(base) ekonomi masyarakat menjadi penentu struktur sehingga berpengaruh pada ruang budaya

dan politik masyarakat, tenaga kerja, pembagian kerja, kepemilikan, mode produksi, serta struktur
kelas dan perjuangan. Sedangkan Mosco (1996)12 berpendapat bahwa ekonomi politik merupakan
sebuah studi hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang meliputi produksi, distribusi,
dan konsumsi sumber daya. Hal ini mencakup sumber daya komunikasi.
Dimmick dan Rothenbuhler dalam Agung (2011)13 mengemukakan bahwa ada tiga sumber
kehidupan bagi media. Pertama, content atau isi yang disajikan media. Contohnyai program acara
televisi dengan format berita maupun format hiburan. Kedua adalah capital, yang berhubungan
dengan sumber dana atau modal bagi media untuk menjalankan manajemennya. Ketiga adalah
audience atau khalayak, yang menjadi segmen yang dituju oleh media. Tiga sumber tersebut

kemudian menjadi pertimbangan bagi media untuk membuat kebijakan atau langkah strategis
dalam manajemennya. Termasuk dalam pembuatan program acara yang menguntungkan. McQuail
10

(2005)14 menyatakan bahwa sebagian besar media didirikan dengan motif ekonomi yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan media itu sendiri dan bukan kepentingan publik. Hal ini menjelaskan
mengapa isu-isu anak yang tidak dianggap dapat menjual, tidak mendapatkan ruang di media
massa arus utama. Adapun isu anak yang ditampilkan, merupakan kasus-kasus buruk yang
menimpa anak. Pemberitaan ditampilkan dengan sensasional guna mendapatkan atensi dan rating
yang tinggi.

Pemantauan Intensitas Pemberitaan dan Framing Media
Aspek yang menjadi fokus dari sudut pandang pemberitaan, menimbulkan perhatian
khusus pada hal yang menjadi objek dalam sebuah isu. Hal ini dilakukan melalui framing, yaitu
bagaimana isu dan objek yang dituju diberitakan secara tertentu oleh media massa. Ide
diorganisasikan untuk konten berita agar mendapatkan konteks yang diinginkan melalui proses
seleksi, aksentuasi, eksklusi, dan elaborasi (Kaid, 2004)15. Pemberitaan yang telah di framing
sedemikian rupa, dapat menjurus dan mengasosiasikan lebih banyak pada kepentingan pihak yang
bersangkutan. Melakukan framing, menurut Entman dalam Kaid (2004)16, adalah melakukan
seleksi terhadap beberapa aspek realitas dan membuat aspek tersebut menjadi khas dalam teks,
dengan tujuan mempromosikan suatu isu, interpretasi, evaluasi, maupun rekomendasi atas hal
tertentu.
Framing digunakan untuk membedah hal-hal dibalik ideologi media saat mengkonstruksi

sebuah fakta. Framing merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perpektif atau
cara pandang yang digunakan produsen konten berita ketika menyeleksi hal-hal yang akan
ditampilkan. Dengan menggunakan framing, berita dapat focus tertuju kepada inti permasalah.
Tetapi dari segi disfungsinya, berita dapat pula dimanipulasi dengan hanya menampilkan subjek
tertentu. Menurut Iyengar (2005)17, terdapat dua jenis framing, yakni episodik dan tematik.
Framing tematik menempatkan sebuah isu dalam konteks umum dan menyelidiki latar

belakangnya secara dalam (in-depth). Framing episodik, sebaliknya, menempatkan sebuah isu
dalam konteks individu maupun kejadian yang spesifik. Episodik menampilkan fitur-fitur visual
yang dramatis, sedangkan tematik mengangkat masalah yang dilihat dari sudut pandang yang lebih
besar.
11

