Ahli Waris dalam Islam dalam

Ahli Waris dalam Islam

AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAK WARISANNYA
SERTA
FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN ASHÂB AL-FURÛDH
Makalah (REVISI)
Disampaikan Untuk Memenuhi Tugas dan Seminar Kelas
Mata Kuliah Fiqh Muamalah dan Mawaris
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A

Oleh :
MUKHTAR
NIM. 075112048
PROGRAM PASCASARJANA
IAIN WALISONGO SEMARANG
@ 2008

KATA PENGANTAR
‫بســم الله الرحمن الرحيم‬
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat yang telah diberikan kepada

hamba-hamba-Nya yang beriman, karenanya semoga nikmat-nikmat tersebut dapat
digunakan pada tempat yang sesuai dengan tujuan penganugerahannnya dibarengi
dengan syukur baik dengan ucapan, hati, dan perbuatan. Demikian pula shalawat
dan salam semoga tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad saw. Kepada

keluarganya, para sahabat dan pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Âmien
yâ Rabbal ‘Âlamîn.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
kapada Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Studi
Fiqh (Fiqh Mua’amalah dan Mawaris), yang telah memberikan bimbingan dan
pelajaran yang sangat berharga pada penulis dalam upaya memahami secara
konprehensif dan aplikatif tentang Fiqh Muamalah terutama yang terkait dengan
sistem ekonomi Islam yang memiliki karakteristik tersendiri; juga tentang Fiqh
Mawaris dan segala atribut dan problematikanya, cara perhitungan dan
penyelesaian pembagian waris. Makalah ini merupakan sebagai hasil revisi makalah
penulis yang telah dipresentasikan pada tanggal 27 Mei 2008. Penulis pun
menyadari dalam merevisi makalah ini –berdasarkan masukan dan saran dari Bapak
Dosen Pengampu dan teman-teman–, masih perlu penyempurnaan lebih lanjut, baik
dari segi teknis penulisan maupun konten makalah; karena “Tak ada gading yang

tak retak”.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah semuanya penulis serahkan, semoga
sumbangsih sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan wawasan dan keilmuan
kita dalam bidang hadits dan segala atributnya. Semoga Allah memberikan kepada
kita semua semangat dan kemauan untuk tetap mengkaji hadits/sunnah dengan
cermat dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ân. Amîn yâ
Rabbal ‘Âlamîn.
Semarang, Juni 2008
Penulis

AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAK WARISANNYA
SERTA FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN ASHÂB AL-FURÛDH

Oleh: Mukhtar (0751128048)
A. PENDAHULUAN

Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta
benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak
milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’,
seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup


ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
[1] Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa.
Kitabullah yang mulia telah menerangkan hukum-hukum waris dan ketentuan
masing-masing ahli waris secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi
bagian seseorang dari hak kewarisanya.[2] Al-Qur’an al-Karîm dijadikan sandaran
dan neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris) yang ditetapkan
dengan Sunnah dan Ijma’. Di dalam syari’at Islam tidak dijumpai hukum-hukum
yang diuraikan oleh al-Qur’an al-Karîm secara jelas dan terperinci sebagaimana
hukum waris.
Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu bentuk perhatian Islam tehadap
pemeliharaan harta peninggalan seseorang muslim. Di samping itu, hukum
kewarisan Islam merupakan realisasi dari perintah al-Qur’an untuk tidak
meninggalkan ahli waris (keturunan) yang lemah.[3] Rangkaian pengertian dan
ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan
teoritik.[4] Artinya hukum kewarisan memiliki fungsi yang bersifat futuristik
terhadap sebuah keluarga.[5]
Membicarakan kewarisan (farâidh) berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta
dari orang yang telah mati sebagai pemberi waris (al-muwarris) kepada orang yang
masih hidup sebagai ahli waris (al-wâris). Artinya warisan merupakan esensi

kausalitas (sebab pokok)[6] dalam memiliki harta, sedangkan harta merupakan
pembalut kehidupan, baik secara individual maupun secara universal. Dengan harta
itulah jiwa kehidupan selalu berputar.
Dalam Islam, ahli waris baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama
secara proporsional, sebagaimana diterangkan dalam al-Quran; meskipun secara
aplikatif-kondisional, para ahli hukum Islam berbeda pandangan. Katakanlah di
Indonesia misalnya, Prof. Hazairin dengan teori “bilateral”[7]-nya dan Munawir
Syadzali dengan “Reaktualisasi Hukum Islam”[8]-nya, menghendaki adanya
“kesejajaran antara laki-laki dan perempuan” dalam hak-hak kewarisan yang jelasjelas melawan arus hukum al-Qur’an yang ada dan sudah mapan. Namun, dalam
hal ini penulis akan membahas ahli waris dan segala atributnya sebagaimana yang
diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama, bukan
pandangan para ahli tersebut (karena hal tersebut akan dibahas tersendiri oleh
pemakalah yang lain).
B. KONSEP AHLI WARIS: MACAM-MACAM DAN HAK-HAKNYA
1. Pengertian Ahli Waris
Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “‫– “ الوارث‬yang secara bahasa berarti
keluarga–tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya
yang meninggal dunia.[9] Karena kedekatan hubungan keluarga juga dapat
mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang
yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak


dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang
dilaluinya perempuan.
Sedangkan pengertian ahli waris (‫ ) الوارث‬secara istilah adalah orang yang
menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan) orang yang
meninggal dunia (pewaris).[10] Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu
diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini
termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun
kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup.[11] Hal ini juga
berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya.[12] Tidak semua ahli
waris mempunyai kedudukan yang sama, melainkan mempunyai tingkatan yang
berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungnnya dengan si mayit.
2. Macam-macam Ahli Waris dan Hak-haknya
Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan langsung
oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan
melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada
pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau hadis Nabi.[13]
Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal
dunia –baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan
periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali)– dapat dikelompokkan

atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian,
berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan
yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama dan sarjana
hukum Islam.[14]
Macam-macam ahli waris dapat diklasifikasikan dengan rumusan beragam sesuai
dengan sudut pandangnya; ada yang mengelompokkan dari sudut sebab-sebabnya,
bagian-bagian yang diterimanya, jauh dekatnya hubungan kekerabatan, dan dari
sudut pandang jenis kelamin ahli waris itu sendiri.
Adapun macam-macam ahli waris ditinjau dari sebab-sebabnya, dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul
karena hubungan darah; artinya orang yang berhak memperoleh harta waris karena
ada hubungan nasab[15] dengan orang yang meninggal dunia.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab
tertentu, yaitu:
ü hubungan perkawinan yang sah (al-musâharah) dan masih berjalan (tidak
bercerai) pada saat suami atau isteri meninggal dunia (QS. 4:12).
ü memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena adanya perjanjian tolong
menolong.[16]


(Kedua kelompok ahli waris tersebut akan penulis terangkan lebih rinci pada bagian
yang lain).
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat
dibedakan kepada:
1. Ahli waris ashâb al-furûdh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar
kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, ¼, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3.
2. Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa
setelah harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furûdh.
3. Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan
darah, akan tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak menerima warisan.
[17]
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang
dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh, dapat dibedakan
menjadi:
1. Ahli waris hâjib, yaitu hali waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris
yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat
menghalangi ahli waris yang lain.
2. Ahli waris mahjûb, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang
dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang
menghalanginya tidak ada.[18]

Sedangkan apabila ahli waris dilihat dari jenis kelamin yang berhak menerima
warisan, baik ahli waris nasabiyah maupun sababiyah seluruhnya ada 25 orang,
yang terdiri dari 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan.
Sedangkan menurut Ibnu Ruysd dalam “Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah alMuqtasid” hanya terdiri darai 17 orang, yang terdiri dari 10 orang ahli waris laki-laki
dan 7 orang ahli waris perempuan;[19] hal ini dikarenakan ada beberapa ahli waris
yang dijadikan satu dengan sebab kesamaan kedudukannya dalam menerima waris.
1. Ahli waris menurut jenis kelamin laki-laki ( ‫) الوارثون‬, yaitu:[20]
a. Anak laki-laki ( ‫) البن‬
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki ( ‫ )ابن البن‬dan seterusnya ke bawah
c. Bapak (‫) الب‬
d. Kakek dari bapak (‫ ) الجد من جهة الب‬dan seterusnya ke atas
e. Saudara laki-laki sekandung ( ‫) الخ الشقيق‬

f. Saudara laki-laki sebapak ( ‫) الخ للب‬
g. Saudara laki-laki seibu ( ‫) الخ للم‬
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ‫) ابن الخ الشقيق‬
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak ( ‫) ابن الخ للب‬
j. Paman sekandung (‫) العم الشقيق‬
k. Paman sebapak (‫) العم للب‬
l. Anak laki-laki paman sekandung (‫) ابن العم الشقيق‬