Jauh sebelum HRW mempublikasi kasus pekerja anak di perkebunan tembakau tanggal 25
Mei 2016, sebuah portal media daring milik Nigeria yang mengutip beberapa pernyataan dari
media Aljazeera, bernama Information Nigeria memberitakan dengan singkat isu ini. Pada hari
laporan ini di rilis HRW pun, sejumlah media asing segera merilis isu ini di media daring. Sejumlah
media daring tersebut antara lain Voice of America, Independent, The Guadian, New York Times,
Reuters, dan beberapa portal media massa asing lainnya. Mirisnya, belum terdapat media massa
arus utama Indonesia yang melaporkan hal ini sebelumnya, maupun saat laporan di rilis ke publik
oleh HRW.
Kemudian melalui penelusuran Google News, beberapa hari setelah HRW merilis laporan,
sejumlah media massa Indonesia mulai memberitakan isu ini. Dimulai dari beberapa portal media
daring seperi Kompas, Tempo, Detik, Sindo News, dan Republika. Namun, isu ini masih hanya
dituliskan dengan format hard news, yang hanya melaporkan dan tidak memberikan solusi.
Tanggal 27 Mei 2016 pun isu ini masuk ke koran Harian Kompas di halaman 13, kolom Iptek
(lingkungan dan kesehatan). Lagi-lagi, format pemberitaan adalah hard news dengan sudut
pandang episodik, yang hanya melaporkan sebuah fenomena buruk yang menimpa sejumlah anak
di Indonesia. Di tanggal kasus ini di rilis pun, pemberitaan media massa arus utama Indonesia
masih berfokus pada pembahasan yang juga dilaporkan secara episodik mengenai kasus kekerasan
seksual, dan tertimbun oleh isu-isu politik lainnya.
Di sisi lain, sebuah portal media daring bernama Berita Satu memberikan sudut pandang
tematik yang berbeda. Berita Satu mengaitkan isu pekerja anak dengan kebiasaan para perokok di
Indonesia. Dalam artikel lainnya, Berita Satu juga mempublikasikan liputan dengan framing
tematik yang memberikan alternatif untuk menyelesaikan masalah pekerja anak di sektor pertanian
tembakau di Indonesia. Salah satunya melalui program pendidikan After School Program (ASP)
yang telah memasuki tahun ketiga dan sudah berhasil mengurangi keterlibatan anak usia sekolah
dasar di perkebunan tembakau hingga 90%. Namun, ketika ditelusuri lebih lanjut pun, program ini
adalah inisiasi dari program corporate social responsibility perusahaan Sampoerna, salah satu
pemain utama di industri rokok, yang juga berkontribusi dalam keberlangsungan rantai pekerja
anak di sektor pertanian sejak dulu.

12

Berita Satu juga memberitakan pembelaan-pembelaan dari sejumlah perusahaan rokok
yang disalahkan atas kasus pekerja anak di Indonesia. Sejumlah perusahaan rokok multinasional
menyatakan peduli dan ingin menangani kasus ini. Miguel Coleta, selaku sustainability officer
Philip Morris, menyebut buruh anak merupakan masalah sistemik di Indonesia, tidak hanya di
perkebunan tembakau. Perusahaan pun telah berusaha untuk mengatasi hal tersebut. British
American Tobacco melalui sebuah pernyataan menyebutkan bahwa perusahaan yang berbasis di
Inggris dan anak perusahaannya di Indonesia, Bentoel, menanggapi serius masalah pekerja anak
dan mendukung rekomendasi Human Rights Watch untuk mengatasi masalah tersebut. Imperial
Tobacco yang berbasis di Inggris, juga mengatakan bahwa mereka bekerja dengan ECLT berbasis
di Jenewa, serta memonitor pemasok mereka. Sedangkan juru bicara Reynolds Tobacco Co
menyatakan perusahaan yang berbasis di Carolina Utara itu berpartisipasi dalam program
sustainable tobacco production yang menyerukan adanya peninjauan berkala terhadap rantai

pasokan daun tembakau dan mewajibkan pemasoknya mematuhi pedoman pelarangan pekerja
anak.

Peran Media dalam Penghapusan Pekerja Anak
Sebelum masuk ke ranah advokasi, isu pekerja anak di perkebunan tembakau yang pada
dasarnya melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dan Ketenagakerjaan harus
mendapatkan atensi dan kepedulian dari publik. Opini publik yang terbentuk dapat menekan
pemerintah sebagai penentu kebijakan, untuk menghukum pihak-pihak yang bertanggung jawab
terhadap pelanggaran hak anak. Untuk menjadikan hal strategi ini berhasil, diperlukannya peran
media yang korporatif dan berpihak pada anak.
Menurut Mang’anda (2012)18, media berasosiasi dengan pertumbuhan ekonomi suatu
negara, karena kekuatan media yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Sen dalam Mang’anda
(2012), menyatakan bahwa insititusi yang liberal, termasuk pers bebas, memiliki peran dalam
pencegahan kelangkaan sumber daya, yang pada mulanya disebabkan oleh kebijakaan ekonomi
yang menyimpang, kebijakan politik yang memarjinalisasi kelompok masyarakat tertentu, dan
peperangan. Masyarakat yang hidup di negara dengan sistem politik tertutup lebih rentan terhadap