m. Anak lakai-laki paman sebapak (‫) ابن العم للب‬
n. Suami ( ‫) الزوج‬
o. Orang laki yang memerdekakan mayit ( ‫)المعتق‬.
Bila ahli waris laki-laki tersebut berkumpul (ada semua), maka yang berhak
menerima warisan hanyalah anak laki-laki, bapak, dan suami.
2. Ahli waris menurut jenis kelamin perempuan ( ‫) الوارثات‬, yaitu:
a. Anak perempuan (‫) البنت‬
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( ‫ ) بنت البن‬dan seterunya ke bawah
c. Ibu ( ‫) الم‬
d. Ibu dari bapak ( ‫) الجدة من جهة الب‬
e. Ibu dari ibu (‫) الجدة من جهة الم‬
f. Saudara perempuan sekandung (‫) الخت الشقيقة‬
g. Saudara perempuan sebapak ( ‫) الخت للب‬
h. Saudara perempuan seibu ( ‫) الخت للم‬.
i. Istri ( ‫) الزوجة‬
j. Orang perempuan yang memerdekakan mayit ( ‫) المعتقة‬.[21]
Bila berkumpul seluruh ahli waris kelompok perempuan tersebut, maka yang berhak
menerima warisan hanyalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki,
ibu, dan saudara perempuan kandung atau sebapak, dan istri. Namun demikian,
bila berkumpul seluruh ahli waris laki-laki dan perempuan (25 orang ahli waris ada

semua), maka yanag berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, anak
perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.[22] Sehingga jelas, tidak setiap ahli waris

secara otomatis dan berhak mendapat warisan, artinya mereka sangat tergantung
pada kedudukan dan kedekatannya dengan si mayyit sebagai al-muwarris (‫) المورث‬.
Untuk lebih jelasnya, lihat bagan berikut ini :

C. AHLI WARIS: KONSEP NASABIYAH DAN SABABIYAH
Sebagaimana telah penulis singgung pada bagian sebelumnya, bahwa secara garis
besar ahli waris (‫ ) الوارث‬terbagi pada dua kelompok, yaitu ahli waris nasabiyah dan
ahli waris sababiyah.
1. Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada almuwarris didasarkan pada hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini seluruhnya ada
21 orang , terdiri dari 13 orang ahli waris laki-laki dan 8 orang ahli waris
perempuan. Untuk memudahkan pemahaman lebih lanjut, akan penulis bahas Ahli
waris nasabiyah berdasarkan kelompok dan tingkatan kekerabatannya.
Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada urutan kelompoknya adalah sebagai berikut
:[23]
a. Anak laki-laki (‫) البن‬
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki (, ‫ )ابن البن‬dan seterusnya ke bawah

c. Bapak (, ‫) الب‬
d. Kakek dari garis bapak ( ‫ ) الجد من جهة الب‬dan seterusnya ke atas
e. Saudara laki-laki sekandung ( ‫) الخ الشقيق‬
f. Saudara laki-laki sebapak ( ‫) الخ للب‬
g. Saudara laki-laki seibu ( ‫) الخ للم‬
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( ‫) ابن الخ الشقيق‬
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (, ‫) ابن الخ للب‬
j. Paman sekandung (‫) العم الشقيق‬
k. Paman sebapak (‫) العم للب‬

l. Anak laki-laki paman sekandung ( ‫) ابن العم الشقيق‬
m. Anak laki-laki paman sebapak ( ‫) ابن العم للب‬.
Adapun ahli waris perempuan semuanya ada 8 orang, yang rinciannya sebagai
berikut:
a. Anak perempuan (‫) البنت‬
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( ‫ ) بنت البن‬dan seterunya ke bawah
c. Ibu ( ‫) الم‬
d. Nenek dari garis bapak (‫) الجدة من جهة الب‬
e. Nenek dari garis ibu ( ‫) الجدة من جهة الم‬
f. Saudara perempuan sekandung ( ‫) الخت الشقيقة‬
g. Saudara perempuan sebapak ( ‫) الخت للب‬
h. Saudara perempuan seibu ( ‫) الخت للم‬.[24]
Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkat
atau kelompok kekerabatanya adalah sebagai berikut :
1) Furû’ al-wâris ( ‫) فروع الوارث‬, yaitu ahli waris kelompok anak keturunan almuwarris (‫) المورث‬, atau disebut dengan kelompok cabang (al-bunuwwah, ‫)البنوة‬.
Kelompok ini adalah ahli waris yang terdekat dan mereka didahulukan dalam
menerima warisan. Ahli waris yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Anak perempuan (‫) البنت‬
b) Cucu perempuan garis laki-laki ( ‫)بنت البن‬
c) Anak laki-laki ( ‫) البن‬
d) Cucu laki-laki garis laki-laki ( ‫) ابن البن‬
2) Usûl al-wâris ( ‫) اصول الوارث‬, yaitu ahli waris leluhur al-muwarris (‫) المورث‬.
Kedudukan meskipun sebagai leluhur, tetapi dikelompokkan berada setelah furû’ alwâris. Mereka adalah:
a) Bapak ( ‫) الب‬
b) Ibu ( ‫) الم‬
c) Kakek garis bapak ( ‫) الجد من جهة الب‬
d) Nenek dari garis bapak ( ‫) الجدة من جهة الب‬