13

kelaparan daripada masyarakat yang hidup di negara dengan sistem politik terbuka. Maka, semakin
bebasnya pers dianggap berimplikasi besar pada pertumbuhan ekonomi.
Pemberitaan media yang mengarah ke solusi atas isu pekerja anak dapat membantu
meningkatkan atensi dan kepedulian publik, yang kemudian menciptakan opini publik untuk
menekan pemerintah agar mengubah kebijakan yang merugikan hak-hak anak. Serikat pers seperti
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dapat membentuk asosiasi media yang khusus bergerak untuk
menghapusan pekerja anak, seperti halnya yang dilakukan organisasi-organisasi non-profit. Selain
secara rutin mempublikasi isu yang berpihak pada hak anak, asosiasi media juga dapat
mengadakan konsultasi rutin dengan para ahli kajian anak dan pekerja untuk mencari solusi
bagaimana mereka dapat memaksimalkan kontribusi mereka untuk melawan masalah ini. Dengan
bantuan tersebut, jurnalis dapat mengembangkan asosiasi untuk mengatasi masalah pekerja anak.
Solusi lainnya yang paling utama adalah menaati Kode Etik Jurnalistik, Pedoman
Pemberitaan Media Siber, serta P3SPS dalam menyiarkan dan mempublikasikan pemberitaan.
Jurnalis Indonesia juga perlu memiliki sensitivitas terhadap isu-isu inklusif di masyarakat.
Seringkali hak-hak anak dilanggar oleh media. Seringkali pula ditemukan pemberitaan yang
diskriminatif terhadap anak yang posisinya sebagai korban. Padahal, pasal 5 Kode Etik Jurnalistik
secara jelas menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Poin penafsiran pasal ini menyatakakan bahwa identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Integrasi peraturan dan pernyataan dalam hukum Indonesia mengenai batas usia anak yang
cenderung berbeda-beda, juga perlu dibenahi. Dalam Kode Etik Jurnalistik, dituliskan bahwa anak
adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Berbeda dengan UndangUndang Perlindungan Anak yang secara legal menetapkan usia anak dibawah 18 tahun. Itulah
sebabnya saat menyelesaikan kasus-kasus anak, hkum di Indonesia menggunakan asas lex
specialis derogat legi generalis, yang berarti aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan

aturan hukum yang umum.

14

Kesimpulan
Jurnalis adalah pejuang hak asasi manusia. Mereka berperan sebagai mata, telinga, dan
suara dari publik, atas kejahatan terhadap penggunaan kekusaan dan hak asasi manusia, yang
kadang kala merupakan risiko pribadi mereka. Melalui karyanya, mereka dapat mempengaruhi
pemerintah dan organisasi kemasyarakatan untuk memberikan perubahan yang akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat (Jempson dan Searle, 2005)19. Jurnalisme yang berpihak
pada anak dapat menghapuskan pelanggaran terhadap hak-hak anak, termasuk kasus pekerja anak.
Saat ini, posisi anak yang kerap tidak pernah dianggap, membuat anak lebih rentan
mengalami kekerasan, penindasan, dan pengabaian. Hal ini menjelaskan latar belakang
pemberitaan mengenai anak yang seringkali sebatas melaporkan peristiwa buruk yang menimpa
anak, atau penyajian berita ketika momentum hari anak. Isu anak seharusnya ditampilkan di
pemberitaan yang menggunakan framing tematik, dimana sebuah isu ditampilkan dalam konteks
umum dan menyelidiki latar belakangnya secara dalam atau in-depth.Pemberitaan yang
mengedepankan hak-hak anak dapat membantu terbentuknya awareness dan keprihatinan publik,
sehingga pada akhirnya opini publik dapat digunakan untuk menekan dan mengubah kebijakan
yang melanggar hak-hak anak sebagai warga negara.

15

1

http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm, diakses pada 25 Mei 2016.

2

http://www.peraturan.go.id/inc/view/11e47c7101f8fc1c8837313832323333.html, diakses pada 25 Mei 2016.

3

International Trade Confederation (2008). Mini Action Guide Child Labour. ITUC CSI IGB.

4
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf, diakses pada 25
Mei 2016.
5

Ibid.