e) Nenek garis ibu ( ‫) الجدة من جهة الم‬
3) Al-hawâsyi ( ‫) الحواشى‬, yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya
saudara, paman dan keturunanya. Seluruhnya ada 13 orang, yaitu:
a) Saudara perempuan sekandung ( ‫) الخت الشقيقة‬
b) Saudara perempuan sebapak (‫) الخت للب‬
c) Saudra perempuan seibu ( ‫) الخت للم‬
d) Saudara laki-laki sekandung ( ‫) الخ الشقيق‬
e) Saudara laki-laki sebapak ( ‫) الخ للب‬
f) Saudara laki-laki seibu ( ‫) الخ للم‬
g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ‫) ابن الخ الشقيق‬
h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak ( ‫) ابن الخ للب‬
i) Paman sekandung ( ‫) العم الشقيق‬
j) Paman sebapak ( ‫) العم للب‬
k) Anak laki-laki paman sekandung (‫) ابن العم الشقيق‬
l) Anak laki-laki paman seayah ( ‫) ابن العم للب‬.[25]
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena
ada sebab-sebab tertentu, yaitu:[26]
a. Sebab perkawinan (al-musâharah) yaitu suami atau istri.
b. Sebab memerdekakan hamba sahaya (wala’ul ‘ataq).[27]
c. Sebab adanya perjanjian tolong menolong menurut sebagian mazhab Hanafiyah
(wala’ul muwalah).[28] (sebab ketiga ini, tidak penulis bahas lebih lanjut).

Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila
perkawinan suami istri itu sah, baik menurut ketentuan hukum agama maupun sipil,
dan memiliki bukti-bukti yuridis, artinya secara administratif sah menurut hukum
yang berlaku. Demikian juga hubungan kewarisan yang timbul karena sebab
memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dan mengada-ada informasi (made-up
information), sehingga secara de facto dan de jure dapat dipertanggung jawabkan.

D. FURÛDH AL-MUQADDARAH DAN MACAM-MACAMNYA
Kata al-furûdh (‫ )فروض‬adalah bentuk jamak dari kata al-fardh (‫)الفرض‬, artinya
bagian atau ketentuan.[29] Para ulama memberikan definisi yang beragam secara
redaksional tentang kata al-fardh ini, namun secara substansi memiliki kesamaan
persepsi dan maksud, yakni bagian atau ketentuan.
Hasanain Muhammad Makhluf mengemukakan bahwa pengertian fardh adalah :
‫السهم المقدرشرعا للوارث في التركة‬
“Saham (bagian) yang ditentukan oleh syara’ untuk para ahli waris dalam
menerima harta warisan.”[30]
Ahmad Rifa’i Arief mengemukakan arti fardh sebagai berikut:
‫النصيب المقدر في الشرع ليزيد ال بالرد ول ينقص ال بالعول‬
“Bagian yang telah ditetapkan dalam hukum syara’ yang tidak akan bertambah
kecuali dalam masalah radd, dan tidak akan berkurang kecuali dalam masalah
‘aul.”[31]
Hal senada juga dikemukakan oleh Hasby Ash-Shiddieqy bahwa fardh adalah
“bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk wâris pada harta peninggalan,
baik dengan nash maupun dengan ijma’.”[32]
Dari beberapa pengertian fardh menurut ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
fardh berarti bagian atau ketentuan yang secara bahasa sepadan dengan kata
muqaddarah. Sedangkan kata al-muqaddarah (‫ )المقدرة‬berasal dari kata ‫”"قدر‬
artinya bagian (‫ )قسمة‬atau ketentuan (‫[;)نصيب‬33] al-muqaddarah (‫ )المقدرة‬juga
berarti ditentukan besar kecilnya.[34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
al-furûdh al-muqaddarah (‫ )المقدرة الفروض‬adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan besar kecilnya di dalam al-Qur’an yang tidak bertambah kecuali karena
radd dan tidak berkurang kecuali karena ‘aul. Bagian-bagian tersebut itulah yang
akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-furûdh-muqaddarah ( ‫ )المقدرة الفروض‬yang diatur secara
rinci di dalam al-Qur’an ada 6 (enam), yaitu:
1. Setengah/separoh (1/2 = al-nisf, ‫) النصف‬
2. Sepertiga (1/3 = al-sulus, ‫) الثلث‬
3. Seperempat (1/4 = al-rubu’, ‫) الربع‬
4. Seperenam (1/6 = al-sudus, ‫) السدس‬
5. Seperdelapan (1/8 = al-sumun, ‫) الثمن‬

6. Dua pertiga (2/3 = al-sulusain, ‫) الثلثين‬.[35]
Dasar hukum al-furûdhh al-muqaddarah ( ‫ )المقدرة الفروض‬tersebut adalah terdapat
dalam surat an-Nisâ [3] ayat 11-12:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym
Èû÷üu‹sVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO
$tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. Zoy‰Ïmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur
Èe@ä3Ï9 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß‰¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4
bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍ‘urur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=›W9$# 4
bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß‰¡9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur
ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâ‘ô‰s?
öNßg•ƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x.
$¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9
`ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç/”9$# $£JÏB
z`ò2ts? 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ/ ÷rr& &úøïyŠ 4 Æßgs9ur ßìç/”9$# $
£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ó‰s9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur
£`ßgn=sù ß`ßJ›V9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ/ ÷rr&
&ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u‘ ß^u‘qム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr&
÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7‰Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß‰¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2
uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° ’Îû Ï]è=›W9$# 4 .`ÏB ω÷èt/ 7p§‹Ï¹ur
4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h‘!$ŸÒãB 4 Zp§‹Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur
íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari

harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali dalam kasus-kasus
tertentu, karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsisten.
Misalnya apabila di dalam pembagian harta warisan terjadi kekurangan harta, maka
cara penyelesaiannya adalah masing-masing bagian warisan yang diterima
dikurangi secra proporsional, yang secara teknis ditempuh dengan menaikkan
angka asal masalah. Masalah ini disebut ddengan masalah ‘aul. Demikian juga
apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan harta tersebut pada prinsipnya
dikembalikan kepada ahli waris secara proporsional. Masalah ini disebut dengan
radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka masalah sebesar
dengan jumlah yang diterima ahli waris.[36] Mengenai masalah ‘aul dan radd ini
akan disajikan tersendiri oleh pemakalah yang lain.
E. ASHÂB AL-FURÛDH DAN HAK-HAKNYA
Ahli waris zawil furûdh ( ‫ ) ذوي الفروض‬atau disebut juga ashâb al-furûdh ( ‫اصحاب‬
‫ ) الفروض‬atau lengkapnya ashâb al-furud al-muqaddarah ( ‫) اصحاب الفروض المقدرة‬
bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an dan atau Hadis Nabi saw.
Mereka menerima harta warisan dalam urutan pertama. bagian-bagian tertentu
dalam al-Qur’an adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.[37] Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa ashâb al-furûdh ( ‫ ) اصحاب الفروض‬dibedakan menjadi dua,
yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah ( ‫ ) اصحاب الفروض النسبية‬dan ashâb al-furûdh alsababiyah (‫) اصحاب الفروض السببية‬. Adapun bagian masing-masing ashâb al-furûdh
adalah sebagai berikut:
1. Anak perempuan ( ‫ ;) البنت‬bagiannya adalah:
· 1/2 bila anak perempuan hanya sendiri.
· 2/3 bila anak perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki.
2. Cucu perempuan garis laki ( ‫) بنت البن‬, bagiannya adalah:
· 1/2 bila cucu perempuan hanya sendirian.
· 2/3 bila cucu perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai oleh cucu
laki-laki.

· 1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak
perempuan, tidak ada cucu lai-laki an tidak mahjûb.
3. Ibu ( ‫ ;) الم‬bagiannya adalah:
· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu atau beberapa orang saudara.
· 1/3 bila bersamanya tidak ada anak, cucu atau dua orang saudara.
· 1/3 dari sisa harta, dalam masalah gharrawain[38] bila ia bersama ayah, suami
atau istri dan tidak ada bersamanya anak atau cucu.
4. Bapak (‫ ; ) الب‬bagiannya adalah:
· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu.
· Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.
· 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu
perempuan.
5. Nenek (‫ ;) الجدة من جهة الب اوالم‬jika tidak mahjûb baik melalui ayah atau ibu,
bagiannya:
· 1/6 jika seorang.
· 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari satu orang dan sederajat kedudukannya.
6. Kakek garis bapak (‫ ;) الجد من جهة الب‬jika tidak mahjûb bagiannya adalah:
· 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.
· 1/6 + sisa harta, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki dan
bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.
· 1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah
diambil untuk ahli waris lain.
· 1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada hali
waris lain. Masalah ini disebut al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara).
7. Saudara perempuan kandung ( ‫ ;) الخت الشقيقة‬jika tidak mahjûb bagiannya
adalah:
· 1/2 bila ia hanya seorang saja.
· 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
8. Saudara perempuan sebapak ( ‫ ;) الخت للب‬jika tidak mahjûb, bagiannya adalah:

· 1/2 bila ia hanya seorang saja.
· 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersama saudara laki-laki
sekandung.
· 1/6 bila bersama dengan sauadara perempuan kandung seorang, sebagai
pelengkap 2/3 (takmilah li al-sulusain).
9. Saudara perempuan seibu ( ‫ ;) الخت للم‬baik laki-laki atau perempuan
kedudukannya sama.[39] Apabila tidak mahjûb, bagiannya adalah:
· 1/6 bila ia hanya seorang saja.
· 1/3 untuk dua orang atau lebih.
· Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, jika bersama-sama
dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan musyârokah.
10. Suami (‫ ;) الزوج‬bagiannya adalah:
· 1/2 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.
· 1/4 bila bersamanya ada anak atau cucu.
11. Istri ( ‫ ;) الزوجة‬bagiannya adalah:
· 1/4 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.
· 1/8 bila bersamanya ada anak atau cucu. [40]
Ahli waris yang termasuk ashâb al-furûdh al-nasabiyah ( ‫ )اصحاب الفروض النسبية‬di atas
adalah nomor urut 1 sampai 9; sedangkan ashâb al-furûdh al-sababiyah ( ‫اصحاب‬
‫ ) الفروض السببية‬adalah nomor urut 10 dan 11. Jika seluruh ahli waris tersebut di atas
ada semua, maka dari mereka itu, ahli waris yang dapat menerima bagian adalah :
§ Anak perempuan 1/2
§ Cucu perp. garis laki-laki 1/6
§ Ibu 1/6
§ Bapak 1/6 + sisa
§ Isteri atau suami 1/8 atau 1/4
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli waris
yang mendapat bagian hanyalah :
§ Anak perempuan

bersama-sama menerima sisa
§ Anak laki-laki
§ Bapak 1/6
§ Ibu 1/6
§ Isteri atau suami 1/8 atau 1/4
Contoh-contoh Kasus:
Seseorang meninggal dunia, dengan ahli waris dan bagiannya (ashâb al-furûdh almuqaddarah, ‫ ) اصحاب الفروض المقدرة‬sebagai berikut:
· Suami 1/4 (karena ada anak)
· 4 anak perempuan 2/3 ( karena dua orang atau lebih)
· Bapak 1/6 + sisa (karena bersama anak pr.)
· Paman mahjûb oleh bapak
· Nenek garis ibu mahjûb oleh ibu dan bapak
· Ibu 1/6 (karena ada anak)
· Kakek mahjûb oleh bapak
Jadi, ashâb al-furûdh yang mendapat bagian adalah: suami, 4 anak perempuan,
bapak, dan ibu.
Seseorang meninggal dunia, dengan ahli waris dan bagiannya (ashâb al-furûdh almuqaddarah, ‫ ) اصحاب الفروض المقدرة‬sebagai berikut:
· Suami 1/4 (karena ada anak)
· 3 anak perempuan
Bersama menerima ‘ashobah
· 4 anak laki-laki
· Sdr. perempuan sekandung Mahjûb oleh anak
· Bapak 1/6 (karena ada anak)
Jadi, ashâb al-furûdh yang mendapat bagian adalah: suami, 3 anak perempuan, 4
anak laki-laki dan bapak.
Seseorang wafat

meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan paman
dari pihak bapak.
Anak Perempan
memperoleh 1/2 bagian berdasarkan furûdh.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furûdh, pelengkap 2/3 bagian
(jumlah 1/2 + 1/6 bagian).
Paman dari pihak bapak
memperoleh bagian sisa (‘ashabah).
Dari contoh tersebut, dipahami bahwa anak perempuan memperoleh 1/2 bagian;
setengah merupakan bagian yang telah ditentukan atau al-furûdh al-muqaddarah (
‫)المقدرة الفروض‬. Cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh 1/6 bagian;
seperenam merupakan bagian yang telah ditentukan atau al-furûdh al-muqaddarah
(‫)المقدرة الفروض‬. Sedangkan, paman dari pihak bapak memperoleh sisa bagian
(‘ashabah) dan tidak ada ukuran tertentu, dikarenakan tergantung sisa harta
setelah dibagikan pada ashâb al-furûdh al-muqaddarah ( ‫) اصحاب الفروض المقدرة‬.
F. PENUTUP
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris (al-wâris) sebagai orang
yang berhak menerima warisan dari al-muwarris dapat dikelompokkan menjadi dua;
Pertama, ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan nasab atau
kekerabatan (al-qarabah); Kedua, ahli waris sababiyah, yaitu ahli waris karena
adanya sebab, baik perkawinan (zaujiyah) maupun memerdekakan budak (wala’).
Secara umum ahli waris baik nasabiyah maupun sababiyah, laki-laki dan
perempuan berjumlah 25 orang; 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris
perempuan. Diantara ahli waris tersebut ada yang mendapat bagian tertentu (alfurûdh al-muqaddarah) berdasarkan al-Qur’an ada enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 2/3,
1/3, dan 1/6. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu itu disebut dengan ashâb alfurûdh atau zawil furûdh. Ashâb al-furûdh ‫ ) )اصحاب الفروض‬terbagi dua, yaitu: ashâb
al-furûdh al-nasabiyah ( ‫ ) اصحاب الفروض النسبية‬dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (
‫) اصحاب الفروض السببية‬. Jika semua ahli waris yang 25 orang itu ada semua, maka
yang berhak mendapat warisan adalah hanaya anak laki-laki, anak perempuan,
bapak, ibu, suami atau istri.
Demikian semoga bermanfaat, khudz mâ shafa wa da’ mâ kadara (ambillah yang
jernih dan tinggalkan yang keruh). Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat
pada kita semua, Amien.
oooMtrooo