6

Human Rights Watch (2016). Panen dengan Darah Kami: Bahaya Pekerja Anak dalam Perkebunan Tembakau di
Indonesia. HRW.
7
Mang’anda, Grey Jones (2012). The Role of Media in Combating Child Labour in Agriculture. Paper for the National
Confrence in Elimination Child Labour in Agriculture. University of Malawi.
8

Ibid.

9

Umam, SN (2014). Eksploitasi Pekerja Anak Jalanan dalam Pendekatan Feminis Sosialis. UIN Sunan Ampel
Surabaya.
10

Krinawati, Emeliana (2005). Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bandung. CV Utomo, hlm 47.

11

Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.

12

Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.

13

Agung, Machyudin. 2011. Ekonomi Politik Media Televisi Swasta Nasional.

14

McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. SAGE.

15

Kaid, L. L. 2004. Handbook of political communication research . London: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers.
16

Idem.

17

Iyengar, Shanto. 2005. Speaking of Values: The Framing of American Politics. The Berkeley Electronic Press.

18

Ibid.

19

Jemspon, Mike., Searle, Denis (2005). The Media and Children’s Rights. MediaWise dan Unicef.

16

Daftar Pustaka
Human Rights Watch (2016). Panen dengan Darah Kami: Bahaya Pekerja Anak dalam Perkebunan
Tembakau di Indonesia. HRW.
Mang’anda, Grey Jones (2012). The Role of Media in Combating Child Labour in Agriculture.
Paper for the National Confrence in Elimination Child Labour in Agriculture. University of
Malawi.
Umam, SN (2014). Eksploitasi Pekerja Anak Jalanan dalam Pendekatan Feminis Sosialis. UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Krinawati, Emeliana (2005). Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bandung. CV Utomo, hlm 47.
Arianto. 2011. Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication.
Agung, Machyudin. 2011. Ekonomi Politik Media Televisi Swasta Nasional.
McQuail, Denis. 2005. McQuail’s Mass Communication Theory. SAGE.
Kaid, L. L. 2004. Handbook of political communication research . London: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers.
Iyengar, Shanto. 2005. Speaking of Values: The Framing of American Politics. The Berkeley
Electronic Press.
Jemspon, Mike., Searle, Denis (2005). The Media and Children’s Rights. MediaWise dan Unicef.
International Trade Confederation (2008). Mini Action Guide Child Labour. ITUC CSI IGB.
http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm, diakses pada 25
Mei 2016.
http://www.peraturan.go.id/inc/view/11e47c7101f8fc1c8837313832323333.html, diakses pada
25 Mei 2016.
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf,
diakses pada 25 Mei 2016.
Harian Kompas, “Pekerja Anak Rentan Keracunan Nikotin”. 27 Mei 2016, hlm 13
http://www.voaindonesia.com/content/hrw-kecam-industri-tembakau-terkait-pekerjaanak/3345187.html, diakses pada 25 Mei 2016.
17

https://www.informationng.com/2016/05/indonesia-tobacco-plantations-using-child-labour.html,
diakses pada 25 Mei 2016.
http://health.kompas.com/read/2016/05/27/151500423/Pekerja.Anak.Rentan.Keracunan.Nikotin,
diakses pada 25 Mei 2016.
http://health.detik.com/read/2016/05/25/141542/3217436/763/terpapar-nikotin-ribuan-anak-diladang-tembakau-bisa-mengalami-gejala-keracunan, diakses pada 25 Mei 2016.
http://health.detik.com/read/2016/05/25/170252/3217688/763/anak-yang-kerja-di-ladangtembakau-tak-sadar-rentan-keracunan-nikotin, diakses pada 25 Mei 2016.
http://health.detik.com/read/2016/05/26/111528/3218175/763/green-tobacco-sickness-penyakitkeracunan-nikotin-dari-daun-tembakau, diakses pada 25 Mei 2016.
http://international.sindonews.com/read/1111347/40/keracunan-nikotin-dunia-soroti-anak-anakindonesia-perajin-tembakau-1464166818, diakses pada 25 Mei 2016.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/26/o7rato365-pekerja-anakperkebunan-tembakau-rentan-terpapar-nikotin, diakses pada 25 Mei 2016.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/366770-kebiasaan-anda-merokok-meracuni-pekerja-anakdi-indonesia.html, diakses pada 25 Mei 2016.
http://www.beritasatu.com/anak/328369-after-school-program-turunkan-keterlibatan-pekerjaanak-di-lombok-tengah-dan-timur.html, diakses pada 25 Mei 2016.

18