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989.

A. Hassan, Al-Farâ’idh: Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, Pustaka Progressif, 2003.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia,
Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 2003.

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2005.

Arief, Ahmad Rifa’i, Taisir al-Ma’sûr fî ‘îlmi al-Farâidh, Tangerang, Ponpes Dâr elQalam, t.t.

Ash-Shiddieqy, Hasby T.M., Fiqhul Mawâris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.

------------------, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999.

as-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV.
Diponegoro, 1995.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta
Mas, 1982.

Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung, Pustaka Bani Quraiys, 2005.

Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at
Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga Serangkai, 2007.

Makhluf, Hasanain Muhammad, Al-Mawâris fî al-Syarî’at al-Islâmiyyah, Kairo, Lajnah
al-Bayân al-Araby, 1958.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif
Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001.

Munawir Syadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Tjun Soemardjan (ed.),
Hukum Islam di Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002.

Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena Pundi
Aksara, jilid 4, 2006.

----------------, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002.

Zuhayli, Wahbah Al-, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damsyiq Syuriah, Dâr al-Fikr,
1997.

[1] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 33; Terkait dengan hal ini, Muhammad Jawad Mughniyah
dalam bukunya “Fiqh Lima Madzhab” menegaskan para ulama madzhab telah
sepakat bahwa tirkah (harta peninggalan mayit) beralih kepemilikannya kepada ahli
waris sejak kematian, sepanjang tidak ada hutang atau wasiat (Lihat, Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus
Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001, hlm. 538).
[2] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 7
[3] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 9.
[4] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press,
2005, hlm. 16.
[5] Untuk itu, menurut Abdul Ghofur Anshori, paling tidak ada tiga fungsi kewarisan
Islam, yaitu: (1) sebagai sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris
sepeninggal pewaris; (2) sebagai usaha preventif terhadap kemungkinan
penimbunan harta kekayaan yang dilarang oleh agama (QS. An-Nisâ [4]: 37); dan
(3) sebagai motivator bagi setiap muslim untuk berusaha dengan giat guna
memberikan kebaikan bagi keturunan sepeninggalnya. (Abdul Ghofur Anshori, Ibid,
39).
[6] Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV.
Diponegoro, 1995, hlm. 39.
[7] Hazairin berpandangan bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah
bersifat patrilineal (garis keturunan laki-laki), dan menganggap para ulama dalam
menentukan hubungan garis kewarisan sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pemahaman terhadap sistem kemasyarakatan yang dianutnya. Konsep bilateral
dimaksudkan adalah kebebasan menghubungkan keturunan kepada ayah
(patrilineal) atau pada ibu (matrilineal). Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1982, hlm. 11; Juga lihat, Abdul
Ghofur Anshori, op.cit., hlm. 77-78.
[8] Reaktualisasi ajaran Islam yang dimaksudkan Munawir Syadzali adalah
modifikasi atau penyesuaian ketentuan-ketentuan yang telah dengan jelas
digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Lihat, Munawir Syadzali, “Reaktualisasi
Ajaran Islam” dalam Tjun Soemardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 87; Juga lihat, Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan,
Bandung, Pustaka bani Quraiys, 2005, hlm 153-154.

[9] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002, hlm. 59.
[10] Ibid; Lihat juga Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,
Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 29.
[11] Wafatnya pewaris (muwarris) yang dimaksud adalah dalam pengertian mati
secara de facto, artinya benar-benar bisa disaksikan kematiannya; dan pengertian
mati secara de jure, yakni kematian yang tidak dapat disaksikan, tetapi berdasarkan
keputusan hakim bahwa seseorang telah meninggal. Begitu juga dengan hidupnya
ahli waris (al-wâris) yang dimaksud adalah hidup secara de facto, yakni kehidupan
seseorang yang dapat dilihat, dirasakan dan hidup berinteraksi dalam kehidupan
masyarakat; dan hidup secara de jure, yakni kehidupan bayi dalam kandungan
ibunya. (Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian
Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga
Serangkai, 2007, hlm. 18.
[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm.
154.
[13] Ibid
[14] Ahli waris yang sudah ittifaq ulama berjumlah 25 orang, (15 orang laki-laki dan
10 orang perempuan); sedangkan ahli waris yang masih ikhtilâf ulama tentang hak
warisnya adalah keluarga terdekat (zul arhâm) yang tidak disebutkan dalam alQur’an tentang bagiannya (fardh) ataupun tentang ‘ushbat; mereka inilah yang
dikenal dengan zawil arhâm. lihat, Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh
Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63 dan
65; Ibnu Rusyd, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963,
hlm. 11.
[15] Nasab (keturunan, kekerabatan) menurut Sayyid Sabiq terbagi dua, yaitu nasab
hakiki (yang sebenarnya) sebagaimana tercantum dalam QS. Al-A’râf [8]: 75); dan
nasab hukmi (wala’), sebagaimana sabda Nabi saw. ( ‫الولء )رواه ابن حبان والحاكم وصححه‬
‫“ لمحة كلمحة ا لنسب‬wala’ itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab.”
(Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena
Pundi Aksara, jilid 4, 2006, hlm. 484.
[16] Ahmad Rofiq, loc.cit.
[17] Ibid, hlm. 59-60;
[18] Ibid.
[19] Imam Ibn Rusyd mengelompokkan saudara laki-laki sekandung, saudara
sebapak, dan saudara seibu menjadi satu. Anak saudara laki-laki sekandung dan
sebapak menjadi satu. Paman sekandung dan sebapak menjadi satu. Anak paman
sekandung dan sebapak menjadi satu. Saudara perempuan sekandung, sebapak,

dan seibu menjadi satu. Nenek dari garis bapak dan garis ibu digabung menjadi
satu (Lihat, Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut, Dâr alFikr, 1995, hlm. 277-279; juga lihat Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 60).
[20] A. Hassan, Al-Farâ’idh: Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, Pustaka Progressif,
2003, hlm. 22-23; Lihat juga, Amir Syarifuddin, op.cit., hlm 159-160; Bandingkan
dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 63-64.
[21] Ibid
[22] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 162.
[23] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 61
[24] Ibid, hlm. 62
[25] Ibid, hlm. 63; Bandingkan dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata,
op.cit., hlm. 67.
[26] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 64.
[27] Menurut Sayyid Sabiq wala’ul ‘ataq ini adalah kekerabatan yang dihasilkan
karena sebab memerdekakan budak (lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489).
[28] Wala’ul muwalah adalah hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia;
artinya hubungan yang terjalin dengan perjanjian yang dibuat oleh dua orang atas
kemauan sendiri untuk saling membela serta saling menerima pusaka oleh masingmasing dari yang lain; orang yang pertama dinamakan muwali, sedang yang kedua
dinamakan muwala. Hal mini termasuk menjadi sebab pewarisan menurut Abu
Hanifah dan Syi’ah Imamiyah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan
menurut Jumhur Ulama (lihat, Ibid, hlm. 426; juga Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy,
op.cit., hlm. 32).
[29] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 65; Ahmad Rofiq, op.cit.,
hlm. 65.
[30] Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawâris fî al-Syarî’at al-Islâmiyyah, Kairo,
Lajnah al-Bayân al-Araby, 1958, hlm. 37.
[31] Ahmad Rifa’i Arief, Taisir al-Ma’sûr fî ‘îlmi al-Farâidh, Tangerang, Ponpes Dâr elQalam, t.t., hlm. 7
[32] Hasby Ash-Shiddieqy T.M., Fiqhul Mawâris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm.
74.
[33] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia,
Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 2003, hlm. 1436.
[34] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 65

[35] Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damsyiq Syuriah, Dâr alFikr, 1997, hlm. 783; Ahmad Rofiq, loc.cit.; Lihat juga Muhammad Jawad Mughniyah,
op.cit., hlm. 550; Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 66.
[36] Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 66.
[37] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 163 juga Ahmad Rofiq, loc.cit., hlm. 66; Sayyid
Sabiq, op.cit., hlm. 489.
[38] Gharrawain disebut juga ‘Umariyatain, maksudnya adalah dua masalah yang
diselesaikan dengan ijtihad Umar bin Khoththâb. (Hal ini akan dibahas oleh
pemakalah yang lain).
[39] Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, bahwa antara saudara lakilaki dan saudara perempuan seibu dipisahkan, meskipun hak warisnya sama;
sehingga jumlah ashâb al-furûdh ada 12 orang; empat orang laki-laki dan delapan
orang perempuan (Lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489
[40] Lihat Wahbah al-Zuhayli, op.cit, hlm. 7739-7740; Lihat juga Suparman Usman
dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67-71; Lihat juga Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.
163-165; Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 67-70.